Anda di halaman 1dari 16
Bentuk-Bentuk Transaksi Tanah Pada Masyarakat Hukum Adat Aprilianti, S.H., M.H. Dosen Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Unila Pengantar Prof. Abdulkadir Muhammad adalah seorang pendidik, guru, motivator, orangtua bagi penulis. Penulis mengenal beliau sejak penulis menjadi nmahasiswa S1 (Tahun 1984 s/d 1989) sebagai Pembimbing Akademik dan pada saat penulis menempuh jenjang pendidikan Pasca Sarjana di PPS-MH Unila beliauw juga sebagai Pembimbing Thesis (Tahun 1999 s/d 2002). Saat menempuh pendidikan S1 dan S2, penuis banyak memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu dengan banyak bertanya dan berdiskusi bersama beliau. Dengan banyaknya waktu penulis bersama beliau membuat ilmu yang didapat _ Sangat melekat pada diri penulis. Khususnya untuk mata kuliah Hukum Perdata, Hukum Perikatan (Perjanjian). Beliau menanamkan konsep hukum perjanjian disesuaikan pada keberadaan hukum dalam masyarakat, terutama pada masyarakat hukum adat di pedesaan. Ditengah kehidupan masyarakat hukum adat banyak terjadi perjanjian tanah (Transaksi tanah) . Transaksi tanah tersebut ada yang berobjek tanah maupun transaksi yang menyangkut tanah. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis tentang bentuk-bentuk transaksi tanah pada masyarakat hukum adat. |. Pendahuluan Tanah mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan manusia, oleh karena sebagian besar kehidupan manusia tergantung pada tanah. Tanah dapat dinilai sebagai suatu harta yang mempuny2 sifat permanen dan dapat dicadangkan untuk kehidupan pada mas yang akan datang, baik sebagai tempat tinggal, tempat untuk usaha ataupun tempat bercocok tanam. Falsafah Indonesia dalam konsep Galan Sarg -382- Sang Guru hubungan antara manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh_ =masyarakat — sehingga hubungannya tidak bersifat individualisme semata tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat penghormatan terhadap hak perorangan.' Dalam lingkungan adat, antara masyarakat hukum sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya terdapat hubungan yang erat sekali. Hubungan erat ini bersumber pada pandangan yang bersifat_ magis religius. Hubungan ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatasanya serta berburu binatang-binatang yang hidup di situ.” Keragaman aspek tanah, bermuara pada nilai yang melekat pada tanah tersebut. Berbagai nilai tanah setidaknya terdiri dari 6 (enam) jenis, yaitu (1) nilai religius, (2) nilai lingkungan, (3) nilai sosial budaya, (4) nilai politik, (5) nilai ekonomi , (6) nilai hukum. * Nilai-nilai tersebut tidaklah bersifat mandiri atau berdiri sendiri, tidak pula bersifat saling meniadakan, ataupun saling bersaing, melainkan saling mengisi antara nilai yang satu dengan yang lainnya. Setiap nilai keberadaannya saling mengisi, sehingga mengakibatkan nilai satu dengan lainnya saling membutuhkan. Sumber daya tanah mempunyai nilai sempurna apabila nilai tanah mencakup keenam nilai tersebut diatas. Meskipun tanah memiliki nilai yang berbeda-beda, akan tetapi pemilik tanah pada umumnya cenderung menggunakan tanah miliknya untuk tujuan-tujuan yang memberikan manfaat tertinggi bagi diri sendiri.* Nilai ekonomis tanah sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan pemilik atau yang mengusahakannya. Terdapat 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah memiliki kedudukan sangat penting , yaitu: (1) karena sifatnya, tanah "| Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat di Persimpangan. Bandar Lampung; Penerbit Universitas Lampung, 2009, hlm.76. ? Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan R.Ng.Soebekti Poesponoto, Jakarta;Pradnya Paramita, 1978, hlm.98. * | Gede A.B. Wiranata, op.cit., hlm.77. * Muwarti B.Rahardjo & Sukardi Rinakit. Pemberdayaan Masyarakat Petani, dalam Perberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Penyunting Onny S.Prajono dan AMW Pranaka, Jakarta;CSIS, 1996, hlm.158. Satg Guru - 383 - merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadaannya sebagai benda yang nyata, (2) karena faktanya bahwa tanah merupakan tempat tinggal dan memberikan penghidupan bagi masyarakat.” Tetapi saat ini jumlah luas tanah semakin sempit, hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk, lingkungan perumahan semakin meningkat, makin pesatnya pembangunan industri dan sektor-sektor lain yang menggunakan tanah sebagai tempat usahanya. Negara Indonesia bersifat agraris, masalah tanah adalah masalah yang hakiki, khusus nya bagi manusia yang mengandalkan kehidupannya dari usaha pertanian. Berbicara soal tanah berarti berbicara persoalan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Penduduk Indonesia sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani sehingga tentunya tanah sangat diperlukan untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tanah dianggap sebagai satu-satunya sumber untuk mendapatkan pendapatan dan kekayaan dan sektor pertanian merupakan kegiatan produktif, tanah juga diyakini_ mengandung kemampuan untuk menghasilkan produksi dalam jumlah dan mutu yang melebihi (menciptakan surplus) bahan mentah dan peralatan yang digunakan dalam menghasilkan produk bersih.° Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah oleh manusia, menyebabkan persediaan tanah tidak seimbang dengan yang dibutuhkan oleh manusia. Oleh karena itu dalam konteks ini menimbulkan beberapa permasalahan dalam penggunaan dan pengolahan akan tanah. Masih sering ditemui bahwa diberbagai daerah jumlah petani yang memiliki tanah garapan sendiri lebih sedikit daripada petani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri. Untuk itu diperlukan suatu cara yang dapat mendorong pembagian tanah yang merata serta memperluas kesempatan kerja, dengan mengadakan transaksi tanah atau melakukan perjanjian atas pengolahan tanah, baik terhadap hal yang bersangkutan langsung dengan tanah ( perjanjian tanah) maupun * A.Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat, Dahulu, Kini, Dan Akan Datang, Prenadamedia, Jakarta. 2014. him. 120. ° Sumitro, Konsep Pertanahan Nasional, Bandung;Alfabeta, 2001, hlm.62 Galen Suny -384- Sang Guru segala hal yang bersangkutan dengan tanam tumbuh diatas tanah ( perjanjian yang menyangkut tanah). Transaksi tanah merupakan perbuatan pemilikan tanah dan peralihan hak-hak atas tanah. Pemilikan tanah merupakan perjanjian sepihak yang menyebabkan timbulnya hak milik tanah sedangkan peralihak hak-hak tanah merupakan perjanjian antara dua pihak.’ Contoh perjanjian tanah adalah: jual lepas, jual gadai, jual tahunan. Dalam perjanjian tanah apabila dilaksanakan menyebabkan timbulnya hak milik atau hak penguasaan tanah. Sedangkan Perjanjian yang menyangkut tanah dimaksudkan semua perjanjian dimana bukan tanah yang menjadi objek perjanjian, melainkan tanah sebagai tempat atau sesuatu yang terlibat oleh perjanjian itu. Jadi bukan hak tanah yang beralih dari pemilik tanah kepada pembeli, melain.kan pemilik tanah atau pemegang hak tanah memberi kesempatan kepada orang lain untuk bekerja, menanam, memungut hasil, menikmati_hasil, menikmati tanah atau sebagai benda jaminan atas pemakaian uang.” Il. Pembahasan A. Hukum Tanah Nasional Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya berupa konsepsi, asas-asas dan lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut hukum adat. Hukum tanah yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat, berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah nasional positif yang tertulis. UUPA merupakan hasil yang pertama.” Hukum tanah nasional disusun berdasarkan hukum_ adat tentang tanah, dinyatakan dalam konsideran UUPA. Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA dapat ditemukan dalam " Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Bandung: Alumni, 2003. him.115. * Ibid, him 153 ° A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat, Kini dan Akan Datang. Jakarta:Prenadamedia Group, hlm.138. Galan Sarg Sarg Guru - 385 - penjelasan umum angka III (1), Pasal 5 yaitu : “ Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Dalam Penjelasan Pasal 5 UUPA, dinyatakan bahwa “ penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 16 dinyatakan bahwa “ pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 4, sesuai dengan asas yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuanj hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat...”. Hukum adat yang dimaksud dalam UUPA adalah hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasakan keseimbangan serta diliputi suasana keagamaan." Hal ini berdasarkan Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta tahun 1975. Adanya pasal-pasal dalam UUPA yang secara’ khusus | menyebutkan mengenai hukum _ adat, membuktikan bahwa hukum adat diakui serta tetap dipertahankan karena hukum adat merupakan gambaran khas dari daerah-daerah tertentu yang patut dipertahankan. Penggunaan hukum adat sebagai pelengkap hukum yang tertulis dalam pembentukan hukum tanah nasional yang digunakan sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya. Pendekatan yang demikian bukan berarti bahwa hukum adat tidak harus merupakan rangkaian norma-norma hukum saja, yang dirumuskan dari sikap, tindakan dan tingkah laku para warga masyarakat hukum *° Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 5 dan penjelasannya ™ Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2008. him.179. Yalan Samy - 386 ~~ Sarg Guru adat, sebagai pengejawantahan konsepsi dan asas-asas pengaturan peri kehidupannya, demikian juga lembaga-lembaga hukum dan sistemnya. Semua nya membuat hukum adat menjadi hukum yang berbeda dengan perangkat bidang-bidang hukum positif lain, dan menjadikan hukum adat menjadi hukum yang khas di Indonesia." B. Transaksi Tanah Menurut Hukum Adat 1, Jual Lepas Transaksi jual lepas adalah peralihan hak atas tanah dari satu pihak kepada pihak lain untuk selamanya setelah transaksi itu terjadi. Pihak pertama yang mengalihkan haknya atas tanah mempunyai kewajiban menyerahkan tanahnya itu kepada pihak kedua. Sebaliknya pihak kedua mempunyai hak menerima tanah itu disertai kewajiban membayar secar tunai kepada pihak pertama yang berhak menerima uang atau barang sebagai harga atas tanah. Dalam kehidupan sehari- hari jual lepas ini dikenal dengan istilah jual beli tanah. Jual beli tanah menyebabkan beralihnya hak milik tanah dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya, dalam bahasa Jawa disebut “adol plas”. Menurut beberapa sarjana menyatakan tentang jual beli tanah adalah: “ (1) Van Vollen Hoven : Jual lepas dari sebidang tanah atau perairan ialah penyerahan dari benda itu dihadapan petugas-petugas hukum adat dengan pembayaran sejumlah uang pada saat itu atau kemudian, (2) S.A.Hakim : Jual lepas adalah penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk selama-lamanya dengan penerimaan uang tunai (atau dibayar dahulu untuk sebagian) disebut sebagai uang pembelian, (3) Imam Sudiyat : Menjual lepas yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai tanpa hak menebus kembali, jadi penyerahan itu berlaku untuk seterusnya atau selamanya. aa ee » Boedi Harsono, Ibid, hlm.180-181. * Hilman Hadikusuma, Op Cit, him: 120 - 121 "Sang Guru - 387 - Perbuatan jual lepas adalah perbuatan tunai yang berlaku secara riil dan konkrit artinya nyata dan jelas. Penyerahan benda dan pembayaran harganya terjadi dengan tunai, barang sudah diserahkan dan pembayaran harga sudah dilaksanakan secara tunai. Pada kenyataannya masih banyak berlaku jual beli tanah cukup disaksikan oleh kerabat_ tetangga dan kepala kampung. Setelah ijab kabul terjadi, uang pembayaran telah diterima dan tanah telah beralih kepemilikannya pada pembeli. Menurut hukum negara, transaksi tanah harus dilakukan secara terang artinya harus dilakukan di depan kepala adat , saat ini wewenang kepala adat diambil oleh negara, melalui atau dihadapan Notaris / PPAT. Dalam hukum negara, menurut Pasal 19 UUPA, pada intinya dikatakan bahwa demi kepastian hukum, oleh pemerintah dilakukan pendaftaran hak atas tanah. Pendaftaran hak atas tanah sudah termasuk peralihan hak atas tanah. Dari pendaftaran itu diberikan bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti kuat yang disebut sertifikat.'” Dasar Pelaksanaan Pasal 19 UUPA berbunyi: setiap perjanjian yang bermaksud) memindahkan hak atas _ tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanahsebagai jaminan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapanpejabat yang ditunjuk oleh menteri agraria. 2. Jual Gadai Jual gadai terjadi jika seseorang pemilik tanah (penjual gadai) sangat membutuhkan uang kemudian meminjam sejumlah uang dari seseorang, pemilik uang (pembeli gadai) dengan jaminan sebidang tanah. Jika suatu saat si penjual gadai telah mampu menebus kembali tanahnya, maka tanah itu harus dikembalikan kepada pemiliknya (penjual gadai). Transaksi tanah yang disebut jual gadai adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli dengan harga tertentu dan dengan hak menebusnya kembali. Dalam hal ini sebenarnya yang dijualbelikan * Hilman Hadikusuma, Ibid, hlm. 123 st. Laksanto Utomo, Hukum Adat, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. 2014 him.39. -388- Sang Guru bukan hak milik atas tanah, tetapi hak menguasai tanah. Pembeli akan menguasai tanah, memakai, mengolah, menikmati hasil dari tanah gadai itu. Selama tanah gadai itu belum ditebus oleh pemilik tanah atau penggadai, maka tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai atau pembeli gadai. Dari pengertian gadai tersebut terdapat beberapa unsur yang penting dalam jual gadai yaitu: ada nya penyerahan tanah (1), adanya pembayaran uang gadai (2), adanya pengembalian tanah gadai (3), adanya pengembalian uang gadai. (1) Jual gadai merupakan kesepakatan antara pemberi gadai dengan penerima gadai, maka sejak saat itu hak penguasaan atas tanah yang tergadai tersebut beralih kepada pemegang gadai. Selama transaksi gadai berlangsung maka pemegang gadai yang mengua§Sai tanah itu, tetapi ia tidak boleh menjual lepas tanah itu kepada pihak lain. Pemegang gadai boleh menggadaikan kembali tanah tersebut jika ia membutuhkan uang selama dalam perjanjian gadai, yaitu dengan cara mengalihkan gadai dan menganakkan gadai."° “Mengalihkan gadai” yaitu menggadaikan tanah gadai itu lagi kepada orang lain atas persetujuan pemilik tanah, sehingga hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemegang gadai pertama beralih pada pemegang gadai kedua. Sedangkan yang dimaksud dengan “ menganakkan gadai” adalah pemegang gadai pertama menggadaikan lagi tanah itu kepada pemegang gadai kedua tanpa persetujuan pemilik tanah. Hubungan hukum berlaku antara pemilik tanah dengan pemegang gadai pertama dan antara pemegang gadai pertama dengan pemegang gadai kedua. Waktu gadai kedua harus sudah selesai sebelum masa gadai pertama habis. Sehingga apabila pemilik tanah akan menebus kembali tanah gadainya, maka pemegang gadai kedua harus segera mengembalikan tanah gadai itu kepada pemegang gadai pertama kemudian pemegang gadai pertama menyerahkan kembali tanah gadai itu kepada pemilik tanah. (2) Pembayaran uang gadai, pada saat penyerahan tanah gadai oleh pemberi gadai maka penerima gadai berkewajiban membayar *© Hilman Hadikusuma, Pengantar limu Hukum Adat indonesia, Bandung: Mandar Maju,2003, him.224-226. "Sang Guru - 389 - uang gadai kepada pemberi gadai sejumlah uang yang telah disepakati bersama. Selama mereka terikat dalam perjanjian gadai maka pemberi gadai tidak bisa meminta uangnya kembali sebelum masa perjanjian habis, kecuali diperjanjikan lain. (3) | Pengembalian tanah gadai, setelah pemberi gadai mempunyai kemampuan untuk membayar uang tebusan, maka pemegang pemberi gadai harus mengembalikan tanah gadai kepada pemberi gadai. Kondisi tanah harus dalam keadaan sama seperti saat awal terjadinya transaksi gadai. (4) Pengembalian uang gadai, uang tebusan harus dikembalikan oleh penerima gadai sekaligus. Apabila pembayaran dilakukan secara angsuran (kesepakatan kedua belah pihak) maka penebusan dianggap terjadi terjadi saat angsuran terakhir dibayar. Pelaksanaan transaksi gadai pada dasarnya adalah merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain untuk melakukan perjanjian jual gadai yang objek tanah. 3. Jual Tahunan Transaksi Jual Tahunan ialah perjanjian penyerahan sebidang tanah oleh sesorang kepada orang lain dan setelah beberapa tahun sebagaimana ditentukan, tanah tersebut di kembalikan lagi kepada pemilik tanah. Pemilik tanah menyerahkan tanah miliknya kepada orang lain (penggarap) untuk beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari penggarap. Setelah habis waktu tahun panen yang dijanjikan maka penggarap mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kembali tanah itu kepada pemiliknya. Biasanya jual tahunan ini berlaku untuk 1-3 tahun panen. Lama waktu tahun panen tergantung dengan jenis tanaman yang diusahakan penggarap. Bentuk transaksi jual tahunan kebanyakan berlaku dikalangan masyarakat Jawa.” Dengan demikian hak-hak yang diperoleh pembeli tahunan adalah hak mengelola tanah, menanami dan memetik hasilnya dan berbuat terhadap tanah itu seakan-akan miliknya sendiri. Pembeli * Hilman Hadikusuma, Ibid. him.227 tahunan dilarang untuk menjual atau menyewakan tanah itu, kecuali seizin pemilik tanah.”* C. Transaksi Yang Menyangkut Tanah Perjanjian yang menyangkut tanah dimaksud semua perjanjian dimana bukan tanah yang menjadi objek perjanjian, melainkan tanah sebagai tempat atau sesuatu yang terlibat oleh perjanjian itu, dalam hal ini perjanjian yang berhubungan dengan kekaryaan, pengolahan, memungut hasil, menikmati hasil tanah atau tanah tersebut dijadikan jaminan atas pemakaian uang, jadi tanah hanya tersangkut saja, bidang tanah seolah-olah hanya sebagai perjanjian pelengkap dari perjanjian pokok." Bentuk-bentuk transaksi menyangkut tanah adalah : 1. Perjanjian Bagi Hasil Perjanjian bersangkutan dengan tanah, tetapi tidak dapat dikatakan berobjek tanah.. Dasar perjanjian ini adalah pemilik tanah mempunyai sebidang tanah tetapi ia tidak ada kesempatan atau waktu untuk mengusahakan sendiri tanahnya sampai_ berhasil. Sehingga pemilik tanah membuat suatu perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan, menanaminya dan pada akhirnya penggarap (orang lain tersebut) akan memberikan sebagian hasil panennya kepada pemilik tanah.”° Perjanjian bagi hasil ini berfungsi dan untuk membuat berhasilnya pemilik tanah tanpa sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan dari orang lain yang tidak memiliki tanah sendiri. [stilah perjanjian bagi hasil di daerah Jawa disebut paroan (maro). Perjanjian bagi hasil merupakan suatu kebiasaan yang sering terjadi pada masyarakat didaerah pedesaan yang mayoritas penduduknya petani. Perjanjian ini sifatnya tolong menolong sesama petani, baikn itu pemilik tanah atau orang yang menggarap tanah tersebut. Unsur positif perjanjian bagi hasil ini adalah perimbangannya didasarkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak dan terjaminnya kedudukan '® Imam Sudiyat, Hukum Adat (Sketsa Asas), Yogyakarta: Liberty,2007. him.28 ® Hilman Hadikusuma, Op Cit. hlm.228. °° Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta:Pradnya Paramita, 2007. hlm.102. "Sang Guru -391 - hukum yang layak bagi penggarap dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban, baik dari penggarap maupun pemilik tanah. Latar belakang terjadinya transaksi bagi hasil ini antara lain:” a. Bagi pemilik tanah, mempunyai tanah tetapi tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk mengerjakan tanahnya_ sendiri, berkeinginan mendapatkan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan kepada orang lain mengerjakan tanah miliknya. b. Bagi penggarap, bahwa ia tidak/belum mempunyai tanah garapan dan atau tidak mempunyai pekerjaan tetap, penggarap mempunyai kelebihan waktu bekerja karena memiliki tanah terbatas luasnya, serta penggarap berkeinginan mendapatkan tambahan hasil garapan. Perjanjian bagi hasil diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil (untuk selanjutnya disebut UU Bagi Hasil). Pasal 1 butir 3 UU Bagi Hasil , yang dimaksud perjanjian bagi hasil ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak ldin yang dalam undang-undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak. Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanahnya, mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua. Pengertian hasil tanah alah usaha_ pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap setelah dikurangi untuk bibit dan pupuk serta biaya untuk menanam dan memanen hasil.”” Menurut ketentuan UU Bagi Hasil, Pasal 4 , ayat (2) menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil diadakan untuk jangka waktu yang dinyatakan didalam suatu perjanjian tersebut dalam Pasal 3 dengan 21 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Alumni,2003. him.154. 2 parlindungan, Undang-Undang Bagi Hasil di Indonesia (Suatu Studi Komperatif), 2000. Bandung:Mandar Maju.HIm.18. -392- Sag Gre ketentuan bahwa bagi sawah waktunya adalah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun. Dengan adanya ketentuan mengenai jangka waktu perjanjian yang ditetapkan dalam Pasal diatas maka terjaminlah bagi penggarap akan memperoleh tanah garapan selama waktu yang layak. Bahwa yang dimaksud dengan “tahun” ialah “tahun tanam” jadi bukan “tahun kalender. Jangka waktu yang cukup akan memberikan kesempatan kepada penggarap untuk mengupayakan mendapat hasil sebanyak mungkin, Perimbangan pembagian bagi hasil biasanya disesuaikan dengan kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap, cenderung bervariasi, ada yang membagi : % untul pemilik dan % untuk penggarap, 1/3 untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap, 2/3 untuk pemilik dan 1/3 untuk penggarap. Besarnya imbangan tersebut juga tergantung dengan siapa subyek bagi hasilnya, kondisi kebun, letak kebun dan lain sebagainya. Pasal 3 (1) UU Bagi Hasil, semua perjanjian bagi hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala desa atau daerah yang setingkat dengan tempat letaknya tanah yang bersangkutan dan dipersaksikan oleh 2 (dua) orang, masing- masing dari pihak pemilik dan pihak penggarap dan disahkan oleh Camat. 2, Perjanjian Sewa Tanah Transaksi sewa tanah adalah transaksi yang ada hubungannya dengan tanah dimana pemilik tanah mengizinkan tanah miliknya dikerjakan oleh orang lain atau untuk trmpat tinggal sementara waktu dengan menerima pembayaran sejumlah uang dari pihak lain itu.”’ Pengertian sewa disini sesungguhnya lebih luas dari pengertian jual tahunan ( jual tahunan merupakan salah satu bentuk dari penyewaan tanah. Biasanya orang-orang menyewa sebidang tanah milik orang lain untuk tempat membangun kedai kopi, tempat bengkel mobil, tempat usaha dagang dan lain sebagainya. ?* St.Laksanto Utomo, Op Cit, him. 44, Pembayaran uang sewa dapat dilakukan dimuka, jika demikian transaksi itu sama dengan transaksi jual tahunan. Pada umumnya jika sewa dilakukan oleh perusahaan maka uang sewanya dilakukan di belakang karena perjanjian sewa itu untuk jangka waktu yang lama. Transaksi ini objeknya adalah hasil pertanian atau perkebunan. Dasarnya adalah investasi (uang) dengan tanah sebagai sarananya. Jika transaksi sewa ini dilakukan dengan perusahaan besar atau pemilik modal besar, selalu dilakukan dihadapan notaris.' — Dengan melibatkan notaris maka hukum yang berlaku baginya adalah hukum negara. Tetapi jika sewa dilakukan antar petani kecil, maka hukum yang berlaku adalah hukum rakyat yaitu hukum yang sedang berlaku di lingkungan masyarakat setempat. Hukum ini bersumberkan késepakatan dan konsesnsus para pihak t saling percaya yaitu kejujuran, kesetaraan dan kepatutan. 3. Perjanjian Berganda Perjanjian berganda atau perjanjian terpadu ialah perjanjian yang menyangkut tanah dimana terdapat perpaduan (kombinasi) perjanjian antara perjanjian pokok dengan perjanjian tambahan yang berjalan bersama. Misalnya perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa * berjalan bersama dengan perjanjian gadai atau perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa berjalan bersama dengan perjanjian jual tahunan. Dalam pelaksanaannya X menggadaikan tanahnya kepada Y, kemudian X yang mengolah tanah itu dengan perjanjian bagi hasil dengan Y, maka perjanjian pokoknya adalah “jual gadai” sedangkan perjanjian tambahannya adalah “bagi hasil”. Terjadinya perjanjian ganda ini disebabkan setelah terjadinya perjanjian pokok maka timbul perjanjian tambahan. Setelah terjadinya jual gadai maka pemegang tanah gadai mengizinkan penggadai untuk mengusahakan atau menggarap tanahnya sendiri dengan perjanjian bagi hasil, penggadai berkedudukan sebagai pemaro (menyewa tanah). Dengan demikian transaksi tersebut mirip dengan pinjam uang dengan jaminan tanah, karena bidang tanahnya masih tetap diusahakan oleh pemilik tanah, bukan oleh pembeli gadai. Jika terjadi ** st.Laksanto Utomo, Ibid, him. 44 -394- Satg Guru kelalaian pihak pemaro atau penyewa tanah, tidak memberi bagian hasil dengan baik atau tidak membayar sewa dengan baik kepada pembeli gadai , maka selama gadai belum ditebus atau selama waktunya belum habis, si pembeli gadai dapat memutuskan perjanjian bagi hasil atau sewa tadi dengan pemilik tanah selaku penggarap atau penyewa dan memberikan kesempatan kepada orang lain. 4, Perjanjian Tanah sebagai Jaminan Tanah dijadikan jaminan kebanyakan terjadi dalam hubungan dengan hutang piutang uang atau barang yang bernilai besar.Misalnya A berhutang uang tunai atau padi kepada B dengan memberikan jaminan tanah pekarangan. Apabila dikemudian hari ternyata A tidak dapat membayar hutangnya pada B, maka B dapat bertindak atas tanah yang dijadikan jaminan tersebut untuk memiliki tanah jaminan itu atas dasar jual beli dengan A atau menjual tanah jaminan itu kepada orang lain dengan memperhitungkan piutangnya kepada A. Nilai harga tanah jaminan itu biasanya lebih tinggi dari besarnya hutang, menurut perkiraan harga pasaran ketika perjanjian hutang piutang itu diadakan. Berbeda dengan jual gadai atau jual tahunan, maka tanah bukan sebagai objek perjajian tetapi disini sebagai benda yang ikut bertanggungjawab terhadap hutang, artinya jika siberhutang lalai atau tidak melunasi hutangnya maka tanah dapat dialihkan hak penguasaannya atau pemilikannya kepada siberpiutang untuk mana diperhitungkan sisa hutang yang belum dilunasi.”” Perbedaan lain, dalam hal jual gadai, uang gadai tidak dapat ditagih kepada penggadai oleh pemegang gadai sedangkan dalam hal pinjaman dengan jaminan apabila sampai waktunya atau karena kelalaian siberhutang membayar hutang maka dapat ditagih dan dituntut pengembaliannya oleh siberhutang, Begitu pula jika tanah Jaminan tidak boleh dialihjaminkan kepada orang lain, dan jika tanah Jaminan itu musnah maka hutang tetap harus dibayar atau diganti dengan jaminan benda lainnya. * Hilman Hadikusuma, Op Cit. him.160. Sag Guru - 395 - i. Penutup Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena setiap manusia membutuhkan tanah, baik sebagai tempat tinggal, tempat usaha ataupun tempat untuk bercocok tanam. Tetapi pada saat ini jumlah luas tanah y: ang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali, karena permintaan akan tanah semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh pertambahan yang menyangkut tanah jumlah penduduk, _ lingkungan perumahan —semakin meningkat, makin pesatnya pembangunan industri dan sektor-sektor lain yang menggunakan tanah sebagai tempat untuk usahanya. Di Indonesia masih sering di jumpai jumlah petani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri lebih banyak daripada jumlah petani yang memiliki tanah garapan sendiri. Untuk itu diperlukan suatu cara yang dapat mendorong dan membantu pembagian tanah yang merata serta memperluas kesempatan kerja. Untuk mencapai harapan dilakukan suatu transaksi tanah tersebut maka di masyarakat dan transaksi yang menyangkut tanah. Transaksi tanah biasanya dilakukan dengan transaksi jual lepas, transaksi jual gadai dan transaksi jual tahunan.Dalam hal ini tanah +menjadi objek perjanjian. Sedangkan Transaksi yang menyangkut tanah dilakukan dengan mengadakan perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa tanah, perjanjian berganda dan perjanjian dengan tanah sebagi jaminan, Dalam hal ini objeknya bukan tanah melainkan kekaryaannya, pengolahannya atau tanah dijadikan sebagai jaminan. Daftar Pustaka AB, Wiranata, | Gede. 2009. Hukum Adat di Persimpangan. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Haar Ter (Terjemahan). 1978. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Jakarta: Pradnya Paramita. _.2007. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Hadikusuma Hilman. 2003. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Alumni. Bandung: Mandar Maju. _ 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Harsono Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan. - 396 - Sang Guru Mustari Pide, A Suriyaman. 2014, Hukum Adat, Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta: Prenadamedia. Perlindungan. 2000. Undang-undang Bagi Hasil di Indonesia (Suatu Studi Komperatif). Bandung: Mandar Maju. Rinakit, Sukardi dan Muwarti B. Rahardjo. 1996. Pemberdayaan Masyarakat Petani dalam Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Onny S Prajono dan Amw Pranaka. Sumitro. 2001. Konsep Pertanahan Nasional. Bandung: Alfabeta. Sudiyat Imam. 2007. Hukum Adat (Sketsa Asas) Yogyakarta: Liberty. Utomo, St Laksanto. 2014. Hukum Adat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Perundang-Undangan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Sang Guru - 397 -

Anda mungkin juga menyukai