Makalah Dan Askeb Stunting Kel - Buk Erlina
Makalah Dan Askeb Stunting Kel - Buk Erlina
DISUSUN OLEH :
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “Asuhan Kebidanan Balita
Dengan Stunting Di Puskesmas Sipiongot Kec. Dolok Tahun 2022”. Pada penulisan
makalah ini, kami berusaha mengumpulkan semua informasi terkait materi tersebut. Makalah
ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama mahasiswa kesehatan.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini tidaklah sempurna, masih banyak
kelebihan dan kekurangan di dalam penulisan makalah ini, baik dalam segi bahasa dan
pengolahan maupun dalam penyusunan. Untuk itu, kami sangat mengharapkan saran yang
sifatnya membangun demi mencapainya suatu kesempurnaan dalam makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
1.3 Tujuan Umum..................................................................................................... 3
1.4 Tujuan khusus..................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4
2.1 Definisi Stunting................................................................................................ 4
2.2 Faktor Penyebab Stunting .................................................................................. 4
2.3 Penilaian Stunting Secara Antropometri ............................................................ 11
2.4 Dampak Stunting ................................................................................................ 12
2.5 Upaya Pencegahan Stunting Pada Balita............................................................ 13
BAB III TINJAUAN KASUS........................................................................................... 15
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 21
4.1 Kesimpulan......................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
ekonomi yang mempengaruhi stunting yaitu status ekonomi orang tua dan ketahanan
pangan keluarga.
2. Status ekonomi orang tua dapat dilihat berdasarkan pendapatan orang tua. Pendapatan
keluarga merupakan pendapatan total keluarga yang diperoleh dari berbagai sumber,
yaitu hasil kepala keluarga, hasil istri, hasil pemberian, hasil pinjaman, dan hasil usaha
sampingan per bulan.
Menurut Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2002 dan UU Pangan No 18 Tahun 2012
tentang Ketahanan Pangan, maka ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan konsumsi pangan yang cukup merupakan
syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga. Ketidaktahanan pangan dapat
digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas
dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Ketahanan pangan
keluarga erat hubungannya dengan ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor
atau penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada status gizi anak. Gizi buruk
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada balita, sehingga tinggi badan anak tidak
sesuai dengan umurnya atau disebut dengan balita pendek atau stunting.
Stunting yang terjadi pada balita dapat berdampak pada pertumbuhan dan
perkembangan intelektual anak. Secara tidak langsung dampak tersebut dapat berakibat
pada penurunan produktivitas, peningkatan risiko penyakit degenaratif, peningkatan
kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah di masa mendatang. Dampak tersebut dapat
meningkatkan kemiskinan dimasa yang akan datang dan secara tidak langsung akan
mempengaruhi ketahanan pangan keluarga. Stunting pada balita di negara berkembang
dapat disebabkan karena faktor genetik dan faktor lingkungan yang kurang memadai untuk
tumbuh kembang anak yang optimal. Salah satu faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi terjadinya stunting pada balita yaitu pendapatan orang tua. Pendapatan
orang tua yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat
menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder. 7
Sedangkan, apabila pendapatan orang tua rendah maka sebagian besar pendapatan akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehingga dapat menyebabkan keluarga
rawan pangan. Keluarga yang pemiliki pendapatan rendah dan rawan pangan dapat
menghambat tumbuh kembang balita (stunting).
Indikator status gizi ini berdasarkan indeks BB/U yang memberikan informasi
mengenai indikasi masalah tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut kerenan
2
berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah
dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronik) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius
bila prevalensi gizi burukkurang antara 20,0-29,0 persen dan dianggap prevalensi sanggat
tinggi bila > 30 persen (WHO, 2010).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan tubuh dan otakanak.
Hasil Riskesdas 2013 menyebutkan kondisi konsumsi makanan ibu hamil dan balita
tahun 2016 - 2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu
hamil kurang kalori dan protein, 7 dari 10 Balita kurang kalori, serta 5 dari 10 Balita kurang
protein. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu,
kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan
hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses
sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
anak. Untuk mencegahnya, perbanyak makan makanan bergizi yang berasal dari buah dan
sayur lokal sejak dalam kandungan. Kemudian diperlukan pula kecukupan gizi remaja
perempuan agar ketika dia mengandung ketika dewasa tidak kekurangan gizi. Selain itu
butuh perhatian pada lingkungan untuk menciptakan akses sanitasi dan air bersih
(kemenkes, 2018).
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa
penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus
kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi
dalam 2 tahun pertama kehidupan. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan
stunting pada anak.
Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak
langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya
penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh,pelayanan
kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor
lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).
a. Faktor langsung
1) Asupan gizi balita
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan
mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami
kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik
sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya.
Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar
keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita yang
normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima
5
tidak mencukupi. Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan
bahwa energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada
level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan
penyebab terjadinya anak balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
2) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting,
Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat
dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi
kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah
terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang
diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi
pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran
pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya
dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas
lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian
yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang
menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting
pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012).
3) Jenis kelamin
Menurut Ramli et al (2009), bayi perempuan dapat bertahan hidup dalam jumlah
besar daripada bayi laki laki di kebanyakan negara berkembang termasuk
Indonesia. Penyebab ini tidak dijelaskan dalam literatur, tetapi ada kepercayaan
bahwa tumbuh kembang bayi laki-laki lebih dipengaruhi oleh tekanan lingkungan
dibandingkan anak perempuan(Hien & Kam, 2008).
4) Berat badan lahir rendah
Menurut Kusharisupeni (2007),penyebab bahwa ibu dengan gizi kurang sejak
awal sampai akhir kehamilan dan menderita sakit akan me;alhirkan bayi
BBLR,yang kedepannya menjadi anak stunting.
5) Asupan protein rendah
Fitri (2012),,berdasarkan Analisa dari RISKESDAS 2010 provinsi yang
berbeda,terdapat hubungan signifikan antara konsumsi protein dan kejadian
stunting.
6
b. Faktor tidak langsung
1) Ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan
asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak
balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-
rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada
standar rujukan WHO 2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan
masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga
melibatkan lintas sektor lainnya. Ketersediaan pangan merupakan faktor
penyebab kejadian stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi
oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang
digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan beberapa ciri
rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011). Penelitian di
Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah
merupakan factor risiko kejadian stunting (Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian
yang dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting
dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu
defisit pangan dalam keluarga (Paudel et al, 2012).
2) Status gizi ibu saat hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut
dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indicator
pengukuran seperti :
a) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah
untuk menentukan anemia atau tidak;
b) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan gizi masa lalu dari
ibu untuk menentukan KEK atau tidak;
c) Hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan
berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil
(Yongky, 2012; Fikawati, 2010).
3) Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status KEK ibu
tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kekurangan energi
dan protein dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor
7
predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang kurang dan
adanya faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu hamil
dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan dan
keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu yang
mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor yang berhubungan
dengan kejadian KEK adalah pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan
status anemia (Rahmaniar dkk, 2013). Kekurangan energi secara kronis
menyebabkan cadangan zat gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan
tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan baik
pertumbuhan maupun perkembangannya. Status KEK ini dapat memprediksi
hasil luaran nantinya, ibu yang mengalami KEK mengakibatkan masalah
kekurangan gizi pada bayi saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi
dengan panjang badan pendek (Najahah, 2013). Selain itu, ibu hamil dengan KEK
berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan
lahir rendah dan BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak
adekuat. Hubungan antara stunting dan KEK telah diteliti di Yogyakarta dengan
hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat
hamil dapat meningkatkan risiko kejadian stunting pada anak balita umur 6-24
bulan (Sartono, 2013).
4) Kadar Hemoglobin
Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya
kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada
banyak faktor predisposisi dari anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin
B12, dan asam folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit
kronis ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri (Moegni dan Ocviyanti,
2013). Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat kehamilan
keperluan akan zat makanan bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam
darah dan sumsum tulang (Wiknjosastro, 2009). Nilai cut-off anemia ibu hamil
adalah bila hasil pemeriksaan Hb <11,0 g/dl (Kemenkes R.I,2013). Akibat anemia
bagi janin adalah hambatan pada pertumbuhan janin, bayi lahir prematur, bayi
lahir dengan BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi kurang sedangkan akibat
dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan komplikasi, gangguan pada saat
persalinan dan dapat membahayakan kondisi ibu seperti pingsan, bahkan sampai
8
pada kematian (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Kadar hemoglobin saat ibu
hamil berhubungan dengan panjang bayi yang nantinya akan dilahirkan, semakin
tinggi kadar Hb semakin panjang ukuran bayi yang akan dilahirkan (Ruchayati,
2012). Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko kejadian stunting,
sehingga secara tidak langsung anemia pada ibu hamil dapat menyebabkan
kejadian stunting pada balita.
5) Kenaikan berat badan ibu saat hamil
Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT saat
sebelum ibu hamil. Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam status kurang gizi
maka penambahan berat badan seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan ibu
yang status gizinya normal atau status gizi lebih. Penambahan berat badan ibu
selama kehamilan berbeda pada masing–masing trimester. Pada trimester
pertama berat badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester
ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu selama
hamil sekitar 9- 12 Kg (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).Pertambahan berat
badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status
kelahiran bayi (Yongky, 2012). Penambahan berat badan saat hamil perlu
dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi
sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan
rendah, prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak
balita.
6) Berat badan lahir
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan
jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa (2012)
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir
dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami
hambatan pada pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi
kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan
terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Banyak penelitian yang
telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting
diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta menyatakan hal
yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting
9
(Sartono, 2013). Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi juga menyatakan
prediktor terkuat kejadian stunting adalah BBLR (Milman, 2005).
7) Panjang badan lahir
Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan
bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki
panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada
panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010). Panjang badan lahir pendek
dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan.
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang badan yang
seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, umur kehamilan dan pola
asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting. Panjang
badan lahir merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada balita
(Anugraheni, 2012; Meilyasari, 2014).
8) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa
menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain yang
diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I,
2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan
pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga penting karena pada umur ini,
makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam
usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan
dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2012). Manfaat dari
ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh,
pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat
meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak.Penelitian yang
dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian stunting disebabkan
oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak Eksklusif,
pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan
faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak
Eksklusif (Al-Rahmad dkk, 2013). Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada
tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting
dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI,
10
riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak
antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI (Arifin
dkk, 2012). Berarti dengan pemberian ASI Eksklusif kepada bayi dapat
menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang
pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
9) MP-ASI
Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman selain
ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian makanan
peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan
dengan pemberian ASI kepada bayi (Muhilal dkk, 2009). Makanan pendamping
ASI adalah makanan tambahan yang diberikan pada bayi setelah umur 6 bulan.
Jika makanan pendamping ASI diberikan terlalu dini (sebelum umur 6 bulan)
akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi bisa mengalami gangguan pencernaan.
Namun sebaliknya jika makanan pendamping ASI diberikan terlambat akan
mengakibatkan bayi kurang gizi, bila terjadi dalam waktu panjang (Al-Rahmad,
2013). Standar makanan pendamping ASI harus memperhatikan angka
kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan tekstur makanan
sesuai perkembangan umur bayi (Azrul, 2004). Penelitian yang dilakukan di
Purwokerto, menyatakan bahwa umur makan pertama merupakan faktor resiko
terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari, 2014). Pemberian MP-ASI
terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare hal ini terjadi
karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat
gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare jika tidak diganti
akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat menimbulkan dehidrasi
parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Meilyasari, 2014).
11
berdasarkan rekomendasi National Canter of Health Statistics (NCHS) dan WHO.
Standarisasi pengukuran ini membandingkan pengukuran anak dengan median, dan
standar deviasi atau Z-score adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan
Antara nilai individu dan nilai tengah (median) populasi referent untuk umur/tinggi
yang sama, dibagi dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan.
Beberapa keuntungan penggunaan Z-score antara lain untuk mengidentifikasi nilai
yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan peredaan umur, juga memberikan
manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistic dari pengakuan antropometri.
Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur adalah penting dalam
mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak pada wilayah dengan banyak
masalah gizi buruk. Dalam menentukan klasifikasi gizi kurang dengan
stunting sesuai dengan “Cut off point”, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran
pada anak balita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) standar baku
WHO-NCHS (WHO 2006).
Berikut Klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U:
a. Sangat pendek : Z-score < -3,0
b. Pendek : Z-score < -2,0 s.d Z-score ≥ -3,0
c. Normal : Z-score ≥ -2,0
12
sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar
untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat
dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan
prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang
selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang
(UNICEF, 2012).
Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan
perempuan di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang
menunjukkan hubungan antara perawakan orang dewasa yang lebih pendek dan hasil pasar
tenaga kerja seperti penghasilan yang lebih rendah dan produktivitas yang lebih buruk
(Hoddinott et al, 2013). Anak-anak stunting memiliki gangguan perkembangan perilaku
di awal kehidupan, cenderung untuk mendaftar di sekolah atau mendaftar terlambat,
cenderung untuk mencapai nilai yang lebih rendah, dan memiliki kemampuan kognitif
yang lebih buruk daripada anak-anak yang normal (Hoddinott et al, 2013; Prendergast dan
Humphrey 2014). Efek merusak ini diperparah oleh interaksi yang gagal terjadi. Anak
yang terhambat sering menunjukkan perkembangan keterampilan motorik yang terlambat
seperti merangkak dan berjalan, apatis dan menunjukkan perilaku eksplorasi kurang, yang
semuanya mengurangi interaksi dengan teman dan lingkungan (Brown dan Pollitt 1996).
13
Upaya penanggulangan stunting menurut Lancet pada Asia Pasific
Regional Workshop (2010) diantaranya:
1. Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan)
2. Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (umur 6 bulan- 2 tahun)
3. Intervensi mikronutrien melalui fortifikasi dan pemberiam suplemen
4. Iodisasi garam secara umum
5. Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah
6. Intervensi tentang kebersihan dan sanitasi.
Di Indonesia upaya penanggulangan stunting diungkapkan oleh Bappenas
(2011) yang disebut strategi lima pilar, yang terdiri dari:
1. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak
2. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
3. Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam
4. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat
5. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam
kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya
setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi
zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya
mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (Eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi
Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain
mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah
apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau
pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi
dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat dilakukan pencegahan terjadinya
balita stunting (Kemenkes R.I, 2013).
14
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN BALITA DENGAN STUNTING
DI PUSKESMAS SIPIONGOT KEC. DOLOK
TAHUN 2022
I. PENGKAJIAN
1. Subyektif
a. Identitas Anak dan Orang tua
Nama bayi : An. N
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 3 tahun 3 bulan
Tanggal lahir : 30 Juli 2019
Anak ke :2
b. Riwayat penyakit yang lalu dan saat ini : Ibu mengatakan anaknya tidak pernah
menderita penyakit kronis atau
penyakit yang serius yang
memerlukan perawatan khusus.
c. Riwayat imunisasi : ibu mengatakan imunisasi anaknya
lengkap
d. Pola kebutuhan dasar
1) Pola Nutrisi
a) Makan : 3x/hari
b) Jenis : nasi, sayur
c) Porsi : setengah centong kecil
d) Minum : 3-4gelas/hari
15
e) Jenis : air putih dan susu
f) Masalah : anak susah minum air putih
2) Pola Eliminasi
a) BAK : 6-7x/hari
b) Warna : kuning pekat
c) Bau : khas
d) BAB : 1x/hari
e) Warna : kuning
f) Konsistensi : lunak
g) Bau : khas
h) Keluhan : tidak ada
3) Istirahat
a) Tidur siang : 2jam/hari
b) Tidur malam : 6-7 jam/hari
c) Masalah tidur : tidak ada
d) Kebersihan : Mandi 2x/hari
e) ganti pakaian : 2x/hari
f) gosok gigi : 2x/hari
g) keluhan : tidak ada
4) Aktivitas psikososial dan spiritual : Ibu mengatakan An N dapat
berinteraksi aktif dengan anggota
keluarga dan orang lain.
2. Pemeriksan Fisik
a. Keadaan Umum : baik /lemah
b. Kesadaran : composmentis/somnolen/koma
c. Antropometri
1) TB : 76cm
2) BB : 7 kg
3) LK : 45 cm
4) LD : 17 cm
5) LILA : 16 cm
6) Gigi : 20 gigi susu
16
d. Tanda-tanda vital
1) Pernafasan : 40x/ menit
2) Nadi : 90x/menit
3) Suhu : 36.50 C
e. Inspeksi
1) Kepala
a) Bentuk kepala : mesochepal. normal
b) Rambut & kulit kepala : rambut lebat, berwarna hitam, bersih kulit
kepala lembab, bersih , tidak ada odem
c) Muka : tidak ada , normal
d) Mata : simetris, tidak ada udem, kemerahan,
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterus
e) Hidung : simetris, normal , tidak ada secret
f) Mulut : mukosa bibir lembab, bersih, tidak ada bau
mulut, tidak terdapat caries, tidak ada
kelainan labio skisis maupun labiopalato
skisis
g) Telinga : simetris, tidak ada secret, bersih , normal
h) Leher : normal, tidak ada odem, tidak ada lesi, tidak
ada pembesaran kelenjar tyroid
3) Dada : simetris, pernafasan teratur, tidak ada
retraksi dinding dada
4) Abdomen : tidak ada pembesaran limpa dan hati,
normal, terdengar bising usus.
5) Genetalia : bersih , tidak ada odem, tidak ada kelainan
6) Ekstremitas Atas : simetris , tidak ada luka, tidak ada kelainan,
jari lengkap
7) Ekstremitas Bawah : simetris , tidak ada luka, tidak ada kelainan,
jari lengkap, reflek patela (+)
8) Anus : normal, erdapat lubang anus
17
f. Pemeriksaan Perkembangan (KPSP,TDD,TDL)
1) Pemeriksaan Kuisioner Pra Srining Perkembangan (KPSP)
No Pemeriksaan KPSP Usia 56 Bulan Ya Tidak
Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain
1 tanpa menjatuhkan kubus tersebut,kubus yang digunakan ukuran 2,5-5 Ya
cm
Apakah anak dapat bermain petak umpet,ular tangga,atau permainan
2 Ya
lain dimana ia ikut bermain dan mengikuti aturan bermain?
Dapatkah ank mengenakan celana panjang,kemeja, baju atau kaos kaki
3 tanpa dibantu?(tidak termasuk memasang kancing ,gesper atau ikat Ya
pinggang)
Dapatkah anak menyebutkan nama lengkap tanpa dibantu?jika tidak ia
4 Ya
hanya bisa menyebut sebagian namanya
Isi titik-titik di bawah ini dengan jawaban anak.jangan membantu
kecuali mengulangi pertanyaan "apa yang kamu lakukan jika kamu
5 kedinginan?,apa yang kamu lakukan jika kamu lapar?,apa yang kamu Tidak
lakukan jika lelah?,jawan ya bila anak menjawab ke 3 pertanyaaan tadi
dengan benar,bukan dengan gerakan atau isyarat.
6 Apakah anak dapat mengancingkan bajunya? Ya
Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan.jika perlu tunjukkan
7 caranya dan beri anak ands kesempatan melakukannya3 kali.dapatkah Ya
ia mempertahankan keseimbangan selama 6 detik atau lebih
Jangan mengoleksi/membantu anak.jangan menyebut kata "lebih
panjang". Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak.tanyakan
8 Ya
"mana garis yan glebih panjang.setelah anak menunjuk ,putar lembar
ini lagi dan ulangi pertanyaan.
Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar. Suruh
9 Tidak
anak menggambar seperti pada contoh.berikan 3 kali percobaan
Jangan memberi isyarat dengan telunjuk atau mats pada saat
memberikan perintah berikut."letakkan kertas ini di atas lantai",
10 Ya
"letakkan kertas ini di atas kamu","letakkan kertas ini dibelakang
kamu".jawab ya dika anak mengerti.
Jumlah ya: 8 dan tidak :2
Maka perkembangan anak tidak mengalami gangguan perkembangan
18
9 Suasana hati mudah berubah dengan cepat dan drastic Y
10 Ledakan kekesalan,tingkah laku ekplosif dan tak terduga Y
Jumlah 2
Nilai total : dididapatkan hasil dengan total : anak tidak mengalami GPPH
V. PERENCANAAN
1. Jelaskan hasil pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan mental emosional anak
pada orang tua
2. Jelaskan pada ibu tentang makanan yang bergizi dan seimbang untuk anak
3. Anjurkan ibu untuk melakukan penimbangan anak minimal 8 kali setahun dan
dilakukan SDIDTK (Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang) minimal 2
kali setahun,pemberian kapsul vitamin A setiap bulan Februari dan Agustus.
4. Menjelaskan pada ibu untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan
5. Jelaskan pada ibu anak perlu bermain,melakukan aktifitas fisik dan tidur
6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi pengobatan
7. Anjurkan kepada ibu untuk melakukan kunjungan posyandu terdekat untuk memantau
tumbuh kembang anak dan pemberian makanan tambahan.
VI. PENATALAKSANAAN
1. Menjelaskan kepada ibu tentang hasil pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan
anak .hasil pemeriksaan BB:7 kg ,PB: 76 cm , LK:45 cm, LILA: 16 cm , pertumbuhan
termasuk stunting .hasil pemeriksaan perkembangan KPSP normal perkembangan
mental emosional CHAT dan GPPH anak normal.
19
2. Menjelaskan kepada ibu tentang makanan yang bergizi dan seimbang untuk balita.
Masa tumbuh kembang anak membutuhkan zat gizi lengkap seperti
protein,karbohidtar,lemak,vitamin,dan mineral.jika tidak terpenuhi akan menghambat
proses tumbuh kembang pada tahan selanjutnya.
3. Menganjurkan ibu untuk melakukan penimbangan minimal 8 kali setahun dan
dilakukan SDIDTK minimal 2 klai setahun.pemberian vit A setiap bulan Februari dan
Agustus.tujuan pemantauan yang teratur untuk mendeteksi secara dini dan
menanggulangi bila ada penyakit dan gangguan tumbuh kembang,mencegah penyakit
serta memantau pertumbuhan dan perkembangan anak.
4. Menjelaskan kepada inu untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan.kebersihan
perorangan yang kurang akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan
saluran pencernaan seperti diare,cacingan,dll.
5. Menjelaskan pada ibu bahwa anak perlu bermain,melakukan aktifitas fisik dan
tidur.untuk merangsang hormone pertumbuhan,nafsu makan, merangsang
metabolism,karbohidrat, lemak dan protein,merangkasng pertumbuhan otot dan
tulang ,dan merangsang perkembangan anak.
6. Melakukan kolaborasi dengan dokter dan pemberian terapi pengobatan
7. Menganjurkan ibu untuk melakukan kunjungan posyandu setiap bulan untuk
memantau perkembangan dan pertumbuhan serta pemberian makanan tambahan.
VII.EVALUASI
1. .Pertumbuhan anak terdeteksi stunting
2. Ibu mengerti tentang penjelasan yang diberikan ,seperti pemenuhan gizi seimbang
untuk anak
3. Ibu akan melakukan penimbangan 8 kali setahun
4. Ibu mengerti tentang penjelasan tentang menjaga kebersihan diri dan lingkungan
5. Ibu mengerti tentang penjelasan anak perlu bermain dan melakukan aktifitas fisik
6. Perkembangan emosial anak baik
7. Ibu bersedia untuk melakukan kunjungan posyandu setiap bulan untuk dilakukan
pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk,
infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Beberapa faktor penyebab
stunting yaitu praktik pemberian kolostrum dan ASI eksklusif, pola konsumsi anak, dan
penyakit infeksi, akses dan ketersediaan bahan makanan serta sanitasi dan kesehatan
lingkungan. Untuk menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara pengukuran.
Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak
langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya
penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan
kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor
lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013). Ketersediaan pangan, status gizi ibu saat hamil,
pengukuran LILA, kadar hemoglobin, kenaikan berat badan ibu saat hamilberat badan
lahir, panjang badan lahir, ASI eksklusif, dan MP-ASI
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut:
1. Dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
2. Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua,
serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas
ekonomi (Kemenkes R.I, 2016).
21
DAFTAR PUSTAKA
1. KEMENKES RI. (2018). ini penyebab Stunting pada anak. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/article/view/18052800006/ini-penyebabstunting -pada-
anak.html
2. Rahmawati, V. E., Pamungkasari, E. P., & Murti, B. (2018). Determinants of Stunting and
Child Development in Jombang District, 3, 68–80.
3. RISKESDAS. (2010). RISET KESEHATAN DASAR ; Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun2010. Laporan Nasional
2010, 1–384. https://doi.org/1 Desember 2013
4. RISKESDAS. (2013). Penyakit yang ditularkan melalui udara. Jakarta: Badan Penelitian
Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (Penyakit
Menular), 103. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
5. Kesehatan, K. (2018). HASIL UTAMA RISKESDAS 2018.
6. Head of National Planning Development Agency. (2015). Development Health and
Nutrition Policy Planning, (2), 18. 7. 1 Profil Kesehatan DIY 2016. (2016).
7. Nasikhah, R. (2014). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita. Universitas
Diponegoro, 1, 1–27. https://doi.org/10.1007/978-3-319- 56541-5_34 34. Antonio, W. H.
O., & Weise, S. (2012). WHA Global Nutrition Targets 2025 : Stunting Policy Brief.
8. World Health Organization. (2013). Childhood Stunting : Challenges and Opportunities.
WHO Geneva.
9. Arikunto S. (2015). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.
10. Seokidjo Notoatmojo. (2018). METODOLOGI PENELITIAN KESEHATAN (Cetakan
II). Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
11. Fitriahadi, E. (2018). Hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita usia
24 -59 bulan The relationship between mother ’ s height with stunting incidence in children
aged 24-59 months, 14(1), 15–24.
12. Anindita, P. (2012). Putri Anindita Alumnus Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP ©
2012 Page 1. Kesehatan Masyarakat, 1, 1–10
iii