Bab VIII Aik 4 SIAP CETAK
Bab VIII Aik 4 SIAP CETAK
A. Pendahuluan
Seiring berkembangnya kemanusiaan tumbuh pula seni dan budaya yang
ada tengah-tengah umat manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa usia
perkembangan seni dan budaya setua usia manusia sendiri.
Banyak bangsa yang telah mendiami bumi ini punah bersama seni dan
budaya yang mereka bangun. Sebagai contoh, budaya Mesir Kuno dan Yunani
kuno, mereka pernah menjadi besar hingga mencapai peradaban yang agung dan
dikagumi di masanya. Kebesaran mereka pada awalnya hanya terbangun dalam
sebuah budaya bersifat sempit dan lokal. Pembangunan seni dan budaya yang
sempit dan lokal ini tidak terlepas dari usaha-usaha manusia yang ingin memberi
kontribusi pengetahuan dengan menciptakan sesuatu yang menurutnya berharga
atau bernilai. Hasil ciptaan ini kemudian mereka sampaikan dari mulut ke mulut,
atau melalui karya tulis-menulis semacam piktograf di masa lalu kepada manusia
lain untuk meminta penilaian atau persetujuan. Selanjutnya berkembang menjadi
kebudayaan yang diturunkan pada generasi berikutnya secara tradisional. Keadaan
turun temurun ini menyebabkan perkembangan yang tiada henti dari tiap generasi
untuk mengevaluasi dengan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin saja perlu
sehingga menjadikan setiap seni dan budaya bisa berkembang sesuai arah
pemikiran manusia.
Sebagaimana pola pemikiran manusia yang tidak pernah sekalipun dalam
keadaan tenang dan tetap. Ia selalu bergerak mengikuti arus gelombang perubahan
masyarakat yang ada saat itu. Pola perubahan yang terus menerus ini pula
mungkin yang bisa menjadi alasan mengapa Allah sering mengakhiri di banyak
ayat-Nya dengan perlunya manusia untuk selalu berpikir, afala ya’kilun, afala
tatafakkarun dan sebagainya.
227
B. Pengertian seni dan budaya
Seni dalam bahasa Arab disebut al-Fannu, dalam bahasa Inggris disebut
sebagai art , sedangkan menurut bahasa Indonesia seni merupakan kegiatan
yang berkaitan dengan karya cipta yang melibatkan rasa (M. Dahlan al
Barry ;1994 ; 701) dan perasaan diri seseorang. Secara filosofis seni
menunjukkan perbuatan apapun yang dilakukan dengan sengaja dan maksud
tertentu yang mengacu pada apa yang indah (Bagus ; 2000 ; 987).
Keindahan adalah parameter untuk memahami sebuah bentuk seni yang
dibuat oleh pembuatnya. Penilaian terhadap keindahan bisa bermacam-macam
tergantung dari sisi mana melihatnya, sehingga bisa dikatakan keindahan
bersifat subyektif. Tidak bisa seseorang memaksakan nilai sebuah karya seni
tertentu pada yang orang lain atas dasar suka saja tanpa mengerti bagaimana ia
merasakan nilai indah dalam karya itu. Makna yang tersirat dan melekat pada
sebuah karya seni hanya bisa dinilai secara subjektif dan kedalamannya pun
relatif. Oleh karena itu tidak mengherankan jika apresiasi seorang pencinta bisa
sangat luar biasa. Dan cenderung kekaguman tersebut seakan tak dapat
terekspresikan dengan kata-kata. Di peradaban Barat semua yang mengandung
cita rasa sangat tinggi bisa dikatakan art, termasuk tehnik berperang sekalipun.
Sepertinya ini tidak mengada-ada, sebab menurut mereka dalam mengatur
strategi perang memang dibutuhkan segenap cita rasa agar bisa mencapai
kemenangan tanpa harus mengalahkan dalam arti sebenarnya.
Jika seni berkaitan erat dengan masalah estetika, lain halnya budaya yang
lebih banyak berurusan dengan masalah etis. Dalam kamus bahasa Indonesia
istilah budaya diasalkan dari kata budi dan daya yakni segala upaya manusia
dalam menggunakan akal dan perasaan untuk membedakan baik dan buruk
segala sesuatu. Selain itu budaya dikatakan sebagai cipta, karsa dan rasa
manusia. Cipta merupakan potensi dalam diri manusia untuk berbuat sesuatu
menurut akal budi, karsa adalah kehendak yang mendorong manusia dalam
berbuat dengan potensi ciptanya dan rasa akan memberikan sentuhan akhir
228
pada hasil penciptaan. Lebih jauh GBPH H Joyokusumo mengatakan bahwa
budaya adalah laku manusia yang merupakan bagian kecil dari laku agama,
atau sebaliknya agama dijalankan oleh manusia salah satunya dengan budaya.
(Joyokusumo dalam M.Thoyibi (ed.); 2003; 73). Budaya semula terkait dengan
kebiasaan-kebiasaan kecil di antara manusia yang saling berinteraksi. Pada
skala kecil pembiasaan yang terjadi diakomodir dan disepakati menjadi sebuah
norma. Keseharian norma-norma ini akan terus dilakukan selama manusia yang
ada di masyarakat tetap tidak berubah dalam bersepakat. Kemudian norma
keseharian ini berkembang menjadi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan
selanjutnya akan diturunkan dari generasi ke generasi.
Dalam keseharian istilah budaya terkadang bergandengan dengan seni,
artinya setiap budaya juga mengandung nilai seni yang patut diapresiasi karena
ia dicipta dengan melibatkan perasaan. Dalam perkembangannya istilah seni
dan budaya seolah tak terpisahkan. Entitas ini akhirnya terwujud dalam bentuk
dan ragam yang beraneka sesuai dengan apa yang disepakati dan diakui oleh
sekelompok masyarakat di wilayah tertentu. Bahkan seni dan budaya yang
hadir di masyarakat akan dianut begitu saja tanpa perlu mempertimbangkan
lagi unsur objektif dan subjektif-nya. Sehingga nilai baik dan buruk pada
budaya atau indah dan tidak indah pada seni menjadi samar, tergantung cara
pandang masing-masing orang. Dari sinilah muncul tradisi-tradisi daerah yang
berlainan atau bahkan bertolak belakang. Tradisi yang bersifat generatif akan
selalu tetap dalam bentuk dan ragam namun beda dalam waktu dan persepsi.
229
lagi dipandang sebagai agama saja. Lantas bagaimanakah Islam memandang
seni dan budaya tersebut ?
Islam, seperti ditunjukkan di beberapa ayat Qur’an, sangat menghargai
keindahan. Penghargaan ini dianalogikan dalam bentuk pemandangan alam di
sekitar manusia yang dibuat sempurna.
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air
(hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya
karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia
dan binatang ternak. hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya,
dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa
mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana
tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh
kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami)
kepada orang-orang berfikir.” (Q.S. Yunus ; 24)
Kesempurnaan alam diciptakan dengan maksud agar manusia mau dan
mampu memikirkan keselarasan dan keserasian komposisi alam. Bukan hanya
mampu menguasai saja tapi di ayat tersebut tersirat harapan pemeliharaan
kelangsungan hidup alam dengan menakar kebutuhan-kebutuhan tanpa
keserakahan. Maksud keindahan yang sempurna pada ayat itu mewakili sebuah
cita rasa seni yang harus dimiliki manusia. Sedangkan etika pemanfaatan alam
merupakan perwujudan budaya manusia yang beradab. Jadi bila tidak mampu
memanfaatkan alam secara etis manusia akan jatuh pada ketidak-beradaban,
sebagaimana yang diragukan malaikat dalam dialog di surat al-Baqarah ayat
30.
230
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
232
yang mungkin sekali beragam. Namun setidaknya ada beberapa prinsip yang
bisa dipegang oleh Islam dalam melakukan aktivitas seni dan budaya dengan
merujuk pada keterangan yang ada dalam al-Qur’an atau hadits nabi Saw.
Pertama, kegiatan seni dan budaya itu tidak menjauhkan umat dari
aqidah mereka. Setidaknya ada dua surat al-Qur’an berbeda yang mungkin
dapat dijadikan acuan untuk menelaah maksud aktivitas seni dan budaya yang
menjauhkan manusia pada keyakinannya. Surat yang pertama ialah al-Anbiya
ayat 52 dan 53 :
52. (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
53. Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya".
Pada ayat di atas menurut para mufassir mengindikasikan larangan
berkesenian semacam seni patung, pahat dan sejenisnya. Larangan ini jelas
mengacu pada tindakan menyekutukan Allah, karena pembuatan patung-patung
dalam seni ini seolah menyediakan tempat bagi manusia untuk menyembah
buatan mereka sendiri. Di era modern sebenarnya penyembahan bisa
bermacam-macam bentuknya, termasuk pengkultusan individu seperti
mengidolakan tokoh tertentu secara berlebihan. Apapun alasannya bentuk
semacam ini dilarang sebab akan melemahkan logika manusia sendiri menuju
tingkat terendah. Di mana manusia akan dihadapkan dengan sesuatu yang
semestinya tidak pantas untuk disembah. Pencipta yang menyembah
ciptaannya atau penyembahan terhadap sesama ciptaan Allah SWT.
Sebaliknya di ayat ketiga belas surat Saba mengatakan :
13. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakiNya dari
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang
233
(besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). dan sedikit
sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (Q.S. Saba’; 34; 13)
Ayat di atas juga menjadi sandaran para ulama lain tentang tidak adanya
larangan bagi pematung, pemahat, dan sejenisnya untuk melakukan kegiatan
berkesenian dan berkreasi. Namun mereka menggarisbawahi selama kegiatan
itu tidak mengarah pada perbuatan menyekutukan Allah SWT. Artinya tidak
menjadikan apapun yang mereka buat sendiri sebagai berhala-berhala untuk
disembah. Jadi kegiatan itu harus dilakukan dalam kerangka estetik. Tidak ada
maksud atau tujuan pembuatan untuk penyembahan sebagaimana di ayat
sebelumnya. Keterampilan membuat dan pemilikannya dinilai sebagai bagian
dari anugerah ilahi (Quraish Shihab; 1998; 392) .
Sebagian ulama mengatakan seni lukis, rupa, patung atau pahat
merupakan contoh bentuk karya seni yang dekat dengan kegiatan tashwir (Ali
Anwar Yusuf; 2006; 246). Suatu kegiatan yang membentuk-rupakan makhluk
hidup, yang dalam pandangan Islam bukan wewenang manusia membuatnya.
Larangan membentuk-rupakan itu didukung oleh sebuah hadis Qudsi :
Allah Azza wa Jalla berfirman,”Dan siapa yang lebih zhalim dibandingkan
dengan orang yang bermaksud menciptakan (sesuatu) seperti ciptaan-Ku?
Hendaklah mereka menciptakan sebiji sawi atau menciptakan sebuah biji
tanaman atau sebiji gandum.”(H.R.Bukhari dalam Kitabut-Tauhid bab
“Qauqullahi Wallaahu Khalaqakum wa Maa Ta’maluun”, juz IX, hal.162)
Kegiatan tashwir dikhawatirkan oleh para ulama dan mufasir dapat
menyebabkan melemahnya aqidah seseorang. Pelemahan ini sebetulnya
berbanding lurus dengan sifat manusia yang lemah, yang kemungkinan
kehilangan akal sehat sehingga harus memberhalakan ciptaannya sendiri. Surat
al-A’raf ayat 191-195 setidaknya menarik untuk direnungkan :
234
191. Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala
yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu
sendiri buatan orang.
192. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada
penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu
tidak dapat memberi pertolongan.
193. Dan jika kamu (hai orang-orang musyrik) menyerunya (berhala)
untuk memberi petunjuk kepadamu, tidaklah berhala-berhala itu dapat
memperkenankan seruanmu; sama saja (hasilnya) buat kamu menyeru mereka
ataupun kamu berdiam diri.
194. Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu
adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah
berhala-berhala itu lalu biarkanlah mereka mmperkenankan permintaanmu,
jika kamu memang orang-orang yang benar.
195. Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat
berjalan, atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan
keras, atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau
mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar? Katakanlah:
"Panggillah berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian
lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)-ku. tanpa memberi tangguh
(kepada-ku)".
Oleh karena itu Islam sangat menekankan kehati-hatian dalam
melakukan kegiatan berkesenian ini. Bukan suatu kebetulan jika banyak
ornamen artistik Islam di masjid-masjid yang tidak memahatkan atau
melukiskan gambar-gambar makhluk hidup. Tapi hanya gambar permainan
235
garis dan lengkung yang membentuk pola tertentu. Para pembuatnya mungkin
sekali ingin menghindarkan diri dari perbuatan seperti yang disebutkan dalam
surat al-A’raf ;191-195. Atau bahkan ingin mengajarkan pada penikmatnya
bahwa keindahan tidak harus berupa makhluk hidup.
Perlu dicatat, masalah akidah, bukan hanya dalam Islam, merupakan hal
mendasar bagi sikap beragama seseorang. Bahkan sejak masa nabi Ibrahim pun
sudah banyak terjadi penyimpangan pada kegiatan ini. Kisah dialog nabi
Ibrahim yang menghancurkan berhala buatan umatnya disebutkan dalam surat
al-Anbiya 51-58 :
51. Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah
kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui
(keadaan)nya.
52. (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
"Patung-patung Apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?"
53. Mereka menjawab: "Kami mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya".
54. Ibrahim berkata: "Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam
kesesatan yang nyata".
55. Mereka menjawab: "Apakah kamu datang kepada Kami dengan sungguh-
sungguh ataukah kamu Termasuk orang-orang yang bermain-main?"
56. Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi
yang telah menciptakannya: dan aku Termasuk orang-orang yang dapat
memberikan bukti atas yang demikian itu".
236
57. Demi Allah, Sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap
berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.
58. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong,
kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka
kembali (untuk bertanya) kepadanya.
Nabi Ibrahim hanya menyisakan satu berhala terbesar saja sebagai cara
pembuktian kebenaran pada umatnya. Beliau berusaha meletakkan rasio
kemanusiaan kembali pada asalnya dengan menanyakan ulang peranan berhala
yang mereka sembah.
63. Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar Itulah yang
melakukannya, Maka Tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat
berbicara".
64. Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata:
"Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri
sendiri)",
Hikmah yang dapat dipetik bahwa patung yang dibuat untuk tujuan yang
benar tidak perlu dipersoalkan, namun sikap terhadap patung serta peranan
yang diharapkan darinya yang dilarang. (Shihab ;1998; 392). Islam lebih
berpedoman pada tindakan preventif bukan defensif.
Kedua, kegiatan seni dan budaya harus mengajak umat kepada kebaikan
bukan kerusakan. Ungkapan Amar ma’ruf nahi mungkar, mungkin sudah
sangat akrab di telinga umat muslim.
104. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S.Ali Imran (3); 104).
237
Ajakan kebaikan dan penghindaran terhadap kemungkaran dapat
menjadi titik tolak umat muslim dalam melakukan kegiatan seni dan budaya.
Seni suara, musik, syair dan sastra merupakan contoh yang relevan untuk
menguji prinsip ini. Sebab dalam kegiatan berkesenian dan berkarya ini tersirat
nuansa agitatif-retoris, yang merayu serta melenakan pendengarnya. Seni
semacam ini adalah wajar jika muatan yang dikandungnya tidak membawa
pembuat atau penikmatnya terlena bersama alunan suara yang mengajak pada
keburukan. Persoalan menjadi lain jika sebaliknya.
Sebaiknya penikmat harus tetap sadar dalam mencerna pesan yang
biasanya berisi ajakan moral. Kesadaran ini setidaknya mampu mencegah
seseorang melakukan tindakan amoral. Seperti yang disampaikan oleh Deliar
Noer dalam bukunya Islam dan masyarakat bahwa berkesenian hendaknya
bukan sekedar pelepasan segala perasaan tanpa kendali, karena bisa jatuh pada
pornografi dan bentuk-bentuk kekasaran, padahal kehalusan hendaknya diasah.
Berkesenian hendaknya meningkatkan perasaan dan kemauan untuk menjadi
saksi tentang keagungan Maha Pencipta. Berkesenian hendaknya dapat
memperhalus akhlak manusia. Seni untuk seni jauh dari ajaran dan maksud
hidup Islam (Deliar Noer; 2003; 41-42). Jadi jelas bahwa jika seseorang
melakukan kebaikan, maka aktivitasnya itu sendiri harus merupakan kebaikan
pula (Ibn Taymiyyah ; 2005; 67). Kebaikan akan mengarah pada keberadaban
dan keberadaban merupakan tujuan manusia berbudaya. Dari sinilah letak
berkesenian membentuk manusia berbudaya yang beradab, bukan sebaliknya.
Ketiga, kegiatan seni dan budaya seharusnya membawa manfaat bukan
mudharat. Azas fungsional seharusnya juga menjadi pertimbangan lain dalam
berkarya seni. Prinsip ini mungkin terasa sulit untuk dicapai. Kesulitan terletak
pada aktivitasnya sendiri yang menekankan pada jangkauan rasa dan perasaan.
Penilaian akan rasa bisa berbeda setiap orang yang menyebabkan bersifat
relatif. Namun sulit bukan berarti tidak ada. Setidaknya manfaat keindahan seni
memberikan rasa tenteram, kepausan dan menenangkan hati. Perasaan itu akan
238
membawa pembuat dan penikmatnya pada pendekatan kepada keagungan
Allah yang telah menciptakan alam beserta isinya dengan keindahan.
6. Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikitpun ? (Q.S. Qaf (50); 6)
6. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan. (Q.S. An-Nahl (16); 6)
Di samping manfaat batin di atas, ada pula manfaat lahir. Secara ekonomi
berkarya seni mudah dimanfaatkan sebagai bentuk profesi. Seorang penyanyi,
penyair, sastrawan, budayawan atau seorang qori sekalipun adalah contoh
pemanfaatan seni budaya yang rasional. Secara sosial pula tidak berlebihan jika
mereka yang memiliki profesi tersebut bermanfaat bagi masyarakat. Karena
mereka adalah bagian dari masyarakat itu sendiri maka profesi mereka bisa
dimanfaatkan dengan tujuan-tujuan yang ma’ruf. Pesan atau syair -syair moral
yang tersampaikan bisa dijadikan senjata andalan untuk mengajak pada
kebaikan.
114. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau
berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan
barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka
kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.(An-Nisaa’(4); 114)
239
Anjuran atau ajakan itu bisa berupa pesan cinta perdamaian atau
solidaritas kemanusiaan. Pada masa sekarang pesan moral seperti ini sangat
vital di tengah hiruk-pikuk perlombaan senjata antar negara dan bangsa.
Karena sangat tidak mungkin hanya mengandalkan himbauan para agamawan
saja untuk menghentikan segala pertikaian yang terjadi secara luas meliputi
berbagai negara. Peran seni dan budaya yang mempersatukan adalah jalan
tengah yang menyejukkan. Dan ini sesuai dengan prinsip yang keempat.
Keempat, kegiatan seni dan budaya berguna untuk mempererat ukhuwah
dan silahturrahmi antar manusia. Prinsip terakhir ini merupakan tujuan akhir
manusia sebagai makhluk sosial dan budaya. Melalui kegiatan berkesenian
manusia pasti mempunyai maksud sosialisasi dengan manusia lain. Sosialisasi
dimaksudkan untuk sarana aktualisasi diri manusia di hadapan manusia lain.
Yang perlu dicatat bahwa bentuk aktualisasi ini sebaiknya tidak mencederai
perasaan sosial di masyarakat. Banyak sekali contoh karya seni yang memiliki
tujuan menghina atau melukai perasaan umat lain. Atas nama kebebasan
berekspresi dan berkarya seni seakan ini menjadi senjata pembelaan.
Kebebasan secara rasional seharusnya tidak melanggar hak-hak yang dimiliki
oleh orang atau kelompok lain. Pangkal putusnya tali ukhuwwah bisa terjadi
karena tidak adanya penghormatan terhadap keberadaan sesama. Jadi dalih
“atas nama” saja mungkin tidak cukup tanpa memperhatikan apa yang
semestinya kita lakukan. Dalil-dalil Qur’an dan hadis nabi Saw setidaknya bisa
dijadikan rujukan dalam membina kerukunan umat.
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik
dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan
lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka
240
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Hujurat (49); 11).
241
“Hiasilah Qur’an dengan suara-suaramu yang bagus. Sesungguhnya suara
yang bagus itu akan menambah keindahan Qur’an”(H.R. Hakim)
Agar manusia menjadikan Qur’an bukan hanya sekedar bacaan polos tanpa
rasa dan pesona. Yang kemudian bisa menjauhkan Qur’an dari umatnya, sebab
rasa keindahan adalah kebutuhan estetika manusia. Senada yang diungkapkan
seorang penulis kenamaan dari Barat, Karen Amstrong, “...dampak penuh
pembacaan al-Qur’an hanya dialami ketika kitab itu dibaca keras dengan lagu
khusus. Bunyinya memiliki makna misterinya sendiri dan membuat bahasa al-
Qur’an membutuhkan suasana musik, yang memberikan pengalaman yang
lebih besar dan lengkap dibanding bentuk kesenian lainnya. Al-Qur’an-lah
yang mencegah Allah menjadi Tuhan asing yang ‘berada jauh di sana’. Para
pencatat sejarah yang awal terus menjelaskan bahwa bila seseorang masuk
Islam, mereka mengatakan Islam ‘memasuki hati mereka.”(Amstrong; 2001;
126).
Bahkan di ayat lain Allah SWTmenegaskan perbedaan suara yang indah dan
buruk :
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman (31) ;
19)
Keterpesonaan manusia pada suara dimaksudkan sebagai sarana
penyebaran ayat-ayat Allah SWT. Tidak bisa dibayangkan jika ayat-ayat suci
al-Qur’an disampaikan dengan nada amarah dan kebencian. Mungkin banyak
yang membayangkan seperti itu pula sifat-sifat yang dimiliki oleh sang
penyampai dakwah atau bahkan sifat mulia nabi Saw pun seakan tercermin
dalam cara yang salah. Sangat disesalkan jika tuntunan yang sudah jelas ada
menjadi sia-sia oleh sebab kesalahan anggapan pendengarnya. Hal yang
242
kontraproduktif seperti ini harus dihindarkan demi sampainya dakwah Islam
secara baik dan benar.
Bukan saja seni suara yang mampu mendakwahkan kebaikan dan
kebenaran. Banyak media seni lain yang mempunyai kapasitas sama, seperti
seni lukis kaligrafi Qur’an, seni pahat arsitektur, seni tari dan sebagaimya.
Kaligrafi Qur’an adalah tata tulis indah yang digoreskan menggunakan huruf-
huruf Qur’ani. Setiap khat Qur’an dilukiskan dalam karakter yang artistik
dengan lengkung atau lingkar yang monumental. Lengkungan yang dibentuk
ini bisa merangsang imajinasi penikmatnya yang seolah dibawa dalam alur
nafas kehidupan. Alur itu bisa menyerupakan apapun sesuai keinginan
pelukisnya. Emosi yang hanyut dalam khat-khat Qur’an ini merupakan daya
tarik tersendiri yang secara tidak langsung mendakwahkan sesuatu yaitu pesan
yang terselip dalam maksud keseluruhan lukisan kaligrafi tersebut. Ayat demi
ayat kemungkinan bisa tersampaikan melalui cara yang mungkin tidak biasa.
Dengan demikian harapan Nabi Saw untuk menyampaikan pada orang lain
walaupun hanya satu ayat akan mampu terealisasi.
Sama seperti seni yang lain, seni pahat arsitektur dalam Islam juga
memperlihatkan hal yang demikian fenomenal. Dinding-dinding masjid adalah
saksi bisu kemegahan karya peradaban Islam masa lampau yang masih tetap
bertahan dan bisa dinikmati. Barangkali pengagum karya seni sepakat bahwa
keindahan tidak perlu dilihat dari mana asalnya atau siapa pembuatnya, tapi
bagaimana hasil karya yang dibuatnya. Ini merupakan celah yang
memungkinkan pendakwahan nilai-nilai Islam terakomodasi. Tidak perlu
banyak kata atau perbuatan namun sebuah karya sudah banyak memberitakan
pada siapapun tentang kebaikan, keindahan atau bahkan kebenaran.
Seni lain yaitu seni tari yang dikatakan sebagai olah gerak tubuh
sebenarnya hanya bentuk simbolisasi. Apa yang dilakukan oleh penari adalah
penggambaran kehidupan yang diterjemahkan melalui bahasa tubuh. Setiap
gerak membawa nuansanya masing-masing ; kesedihan, kemarahan,
kekecewaan, kegembiraan dan sebagainya. Di masa rasulullah ada peristiwa
243
tarian Habasyah yang ditunjukkan oleh orang-orang Habsyah, merupakan
contoh luapan kegembiraan masyarakat Madinah ketika menyambut Nabi
(Sulkhan Zainuri ; 2003; 130). Setiap orang mungkin berbeda dalam
memandang olah tubuh sang penari namun sepakat dalam memaknai gerak
tubuh itu. Ada pesan dalam gerak yang ingin disampaikan oleh sang penari
kepada pemirsanya. Nukilan puitis GBPH H Joyokusumo di bawah ini bisa
direnungkan :
Seni tanpa pesan kering adanya
Demikian pula pesan tanpa seni kaku adanya
Seni membuat hidup indah
Ilmu membuat hidup mudah
Agama membuat hidup genah
(Joyokusumo dalam M. Thoyibi (ed.); 2003; 75)
Daftar Pustaka
244
Imam An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, 2003, Sukoharjo ; Penerbit Insan Kamil
M. Thoyibi, dkk (ed), Sinergi Agama dan Seni Lokal : Dialektika
Muhammadiyah dan Seni Lokal, 2003, Surakarta ; Muhammadiyah
University Press
Tim Daar Al Bazz, Syarah Hadits Qudsi, 2003, Jakarta ; Pustaka Azzam.
245