Anda di halaman 1dari 2

Menjawab Posfeminisme

Dalam kolom opini yang terbit pada tanggal 18 Agustus 2022 lalu, saya tertarik pada artikel
yang ditulis oleh Akbar Mawlana dengan judul “Mempertanyakan Posfeminisme?” Melalui
tulisan itu, Akbar, mencoba untuk menuangkan refleksinya terhadap posfeminisme yang
disangsikannya. Pada akhirnya, keraguan akan masa depan posfeminisme itu menjadi
kesimpulan dari argumennya yang cukup panjang itu.
Namun, terdapat beberapa hal mendasar yang patut untuk mendapatkan perhatian lebih di
dalam tulisan tersebut. Pertama, ikhwal narasi “perbedaan” yang digaungkan oleh kelompok
posfeminis dan “kesetaraan” yang diasosiasikan, dalam tulisan itu, kepada kelompok feminis
pada umumnya. Terdapat kesalahpahaman dalam memahami konsep kesetaraan yang dinilai
sulit terwujud karena “setiap manusia mempunyai  nilai kehidupannya masing-masing.” Ini
artinya, kesetaraan dalam pemikiran Akbar seolah hanya dimaknai sebagai sebuah sistem yang
total: setiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan harus sama.
Ada hal yang hilang dalam penjelasan itu. Sebetulnya, kesataraan yang dimaksud dalam
feminisme pada umumnya adalah kesetaraan dalam kesempatan. Baik laki-laki ataupun
perempuan tidak harus sama dalam semua hal, akan tetapi harus mendapatkan kesetaraan
dalam kesempatan. Jadi, sebagai contoh, jika laki-laki memiliki ruang yang memungkinkan
untuk meminum alkohol dan merokok, maka perempuan pun demikian. Bentuk-bentuk dari
keputusan yang diambil dalam kesempatan inilah yang kemudian menjadi identitas berbagai
aliran kelompok feminis di dunia.
Sementara itu, perbedaan dalam konsep posfeminis merujuk kepada pendapat Brooks (1997)
yang mengatakan jika kehadiran posfeminis adalah bentuk kritik terhadap adanya wacana
monolitik dan kebenaran tunggal. Oleh karena itu, hadirnya pemikiran posfeminis adalah upaya
untuk memayungi perbedaan-perbedaan aliran feminisme itu sendiri. Sebagaimana dikatakan
Brooks, “representing pluralism and difference and reflecting on its position in relation to
other philosophical and political movements similarly demanding change.”
Kedua, mempertanyakan batas dan kontrol atas pilihan perempuan. Ada sebuah kebingungan
untuk menentukan “batas” dalam pertanyaan Akbar: “sejauh mana perempuan bisa
memutuskan pilihannya secara bebas dan tidak terkontrol?” Pertanyaan itu mengindikasikan
adanya sebuah upaya untuk membentuk semacam batas “kepantasan” bagi perempuan
terhadap pilihan-pilihan yang diambil di dalam kesempatan yang setara. Ini justru merupakan
representasi prespektif patriarkal.
Terlepas baik atau tidaknya pilihan yang dipilih bagi perempuan, itu bersifat subjektif dan
personal karena pada dasarnya, setiap pilihan itu dipertanggungjawabkan olehnya sendiri.
Dalam kaitannya dengan ini, diskursus atau pertanyaan seharusnya masuk dalam aliran-aliran
feminisme yang ingin dipayungi oleh posfeminis, dan bukan mempertanyakan posfeminis itu
sendiri.
Ketiga, dalam fenomena yang terjadi di Sumenep, sebagaimana dituliskan oleh Akbar, terdapat
pembacaan yang kontradiktif terhadap fenomena itu. Dalam situasi dimana perempuan dilucuti
haknya dalam memilih pasangan, Akbar menuliskan, “Bagaimana jika perempuannya tidak suka
dengan pasangan pria yang akan menjadi suami? Mau tidak mau, perempuan harus
menerimanya, karena orang tua mengakui jika lebih tahu perihal yang terbaik untuk anaknya.”
Dan kemudian menyimpulkan jika poseminis telah mengalami kegagalan dalam narasinya.
Inilah letak kontradiksi itu. Situasi yang terjadi dalam fenomena yang digambarkan oleh Akbar
menunjukan jika perempuan masih belum mendapatkan kesetaraan dalam kesempatan.
Mereka tidak dapat memilih pasangannya sendiri. Ini artinya, mereka masih hidup dalam
lingkungan patrarki yang mensubordinasikan posisi mereka dalam lingkungan sosial. Justru, hal
semacam itulah yang dilawan dan ingin dirubah oleh feminisme pada umumnya.
Tidak ada feminis yang menghendaki perempuan terkungkung dalam jaring patriarki dan
kehilangan kesetaraan kesempatan. Maka sangat aneh jika atas dasar fenomena itu,
menyimpulkan posfeminis telah gagal dalam narasinya. Dimana letak gagalnya dalam konteks
itu? Bagaimana bisa demikian jika tidak ada satupun aliran feminis, yang coba untuk dipayungi,
yang menyetujui situasi yang terjadi di Sumenep itu?
Keempat, posfeminis terjebak dalam narasi kehidupan di Eropa, betulkah? Akbar dalam tulisan
itu, mengutip pendapat Spivak untuk memperkuat argumennya jika kelompok posfeminis
sebetulnya terjebak dalam narasi barat. Ini, bagi saya, sungguh aneh. Perkembangan pemikiran
feminisme yang membentuk pemikiran posfeminisme, tidak dapat dipisahkan dari pengaruh
pemikiran posmodernisme dan poskolonialisme yang berkembang (Suwastini, 2013). Ini
menjadi dasar bagi penolakan posfeminisme terhadap kebenaran tunggal dan monolitik dan
mengakomodir kemajemukan atau pluralisme dalam feminisme.
Sementara itu, dalam pengaruh poskolonialisme, posfeminisme justru mendekonstruksi narasi-
narasi kehidupan barat dalam feminisme. Posfeminisme justru memberikan ruang kepada
feminisme non-barat untuk hidup dan berkembang. Demikianhalnya dengan Spivak, yang
notabene merupakan salah satu ilmuwan yang menolak kolonialisasi pengetahuan dan
menentang keras melihat fenomena timur dalam prespektif barat. Esainya “Can Subaltern
Speak?” mengambarkan perjuangannya yang terus menerus untuk membangun kajian
poskolonial secara terus menerus (Saputri, 2019).
Artinya, penyataan Akbar tentang posfeminisme yang menggunakan pola kebenaran barat
sebagai kebenaran umum tidaklah berdasar. Justru dalam psotfeminisme, hal sebaliknyalah
yang terjadi. Semangat pluralisme memberikan wadah terhadap perbedaan dan menghapuskan
prespektfi barat sebagai kebenaran tunggal. Karena pada dasarnya, posfeminisme
mengakomodir perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara aliran-aliran feminis yang ada,
bahkan juga memebrikan kritik atau evaluasi pada pemikiran feminis yang cinderung radikal
dan bersifat fundamentalis (Brooks, 1997).

Anda mungkin juga menyukai