Materi Kuliah Pengembangan Kurikulum
Materi Kuliah Pengembangan Kurikulum
Pengertian Kurikulum
Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan
pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum
dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa
yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. George A. Beauchamp (1986)
mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many
ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in
given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai
suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti
dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be
composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas
lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has
changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences
which are offered to learners under the auspices or direction of school.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (1988)
mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:
1. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian,
khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
2. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai
suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan
waktu.
3. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai
suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya
perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.
Sementara itu, Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian : (1)
kurikulum sebagai ide; (2) kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai
pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi
pengajar; (4) kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar
di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik; dan (6)
kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan
kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama,
suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum
meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum
mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan
kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan
dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan
dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal,
nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali
terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum
Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada
pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting
adalah perubahan kultural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung
dalam pengembangan kurikulum.
Landasan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh
kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan
manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada
hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak
didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu
sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan
manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama
dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan
(4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara
ringkas keempat landasan tersebut.
1.Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti
dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti :
perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam
pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu,
sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan.
Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang
isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari
pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan
kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini
menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan
waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi
kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme,
essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada
peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi
pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada
rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping
menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme
lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini
akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat
progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi.
Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model
Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh
karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung
dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai
kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa
negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat
rekonstruktivisme.
2.Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan
(2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan
dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek
perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan
perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari
tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat
belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar,
yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari
pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori
psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran
Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi
merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan
referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu
situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk
melakukan suatu aksi.
b.bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau
informasi.
c.konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya
manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada
permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi
dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan
(pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat
untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit
untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek
perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima
perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3)
perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan
kognitif.
3.Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan
merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut
di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal
dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan
sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi
terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat
lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi,
maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik,
kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang
mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek
penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara
berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber
dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga
turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan
dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui
pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang
dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan,
merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat,
baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi,
pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut
memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini
akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan
para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis
penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik
kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian,
dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti
yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara
universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and
ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest
possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring
them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the
generation but also guide education towards mutual understanding and towards what
has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa :
” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik,
selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat
satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum
pendidikan berikut.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler;
yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di
setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan
pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007
tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata
pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan
tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih
menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he
was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata
lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku
spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada
pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran,
yakni :
1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a)
menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b)
menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c)
memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta
didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk:
(a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi
respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta
didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan
psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap
keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat
dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar
filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka
tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung
menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan
utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan
aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar
utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial
yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi
pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada
pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang
sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan
kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum
tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan
kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan
mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada,
sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori
pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan
kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme)
penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran
disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling
berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan
menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud
menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari
analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan
hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang
harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam
materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk
memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam
garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam
upaya mencapai tujuan kurikulum.
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar
telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan
merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi
untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik.
Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun
non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih
lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan
sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat
kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya
terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi
peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga
memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata
(1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-
akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran
dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada
yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju
bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens
logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari
fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan
tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan
diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah
akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah,
meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan
hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik
diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru
menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik
diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi
pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut
menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
CStrategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi
pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi
pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi
pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran
adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh
kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian,
maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru
merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat
informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang
secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah
atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan
progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi
dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan
belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan
rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika
kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual,
langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran
moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator,
motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan
lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya
untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan
belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha
mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi
pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta
didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta
didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau
media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai
director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk
melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi
pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya
tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep
pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru
seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan
berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya
secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya
keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam
pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata
pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan
dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan
tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua
materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi
kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang
ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna
memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan
beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan
dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran
dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core
tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang
menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah,
dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata
pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya
memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau
analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi
kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan
strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan,
seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin
dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi
dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti :
dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan
proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar,
penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka
pendek dan jangka lebih panjang.
Perubahan Kurikulum
Kenapa kurikulum harus berubah ? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang,
ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia. Jawabannya
pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat pemahamannya masing-masing.
Sepanjang sejarahnya, di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan hingga ada
kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku
(current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan
dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi
tertentu.
Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah
pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko
yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu
yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.
Namun dalam konteks KTSP, perubahan kurikulum pada tingkat sekolah justru perlu
dilakukan secara terus menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan
secara radikal dan menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin
cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah.
Kita maklumi bahwa semenjak pertama kali diberlakukan KTSP yang terkesan mendadak,
kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan
“keterpaksaan” demi mematuhi ketentuan yang berlaku, sehingga model yang dikembangkan
mungkin saja belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh
karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan perbaikan
– perbaikan yang secara terus-menerus berdasarkan data evaluasi, hingga pada akhirnya dapat
ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata
sekolah.
Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak awal
memberlakukan KTSP hingga ke depannya tidak pernah melakukan perubahan-perubahan
apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang demikian, sama sekali tidak menunjukkan
perkembangan alias stagnan.
Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah,
seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas
untuk memanage kurikulum di sekolah. Memang saat ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk
petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya dipegang oleh wakasek kurikulum).
Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan tugas -tugas yang hanya
bersifat rutin dan teknis saja, seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan
umum atau kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi serta mengembangan kurikulum yang lebih
inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan.
Dengan adanya Tim Pengembang Kurikulum di sekolah maka kegiatan manajemen
kurikulum mungkin akan jauh lebih terarah, sehingga pada gilirannya pendidikan di sekolah
pun akan jauh lebih efektif dan efisien.
Pengelolaan Kurikulum Sekolah Kategori
Mandiri /Sekolah Standar Nasional
Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum nasional yang
bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi untuk melayani kebutuhan siswa yang
memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa.
Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan
kurikulum nasional yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum guna
melayani kebutuhan peserta didik tertentu yang berhak memperoleh pendidikan khusus. 2)
ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan peserta didik yang berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI
dan SKL yang berlaku secara nasional, sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan
standar kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu
terlebih dulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang
esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur
kreteria berikut ini : (1) Konsep dasar, (2) Konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut,
(3) Konsep yang berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering muncul pada Ujian Akhir
(Munandar, 2001).
Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan
untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan
pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri (Slameto, 1991).
Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi pelajaran yang
digunakan dalam penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang disusun satuan
pendidikan dengan pengorganisasian materi kurikulum dibuat menjadi materi umum/wajib
dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai dengan uraian di atas adalah
kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit semester.
Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam satuan
kredit semeser (sks). Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mata pelajaran umum
(MPU), mata pelajaran dasar (MPD), dan mata pelajaran pilihan (MPP). MPU harus diambil
oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan pribadi yang memiliki akhlak mulia,
kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa sebagai warganegara yang baik. MPD
harus diambil peserta didik sebagai landasan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. MPP adalah sejumlah mata pelajaran yang disusun menjadi program bidang
tertentu yang dipilih sesuai dengan minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi
di perguruan tinggi. Namun, mata pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh
peserta didik yang telah memilih program lain untuk memperkaya bidang karirnya.
Mengingat kemungkinan bervariasinya mata pelajaran yang dipilih peserta didik maka
sekolah perlu menunjuk petugas pengelola data akademik untuk mendata kemajuan belajar
setiap peserta didik dan menyimpannya dengan baik yang dapat dibuka kembali setiap
diperlukan. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi peserta didik yang pernah
absen dan mengatur jadwal kegiatan remidial bagi peserta didik yang belum mencapai
kompetensi minimal yang ditetapkan.
Sekolah menunjuk guru sebagai petugas pembimbing akademik yang membina peserta didik
maksimum 16 orang setiap guru. Guru pembimbing akademik bertugas membantu peserta
didik memilih mata pelajaran yang akan diambil pada suatu semester, memilih program
jurusan, dan menyelesaikan persoalan akademik secara umum serta menjawab pertanyaan
akademik dari orang tua peserta didik yang menjadi binaannya. Peserta didik yang pada suatu
semester memiliki indeks prestasi (IP) tinggi maka pada semester berikutnya diberi
kesempatan untuk mengambil beban belajar lebih banyak sehingga dapat mencapai kebulatan
studi dalam rentang waktu kurang dari enam semester, dan sebaliknya.
Sumber:
Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar
Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah
Bersifat pedagogis
Melihat potensi klien (siswa)
Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
Menggembirakan klien (siswa)
Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
Bersifat humanistik- religius
Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Bersifat klinis
Melihat kelemahan klien
Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
Konselor serius
Klien (siswa) sering tertutup
Dialog menekan perasaan klien
Klien sebagai obyek
Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi pengembangan,
seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok kiranya perlu lebih
dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun intensitas pelayanannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak
kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan
pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip, bahwa pengelolaan dan pengorganisasian
pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk melayani seluruh siswa agar dapat
mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya masing-
masing dan pengembangan diri menjadi wilayah garapan bersama antara komponen
pembelajaran dan komponen Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan keunikan tugas
dan tanggung jawabnya masing-masing.
D. Kesimpulan
Pengembangan Diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari struktur
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap,
perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat
mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun
seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan
yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual maupun kelompok.
Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik
dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk mengidentikasi
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik melalui kegiatan aplikasi instrumentasi dan
himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak
melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang
banyak mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan
berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah :
“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam
cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada
paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin memanjat
atau berski, kita akan membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan itu. Apabila
mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung, kita akan
mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki
kedambaan akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya
duduk diam seperti kaum penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin
memandangi awan berarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik
hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itu
semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan, ide,
harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…”
(Combie White, 1997).
Dalam sejarah penggunaan kurikulum di Indonesia setelah merdeka,
ada sepuluh kurikulum yang pernah dipakai yaitu kurikulum pasca
kemerdekaan 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
dan KBK yang disempurnakan menjadi kurikulum KTSP atau
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pada setiap periode kurikulum yang pernah diberlakukan tersebut model konsep kurikulum
yang digunakan, prinsip dan kebijakan pengembangan yang digunakan, serta jumlah jenis
mata pelajaran berikut kedalaman dan keluasannya tidak sama.
Variabilitas kurikulum yang digunakan berimplikasi terhadap variabilitas penuangan mata
pelajaran yang harus dipelajari. Secara umum bisa dijelaskan karena adanya substansi
determinan atau landasan kurikulum yang digunakan tidak sama. Meskipun unsur-unsur
umum determinan kurikulum itu sama yaitu faktor filosofis, sosiologis, psikologis, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, namun pada setiap masa memiliki suatu kecederungan tersendiri
yang menjadi warna dominan dari kurikulum itu sendiri, sebagai alat pencapaian tujuan
pendidikan. Perbedaan ini juga turut menentukan mata pelajaran apa saja yang harus
dipelajari, juga prinsip-prinsip cara mempelajari mata pelajaran yang ada dalam struktur
kurikulum yang bersangkutan.
Landasan filosofis, berkaitan dengan pandangan hidup negara. Filosofis negara ini akan
mengarahkan pada penentuan tujuan umum pendidikan nasional. Perbedaan filosofis negara,
atau adanya perbedaan konsistensi pengamalan nilai-nilai filosifis akan mempengaruhi
filsafat pendidikian dan filsafat kurikulum yang digunakan. Tentu ini pun akan mengarah
pada susunan mata pelajaran yang harus dipelajari.
Landasan sosiologis, berkaitan dengan sistem nilai, norma, adat isitiadat, tata aturan
bermasyarakat dan bernegara juga berpengaruh terhadap penggunaan sistem kurikulum.
Dalam aspek sosiologis di dalamnya adalah sistem politik yang berlaku, ikut menentukan
tentang apa yang harus dipelajari, kedalaman dan keluasannya, serta teknis
pengembangannya.
Contoh ketika sistem politik negara menggunakan sistem sentralistik, maka pengembangan
kurikulum didominasi oleh pemerintah pusat, kurang atau bahkan mungkin tidak melibatkan
pemerintah daerah atau guru sama sekali. Namun ketika sistem politik berubah menjadi
desetralisasi, kebijakan pengembangan kurikulum pun berubah, yang tadinya terpusat
sebagian didesentralisasikan ke daerah (pemerintah daerah dan sekolah, guru).
Contoh lainnya, terdapat perbedaan kurikulum, jenis dan jumlah mata pelajaran antara negara
yang demokratis dan negara yang tidak terlalu menonjolkan demokratis. Bahkan sesama
negara demokratis pun masih terdapat variabilitas.
Determinan berikutnya yaitu unsur psikologis. Situasi kondisi sasaran kurikulum ikut
mempengaruhi konsep dan model kurikulum. Akan terdapat perbedaan mata pelajaran,
setidaknya tingkat kesulitan dan cakupannya, antara jenjang pendidikan satu dengan lainnya.
Antara pendidikan normal dan pendidikan luar biasa.
Selain dari pada itu, pandangan psikologi atas bagaimana manusia belajar bermacam-macam,
di antaranya ada behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Ketiga jenis pandangan
tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Penggunaan salah satu dari tiga pandangan
atas belajar di atas, akan berpengaruh terhadap apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara
mempelajarinya.
Determinan terakhir yaitu bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk di dalamnya
ilmu pengetahuan dan teknologi kurikulumnya itu sendiri. Kemajuan IPTEK akan melahirkan
tuntutan untuk mempelajari IPTEK kontemporer. IPTEK kontemporer memiliki karakteristik
tersendiri tentang bagaimana cara untuk mempelajarinya.
Uraian di atas, menjelaskan kepada kita bahwa perkembangan mata pelajaran dipengaruhi
oleh model konsep kurikulum yang digunakan. Suatu jenis model kurikulum itu sendiri
memiliki karakteristik disain (tujuan, materi, strategi, dan evaluasi) tersendiri.
Di bawah ini tabel perbandingan jurusan dan mata pelajaran yang hilang dan muncul pada
kurikulum kurikulum 1964 sampai dengan KTSP.
Tabel 1 Perbandingan Jurusan dan Mata Pelajaranyang Hilang dan Muncul pada Kurikulum
1964 sampai dengan KTSP (Belen, 2007)
Jurusan yang Mapel yang
No. Kurikulum Jurusan yang hilang Mapel yang hilang
muncul muncul
Jurusan Budaya Prakarya
1 1964
SMA
Berhitung Matematika
Pendidikan
2 1968 Kesehatan
Keluarga
Kecakapan
Jurusan yang Mapel yang
No. Kurikulum Jurusan yang hilang Mapel yang hilang
muncul muncul
Khusus
Jurusan Budaya SMA: Jurusan Bahasa Indonesia Muncul
SMA IPA, IPS, Tulisan Arab Broadfield:
Bahasa. Jurusan Bahasa Jawa Matematika,
Budaya menjadi Kuno IPA, IPS Bahasa
3 1975
jurusan bahasa Indonesia, Civics
menjadi PMP
(Pendidikan
Moral Pancasila)
SMA: Program Tata Buku. Akuntansi,
B (Vokasional) Pendidikan Sosiologi,
tak Keterampilan dan Pendidikan
dilaksanakan. Pendidikan Seni Sejarah
Jurusan IPS dan tergabung menjadi Perjuangan
Bahasa tetap. Pendidikan Bangsa (PSPB),
Jurusan IPA di Kertakes. Tata Negara,
4 1984 bagi dua: Pada Pendidikan Muatan Lokal,
Jurusan ilmu- Bahasa Indonesia Keterampilan,
ilmu fisik dan dikenalkan Budaya.
jurusan ilmu- Pragmatic.
ilmu hayati.
Jurusan Agama
untuk Madrasah
Aliyah.
Program B SMA, Penjurusan di Tata buku, PMP menjadi
Jurusan Ilmu-ilmu kelas 3 SMA: Pendidikan PPKn. B.
Fisik dan Ilmu-ilmu IPA, IPS, Keterampilan dan Indonesia dan B.
Hayati digabung ke Bahasa. Pendidikan Seni Inggris
jurusan IPA. tergabung menjadi menggunakan
kertakes. communicative
5 1994
Pada Pendidikan approach.
Bahasa Indonesia Muncul bahasa
dikenalkan Jepang dan
Pragmatic Mandarin.
Muatan Lokal di
SD dan SMP.
Jurusan Agama Penjurusan PPKn menjadi Bahasa Inggris
SMA kembali ke kelas PKn. Di SMA SD dan
2 SMA. Antropologi Komputer SD
Tematik untuk digabungkan ke menjadi pilihan.
kelas I dan II Sosiologi. Diberi ICT di SMA.
6 KBK SD. jam untuk Konsep Kimia
pembiasaan di SD dimasukkan ke
dan SMP. Muatal IPA. Konsep
lokal tak Sosiologi
ditangani. dimasukkan ke
IPS. Pembiasaan
Jurusan yang Mapel yang
No. Kurikulum Jurusan yang hilang Mapel yang hilang
muncul muncul
di SD dan SMP.
Tematik kelas I- Antropologi
III SD. terpisah dari
Sosiologi di
SMA. IPA dan
IPS terpadu di
SMP. Muatan
Lokal dihidupkan
7 KTSP
lagi bahkan
sampai SMA.
Pengembangan
Diri
(Pembiasaan)
bahkan sampai
SMA.
Tujuan dan Mata Pelajaran dalam KTSP
Tujuan pendidikan dalam KTSP menggunakan istilah kompetensi. Ada kompetensi lulusan,
kompetensi rumpun mata pelajaran, kompetensi mata pe-lajaran, standar kompetensi, dan
kompetensi dasar. Telah dijelaskan secara singkat di muka, bahwa untuk kompetensi lulusan
dan kompetensi rumpun mata pelajaran akan dicapai oleh sejumlah mata pelajaran.
Sedangkan untuk kompetensi mata pelajaran dicapai setelah dicapainya sejumlah kompetensi
dasar.
Untuk mencapai kompetensi dasar, setiap kompetensi dasar yang ada dalam mata pelajaran
harus diterjemahkan oleh guru di sekolah ke dalam bentuk indikator hasil belajar. Indikator
hasil belajar ini merupakan gambaran tentang kemampuan-kemampauan yang lebih kecil,
yang akumulasinya membentuk kompetensi dasar. Dengan kata lain indikator hasil belajar ini
merupakan tujuan jarak dekat, yang akan dicapai oleh satu kali proses pembelajaran. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa indikator hasil belajar itu analog dengan tujuan pembelajaran
khusus.
Diambil dari:
Surya Dharma, MPA., Ph.D. 2008. Pengembangan Mata Pelajaran dalam KTSP. (materi
diklat pengawas sekolah). Jakarta:Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional