Anda di halaman 1dari 28

Materi Kuliah Pengembangan Kurikulum

Pengertian Kurikulum
Untuk mendapatkan rumusan tentang pengertian kurikulum, para ahli mengemukakan
pandangan yang beragam. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum
dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa
yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. George A. Beauchamp (1986)
mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many
ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in
given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai
suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti
dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be
composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas
lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has
changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences
which are offered to learners under the auspices or direction of school.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (1988)
mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:

1. kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian,
khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
2. kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai
suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan
waktu.
3. kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4. kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai
suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya
perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.

Sementara itu, Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian : (1)
kurikulum sebagai ide; (2) kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai
pedoman dan panduan dalam melaksanakan kurikulum; (3) kurikulum menurut persepsi
pengajar; (4) kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar
di kelas; (5) kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik; dan (6)
kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

Teori Pendidikan dan Kurikulum


Kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum
disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum
dijabarkan berdasarkan teori pendidikan tertentu. Nana S. Sukmadinata (1997)
mengemukakan 4 (empat ) teori pendidikan, yaitu : (1) pendidikan klasik; (2) pendidikan
pribadi; (3) teknologi pendidikan dan (4) teori pendidikan interaksional.
1.Pendidikan klasik (classical education),
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti Perenialisme,
Essensialisme, dan Eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai
upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih
menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari
khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang
telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam prakteknya, pendidik mempunyai peranan
besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai
penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis,
yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih
peserta didik menggunakan ide-ide dan proses ”penelitian”, melalui metode ekspositori dan
inkuiri.
2.Pendidikan pribadi (personalized education).
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki
potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang
dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini,
peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi
kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta
didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan
progresif dengan tokoh pendahulunya- Francis Parker dan John Dewey – memandang bahwa
peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman
peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap
masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat
memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam
metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan
kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J.
Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah,–
memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis.
yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum
humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual
(kurikulum subjek akademis),
3.Teknologi pendidikan,
Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan
pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun
diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah
pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan
pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi
pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data
obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational
. Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan
menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual.
Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara
efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam
masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak
tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis,
yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta
didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga
mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.
4.Pendidikan interaksional,
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran
manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan
manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama
dan interaksi. Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru
kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga
terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara
pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk
dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta.
Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan
interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat
yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum
rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para
peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang
dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang
masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.

Prinsip Pengembangan Kurikulum


Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup:
perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal
membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil
tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik.
Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer
perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap
akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil
pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil
kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang
terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang,
seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya
yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada
dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam
pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam
kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu,
dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi
penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga
pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan
dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua
kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan
efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip
berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses
belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip
berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk
(2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :

1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara


komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi).
Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi
dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan
dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan
perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang
dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya,
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi
tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta
didik.
3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara
vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan
kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas,
antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat
mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal,
cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum
mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah


prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :

1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik
memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan
kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama,
suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum
meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum
mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan
kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan
dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan
dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal,
nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali
terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum
Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada
pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting
adalah perubahan kultural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung
dalam pengembangan kurikulum.

Landasan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh
kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan
manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada
hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak
didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu
sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan
manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama
dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan
(4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara
ringkas keempat landasan tersebut.
1.Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti
dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti :
perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam
pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu,
sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan.
Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang
isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari
pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan
kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini
menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan
waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi
kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme,
essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan
makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada
peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi
pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada
rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping
menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme
lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini
akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat
progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi.
Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model
Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh
karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung
dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai
kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa
negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam
pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat
rekonstruktivisme.
2.Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang
psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan
(2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang
perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan
dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek
perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan
perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari
tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat
belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar,
yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari
pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori
psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran
Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi
merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan
referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu
situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk
melakukan suatu aksi.
b.bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau
informasi.
c.konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya
manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada
permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi
dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan
(pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat
untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit
untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek
perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima
perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3)
perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan
kognitif.
3.Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan
merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat.
Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut
di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal
dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan
sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi
terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat
lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi,
maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik,
kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang
mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek
penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara
berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber
dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga
turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan
dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui
pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang
dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan,
merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat,
baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif
sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai
penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan
terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang
tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau
manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat
di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di
Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir
telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia
sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang
memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang
berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang
berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat
pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih,
sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan
kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam
mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan
antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang
transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena
itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan
hidup manusia.
Model Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu :
(1) pendekatan top-down the administrative model dan (2) the grass root
model.
1. The administrative model;
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama
dan paling banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang
dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur
administrasi. Dengan wewenang administrasinya, membentuk suatu Komisi
atau Tim Pengarah pengembangan kurikulum. Anggotanya, terdiri dari
pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin
ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim ini
adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan,
kebijaksanaan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum.
Selanjutnya administrator membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli
pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, dan
guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya
yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan kebijakan dasar
yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan tujuan-
tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi
pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman
pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai
melaksanakan tugasnya, hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta
para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten.
Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai telah cukup
baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum
tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model
Top – Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan
dan bimbingan. Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The grass root model;
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif
dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari
bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum
yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum
yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang
dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model
pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru
atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan
kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan
dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi
ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila
kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru,
fasilitas biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan
kurikulum model grass root tampaknya akan lebih baik.
Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,
pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang
paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling
kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya.
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya
berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin
pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau
daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan
model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam
meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan
melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan
the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum
dapat berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya,
terutama sumber daya manusia yang tersedia di sekolah.
Sumber :
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan
Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002. Kurikulum
dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.

Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi,
pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut
memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini
akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
A. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan
para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis
penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik
kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian,
dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti
yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara
universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:

1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and
ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest
possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring
them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the
generation but also guide education towards mutual understanding and towards what
has become a worldwide realization of common destiny.)

Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa :
” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik,
selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat
satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum
pendidikan berikut.

1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,


kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler;
yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di
setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan
pembelajaran ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007
tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS

 Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan


lingkungannya
 Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
 Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
 Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA

 Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah


ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu,
rumah tangga, masyarakat, dan negara
 Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang diperlukan
untuk mendalami ilmu ekonomi
 Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki
pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang
bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
 Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial ekonomi
dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun internasional

3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MAK

 Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di


lingkungan masyarakat
 Berwirausaha dalam bidangnya
 Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
 Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.

4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MAK

 Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan


lingkungannya
 Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan
dalam kehidupan sosial
 Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
 Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk di
tingkat lokal, nasional, dan global.

Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata
pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan
tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih
menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he
was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata
lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku
spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada
pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek
kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran,
yakni :

1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan : (a)
menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati; (b)
menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c)
memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta
didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk:
(a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi
respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta
didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan
psikologis.

Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan
pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap
keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat
dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar
filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka
tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung
menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan
utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan
aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar
utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial
yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi
pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada
pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang
sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan
kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum
tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan
kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan
mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada,
sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori
pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan
kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme)
penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran
disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :

1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling
berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan
menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud
menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari
analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan
hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang
harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam
materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk
memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam
garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam
upaya mencapai tujuan kurikulum.

Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan


tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran
harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran
yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa
dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang
krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang
berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah
diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung
penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci
menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi
pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,.
Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang
beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan
secara eklektik dan fleksibel..
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran,
sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap
kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu
memperhatikan hal-hal berikut :.

1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar
telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan
merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi
untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik.
Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun
non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih
lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan
sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat
kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya
terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi
peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga
memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.

Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata
(1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-
akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran
dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada
yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju
bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens
logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari
fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan
tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan
diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah
akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah,
meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan
hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik
diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru
menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik
diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi
pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut
menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

CStrategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi
pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi
pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi
pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran
adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh
kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian,
maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru
merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat
informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang
secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah
atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan
progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi
dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan
belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan
rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika
kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual,
langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran
moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator,
motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan
lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya
untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan
belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha
mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi
pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta
didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta
didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau
media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai
director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk
melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi
pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya
tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep
pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru
seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan
berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya
secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya
keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam
pengorganisasian kurikulum, yaitu:

1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata
pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan
dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan
tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua
materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi
kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang
ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna
memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan
beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan
dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran
dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core
tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang
menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah,
dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata
pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya
memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau
analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi
kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.

Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung


menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok
mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok
mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata
pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah
mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu,
untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk
kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan
diri.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi
kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan
yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan
oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and
progress of students toward objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator
kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi,
efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang
dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel
in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the
degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum
sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut
ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen
tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang
perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu.
Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu
“acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness,
continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus
evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan
kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan
dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti
tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk
mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan
anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan
pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-
hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para
pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem
pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan
para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta
didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian
serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam
evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan
obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP
(Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan
progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan
lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme
pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja
(performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk
akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program
yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program
pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model
ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program
pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai
berikut :

1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan
strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan,
seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin
dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi
dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti :
dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan
proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar,
penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka
pendek dan jangka lebih panjang.
Perubahan Kurikulum
Kenapa kurikulum harus berubah ? demikian pertanyaan yang kerapkali dilontarkan orang,
ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia. Jawabannya
pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat pemahamannya masing-masing.
Sepanjang sejarahnya, di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan hingga ada
kesan di masyarakat bahwa “ganti menteri, ganti kurikulum”.
Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku
(current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan
dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi
tertentu.
Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah
pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko
yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu
yang singkat serta tanpa dasar yang jelas.
Namun dalam konteks KTSP, perubahan kurikulum pada tingkat sekolah justru perlu
dilakukan secara terus menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus dilakukan
secara radikal dan menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi. Mungkin
cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah.
Kita maklumi bahwa semenjak pertama kali diberlakukan KTSP yang terkesan mendadak,
kegiatan pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan
“keterpaksaan” demi mematuhi ketentuan yang berlaku, sehingga model yang dikembangkan
mungkin saja belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh
karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan perbaikan
– perbaikan yang secara terus-menerus berdasarkan data evaluasi, hingga pada akhirnya dapat
ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik dan kondisi nyata
sekolah.
Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau saja suatu sekolah semenjak awal
memberlakukan KTSP hingga ke depannya tidak pernah melakukan perubahan-perubahan
apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang demikian, sama sekali tidak menunjukkan
perkembangan alias stagnan.
Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di sekolah,
seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah yang bertugas
untuk memanage kurikulum di sekolah. Memang saat ini, di sekolah-sekolah sudah ditunjuk
petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya dipegang oleh wakasek kurikulum).
Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan tugas -tugas yang hanya
bersifat rutin dan teknis saja, seperti membuat jadwal pelajaran, melaksanakan ulangan
umum atau kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk mendesain,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi serta mengembangan kurikulum yang lebih
inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan.
Dengan adanya Tim Pengembang Kurikulum di sekolah maka kegiatan manajemen
kurikulum mungkin akan jauh lebih terarah, sehingga pada gilirannya pendidikan di sekolah
pun akan jauh lebih efektif dan efisien.
Pengelolaan Kurikulum Sekolah Kategori
Mandiri /Sekolah Standar Nasional
Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum nasional yang
bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi untuk melayani kebutuhan siswa yang
memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa.
Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan
kurikulum nasional yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum guna
melayani kebutuhan peserta didik tertentu yang berhak memperoleh pendidikan khusus. 2)
ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan peserta didik yang berhak memperoleh
pendidikan khusus.
Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI
dan SKL yang berlaku secara nasional, sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan
standar kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu
terlebih dulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang
esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur
kreteria berikut ini : (1) Konsep dasar, (2) Konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut,
(3) Konsep yang berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering muncul pada Ujian Akhir
(Munandar, 2001).
Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan
untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan
pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri (Slameto, 1991).
Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi pelajaran yang
digunakan dalam penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang disusun satuan
pendidikan dengan pengorganisasian materi kurikulum dibuat menjadi materi umum/wajib
dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai dengan uraian di atas adalah
kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit semester.
Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam satuan
kredit semeser (sks). Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mata pelajaran umum
(MPU), mata pelajaran dasar (MPD), dan mata pelajaran pilihan (MPP). MPU harus diambil
oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan pribadi yang memiliki akhlak mulia,
kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa sebagai warganegara yang baik. MPD
harus diambil peserta didik sebagai landasan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. MPP adalah sejumlah mata pelajaran yang disusun menjadi program bidang
tertentu yang dipilih sesuai dengan minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi
di perguruan tinggi. Namun, mata pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh
peserta didik yang telah memilih program lain untuk memperkaya bidang karirnya.
Mengingat kemungkinan bervariasinya mata pelajaran yang dipilih peserta didik maka
sekolah perlu menunjuk petugas pengelola data akademik untuk mendata kemajuan belajar
setiap peserta didik dan menyimpannya dengan baik yang dapat dibuka kembali setiap
diperlukan. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi peserta didik yang pernah
absen dan mengatur jadwal kegiatan remidial bagi peserta didik yang belum mencapai
kompetensi minimal yang ditetapkan.
Sekolah menunjuk guru sebagai petugas pembimbing akademik yang membina peserta didik
maksimum 16 orang setiap guru. Guru pembimbing akademik bertugas membantu peserta
didik memilih mata pelajaran yang akan diambil pada suatu semester, memilih program
jurusan, dan menyelesaikan persoalan akademik secara umum serta menjawab pertanyaan
akademik dari orang tua peserta didik yang menjadi binaannya. Peserta didik yang pada suatu
semester memiliki indeks prestasi (IP) tinggi maka pada semester berikutnya diberi
kesempatan untuk mengambil beban belajar lebih banyak sehingga dapat mencapai kebulatan
studi dalam rentang waktu kurang dari enam semester, dan sebaliknya.
Sumber:
Depdiknas.2008. Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri /Sekolah Standar
Nasional. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Mengah Atas. Dirjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah

Tentang Pengembangan Diri dalam KTSP


A.Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya
melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan
diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan
tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan
pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP.
Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga komponen yaitu: (1)
Mata Pelajaran; (2) Muatan Lokal dan (3) Pengembangan Diri.
Komponen Pengembangan Diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku untuk
dikembangkan pada semua jenjang pendidikan. Sebagai sesuatu yang dianggap baru,
kehadirannya menarik untuk didiskusikan dan diperdebatkan, Sejumlah pertanyaan banyak
diajukan diantaranya saja : Apa hakekat Pengembangan Diri itu ? dan Bagaimana pula
pelaksanaan kegiatan Pengembangan Diri di sekolah ?
Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan dipaparkan secara teoritik tentang hakekat
pengembangan diri dan beberapa alternatif pemikiran tentang pelaksanaan kegiatan
pengembangan diri di sekolah, untuk dijadikan sebagai salah satu bahan rujukan dalam
kegiatan Pengembangan Diri di sekolah-sekolah, sehingga kegiatan Pengembangan Diri di
sekolah lebih dapat dipertanggungjawabkan.
B. Hakikat Pengembangan Diri
Penggunaan istilah Pengembangan Diri dalam kebijakan kurikulum memang relatif baru.
Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun dalam prakteknya.
Jika menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya psikologi pendidikan, istilah
pengembangan diri disini tampaknya dapat disepadankan dengan istilah pengembangan
kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak dikenal. Meski sebetulnya istilah diri
(self) tidak sepenuhnya identik dengan kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa
psikologi disebut pula sebagai aku, ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus
inti dari kepribadian, yang di dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan
cita-cita, baik yang disadari atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu
biasa disebut self picture (gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut
unconscious aspect of the self (aku tak sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005). Menurut
Freud (Calvin S. Hall & Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan eksekutif
kepribadian untuk mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau
rasional, untuk membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal
yang terdapat dalam dunia luar.
Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya, ada yang
realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki kepercayaan, sikap,
perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya,
terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan seseorang
akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk memiliki kepribadian yang sehat.
Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis boleh jadi akan menimbulkan pribadi
yang bermasalah. Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan
seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung melabrak
norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain. Selain itu, orang
yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan pemikiran yang over estimate
terhadap sesuatu. Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat menyebabkan seseorang
cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak memiliki keberanian. Kepercayaan
diri yang berlebihan maupun kurang dapat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya
namun juga bagi lingkungan sosialnya.
Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap dirinya. Sikap akan
diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya, sedangkan perasaan
dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan keadaan dirinya. Sikap terhadap
dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri (penilaian diri), yang menurut Maslow
merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia yang amat penting. Sikap dan mencintai diri
yang berlebihan merupakan gejala ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme.
Sebaliknya, orang yang membenci dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan
masochisme.
Disamping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang tidak realistis
dan berlebihan, serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan berakhir dengan
kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang yang kurang memiliki cita-cita tidak
akan mendorong ke arah kemajuan.
Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa (1971) mengemukakan tiga komponen
tentang diri, yaitu : (1) aku ideal (ego ideal); (2) aku yang dilihat dirinya (self as seen by
self); dan (3) aku yang dilihat orang lain (self as seen by others). Dalam keadaan ideal ketiga
aku ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang sehat, sementara jika terjadi
perbedaan-perbedaan yang signifikan diantara ketiga aku tersebut merupakan gambaran dari
ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita bisa melihat arah dan hasil yang
diharapkan dari kegiatan Pengembangan Diri di sekolah yaitu terbentuknya keyakinan, sikap,
perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga peserta didik dapat memiliki
kepribadian yang sehat dan utuh.
C. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Diri
Secara konseptual, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 kita
mendapati rumusan tentang pengembangan diri, sebagai berikut :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru.
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap
peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau
dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan
konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan
pengembangan karir peserta didik.
Berdasarkan rumusan di atas dapat diketahui bahwa Pengembangan Diri bukan merupakan
mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan
pengembangan diri jelas berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata
pelajaran. Seperti pada umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran
dilaksanakan dengan lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas, sesuai dengan
alokasi waktu yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran reguler), di bawah
tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di bidangnya. Walaupun
untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat disarankan untuk mengembangkan kegiatan
pembelajaran di luar kelas guna memperdalam materi dan kompetensi yang sedang dikaji dari
setiap mata pelajaran.
Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam
reguler (jam efektif), melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah satunya dapat
disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan sekolah, di bawah
bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina dari unsur sekolah maupun luar
sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler yang lazim diselenggarakan di
sekolah, seperti: pramuka, olah raga, kesenian, PMR, kerohanian atau jenis-jenis ekstra
kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan
untuk pengembangan diri.
Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang memiliki kompetensi di bidangnya,
kegiatan pengembangan diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di luar jam
efektif yang bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok, permainan kelompok,
bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat kelompok. Selain
dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan pengembangan diri dapat
dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang siswa diberi tugas untuk mengkaji
buku, mengunjungi nara sumber atau mengunjungi suatu tempat tertentu untuk kepentingan
pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu sendiri.
Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan diri bisa saja
dilakukan secara klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini tidak dijadikan
andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan siswa untuk dapat
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minatnya
relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan dengan tujuan dari
pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan tentang pengembangan
diri di atas.
Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
terjadi pengurangan jumlah jam efektif setiap minggunya, namun dengan adanya
pengembangan diri maka sebetulnya aktivitas pembelajaran diri siswa tidaklah berkurang,
siswa justru akan lebih disibukkan lagi dengan berbagai kegiatan pengembangan diri yang
memang lebih bersifat ekspresif, tanpa “terkerangkeng” di dalam ruangan kelas.
Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan prinsip keragaman individu. Secara
psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta karakateristik lainnya
yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan diri pun seyogyanya dapat
menyediakan beragam pilihan.
Hal yang fundamental dalam dalam kegiatan Pengembangan Diri bahwa pelaksanaan
pengembangan diri harus terlebih dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi
kebutuhan, bakat dan minat, yang dapat dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes
bakat, tes minat dan sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori, observasi, studi
dokumenter, wawancara dan sebagainya).
Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling menjadi amat penting, melalui kegiatan
aplikasi instrumentasi data dan himpunan data, bimbingan dan konseling seyogyanya dapat
menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat serta karakteristik peserta
didik lainnya. Data tersebut menjadi bahan dasar untuk penyelenggaraan Pengembangan Diri
di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun
melalui layanan bimbingan dan konseling itu sendiri.
Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan Pengembangan Diri tidak identik dengan
Bimbingan dan Konseling. Bimbingan dan Konseling tetap harus ditempatkan sebagai bagian
integral dari sistem pendidikan di sekolah dengan keunikan karakteristik pelayanannya.
Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah kemungkinan besar
akan menggunakan konsep baru menggantikan Pola 17 yang selama ini diterapkan. Ke
depannya kemungkinan akan digunakan konsep baru yang lebih dikenal sebutan Bimbingan
dan Konseling Komprehensif dan Pengembangan (Developmental and Comprehensive
Guidance and Counseling), dimana layanan Bimbingan dan Konseling lebih bersifat
menyeluruh (guidance for all) dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis (clinical atau
therapeutical approach) akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan pengembangan
(developmental approach). Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan
dari kedua pendekatan tersebut adalah :
Pendekatan Pengembangan :

 Bersifat pedagogis
 Melihat potensi klien (siswa)
 Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
 Menggembirakan klien (siswa)
 Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
 Bersifat humanistik- religius
 Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya
 Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif

Pendekatan Klinis (Model Lama):

 Bersifat klinis
 Melihat kelemahan klien
 Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
 Konselor serius
 Klien (siswa) sering tertutup
 Dialog menekan perasaan klien
 Klien sebagai obyek

Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi pengembangan,
seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok kiranya perlu lebih
dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun intensitas pelayanannya.
Dari uraian di atas, tampak bahwa kegiatan pengembangan diri akan mencakup banyak
kegiatan sekaligus juga banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan
pengorganisasian tersendiri. Namun secara prinsip, bahwa pengelolaan dan pengorganisasian
pengembangan diri betul-betul diarahkan untuk melayani seluruh siswa agar dapat
mengembangkan dirinya secara optimal, sesuai bakat, minat, dan kebutuhannya masing-
masing dan pengembangan diri menjadi wilayah garapan bersama antara komponen
pembelajaran dan komponen Bimbingan dan Konseling di sekolah dengan keunikan tugas
dan tanggung jawabnya masing-masing.
D. Kesimpulan
Pengembangan Diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari struktur
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap,
perasaan dan cita-cita para peserta didik yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat
mengantarkan peserta didik untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun
seyogyanya lebih banyak dilakukan di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan
yang dilembagakan maupun secara temporer, bersifat individual maupun kelompok.
Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik
dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk mengidentikasi
kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik melalui kegiatan aplikasi instrumentasi dan
himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga banyak
melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang
banyak mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan
berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah :
“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkan ke dalam
cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Di sana tidak akan ada
paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian. Apabila mereka ingin memanjat
atau berski, kita akan membantu mereka untuk mendapatkan keterampilan itu. Apabila
mereka ingin mengidentifikasi tumbuhan gunung tinggi atau burung, kita akan
mengusahakan diperolehnya pengetahuan itu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki
kedambaan akan adanya kegiatan atau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya
duduk diam seperti kaum penghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin
memandangi awan berarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik
hujan yang menitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itu
semua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah, ketakutan, ide,
harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai muncul kembali ke permukaan…”
(Combie White, 1997).
Dalam sejarah penggunaan kurikulum di Indonesia setelah merdeka,
ada sepuluh kurikulum yang pernah dipakai yaitu kurikulum pasca
kemerdekaan 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
dan KBK yang disempurnakan menjadi kurikulum KTSP atau
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Pada setiap periode kurikulum yang pernah diberlakukan tersebut model konsep kurikulum
yang digunakan, prinsip dan kebijakan pengembangan yang digunakan, serta jumlah jenis
mata pelajaran berikut kedalaman dan keluasannya tidak sama.
Variabilitas kurikulum yang digunakan berimplikasi terhadap variabilitas penuangan mata
pelajaran yang harus dipelajari. Secara umum bisa dijelaskan karena adanya substansi
determinan atau landasan kurikulum yang digunakan tidak sama. Meskipun unsur-unsur
umum determinan kurikulum itu sama yaitu faktor filosofis, sosiologis, psikologis, dan ilmu
pengetahuan dan teknologi, namun pada setiap masa memiliki suatu kecederungan tersendiri
yang menjadi warna dominan dari kurikulum itu sendiri, sebagai alat pencapaian tujuan
pendidikan. Perbedaan ini juga turut menentukan mata pelajaran apa saja yang harus
dipelajari, juga prinsip-prinsip cara mempelajari mata pelajaran yang ada dalam struktur
kurikulum yang bersangkutan.
Landasan filosofis, berkaitan dengan pandangan hidup negara. Filosofis negara ini akan
mengarahkan pada penentuan tujuan umum pendidikan nasional. Perbedaan filosofis negara,
atau adanya perbedaan konsistensi pengamalan nilai-nilai filosifis akan mempengaruhi
filsafat pendidikian dan filsafat kurikulum yang digunakan. Tentu ini pun akan mengarah
pada susunan mata pelajaran yang harus dipelajari.
Landasan sosiologis, berkaitan dengan sistem nilai, norma, adat isitiadat, tata aturan
bermasyarakat dan bernegara juga berpengaruh terhadap penggunaan sistem kurikulum.
Dalam aspek sosiologis di dalamnya adalah sistem politik yang berlaku, ikut menentukan
tentang apa yang harus dipelajari, kedalaman dan keluasannya, serta teknis
pengembangannya.
Contoh ketika sistem politik negara menggunakan sistem sentralistik, maka pengembangan
kurikulum didominasi oleh pemerintah pusat, kurang atau bahkan mungkin tidak melibatkan
pemerintah daerah atau guru sama sekali. Namun ketika sistem politik berubah menjadi
desetralisasi, kebijakan pengembangan kurikulum pun berubah, yang tadinya terpusat
sebagian didesentralisasikan ke daerah (pemerintah daerah dan sekolah, guru).
Contoh lainnya, terdapat perbedaan kurikulum, jenis dan jumlah mata pelajaran antara negara
yang demokratis dan negara yang tidak terlalu menonjolkan demokratis. Bahkan sesama
negara demokratis pun masih terdapat variabilitas.
Determinan berikutnya yaitu unsur psikologis. Situasi kondisi sasaran kurikulum ikut
mempengaruhi konsep dan model kurikulum. Akan terdapat perbedaan mata pelajaran,
setidaknya tingkat kesulitan dan cakupannya, antara jenjang pendidikan satu dengan lainnya.
Antara pendidikan normal dan pendidikan luar biasa.
Selain dari pada itu, pandangan psikologi atas bagaimana manusia belajar bermacam-macam,
di antaranya ada behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Ketiga jenis pandangan
tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Penggunaan salah satu dari tiga pandangan
atas belajar di atas, akan berpengaruh terhadap apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara
mempelajarinya.
Determinan terakhir yaitu bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Termasuk di dalamnya
ilmu pengetahuan dan teknologi kurikulumnya itu sendiri. Kemajuan IPTEK akan melahirkan
tuntutan untuk mempelajari IPTEK kontemporer. IPTEK kontemporer memiliki karakteristik
tersendiri tentang bagaimana cara untuk mempelajarinya.
Uraian di atas, menjelaskan kepada kita bahwa perkembangan mata pelajaran dipengaruhi
oleh model konsep kurikulum yang digunakan. Suatu jenis model kurikulum itu sendiri
memiliki karakteristik disain (tujuan, materi, strategi, dan evaluasi) tersendiri.
Di bawah ini tabel perbandingan jurusan dan mata pelajaran yang hilang dan muncul pada
kurikulum kurikulum 1964 sampai dengan KTSP.
Tabel 1 Perbandingan Jurusan dan Mata Pelajaranyang Hilang dan Muncul pada Kurikulum
1964 sampai dengan KTSP (Belen, 2007)
Jurusan yang Mapel yang
No. Kurikulum Jurusan yang hilang Mapel yang hilang
muncul muncul
Jurusan Budaya Prakarya
1 1964
SMA
Berhitung Matematika
Pendidikan
2 1968 Kesehatan
Keluarga
Kecakapan
Jurusan yang Mapel yang
No. Kurikulum Jurusan yang hilang Mapel yang hilang
muncul muncul
Khusus
Jurusan Budaya SMA: Jurusan Bahasa Indonesia Muncul
SMA IPA, IPS, Tulisan Arab Broadfield:
Bahasa. Jurusan Bahasa Jawa Matematika,
Budaya menjadi Kuno IPA, IPS Bahasa
3 1975
jurusan bahasa Indonesia, Civics
menjadi PMP
(Pendidikan
Moral Pancasila)
SMA: Program Tata Buku. Akuntansi,
B (Vokasional) Pendidikan Sosiologi,
tak Keterampilan dan Pendidikan
dilaksanakan. Pendidikan Seni Sejarah
Jurusan IPS dan tergabung menjadi Perjuangan
Bahasa tetap. Pendidikan Bangsa (PSPB),
Jurusan IPA di Kertakes. Tata Negara,
4 1984 bagi dua: Pada Pendidikan Muatan Lokal,
Jurusan ilmu- Bahasa Indonesia Keterampilan,
ilmu fisik dan dikenalkan Budaya.
jurusan ilmu- Pragmatic.
ilmu hayati.
Jurusan Agama
untuk Madrasah
Aliyah.
Program B SMA, Penjurusan di Tata buku, PMP menjadi
Jurusan Ilmu-ilmu kelas 3 SMA: Pendidikan PPKn. B.
Fisik dan Ilmu-ilmu IPA, IPS, Keterampilan dan Indonesia dan B.
Hayati digabung ke Bahasa. Pendidikan Seni Inggris
jurusan IPA. tergabung menjadi menggunakan
kertakes. communicative
5 1994
Pada Pendidikan approach.
Bahasa Indonesia Muncul bahasa
dikenalkan Jepang dan
Pragmatic Mandarin.
Muatan Lokal di
SD dan SMP.
Jurusan Agama Penjurusan PPKn menjadi Bahasa Inggris
SMA kembali ke kelas PKn. Di SMA SD dan
2 SMA. Antropologi Komputer SD
Tematik untuk digabungkan ke menjadi pilihan.
kelas I dan II Sosiologi. Diberi ICT di SMA.
6 KBK SD. jam untuk Konsep Kimia
pembiasaan di SD dimasukkan ke
dan SMP. Muatal IPA. Konsep
lokal tak Sosiologi
ditangani. dimasukkan ke
IPS. Pembiasaan
Jurusan yang Mapel yang
No. Kurikulum Jurusan yang hilang Mapel yang hilang
muncul muncul
di SD dan SMP.
Tematik kelas I- Antropologi
III SD. terpisah dari
Sosiologi di
SMA. IPA dan
IPS terpadu di
SMP. Muatan
Lokal dihidupkan
7 KTSP
lagi bahkan
sampai SMA.
Pengembangan
Diri
(Pembiasaan)
bahkan sampai
SMA.
Tujuan dan Mata Pelajaran dalam KTSP
Tujuan pendidikan dalam KTSP menggunakan istilah kompetensi. Ada kompetensi lulusan,
kompetensi rumpun mata pelajaran, kompetensi mata pe-lajaran, standar kompetensi, dan
kompetensi dasar. Telah dijelaskan secara singkat di muka, bahwa untuk kompetensi lulusan
dan kompetensi rumpun mata pelajaran akan dicapai oleh sejumlah mata pelajaran.
Sedangkan untuk kompetensi mata pelajaran dicapai setelah dicapainya sejumlah kompetensi
dasar.
Untuk mencapai kompetensi dasar, setiap kompetensi dasar yang ada dalam mata pelajaran
harus diterjemahkan oleh guru di sekolah ke dalam bentuk indikator hasil belajar. Indikator
hasil belajar ini merupakan gambaran tentang kemampuan-kemampauan yang lebih kecil,
yang akumulasinya membentuk kompetensi dasar. Dengan kata lain indikator hasil belajar ini
merupakan tujuan jarak dekat, yang akan dicapai oleh satu kali proses pembelajaran. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa indikator hasil belajar itu analog dengan tujuan pembelajaran
khusus.
Diambil dari:
Surya Dharma, MPA., Ph.D. 2008. Pengembangan Mata Pelajaran dalam KTSP. (materi
diklat pengawas sekolah). Jakarta:Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional

Anda mungkin juga menyukai