Anda di halaman 1dari 50
at LAPORAN PENELITIAN DINAMIKA PENGETAHUAN PETANI DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI DI DESA WAKALAMBE KECAMATAN KAPONTORI KABUPATEN BUTON OLEH Drs. TIBE HAFID, M.Pa. Dra. WA ODE SIFATU, M.Si. LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS TERBUKA 2001 LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN PENELITIAN LEMBAGA PENELITIAN - UT Loa b. Bidang Penelitian ¢. Bidang [imu 2. Ketua Pelaksana a. Nama Lengkap b.NIP. c. Gol. Kepangkatan. d. Jabatan Akademik e, Unit Kerja 3. Anggota Tim Peneliti a Nama Lengkap b.NIP ¢. Gol. Kepangkatan d, Jabatan Akademik ©. Unit Kerja 4, Lama Penelitian 5. Biaya Penelitian 6, Sutiber Biaya “Mengetahui :*, KepalatiRBIJ-UT Kendari, ° (SG ae \Drs: Tibe Hatid/M.Pa NIP=130-289-042 Mengetahui : Ketua Lembaga Penelitian UT Wwe — Dr. WBP. Simanjuntak, M.Ed. Ph.D... NIP. 130 212 017 Judul Penelitivn + A Se DINAMIKA PENGETAHUAN PETANI DALAM MENINGKATKAN PRODUKS! DI DESA WAKALAMBE KECAMATAN —KAPONTORE KABUPATEN BUTON) : Studi Indonesia + Sosial Budaya * Drs, Tibe Hafid, M.Pd, “130 289 042 Pembina Utama /IV/c. Lektor Kepala UPBJJ-UT Kendari Dra. Wa Ode Sifatu, M.Si. +13) 6854374 Penata (Ud Lektor Madya : FISIP Unhalu Kendari 26 bulan Rp. 3.136.500,- (Tiga juta seratus tiga puluh enam ribu lima ratus rupiah) Lemlit-UT. Kenderi, Desember 2000 Ketua Peneliti, A Drs, Tibe Hafid, M.Pd. NAP, 130 289 042 Menyetajui: Kepala PSI - UT, A Ly anny A Dr. Tian Belawati. NIP. 131 569.974 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika pengetahuan dalam meningkatkan produksi sebelum dan setelah melakukan program Revolusi Hijau pada masyarakat dj Desa Wakalambe Kecamatan kapontori Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, ineliputi: (1) sikap terhadap kebereadaan irigasi besserta segale fasilitas penunjanya; (2) tingkat pereays diri dalam pengambilan képutusan untuk pengelolaan lahan pertaniannya; (3) persepsi dan sikap masyarakat setelah mengetahui bahwa darah mereka telah terkontaminasi dengan pestisida, Penelitian inj dirancang sebagai penelitian deskriptif kualitatif’ dengan unit kajian atey populasinya adalah kepala keluarga masyarakat lokal petani sawah. Responden dipilih 10 % dengan cara random dari seluruh populasi dan sejumlah inforsnan kunci yang dipilih secara purposive. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, teknik pengamatan, teknik pengamaten terlibar dan focus group discussion, Alat untuk menjasing data adalah pedoman wawancara dan pedoman pengamatan, pedoman pengamatan terlibes dan pedoman focus group discussion. Analisa data dilakukan secara deskriptit kualitatif melalui interpretasi data basil wawancara, hasil pengamatan dan hasil diskusi kelompok terpusat, Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: — sikap masyarakat — terhadap keticracaan irigasi dan fasililas penunjangnya adalah pade mulanya harus menerima, namun setelah meliha! kondisi masyarakat saat ini relatif mennlak. ba dapat diandalkan sebagai penunjang hidup dimasa yang akan datang, Hal itu terbukti selama tiga tabun terakhir ini masyarakat petani mengatemi gagal panen, Dinamika pengetahuan petani dalam meningkatkan produksi tidak mengalami peningkaten Karena kebebasan pelani memang mengalami pengekangan luar biasa dengan dibaruskannya petani menanam benih unggul selingga kebebasan mereka memilih Jenis-jenis padi menjadi hilang Dapat diasumsiken bahwa kekayaan pengetahuan ‘ekologi petani lebih bervariasi pada masa sebelum dari pada pada masa setelah edanya irigasi, Degradasi biodiversitas hayati dengan menghilangaya beranekeragam jenis padi gagengan menandaken pula terjadinya degradasi pengetahuan lokal petani. Pemasungan kebebasan petanipun memiliki implikasi lebih jauh, yakni “pemiskinan budaya petani”” Masyarakat saat ini masih memiliki tingkat percaya diri dalam mengambil keputusan intuk Kembali meninjau cara pertanian tradisional setelah beberapa kali mengalami gagal panen, Saat ini masyaraket hanya berpusrah setelah mengetahui jike darah mereka telah terkontaminasi dengan pestisida karena tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan mencuci darah di rumah sakit. Beberapa saran yang diajukan; (1) Pemerintah seyogyanya bertanggung jawab terhadap kondisi yang dialami olch para petani saai ini; (2) Petani tidak menjadi ajang perebutan atau arena kompetisi produsen-produsen pelbagai produk teknologi pertanian tetapi petani harus mampu menjadi produsen yang mandiri; (3) Strategi penggunaan, pestisida itu harus dievaluasi keberadaannya ‘saat ini, dengan merubal paradigma pembangunan dengan menempatkan pembangunan “modal sosial” para petani itu sendiri sebagai prioritas wama, KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Than Yang Maha Esa yang telah metimpahkan Taufiq dan Hidayah-Nya sehinggs laporan ini dapat diselesaiken, ‘Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika budaya petani dalam meningkatkan produksi pertanian, Selurub rangkeian tahapan penelitian hingga selesainya laporan depat terwujud Karena adanya dukungan dan kerja sama antara UPBIY Kenderi dengan Lembaga Penelitian UT di Jakarta, Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih yang tak terhingga. Kami menyadari bahwa laporan ini masib terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan. Semoge hasil penetitign ini dapat memberikan sumbangan delam rangka perbaikan paradigma pembangunan di bidang pertanian di Indonesia, Semoga Allah SWT sensntiasa memberikan Hidayah-Nya kepada kita dalam menjalankan tugas sehrichard, Amin? Kendari, Maret 2001 Tim Peneliti. DAFTAR ISL Halaman HALAMAN JUDUL ..... i HALAMAN PENGESAHAN it eae iff iv DAFTAR ISL v DAFTAR TABEL. vi BABI, PENDAHULUAN 1 1,1, Latar Belakang,.. 1 1.2, Rummusan Masalah 4 1.3, Tujuandan Penelitian 4 1.4, Manfaat Penelitian ........ 5 BABI ‘TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB JIl_ METODE PENELITIAN u 3.1. Sifat Penelitian ........ ierenennnaaN u 3.2, Lokasi Penelitian pete . ip] 3.3. Populasi, Responden, dan Informan secseetie H 3.4, Teknik Pengumpulan Data , Hn 4.3, Analisa Data . ce] BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .1....000r00 0000 13 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......00.c+--+ B 4.2. Aktifitas Bertani Masyarakat lokal Sebelurn Kedatangan Transmigren 20 4.3. Aktifitas Bertani Masyarakat lokal Pasksh Kedatangan Transmigran.. | 4.4, Dinamika Budaya dan Perluasan Wawasan Pengetahuan dalam Bertani Sebelum dan Setelah Melalcukan Revolusi Hijau Pada masyarakat di Desa Wakalambe 29 BAB V. PENUTUP 40 5.1. Kesimpulan 40 5.2. Saran 2 DAFTAR PUSTAKA, a LAMPIRAN we Nama Informan 45 ‘Tabel 1 Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. DAFTAR TABEL Halaman. Jumlah Sarana Penunjang Aktivitas Masyarakat Desa Wakalambe ‘Tahun 2000 a wee . 15 Penduduk Desa Wakalambe Menurut Mate Pencaharian Tahun 2000. 17 Jenis Tanaman dan Luas Lahan Pertanian Penduduk Desa Wakalambe ‘Tahun 2000 wrosebaess Ber aoenyten! a . Bb Jenis Hewan Ternak yang diusahakan Desa Wakalambe Tahun 2000. ses inihnesecuieacl an cashes: 19 BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belokang Sentralisme kekuasaan rezim Orde Baru membuat hampir selusuh aspek kehidupan sosial, politik dan ekonomi, termasuk pelaksanean pembangunan ditentukan oleh negara, Disamping itu, setelah Orde Baru berkuasa, Konsep pembangunan berubah dari sebuah konsep perubahan sosial menjadi ideologi, Pengendalian ide-ide dan pelaksanaan pembangunan di dominasi oleh negara dan akhimya menempatkan rakyat dalara posisi yang berseberangan dengan negara, baik dalam makna sebagai subyek dari pembangunan atau pun sebagai korban (obyek) dari pembangunan, Pembangunan di bidang pertenian terutama pada era penerapan program Revolusi Hijau yang dimulai tahun 1970-an menyebabkan terjadinya akurvilasi ketidaktahuan petani atas apa yang dilakukannya, bukannya akumulasi dari’ penyetainuan yang’semakin kaya yang menjadi fandasan perwujudan tingkah luku mereka, Akibetaya tahun 1997 mmasyarakat Indonesia mengalami krisis pangan, Di era reformasi ini, masyarakat indonesia Khusuanya Limuan Sosial baik daiam maupun [uar negeri telah menawarkan konsep pembangunan pertanian spesifik lokasi dan berwawasan kemandirian lokal, Namun kebijakan Departemen Pertanian dengan Gema Palagung 2000 mengindikasikan kembalinya pemasungan dan pembodohan petani di Indonesia. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan pernyataan petani (H. Nai, 1991) di Ciasem Boru Jawe Barat dalam Winarto (1999; 1) berikul: “Ketika kita menanam padi gagangan, kegiatan bercocoktanam padi sepenuhnya ada di tangan pstani, Petuni bebas memilih. Sekarang, tanam padi diatur pemerimtah, apa yang harus ditanam, kopan mulai menanam, dan bagaimana menanamnya”. — Kebijakan pembangunan pertanian seperti tersebut diberlakukan ke seluruh pelosok tanzh air tanpa mempertimbangkan pengetahuan masyarekat Lokal Gardner dan Lewis (1998) dalam bukunya “Anthropology, Development and the Post-Mademn Challenge" menggugsh para antropolog agar dapat berperanan lebih signifikan dalam mengkaji wacana, paradigma pembangunan, kaitannya dengan pengetshuan dan kekuasaan, serta upaya pelibatan penduduk setempat sendiri dalam keseluruhan proses pembangunan, Argumentasi Gardner dan Lewis yang mendasuri pembahasannya bertolak dari anggapan bahwe wacana pembangunan merupskan hal yang sentral tentang bagaimana dunia itu direpresentasikan dan dikontro! oleh mereka yang berkuasa, Pembangunan bidang pertanian merupaken salah satu contoh bagaimana wacana, pengetahuan dan reproduksi kekuasaan berlangsung dengan pelaksanaan pembangunan dari atas (Cop-doien), tanpa melibatkan penduduk setempat dalam proses perencanaan, dengan tidak mengutamakan pada pentingnya dan berpotensinya pengetahuan lokal, serta paling mendasar: tidak menyajikan Kenungkinan luas bagi berkembangnya budaya petani, Kondisi budaya petani tersebut terutama dlalami oleh masyarakat petant sawah termasuk masyarakat di Desa Wakalambe Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton, Melalui kyjian etnografi, beik dari ‘dalam’ maupun dari ‘luar’ konteks pranate pembangunan pertanian masyaruket Desa Wakelambe dapat terungkap dengan berlandaskan pada asumsi bahwa wacana pembangunan itu merupakan hal yang dan dapat diubah, teryantung dari penafsiran masing-masing individu. Sojak zaman kerajaan hingga saat ini, Keoumatan Kapontori khususnya Desa Wakalambe merupakan pemasok beras dan sayursmayur Kabupaten Buton, Lahan persawahan di Kecamatan Kapontori yang di usahakan sejak thun 1984 dan tahun 1999 telah dicetak sawah 131 ha. Program tersebut awalnya sangat menggembirakan pihak penguasa karena menambah [uss pasokan beras masyarakat di Kabupaten Butot. Namun hasil wawancara dengan tokob-tokoh masyarakat Desa Wakalmbe bahwa selama 3 twhun terakhir ini banyak mengatami-masalah antara lain adalah gagal panen akibat serongan hama tikus, lahan persawahan tersebut saat ini dimiliki oleh warga transmigean dari Darth Bali sementara terdapat banyak warga masyarakat lokal mengklaim bahwa Jahan tersebut masih milik mereka yang sebagian dibuktikan dengan adanya surat akte atas tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional sebelum datangnya warga transmigran, serta hasil penetition dari Departemen Kesehatan (1999) menunjukkan bahwa 30 % masyarakat darahnya telah terkontaminasi dengan pestisida. Dengan demikian, dinamika budaya dan perluesan wawasan dan pengetahuan bertani dalam meningkatkan produksi pertanian masyarakat di Desa Wakalambe perlu ikaji secara etnografis agar masalah yang saat ini di slami masyarakat dapat segra dicarikan solusinya. Kajian ini dianggap sangat penting karena selama Em Revolusi Hijau menunjukkan bagaimana para petani mengelemi Kehilangan, Kebebesan dan kekuasaan atas labannya sendiri, sambil mencobe mengadopsi teknologi dengan skema intenpretasi atau pemahaman dari domain teknologi tersebut. Hal itu terjadi tanpa disertai oleh internalisasi pengetahuan yang Komprehensif mengenai teknologi yang dipaksakan oleh ‘igen pembanguean pertanian’ untuk diadopsi, Hilangnys kebebasan dan tidak adanya orientasi bagi periuasan wavwasan dan pengetahuan petani dalam bertani menjadi kendala bagi perkembangan budaya mereka, Konsekuonsl yang tidak terduga dari paradigms pembangunan, semacam ini adalah meningkainya “ketidaktahuan” petani dan meledaknys serangan hams dan penyakit (Yunita,T, Winarto, 1999:14), Bukan hanya masalah tersebut di atas, masalah lain adalah masalah klasifikasi jenis tanah dan pole penataan luhan dan banyak komunitas di Indonesia, Disatu sisi sering tidak terpecahkan secara baik. Banya kasus yang muncul mengarah pada konflit epentingan akan Inhan ini tente saja menyangkut masalah hukum tanah (adat dan agraria) tetapi juga menyangkut masalah dalam penggunaan Jahan untuk pemukiman (spontan, transimigrasi dan resettlement). Penggunean iahan untuk pertanian (ladang, Kebun dan sawah) seria usaha~usaha Jain sebagai maia pencahurian, Permasalahan tersebut muncul karena masih kurangnya pemehaman tentang lahan sesuai dengan jenis tanah berlatar belakang “pengetahuan lokal” oleh orang luar (the ofher), baik praktisi maupun mereka yang berkepentingan dengan lahan tersebut, Pada hal kita ketahui bahwe setiap suku bangsa lokal di indonesia memiliki pengetahuan mengenai Klesifikasi jenis tanah, dan carah pemanfaatannya Melalui penetitian ini dinamika budaya masyarakat dan perluasan wawesan berani pada masyarakat di Desa Wakelambe yang selama ini sebagian telah ikut melakukun Revolusi Hijau sedikit banyaknye dapat terungkap dengan harapan membangkitkan kembali kepercayaan pada petani bahwa mereka memiliki kemampuan dan kebebasan untuk mengambil keputusen mandiri atas apa yang dianggap tepat bag! pengelolaan Iahannya, Sebab menurut para abli bahwa Kebebasan berkarya dengan perkembangen budaya petani,.dua hal yang berkorelasi erat, sehiogga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. 1,2,, Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada fatar belakang di ats maka memuncutkan permasalahan penelitian dalam formutasi sebayai berikut: 1. Bagaimanakah sikep masyarakat Desa Wakelambe terhadap keberadaan irigasi beserta segala fasilitas penunjang lainnya.? Bagaimanakah dinamika budaya dan perluasan wawasan pengetahuan dalam bertani sebelum dan setelah melakulen program Revolusi Hijau peda masyarakat di Desa Wakalambe ? 3, Bugaimanakah tingkat percaya diri delam pengambilan keputusan untuk pengelolaan lahan pertaniannya setelah melakukan program Revolusi Hijau pada masyeraket di Desa Wakalambe? 4, Bagaimanakah persepsi dan sikap masyerakat setelah mengetabui bahwa dara mereka telah terkontaminasi dengan pestisida? 13, Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : |. Untuk mengetahui sikap masyarakat Desa Wakalambe terhadap keberesdaan irigasi Deserta segala fasilites penunjangnya 2. Untuk mengetahui dinamika budaya dan perluasan wawasan pengetahuan dalam bertani sebelum dan setelah melakukan program Revolusi Hijau pada masyaraket di Desa Wakalambe Untuk mengetahul tingkat percaye diri dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan Iahan pertaniannya setelah melakukun program Revoludi Hijau pada masyarakat di Desa Wakalambe Untuk mengetahui persepsi dan sikap masyarakat setelah mengetahui bahwa darah telah terkontaminasi dengan pestisida, 1.4, manfaat Penelitian Hasil peneliatian ini diharapkan dapat bermanfast kepada: Bagi pemerintah dapat mengetahui dinamike budaya dan perluasan wawasan pengetahuan dalam beriani sehingga program pembangunan pertanian selanjuinya di Desa Wakalambe dapat di sesuaikan dengan budaya lokal. Bagi pihak ilmuwan dapat dijadikan acuan dalam penelitian sejenis Bugi masyarakat pembuca merupakan sumber bacaan yang akurat tentang dinamika budaya dan perluasasn wawasan bertani pada masyarakat Jokal di Desa Wakalambe Kecamatan Kapontori, BAB I TINJAUAN PUSTAKA Supartan (1980) menyatakan bahwa kebudayaan dalam penggunaannya tidaklah keseluruban model pengetahuan yang dipunyai itu dijadikan pedoman atax pegangan ‘bagi pemahamannya, tetapi hanya satu atau sejumlah model pengetahuan tertentu yang dipitih secara selektif sesuai dengan stimulus yang dihadapi dan Keinginan yang diharapkan, Karena sifatnya sebagai pedoman, maka dalam perwujudannya ‘berarti banyak model tindakan yeng dipakai. Kebudayaan ini diturunken kepada individu lewat “proses belajar” sebagai pengetahuan budaya individual, Sebagal proses belajar, maka kebudayaan diserap melalui proses pengalaman individu. pengalrman Ubikayu 50 + Kacang Tanah 1 - Kacang iio 1 ~ Kacang Kedelai 1 ~ Ubi Jalar 2 ~_ Sayur-sayuran _ : _ Jumlah ~ Sumber: Kantor Desa Wakalambe Talun 2000. Bagi mereka yang berstatus sebagai PNS dan ABRI pada dasaraya bekerje untuk melayani masyaraket sebagai abdi negara baik sebagai tenaga pendidik, paramedis, petugas pertanian, aparat kelurahan maupun aparat keamanan, Meskipun sebagai pegawai negeri atau ebdi negara namun diseta-sela menjalankan tugasnya mereka melakukan pula pekerjaan sampingan sebagai petani 19 Akan telapi jenis tanaman yang diusahakan biaswnya berupa tanaman keras atau tanamen jangke panjang dan bernilai ekonomis relatif tinggi seperti fanaman jembu mete dan tanaman coklat Penduduk yang bekerja sebagai nelayan uinumaya cukup memanfaatkan potensi lout di Wakalombe.atau di perairan desa-desa tetangga di wilayah Kecamaian Kapuntori, Hasil tangkapan nelayan selain dikonsumsi sendiri juga dijual pada masaraket desa senditi Untuk jenis mate pencaharian sebagai pedagang, tukang (kayn, batu) dan dukun bayi merupakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebagai pekerjaan sampingan dengan menerima panggilan masyarakat setempat atau desa-desa tetangya, Khusus untuk berdagang, yang diperdagangken selain hasil bumi seperti jambu mete, buah coklat, beras dan lain-lain juga berjualan sembako. Umumnya untuk berjualan jenis sembako dilakukan secara sederhana di kios-kios terutama saat berlangsung hari pasar. Berternak dilakukan oleh masyarakat karena selain menunjang penghasilan juga terutama dapat mambantu pekerjaan kiuususnya bila betemak sepi, Hal ini karena tenaga sapi selain dapat digunakan untuk membantu dalam membajak i sawah, juga untuk dijuat dengan harga yang relatif tings. Selain bertemak sapi juga bertermak ayam, itik dan kambing. Uniuk melihat jumlah satuan ekor temak Jang diusahakan penduduk dapat dilihat pada tabel 4 Tabel 4, JENIS HEWAN TERNAK YANG DIUSAHAKAN OLEH PENDUDUK DESA WAKALAMBE, TAHUN 1999. NO JENIS [ AH (EKOR)__ 1 ‘Ayam i 1680 2 Itik 50 3 Sapi 748 4 Kambing_ 5 ‘Sumber: Kantor Desa Wakalambe Tahun 2000 9 4.2, Altivitas Bertani Masyarakat Lokal Sebelum Kedatangan Transmigran, 4.2.4 Sistem Pemilikan Tahan Sistem kepemilikan Iahan pada masyatakat lokel dalam hal ini orang asl Wekalambe umumnya diperoleh secaara turun, temurun melalui sistim pewarisan dari kelvarga. Selain itu sesuai adat setempat dapat pula bukan melalui warisan dari orang tua atau tanah Jeluhur, melainkan membuka lahan sendiri dengan seizin tokoh adat atau Parebela ( dukun bertani) dengan porangkat adat setempet. Dengan demikian lahan yang dibuka dapat diakui sebagai tanah milik si pembuka lahan dengan beberapa ketentuan adat yang disepakati antara lain tidak menyerobot tanah orang lain yang telah diusahakannya terlebih dahulu sebagai milik ‘orang yang telah membuka lahan yang dimaksud. 4.2.2. Pembukaan dan Tata Cara Pembukagn Lahan Untuk membuka Jahan baru biasanya masyarakat yang membuka suatu tokasi bertani, terlebih dahulu meminta petunjuk pemuka adat yang menguasai hal-hal yang berkaitan dengen masalah perianahan menurut konsep pemahaman adat masyarakat Waekalambe, Hal ini untuk menghindari perselisihan dengan pihak Iain sebubungan dengan Penggunaah tanah, batas-balas tanah, atau pemilikan suatu kawasan yang akan dibuke sebagai lahan untuk bercocok tanam, Bila telah ada restu dari Parabela (dukun bertani) dan perangkat adat masy Wakalambe, maka sebuah kawasan hutan dapat dibuka, dengan melakukan langkahe langkah sebagai berikut : “ Mula-mula suats kawasan hutan ditebas pohon-pohonnya yang kecil, kemudian ranting-rantingnys dipisahkan dari pohon. Setelah pohon- pohonnya yang kecil selesai ditebas, kemudian ditebang pohon-pohonnya yang cukup bosar yang dienggap memnggenggu tanamana, kemudian ranting-rantingnya dipisahkan dati pohon, Jika selesai_menebas semak-semak yang berada di bawah pohon, menebang, pohton-pohon sampai merapihkan renting-rantingnya, kemudian dibiarkan selama beberapa hari agar ranting-ranting dan daun-daunnya mengering. Bile rantin-raming sudah kering, selanjutnya dilakukan kegiatan membaker canting dan daun, Kegiatan ini 20 a dilakukan bertujuan disamping untuk mempercepat proses pembersihan Jahan juga berfungsi untuk menyuburkan lahan yang siap akan digunakan, Batang dan santing- ranting yang eukup boik untuk dijadikan pagar atau pondok biasanya sebelumnya disisihkan sebagian untuk bahan pembuatan pagar kebun dan pondok mereka, Sambil menunggn perintah menanam dati Parabefa (dukun kebun) selaku ketua adat, make selama itu tanh yang telah disiapkan demikian sambil dikontrol dan disiangi bila ada tumbuh rerumputan yang dianggap dapat mengganggu pertumbuhan bibit tanaman kelak. Cara membuka lahan ya jemikian baik pada saat pembukaen ladang baru maupua kebun baru umumnya sama . Namun demikian, ada sedikit perbedaan yang cukup mendasar yakni bila berladang umumnys dilakukan dengan cara pénggunaan “Sistim Rotasi", make berkebun dilakukan secara terus menerus dalam tempat yang sama Sistim Indang ditandai dengan sistim aksivitusays yakni apabila setelah jangka waktu tertentu diangeap kesubutannya tidak memadai lagi, maka dengan ditempuh cara yang sama dalam tempat yang berbeda sehingga disebut berladang berpindah. Bila suatu saat tempat yang semula diusahakan sudah dianggap relatif subur maka pesani akan kembali lagi ke ladangnye di hutan yang bersangkutan, Bagi masyarakat Wakwiambe peladang, lokasi berladang biasanya jauk dari lokasi pemukiman penduduk, sedangkan berkebun biasanya berada disckitar pemukiman pendudk. Alat yang digunakan membuka ledang baru biasanya menggunakan kampak dan parang 4.2.3, Jenis-jenis Tanamant Yang Dibudidaynkan, ‘Tanaman dibudidayakan diladang Karena tanabnye diangenp relatif subur bite dibanding dengan kebun yang berada disekiter mumah. Masyarakat Wakalambe mananam ladang mereka dengan jenis-jenis tanaman seperti berbagai jenis padi ladang, jagung,umbi-umbian seperti :agkaowi-ow! (ubi jalar), opa (ubi tatas), wiki (ubi kayu) serla rayus-sayuran seperti: pafola (tevong), nfamfe (omal), otimu (ketimun) dan lain- Jain termasuk buah-buahan seperti: poo (mangga), nangka, ai (kelapa), /emo (jeruk), 21 2 sebagai pertanda kelak jika ditinggatkan untuic jangka wakts tertentu behwa lokasi tereebut ada yang memilikinya Bagi mereka yang memilki kebun di dekat rumah biasanya ditanami pisang, kelapa , kelor, pepaya juge ubi kayu yang berwara hijan kuning berduri yang beralkohol dengan nama wikau Kalambe. Selain itu juga diselah-selab tanaman juga ditanami ubijalar, keladi, tabu serta sayur-sayuran sebagaimana di ladang Baik sistim bercocok tanam di ladang maypun di kebun umumnya ditakukan secara tumpang sari dengan menanam jeaisjenis tanaman yang dibutunkan dalam Kehidupan masyarakat setempat terutama tanaman wtama sebagai bahan mekanan pokok yakni ubikayu beraoun dan jagung.dan padi gogo. 4.2.4. Tata Cara Bercocok Tanam, 4.24,1.Pembibitan, Sudah menjadi tradisi pada masyarakat setentpat bahwa dalam mempeoteh bibit yang akan ditanam biasanya diperoleh dari hasil kebun musim tanam Jalu atu melalui pertukaran bibit sesama kerabat atau antaf petani so desa atau si luar desa, Bibit yang dimaksud dapat herwujud dan berbentuk biji-bijian, stek baiang, umbi atau anakar. Bila musim tanam telah tiba, yang ditandai dengan penanaman tanaman seoara simbolis di saloh satu lokasi ladang atau kebun oleh Purabela atau perangketnya, hel ini berarti petani sudah dapat menanami kebunnya, Satu hal yang dianggap “tabu” oleh masyarakat Wakalambe bila aktivitas penanaman perdana setiap tahun, terdapat masyarakat petani yang menanam mendahutui Parabela. Konon bila hal ini dilanggar akan mendatengkan pelaka antara tain tanaman tidak berhasil atau hama akan datang ‘mengganggu. Oleh pemilik fahan, areal lahannyea talu ditanami dengan bibit yang telah dipersiapkan . Langkal awal yakni menyiapkan peralatan tugal yaitu berupa kayu yang, diruncing ujungnya yang berfungsi sebagagi pelubang tanah pada saat menanam, 2 Tradisi setempat mnengenal sistim tolong menolong secara bergilir dalam membuka Iahan, menanam, membersihkan/menyiang) rumput, memanen tanaman termasuk dalam pembuatan pagar. Sistim menanam bibit tanaman tidak dilakukan secara serentak untuk setiap jenis tanaman, melainkan ada jarak waktu (ertenta guna berlansungnya kesinambungan jenis tanaman yang akan dipanen nanti yakni memanen sepanjang tahun. 4.2.4.2, Pemeliharaan Tanaman. Bile bibit jagung telah berubah wujud dalam bentuk tunas yang muncul kepermukaan tanh, maka petani perl melakukan pengewasan terhadap tanaman terulama dari gangguan ayam dan laio-lain. Disamping itu, hal yang tidak Tuput dari perhatian petani yaity mencabut gulma yang tumbuh di selah-selah tanaman . Hal ini dilakukan agar tidak menghambat pertumbuban tanaman Disaat tanaman jaguag dan tanaman padi gogo telah berkembang, biasanya disisipi dengan tanaman ubikayw/ubijalar serta sayur-sayuran untuk jangka pendek seperti bayam atau kacang-kacangan yang dijalarkan di tanaman jagung bila jagung telah cukup tinggi pertumbuhannya, Bagi yang iadapgnya telah ditanami berkali-kali dalam kurun waktu bederapa tahun dan diperiksa unsur haranya telah menipis maka biasanya untuk membantu kesuburan tanah, di sekitar tanaman diberi pupuk dari kotoran kuda/sapi/kambing, daun-daun lapuk, tanahnya digemburkan, serta diberi abu dapur. Dalam masa pemeliharaan tanamati ini, alatalat yang digunakan untuk mencabot atau untuk menyiangi rumput adalah kabwo (tembilang dan kasaera (pacut), Selama masa pertumbuhan tanaman, dibutuhkan pengawasan, terebih ‘menjelang panen. Hal ini guna menghindari gagainya panen Karena tidak terawatnya fanaman, yang tidak kalah meresahkan petani yakni gangguan nefoke (kera) dan hewr (babi), Untuk menghindari kerugian yang tidak diharapkan, moka tindskan yang dilakukan adalah membuat ranjau khusus untuk babi dan kera, Disamping itu, juga membunyikan bunyi-bunyian yang fungsinya dapat memberi rasa takut pada hewan: a 24 ewan pengganggu. Disamping tindakan konkrit yang demikian, ada pula tradisi setempat dalam wujud abstrak bernuansa religi yakni melalukan tindakan preventif’ dengan menyiapkan sesajen ditokasi kebun sebagai upaya tolak balaa, termasuk mengadakan doa memohon berkuh dari Yang Maha Kuasa saat membuka lahan atau memanen dengan cata melaksanakan “upacara Haro (sesajen)” bersama dipimpin parehale, 4.2.4.3, Pemanenan, Bila tonaman jagung teidh menampakkan tanda-tanda akan panen, maka biasanya secara simbolis panen perdana akan dilakukan oleh Parabela dan petangkat adat lainnya pade suatu ladang yang akan dipanen untuk selanjutnya diikuti oleh ladeng- Jadang lainnya, Oleh masyarakat setempat tanaman jagung umumaya dibiarkan menguning dipohon binges depat digunakan sebagai behan makanan pokok, Namun demikian telah menjadi adat pada masyarakat setempat yakni melakukan pesta panen dengen menyisibkan sebagien jagung untuk dipanen lebih cepat dan dikonsumsi sebagai jagumg muda yang dapat di olah menjadi Aambewe (biji jagung muda dipetik diberi sedikit garam, talu ditumbuk sampai halus, boleh diberi santan kelapa etau air biasa sesuai selera kemudian dibungkus dengan kulit jagung muda pula dan dikukus, Itu sebagai makenan pokok) atau kueskue Ieinnya dari jagung. Kesempatan ini sckaligus sebagai wahana menunjukkan solidaritas antar petani datam memenen, sekaligus mensyukuri keberhasilan panen mereke. 4,3. Aktivitas Bertani di Desa Wakalambe Pasca Kedatangan Para Transmigran. Kedatangen transmigran dari Jawa dan Bali di daerah ini disertai dengan pembukaan skwah serta pembukagn irigasi dengan segala fasilitas penunjengnya yang disiapkan oleh pemerintah, Pemerintah tidak menggeser penduduk fokal schingga penduduk jokal berbaur dengan transmigran yang sekeligus beralih dari bertani secara tradisional menjadi petant sawah yang penduduk lokal dikonsepsikan sebagai pertanian modem.. Astinya penduduk lokal juga diperlakukan sama dengan para transmigran oleh 4 as pemerintah terutama oleh PPL-Hal itu_mempercepat proses pergeseran sistem bercocok tanam pada masyerakat lokal yang semula bertani tradisional mengarah ke seni modern. Hal ini ditandai dengan cara bercocok taniam yang mulai menit model bercocak tanant pendatang yang mengenal bercocok tanam dengan cara bersawah. Hal lain yang juga mempengaruhi perubahan yang dimaksud yakni penggunaan panca usaha tari termasuk model pengerahan tenage kerja dalam mengolah Jahan. Sebagai pembanding, maka berikut ini akan dideskripsikan bagaimanan aktivitas bertani di desa Wekalambe pasca kedatangan para transmigran. 4,3.1..Sistem Pemilikan Lahan. Bila masyarakat lokal dalam sistem kepemilikan Jahan diperoleh melalui pewarisan, maka para transmigran memperoleh tanah melalui pembagisn dari pemerintah dalam hal ini telah distur oleh Departemen Transmigrasi, Tanah yang diberikan berupa tanah yang diperuntukkan untuk bereocok tanam padi sawah, Dalam ‘hal ini tanah yang diperoleh adalah tanah yang telah dikapling pemerintah sesuai ukuran ketetapan dan dialiri air dari irigasi. Kedatangan para transmigean juga menambah intensitas kehadiran petugas PPL yang memberikan penyuluhan kepada petani, Hal ini telah menyebebkan sebagian besar masyarakat okal mulai,mengalikan cara bercocok tanam dari semula berladang atau berkebun menjadi bersawah, Demikian pula karena mulai terbatasnya lahan schingga petani lokal dapat memperluas Jahan melalui sistem beli tanah sesama tervtama di lokasi-lokasi yang, termasuc kawasan yang beririgasi 4.3.2. Tata Cara Pembukaan Lahan Pertanian. Tersedianya lahan yang telah ditetapkan Tokasi dan luasnya sera Tahan sawah yang telah siap untuk digunakan menyebabkan para pelani tidak perlu membuka lokasi baru sebagaimana cara yang ditempuh oleh penduduk lokal sebeluninya. Demikian pula dalam hal pengerjaannya, dimana bila sebelumnya pendusduk’ Jokal memiliki ciri-ciri umum bentani di lahan kering dengan tenaman-tanaman terienty 28 26 yang bersifat tanaman budaya masyarakat Lokal berubah menjadi bercocolc tanam di laban basab yakeni sawah dengan tanaman didominasi padi Pengerjaan sawah oleh masyarakat dilakukan dengan menggunakan tenaga sapi untuk membajak, termasuk menggunakan traktor tangen (hand tractor), 43,3. Jenis— jenis Tanaman Yang Dibudidayakan Lahan basah yang telah digunaken oleh Departeinen Transmigrasi semenjak kedatangan para transmigran, lalu ditanami dengen jenis tanaman utama yakni padi, dan penanamannya semuia dilakukan dua kali setabun Jenis:jenis padi yang dibudidayakan adalah Ir 48, Disela-sela pematang disawah biasa ditanami taraman. palawija dalam skala kecil yakni kacang panjang, tomat, ketimun, cabe, terung. Ada pula petani yang menggunakan sawahnya pada saat-sant tertentu untuk menanaminya dengan ubikayu (singkong) atau jagung yang dipanen saat belum tanam sebagaimana kebiasaan warga sebelum bersawah, Nannun peran parabela (dukun kebun) dan tokoh adat semakin berkurang, Selain itu jenis-jenis tanaman yang diusahakan yakni: . Sol, sawi, kangkung cabut, yang sifatnye musiman, 4.3.4, Tata Cara Bercocok Tanam. 43.4.1. Pembibitan Umumnya bibit yang digunakan adalah bibit disisibk saat panen, Bibit padi yang dibiarkan dalam karung lalu diletakkan pada genangan air di sawah untuk memudahkan proses pertumbuhan, Bibit lalu disemal di hedeng-bedeng penyemnian di sawah dan dibiarkan tambuh hingga dianggap siap untuk dicabut dan ditanam. Untuk menanam dibit padi; sebelumnyd disiapkan Iahan sawah yang telah dicangkul dan diairi dan jarak tanam yang menjadi perhatian para petani saat menanam, Bila menghendaki berbagai jenis padi maka penyemaian bibit dipisahkan tempat pembibitan dan penanamannya guna memudahkan pemeliharaan dan mengetahui jenis beras yang akan dihasitkan, Beragamnya varietas padi hasil penemuan baru, turut mempengaruhi keinginan para petani untuk mencoba varictas baru, teriebih dengan tungginya intensitas 26 penyuluhan dari PPL yang memberikan informasi tentang berbagai jenis varietas padi baik kaunggulan masing-masing maypun tata cara pemeliharaannya. Bagi pemilik sawah, umumnya mengerjakan sawah terbatas dengan lingkup sendiri atau mengupahkannya pada burub epas yang pada umumnya dari kelangan teansmigran. Dengan demikian kegialan bertani sovara bergotong royong semakin berkurang, 4.3.4.2. Pemeliharaan Tanaman, Dfseat-saat tanainan unggulan berupa padi telah meninggi, petani akan mengontro! kondisi tanaman agar terhindar dari rumput pengganggu terutame hama den sehegniny's, Demi : pute halnya dengan sistem pengairan yang disalurkan dari petak- petak sawah, Untuk menyuburkan pertumbuhan padi yang kerap dilakukan yakni memberikan pupuk urea sesuai petunjuk penyuluh PPL. Dalam hal ini berbeda dengan pei pupuk anorganik termasuk obat pembasmi hama, aku petani fokal sebelunnya yang menanam padi di tadang tanpa menggunakan ‘Untuk mencegah atau membasni hama pengganggu digunakan pestisida melalui alat semprot yang telah akrab dengan kehidupan petani. Hal yang digunakan yang dikonsepsikan oleh mereka sebagai “obat" diperoleh melalui KUD maupun toko-toko di kota Bau-Bau yang khusus menyiapkan kebutuhan para petani Disaat tanaman padi mulai menampakkan bolir-bulir padi, hal ini menandai pekerjaan yang semakin sibuk disebabkan tantangan semakin banyak dan takut kalau- kalau tanaman gagal paren, Selain upaya penyemprotan pestisida memberantas hama wereng, tikus dan sebsgeinya, juga yong tidak kalah penting yokni menjaga burung-burung pengganggu. ‘Untuk itu upaya yang ditakukan yakni membuat dengau di sawah sambil memasang orang-orangan, boneka di sawah disertai bunyi-bunyian dari kaleng untuk mengusir hewan pengganggu. 2 43.43, Pemanenan Hal yang dinantikan oleh petani yakni masa panen. Bila petani lolos dari berbagai gengguan berarti masa panen akan menggembirakan. ‘Masa panen ditandai dengan mulai merunduk dan mengningoya tanaman padi Masa panen padi tergantung pula dari jenis bibit padi apa yang ditanam, Seat panen, umumnya para peiani mengerahken tenaya anggota keluarganya saat menuai padi, Selain itu bile Ishan cukup tuas, tenage terbatas dan musim tidak bersahabat yang memungkinkan gagalnya panen, maka langkal yang ditempuh yakni memberi upah pada petani penuai, Usai masa nenuaian, ilu dilanjutkan dengan aktivitas perontokan bulis-bulir padi dilanjutkan dengan penjemuran selama beberapa hari tergantung cvaca dan diakhiri dengan penggilingan gabah hingga berubah menjadi beras. Hasit panenan setelah dikeluarkan upah pekerja dalam bentuk pemberian gabah disisihkan untuk bibit dan untuk digiling Beras yang telah dikeringkan umumnya selain dikonsumsi sendiri dan dijual di Jingkungan Desa Wakalambe juga dipasarkan di koia Bau-Baw Aktivitas panen sawah di Wakelambe tidak dilakukan secara masal sebagaimana pada aktivitas panen di ladang saat setvelum menjadi petani sawah. Hal ini dilakukan Halt be Karena desakan situasi dan kondisi kebun yang ‘bah menjadi Jahan persawaban. Namun menurut penduduk lokal, sampai saat ini masih mengakui eksistensi Parabela sebagai tokoh informal di desa itv yang sckaligus berperan dalam menentukan ak itas tani, Hal ini terbukti dengan selalu mengalami gagal panen secara berturut-urut selama tiga tahun terakhir ini Karena gangguan haima tikas yang tidak dapat diatasi oleh obat dari PPL, masyarakat Jokal kembali mengatifkan peran parabela dengan segala tata carenya dalam bertani, 28 29 4.4, Dinamike Budaya dan Perluasan Wawasan Pengetahuan Dalam Bertani Sebelum dan Setelah Melakukan Revolusi Hijau Pada Masyarakat di Desa Wakalambe, Menurut Keterangan para informan bahwa petani seharusnya adalah makhuie manusia yang kreatif dan inovatif dalam menghadapi lingkunganoya. Petani lokat di Desa Wakalambe menyatakan bahwa makhluk manusia tidak hidup di alam vakum, tetapi di lingkungatt yang tentu saja mesteakup tannah dan banyak komponen fisik lain, tetapi juga berbas jasad hidup yang sama-saina menghuni bumi ini, Manusia dan seluruh kompone lingkungen yang beraneka ragam itu secara terus-menerus berinteraksi Manusia tidak dapat hidup sendiri dengan sebaik-baiknya tanpa interaksi dengan jasat lain baik langsuag maupun tidak langsung dengan jasad sejenis maupun tak sejenis. Bila diamati perilaku masyarakat di Desa Wakalambe yang hanya ikateikutan bersawah saat i karena lahannya telah berada dalam areal persawahan dapat dikategorikan sebagai manusia belum modern. Manusia belum moder sadar babwa ia adalah bagian dari lingkungannya Petani di Wekelambe mengerti bahwa jika lingkungan tempat hidupaya ditusak, maka manusia akan merasakan dampak kerusaian itu, Setiap tahun sebelum melakulk ponanamian diawali dengan berdagai upacara sesajen sebagai persembahan kepada makhiuk halus yang dianggap sulah satu bagian yang menghuni makrokosmos, “Alam diciptakan bukan hanya untuk manusia, manusia adalah bagaian dari lingkungan” ucap informan, Sebagai bagian dari lingkungan, manusia tidak dapat mengelak dari gejala dan perilaku alamiah Jingkungan, Oleh karen im para informan berharap agar paca petani ¢i Desa Wekalambe mempelajari kembali pengetahuan mengenai bertani yang akhir-akhir ini dianggap dapat dikuasai dengan teknologi. Pendapat para informan berbeda dengan pendapat yang selalu mendewakan teknologi dimana kemajuan teknologi di abad 20 dan adanya faham bahwa alam diciptakan bagi manusia, dan oleh karena it boleh dimanipulasikan sesuka hati guna Kepentingan manusia., Selarah juga memperlihatkan betapa filsafat sedemikian ini menjadi salah satu penyebab runtubnya kebudaysan suatu bangse seperti yang dialami ‘oleh Mohenjo Daro, Inca, dan Aztek. 29 30 Dalam menghedapi pelbagai masalah dan kendala kreativitasnya merupakan potensi yang sangat menunjang kemampuan adaptasi si petani. Selama masyarakat menjadi petani sawah, telah mengalami pergeseran pengetahuan bertani secara tradisional, Namun karena masih ada anggoin masyarakat yang memahami pengetahuan parabela, terutama yang didatangkan dari tetangga desa maka para petani depat belajar kembali tate cara bertani secara tradisional. Tata cara bertani yang diaktifkan Kembali adalah sebatas Kegiatan upacara, penentuan wakt menanam dan waktu panen, Sebaliknya pilihan fasilitas penunjang datarn bertani sawah seperti pilihan bibit, Jenis pestisida, pupuk pada petani sawah umumnya masih didominasi oleh pengaruh petugas PPL yang memperkenatkan BINMAS dan [NMAS menyebabkan masa menanam dan panen tidak sebegimana petani lokal inginkan, Metihat kegagalan panen selama tiga tahun tetakhir ini, PPL juga sebenarnya bersedia mengikuti keinginan masyarakat petani tentang waktu-waktu menanam yang dikehendaki. Namun yang menjadi kesulitan dalam hal ini adalah solama petani mengalami gagal panen, bantuan bibit harus didatangkan oleh pemerintah. Terlambatnya penurunan bantuan bibit dari pemerintah dipersepsikat oleh petani bahwva tidak sejalannya keinginan petani sawah dengan PPL Apalagi dihilangkannya kebiasaan petani untuk menanam secara tumpang sari, Di ekosistem tropis, lebih-lebih lagi di ckosistem tropis basah seperti Indonesia, selalu terdapat kecenderungan terbentuknya korunitas biota yang lebih beraneka ragam dibandingkan komunitas di eleosistem sib tropis dan temperat Dengan demikian, maka usaha pertanian yang menerapkan penyederhanaan spesies seperti yang diterapkan dalam metode agronomi pada wate ini Karena ito, patut dipertanyakan apakah introduksi Revolisi Hijau dongan progran BIMAS/INMAS diawal tahun 70an merupakan “awal p petani”? Memang tidak dapat disangkal, hahwa dalarn kev apupun yung diteciina pelati, merck (etap Kivalif, Denys state mereka berusaha untul masing-masing, fap bertahan hidup den masing, Tetapi dengan hanya mengncu pada pennil ditanam petani yang ditentukan oleh pemerintah, petani masing-masing, mereka berusahs untuk tetap bertahan hidup dengan caranya masing petani memang mengalami pengekangan fuar biasa dengan diharuskannya petamti menanam beaih unggul. “Peitaksaan” yang dilakukan aparat pemerintah dalam memengupayakan diadopsinya pupuk urea pada ‘tahun-tahun periama program BIMAS/NMAS juga mendukung pemyataan Hansen (1978). Para petani melaporkan betapa pemaksaan itu dilakukan tanpa pemahaman mengapa mereke harus menggunakan pupuk urea, padahal bertahun-iaiun, mereka bervocok tanam padi tanpa pupuk semacam itupun telah dapat memenuhi kebutukian mereka, Para petani lokal yang masih miskin pengalanan dalam bertani di sawah tidak banyak memborikan komentar tentang pertanian sawah yang akhir-a&hir ini mengalami gagal panen., Berbeda dengan lacrah asalnya. berbagai cerita petani asa Bali tentang penolakan petani di Bali dalam petani transmigran yang teleh banyak mengenyam pengalaman bersawab di menggunakan pupuk urea, penolakan dalam menanam padi yang sangat tidak cocok dengan solera mereka, serta dihancurkantya padi lokal petani oleh penyemprotan pestisida dari udar, hanyalah sebagaian saja dari cerita yang kini hanya merupakan kenangan pahit. Apa, yang betul-vetul dirasakan sebagai sesuatu yang hilang adalah “kebebasin” mereka memilih jenis-jenis padi. Dulu petani bebas memitih jens padi apa aja sampai mendapatkan jenis padi yang ngejodoh, tutur Haji Lanta yang masih jelas ingatannya tentang berbngai jenis padi gagangan, baik yang berbulu maupun yang tidak berbulu, serta beragam padi ketan. Petani akan terus mencoba bermacam-macam jenis, padi, hingga ditemukannya jenis padi dengan hasil gabah dan selera yang cocok dengan keinginan dan harapan mereka (lihat Winarto 1997), Karena itu, kegiatan “uji eoba” atau dalam istilah pelani “mengadakan percobaan” merupakan salah astu mekanisme yang esensial dalam proses belajar bercocok tanam. Setiap petani pun tidak okan menanam hanya satu jenis padi saja, Petak-petak sawah mereka dapat ditanami oleh jenis padi yang berbeda satu sama tain, Padi ketan merupakan jenis padi yang tidak ditinggatken, karena ketan mesupakan salah satu bahen pagan utanta untuk membuat penganan, apalagi untuk kepentingan hajatan dan upacara. Karena itu, heterogenitas jenis padi dalam petek-petak sawah seoreng petani mempakan bal yang lazim. Dapatlah kiranya dibayangkan, betapa beragamnya jenis padi yang tumbuh dafam satu hamaparan anya dalam satu musim tanam. u Dari pengalaman petani Bali dan Jawa mengatekan bahwa hampir tiga dasa warsa setelah diperkenalkannya benih padi unggul, pemilihan jenis padi yang anmpakaya hanya merupakan hasi pengambilan keputusan sesuat, termyata melibathan seperangkat pengetahuan ekologi yang sangat kaya, Satu jenis pedi memiliki karakteristir genetika ‘ertentu yang perlu dikenali oleh petani selama yang bdersangkurtan . melakukan “uji coba” di lahannya; apakah itu menyangkut perlakuan air, pupuk, pengolahan tanah atau pengendalian hama, Umur padi juga merupakan salah satu variabel utama yang perlu sungguh-sungguh dicermati dalam pemilihan jenis padi Kemampuan produksi, kualitas gabah, serta cita rasa dari jenis padi yang ditanam mecupakan hal-hal yang sanget penting bagi petani dalam proses belajar. Pada ‘masa kini, harga jual, laku/ideknya di pasaraa, ketahanannya terhadap serangan tikus, hama serangga atau penyakit merupakan faktorfaktor yang juga signifikan, Sekali petoni mengambil keputusan untuk mencoba menanam jenis pedi yang baru, hal itupun mengawali serangkaian proses belajar selama satu musim tanam hingya hasi akhir berupa panien padi di peroleh. Kedangkala proses helajar berlangsung (erus hingga ke musim berilutnya, bila ternyata jenis padi yang sama vang ditanam menunjukkan penampitan berbeda atau bila yang bersangkutan, memutuskan untuk mengadopsi benih yang lain, Bertolak dari apa yang diperolen petanai dalam masa “ji cba” nya, dapat dibayangakan apa yang terjadi pada saat petani menanam beranekeragam padi di lahan sawahnya, Melatui perbandingan terbuka pulalah kesempalan yang fuas untuk mengamati berbagai penampilan beragam jenis padi yang ditanam sesamanya dalam sai hamparan, Karena itu, dapat diasumsikan betapa kayanya pengetahuan ekologi petani pada masa itu, Kegiatan uji coba selalu difakukan petani setiap musim, itulah cerita pata telua petani, Hal itu berarti, akumulasi pengetahuan berlangsung terus menerus. Karena itu, degradasi biodiversitas hayati dengan menghilangnya beranekaragam jenis padi gagangun menandakan pula terjadinya degradasi pengetahuanlokal petani. Pemasungan kebebasan petanipun memiliki implikasi lebit Jauh, yakni “pemiskinan budaya petani”. Dalam tulisan (Winarto 1997), dikemukekan bahwa selama benih-benih padi fertentu ditanam petani dan dialibkan dari petani yang satu ke petani yang tain, selama ite pula pengetahuan ekologis tentang benih padi 32 tersebut akan bartahan dan bergulir dari petani ke petani. Hilangnya benib padi tertentu berarti hilang pula pengetahuan petani tentang karakteristik benih padi tersebut, kecuali tersimpan dalam wojud ingatan bagi mereka yang peraah menansmnya dan tidak bagi yang lain Hilangnya kebebasan petani dalam pemilihan jenis padi diikuti puta oleh hilangnya kebebasan dalam penggunaan pupuk. Pupuk kandang, kompos dengan paksa harus ditinggalkan. Pupuk urea yang harus diadopsi petani tidak dikenoli apa kegunaannya, keouall setelah bebrapa musim berlalu. Dari pengematan petani, pupuk urea tersebut ternyata memang dapat menyburkan pertumbuhan padi, memperbanyak helai dan bulir, Selanjutnya, jadwal tanam pun tidak leluasa mereka tetapkan sendiri, karena kapan air mulai menggenangi areal persawahan berada di luar junekauan ‘kemampuan petani untuk mengaturnya. “Segala sesuatu kini diatur pemerimah”, itulah perubahan drastis yang mereka rasakan, Meroka kehilangan kemampuan mengontol lagi apa yang mau mereka tanam dan bagaimana menanamnya. Bila semula segaia urusan cocok tanam adalah sepenuhnya urusan mereka, tanpa perlu berurusan dengan pemerintah, maka kini mereka adalah pelaku-pelaku yang “diatur” pomerintah. Bila tidak, gagallaly program pertanian yang dicanangkan pemerintah demi pembangunan dan upaya swasembada beras. Tronisnya, program deini program datang dan pergi bergantian. Setiap program disertal sejumlah rekomendasi dan teknologi untuk dilaksanakan para petani yang kini tidak hanya menjadi pelaksana program pemerintah tetapi juga menjadi ajang perebutan ‘atau arena kompetisi produsen-produsen pelbagi produk teknologi pertanian. Bantuan dalam wujud kredit adalah bantuan agar petani mampu menjadi konsumen Para produsen (ersebut, jik menolak kredit atau komponen-komnponen dalam bantuan krédit itu pun merupakan hal yang menurut aturan pemerinteh adalah “penyimpangan”. Dalam Konteks ini, maka Kebebasan petani yang terpasung merupaken pula terkendalanya proses belajar. Benih-benih “krisis budaya pertumbuhan yang salah satu penvujudannya adelah “Jedakan bama”. Secara jujur petani lokal mengakui bahwa tingkat hidup mereka pada masa sebelum mengalami gagal panen meningkat melalui peningkatan penghasilan beberapo kali lipat dari semasa mereka menanam “padi gagangan”. Pada masa itupun, mereka a hharus bekerja keras, harus berpuasa dai bertirakat selama masa tenam, ager padi mereka benar-benar menghasilkan panen sebagaimana diharapkan, Namun “penyakit” tidaklah sebanyak saat ini, saat sang “obat” tersedia melimpah, Karena itu, seteluh puncak kesibukan di sawah selesai, mereka bisa dengan tenang menantikan tibenya panen Tidak seperti sekarang, masa menanti tibanya panen adalah masa “keresahan’, Hama, penyakit, datang silih berganti dari waktu ke waktu, musim ke musim. Para ilmuwan umumnys menjelaskan ledakan-ledakan hama ini dari sudut pandang ekologi sebagai pertumbuhan populasi serangga yang tidak terkendali Hilangnya ketabanan padi terhadap serangan hama dan musnahnya musuh alami karena penggunaan pestisida berlebihan, adalah faktor-faktor penjetas dari semakin merajalelanya serangan hama dan penyakit. Sejumlah ilmuwan (lihat Shiva 1988:FAO 1990: Fox 1991; Kenmore 1992) telah mengaitkan hal ini dengan kekeliruan kebijaskan dan teknologi pengendalian hama yang bertumpu pada penggunaan pestisida, Nemun, salah satu faktor utama yang tidak dapat diabaikan adalah apa yang tenga dialami para petani, pengguna pestisida. Bentley (1992;10) menegaskan dari basil penelitiann} diantara petani di Honduras bahewa petani itu tidak memabami dan tidak mengetabui apa penyebab semakin meryjalelanya hama, sekalijyin mereka telah semakin meningkatkan penggunaan pestisida. Keluhan poctani di Honduras ini temyata sama dengan keluhan petani di Desa Wakalambe Buton, Bahkan cara pengguneannya pun belum sesuai dengan petunjuk PPL, Hal inilah yang menyebabkan hasil penelitian Departemen Kesehatan RI (1997) menyatekan bahwa sebanyak 60 % sampel petani di Desa Wakalambe darahnya telah tercemar sehingga perlu dilakukan cuci darah. Namun tidak scorang pun warga petani yang mampu melakukan bal itu apalagi mengetahui penyebab penyalitnya, Mereka hanya mengetahui bahwa penyakit yang mereka rasakan ssoat iniadalah sakit tulang, Petani hanya memahumi tentang manfaat pestisida dalam membunuh hame dan melindungi tanaman mereka dari serangan hama atau penyakit, Memang itulah yang disosialisasikon oleh petugas pertanian pada petani diiringi pengenalan kata “obat” Suatu anatogi dari “obat” untuk inenyembuhkan manusia dari penyakit (lihat Winarto 1998), Pengetahuan inilak yang melandasi tindakan petani melakuakn penyemprotan pestisida. Tetapi di sisi lain, pelaksanaan kegiatan ini dilandasi pula oleh M “ketidaktahuan” mereka atas berbagal dampak negatif dari penggunasan pestisida s berlebihan dan tidak bijsksane, Menarik kiranya disimak bahwa petani adalah pengamat yang teliti dan seksama. Mereka selalu melakukan evaluasi dari berbagai strategi yang, ra dikembangkannya. Dari-evaluasi demi evaluasi itulah mereka belajar dan memperkaya pengetahuannya, Bila demikian, mengapa “ketidaktahuan “ para petani dapat terjadi? Jawaban pokok dari pertanyaan ini terletak pada paradigma pembangunan selama masa Orde Baru yang lebih menekankan pada pengalihan “leknologi” dari pada pengalihaan “‘pengetabuan”, dar peneapaian tyjuan dari program prmbangunan itu sendiri dari pada peningkatan pengetalnuen dan budaya petani. Ketidaktahuan petani itt terjadi Karena tidak adanya pengalihan pengetahuan yang komprehansif mengenai pestisida, dan digunakannya skema pemabaman tentang fungsi pestisida sebagi “obat” dengan fungsi sebagai “penyembuh” dalem dua domain yang berbeda, domain tubuh manusia dan domain tubuh tanaman, (Winarto 1998b: $8). Konsekuensi lebih lanjut dari pengalihan metafor semacam ini ternyata membawa implikasi yang besar pada Pengembangan strategi pengendalian hama yang bertumpu pada pestisida sebagai “obat™ dan bukan sebagai “racun”. Perlindungan tanaman menjadi hal yang paling tama, dan ini sejalan dengan orientasi petani dalam mengupayakan pertumbuhan “bat” tanaman yang “mulus”, bebas dari segala macam “peny “penyembuh atau pencegah penyakit pada pedi”, dan bukan semata-mata “pembunuh ama", Sebagaimana dikemukakan oleh Petrie dan O: 1g (4993), apa yang terjadi adalah kesalahpahaman atau kesalahpenggunaan metafor yang mempengaruhi perkembangan lebih lanjut dari pengetahuan yang dialihkan. Tronisnya, sekatipun terjadi kesalahpahaman atau kesilahpenggundan melafor tersebut, upaya untuk mengkoreksi hal ini tidak terjadi hingga akhimya ledakan demi ledakun hama bermunculan, Bahwa ledakan hama terjadi karena musnahnya musuh alami, atau rentannya benih unggul serta kebalnya hama atau jenis pestisida tertentu, tidaklah menjadi bagian dari pengetahuan petani. Mekanisme umpan balik atau belajar dari kesalahan dan tindakan mereka senditi seakan tidak berdampak apa-apa pada pemnhaman petani mengenai fungsi dan dampak pestisida, Mengapa hal itu terjadi? Jawabannya terletak pada paradigma pembangunan yang mesih ditandasi pada penanggulangan masalah melalui rekayasa teknologi. Solusinya dicari pada penemuan 35 benih yang lebih kebal lagi terhadap hama dan pestisida yang lebih ampuh daiam mengurangi populasi hama, dan pengalihan teknologi itu pada petani yang menjadi target sebagai pelaksana rekayasa tersebut. Bukannye strategi pengguriaan pestisida itu yang dievaluasi, dan bukannya paradigma pembanguan pertanian itu yang dikaji dengan merempatkan pembanguan “modal sosial”, para petani itu sendiri, sebagai prioritas utame, Baru pada awal dasewaras 90an setelah hampit 30 tahun diperkenalkannya Revolusi Hijau di Indonesia, pemerintah berupaya wengoreksi hal itu dengan ‘mengintroduksikan progran Pengendalian Hata Terpadu (PHT), Program ini berupaya mengoreksi kebijakan yang mengandalkan pengendalian hama dengan pestisida di lebih mendasar lagi, perubahan paradigma berpikir petani dalam pengendalian hama tersebut (Iihat PAO 1990,1991), Namun sebetumitu, jutaan petani tridonesi telah terbenam dalam “ketidaktahuan” yang semnakin kompleks. Keberadnan dan fungsi alami sebagai pemangsa hama tetap tidak dipahami. Dampak negatif dari penggunaan pestisida pada lingkungan sawah dan keschatan mereka sendiri, tidak dikenali, Bahkan, pestisidu sebagai pembunuh hama sekaligus pelindung tanaman pun semakin menjadi andalan utama, Kekurangampuban suatu jenis pestiside tertentu dicari jawabnya dengan pencampuran berbagai macam pestisida, seakan sebagai “puyer obat” yang dalam istitah petani di Desa Wakalambet; “campuran berbagai obat”. Yeng kurang ampuh dicampur dengan yang lebih ampuh, yang murah dicampur dengan yang mahal, Harga terjangkau, keampuhan pun terjamin, Bila menurut evaluasi mereka, teryata “campuran itupun Kurang ampuh, dioaritah lagi “resep” yang lain dan demikian seterusnya, Alhasil, bila terjadi ledakan ama, apa yang mereka pertanyakan adalah: “adakeh obat yang lebin ampuh lagi?” Bila diajuken:"mengapa hama wereng meledak lagi?”, make merekapun tidak tahu jawabnya, “Initah fenomena scsin) yang menunjukkan bagaimana interpretasi petani atas teknologi yang diintroduksikan berkembang sedemikian rupa, —_karena keselahpenggunaan metofor yang diperkenalkan; tetapi_ yang kemudian diinternalisasikan sebagai bagian deri pengetahuan mereka. Walau demikian, terbukti pula bahwa strategi tindakan petani atas dasar pengetahuan ini tidaklan efektif datam menanggulangi ledakan-ledakan hama inj terkendala oleh “ketidaktahuan” alas apa 36 yang secara obyektif berlangsung dalam habitatnya, Pengetahuan yang obyektif itu tidak dapat diakses petani tidak hanya karena kesalahpenggunaan atau kesalahpahaman metafor atan Ketidaktahuan tentang sckanisme, cara kerja dan karakteristik kimiawi; tetapi juga karena mekanisine belajar mereka yang hanya didasarkan pada pengamatan empiris dan interpretasi subyektif. Tidak ada alat bantu yang dapat menolong mercka memahami gajalaacjala di juar jangkavan pengamatan, dan tidak ada pula konsep» konsep sertz skema-skema pemahaman bars yang dapat memperbaiki kesalahpahaman tersebut, Proses belajar yang terjadi, bila tidak dikoreksi oleh program PHT, mungkin telah semakin jauh menyeret petani sebagai “pecandu pestisida” dan semakin jauh tmerusakkan habitat sawah, “Krisis budaya’ terjadi yang dicenminkan oleh berlangsungnya ledakan-ledakan hama dan ketergantungan petani justru pada salah satu penyebab utama ledakan tersebut. Solain pada hal-hal yang telah dikemukekan di alas, maka dinamika budaya petani yang dapat diulas dalam laporan hasit penelitian ini adaleh tentang pengalaman petani dalam mengelola usaha taninya mulai dari masa “bukaan” sampai dengan sokerang yang selalu diikuti dengan berbagai uapacara sesajen untuk para dewa pertanian.. Hat ini dimaksudkan agar para pelaku pembangt perubahan, Pada masa “bukaan” of an dapat. mencermati 2 bertaninya sangat tradisional, artinya: kebiasaan pelani setempat menanam tanaman tanpa olah tanah, yang ditanam sesuai dengan kehendak sendiri. Dalam membuka lahanya ada yang diolah sdan tanpa olah langsung ditanami, masif secara gotong royong. Contohnya ; pengolahan tanah, penanaman, dan pemanenan, Pola tanam teratur sesuai musim tandm yang mereka fahami selama dua kali dalam setahun yaitu pada musim barat dan musim timur., Komuditas yang ditanam pun bervariasi, Contoh: umbi-umbian, kacang-kacangan dan sayur-sayuran yang, ditentukan sesuai kehendak individu, Perawatan tanaman petani mengandalkan pada alam. Pupuk yang mereka gunakan adalah kompoks (pupuk yang terbuat dari daun, sisa tanaman, Kotoran hewan), pestisida yang ada pade waktu itu baru DDT (Diphenil Diethil Trichloretan) dan fanaman tetapi untuk —membasmi—nyamuk. Sedangkan Endrin untuk Endrin. ltupun belum digunakan unfuk menyemprot hana mengumpan/meracun tikus. ” Pada kedatangan transmigran dari Bali dan pembukean irigasi/pengairan sawah mulaitah petani ditentuk oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) uitule meningkatian frasil produksinya, Cara pemupukan harus titenggunakan pupuk kimia. Petani dianjurkan melaksanakan rekomendasi yang ada. Program BIMAS kemudian ditindak lanjuti oleh program INSUS dan OPSUS, Pade tabun 1989 munoul KUT (Kredit Usaha Tani) baik pola umum maupun khusus, Sebenarnya yang iebih tahu lehan petani adalah petani tetapi yang mereko: asi adalah pihak tain. Contoh: pemerintah yang mempunyei program tersebut di atas, Dengan adanya program davi alas ke bawah membuat petani menjadi tertekan dalam hal peningkstan sumber daya monusianya, pengambilan keputusan, poia tenam, variets, perawatan terpaku paca instruksi pemerintah, Pendapat masyarakat Desa Wakalanibe terhadap keberndaan irigasi dan fsilitas penunjangnya adalah tidak dapat diandalkan sebagai penunjang hidup dimasa yang akan dateng karena selams tign tahun terakhir ini mengalami gagal panen. Oleh karen itu, saat ini masyarakat Desa Wakalambe terutama penduduk lokat mulai melirik kembali tata cara bertani secare tradisional terutama yang berhubungan dengan upacara yang dipimpin oteh Parabetiz Dengan hanya mengacu pada pemilihan jenis-jenis padi yang harus ditanama petani yang ditentukan oleh pemerintah, petani lokal di Desa Wakalambe- berpendapat bahwa kebebasan pelani memang mengalami pengekangan luar biasa dengan diharuskannya pétani cenanam benih unggul. “Pemeksaan” yang dilakukan aparat pemeriniah dalam memengupayaken diadopsinya pupnk urea pada tahun-tahun pertams program BIMAS/INMAS juga mendukung pernyatean Hansen (1978), Para petani melaporkan betapa peraksaan itu dilekukan tanpa pemahaman mengapa mereka harus menggunakan pupuk uren, padahal bertahun-tahun, mereka bercocok tanam padi tanpa puipuk semacam itupun telah dapat memenuhi kebutuhan mereka, Para petani loka) di Desa Wakalambe yang masih miskin pengalaman dalam bertani di sawah tidak banyak memberikan komentar tentang pertanian sawah yang akhir-akhir ini mengalami gagal panen, Berbeda dengan petani transmigran yang telah banyak mengenyam pengalaman bersawah di daerah asalnya. berbagai cerita petani asal Bali tentang penolakan petani di Bali dalam menggunakan pupuk urea, penolakan 38 dalam menanam padi yang sanget tidak cocok dengan selera mereka, serta dihancurkannya padi lokal petani oleh penyetnprotan pestisida dari udara, hanyaln’y sebagaian saja dari cerita yang kini hanya merupakan kenangan pahit, Apa yang betul- betul dirasakan sebagai sesuatu yang hilang adalah “kebebasan” mereka memilih jenis- Jenis padi. Dulu petani bebas memilih jonis padi apa saja sampai mendapatkan jenis padi yang nge/odoh, tutur Haji Lanto yang masih jelas ingatannya tentang berbagat jenis, padi gagangan, baik yang berbuluh maupun yang tidak berbuluh, serta beragam padi Ketan, Petani akan terus mencoba bermacam-macam jenis padi, hingge ditemukannya Jenis padi dengan hasil gabah dan selera yang cocok dengan keinginan dan harapan mereka, Hal itu sejalan dengan pendapat Winacto (Iihat Winarto 1997). Karena itu, kegiatan “ji coba” atau dalam istilah petani “mengadakan percobaan” merupakan salah stu mekanisme yang esensial dalam proses belajar bercocok tanam. Setiap petani pun tidak akan menanam hanya sotu jenis padi saja. Petak-petak sawah mereka dapat ditanami oleh jenis padi yang berbeda satu sama lain. Padi ketan imerupakan jenis padi yang tidak ditinggallen, karena ketan merupakan salah satu bahan pangan utara untuk membuat penganan, apalagi untuk kepentingan hajatan dan upacara pada masyarakat Buton pada umumnya, Karena itu, heterogenitas jenis padi dalam petak-petak sawah seorang petani merupakan hal yang im, Dapatlah kiranya dibayangkan, beiapa beragamnya jenis padi yang tumbuh dalam satu hamoparan hanya dalam satw musira tanam di masa yang Jalu, 39 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini diperoieh beberapa kesimpulan sebagai berikut: a Sikap masyarakat Desa Wakalambe terhadap keberadaan irigasi dan fasititas penunjangnya adalah awalnya menerima karena merupakan program pemerintah yang harus ditkwti, namun saat ini relatif menolak karena tidak dapat diandalkan sebagai penunjang bidup dimasa yang akan datang, Sikap seperti itu muncul karena selama tiga tahun terakhir ini para petani di Desa Wakalambe mengalami gagal panen. b. Dinamika pengetahuan petani dalam meningkatkan produksi patut diperhatikan agar peteni tetap bertahian bidup dengan caranya masing-masing. Karena kebebasan petani memang mengalami pengekangan fuar biasa dengan diharuskannya petani menanam benih unggu! sehingga kebebasan mereka memilih jenis-jenis padi menjadi hilang. Atau dapat diasumsikan bahwa kekayaan pengetahuan ekologi petani lebih bervariasi pada masa sebelum dari pada pada masa setelah melakukan pertanian sawah, Kegiatan uji cobs selalu dilakukan petani setiap musim, itulah cerita para tetua petani. Hal itw'berarti, akumulasi pengetahuan betlangsung terus menerus. Karena itu, degradasi biodiversitas hayati dengan men ngnya beranekaragam jenis padi gagangan menandakan pula terjadin degradasi pengetahuan fokal petani. Pemasungan kebebasan petanipun memiliki implikasi lebih javh, yakni “pemiskinan budaya petani", ©. Hilangnya kebebasan petani dalam pemitihan jenis padi diikuti pula oleh hilangnya " kebebasan dalem penggunnan pupuk. Pupuk kandang, kompos dengan Siingyain, Pupok urea yang bars diadopsi petani tidak dikenali apa kegunaannya, kecuali setelah beberapa musim berlalu. Dari pengamatan petani, pupuk urea tersebut ternyate memang dapat menyuburkan pertumbuhan padi, memperbanyak helai dan bulir. Selaxjutnya, jadwal tanam pun tidak leluase mereka tetapkan sendiri, karena kapen air mulai menggenangi areal persawahan berada di luar jangkauan kemampuan petani untuk mengatumya, “Segala sesuatu kini diatur 40 pemerintah”, ituleh perubaban drestis yang mereka rasakan. Mereka ehilangan Kkemampuan mengontrol lagi apa yang mau mereke tanam dan bagaimana menanamnnya, |. Saat ini petani di Desa Wakalambe masih memiliki tingkat kopersayaan dalam ambit kepuiusan untuk kembali meninjaw cara pertanian tradisional setelab beberapa keli mengelami gagal panen. Masyarakat di Desa Wakalambe saat ini hanya berpasrah diri kepada yang maha Kuasa setelah menegtahai bahwa daraly mereka telah terkontaminasi dengan pestisida Karena tidak memiliki kemampuan untuk melekukan kegiatan mencuci darab di rumah sakit. Program demi program datang dan pergi bergantian, Setiap program disertai ‘sejumlah rekomendasi dan teknologi untuk dilaksanskan para petani yang kini tidak hanya menjadi peiaksana program pemerintah tetapi juga menjadi ajang perebutan atau arena kompetisi produsen-produsen pelbagi produk teknologi_pertanian. Bantuan dalam wujud kredit adalah bentuan agar petani mampu menjadi konsumen Para produsen tersebut jika menolak Kredit atau komponen-komponen dalain bantuan Kredit itu pun merupakan hal yang jenurut aturan pemerintah adalah “penyimpangan". Dalam konteks ini, maka Kebebasan petani yang terpasuny merupakan pula terkendalenya proses belajar. Benih-benih “krisis budaya” pertumbuhan yang salah satu perwujudannya adalah “ledakan hama”. Paredigma pembangunan sampai saat ini masih dilandasi oleh penanggulangan ‘masalah melalui rekayasa teknologi. Solusinya yang dicari adalah pada penemuan benih yang lebih. kebal lagi terhadap fama dan pestisida yang lebih ampuh dalam mengurang! populasi hama, dan pengalihan teknologi itu pada petani yang menjadi target sebagai pelaksana rekayasa tersebut. Bukannye strategi penggunaan pestisida itu yang dievaluasi, dan bukannya paradigms pembanguan pertanian itu yang dikaji dengan menempatkan pembanguan “modal sosial”, para petani itu sendiri, sebagai prioritas utama, 4a 5.2. Saran a, Petani bersikap menolak keberadaan irigasi dan fasilitas penunjangnya karena tidak dapat diandatkan sebagai penunjang hidup dan pemerintah seyogyanya bertanggung jawab terhadap kondisi_ yang dialami oleh para petani saai ini b, Petani’ seharusnya tidak menjadi ajang perebutan atau arena kompetisi produsen- produsen pelbagi produk teknologi pertanian tetapi petani harus mampu menjadi produsen yang mandiri. c. Selain paradigma pembangunan yang masih dilandasi pada penanggulangan ‘masalah melalui rekayasa teknologi juga perlu dipikirkan strategi penggunaan pestisida itu yang dievaluasi, dengan menempatkan pembanguan “modal sos para petanj itu sendiri, sebagai prioritas utama. a2 DAFTAR PUSTAKA Bentley, J.W., 1992, Alternatives to pesticides in xentral America : applied studies of local knowledge Culture and agriculture 44: 10-13, Conway, G.R. dan E.B, Barbier, 1990, After the Green Revolustion : Sustainable Agriculture for Development London : Earthsean Publications, Departemen Pertanian Sekretariat Pengendalian Bimas 1998, Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi, Patawija dan Jagung, 2000. (Gema Palagung) Mamiskrip Jakarta Food and Agriculture Organization 1990, Mid-Term Review of FAO Intercountry Program for The Development and Application of Integrated Pest Control in rice in South Kast Avict Mission Report Phase I) Jakarta 1991, Mid-term review Mission : Training in Development of integrated pest Managemen in Rice-Based Propping System, Mistion Report Jakarta. Fox, Jul. 1991, Managing the Kenlogy of Rice Production in indonesia, In.k. Harejono (ed. Indonesia Resource, Ecology and environmen. Singapura of university Press, pp 61-84. Gardner, K. dan D, Lewis 1996, Anthroplogy Development and Posimodern Callens, London, Pluto Press. Hansen, G.J. 1978, Bureaucraitc Linkages and Policy-Making in Indonesia BIMAS revistied. in KW. Jackson and LW. Pye feds.) Political Power and Communication an Hdonesia, Berkeley University if California Press. pp 322-342. Hubart, M. 1993, Introduction the Growth of ignorance in. M, Hobarth (ed) An Antrhopolagical critique Development the Growth of Agriculture London, Routledge, Pp 1-30 0 Kenmoore, P. 1992, Indonesia IPM-A Model for Asia in FAO intereountry Programe for the Development of Integrated pest Control in Rice in South and Southecest Asia. Supiementary Documents for Proyect Document Phase Il) Petrie, H.G. and R.S, Oshlag 1993, Mataphor and Learning. Jn A. Ortony (ed,) Metaphor and Thought Cambridge : Cambridge University Pross, pp :579-609 Shiva, V (988, Reduettonist Science as Liptstemological Violence, in A, Nandy (eel) Science Hegemony and Violence : u Requiem for modernity, Oxford Oxford University Press, pp. 232-256, 1991, The Violence of the Green Revolution : Thrid World Apriculure, Ecology andl Patittes. London : Zed Books and Penang : Third World Network. 1993, Mowveulines of the mind ; Perspective on bodiversity uml biotectmology. London : Zed Books and Penang : Third World Network. ‘Wilson, P.A. 1997, Building Social Capttal : a Learning Agemda for The Peonny-Frst Century, Urban Studies 34 (5-6) : 745-760 Winarto, YT. 1997, Managing Sees! Diversity During the Green Revolution, Indigenous Knowledge and Development Monitor, Vol. $ (3): 3-6 1998a,—Tinjawan Boku Anthropotogy, Development and the Post-Modern Challenge, Antropologi Indonesia 22 (54:998-197). 19980, Hamer dan Musuh Atami, “Obat dan Racin” + Dinamika Pengetahnan Petani dalam pengendalian Hama, Ancropologi Indoneiste 22 (55) : 68. ‘Tarimana, Abdurraut 1989, Kebudayaan Tolaki Jakarta, Balai Pustaka. 4

Anda mungkin juga menyukai