Anda di halaman 1dari 31

MODUL 6

ISTISHHAB DAN MADZHAB SHAHABI

Dosen: Dr. Dede Abdul Fatah, M.Si

PROGRAM STUDI KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH

JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI JAKARTA

2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dasar hukum islam terdapat dua ketentuan landasan hukum yaitu yang
disepakati sama yang tidak disepakati. Adapun landasan hukum yang
disepakati oleh para ulama yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan landasan hukum islam yang tidak disepakati salah satunya
Istishab1.
Istishab sendiri adalah dalil syar’i terakhir yang dapat digunakan
sebagai rujukan oleh mujtahid untuk mengetahui hukum dari permasalahan
yang dihadapi apabila tidak terdapat penjelasan dalam Al-Qur’an dan As-
sunnah.
Dalam peristilahan ahli ushul, Istishab berarti menetapkan hukum
menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang
mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia artikan juga sebagai upaya menjadikan
hukum persitiwa yang ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa
berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan itu.
Generasi dimana Nabi SAW, diutus adalah generasi para sahabat.
Mereka adalah sebaik-baiknya generasi, dari aspek keimanan mereka sangat
memengang teguh ajaran isalm, dan Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari
segalanya. Hal ini bias dilihat dari kisah para sahabat dalam mempertahankan
aqidah mereka, meskipun harus disiksa dan didera oleh berbagai siksaan dan
cacian dari kafir quraisy. Mereka adalah generasi yang patut kita jadikan
teladan , baik dari kuatnya keimanan, pengaplikasian dalam kehidupan seahri-
hari dan menyebarkan ajaran islam kepada lainnya.
Terlepas dari segala keutamaan yang dimiliki oleh para sahabat. Para
ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan segla hal yang sampai pada kita
dari sahabat baik berupa perkataan, perbuatan ataupun fatwa sebagai salah satu
sumber pengambilan hukum dalam islam.

1
B. Rumusan Masalah
a) Istishab
1. Apa yang dimaksud dengan Istishab?
2. Sebutkan dasar syariah penggunaan Istishab?
3. Apa yang dimaksud dengan Kehujjahan Istishab?
4. Sebutkan macam – macam Istishab?
5. Sebutkan contoh Istishab dalam Keuangan dan Perbankan
Syariah pada Hybrid Contract?
b) Mazhab Shahaby
1. Apa yang maksud dengan Mazhab Shahaby?
2. Sebutkan dasar syariah penggunaan Mazhab Shahaby?
3. Apa yang dimaksud dengan Kehujjahan Mazhab Shahaby?
4. Sebutkan macam – macam Mazhab Shahaby?
5. Sebutkan contoh Mazhab Shahaby dalam Keuangan dan
Perbankan Syariah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang diatas, kami membuat makalah ini
bertujuan untuk :
a. Untuk menjelaskan tentang Istishab dan Mazhab Shahaby.
b. Untuk mengetahui dasar penggunaan Istishab dan Mazhab
Shahaby.
c. Untuk mengetahui macam – macam Istishab dan Mazhab Shahaby.
d. Untuk mengetahui contoh Istishab dan Mazhab Shahaby.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istishab

1. Pengertian Istishab

Istishab termasuk dalam dalil hukum yang tidak disepakati penggunaannya di


kalangan ulama usul. Metode Istishab di gunakan oleh ulama yang menggunakan
setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui empat dalil hukum
yang di sepakati, yaitu : Al-Quran,sunnah,Ijma dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam
penggunaannya, bukan di sebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan Istishab
tersebut tetapi memang benar dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri
sendiri.2

1. Arti Istishab secara Lughawi ( etimologi ) Istishab itu berasal dari kata
is-tash-ha-ba dalam shigat is-tifal, yang berarti (arab), Kalau kata (arab)
diartikan “sahabat” atau “teman”, dan diartikan “selalu” atau “terus-menerus”,
maka istishháb itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu
menyertai. Penggunaan secara arti lughawi ini adalah sesuai dengan kaidah
istishhab yang berlaku di kalangan ulama ushul yang menggunakan istishhab
sebagai dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah diyakini dan
diamalkan di masa lalu dan secara konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk
diamalkan sampai ke masa selanjutnya.3

Adapun arti istishhab secara terminologi (istilah), terdapat beberapa


rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi istishhab, namun
perbedaannya tidak sampai pada hal yang prinsip.4

1. Rumusan yang paling sederhana dikemukakan Syekh Muhammad Ridha


Mudzaffar dari kalangan Syi’ah:

2
Syarifuddin,Amir. 2008.ushul fiqh.(jakarta:kencana prenda Media Group.
Jaribah.2006),157
3
Syarifuddin,Amir. 2008.ushul fiqh.176
4
Syarifuddin,Amir. 2008.ushul fiqh. 177

3
Mengukuhkan apa yang pernah ada.
2. Al-Syaukani dalam Irsyâd al-Fuhul mendefinisi
Apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap
berlaku pada masa yang akan iasa.
3. Ibn al-Qayyim al-Jauzıyah mengajukan definisi:
Mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa
yang sebelumnya tiada.
4. Ibn Al-Subki dalam kitab Jam’u al-Jawâmi’ II memberikan definisi:
Berlakumya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku
pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya.
5. Muhammad ‘Ubaidillah al-As’adi merumuskan definisi
Mengukuhkan hukum yang ditetapkan dengan suatu dalil pada masa lalu
dipandang waktu ini sampai diperoleh dalil lain yang mengubahnya.
6. Definisi menurut lbn al-Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah:
Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang
tiadanya.5

Definisi pertama yang begitu pendek memberikan arti yang luas dan jelas, yaitu
mengukuhkan atau menganggap tetap berlaku apa yang pernah ada. Keadaan yang
pernah terjadi (di masa lalu) itu ada dua macam: (1) nafi (arab), yaitu dalam keadaan
tidak pernah ada sesuatu (hukum) atau kosong: (2) tsubūt (arab), yaitu dalam keadaan.6

Telah (pernah) ada sesuatu (hukum). Dengan demikian berarti bahwa yang
dahulunya “belum pernah ada”, maka keadaan “belum pernah ada” itu tetap
diberlakukan untuk masa berikutnya. Begitu pula, jika di masa sebelumnya “pernah
ada”, maka keberadaannya tetap diberlakukan untuk masa berikutnya.7

Bila definisi pertama ini dikaitkan dengan definisi ketiga (dan Ibn Qayyim),
maka tampak ada keserasian, yaitu bahwa apa yang ada sebelumnya dikukuhkan

5
Khlifah,Abdul Wahad.2014.(ilmu Ushul Fiqh.Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang),231
6
Khlifah,Abdul Wahad.2014.,232
7
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana PrendaMedia
Group.Jaribah.2006),201

4
8
keberadaannya dan jika sebelumnya tiada, keadaan ketiadaannya itu dikukuhkan atau
dianggap tetap berlaku untuk masa kini dan mendatang.

Definisi kedua (dari al-Syaukani) mendukung pengertian definisi pertama dan


ketiga yang dijelaskan di atas. Definisi ini menjelaskan penggunaan kata “masa , yaitu:
“masa lalu” dan “masa akan iasa” yang mengandung arti bahwa apa yang diberlakukan
pada “masa kini” adalah apa yang diberlakukan pada “masa lalu”. Pemberlakuan
keadaan “masa lalu” itu diberi catatan “pada prinsipnya” yang mengandung arti bahwa
apa yang berlaku di masa lalu itu tidak ada hal yang mengubahnya.9

Definisi keempat (dari lbn Subki) menggunakan ungkapan “selama tidak ada
hal yang patut mengubahnya.” Rumusan ini melengkapi definisi sebelumnya dari Ibn
Qayyim yang hanya menggunakan kata “pada prinsipnya.” Meskipun dalam definisi
pertama dan kedua tidak menyinggung hal ini, namun jiwa definisi tersebut
mengandung pengertian itu.

Untuk memberikan gambaran dari bentuk istishhäb tersebut, berikut ini akan
dikemukakan contohnya dalam bentuk tsubit dan dalam bentuk nàfi.10

Contoh istishhäb dalam bentuk tsubut (pernah ada):

Bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh keadaan telah ada wudhunya
itu masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat
Dhuha itu tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda
bahwa wudhunya yang dilakukan pada waktu shubuh itu telah batal.

Beberapa waktu lalu telah ditetapkan pemilikan harta bagi seseorang melalui
pewarisan secara sah. Pemilikan harta itu berlaku untuk seterusnya selama tidak ada
bukti bahwa pemilikannya itu sudah beralih kepada orang lain, seperti melalui
transaksi jual beli atau hibah.

8
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana PrendaMedia
Group.Jaribah.2006),209
9
Khlifah,Abdul Wahad.2014.(ilmu Ushul Fiqh.Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang),250
10
Syarifuddin,Amir.2008. 255

5
Contoh istishhab dalam bentuk nafi (tidak pernah ada): di masa lalu tidak penah ada
hukum tentang wajibnya puasa di bulan Syawal, karena memang tidak ada dalil syara’
yang mewajibkannya. Keadaan tidak adanya hukum wajib itu tetap berlaku sampai
masa kini dan mendatang karena memang dalil syara’ yang akan mengubahnya untuk
itu tidak iasada lagi dengan telah meninggalnya Nabi SAW. Dari beberapa definisi di
atas secara sederhana dapat dirumuskan mengenai hakikat dan karakteristik istishhâb
tersebut, yaitu:11

1. Secara meyakinkan telah berlangsung suatu keadaan dalam suatu masa tertentu
tentang tidak adanya hukum untuk keadaan itu karena memang tidak ada dalil
yang menetapkannya.
Dalam contoh tentang waris di atas: telah berlangsung pemilikan seseorang
atas harta pada waktu lalu secara meyakinkan.
2. Telah terjadi perubahan masa dari masa lalu ke masa kini, tetapi tidak ada
petunjuk yang menyatakan bahwa keadaan di masa lalu itu sudah berubah. Juga
tidak ada petunjuk yang menjelaskan mengenai keadaan waktu ini.
Dalam contoh waris di atas: harta waris masih ada di tangan orang yang
menerima waris itu sampai masa kini dan belum ada transaksi apa pun yang
menunjukkan telah berubahnya status pemilikan harta itu, meskipun bukti
kepemilikannya di masa kini juga tidak ada.12
3. Terdapat keraguan tentang suatu peristiwa (hukum) pada waktu kini, namun
peristiwa itu berlangsung secara meyakinkan di masa lalu dan belum
mengalami perubahan sampai waktu ini, oleh karena itu peristiwa di masa lalu
yang meyakinkan itu tetap diberlakukan keberadaannya.
Dalam contoh waris di atas: Si pemilik tetap harta yang kepemilikanya
meyakinkan itu dinyatakan masih tetap memiliki harta yang diwarisinya. 13

11
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana PrendaMedia
Group.Jaribah.2006),111
12
Khlifah,Abdul Wahad.2014.(ilmu Ushul Fiqh.Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang)310
13
Khlifah,Abdul Wahad.2014. 312

6
Muhammad Ridha Muzhaffar merinci hakikat istishhab itu ke dalam 7 poin sebagai
kriteria istishhâb yang diistilahkannya dengan muqawwim (arab) atau pendukung,
yaitu:

1. Keyakinan. Maksudnya bahwa keyakinan akan berlakunya suatu keadaan pada


waktu yang lalu, baik keadaan itu dalam bentuk hukum syara’ atau suatu objek
yang bermuatan hukum syara’.
Dalam contoh waris di atas: keyakinan atas berlangsungnya pemilikan harta
bagi seorang ahli waris adalah disebabkan adanya pewarisan.
2. Keraguan. Maksudnya bahwa keraguan tentang masih berlakunya keadaan
yang telah meyakinkan sebelumnya adalah karena menmang waktunya sudah
berubah.
Dalam contoh waris di atas: keraguan tentang masih berlakunya pemilikan
yang meyakinkan di masa lalu untuk masa kini. Hal ini merupakan salah satu
rukun dari istishhâb sebagaimana disebutkan di atas. Kalau pada masa kini
telah ada sesuatu yang meyakinkan tentang keadaan di masa lalu itu, maka
tidak ada lagi artinya istishhāb tersebut; umpamanya pemilikan harta di masa
lalu itu pada masa sekarang secara meyakinkan telah dialihkan melalui suatu
transaksi, sehingga kepemilikannya berubah.14
3. Bertemunya hal yang meyakinkan dan meragukan dalam waktu yang sama.
Maksudnya bahwa keyakinan dan keraguan bertemu pada masa kini; artinya,
terjadi keraguan untuk memberlakukan keadaan baru karena belum ada
petunjuk untuk itu, dan dalam waktu yang bersamaan terjadi keyakinan untuk
memberlakukan yang lama karena belum ada hal yang mengubahnya.
4. Keadaan yang meyakinkan dan meragukan itu waktunya berbeda. Maksudnya,
keadaan yang meyakinkan itu terjadi pada masa lalu, sedangkan yang
meragukan terjadi pada masa kini atau masa mendatang.15
5. Tempat berlakunya keyakinan dan keraguan itu menyatu. Maksudnya bahwa
apa yang diragukan itu berlaku terhadap suatu keadaan yang juga sekaligus
diyakini.

14
Zein,Satria Effendi.2017.(Ushul fiqh.Jakarta:Kencana.)210
15
Zein,Satria Effendi.2017. 212

7
Dalam contoh di atas: pemilikan atas harta yang pada masa lalu meyakinkan
dan pada masa kini meragukan.16
6. Masa berlakunya hal yang meyakinkan mendahului masa berlakunya hal yang
meragukan. Ini berarti bahwa berlakunya keadaan yang meyakinkan haruslah
lebih dahulu daripada yang meragukan. Kalau terjadi sebaliknya maka bukan
termasuk istihhab..
7. Keyakinan dan keraguan itu terjadi secara nyata. Maksudnya, betul-betul
terjadi secara haqiqi (nyata) dan bukan terjadi secara taqdiri (tersembunyi).

2. Dasar Syariah Penggunaan Istishab

Dari uraikan tentang Istishab diatas jelaslah bahwa Istishab itu berjalan atas prinsip
keraguan yang mengiringi keyakinan dan mengukuhan pengalaman yang
menyakinkan yang berlaku di masa lalu (sebelum) itu.Atas dasar ini ulama
merumuskan kaidah pokok yang populer:

“Apa yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan
dengan suatu yang meragukan”.17
Menurut Al-Suyuthi dalam kitabnya, Al-asybah wa al-nashair kaidah fiqhyah
yang pokok itu di dasarkan kepada beberapa hadist nabi diantaranya adalah :

Hadist dari Abu Hurairah menurut riwayat muslim:

“bila salah seseorang diantara mu merasakan pada perutnya sesuatu,


kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau tidak,
janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.”

Hadist dari Abu Sa’id Al-Khudri menurut riwayat muslim:18

16
Zein,Satria Effendi.2017.213
17
Sahroni,Oni.2017.(Ushul Fiqh Muamalah.jakarta:RajaGrafindo Persada)221.
18
Sahroni,Oni.2017.222

8
“apabila salah seorang diantara mu ragu dalam shalatnya apakah telah tiga
rakaat atau empat rakaat maka hendaklah ia buang apa yang meragukan dan
mengambil apa yang menyakinkan.”19

3. Kehujjahan Istishab

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa istishab adalah salah satu dari sekian banyak dalil
syariah, atau dengan kata lain merupakan hujjah. Namun mereka berbeda pendapat
tentang seberapa jauh kehujjahan Istishab ketika tidak ada dalil yang lainnya, atau bila
hanya menjadi satu-satunya dalil.

Ada tiga pandangan yang berbeda dalam masalah ini. Pertam mereka yang
berpandangan bahwa istishab itu hujjah yang bersifat mutlak, kedua mereka yang
berpandangan bahwa istishab hujjah tapi tidak bersifat mutlak, dan pandangan ketiga
bahwa istishab adalah hujjah sebatas menolak (daf’) dan bukan hujjab dalam
menetapkan (itsbat). Berikut rinciannya :20

1. Hujjah Mutlak
Mayoritas (jumhur) ulama’ seperti para ulama di kalangan mazhab Al-
Malikiyyah, As-Syafi’iyah, Al-Hanabilah, Adh-Zhahiriyyah hingga
kalangan mazhab Syi’ah umumnya memandang bahwa Istishab adalah
hujjah syar’iyah (‫)شرعية حجة‬.
Alasan mereka adalah bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa
lalu,selama tidak ada dalil yang mengubahnya baik secara qath’I maupun
Zhanni,maka hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga
keras belum ada perubahanya.
2. Hujjah Tidak Mutlak21
Namun menurut kalangan ulama mazhab Al-Hanafiyah, istishab bukan
termasuk hujjah syar’iyah. Sehingga tidak dibenarkan menjadikannya

19
Sahroni,Oni.2017.223
20
Khlifah,Abdul Wahad.2014.(ilmu ushul fiqh. Semarang : PT karya Toha Putra
Semarang.)175
21
Khlifah,Abdul Wahad.2014. 176

9
sebagai landasan atas suatu hukum. Karena untuk menetapkan suatu dalil
dan hujjah hukum syariat pada awalnya membutuhkan dalil, sebagaimana
dalil itu juga dibutuhkan waktu berikutnya. Para muhaqqiq kalangan
ulama Hanafi setuju bila istishab dijadikan dalil penguat atas suatu hukum
yang sudah ada sebelumnya.22 Namun tidak bisa dijadikan dasar hukum
atas suatu masalah yang sama sekali belum ada dalil dasarnya.Contohnya
dalam kasus seorang yang dianggap hilang (mafqud), secara istishab
belum dianggap meninggal dulu, kecuali setelah ada bukti jasadnya yang
wafat. Oleh karena itu anak-anaknya belum boleh membagi hartanya
sebagai warisan, karena ada pencegahnya, yaitu secara istishab masih
dianggap hidup.
3. Hujjah Untuk Menolak Bukan Untuk Itsbat23

Sebagian kalangan menerima kehujjahan istishab hanya pada satu sisi dan
tidak pada sisi yang lain. Maksudnya, kalau untuk menolak sesuatu atau daf’,
istihab bisa dijadikan hujjah, sedangkan untuk menetapkan sesuatu (itsbat),
istishab tidak bisa dijadikan hujjah.

4. Macam – macam Istishab24


Dalam menguraikan rincian bentuk Istishab,ulama berbeda-beda
pendapat,namun perbedaan itu tidaklah bersifat prinsip diantaranya
menguraikan secara terperinci, adapula yang hanya menguraikan prinsip-
prinsip dasarnya yang kalau dirinci lagi bertemu dengan pendapat ulama yang
merinci. Diantara itu ahli usul yang mengemukkan perincian tentang Istishab
tersebut adalah:
1) Ibn Qayyim mengemukkan tiga bentuk Istishab:
a) Istishab Al-Bara’ah al – Ashliyyah
b) Istishab yang menetapkan hukum syara

22
Khlifah,Abdul Wahad.2014.177
23
Khlifah,Abdul Wahad.2014.(ilmu ushul fiqh. Semarang : PT karya Toha Putra
Semarang.)178
24
Sahroni,Oni.2017.(Ushul Fiqh Muamalah.Jakarta:Raja Grafindo Persada).111

10
c) Istishab hukum Ijma 25

arti lughawi al- bara’ah adalah “bersih”, dalam hal ini pengertiannya
adalah atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-ashliyyah
yang secara lughawi artinya:” Menurut asalnya”, “dalam hal ini maksudnya
adalah pada prinsisp atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan
hukum. Hal ini berarti pada dasarnya seorang bebas dari hukum, kecuali ada
dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang
tersebut. Umpanya seseorang bebas dari kewajiban puasa Syawal, karena
memang tidak ada dalil yang mewajibkanya. Demikan pula pada dasarnya
seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara menyakikan
bahwa ia bersalah. Prinsip ini yang dewasa ini populer dengan apa yang disebut
dengan praduga tak bersalah. “ istishab al-baraah al-ashliyyah ini
mengandung prinsip tersebut sampai ada dalil menetapkan.”26

2) Al-Syaukani mengemukakan bentuk bentuk istishab yang sebagainya telah


tercakup dalam yang dikemukakan Ibnu Qayyim, tetapi ia menggunkan
nam lain:
a. “sesuatu yang ditunjukan oleh akal atau syara tentang tetap dan
berlakunya suatu hukum sampai ada dalil yang menetukan ketentuan lain
dari hukum tersebut.”

Bentuk ini tidak terdapat dalam rincian bentuk istishab dari Ibnu
Qayyim. Bedany dengan bentuk baraah Asyliyyah yang dikemukakan Ibnu
Qoyyim adalah bahwa pada bentuk istishab ini telah ada hukumnya
berdasarkan dalil dalil yang menetapkannya. Keadaannya adanya
hukumnya di nyatakan tetap berlaku sampai ada perubahan. Pada Baraah
Asyliyyah tidak ada ketentuan hukumnya yang berlaku untuk selanjutnya.
27

25
Sahroni,Oni.2017.112
26
Oni Sahroni, Ushul Fiqh Muamalah.(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2017),113
27
Oni Sahroni, .2017.114

11
b. “memberlakukan keadaan tidak ada (kententuan hukum) menurut asalnya
Istishab dalam bentuk sama dengan istishab Baraah ashliyyah yang
dikemukan Ibnu Qoyyim”
c. “tetap memberlakukan hukum asal”28
pengertian al-Hukmu al-aqli menurut ulama Mu’tazilah Ialah bahwa
Akal dapat menetapkan suatu hukm Syara sebelum datangnya wahyu
berdasarkan akal untuk mengetahui hakikat buruk dan baik pada susatu
perbuatan.
d. “mengukuhkan pemberlakukan hukum Ijma.”
Bentuk istishab ini sama dengan yang dirinci Ibnu Qoyyim diatas.
3) Muhammad Abu Zahra menambahkan bentukan lain dari Istishab yaitu :
“ mengukuhkan peberlakukan suatu hukum”.29
Ahli Husnul Fiqih lain memasukan bentuk ini kedalam Istishab bentuk
pertama yang dikemukan al-syahkani, Karena berlakunya suatu hukum itu
tentu karena dalilnya syara’ atau setidaknya ada dalil yang menetapkan.
Mengukuhkan yang telah ditetapkan oleh salil syara’ itu tetap berlaku untuk
selanjutnya.
Abu Zahrah sendiri tidak memasukan bentuk ini ke dalam bentuk
pertama dari AL-Syaukani tersebut di atas, tetapi ia menampilkan bentuk ini
secara tersendiri sebagaimana yang dilakukan oleh al-Syaukani.
Alasannya, tentu karena menurut pendapatnya antara kedua bentuk Istishab
tersebut ada perbedaan.
4) Ibn Subki menambahkan istishab bentuk lain yang belum disebutkan dalam
rincian, yaitu :30
”meneruskan pemberkelasan suatu hukum umum atau nash sampai datangnya
sesuatu ketentuan yang mengubahnya”

28
Oni Sahroni, 115
29
Oni Sahroni,116
30
Oni Sahroni,117

12
Ketentuan yang mengubah itu mungkin dalam bentuk mukhassis terhadap dalil
semula yang umum, atau mungkin juga dalam bentuk nasikh terhadap nash
yang datang sebelumnya.
5) Al-Syaukani mengemukakan rumusan lain yang sejalan dengan
penambahan yang terdapat dalam rumusan Ibn Subki di atas, yaitu istishab
dalam bentuk:31
”menerumuskan pemberlakuan suatu dalil di samping ada kemungkinan dalil
yang melayaninya”
Adakalanya yang menyalahi itu dalam bentuk takhisis bila dalil semula dalam
bentuk zhahir, atau dalam bentuk nasakh bila dalil semula dalam bentuk nash.
6) Al-Ghazali mengakui adanya bentuk istishab yang dikemukakan al-
Syaukani tersebut yang dirumuskannya secara lebih lengkap, yaitu :
“Mengukukuhkan pemberlakuan hukum-hukum yang umum sampai datang
takhsis dan mengukuhkan pemberlakuan nash sampai datang nasakh”

Setelah menguraikan dan menganalisis bentuk-bentuk istishab menurut pandangan


beberapa ulama yang di antaranya berbeda tersebut, dapat dirumuskan bentuk istishab
dengan rincian sebagai berikut :32

 “Mengukuhkan pemberlakuan prinsip tidak ada menurut asalnya.”


 “mengukuhkan pemberlakuan sebuah dalil di samping ada kemungkinan dalil
yang menyalahinya.”
 “mengukuhkan pemberlakuan apa yang ditunjuk oleh syara’ atau akal tentang
tetap dan pemberlanjutan.”
 “Mengukuhkan pemberlakuan suatu hukum.”
 “Mengukuhkan pemberlakuan suatu sifat.”
 “Mengukuhkan Pemberlakuan hukum akal.”
 “Mengukuhkan pemberlakuan hukum yang ditetapkan dengan Ijma

31
Oni Sahroni, 119
32
Oni Sahroni, 120

13
5. Istishab dalam Keuangan dan Perbankan Syariah pada Hybrid Contract 33

Perkembangan perbankan dan keuangan syariah syariah mengalami


kemajuan yang sangat pesat dan menghadapi tantangan yang makin kompleks.
Perbankan dan lembaga keuangan syariah harus bisa memenuhi kebutuhan bisnis
modern dengan menyajikan produk-produk inovatif dan lebih variatif
serta pelayanan yang memuaskan.34 Tantangan ini menuntut para praktisi,
regulator, konsultan, dewan syariah dan akademisi bidang keuangan syariah untuk
senantiasa aktif dan kreatif dalam memberikan respon terhadap perkembangan
tersebut. Para praktisi dituntut secara kreatif melakukan inovasi produk; regulator
membuat regulasi yang mengatur dan mengawasi produk yang laksanakan oleh
praktisi, Dewan syariah dituntut secara aktif dan kreatif mengeluarkan fatwa-fatwa
yang dibutuhkan industri sesuai tuntutan zaman, dan akademisi pun dituntut
memberikan pencerahan ilmiah dan tuntunan agar produk maupun regulasi
mendukung kebutuhan industry modern dan benar-benar tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip syariah.35
Salah satu pilar penting untuk menciptakan produk perbankan dan
keuangan syariah dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat modern,
adalah pengembangan hibryd conctract (multi akad). Bentuk akad tunggal sudah
tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer. Metode hybrid contracy
seharusnya menjadi unggulan dalam pengembangan produk. Dr Mabid Al-Jarhi,
mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang
adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada
di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan
dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan ini ditafsirkan secara
dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan produk bank syariah.
Padahal syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas.36

33
Syarifuddin,Amir.2008.( Ushul Fiqh. Jakarta: kencana Prenda Media
Group.Jaribah.2006)210
34
Syarifuddin,Amir.2008. 212
35
Syarifuddin,Amir.2008.( Ushul Fiqh. Jakarta: kencana Prenda Media
Group.Jaribah.2006)214
36
Syarifuddin,Amir.2008.215

14
Harus difahami, bahwa larangan two in one hanya terbatas dalam dua kasus
saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang terkait dengan itu.
Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak
pas konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir syariah dan konsultan
harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan
al-ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa
lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku.37 Kekakuan itu bisa terjadi karena
kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada
kita.

B. Mazhab Shahabi
1. Pengertian Mazhab Shahabi
Hampir semua kitab ushul fiqh membahas mazhab shahabi,meskipun
mereka berbeda dalam keluasan bahasanya, juga berbeda dalam penamaannya.
Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi, ada pula yang menamakannya
pada pembahasaan tentang “dalil Syara’ yang diperselisihkan.” Bahkan ada
yang menempatkannya pada “pembahasan tentang dalil syara’ yang
ditolak,”seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minhaj al-
‘Ushul. Hal ini menunjukan bahwa mazhab shahabi itu berbeda dengan ijma;
shahabi yangmenempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara karena
kehujahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil
ulama ada yang menolak kehujahan ijma’ secara umum.38
“Mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara perseorangan”

Rumusan sederhana tersebut mengandung tiga pembahasan :39

1. Penggunaan kata "fatwa" dalam definisi ini mengandung arti bahwa fatwa itu
merupakan suatu keterangan atau penjelasan tentang hukum syara' yang
dihasilkan melalui usaha ijtihad. Dengan demikian, apa yang disampaikan
seorang sahabat dan dijelaskannya sebagai berasal dari Nabi, tidak dinamakan

37
Syarifuddin,Amir.2008.216
38
Zein, Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh.Jakarta:Raja Grafindo Persada)275
39
Zein, Satria Effendi.2017.276

15
marzhab shahäbi, tetapi disebut sunnah, sedangkan usaha sahabat yang
menyampaikan itu disebut periwayatan. Abu Zahrah menguraikan beberapa
kemungkinan bentuk madzhab shahábi tersebut ke dalam beberapa bentuk
sebayai berikut :40
a. Apa yang disampaikan sahabat itu adalah suatu berita yang didengarnya dari
Nabi, namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu, sebagai Sunah Nabi.
b Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang dia dengar & yang
didengarnya itu berasal dari Nabi.
c. Apa yang disampaikan sababat itu adalah hasil pemahamannya terhadap
ayat-ayat Al-Qur'an yang orang lain tidak memahaminya.
d. Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang sudah disepakati oleh
lingkungannya, namun yang menyanpaikan nya hanya sahabat tersebut
seorang diri.
e. Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pemahamannya atas dalil-
dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafaz.
2. Yang menyampaikan fatwa itu adalah seorang sahabat Nabi. Tentang siapa
yang dinamakan sahabat tersebut, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
antara ulama ushul dengan ulama hadis.
a. Ulama hadis menamakan sahabat itu dengan "orang yang pernah bertemu
dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam." Ahli Hadis mensyaratkan
pernah bertemu dengan Nabi. Dan syarat yang mutlak harus ada pada sahabat
itu ialah ia wafat dalam keadaan Islam. Sekalipun orang tersebut biasa
menyertai Nabi, namun jika mati tidak dalam keadaan Islam, maka tidak
disebut sahabat-seperti paman Nabi, Abu Thalib. Tetapi ada yang
memperlonggar syarat itu dengan cukup pernah hidup semasa dengan Nabi,
meskipun tidak pernah bertemu Nabi secara berhadap-hadapan.41
b. Menurut pandangan ahli ushul, yang disebut sahabat ialah orang yang
pernah bertemu dengan Nabi dan beriman kepadanya serta menyertai
kehidupan Nabi dalam masa yang panjang. Bahkan menurut Badran, ada

40
Zein, Satria Effendi.2017.277
41
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana Prenda Media Group.Jaribah.2006)321

16
ulama yang menambah persyaratan untuk disebut sahabat dalam hubungannya
dengan hukum syara' yaitu pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah)
dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan
Nabi disebut shahâbi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).42
3. Penggunaan kata "secara perseorangan" yang merupakan fasal kedua dalam
definisi di atas,43 memperlihatkan secara jelas perbedaan nazhab shahâbi
dengan ijmâ' shahâbi. Karena ijmä' shahabi itu bukan pendapat perseorangan
tetapi hasıl kesepakatan bersama tentang hukum. Untuk membedakan antara
kesepakatan yang disebut ijmâ' shahâbi dengan mazhab shahabi yang bersifat
perscorangan, kelihatannya terdapat perbedaan pendapat antara ulama yang
mengakui adanya ijma' suküti dengan ulama yang tidak mengakuinya.44
Bagi ulama yang mengakui keberadaan ijmâ' sukûtî baru akan nyata bahwa
yang disampaikan seorang sahabat itu sebagai mazhab shahabi bila ada
pendapat tandingan dari pihak sahabat yang lain yang berbeda dengan yang
disampaikan sahabat tersebut. Jika tidak ada sanggahan dari sahabat lain,
maka belum dapat discbut sebagai mazhab shahâbi (pendapat perseorangan
45
sahabat). Sedangkan bagi ulama yang tidak mengakui keberadaan ijma'
sukûtî tidak perlu menunggu adanya pendapat tandingan dari sahabat lain
untuk menamakan pendapat sahabat itu sebagai mazhab shahâbi. Pendapat
seseorang sahabat yang tidak secara jelas disepakati oleh ulama lain dalam
bentuk ijm' dapat disebut mazbab shahâbi, meskipun para sahabat itu diam
semuanya, karena sikap diam dalam hal ini tidak dapat diartikan sebagai
persetujuan.

2. Dasar Syariah Penggunaan Mazhab Shahabi46

Madzhab Sahabat secara mutlak tidak menjadi hujjah/dasar hukum atas


madzhab shahabi. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah,

42
Syarifuddin,Amir.2008.323
43
Syarifuddin,Amir.2008.333
44
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana Prenda Media
Group.Jaribah.2006)334
45
Syarifuddin,Amir.2008.
46
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh.jakarta :kencana)357

17
Imam Syafi’i dalam madzhabnya (Syafi’iyah) dan juga Abul Hasan Al-Kharha
dari golongan Hanafiyah. Alasannya sebagai berikut:

1. Bahwa sahabat itu tidak maksum (terpelihara) dari kesalahan. Tidak lain halnya
dengan seorang mujtahid yang yang bisa berbuat kesalahan. Mengenai
keutamaan sahabat dengan ilmu dan takwanya, tidaklah mewajibkan untuk
mengikutinya.
2. Bahwa sebagian sahabat itu menyelisihi sahabat lainnya.
3. Bahwa ada sebagian tabi’in yang menyalahi madzhab/qaul sahabat. 47
Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul
Wahhab Khallaf dalam kitabnya, begini : “Tidak menetapkan hukum atau memberikan
fatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits, atau
sebagaimana yang dikatakan para ilmuan yang dalam suatu hal tidak berbeda
pendapat (ijma’), atau dengan mengqyiaskan kepada sebagian dasar ini".
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama di antaranya: menurut
jumhur ulama dari kalangan ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Asy-Syafi’I yang lama
(qaul al-qadim) dan Ahmad bin Hanbal yang terkuat, qaul ash-shahabi merupakan
hujjah.
Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas.48
Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT pada surah Ali Imran (3) ayat 110, yang berbunyi:

َّ ِ‫ع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُؤْ ِمنُونَ ب‬


ِ‫اّلل‬ َ َ‫وف َوتَ ْن َه ْون‬ ِ ‫اس تَأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬ ِ َّ‫ت ِللن‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
َ‫ب لَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ۚ ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َوأ َ ْكثَ ُر ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬
ِ ‫َولَ ْو آ َمنَ أ َ ْه ُل ْال ِكتَا‬

Artinya :49
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya

47
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh.jakarta :kencana)358
48
Zein,Satria Effendi.2017.359
49
Zein,Satria Effendi.2017.360

18
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasi.

Menurut mereka, qaul sahabat merupakan salah satu dalil naqli di antara dalil
dalil yang lain. Dan ayat ini ditunjukan kepada para sahabat.
2. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat
100: 50

‫ع ْن ُه ْم‬ َّ ‫ى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ار َوالَّذِينَ ات َّ َبعُو ُهم ِبإ ِ ْحسٰ ٍن َّر‬ َ ‫س ِبقُونَ ْاْل َ َّولُونَ ِمنَ ْال ُمهٰ ِج ِرينَ َو ْاْلَن‬
ِ ‫ص‬ ّٰ ‫َوال‬
‫ت تَ ْج ِرى تَ ْحت َ َها ْاْل َ ْنهٰ ُر ٰخ ِلدِينَ فِي َها ٓ أ َ َبدًا ۚ ٰذ ِل َك ْالفَ ْو ُز ْال َع ِظي ُم‬ ۟ ‫ض‬
َ َ ‫وا َع ْنهُ َوأ‬
ٍ ّٰ‫عدَّ َل ُه ْم َجن‬ ُ ‫َو َر‬
‫﴿التوبة‬:﴾١۰۰

Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-
Taubah, 9:100)

Adapun dalil naqli yang mendukung pendapat para ulama di atas, antara lain,
sebagaimana dinyatakan bahwa para sahabat adalah orang orang yang lebih dekat
kepada Rasulullah SAW.51 dibanding orang lain.
Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan tujuan syara’, lantaran
mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai
keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk
Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. 52
Oleh
karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.

50
Zein,Satria Effendi.2017.362
51
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh.jakarta :kencana)363
52
Zein,Satria Effendi.2017.364

19
Ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan
bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum,
karena ijtihad mereka sama denga ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti
mujtahid lain.
Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa
sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan dalam
ijtihad itu bukanlah suatu yang mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa mereka tidak
akan salah dalam melakukan ijtihad. Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam
menetapkan hukum pada suatu kasus.53
Tentang hal ini, Imam Al-Ghazali juga mengatakan: "terhadap pendapat orang
yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa
dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar dari
kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu
bakar bin Umar ibn Khatab membiarkan saja orang orang yang tidak sependapat
dengannya, bahkan mereka manganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai
dengan hasil ijtihadnya masing masing".54
Meski tidak setuju qaul shahabi dijadikan hujjah (dalam qaul jadid), Imam al-
Syafi’i, -menurut Mushthafa Dib al-Bugha,- ternyata juga banyak mengambil
pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan
hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial
yang diambilnya dari pendapat para sahabat. 55
Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’i
cenderung mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat Ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya
kesaksian seorang anak kecil. Dalam hubungan ini, Imam al-Syafi’i mengatakan
pendapat Ibn ‘Abbas lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Qiyas.
Imam Al-Syafi’i juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak
diketahui apakah disetujui atau tidak oleh kalangan sahabat lain, seperti pendapat

53
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh.jakarta :kencana)375
54
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana Prenda Media
Group.Jaribah.2006)380
55
Syarifuddin,Amir.2008.384

20
Utsman ibn ‘Affan tentang hilangnya kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan
dengan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain -
setuju atau tidak- berkaitan dengan pendapat Utsman ibn ‘Affan ini. Pendapat sahabat
seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi’iyyah.56
Pendapat Khulafa al-Rasyidin selain Ali juga menjadi hujjah bagi Imam
Syafi'i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’i bukan
karena kurang kualitas keilmuan dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah
menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke Kufah dan waktu itu para sahabat
yang bisa menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa
sebelum ‘Ali, sudah tidak ada lagi.57
Imam Syafi’i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan
kepada dalil yang pasti yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Pasalnya, madzhab/qaul sahabat
dianggap hujjah oleh sebagian besar ulama, namun ditentang juga oleh sebagian kecil
ulama.
Madzhab/qaul/fatwa sahabat tidak keluar dari enam kemungkinan, yaitu :58
1. Fatwa yang didengar Sahabat dari Rasulullah Saw.
2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Rasulullah Saw.
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak kabur
pemahaman ayatnya bagi kita.
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh Sahabat sampai kepada kita melalui salah
seorang sahabat.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun
tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Rasulullah Saw. dan
maksud-maksudnya. Kelima hal inilah masuk sebagai hujjah yang wajib diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata
pemahamannya salah. Maka hal ini tidak menjadi hujjah.

56
Syarifuddin,Amir.2008. 390
57
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana Prenda Media
Group.Jaribah.2006)392
58
Syarifuddin,Amir.2008.393

21
3. Kehujjahan Mazhab Shahabi59

Kehujjahan adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat


Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya
meninggalkan perintah Nabi Muhammad Saw. Kedudukan madzhab shahabi
sebagai sumber hukum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Madzhab shahabi
yang berdasarkan sunah rasul (wajib ditaati), madzhab shahabi yang
berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ shahabi, ini dapat
dijadikan hujjah dan wajib ditaati, madzhab shahabi yang tidak mereka
sepakati (tidak ias dijadikan hujjah dan tidak wajib ditaati).
Menurut jumhur ulama, sahabat adalah orang yang bertemu dengan
Rasulullah Saw. Serta iman kepadanya, dan bersamanya dalam waktu yang
cukup lama, dan ketika meninggal tetap dalam keadaan beriman. Dalam
madzhab shahabi terdapat kehujjahan madzhab. 60

Kehujjahan di sini membahas tentang perbedaan pendapat ulama, -di


antaranya adalah menurut jumhur ulama kalangan Hanafiyyah, Imam Malik,
Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan pendapat Ahmad bin Hanbal yang
terkuat,- qaul ash-shahabi merupakan hujjah.
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat
yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum syara’, 61baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan
hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait
dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat
diterima sebagai hujjah.
Namun menurut Imam Syafi’I, hukum atau fatwa hanya boleh
disandarkan kepada dalil yang pasti yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Maksud kehujahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk
dijalankan oleh umat islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya

59
Syarifuddin,Amir.2008.390
60
Syarifuddin,Amir.2008.(Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana Prenda Media
Group.Jaribah.2006)391
61
Syarifuddin,Amir.2008.394

22
sebagimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang
apakah mazhab shahabi itu menyangkutbeberapa segi pemabahasan, yaitu : (1)
pembahasan dari kehujahannya terhadap sesama sahabat yang lain, dan
kehujahannya terhadap generasi berikutnya atau orang yang selain sahabat, (2)
pembahasan dari segi bentuk mashab shahabi, dapat dibedakan antara
kemungkinanya berasal dari ijtihad pribadi sahabat tersebut atau melalui cara
lain. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu:62

1. Pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad (masalah ta’abbudi atau
hal lain yang sejarah qath’i yang berasal dari Nabi), meskipun secara terang
tidak disebutkan berasal dari Nabi dapat menjadi hujah. Bila terdapat dua
pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan
cara atau metode yang lazim.63
2. Pendapat sahabat dalam lingkup ijtihad dan bukan dalam bentuk tawfiq,
tentang kehujahannya terganutng untuk siapa pendapat sahabat itu
diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat dalam bentuk ini
tidak menjadi hujah untuk sesama sahabat lainnya, baik seorang imam, hakim
atau mufthi. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul,
dianataranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan oleh dua pakar ushul fiqih, yaituu
: Ibn Subki dan al-Asnawi yang mengajukakn arugemntasi sebagai berikut :64
a) Bila seorang sahabat yang lain itu adalah mujahid, maka pendapat
seorang sahabat lainnya itu, karena seorang mujahid tidaka boleh
ber-taqlid kepada yang sesama sahabat lainnya. Kalau sahabat lain
itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (ber-taklid), namum
hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan
bukan untuk orang mujahid.
b) Ada ijma’ di kalangan sahabat yang membolehkan seorang
sahaabat berbeda pendapat dengan sahabat lainnya. Hal ini juga

62
Khilafah,Abdul Wahad.2014.(Ilmu Ushul Fiqh.Semarang : PT Karya toha Putra
Semarang)366
63
Khilafah,Abdul Wahad.2014.(Ilmu Ushul Fiqh.Semarang : PT Karya toha Putra
Semarang)367
64
Khilafah,Abdul Wahad.2014.368

23
menujukan bahwa pendapat seorang sahabat tidak mempunyai
kekuatan yang mengikat terhadapa sahabat lainnya. Tidak ada
celaan dari seorang sahabat terhadap sahabat lain bila ia tidak
sependapat. Hal ini menunjukan bahwa pendapat seorang sahabat
tidak mempunyai kekuatan yang mngikat bagi sahabat lainnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujahan pendapat sahabat bagi orang lain
yang selain sahabat, seperti: tabi’in (generasi sesudah sahabat), tabi’ tabi’in65

4. Macam – macam Mazhab Shahabi

Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di


antaranya:66
A. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek
ijtihad.
Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan
sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi
SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa
termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah
hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan
beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak
bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar
yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling
sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak
adalah sepuluh hari.67
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama
Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan
yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah
mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan
masing-masing.

65
Khilafah,Abdul Wahad.2014.370
66
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh,Jakarta : kencana )266
67
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh,Jakarta : kencana )268

24
B. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain.68
Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam
kategori ijma’.
C. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya
dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau
menolaknya.
Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’
sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan
hujjah.
D. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya
sendiri.69
Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara
para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.

70
5. Contoh Mazhab Shahabi dalam Keuangan dan Perbankan Syariah
Dalam penyusunan KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah) diperlukan
sumber-sumber hukum Islam maupun hukum lainnya yang dapat dijadikan rujukan.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa sumber hukum Islam itu dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu: (1) sumber-sumber hukum yang disepakati (masadir al-ahkam al-
muttafaq ’alaiha) atau sering disebut sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas; dan (2) sumber-sumber hukum yang diperselisihkan (masadir al-
ahkam al-mukhtalaf fiha), yaitu Istihsan, Istislah (al-Maslahah al-Mursalah), Zara’i’,
’Urf, Istishab, Mazhab Sahabi, Syar’un Man Qablana, dan Dalalah al-Iqtiran. Dalam
penyusunan KHES, nampak sekali telah merujuk ke banyak sumber, di samping
sumber-sumber pokok juga sumber-sumber pendukung.

Perujukan kepada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas dapat dilihat secara
general dari ketentuan-ketentuan tentang harta, akad, jual beli, jual beli salam, dll.
sudah cukup menunjukkan kepadanya. Adapun perujukan terhadap sumber-sumber

68
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh,Jakarta : kencana )268
69
Zein,Satria Effendi.2017.( Ushul Fiqh,Jakarta : kencana )269
70
Sahroni,Oni.2017.(Ushul fiqh Muamalah. Jakarta : Raja Grafindo Persada) 189

25
yang diperselisihkan, dapat dilihat dari kasus per kasus. Dalam penggunaan dalil
istihsan71 dapat dilihat dari kebolehan jual beli pesanan (bai’ as-salam) dan istisna’,
meskipun hal itu pernah dipraktekkan pada masa sahabat. Dalil maslahat atau istislah,
’urf juga sudah banyak mewarnai dalam pasal-pasal KHES. 72

Jadi pada dasarnya, KHES mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam yang
sudah populer, dari sumber-sumber primer sampai sumber-sumber skunder. Artinya
dalam perspektif fiqh mazhabi, KHES telah mengakomodir dari semua mazhab yang
mempunyai mtode istidlal yang berbeda-beda. Meskipun dalam wilayah ibadah
mayorits umat Islam nusantara, bahkan Asia Tenggara menganut mazhab Syafi’i27
tetapi dalam urusan muamalat cenderung berwarna eklektik. Kalau disadari banyak
sekali praktek muamalat oleh umat Islam Indonesia ini yang mengacu kepada mazhab
atau dalil yang lebih longgar, seperti mazhab Hanafi, Maliki dan ulama Hanabilah
(bukan Imam Ahmad-nya), meskipun dalam urusan ibadah mengikuti—misalnya—
mazhab Syafi’i yang cenderung ”rigit” dan terkenal metode ihtiyat-nya.73

Sehingga penyusunan KHES dapat disebut sebagai media refleksi fiqh


mazhabi dan metodologi hukum Islam untuk konteks ke-Indonesia-an. Secara
metodologis (usuli), talfiq (eklektik) dalam istidlal atau dalam mazhab fiqh itu
dibenarkan jika dalam konteks memilih dalil (istidlal) yang lebih kuat. Yang tidak
boleh adalah jika talfiq itu dilakukan dengan alasan mencari format hukum yang paling
mudah dan sesuai dengan kepentingannya.

Disamping itu, ada beberapa pasal yang terkait sekali dengan fatwafatwa
DSN,74 baik dalam formula yang hampir sama ataupun merujuk sebagian saja.
Keterkaitan itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Fatwa DSN-MUI Materi Fatwa Penyerapan KHES

71
Istihsan adalah pemalingan dari qiyas jalli(tegas ) kepada qiyas khafi ( samar-samar ) atau
dari kaidah umum kepada kasus spesifikasi.
72
Sahroni,Oni.2017.190
73
Sahroni,Oni.2017.(Ushul fiqh Muamalah. Jakarta : Raja Grafindo Persada)191
74
Sahroni,Oni.2017.192

26
No.: 5/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam Jenis-jenis Jual Beli

No.: 6/DSN-MUI/IV/2000 Bai’ al-Istisna’ Jenis-jenis Jual Beli

No.: 4/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah Jual Beli Murabahah


Konversi Akad
Murabahah

No.: 8/DSN-MUI/2000 Pembiayaan Musyarakah Kontrak Kerjasama


(Syirkah)

No.: 9/DSN-MUI/2000 Pembiayaan Ijarah Sewa Menyewa

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istishab adalah pemeberlakukan hukum lama pada masa sekarang,
sebab tidak dalil hukum lain yang menghendaki perubahaan. Penolokan atas
Istishab terjadi karena Istishab masuk dalam kategori sumber hukum yang
dipersilihkan. Para penolak Istishab mendasarkan argumentasinya bahwa
menggunakan Istishab sama saja beramal tanpa dasar. Meskipun demikian,
mayoritas ulama menggunakan Istishab sebagai dasar hukum terakhir setelah
berusaha mencari ketentuan hukum pada sumber yang disepakati. Pada
aplikasinya, melalui tulisan ini, terbukti bahwa Istishab masih sangat relevan
diterapkan sebagai alternative pemecahan kasus hukum,baik dalam bidang
hukum keluarga, hukum pidana, ekonomi, dan keperdataan.
Madzhab Shahaby,sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum.
Akan tetapi sebagaimana dijelasikan oleh syeikh Muhammad Abu Zahrah
jumhur ulama mengikuti dan mengambil Madzhab Shahaby sebagai hujjah
dalam istimbath hukum, terutama Imam Madzhab yang empat (Imam, Maliki
, Imama Hanafi, Imam syafii, dan Imam Hambali).

B. Saran

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari


pembaca agar sekiranya dapat menjadi bahan perbaikan dalam pembuatan
makalah dikemudian hari.

28
DAFTAR PUSTAKA

Buku Refrensi

Syarifuddin, Amir. ”Ushul Fiqih”. Jakarta: Kencana Prenda Media Group. 2008

Jaribah. “ Ushul Fiqh “. Jakarta :Khalifah (Pustaka al-Kautsar Group).2006

Khlifah, Abdul Wahad. “Ilmu Ushul Fiqih”. Semarang: PT Karya Toha Putra
Semarang. 2014

Zein, Satria Effendi. “Ushul Fiqh”. Jakarta: Kencana. 2017.

Sahroni, Oni.”Ushul Fikih Muamalah”. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2017

Internet

Agustianto. 2013. Hybrid Contract dalan Keuangan Syariah.


http://www.agustiantocentre.com/?p=68. (5 Maret 2020)

Muna, Ana Zakiyatul. 2018. Pengertian Madzab Shahabi dan Penerapannya dalam
Ushul Fiqih. https://www.dutaislam.com/2018/11/pengertian-madzhab-shahabi-dan-
penerapannya-dalam-usul-fiqih-pdf.html. (8 Maret 2020)

Jurnal

Hakim, Abdul. “Eksistensi Qaul Al-Shahabi Sebagai Dalil Syar'I”. Jurnal Ilmiah Mizani :
Wacana Hukum, Ekonomi Dan Keagamaan 6 (1), 37-48. (2019).

Saidurrahman. “Istishab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam Sebuah Tinjauan


Historis”. Jurnal Asy-Syir'ah. 45 (1). (2011).

29
Mughits, Abdul. “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan
Hukum Islam”. Jurnal Pendidikan dan Studi Islam. Al-Mawarid. 18, 153-
155.(2008).

30

Anda mungkin juga menyukai