Anda di halaman 1dari 142
PE NG, ORANG BAD PENGELOLAAN HUTAI BERBASIS ADAT SECARA BERKELANJUTAN EKOLOGI PERLADANGAN ORANG BADUY PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS ADAT SECARA BERKELANJUTAN Prof. Drs. JOHAN ISKANDAR, M.Sc., Ph.D. ® Penerbit P.T. ALUMNI, Bandung - 2012 x0L061 PRLADANGAN ORANG BADLY, ENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADAT Foto-Fote oleh: Johan Iskandar Kata Pengantar — ee Orang Baduy atau Orang Kanekes adalah salah satu kelompok masyarakat Sunda tradisional yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Bantex yang dalam era globalisasi dewasa ini tetap kokoh ingin mempertahankan kebudayaan mereka semurni mungkin sebagaimana kebiasaan leluhurnya, terutama dalam hal berladang (ngahwia). Berladang bagi Orang Baduy dianggap bukan semata- mata sebagai kegiatan ekonomi, tetapi kegiatan tersebut dianggapnya sebagai kewajiban dalam agama mereka, yang disebut Sunda Wiwitan atau Sunda Asli. Karena itu, tidaklah heran bahwa dalam kegiatan berladang Orang Baduy sangat Iekat budaya. Mereka dalam berladang misalnya pantang menggunakan pupuk kimia sintesis, pestisida pabrikan, meracuni hewaa, mencangkul dan menggali-gali tanah, serta memperjualbelikan beras atau padi ladang. Untuk menjamin keberlanjutan berladang dan perlin- dungan aneka ragam sumber daya hayati di kawasan Baduy, lingkungan Baduy dikelola secara adat, antara lain dengan sistem zonasi berdasarkan tingkat kesakralan atau kesucian daeraknya. Karena itu, daerah Baduy secara adat dapat dibedakan menjadi kawasan Baduy Dalam, Baduy Luar dan Daerah Dangka yang dianggap berbeda kesakralannya. Tidak hanya itu, tiap bukit atau gunung di Baduy juga biasa dikelola dengan sistem zonasi berbasis aturan adat secara turun temurun. 40061 PERADANGAN ORANG SADLY: PENGELOLAAN HUTAN BER Orang Baduy sangat kokoh dan tat terhadap aturan adat (pikukuh). Namun, Orang Baduy tidak serta merta anti ferhadap sistem ekonomi pasar, justru mereka merespon sistem ekonomi pasar diantaranya untuk menguatkan identitas budaya mereka. Dengan kata lain, Orang Baduy dengan sangat cerdik merespon ekonomi pasar secara hati- hati dan selektif, demi menguatkan sistem budaya mereka, Misalnya, kendati Orang Baduy tabu (te wasa) menjual padi ladang (pare huma) Karena padi dianggap sakral, tetapi mereka tidak tabu menjual aneka ragam hasil non-padi dari sistem huma dan sistem agroforestri tradisional lainnya. Karena itu, padi hasil panen ladang biasanya disimpan di lumbung-lumbung padi tradisional untuk kurun waktu perpuluh-puluh tahun lamanya untuk persediaan stok pangan beras jangka panjang dan untuk menghindari Kekurangan pangan di desanya. Sementara itu, untuk kebutuhan pangan beras kebutuhan sehari-hari serta aneka ragam kebutuhan keluarga lainnya dalam keluarga biasa membeli dari warung-warung desa atau pun pasar dengan. menggunakan uang hasil penjualan aneka ragam hasil non- padi. Bahkan, uang hasil perdagangan non-padi di Baduy dapat pula dimanfaatkan untuk biaya ngahuma Orang Baduy, seperti menyewa Jahan huma di luar desanya, khususnya untuk penduduk Baduy Luar yang biasa menggarap hime di luar desanya. Pada umumnya, keterlibatan Orang Baduy dalam sistem ekonomi pasar cenderung tidak menjadikan gangguan serius pada sistem budaya mereka. Bahkan, dengan keterlibatan mereka dalam sistem ekonomi pasar, justru dapat membantu keberlanjutan sistem ladang Baduy, yang merupakan identitas utama budaya mereka. ata Pongatar vii Buku ini u:amanya disusun dari bahan disertasi penulis waktu mengikuti pendidikan program $3 di University of Kent at Canterbury, di Inggris, dibawah bimbingan promotor Profesor Roy. F. Ellen dan penguji intemal Prof. C.W. Watson, serta penguji ekstemal Prof. G. Persoon, dari Leiden, Negeri Belanda. Karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Profesor Roy F. Ellen yang penuh kesabaran telah membimbing penulis, memberi arahan, saran-saran dan masukan dalam me- nyusun disertési dan mendorong untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Profesor C.W. Watson dan Profesor G. Persoon, atas berbagai masukan dan dorongan untuk dapat mempublikasikan disertasi tersebut menjadi buku Pada waktu studi lapangan di kawasan Baduy, Desa Kanekes, Banten Selatan, penulis sungguh beruntung telah diterima oleh segenap warga Baduy secara penuh ramah tamah dan diperkenankan tinggal di daerah Baduy secara lama dan berulang-ulang. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Desa (Jaro Pamarentah) Dainah dan Sektetaris Desa (Carik), Carik Ukang dan Carik Sapin, serta para staf adat terutama Kokolot Kampung Kaduketug, Kokolot _ Gajeboh, Tangguangan Duabelas, Jaro Tangtu Cibeo, Jaro Tangtu Cikartawarna, Jaro Tangtu Cikeusik, dan para informan di Baduy Dalam dan Baduy Luar, seperti Ayah Antiwin, Ayah Runtah, Ayah Ailin, dan Pulung. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Magister Iimu Lingkungan (PSMIL), Dr. Tb. Benito A. Kumnani, Ir., Dip., EST dan Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PPSDAL- 4.06 PERLADANGAN ORANG SHOU: PENGELOLAAN HUTAN BERBASISADAT stitute of Ecology), LPPM, Universitas Padjadjaran, >rof. Dr. Eni N yang telah memberikan dorongan untuk nenyusun buku ini. Buku ini juga tidak bakal lancar disusun dan bezhasil literbitkan tanpa dukungan penuh dari keluarga penulis. Dieh Karena itu, penulis tidak ketinggalan mengucapkan erima Kasih banyak pada istri yang tercinta, Budiawati jupangkat Iskandar beserta anak-anak yang tersayang Dktarian Iskandar, Septabian Iskandar dan Oktabrian skandar, yang senantiasa memberikan doa, semangat dan lorongan dalam penyusunan buku ini. Penulis tidak ketinggalan juga mengucapkan terima sasih banyak kepada berbagai pihak, khususnya kepada >enerbit PT. Alumni yang telah membantu dan bersedia nenerbitkan buku ini. Walaupun buku ini jauh dari sempura, penulis nengharapkan buku ini dapat bermanfaat bagi segenap vembacanya. Penulis juga senantiasa terbuka menerima verbagai kritik dan saran, untuk penyempurnaan buku ini limasa yang akan datang. Bandung, Maret 2012. Penulis Daftar Isi eee Kata Pengantar Penulis DaftarIsi ..... BABI PENDAHULUAN Sistem Huma di Jawa Barat dan Banten Sistem Huma pada Masyarakat Baduy Hubungan Orang Baduy dengan Ling- kungannya Sistem Ladang Lekat Budaya dan Mana- jemen Adaptif cee Isi Buku BABI| KAWASAN BADUY DAN CARA MENG- GAPALKAWASAN BADUY . . Kawasan Baduy Cara Menggapai Kawasan Baduy .. Menggapat Kampung-Kempung ae Ringkasan : BABII KEUNIKAN EKOSISTEM BADUY Topografi Daerah Baduy ......... Sungai Utama dan Anak-anak Sungai di Baduy : : Kondisi Kampung Baduy . Curah Hujan di Daerah Baduy Jenis Tanah di Daerah Baduy...-...++.+ Tataguna Lahan di Daerah. Bad wee Flora dan Fauna ~ Lembur dan Dukuh Lembur = Huma dan Reuma ... : ~ Hutan Tua/Leuwveung Titipan Ringhosan one Re BABIV BAB V £40106 PERLADANGAN ORANG BADLY: ENGELOLAAN HUTAN BERBASSADAT SISTEM SOSIAL EKONOMI DAN BU- DAYA ORANG BADUY ... 63 Asal Usul Nama Baduy 64 ‘Asal-Usul Orang Baduy 65 Agama dan Kepercayaan Orang Baduy ... 67 Pola Kepemimpinan Orang Baduy ..... 74 Perkembangan Penduduk Baduy 76 Pola Pemukiman Orang Baduy .. 79 Mata Pencaharian Orang Badu 85 Ringkasan . 86 Agama . 86 SISTEM PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA SISTEM LADANG ORANG BADLY ........-55 89 Penguasaan Lahan Huma Orang Baduy Dalam 89 Penguasaan Lahan Huma’ Orang” Baduy Luar ... . 95 ~ Sistem Pewarisan Garapan Homa ...... 97 - Membeli Lahan Garapan Huma......... 99 - Meminjam Lahan Garapan Huma -- 100 - Menyewa Lahan Garapan Huma . .. 101 Tenaga Kerja Ngahuma Orang Baduy .... 101 ~ Tenaga Kerja Keluarga seveereeree 102 ~ Tenaga Kerja Liliuran bad 104 - Tenaga Kerja Rereongan 105 - Tenaga Kerja Gotong Royong 106 - Tenaga Kerja vee Buruh ..., seve 107 Ringkasan : sees 108 BAB VIL PENGGARAPAN DAN PENGELOLAAN LADANG ORANG BADUY . i Ngahuma Sebagai Kewajiban Agama .... 111 Daur Ngahuma sees TE Penggarapan Huma Serang ....-.1..+.++ 130 iyacar Huma Serang .. 131 - Ngaseuk Huma Serang + 132 Penggarapan Huma Masyarakat 137 - Mencari Lahan Garapan Huma (wear Pitumaeun) ..... +. 138 - Menyiapkan Lahan Garapan Huma ..... 140 ~ Nebang Pepohonan (Nuat) ...-. 2 2 Membakar (Ngahuru) dan. Membakar Ulang (Ngaduruk) . 144 - Tanam Padi (Ngaseuk) ».. ~~» 145 © Penanaman Jenis-fenis Tanaman Non Padi a9 151 155 - Pemeliharaan Tanaman Huma ~ Panen Hasil Padi ~ Panen Non-Padi - Penyimpanan Padi di Lambang ~ Upacara Ngalaksa : ~ Upacara Kawalu ~ Mengistirahatkan Lahan Bekas Huma... 171 Struktur Vegetasi dan Manfaat Huma ... 172 Ringkasan : 174 KONSERVASI ALAM ALA BADUY «.... 179 Konsep dan Bentuk-Bentuk Konservasi Alam 179 Pengelolaan Daerah Mandala Baduy ..... 187 Pengelolaan Tatar Ruang Daerah Bukit/ Cue 193 X0106iPERLADANGAN ORANG 8404 Nilai Konservasi ..... ~ Hutan Keramat Baduy Dalam . ~ Dukuh Lembur .......... + Huma dan Reuma ... - Hutan Tua/Leuweung Titipan .. Berbagai Gangguan Penduduk Luar Ringkasan ... BAB VIII KEBERLANJUTAN DAN BERBAGAI REFERENSI ...., GLOSARIUM . INDEKS TANTANGAN SISTEM LADANG ORANG BADVY ..... Revolusi Hijau Pada Sistem Sawah Gangguan Kedaulatan Petani Sawah Penolakan Orang Baduy .. Keberlanjuten dan Tantangan Baduy ....... - Menjaga Keseimbangan Populasi Pen- duduk Baduy Dalam ..,...... ~ Berladang di Luar Daerah Bagi Baduy Luar ; : Orang Tentang Penulis 197 197 200 201 202 203 205 21 212 220 224 226 27 229 243 255 265 268 Daftar Gambar —__— 1 10. 1. 12. 13, Hubungan Timbal Balik Antara Sistem Sosial dan Agroekosistem ...... Peta Banten dan Jawa Barat, kawasan Baduy berada di Kabupaten Lebak nee Peta Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar dan Sekitamya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten - Peta Daerah Baduy, di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Provinsi Banten : Rata-rata Curah Han Bulanan (dalam man) dan hari hujan jumlah hari, tanda grafik wama hitam) di Kecamatan Leuwi Damar (Data Meteorologi dan Geofisika) ... Eee BeEeHondod0—00 Struktur Vegetasi Leuweung Lembur di Kaduketug, Baduy Luar Struktur Vegetasi Huma di Baday Dalam dan Baduy Luar Lokasi huma dan reuma biasanya di bukit-bukit diluar ...... Struktur Vegetasi di Reuma Daerah Baduy Dalam dan Baduy Luar .. Vegetasi Hutan Tua (Leuweung Kolot) di Cibeo, Baduy Dalam ‘Asal Usul Leluur Masyarakat Tradisfonal Baduy (Pleyte, 1909: 503-504; Bakels dan Boevink, 1988: 138)... Pola Tata Ruang di Kampung Cikeusik, Baduy Dalam ........ Pola Tata Ruang Kampung Kedunghetg, Baduy Luar. Bentuk Rumah Orang Baduy Dalam « a 25 iv K0L0GIFERLADANGAN ORANG AADUT PENGELOLAAN MUTAN BERBASS ADAT 4, Bentuk Rumah Baduy Luar ..... 5. Kalender Pertanian Orang Baduy Kaitannya dengan Kegiatan Pertanian dan Upacara Tahunan Sa. Pembagian zonasi dalam pengelolaan kawasan Baduy dibedakan berdasarkan kesakralannya . . 6. Sistem Zonasi Pada Tiap Bukit/Gunung di Derah Baduy, di Luar Daerah Kabuyutan (Daerah Hutan Sakral /Hutan Keramat) : 7. Gambaran Umum Daerah Arca Domas, Daerah yang Paling Disakralkan oleh Masyarakat Baduy . Daftar Tabel ——___—— Klasifikasi Tanah Menurut Pendapat Orang Baduy Luar Jumlah Pimpinan Tradisional Masyarakat Baduy « : Populasi Penduduk Baduy tahun 1888 Total penduduk Baduy di Desa Kanekes tahun 1994-1995 : i. Beberapa Bentuk Organisasi Pesgerhan Tenaga Kerja diHuma .... . Kalender Masyarakat Baduy " Macam-Macam Kegiatan Utama pada Usaha Tani Ladang dan Berbagai Upacara yang Menyertainya di dalam Kalender Pertanian Masyarakat Baduy .- 1. Tingkat Pertumbuhan Padi Ladang fees 85 123 190 195 200 101 116 126 156 BabI Pendahuluan “Kini kami sungguh sedih menyaksikan banyak warga Kanekes melanggar tabu atau buyut. Contohnya, Kini banyak di antara Orang Baduy Luar yang memiliki barang- barang mewah yang tabu dimiliki oleh Orang Kanekes, seperti radio, am tangan, termos, pakaian jean levis dan pakaian warna-warni. Tidak hanya itu, di lahan ladang (uma) pun ada Orang Baduy Luar yang berusaha untuk menggunakan herbisida yang sebenarnya ditabukan Orang Kanekes. Akibatnya, agama kami, agama Sunda Wivitan telah dirusak, kalau diibaratkan baju, baju tersebut telah ‘menjadi rusak compang camping (baju rangsak). Siapa yang, akan memperbaiki (ngomean) agama kami, selain oleh kami sendiri (ku urang sorangan) sebagai Orang Kanekes. Seyogianya Orang Kanekes jangan mengharapkan cari uuntung defigan sekadar kerja ringan (neangan untung fina awe enteng), seperti menyiangi rumput di ladang (ngored di Juma) dengan digantikan herbisida. Mengingat hal tersebut tidak sesuai dengan agama kami, Sunda Wiwitan”. (Ungkapan Sesrang Pimpinan Adat/Kokolot Baduy Luar 1996). Ungkapan di atas, menggambarkan kegalauan seorang pimpinan adat (kekolot) Baduy Luar di Desa Kanekes, Banten Selatan yang menyaksikan bahwa kini banyak warga Baduy Luar yang secare adat Baduy dianggap tinggal di daerah sakral atau daerah suci, daerah mandala, tetapi di dalam Kehidupan kesehariannya kurang menghormati lagi ber- bagai pantangan (buyut) dalam agama mereka yang dise- but agama Sunda Wiwitan. Berbagai pelanggaran tersebut menurut pandangan seorang kokolot Baduy dianggap sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan, karena siapa lagi yang akan memwpertahankan adat budaya Baduy, kalau bukan oleh masyarakat Baduy sendiri. 2 £X0106iPERLADANGAN O7ANG BADLY: PENGELOLANN HUTAR BERBASS ADA Memang, kini kawasan Baduy di Banten Selatan sedang dilanda arus deras modemisasi dari luar yang masuk ke desanya. Akibatnya, beberapa warga Baduy, Khususnya Baduy Luar tergoda dan melanggar beberapa aturan adat (pikukuh) Baduy, seperti memiliki berbagai barang mewah dan menggunakan Herbisida di lahan ladang mereka. Sejatinya, Orang Baduy atau biasa disebut pula Orang Kanekes, yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten Selatan, adalah salah satu kelompok suku Sunda yang secara adat ingin tetap Kkokoh mempertahankan adat mereka semurni mungkin sesuai dengan pikukuh yang diturunkan oleh Ieluhurnya secara turun temurun berabad-abad lamanya, Khususnya dalam mengelola sistem pertanian ladang (uma). Kegiatan berladang (ngahuma) bagi Orang Baduy dianggap kewajiban dalam agama mereka, Sunda Wiwitan. Karena itu, berladang bagi Orang Baduy bukan semata-mata sebagai mata pencaharian atau kegiatan ekonomi, tetapi kegiatan berladang tersebut dianggap sebagai kewajiban agama dan telah menjadi identitas utama Orang Baduy. Sistem Huma di Jawa Barat dan Banten Sistem /noma atau sistem ladang atau dalam bahasa Inggris disebut swidden cultivation system, slash and burn cultivation system atau forest fallow cultivation system adalah sistem pertanian tanam padi secara berotasi di lahan kering, dibentuk dengan cara membuka sebidang lahan hutan, ditebang, dikeringkan dan dibakar, serta ditanami tanaman padi dan aneka ragam tanaman semusim lainnya selama 1-2 tahun berturut-turut pada petak lahan yang sama. Lantas, usai panen tanaman padi dan jenis-jenis tanaman semusim lainnya, lahan tersebut diberakan (diistirahatkan), agar vegetasi di lahan bekas petak lahan /numa mengalami suksesi secara alami membentuk hutan sekunder dengan waktu bervariasi, mulai 3-5 tahun sampai puluhan tahun. Selama masa bera lahan tersebut, peladang pindah menggarap petak-petak lahar. hutan lainnya. Para peladang tersebut biasanya dapat menggarap petak-petak bekas ladang terdahulu, apabila lahan bekas ladang tersebut telah cukup lama diberakan dan berubah menjadi hutan sekunder tua, serta kesuburan tanahnya telah pulih kembali, karena ada penambahan unsur-unsur hara dari daun-daun dan ranting jatuh (seresah) dan membusuk jadi kompos. Sistem ladang secara umum dapat dibedakan atas 2 Kategori utama, yaitu ‘sistem ladang integral (intergral system)’ dan ‘sistexn ladang partial (partial system)’ (Conklin, 1957). Sistem ladang integral adalah sistem ladang yang dipraktikkan oleh masyarakat tradisional atau masyarakat pribumi dengan berbasis adat. Para peladang yang terma- suk kategori sistem ladang integral umumnya memiliki pengetahuan eko.ogi tradisional yang mendalam, seperti pengetahuan tentang jenis-jenis tumbuhan, binatang, hama, jenis-jenis tanah, kesuburan tanah, cuaca, dan lain-lain. Karena itu, para peladang sistem integral dalam mem- perlakukan lingkungannya biasanya dengan sangat hati-hati dan senantiasa mencegah berbagai kerusakan lingkungan. Sistem ladang intergral umumnya dipraktikkan oleh ber- bagai kelompok masyarakat tradisional atau masyarakat pribumi, seperti berbagai kelompok masyarakat Dayak di Kalimantan, masyarakat Talang Mamak, Sakai, di Sumatera, masyarakat Kasepuhan di Cisolok, Sukabumi Selatan dan masyarakat Baduy di Banten Selatan. Sementara itu, sistem ladang parsial biasa dipraktikkan oleh berbagai kelompok masyarakat pendatang yang ber- ladang tidak berbasis adat, tetapi sistem usaha tani tersebut lebih utama untuk mencari keuntungan ekonomi/komersil. 4 {KOL0G!PERLADANGAN ORANG BADUY: PENGELOLAA HUTAW BERBASS ADA Misalnya, berbagai penduduk pendatang dari luar Kali- mantan, seperti penduduk Bugis dari Sulawesi yang bertani ladang dengan berkebun lada di berbagai kawasan hutan bekas pembalakan (logging) di Kalimantan Timur (lihat Vayda dan Sahur, 1985); penduduk transmigrasi dari Jawa yang berladang di hutan Sumatera, Kalimantan dan lain-lain (bandingkan Abdoellah, 1996). Bahkan, pada kelompok kedua ini, termasuk pula para peladang yang sejatinya berbasis adat (sistem integral), tetapi telah berubah sistem budayanya menjadi peladang yang berorientasi pada kepentingan bisnis (sistem partial), karena terpengaruh oleh berbagai pihak luar, seperti adanya kegiatan pembalakan komersil, pembangunan perkebunan besar di daerahnya, dan lain-lain (lihat Kariawinata dan Vayda, 1984: 108; Lahajir, 2002). Mereka mengikuti praktik berladang sekuler, cara kebiasaan orang-orang luar/pendatang dalam mem- perlakukan hutan. Para peladang sistem parsial ini tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang lingkungan lokainya. Karena itu, akibat kegiatan para peladang partial tersebut dapat merusak lingkungan. Berdasarkan sejarah ekologi di Jawa, penggarapan sistem ladang (Hwa) merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat Sunda di Jawa Barat dan Banten di masa silam pada abad ke-18an (Haan, 1910-1912). Narnun, kira-kira tahun 1750, mulai terjadi penetrasi sistem sawah (tanam padi dengan sistem irigasi) dari Jawa Tengah masuk ke beberapa daerah Jawa Barat, seperti Sumedang, Rancaekek-Bandung dan Sukapura, Tasikmalaya (Terra, 1953). Demikian pula, di daerah bagian barat Jawa Barat, di daerah Provinsi Banten dewasa ini (sebelum tahun 2000, Provinsi Banten merupakan bagian Provinsi Jawa Barat) sawah mulai diperkenalkan pada awal abad ke enambelas, yaitu sejalan dengan didirikannya Kesultanan Banten tahun Pendshuuan 5 1520 oleh para pendirinya dari Demak. Hal tersebut terutama di daerah Banten Utara yang keadaan geografinya landai, penduduknya padat, dan telah dijadikan pusat Kesultanan Banten (Kartodirjo, 1966). Akibatnya, sejak saat itu sistem sawah di Banten Utara makin berkembang cukup pesat. Namun, berbeda dengan kawasan Banten Utara, di bagian kawasan Banten Selatan yang topografinya ber- gunung-gunung, banyak ditemukan daerah hutan, serta penduduknya jarang, hingga sampai pertengahan abad 20 sistem ladang (Iuma) masih tetap dominan dipraktikkan masyarakat desa, kendati sistem ladang sejak tahun 1896 oleh pemerintah Kolonial Belanda dilarang dipraktikkan masyarakat, antera lain dengan adanya Surat Keputusan Residen tentang pelarangan perladangan di daerah Banten (Kools, 1935). Lantas, selepas penjajahan Belanda, pada zaman pemeriniahan baru Republik Indonesia hingga dewasa ini, kebiiakan pemerintah terhadap sistem ladang (iuma), cenderang masih melanjutkan pola kebijakan lama, pola pemerintah Kolonial Belanda, yakni sistem ladang tetap dilarang keras dipraktikkan masyarakat pedesaan. Mengingat adanya kebijakan pemerintah, ditambah pula dengan kian padatnya penduduk pedesaan, sejalan dengan perubahan waktu, praktik sistem perladangan (uma) di daerah Jawa Barat dan Banten, kian berkurang. Scbaliknya, praktik sistem pertanian sawah kian luas dan mendapat berbagai insentif dari pemerintah. Bahkan, sis- tem sawah pade era awal 1970-an kian dikembangkan pemerintah yaitu antara lain dengan adanya program modemisasi usaka tani sawah melalui program Revolusi Hijau (Green Revolution). Karena itu, sistem huma kian dimarginalkan dan kian langka di Jawa. 6 K01061 PERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN HUTAN SERBASS ADT Namun, suatu yang menakjubkan, kendati sistem huma kian terdesak di Jawa, kini sistem huma di Desa Kanekes, Banten Selatan masih tetap kokoh dipraktikkan oleh masyarakat Baduy atau masyarakat Kanekes dengan berbasiskan adat dan berkelanjutan. Sistem Huma pada Masyarakat Baduy Bagi masyarakat Baduy atau masyarakat Kanekes, erladang (rigahuma) merupakan mata pencaharian utama, kewajiban agama, dan sekaligus menjadi identitas budaya moreka. Konsekuensinya, apabila ada keluarga Baduy yang sudah tidak mengerjakan usaha tani huma, mereka itu dianggap bukan Orang Baduy lagi. Karena itu, mereka harus pindah dari kawasan Baduy, Desa Kanekes dan menjadi masyarakat Sunda umumnya. Jadi, berbeda dengan masyarakat Sunda umumnya, bagi mayarakat Baduy ngahuma dianggap kewajiban da- lam agama mereka, Sunda Wiwitan. Namun, sebaliknya mengelola sawah (nyawal) dianggap tabu. Tidak hanya itu, memelihara ternak Kerbau, penggunaan cangkul, pupuk kimia sintesis, pestisida pabrikan, dan memperdagangkan padi ladang (pare atau beas huma) dianggap pantangan, tabu atau feu wasa. Hubungan Orang Baduy dengan Lingkungannya Usaha tani adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Di dalam sistem usaha tani, manajer utamanya yaitu para petani. Pada umumnya, para petani tersebut dengan dilan- dasi oleh latarbekalang sistem sosial-ekonomi-budayanya bertindak sebagai pembuat keputusan, menentukan ber- agai pilihan objektif dan tujuan usaha tani dengan berbagai pertimbangannya secara saksama. Jadi, pada sistem uma Pesan z Orang Baduy, yang menjadi pelaku utama atau manajer utama dalam membuat keputusan dalam pengelolaan sitem Iadang adalah penduduk Baduy. Berbagai keputusan penduduk Baduy tersebut tidak lepas pula dari berbagai pengaruh sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat Baduy, seperti pengetahuan; kepercayaan dan world view; teknologi; serta karakteristik keluarga Baduy, seperti Kebutuhan hidup; sejarah dan pengalaman bertani; dan berbagai relasi antar anggota keluarga. Sejatinya, pembentuk sistem ladang Baduy, yaitu ekosistem alami, berupa hutan (leveung) diubah oleh penduduk Baduy menjadi suatu lahan ladang (jwma), dengan tujuan utama menghasilkan produksi utama padi dan aneka ragam hasil produksi ladang_lainnya. Dengan kata lain, bahwa pada pembentukan ladang tersebut telah terjadi transformasi dari ekosistem alami (natural ecosystem) berupa ekosistem hutan menjadi eko- sistem binaan. (man-made ecosystem), berupa lahan ladang (uma). Konsekuensinya, berbagai proses sistem ekologi yang kompleks dari ekosistem hutan, diubah menjadi sistem ekologi lebih sedethana oleh manusia dengan sistem sosial budayanya. Meskipun demikian, berbagai proses dasar sistem ekologi alami, seperti proses rantai makanan, jaring-jaring makanan, kompetisi dan predasi masih terdapat pada sistem ladang. Contoh proses rantai makanan di ladang, yaite padi (produser) dimakan tikus (consumer pertama). Lantas, tikus dimangsa ular (konsumer kedua), serta ular dimangsa burung elang (konsumer ketiga atau top predator). Di samping itu, terjadi pula proses jaring-jaring makanan, yaitu proses rantai makanan yang lebih’ kompleks atau membentuk cabang-cabang rantai makanan. Misalnya, padi dimakan pula oleh burung pipit. 8 KOLOGI PERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS ADAT Seméntara itu, burung pipit dimangsa burung elang dan lain-lain. Pada waktu bersamaan, selain terjadi proses-proses dasar ekologi, terjadi pula proses keterlibatan sistem sosial manusia yang sangat kompleks. Mengingat manusia me- Jakukan pengelolaan ladang. Contohnya, manusia mem- basmi tikus dan burung pemakan padi, karena binatang tersebut dianggap hama, merusak padi, Demikian pula, rumput-rumputan sebagai tumbuhan pengganggu di ladang disiangi oleh peladang. Proses ekologi kompetisi_unsur hara antara padi ladang dengan tanaman padi ladang tidak dikehendaki manusia. Karena itu, pada sistem ladang tersebut terjadi proses interaksi secara kompleks antara faktor-faktor sistem ekologi (ekosistem) dengan faktor- faktor sistem sosial ekonomi dan budaya manusia, para peladang. Bahkan, peranan manusia dengan sistem sosial dan budayanya kian dominan, terutama dalam bentuk pengelolaan ladang oleh para peladang. Meskipun demi- kian, berbagai faktor ekologi, seperti kondisi cuaca dan curah hujan, hama dan faktor lainnya tetap memengaruhi sistem ladang. Mengingat pada sistem ladang terjadi proses yang sangat kompleks antara sistem pertanian (agro), sistem so- sial ekonomi (socio-economtic) petani, dan sistem ekologi (ecological system), sehingga sistem ladang dapat pula dikatakan sebagai sistem agro-socio-economic-ecological system atau agroecosystem atau agroekosistem (lihat Conway, 1986). Dengan kata lain, bahwa ladang atau htuma merupakan salah satu tipe agroekosistem. Jadi, berdasarkan sudut pandang Ekologi Manusia (Human Ecology), Orang Baduy seperti halnya binatang atau pun mahluk hidup lainnya, dalam kehidupan sehari-harinya Pendauen 9 memengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Di dalam praktik berladang Orang Baduy, terjadi suatu interaksi yang sangat kompleks antara faktor-faktor sistem sosial budaya, seperti ideologi, tekonologi, populasi dan struktur sosial dan faktor-faktor agroekosistem, seperti tanaman, fanah, air, dan hama tanaman (Gambar 1) pada Sistem Perladangan Baduy (diadaptasi dari Rambo, 1983). Gambar 1. Hubungan Timbal Balik Antara Sistem Sosial! dan Agroekosistem Namun, berbeda dengan mahluk hidup lainnya, misalnya species binatang, hubungan timbal balik antara Orang Baduy dengan lingkungan biofisik sekitamya atau ekosistem dipengaruhi oleh sistem sosial dan kebudayaan yang mereka miliki. Dengan demikian, faktor kebudayaan ‘Orang Baduy tersebut sangat penting bagi mereka untuk 2) Hubangan dnl bal antara sistem sosial masyarakat dan agrockosistem dalam gambar int eelsholak sistem soial masyarahat dipandang terpsch dengan selon, pedal dalam heya pla dengan Stem festainya terspalan’ bagian ternteras! dar! apreekenistem “yang tok fericatan dalam wsaha tnt, Penis tersbutsesatacats hay int Inetbant meniudaarkar untuk kepentngan stu iy 10 KOLOGI PERLADANGAN ORANG BADUY: PENGELOLAAK HUTAN BERBASSADAT proses adaptasi dengan lingkungannya (bandingkan Ellen, 11982; Ingold, 1992: 39; Toledo 2002). Kebudayaan Orang Baduy dalam hal ini berupa keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh Orang Baduy sebagai mahluk sosial; yang isinya adalah perangkat model-‘model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang di- perlukannya dalam upaya mengadaptasikan dengan ling- kungannya agar dapat hidup berkelanjutan (bandingkan Suparlan, 2005: 114). Sementara itu, kebudayaan ber dasarkan wujudnya, dapat mencakup keseluruhan sistem gagasan atau ide-ide, sistem interaksi sosial satu sama lain, dan wujud nyata hasil tindakan Orang Baduy di dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang dijadikan milik diri Orang Baduy tersebut dengan proses belajar (bandingkan Koentjaraningrat, 1990: 180). Sistem sosial Orang Baduy dapat disusun oleh faktor- faktor, seperti kepercayaan atau agama, tata nilai, ideologi, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, dan lain-lainnya Sedangkan lingkungan biofisik atau ekosistem Orang Baduy adalah segala sesuatu yang berada di sckeliling mereka yang berpengaruh terhadap kehidupannya. Misalnya, iklim, udara, air, tanah, tanaman, tumbuhan pengganggu, hama, satwa liar, binatang peliharaan, dan lain-lain (Rambo, 1984: 47). Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-harinya, Orang Baduy, dengan sistem sosialnya secara terus menerus melakukan interaksi timbal balik dengan sistem biofisik atau ekosistemnya, dan hal tersebut dapat berjalan dengan lancar Karena adanya arus energi, materi, dan informasi (banding- Kan Soemarwoto, 1983; Rambo, 1983, 1984) (Gambar 1). fendshuvan 1 Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja. Energi dibutuhkan manusia guna melakukan kerja. Energi antara lain berupa makanan pokok karbohidrat, seperti padi, jagung, ubi jalar, singkong dan lain-lain untuk sumber fenaga atau enenergi bagi manusia. Selain itu, energi dari kayu bakar dibutuhkan manusia untuk bahan bakar memasak di rumah tangga. Pada umumnya, sumber energi ‘uutama di alam adalah berasal dari matahari. Energi matahari tersebut di alam diubah menjadi energi kimia yang tersimpan dalam molekul gula glukose tumbuhan (CsH1.0s) melalui proses fotosintesis, yaitu: Energi Matahari 6CO:+6 HO CH Os + 60: Tumbuhan Hijau Selanjutnya, gla menjadi pati yang tersimpan dalam akar, batang, dan daun tumbuhan. Lantas, energi yang terdapat pada tubuh tumbuhan tersebut dapat menjadi sumber energi mailuk hidup lainnya, melalui mekanisme makan memakan, dalam proses rantai dan jaring makanan. Pada proses fotosistensis tersebut juga dihasilkan oksigen, (Ox) yang berguna untuk bernapas manusia dan binatang. Pada proses pernapasan tersebut dihasilkan karbon dioksida (CO:), yang, selanjuinya dapat digunakan bagi proses foto- sintesis tumbuhan. Oleh karena itu, di alam terjadi arus daur material, yai fumbuhan dimakan omatang herbivora dan netbrore dimakan binatang karnivora. Sementara itu, manusia dapat mengonsumi produksi tanaman dan binatang. Sedangkan, apabila manusia, hewan, dan tumbuhan mati, material yang menyusunnye dapat diuraikan oleh bantuan mikro- organisme menjadi unsur kimia, antara lain nitrogen (N), 2 40406 PERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS ADAT fosfor (P), karbon (C) dan kalium (K), sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Namun, berbeda dengan arus materi yang bersifat daur, arus energi di alam terjadi dalam satu arus dari matahari kembali lagi ke alam, keluar dalam bentuk panas. Di samping itu, selain terjadi arus energi dan materi, terjadi pula arus informasi. Manusia mendapatkan informasi —sesuatu yang memberi pengetahuan— dari alam, berupa benda fisik, warna, suhu, kelakuan dan lain-lain, yang ke- semuanya dapat diinterpretasikan dan digunakan manusia untuk pengelolaan ekosistemnya. Contohnya, munculnya bintang kidang dan kartika di langit waktu fajar, memberi informasi pada para peladang Baduy bahwa bakal terjadi perubahan musim, seperti akan datangnya musim hujan dan mereka harus segera menyiapkan lahan ladang. Demikian pula adanya perbedaan warna tanah, seperti tanah hitam, tanam merah, kandungan air, kandungan serasah atau kompos pada tanah dan kehadiran beberapa indikator jenis-jenis tumbuhan, dapat memberikan infor- masi atau pengetahuan pada para peladang bahwa lahan hutan tersebut subur atau pun tidak subur. Sementara itu, informasi tentang jenis dan tingkah laku macam-macam hama, dapat dimanfaatkan peladang untuk mengadalikan jenis-jenis hama tersebut agar tidak merusakan jenis-jenis tanaman ladang. Karena itu, individu peladang yang paling menguasai informasi tentang ekosistemnya, dia akan dijamin lebih berhasil dalam memanfaatkan dan mengelola ekosistem tersebut, antara lain untuk berladang secara berkelanjutan. Bahkan, kini pengetahuan penduduk lokal tentang berbagai aspek ekologi banyak dikaji dalam bidang kajian enoekologi (ethnoecology), yang merapakan evaluasi ilmiah tentang pengetahuan penduduk tentang ekologi. Kini etnoekologi bendabuian 13 kian menarik perhatian dan banyak dikaji oleh para ilmuwan, yang tasilnya antara lain dapat digunakan untuk asupan bagi mendukung program pembangunan ber- kelanjutan dengan berbasis partisipasi_ masyarakat lokal (bandingkan Warren dkk 1995; Cunningham, 2001; Sillitoe kk, 2002; Ellen 2007). Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa latar belakang sistem sosial ekonomi dan budaya Orang Baduy dapat memengaruhi perilaku mereka dalam memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya (ekosistemnya). Serta, sebalik- nya ekosistem yang telah dipengaruhi oleh Orang Baduy, dapat memengaruhi pula kehidupan sehari-hari Orang Baduy. Dengan kata lain, bahwa Orang Baduy dapat ber- peran sebagai pengelola lingkungan (environmental manager), yang memiliki peran penting dalam merancang, mencipta, dan melihara ekosistem lokal mereka yang menjadi peno- pang keberlanjutan kehidupannya (lihat Rambo, 1984: 40). Sistem Ladang Lekat Budaya dan Manajemen Adaptif Pada umumnya, Orang Baduy dalam mengeloia ladangnya yaitu dengan berbasis adat dan pengetahuan ekologi tradisional, yang bersifat sistem managemen adaptif, sehingga mereka dapat mengelola ekosistem hutan mereka dengan daya lenting tinggi dan berkelanjutan (bandingkan Berkes dan Folke 1998:9; Berkes 1999:60-61). Pengetahuan ekologi tradisional adalah pengetahuan ekologi penduduk pribumi atau penduduk tradisional yang sifatnya lokal, ditransmisikan secara lisan, berdasarkan hasil pengalaman dari keterlibatan penduduk dalam praktik sehari-hari dalam berienteraksi dengan ekosistem lokal, yang lebih berlandas- kan hasil empiris daripada berlandaskan teori (Ellen dan Harris, 2002:4-5). Manajemen adaptif dimaksudkan sebagai penyesuaian manusia dengan dinamika perubahan ADANGAN ORANG BADU 14 rou {LOLAAN HUTAN BERBASS ADA ekosistem, mengingat dinamika perubahan alam tidak akan dapat dikontrol. Daya lenting diartikan sebagai kemampuan suatu sistem mengabsorbsi perubahan dan dapat bertahan secara berkelanjutan. Sementara itu, sistem berkelanjutan di sini dapat didefenisikan sebagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi ke- mampuan generasi_ yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Dengan menerapkan manajemen adaptif, para pe- ladang memungkinkan melakukan pengelolaan_ sistem ladang yang sangat kompleks dan banyak ketidakme- mentuan’ berbagai perubahan lingkungan. Manajemen adaptif adalah sifatnya tindakan berkesinambungan yang mengombinasikan penilaian dan berbagai tindakan dalam upaya belajar tentang kompleksitas dari sistem dinamik maupun untuk mencapai berbagai tujuan sosial. Dengan demikian, pada umumnya para peladang guna merespon perubahan ekosistem agar tetap dapat meningkatkan Kemampuan Kapasitas ekosistem untuk menghasilkan berbagai layanan ekosistem manusia diperlukan suaty kapasitas sosial masyarakat. Kapasitas sosial tersebut termasuk antara lain kapasitas organisasi dan kapasitas institusi. dalam mengembangkan berbagai_aturan dan norma-norma yang dapat memfasilitasi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Selain itu, Kapasitas sosial juga dapat dipahami sebagai modal, terutama modal sosial, modal manusia dan modal budaya peladang. Modal sosial yaitu antara lain saling percaya dan kerja sama dan memecah- kan masalah-masalah Konflik; modal manusia antara lain berbagai. sistem pengetahuan tradisional; dan modal ‘budaya, termasuk sistem kepercayaan dan world view penduduk, Pada manajemen adaptif tersebut umumnya memiliki kekhasan, bahwa berbagai tindakan yang dilakukan pengelola biasanya dijadikan evaluasi dalam pemantauan yang dapat digunakan untuk informasi guna proses pembelajaran dari pengelola tersebut, schingga selalu ter- jadi pengembangan hubungan yang terus menerus antara fungsi sistem dan tujuan-tujuan pengelolaan (bandingkan. Hahn dkk, 2008: 140-141; Gunderson dkk 2008: 224-225). Pada umumnya, orang Baduy dan berbagai kelompok peladang lainnya di Indonesia yang menerapkan penge- lolaan sistem ladang berbasis adat dan kaya pengetahuan ekologi tradisional (sistem ladang integral), telah mampu dan berhasil_mengadaptasikan diri terhadap ekosistem hutan tropis dengan baik. Misalnya, para peladang tersebut biasanya menanan jenis-jenis tanaman dengan keanekaan sangat tinggi pada lahan-lahan ladang mereka. Karena itu, struktur dan fungsi ladang tersebut menyerupai struktur dan fungsi hutan, sehingga memiliki berbagai fungsi seperti ekologi hutan. Namun, di samping dapat memberi berbagai manfaat sosial ekonomi dan budaya bagi masyarakat (lihat Geertz. 1963), manfaat ekologis sistem ladang integral, antara lain juga dapat mengelola kesuburan tanah, melindungi aneka ragam plasma nutfah, tahan terhadap serangan hama, dan cukup tahan terhadap anomali cuaca yang tidak menentu. Sementara itu, fungsi sosial ekonomi dan budaya sistem ladang integral, yaitu dapat memberikan aneka ragam hasil ladang secara berkelanjutan, berupa bahan pangan pokok, bumbu masak, sayur, bahan obat-obatan ‘tradisonal, dan lain-lain. 16 XOLOGIFERLADANGAN ORANG BADUY: PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS DAT Isi Buku Buku ini menguraikan tentang Ekologi Orang Baduy dalam berladang. Yaitu interaksi timbal balik antara Orang Baduy dengan lingkungannya, yang dianggap daerah sakral atau mandala, Khususnya dalam hal kegiatan berladang yang dianggap sebagai kewajiban agama dan telah menjadi identitas utama Orang Baduy. Buku ini disusun menjadi 8 bab. Bab 1 Pendahuluan, divraikan secara umum tentang sistem huma, sistem hum di Jawa Barat dan Banten, serta daerah Baduy, serta sistem hubungan orang Baduy dengan lingkungannya dalam berladang, dan isi buku. Bab II Menggapai Kawasan Baduy, dibahas tentang lokasi geografis maupun administrasi daerah Baduy, serta akses menuju kawasan Baduy. Sementara itu, pada Bab Ill, Keunikan Ekosistem Baduy, diuraikan tentang lingkungan biofisik (ekosistem) daerah Baduy, seperti: topografi daerah, sungai, Kampung, curah hujan, kondisi tanah, dan tata-guna lahan. Bab IV, Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Orang Baduy, didiskusikan seperti asal usul nama Baduy, asal usul Orang Baduy, agama dan kepercyaan Orang Baduy, sistem kepeminpinan Orang Baduy, jumlah penduduk Orang Baduy, permukiman Orang Baduy, dan mata pencaharian Orang Baduy. Bab V, Sistem Pemilikan Lahan dan Tenaga Kerja Berladang Orang Baduy, dibahas mengenai pemilikan lahan di Baduy Dalam dan Baduy Luar, serta bagaimana organisasai tenaga kerja Orang, Baduy dalam berladang. Bab VI Penggarapan dan Pengelolaan Ladang Orang Baduy, dibahas secara terperinci, seperti kewajiban dalam agama Baduy; kewajiban Orang Baduy untuk berladang; siklus perladangan; serta berbagai pengerjaan pada tiap tahapan pengerjaan ladang. Pada Bab VII, Konservasi Alam \ Pendanuan Neen Ala Baduy, dideskripsikan tentang konsep dan praktik Orang Baduy dalam melindungi keanekaan hayati dan daerahnya. Sedangkan, pada Bab VIII, Pengaruh globalisasi pada sistem ladang Orang Baduy, dibahas tentang Revolusi Hijau pada sistem sawah dan pengaruhnya pada sistem ladang Baduy; perihal Orang Baduy menyikapi moderni- sasi; Orang Baduy mengembangkan pengetahuan hibrida, memadukan pengetahuan lokal dan pengetahuan dari luar, seperti introduksi albasiah; terlibat dalam industri rumah tangga membuet gula aren, terlibat dalam perdagangan sekala kecil petty trading, seperti menjual aneka ragam hasil non-padi, sepert: durian, petai, pisang, dan lain-lain. Q 18 ‘40.061 PERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN MUTAN SERBASIS ADAT Bab II Kawasan Baduy dan Cara Menggapai Kawasan Baduy lamanya bermukim di kawasan hutan yang relatif terpencil di kawasan Gunung Kendeng, Banten Selatan. Bagi Orang Baduy hidup di kawasan terpencil bukan berarti mereka merupakan ‘masyarakat terasing’, sebagaimana sering dijuluki oleh orang luar. Namun, mereka sengaja tinggal di kawasan relatif terpencil, Desa Kanekes, menghindari keramaian dunia modem. Pasalnya Orang Baduy ingin menjalankan hidup sederhana atau biasa disebut tapa di daerah yang dianggap sakral, daerah mandala, Akan tetapi, kini kawasan Baduy kian mudah digapai karena akses jalan menuju daerah tetangga desa Baduy telah cukup baik. Konsekuensinya, kehidupan Orang Baduy kini telah mendapat berbagai tantangan karena kian derasnya arus modemisasi dari luar masuk ke desanya. Pada bab ini dibahas tentang gambaran umum kawasan Baduy, cara menggapai kawasan Baduy, menggapai kampung-kampung di kawasan Baduy. B erdasarkan sejarah, Orang Baduy telah berabad-abad Kawasan Baduy Berdasarkan letak geografisnya kawasan Baduy terletak Kurang lebih pada 6° 27’ 27” — 6? 30’ Lintang Utara (LU) dan 108° 3” 9” — 106° 4’ 5” Bujur Timur (BT). Secara administratif kawasan Baduy berada di wilayah Desa Kanekes, Keca- matan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Gambar 2). Pada masa silam, pasca kemerdekaan daerah Banten dikenal sebagai sebuah keresidenan yang terdiri 20 __EKOLOGE PELADANGAN ORANG BADUT: PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS ADAT atas 3 Kabupaten, yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2000, Keresidenan Banten berubah menjadi sebuah provinsi baru, yang terpisah dari Provinsi Jawa Barat, berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2000 yang peres- miannya dilaksanakan pada tanggal 18 November 2000. Sejatinya, Desa Kanekes memiliki Iuas lebih kurang 5.101,85 ha, terdiri atas 58 kampung. Secara adat, kampung- Kampung ini menjadi satu kesatuan, daerah Baduy atau Desa Kanekes. Letak Desa Kanekes cukup terpencil pada daerah perbukitan di kawasan Gunung Kendeng, Banten Selatan. Sebelum tahun 1980-an, Desa Kanekes bersama- sama dengan tiga desa tetangganya di bagian utara, yaitu Desa Cisimeut, Desa Cibungur, dan Desa Leuwidamar, masuk ke dalam administratif Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Pada tahun 1980an, dua desa tetangga Baduy, Desa Cisimeut dimekarkan menjadi 2 desa, serta Desa Cibungur dan Desa Leuwidamar masing-masing juga dimekarkan menjadi 4 desa, karena jumlah penduduknya telah padat. Sama halnya dengan desa-desa tetangga Baduy, Desa Kanekes pada saat itu juga diusulkan untuk dimekarkan menjadi 3 desa, yaitu Desa Kanekes I (pusat pemerintahan di Kampung Kaduketug, Baduy Luar), Desa Kanekes II (Cisaban, Baduy Luar), dan Desa Kanekes Ill (Cikartawarna, Baduy Dalam). Namun, usulan tersebut ditentang keras oleh pimpinan adat masyarakat Baduy (Pum). Puun menyatakan bahwa daerah Baduy merupakan satu kesatuan adat yang tidak dapat dipisah-pisahkan berdasarkan administratif pemerintahan seperti desa-desa di luar kawasan Baduy. Karena itu, rencana pemekaran Desa Kanekes akhimya dibatalkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat (PEMDA DATIII Lebak, 1985: 49). _Rawaean Say an Care MangnapalKawazanBosey 21 Gambar 2. Peta Banten dan Jawa Barat, kawasan Baduy berada di Kabupaten Lebak Pada perkembangan selajutnya, tahun 2001 Desa Kanekes mengalami perubahan status, yaitu dikukuhkan dan diakui secara resmi oleh pemerintah daerah sebagai Tanah Ulayat Masyarakat Baduy berdasarkan PERDA Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlin- dungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Lantas, keputusan tersebut diperkuat dengan SK Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas- Batas Detail Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, tertanggal 16 Juli 2002 atas dasar hasil pengukuran dan 22 ANGAN ORANG BADUY: PENGELOLAAN HUTA BEREASS ADAT pemetaan serta mengacu pada batas wilayah administratif, batas khusus dan batas alam yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasarkan pengukuran BPN, kawasan Hak Ulayat Masyarakat Baduy tercatat luasnya agak sedikit mengalami perubahan menjadi sekitar 5.136,58 ha. Luas kawasan Hak Ulayat Baduy tersebut terdiri atas sekitar 3.000 ha berupa hutan tutupan/lindung dan kurang lebih 2.13658 ha merupakan tanah garapan dan permukiman. Berdasarkan adat, kawasan Baduy dibedakan menjadi 3 kawasan utama, yaitu kawasan Baduy Dalam (Baduy Jero), Baduy Luar (Panamping) dan Daerah Dangka. Kawasan Baduy Dalam terdiri atas 3 kampung, yaitu Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikartawama. Di kawasan Baduy Dalam dihuni oleh penduduk Baduy Dalam atau disebut Urang Baduy Jero atau Urang Daleum. Tiga pimpinan adat tertinggi Baduy (puun) dan beberapa stainya juga tinggal di daera Baduy Dalam. Baduy Luar letaknya dominan di bagian utara dan mengelilingi Baduy Dalam, dihuni oleh Orang Baduy Luar (Urang Panamping). Sementara itu, Daerah Dangka merupakan daerah enclave di kawasan muslim, tetangga Baduy. Di daerah ini utamanya ditempati oleh Keluarga Jaro Dangka (pimpinan perwakilan adat) bercam- pur dengan rumah-rumah keluarga muslim tetangga Baduy. Namun, beberapa daerah dangka tersebut, seperti Dangka Cihandam, telah terdesak oleh penduduk muslim, sehingga dipindahkan ke kawasan Baduy Luar. Dewasa ini, kawasan Baduy (Desa Kanekes) dikelilingi oleh 11 desa non-Baduy yang termasuk dalam 5 kecamatan. ‘Desa-desa yang paling dekat berbatasan dengan kawasan Baduy di bagian utara adalah Desa Bojong Menteng, Desa Cibungur, Desa Cisimeut dan Desa Nayagati, Kecamatan Leuwidamar. Di bagian selatan, Desa Baduy berbatasan 23 wan Sada don Cra Marggpal anata dengan Desa Cikate dan Desa Mangunjaya, Kecamatan Cijaku. Di bagian barat daerah Baduy berbatasan dengan Desa Karang Nunggal, Kecamatan Cirinten, Desa Parakan- beusi dan Desa Keboncau, Kecamatan Bojongmanik. Sementara itu, daerah Baduy di bagian timur dibatasi oleh Desa Hariang dan Desa Cilebang, Karangcombong, serta Desa Karangcombong, Kecamatan Karangcombong (Gambar 3). <8 eae Wyse oe aie Gambar 3. Peta Desa Kanekes, Kecamatan Lentidamar dan Sekitarnya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 24 £EX0L061PERLADANGAN ORANG SADUT:PENGELOLAAR HUTAN BERBASS ADAT Cara Menggapai Kawasan Baduy Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, daerah Lebak telah dikenal sebagai daerah terpencil di Banten Selatan, dihuni oleh penduduk yang sangat jarang, dengan memiliki kawasan hutan luas (Mohr, 1945: 257). Akses menuju daerah Lebak dari kota Jakarta (Batavia) hanya dimungkinkan dengan menggunakan jalan raya ke arah barat melintasi Tangerang, Serang dan kemudian menuju kota Rangkasbitung. Alternatif lainnya, yaitu menggunakan jalan lintasan dari Kota Bogor (Buitenzorg), melewati Jasinga, Leuwiliang terus nembus ke kota Rangkasbitung, yang dibangun pada tahun 1925 (Williams, 1990:1). Berdasarkan sejarah ekologi, sebelum tahun 1950-an, telah dibangun pula jalan-jalan desa_yang menghubungkan antara Leuwidamar dan Muncang oleh pemerintah kolonial Belanda. Jalan-jalan desa tersebut merupakan jalan per- kebunan kolonial Belanda, yaitu perkebunan Bantarjaya, Cilisung, Cikapek, Gunung Tunggal dan Kopo. Akan tetapi, hingga tahun 1970-an jalan penghubung dari pusat kecamatan (Leuwidamar) ke daerah Baduy (Desa Kanekes), sekitar 13 km hanyalah berupa jalan setapak dengan melintasi daerah-daerah hutan dengan menyebrangi S. Cisimeut (Gambar 4). Lantas, pada tahun 1975, jalan setapak dari Leuwidamar hingga Ciboleger (daerah tetangga Kampung Kaduketug, Baduy Luar) diperlebar dan diperkeras dengan diberi batu-batu sungai. Pekerjaan tersebut dipimpin’ oleh Jaro Karis, seorang bekas jawara terkenal dari Desa Cisimeut. Oleh karena itu, hubungan antara ibukota Kabupaten Lebak (Rangkasbitung) dengan Desa Cisimeut cukup lancar dengan menggunakan ken- daraan roda dua atau pun roda empat. Namun, apabila perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat (mobil) biasanya mobil tidak dapat menjangkau sampai uy da Cara engsnsi Kaas Sey 25 Kampung Citoleger (kampung tetangga desa Baduy), Karena harus melintasi jembatan gantung di atas $. Cisimeut. Jembatan gantung tersebut dibuat dari kayu dan hanya dapat dilewati oleh pejalan kaki atau motor. Karena itu, mobil dapet melintasi 5, Cisimeut hanya pada musim Kemarau, ketika air sungai kecil dan mobil bisa melintasi {urun masuk ai: 8. Cisimeut, Selain itu, setelah menyebrang S. Cisimeut, di Kampung Bantaraga menuju tetangga desa Baduy di utara, daerah Ciboleger, dengan jarak sekitar 5 km, Pada masa lalu hanya dapat dilintasi dengan jalan kaki atau Kendaraan roda dua. Namun, pada tahun 2003 jembatan gantung tersebut telah dirombak dan disebelahnya telah dibangun jembatan beton permanen. Karena itu, dengan selesainya jembatan beton Cisimeut, para Ppengunjung yang ingin menuju kawasan Baduy dari arah Bogor dengan melintasi S. Cisimeut kian mudah. Demikian pula lintasan jalan dari S. Cisimeut ke Ciboleger dengan motor maupun mobil kian lancar, Karena jalan desanya telah diperbaiki, Gambar 4, Peta Daerah Baduy, di Desa Kanckes, Kecamatan Leuwidamar, Provinsi Banten, JNGELOLAAN HUTAN RAIS OAT 26 £101.06 PERLADANGAN ORANG BADL Sementara itu, lintasan jalan lainnya, dari Kecamatan Leuwidamar menuju Ciboleger, dengan tidak melintasi S. Cisimeut, dengan melalui Simpang dan Cibengkung, dengan jarak kurang lebih 17 km, yang tadinya berupa jalan desa berlumpur, juga telah diperbaiki dan diaspal pada tahun 1980-an. Karena itu, hubungan antara_kampung Ciboleger dan Rangkasbitung atau sebaliknya dapat dilayani oleh angkutan pedesaan dengan lebih lancar. Padahal, sejatinya hingga awal tahun 1980-an mobil-mobil dari kota Rangkasbitung menuju Ciboleger biasanya sangat terbatas dan juga melayani tidak sampai lebih dari pk. 18.00. Pun ketika musim hujan jalan desa menjadi licin dan berlumpur. Karena itu, sulit mobil untuk melintasi jalan berlumpur tersebut untuk menembus masuk ke kawasan Ciboleger. Kecuali ada satu mobil milik seorang penduduk Cisimeut, Kinong, yang biasa berani menembus jalan-jalan berlumpur tersebut, mengingat dia penduduk lokal dan telah memiliki banyak pengalaman membawa mobil di jalan-jalan desa berlumpur. Namun, setelah akses jalan desa tersebut diperbaiki, mobil-mobil angkutan dari kota Rangkasbitung tersebut lebih banyak dan melayani hingga lebih dari pkl. 18.00. Tidak hanya itu, di bagian barat Desa Kanekes, jalan utama antara Simpang dan Dungkuk juga telah diperbaiki oleh Pemerintah Daerah. Bahkan, pada tahun 1987 per- baikan jalan tersebut diteruskan lagi, yaitu dari Parigt sampai daerah Karoya. Dampaknya, dengan adanya jalan tersebut telah makin memudahkan orang kota mengunjungi daerah Baduy Dalam dari arah barat. Caranya, yaitu dengan mengendarai mobil sampai desa tetangga Baduy di bagian barat, di daerah yang berbatasan dengan Desa Kebon Cau. Selain ity, pada akhir tahun 1995, jalan utama antara Simpang dan Ciboleger mengalami pengaspalan lagi. Semen‘ara itu, kawasan parkir, toko-toko suvenir, dan warung-warung makanan juga banyak dibangun di daerah Ciboleger. Daerah tersebut merupakan salah satu pintu gerbang utama masuk ke daerah Baduy, Khususnya dari kawasan utara. Sedangkan di bagian barat, daerah Baduy Luar yang berbatasan dengan Desa Kebon Cau dapat pula dijangkau dengan mobil. Lantas, dari daerah ini para pengunjung dapat melanjutkan jalan kaki menuju kawasan Baduy Dalam dengan lebih singkat dibandingkan melewati Ciboleger dan Kaduketug. Karena itu, kini secara umum dari kota kecamatan (Leuwidamar) untuk menuju daerah Baduy (Desa Kanekes) dari utara, dapat dilakukan melalui dua rute. Rute pertama melintasi S. Cisimeut, jaraknya lebih pendek dan tidak usah menyeberangi lagi S. Cisimeut melalui jembatan gangtung, arena telah dibangun jembatan beton. Rute lzinnya, melintasi daerah Simpang dan Cibengkung, dengan jarak agak lebih jauh, dengan tidak usah melintasi S. Ciujung dengan kondisi jalannya juge telatif baik. Pada rute ini, pengujung dapat menuju Ciboleger dan masuk ke Kampung Cigoel tempat rumah Jaro Pemerintah. Pada rute inj dapat pula pengunjung menuju bagian barat Baduy yang, berbatasan dengan Desa Kebon Cau, dan dapat terus melan- jutkan perjalanan ke Baduy dengan relatif lebih pendek jaraknya. Karena itu, kini dengan kian mudah orang-orang Kota menggapai kawasan Baduy, konsekuensinya kawasan Baduy kian terbuka oleh berbagai pengaruh budaya luar. Serentara itu, dari kota Jakarta untuk menuju kota Rangkasbitung, dapat menggunakan colt, bis atau kereta api. Pada masa silam, pelayanan kereta api Jakarta- Rangkasbitung atau sebaliknya bisanya dapat menggunakan kereta api lambat yang berhenti di setiap stasiun atau pun kereta epi cepat, yang tidak berhenti di setiap stasiun. Kini, 28 40106! PERLADANGAN ORANG BADUY: PENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADA perjalanan dengan Kereta dari Jakarta ke Rangkasbitung, dan sebaliknya kian lancar. Sedangkan, petjalanan dengan mobil dapat dilakukan melalui dua rute: Rute pertama, dari Jakarta melintasi Tangerang-Serang- Pandeglang dan Rangkasbitung. Jaraknya kurang lebih 131 km dapat melintasi jalan tol (Gambar 2). Jalan tol tersebut selesai dibangun pada tahun 1990-an. Rute kedua, melintasi arah timur, dari Jakarta-Bogor- Jasinga-Cipanas-Rangkasbitung, jaraknya kurang lebih 98 km. Kalau menggunakan rufe ini, dari Jasinga-Cipanas menuju daerah Baduy, dapat pula melewati Gajrug dan terus langsung ke Desa Cisimeut, tanpa harus menuju kota Rangkasbitung terlebih dahulu. Sehingga jaraknya akan lebih pendek, tetapi jalan lintasan ini pada beberapa tempat kurang baik. Mengapai Kampung-Kampung Baduy ri kampung Ciboleger tetangga desa Baduy menuju eoeraaae yang ada di Baduy hanya dapat dilakukan dengan jalan kaki melinas ine setapak. ‘ampung pertama yang dapat dijangkau n pe ai Ciboteger dengan jalan kaki melintasi jalan bertangga dengan semen adalah Kampung Cigoel, Baduy Luar. Di kampung Cigoel terdapat rumah Jaro Pamarentah, Kepala Desa Kanekes, tempat untuk melapor para tamu yang akan mengunjungi daerah Baduy. Kampung beri- kutnya yang berdekatan dengan kampung Cigoel adalah Babakan Kaduketug dan Kampung Kaduketug. Sedangkan dari kempung-kampung tersebut menuju_kampung- Kampung lainnya lebih ke bagian dalam davt Baduy Lae para pengunjung harus jalan kaki melintasi jalan setapak di bukit-bulit, pada daerah ladang (Huma) atau hutan sekunder bekas ladang (reuma). Pada beberapa tempat jalan setapak awasan Badu dan Cora Wengen Kasam Bay 29 fersebut harus melintasi jembatan gantung dari bambu, ferutama bila melintasi S. Ciujung, sungai utama yang ada di kawasan Baduy. Perjalanan para pengunjung menuju Kampung Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik, daerah Baduy Dalam, lebih sukar lagi, mengingat letaknya jauh di bagian selatan. Karena itu, para pengunjung butuh waktu perjalanan setengah hari atau lebih. . Pada umumnya, dari Baduy Luar untuk menuju daerah Baduy Dalam dari arah utara dapat ditempuh melalui 2 jalur. Jalur pertama, para pengunjung dapat melintasi arah jalur barat, yaitu dari Kampung Kaduketug menuju ke selatan menggunakan jalan setapak menuju Babakan Balingbing, Babakan Marengo dan Gajeboh. Lantas, per- jalanan dilanjutkan dari Gajeboh menuju Kampung Cicakal Muhara melintasi S. Ciujung dengan melintasi jembatan gantung dari bambu. Perjalanan tersebut umumnya melintasi jalan setapak di pinggiran S. Ciujung. Selepas Kampung Cicakal Muhara kita dapat menuju ke kampung, berikutnya yaitu Kampung Cipaler, Cipiit, Cisagu, Cijenar, Cicengkol, Bojong Paok, Ciranji, Cikadu, dan sampai ke Kampung Cibeo, Baduy Dalam. Para pengunjung untuk menuju. Kampung Baduy Dalam lainnya, dari Kampung Cibeo ke Kampung Cikartawama tidak terlalu jauh. Namun, dari Cibeo menuju Kampung Cikeusik lokasinya cukup jauh, Pada jalur alternatif lain, dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam dapat melintasi arah jalur tengah/timur, yaitu dari Kampung Cigoel menuju kampung Kaduketer. Di antara dua kampung tersebut terdapat 2 kampung, yakni Kampung Kadujangkung dan Kadukeler, tetapi lokasi- nya lebih ke arah timur. Sebelum sampai ke Kampung Kaduketer, pengunjung dapat melewati suatu danau alam, 30 £01061 PERLADANGAN ORANG SADUT:PENGELOUAAIK HUTAN BERBASISADAT yang disebut Dangdang. Dari Kadu Keter menuju Kampung Cibeo, perjalanan biasanya melintasi jalan setapak di daerah-daerah perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Pada daerah-daerah bukit yang dilewati, ketika’ musim penggarapan ladang (/numa) dapat disaksikan daerah-daerah jadang dengan dangau-dangau (saung), merupakan tempat istirahat, bahkan tempat tinggal sementara Orang Baduy ketika sibuk bekerja di ladang. Akan tetapi, di luar musim penggarapan ladang, di sepanjang kiri-kanan jalan setapak biasanya dapat dinikmati pemandangan daerah-daerah hhutan sekunder bekas ladang yang sedang diberakan (rewma). Ringkasan Pada bab ini dibahas tentang gambaran umum kawa- san Baduy, cara menggapai kawasan Baduy, menggapai Kampung-kampung di kawasan Baduy. Kawasan Baduy yang berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten lokasinya cukup ter- pencil. Pada masa silam sejak masa kolonial Belanda, kawasan Baduy telah dikenal sebagai kawasan yang dihuni masyarakat adat, yang disebut masyarakat Baduy, Urang Badury, masyarakat Kanekes atau Urang Kanekes. Berdasarkan adat Baduy, daerahnya dibagi 3 kawasan, yaitu kawasan Baduy Dalam (Baduy Jero), Kawasan Baduy Luar (Panamping) dan Kawasan Dangka. Kawasan Baduy Dalam terdiri atas 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikartawama dan Cikeusik. Kawasan dikuni oleh penduduk Baduy Dalam dan para peminpin adat, seperti Puun dan para stafnya tinggal di Baduy Dalam. Baduy Luar lokasinya bagian luar dari Baduy Dalam, dihuni oleh penduduk Baduy Luar dan para perwakilan pimpinan adat. Sementara itu, kawasan Kawasan Badu dn Cara Mogens Kavasen 99607 31 Sementara itu, kawasan dangka berupa kawasan\enclave Baduy di daerah muslim tetangga Baduy, dihuni oleh keluarga Jaro Dangka dan bercampur dengan keluarga- keluarga muslim. Pada tahun 2001, Desa Kanekes dengan luas sekitar 5.136,58 ha dikukuhkan oleh pemerintah daerah sebagai Tanah Ulayat Masyarakat Baduy berdasarkan PERDA Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Lantas, keputusan tersebut diperkuat dengan SK Bupati+ Lebak Nomor 590/Kep233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas- Batas Detail Hak Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, tertanggal 16 Juli 2002. Sejatinya,. sebelum tahun 1970-an para yang ingin menjangkat Kawasan Baduy di Desa Kanckes cukup sulit, Pasalnya selain lokasinya terpencil, kondisi akses jalan desa yang menghubungkan ibu kota kecamatan, Leuwidamar dengan daerah perbatasan Baduy di Ciboleger masih buruk. Deri kota kecematan Leuwidamar menuju perbatasan Baduy di Ciboleger ada dua rute. Rute pertama, rate jaraknya relatif agak pendek, yaitu dari Leuwidamar menuju Ciboleger melewati S. Cisimeut. Walaupun rutenya relatif pendek, para pengunjung yang melintasi rute ini harus menyebarangi jembatan ganting S. Ciujung. Karena itu, jembatan gantung ini hanya dapat dilewati oleh pejalan kaki dan motor. Kecuali pada musim kemarau dan air $. Cisimeut surut, mobil dapat melintas dan masuk sungai tersebut. Lantas, setelah menyebrang S. Cisimeut untuk menuju Ciboleger perlu jalan kaki menggunakan jalan desa melintasi kebun-kebun karet atau ‘kawasan ladang (Huma). 32 [OL0C PERADANCAN ORANG BADUY: PENGELOLAAKMUTAN BERBASIS OAT Rute Kédua jaraknya agak jauh, tetapi tidak melintasi S. Cisimeut, yaitu dari Cisimeut menuju Ciboleger, melewati Simpang dan Cibengkung. Pada rute jalan lintasan ini dapat dilewati kendaraan roda dua atau pun roda empat. Namun, pada saat hujan jalannya licin dan berlumpur, terutama sebelum masuk kawasan Cibengkung dan Ciboleger. Pada era hingga tahun 1980-an angkutan umum dari kota Rangkasbitung ke Ciboleger hanya satu atau dua kendaraan saja, yaitu pada pagi dan sore hari Namun, pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, jalan- jalan desa yang menghubungkan Leuwidamar dengan Ciboleger telah diperbaiki. Tidak hanya itu, jalan utama antara Simpang dan Dungkuk, dilanjutkan dari Parigi Sampai Karoya, juga diperbaiki. Karena itu, kini untuk menggapai kawasan Baduy dari Leuwidamar dapat melintasi Cisimeut terus ke Ciboleger. Altematif lainnya, dari Leuwidamar dapat melintasi Simpang, Kadujangkung terus ke Ciboleger. Pada rute ini juga dapat menuju kawasan Baduy bagian barat, di perbatasan dengan Desa Kebon Cau, dan dari sini untuk menuju kawasan Baduy relatif lebih pendek, Sementara itu, dari kota besar, seperti dari Jakarta untuk menuju kawasan Lebak dan kawasan Baduy, kian lancar dengan adanya jalan tol Merak yang dibangun tahun 1990- an. Para pengunjung dari Jakatta yang ingin mengujungi Lebak dan Baduy dapat menggunakan jalan tol merak, melintasi Tangerang - Serang ~ Pandeglang dan Rangkas- bitung. Tidak hanya itu, Kini kereta api yang melintasi jalur Kereta api Jakarta - Rangkasbitung juga Kian lancar. Konsekuensinya, kini kawasan Baduy kian banyak dikun- jungi oleh para pengunjung dari luar dan kian terbuka dari berbagai pengaruh budaya dari luar. Q an Cara Menge! Kone Foto, Batas aerahBaduy Foto. oto 2. Seorang PriaBaduy Dalam dengan dean ieee, sedang elit rang dagangan bagi wars haan Baciy Bess i Kampung Cig png anekes, Leswidamer, Bday paling Iu di began tara Foto3. Jalan masuk kekawasan Foto 4. Di sepanjang jalan masulk Baduy di daerah Ciboleger, ke dacrah Badu ci bag tar, tetangga desa Baduy_ va epee di daerah Ciboleger, banyak barang cindra mata, seperti kaos ddan kantung koja dan jarog, UY: PENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADA 34 XOLOGIPERLADANGAN ORA Foto5, Tempat parkir mobil-mobil Foto 6, Batas kawasan Baduy di para pengunjung yang akan ber- barat, di Desa Kebon Cau, dengan kkunjung ke daerah Baduy, didaerah suatu papan informasi Giboleger. Foto7. Jembatan melintasi Sungai Foto 8. Jembatan bambu dengan Giujung, dibuat dari bambu dengan _penyangga ruas-ruas bambu, untuk diikat “pakai akar kayu dan melintasi Sungai Ciujung. tumbuhan lainnya Bab IIL Keunikan Ekosistem Baduy berbagai keunikan menarik yang dapat mengundang Kekaguman orang-orang dari luar yang mengunjungi kawasan Baduy. Pada bab ini dibahas tentang berbagai karakteristik biofisik kawasan Baduy, seperti kondisi topo- grafi, sungai dan anak-anak sungai, kampung-kampung, curah hujan, kondisi tanah, dan tataguna lahan. L ingkungan alam atau ekosistem Baduy mempunyai Topografi Daerah Baduy Topografi daerah Baduy umumnya bergunung-gunung dengan memiliki kemiringan lereng yang bervariasi dari mulai lereng kurang terjal hingga sangat terjal. Misalnya, di bagian selatan wilayah Desa Kanekes (kawasan Baduy Dalam), di dekat Kampung Cikeusik, daerahnya bergunung- gunung dan umumnya masih ditutupi hutan lebat yang tersusun oleh beberapa gunung, seperti Gunung Kendeng, Gunung Singaresik, Gunung Hoe, Gunung Handarusa dan Gunung Haur. Selain itu, beberapa kawasan hutan lebat juga masih ditemukan di dekat Kampung Cibeo, seperti di kawasan Gurung Manglid, Gunung Seel, Gunung Handarusa, Gunung Bukit Kancil dan Gunung Kaduketer. Selain itu, di bagian utara Desa Kanekes (kawasan Baduy Luar), daerahnya juga bergunung-gunung, tetapi kawasan hutan lebat atau hutan tua umumnya hanya terdapat di bagian puncak-puncak gunung, misalnya di Gunung Jatake (Kampung Kaduketer), Gunung Cikadu (Kampung Cikadu), Gunung Sorokokod (Kampung Sorokokod), dan Gunung Baduy (Kampung Kaduketug). 36 Berbagai Kawasan hutan lebat di Baduy secara adat dikonservasi, tabu (teu wasa) untuk dibuka dijadikan ladang (huma). Berbagai hutan tua tersebut biasa dinama- kan sebagai ‘hutan titipan’ (lewweung titipan). Menurat masyarakat Baduy leuweung titipan (hutan _titipan) sesungguhnya berbeda dengan lewwveung tufupan (hutan tutupan). Pasalnya yang dinamakan’ lewweung tutupan bisa saja sewaktu-waktu dibuka atau ditutup lagi, sedang- kan lewweung titipan pantang dibuka untuk selamanya, mengingat barang titipan dari leluhur, yang secara peraturan adat (pikukuh) Baduy tabu dijadikan iuuma. Karena itu, berbagai kawasan hutan tua (Iewweung kolo) atau hutan titipan di kawasan Baduy tetap terjaga keberadaannya Karena dianggap sebagai titipan leluhur yang harus dilindungi oleh segenap masyarakat Baduy. ‘Sungai Utama dan Anak-anak Sungai di Baduy Sungai utama yang mengalir melintasi kawasan Baduy adalah S. Ciujung. Hulu sungai tersebut terletak di kawasan huutan lebat di daerah G. Kendeng, bagian selatan kampung, Cikeusik, Baduy Dalam (lihat Gambar 4). Di kawasan hutan tersebut ditemukan daerah yang dianggap sakral (keramat) oleh masyarakat Baduy, yang diberi nama Pada Ageung atau Sasaka Pusaka Buana. Lantas, air S. Ciujung tersebut meng- alir dari kawasan hutan G. Kendeng mengalir ke arah uta- ra, melintasi Kampung Cikeusik di Baduy Dalam, terus melintasi daerah-daerah di Baduy Luar, seperti Kampung Ciasadane, Batubeulah, Gajeboh. Selanjutnya, air sungai tersebut terus mengalir ke bagian hilir, melintasi kawasan Rangkasbitung, Serang dan akhirnya bermuara ke laut di pantai utara P. Jawa. Pada umumnya, S. Ciujung memiliki fungsi sosial ekonomi dan budaya yang penting bagi masyarakat Baduy, seperti dimanfaatkan untuk mandi, aura host Bay 37 mencuci dan menangkap ikan. Sementara itu, di bagian hilimya di luar kawasan Baduy, S. Ciujung biasa di- manfaatkan penduduk non Baduy untuk irigasi mengairi daerah-daerah sawah, menangkap ikan, mencuci, mandi, mengambil pasir, transportasi mengangkut kayu dan bambu, dan uncuk perhubungan air menggunakan rakit bambu. Sungai Cijung memiliki tak kurang dari 37 anak sungai. Yaitu 6 anak sungai ditemukan di antara Cikeusik-Cibeo, Baduy Dalam. Di antara anak sungai tersebut yang terkenal, di antaranya anak sungai S. Cikeusik, mengalir melewati Kampung Cikeusik, S. Cibeueung melintasi Kampung Cikartawama dan S. Ciparahing melintasi Kampung Cibeo. Di antara Cibeo dan Cikadu terdapat 5 anak sungai. Di antara Cikadw-Kaduketer, Baduy Luar terdapat 10 anak sungai; di antara Kaduketer-Cicakal Hilir, Baduy Luar tercatat 4 anak sungai; di antara Cicakal Hilir-Gajeboh, Baduy Luar ada 3 anak sungai; dan diantara Gajeboh- Kaduketug, Baduy Luar terdapat 9 anak sungai. Kondisi Kampung Baduy Kampung-kampung (lembur) Baduy biasanya lokasinya terpencar-pencar di daerah-daerah lembah _pinggiran S. Ciujung atau anak-anak Sungai Ciujung atau pun dekat sumber-sumber air tanah yang dibangun pancuran- pancuran bambu. Pemukiman-pemukiman tersebut terletak pada lembah-lembah bukit pada ketinggian yang bervariasi, di antara 170 m di atas permukaan laut (dpl) hingga 410 m dpl (Purnomohadi, 1985: 40-41). Di bagian utara kampung yang paling dehulu dijangkau dari daerah Ciboleger, tetangga daerah Baduy, sebagai pintu gerbang masuk Baduy adalah Cigoel (250 m dpl), yang merupakan kampung baru pemekaran dari Kampung Kaduketug, 38 (O10 PERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADAT Dari kampung ini menuju ke selatan melalui jalan setapak dapat menjumpai Kampung Gajeboh (170 m dpl), lokasinya di pinggiran S. Ciujung. Sebelum mencapai kampung ini ada dua kampung baru (babaken), dibangun pada tahun 1990-an, pemekaran dari Kampung Gajeboh, yaitu Babakan. Marengo (170 m dpl) dan Babakan Balingbing (175 m dp) Kampung-kampung lainnya di bagian selatan yang dapat dicapai dari Kampung Gajeboh dengan jalan Kaki dengan melintasi jalan setapak dan melewati jembatan gantung bambu S. Ciujung adalah Cicakal Hilir (210 m dpl), Cipaler (300 m dp)), Cicakal Girang (410 m dp)), Cipiit (340 m dpl), Ciranji (G10 m dpl) dan Cijahe (00 m dpl). Namun, pada tahun 2000-an, Kampung Cicakal Hilir yang tadinya lokasinya di lembah bukit, dipindahkan agak ke atas bukit, karena kampung tersebut mengalami kebakaran dan semua rumah-rumahnya musnah terbakar api. Lantas, dari Kam- pung Cijahe, lebih jauh ke bagian selatannya ditemukan kampung-kampung Baduy Dalam, yaitu Cibeo (290 m dpl), Cikartawarna (300 m dpl), dan Cikeusik (300 m dp). Curah Hujan di Daerah Baduy Daerah Baduy, seperti daerah-daerah Banten Selatan lainnya memiliki 2 musim utama, yaitu musim kemarau (usum halodo) dan musim hujan (usw hujan). Pada umumnya, dari November hingga April, berhembus angin barat daya dengan membawa pengaruh musim hujan, sedangkan dari Mei hingga Oktober bethembus angin tenggara membawa pengaruh musim kemarau di kawasan Baduy. Berdasarkan data curah hujan hasil pencatatan Lembaga Meteorologi dan Geofisika di stasiun terdekat dengan lokasi Baduy, di Kecamatan Leuwidamar, pada periode 1975-1990 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan yang paling tinggi (bulan paling basah) pada bulan eunian Easter Boy 39 Januari (383 mm/bulan) dan curah hujan terendah (bulan terpanas) pada bulan Juni (97 mm/bulan) (Gambar 5). Rata-rata_ temperatur udara harian tercatat lebih dari 20° Celsius. Berdasarkan kriteria dari Schmidt dan Ferguson, kawasan Baduy termasuk ke dalam pola iklim A, yaitu mempunyai curah hujan yang cukup banyak sepanjang tahun (bandingkan Soemarwoto, 1992:20-21) Berdasarkan kondisi tanahnya, tanah di kawasan Banten Selatan atau kawasan Baduy umumnya termasuk Kategori kurang subur. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh faktor Kondisi iklim (Mohr, 1945: 257). Tanah di kawasan Baduy disusun oleh batuan vulkanik muda, yang mudah tercuci oleh aliran air permukaan ketika turun hujan. Memang, berdasarkan hasil kajian sistem perladangan di daerah tropis, bahwa penurunan kesuburan tanah di daerah tropis pada umumnya disebabkan oleh pencucian permukaan tanah oleh air larian ketika hujan turun (bandingkan Sutlive, 1978: 15-16). Karena itu, mengingat kawasan Baduy memiliki karakteristik berbukit-bukit terjal, disusun oleh batuan vulkanik muda, dan banyak hujan sepanjang tahun, erosi tanah merupakan masalah utama yang dapat mengurangi kesuburan tanah. Erosi tanah ter- utama ferjadi ketika musim hujan dan ketika lahan ladang (twma) dalam kondisi terbuka sebelum ditanami padi. Berdasarkan hasil pengukuran debit air dan kandungan lumpur dari S. Ciujung bagian hulu, dekat Kampung Cikeusik, Baduy Dalam, yang telah dilakukan oleh penulis pada tgl. 25-26 April 1986, menujukkan bahwa erosi tanah di kawasan Baduy sangat tinggi, Khususnya ketika turun hujan. Hal tersebut misalnya dapat diperlihatkan oleh perubahan persentase debit air dan kandungan lumpur di S. Ciujumg ketika sebelum hujan dan setelah turun hujan. Sebelum turun hujan, debit air sungai tercatat 661 liter/detik dengan kandungan lumpurya 64,88 mg/liter. Lantas ketika turun hujan, debit air sungai tersebut meningkat menjadi 3682 liter/detik (meningkat 82%) dengan kandungan lum- purya meningkat menjadi 196.81 mg/liter (meningkat 67%). Peningkatan kandungan lumpur tersebut antara lain disebabkan oleh pencucian tanah akibat air larian (run-off) dari lahan-lahan ladang dan Jahan lainnya masuk ke sungai. Hal tersebut terutama dari daerah-daerah lahan ladang terbuka, yang tidak atau Kurang ditutupi oleh vegetasi, serta tidak banyak penutupan serasah dan humus, dan daerah- nya berlereng curam. Misalnya, hal ini diperlihatkan dari pengukuran debit air S. Ciujung hari berikutnya ketika hujan sudah reda, hasilnya menujukkan bahwa kendati debit air sungai masih tinggi, 1582 liter/detik dibandingkan sebelum turun hujan (661 liter/detik), atau turun 58% dibandingkan ketika turun hujan (3682 liter/detik), kan- dungan lumpur di air sungai turun menjadi 61.10 mg/liter (turun 6 persen ketika turun hujan), karena air larian yang membawa lumpur masuk sungai telah tidak ada. Karena itu, penutupan aneka ragam tajuk jenis-enis tumbuhan yang berlapis-lapis seperti rumput-rumputan, semak belukar, pepohonan tinggi, serta adanya penutupan serasah dan kompos pada suatu tataguna lahan, seperti hutan tua atau pun hutan sekunder bekas ladang, dapat mengurangi erosi tanah dan sedimentasi_ di sungai dibandingkan lahan huma, yang sedang terbuka belum ditanami aneka ragam tanaman dan permukaan tanahnya tidak banyak ditutupi seresah dan kompos. ewan Skonstem Bey 41 Gambar 5, Rata-rata Curah Hujan Bulanan (dalam mm) dan hari Iujan (jumlak havi, tanda grafik warna hitam) di Kecamatan Leutoi Damar (Data Meteorologi dan Geofisika). Jenis Tanah di Daerah Baduy Jenis tanah di daerah Baduy didominasi oleh jenis latosol coklat. Lapisan atas permukaan tanahnya ditutupi oleh tanah lempung atau tanah liat berpasir dengan mudah fererosi. Berdasarkan pengetahuan ekologi tradisional, masyarakat Baduy dapat mengenal dengan baik jenis- jenis tanah yang ada di daerahnya dan memberikan nama- nama lokal yang didasarkan atas warma, kandungan air, kandungan batu atau bahan dasar bat induk dan kandungan humus (Tabel 1). Menurut beberapa informan penduduk Baduy Luar, kesuburan tanah di berbagai tempat di daerah Baduy beragam. Misalnya, di Baduy Luar, di beberapa daerah Kaduketug dan Kadujangkung tanahnya dianggap subur (teneuh subur). Sebaliknya di daerah-daerah az 101061 PeRLADANGAN ORAM agak ke selatan, seperti daerah antara Cicakal Hilir-Cicakal Girang tanahnya dianggap kurang subur (tanewh anggar) Demikian pula, di daerah-daerah tetangga desa Kanekes yang biasa dijadikan tempat berladang oleh orang Baduy Luar, daerah Kaduheulang, dekat Cihandam, juga dikenal sebagai daerah yang subur. Menurut orang Baduy, lahan subur biasanya memiliki karakteristik fisik’ seperti warna tanahnya hitam (Iidewng), tidak likat (hentew lengket), tidak Derbatu-batu (henteu loba batu karang), mengadung banyak humus (loba surubuk), dan di lokasi datar (daerah cepak) (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi Tanah Menurut Pendapat Orang Baduy Luar fkciteria Utama atilah Lokal] Nema inggrs] __ Karalterstik STaneah Scare visual tmpak ber wana [Fanewh Trea soit |orarnamerah, clangeep a earang subur rrancah [Kenampakan warna_Ke| anewk —Iciay Soil |putih-putihan bir, diang- a p kurang subur rTaneuk Renampalan ware WT |hideuns Back Soil tam, dianggap subur_ Fanaa ila dangap Kandungan | |raneuh ket [Sticky Soll | sersinyakurnng bal son air/Daya likat fetes : FTanahnya tidak Ukat, di Non-Stic HTaneuh bear [NOTH |anggap aerasinya baik, idan tanah itu subur Tanah banyak mengan- HKandungan [Taneuh I ranah berbatul dung bata, dangeap Hak batu/karang |karang cans FTaneuh eu (Non stony ou| Tanah tdak berbatu/ia- weuh karang| NO" PY °°" | sang, dianggap subur FTanak banyak mengar-| Raneuh sandy Soil | ung pasie, kesuburannya keusik aie euntan Sorte By Tak agin andgn onah [tk Hamma SF MIE fms [aaa oar “yak ms,” cng |Taneuh (Poor Humus| Tanah a reek [Roo Humane” yana® ae foc, aes ‘Sumber: Iskandar (1998: 57) Sementara_ itu, berdasarkan hasil analisis tanah yang telah dilakukan di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung (1996), persepsi orang Baduy mengenai tanah subur dan tanah tidak subur secara umum dapat dibenarkan, Khususnya menyangkut pH tanah, kapasitas kation tanah, saturasi basa tanah, saturasi almunium, densitas berat kering tanah, ketersediaan air dan permibilitas air pada tanah. Meskipun demikian, pandangan masyarakat Baduy Luar dibandingkan dengan analisis laboratorium mengenai komponen organik tanah (N, P, K,C dan petukaran basa (K, Na, Ca, dan Mg) hasilnya kurang konsisten. Dalam kata lain, bahwa Klasifikasi tanah yang didasarkan pada observasi karakteristik fisik di lapangan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy dianggap baik dalam memprediksi mengenai kesuburan tanah, walaupun analisis laboratorium dibutuhkan untuk menguji lebih jauh kandungan komponen-komponen kimia tanah secara saksama. Kini masyarakat Baduy secara adat tabu menggunakan pupuk kimia sintesis, sehingga faktor masa bera lahar-lahan ‘ekas ladang (reuma) sangatlah penting dalam upaya untuk mengembalikan kesuburan tanah ladang. Pasalnya, saat hutan sekunder (reuma) diberakan terjadi suksesi alami Jhutan sekunder muda menjadi hutan sekunder tua, dan terjadi jatuhan-jatuhan serasah menjadi kompos dan terurai 44 XQLOGIPERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAH HUTAN BERBASIS ADAT menjadi unsur-unsur hara dalam tanah yang dapat me- ngembalikan kesuburan tanah. Pada umumnya, pemin- dahan unsur-unsur hara dari tanah pada jenis-jenis tanaman atau vegetasi di lahan huma dapat terkait dalam 3 aspek, yaitu: unsur-unsur hara dimanfaatkan oleh jenis-jenis, tanaman, unsur-unsur hara dipindahkan dari jenis-jenis tanaman Karena pemanenan atau pengambilan biomassa, dan unsur-unsur hara dikembalikan lagi ke tanah. Di dalam aspek unsur-unsur hara dikembalikan ke tanah, dapat terjadi antara lain Karena terbentuknya serasah dan ter urainya (mineralisasi) serasah di dalam tanah. Sementara itu, unsur-unsur hara tanah dapat hilang karena terjadi erosi permukaan tanah akibat tercuci oleh aliran ketika turun hujan (Lihat Nye dan Greenland, 1960). Berbagai asupan unsur-unsur hara tanah dari vegetasi usai lahan bekas ladang (reuma) diberakan dapat terjadi sangat cepat, bergantung kepada daya kecepatan regenerasi hutan di lokasi tersebut. Misalnya, menurut Kalpage (1976) Jaju akumulasi unsur hara pada vegetasi hutan terjadi sangat cepat pada tahun-tahun pertama Jahan tersebut diberakan, yaitu pertumbuhan vegetasi saat itu terjadi dengan cepat. Oleh Karena itu, faktor lamanya lahan bekas ladang diberakan menjadi sangat penting, sehingga kesuburan tanah dapat dipertahankan Karena adanya asupan unsur-unsur hara selama masa bera reuma dan Kesuburan lahan akan turun Karena digunakan oleh jenis- jenis tanaman ketika lahan huma ditanami padi dan jenis- jenis tanaman semusim lainnya, serta disebabkan pula oleh adanya erosi permukaan tanah. Pengambilan unsur-unsur hara dan erosi tanah cukup tinggi terutama pada saat ada tanaman di hima. Hal tersebut disebabkan unsur-unsur hara tersebut dimanfaatkan oleh berbagai tanaman semusim, seperti padi, dan lahan Inuma belum ditutupi oleh vegetasi Keuken Caster sy 45 yang rimbun. Akan tetapi, erosi biasanya akan berkurang setelah panen padi, ketika permukaan tanah telah ditutupi oleh Kerimbunan vegetasi hutan sekunder (rewma) saat Jahan diberakan (bandingkan Wiersum, 1984). Tataguna Lahan di Daerah Baduy Luas total daerah Baduy pada tahun 1980-an diper- kirakan kurang lebih 510185 ha, yang berdasarkan hasil pengkajian dari citra landsat, pada tahun 1984, daerah ter- sebut dapat dibedakan menjadi: daerah permukiman 24,50 hha (048%), hutan tetap 2492,06 ha (48,85%), daerah perta- nian yang ditanami 709,04 ha (13,40%), dan daerah hutan yang sedang diberakan (rewma) 1876,25 (36,77%) (Purnomo- hhadi, 1985). Berdasarkan data tersebut, kecuali hutan tetap/ hutan lindung, daerah pertanian yang ditanami dan lahan yang sedang diberakan dapat berubah setiap saat, karena bbiasa ada penggarapan ladang setiap tahunnya. Sementara itu, menurut pengukuran Badan Pertanahan Nasional/BPN (2002), luas tanah ulayat Baduy tercatat 5.136,58 ha, terdiri atas sekitar 3.000 ha berupa kawasan hutan tutupan/ lindung dan kira-kira 2.13658 ha kawasan lahan garapan dan permukiman. Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa di kawasan Baduy masih memiliki kawasan hutan fetap atau hutan lindung yang masih cukup luas. Pada umumnya, tataguna lahan di Daerah Baduy dapat dibedakan atas 4 macam, yaitu: (1) hutan (lewweung), (2) ladang (iiuma), (3) kebun (Kebon} dan kebun campuran (kebort campuran), serta (4) pemukiman dan hutan kampung (kampung/lembur dan dukuh lembur). Hutan di daerah Baduy dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu hutan lindung dan hutan non-perlindungan. Yang dimaksud dengan hutan lindung (protected forest) atau bisa disebut oleh masyarakat Baduy dengan sebutan leuvewng kolot (hutan tua), leuweung 46 ¥OLOIPEALADANGAN ORANG BADLY: PENGELOLAA HUTAN BERBASS ADA gede (hutan besar), atau lewweung titipan (hutan titipan) adalah berupa hutan yang tidak pemnah dibuka dijadikan Jahan ladang (jwma). Selain itu, ditemukan pula beberapa petak kawasan hutan lindung yang tidak Iuas di daerah- daerah bukit, yang biasa diberi nama dungus. Secara umum, leuweung gede dapat ditemukan di daerh Baduy Dalam. Di kawasan hutan ini ditemukan dua daerah yang sangat dikeramatkan, yaitu Arca Domas di daerah Cikeusik dan Sasaka Domas di daerah Cibeo. Dua daerah Keramat ini hanya boleh dikunjungi setahun sekali, ketika Puun Cikeusik dan Puun Cibeo ditemani oleh rombongan yang terdiri Orang Baduy Dalam dan Baduy Luar yang telah mendapat izin Puun, pergi ziarah ke tempat sakral tersebut. Ziarah ini biasanya dilakukan pada Bulan Kalima (Mei-Juni) kalender masyarakat Baduy. Sedangkan, kawasan hutan tua di Baduy Luar masih dominan hanya ditemukan di puncak- puncak gunung, seperti Gunung Kaduketug, Gunung Sorokokod, Gunung Cikadu dan Gunung Jatake. Sementara itu, lahan hutan yang biasa digunakan untuk berladang (ngahuma) adalah hutan non-konservasi/non- perlindungan. Lahar-lahan hutan tersebut umumnya hutan sekunder tua bekas ladang (reuma kolot) yang telah diberakan cukup lama. Jika suatu kawasan hutan tua telah dibuka dijadikan ladang, istilah lewweung biasanya ditinggalkan dan diganti. dengan istilah reuma. Pada beberapa kasus, sebelum ladang diberakan biasa pula lahan tersebut ditanami ubi jalar atau singkong dan lahan tersebut biasa dinamakan kebun (kebor). Pada beberapa lahan bekas ladang, juga biasa ditanami campuran jenis-jenis tanaman keras buah-buahan dan tanaman semusim, lahan tersebut dinamakan kebun (kebon) campuran, Lantas, jika di lahan reuma didirikan rumah menjadi daerah pemukiman, lahan tersebut dapat berubah menjadi kawasan kampung baru euritan este ay a7 (babakan), dan selanjutnya babakan tersebut dapat berkem- bang dengan bertambahnya rumah-rumah baru, menjadi Kampung besar (lembur). Pada umumnya, di daerah-daerah sekitar Kampung tersebut biasanya dikelilingi oleh hutan antropogenik, hutan kampung yang rimbun dan dilindungi tidak pernah dibuka, yang diberi nama lindung lembur atau dukuh lembur. Pada umumnya, pengelolaan tata-ruang dalam suatu kawasan gunung atau bukit di Baduy biasa dibagi dalam 3 zonasi. Zona pertama, bagian lembah dekat sungai atau sumber air tanah biasa ditempatkan rumah-rumah/ Kampung dan hutan kampung (dukuh lembur). Zona dua, bagian atas permukiman biasa khusus digunakan untuk penggarapan ladang (fuma). Karena itu, pada zona ini terdapat lahan itema dan lahan bekas huma (reuma) dengan berbagai umur masa bera saling tumpang tindih. Semenfara itu, zona tiga, bagian puncak-puncak bukit atau gunung biasanya terdapat hutan tua (lewweung kolot), yang dicadang- kan tidak diperkenankan dibuka dijadikan ladang. Flora dan Fauna Pada berbagai macam tataguna lahan Baduy, yaitu lembur dan dukuh lembur, huma, reuma, dan leuaveung’kolot biasanya ditumbuhi aneka ragam flora dan fauna. Pada umumnya, tipe tataguna lahan tersebut dapat dikategorikan sebagai agroforestri tradisional (traditional agroforestry). Pasalnya, berbagai tataguna lahan tersebut, ditumbuhi oleh jenis-jenis campuran tanaman budidaya semusim dan tanaman keras kayu-kayuan liar atau setengah liar. Akibatnya, berbagai tataguna lahan tersebut memiliki fungsi ekologi, seperti fungsi hutan alami, tetapi, juga pada lahan- Jahan tersebut memberikan keuntungan sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat (bandingkan Soemarwoto, 1983). 48 X06 PERLADANGAN ORANG BADUY: PENGELOLAAN MUTA BERBASS ADAT Lembur dan Dukuh Lembur Kawasan Baduy, berbeda dengan kawasan pedesaan Tatar Sunda dan Banten lainnya. Pada umumnya, lahan- Jahan pekarangan di kawasan Baduy dibiarkan terbuka tanpa ditanami jenis-jenis tanaman. Namun, sebaliknya lahan di sekeliling kampung yang biasa dinamakan dukuh lembur, rimbun ditanami jenis-jenis tumbuhan kayu-kayuan dan buah-buahan. Karena itu, struktur vegetasi dukuh lembur kelihatannya sangat rimbun seperti hutan alami, dominan ditumbuhi oleh aneka ragam pepohonan (Gambar 6). Jenis-jenis pepohonan tersebut terdiri atas campuran jenis- jenis tumbuhan masih liar, setengah liar, dan telah dibudidayakan. Pada Jahan dukuh lembur yang timbun tersebut, biasanya ditempatkan lumbung-lumbung padi (leuit), sehingga lumbung-lumbung padi tersebut nyaman berada di bawah naungan kerimbunan vegetasi dukuh lembur. Selain itu, pada daerah-daerah kampung yang letaknya dekat sungai dan mata air, pada umumnya daerah-daerah pinggiran sungai dan mata air tersebut juga rimbun ditumbuhi vegetasi. Berdasarkan hasil pencatatan flora di dukuh lembur Baduy Luar, telah tercatat 79 jenis tumbuhan di dukuh lembur. Di antara jenis-jenis tumbuhan tersebut, beberapa jenis tumbuhan dominan di dukuh lembur, antara lain aren/kawung (Arenga pinnata), kelapa (Cocos nucifera), durian/kadu (Durio ziberhinus), andul (Elaeocarpus obtusus), awi gombong (Gigantochloa verticilata), cariang (Homolaena odorata), pisitan (Lansium domesticum), kiray (Metroxylon sagu), rambutan (Nephelium lappaceum), dan keci beling (Sericocalyx crispus). 49 Gamibar 6. Struktur Vegetasi Leuweung Lembur di Kaduketug, Baduy Luar. Mengingat adanya keanekaragaman jenis tumbuhan dan kerimbunan vegetasi yang menyusun dukuh lembur, sistem agroforestri tradisional tersebut memiliki fungsi konservasi dan sosial ekonomi budaya yang sangat penting bagi masyarakat Baduy. Fungsi konservasi di antaranya, yaitu: (Q)_ konservasi jenis-jenis dan varietas tumbuhan; (2) sebagai habitat satwa liar, seperti habitat jenis-jenis serangga, burung dan mamalia kecil; (3) konservasi tanah dan mengatur sistem hidrologi air; (4) iklim mikro, memberi “keteduhan dan kesejukan lingkungan permukiman; dan (8) sebagai rosot karbon dengan menyerap gas rumah kaca, seperti COs, sehingga dapat mengurangi pencemaran dan pemanasan global. 50. 0106 PERLADANGAM ORANG BADLY: PENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADA Sementara itu, fungsi sosial ekonomi budaya, yaitu dari aneka ragam tumbuhan di dukuh lembur dapat dipungut macam-macam hasil, seperti bahan-bahan kerajinan ru- mah tangga, bahan-bahan upacara adat, bahan obat-obatan tradisional, buah-buahan, hasil industri rumah tangga, seperti gula aren dari hasil sadapan karangan bunga pohon aren. Berbagai hasil térsebut dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga, dan sebagian hasilnya, seperti durian, petai, dan gula aren bisa dijual, untuk mendapat- kan uang tunai untuk membeli berbagai keperluan dalam rumah tangga. Huma dan Reuma Lahan ladang (hima) pada umumnya merupakan lahan hutan sekunder tua yang dibuka ditanami padi gogo. Sedangkan, reuma adalah lahan hutan sekunder bekas ladang yang sedang diberakan (diistirahatkan) dengan mengalami suksesi alami membentuk hutan sekunder tua. ign, ar ‘ain ds Rap i SP Renate Gambar 7. Struktur Vegetasi Huma di Baduy Dalam dan Baduy Luar _Keunikan Ekosistem Baduy_ 51 Lokasi huma dan reuma biasanya di bukit-bukit di luar permukiman. Pada lahan huma selain ditanami padi gogo, biasanya ditanami pula aneka ragam tanaman non-padi (Gambar 7). Berdasarkan hasil pencatatan jenis-jenis tanaman atau flora di huma Baduy Luar dan Baduy Dalam, tercatat 79 jenis tanaman huma. Misalnya, beberapa jenis tanaman dominan di huma yaitu padi (Oryza sativa), kacang hiris (Cajanus cajan, pisang/cau (Musa paradisiaca), singkong (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomea batatas), jagung (Zea mays), gadung (Dioscorea hispida), ubi manis (Dioscorea alata), talas (Colocasia esculenta), lengkuas/laja (Languas galanga), turubus/tiwu endog (Saccharum edule), mentimun/bonteng (Cucumis sativus), kunyit (Panicum viride), cabe rawit (Capsicum frutescens), dan hanjeli (Coix lacrima-jobi) (Iskandar dan Ellen, 1999). Selain kaya tentang keanekaan jenis tanaman, pada setiap jenis tanaman ladang tersebut juga memiliki aneka ragam varietas (landraces). Misalnya, hasil survei tentang padi lokal di kawasan Baduy, telah tercatat sekurangnya ada 89 varietas padi lokal di Baduy Luar dan Baduy Dalam. Macam-macam varietas padi lokal tersebut oleh penduduk Baduy dapat dibedakan berdasarkan bentuk morfologi, ware beras, sifat kuliner, dan sifat ekologi tanaman padi. Berdasarkan sifat morfologi biji padi, dikenal berbagai varietas padi’ lokal, seperti berbulu dan tidak berbulu, macam-macam bulu padi gabah, dan ukuran biji gabah. Berdasarkan wara beras, dikenal ancka ragam varietas padi okal dengan beras warna putih, merah dan hitam. Sifat kuliner nasi ladang, dikenal oleh Orang Baduy seperti nasi kketan, dengan karakteristik liket dan rasa nasinya gurih dan harurr. Sedangkan, berbagai varietas padi lainnya non- 52. X0106|PERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN NUTAN BERBASS ADAT Ketan, memiliki sifat kuliner secara umum rasa nasinya Kurang lezat dan tidak terlalu liket dibandingkan dengan nasi Ketan. Sementara itu, berdasarkan sifat ekologi tanaman padi ladang, dikenal berbagai vatietas padi berumur masa panen singkat (hawara), umur kurang dati 6 bulan, dan varietas padi dengan umur masa panen normal, panen padi kurang lebih 6 bulan. Mengingat adanya berbagai varietas padi lokal di Baduy, tiap keluarga Baduy Luar dan Baduy Dalam pada setiap tahunnya dapat membuat pilihan yang lebih leluasa untuk menanam aneka ragam varietas padi lokal yang dikehendakinya, sesuai dengan kondisi ekologi lokal Jahan’ ladang, seperti ketinggian tempat, jenis dan Kesuburan tanah, kandungan air tanah dan Jain-lain. Selain itu, kehadiran aneka ragam jenis tanaman semusim dan tanaman kaya buah-buahan dan Jainnya di lahan huma, juga menjadi habitat yang baik bagi jenis-jenis satwa liar, seperti jenis-jenis burung. Hasil pencatatan jenis ‘burung secara semi kuantitatif dengan menggunakan suatu indeks, dengan metode IPA (Point index of Abundance) di hua Baduy Dalam dan Baduy Luar. Hasilnya telah tercatat 48 jenis burung di fina Baduy Luar dan Baduy Dalam. Beberapa jenis burung yang dominan di huma Baduy di antaranya, tikukur (Streptopelia chinensis), burung layang- layang/stiti (Collocalia linchi), kuricang (Pycronotus atriceps), jog-jog (Pycnonatus goiavier), dan pacikrak (Prinia familiaris). Pada lahan reuma, kendati lahan tersebut berupa Jahan hutan sekunder yang sedang diberakan, tetapi banyak pula ditemukan jenis-jenis tanaman budidaya dan tumbuhan liar yang tumbuh bercampur baur sangat rimbun (Gambar 8) Yaitu campuran dari tanaman buah-buhan dan kayu- Kayuan, sisa-sisa perladangan dan jenis-jenis tumbuhan Kevan hoi Seay 53 semak belukar hutan sekunder yang sedang mengalami suksesi alami, Berdasarkan hasil pencatatan flora, di daerah reumua Baduy Dalam dan Baduy Luar, telah tercatat 93 jenis tumbuhan reuma. Beberapa jenis tumbuhan dominan di reuma, diantaranya jeungjing (Albizia chinensis), aren/ kawung (Arenga pimata), sempur (Dillenea aurea), beunying (Ficus brevicuspis), seuhang (Ficus grassularoides), hamerang (Ficus fuloa), babakoan/ki tambaga (Flemingia lineata), mara (Macaranga tanarius), harendong (Melastoma malabatricum), kiseurewh (Piper eduncum), glagah/kaso (Saccharum spon- taneurt), dan jengkol (Pithecelobium jeringa). Mengingat deerah reuma rimbun banyak ditumbuhi jenis-enis tumbuhan, pada daerah reuna juga ditemukan aneka ragam burung. Hasil pencatatan dengan metode IPA, di daerah reuma Baduy Dalam dan Baduy Luar telah dapat dicatat 74 jenis burung. Beberapa jenis burung dominan di reuma, antara lain kuricang (Pycnonutus atriceps), kutilang (Pycnonotus aurigaster), jogjog (Pycnonotus goiavier), pacikrak (Prinia familiaris), burung cabe-cabe gunung (Dicaeum trigonstigma), dan striti (Collocalia linchi), Pada umumnya, berdasarkan fungsinya, sistem huma memiliki fungsi penting bagi konservasi alam dan sosial ekonomi budaya. Fungsi penting sistem fuma dalam Konservasi alam, antara lain sebagai konservasi aneka ragam jenis dan varietas tanaman /uma. Mengingat pada sistem hum tersebut bisa ditanami aneka ragam jenis dan varie- tas tanaman, yang bersifat setengah liar atau pun telah dibudidayakan, berbagai jenis tanaman huma, seperti padi gogo, singkong, ubi jalar, pisang, rambutan dan lain-lain dikenal pula memiliki aneka ragam varietas. Pada umum- nya, berbagai varietas tanaman tersebut sangat penting untuk kepentingan pemulian tanaman. 54 K0L06IPERLADANGAN ORANG BADUY:PENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADAT Misalnya, dari berbagai varietas tanaman tersebut mungkin produksinya rendah, tetapi tahan terhadap hama, tahan kekeringan, dan tahan tumbuh di lahan kurang subur. Untuk pembangunan pertanian, berbagai varietas tanaman tersebut menjadi sumberdaya plasma nutfah yang dapat disilangkan dengan berbagai varietas produksi unggul. Karena itu, diharapkan hasil penyilangannya dapat dihasil- kan berbagai varietas tanaman yang memiliki produksi tinggi dan tahan dengan berbagai lingkungan yang kurang baik, seperti lahan kering, kurang subur, dan tahan terhadap anomiali iklim akibat pemanasan global. Sementara itu, sistem huma memiliki fungsi sosial ekonomi budaya penting bagi masyarakat Baduy, me- ngingat dari sistem huma tersebut dapat dipungut aneka ragam produksi, seperti: (a) bahan pangan pokok dan tambahan bahan pangan pokok; (b) bahan lalab/sayur; (©) bahan bumbu masak; (a) bahan obat-obatan tradisional; (e) bahan upacara adat; (© bahan bangunan dan kayu bakar; dan (g) bahan industri dan kerajinan rumah tangga. Tidak hanya itu, secara budaya kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy dianggap sebagai kewajiban dalam agama mereka, Agama Sunda Wivvitan, Sama halnya dengan sistem dukuh lembur dan huma, sistem reuma secara umum juga mempunyai fungsi penting untuk konservasi alam dan sosial ekonomi. Fungsi konservasi alam, di antara yaitu: (1) fungsi konservasi keanekaan jenis dan varietas tumbuhan; euntan Ester dey 35 (2) sebagai habitat aneka ragam fauna; (3) fungsi perlindungan tanah dan hidrologi; dan (4) fungsi rosot Karbon dan penyerap gas pencemar penyebab rumah kaca, seperti CO2. Sementara itu, fungsi sosial ekonomi revma, yaitu dari sistem reuma dapat dipungut aneka ragam hasil buah- buahan (durian, pisitan, rambutan) dan lalab/sayur (seperti petai, jengkol) untuk memenuhi kebutuhan sendiri dalam keluarga. Bahkan, hasil surplusnya dapat dijual untuk mengahasilkan uang tunai untuk membeli berbabagai kebutuhan keluarga. Gambar 8. Struktur Vegetasi di Reuma'Daerah Baduy Dalam dan Baduy Luar 36 XOL06IPERLADANGAN ORANG AADUY:PENGELOLAAN HUTAN BERBASS AOMT Hutari Tua/Leuweung Titipan Kawasan hutan yang tidak diperuntukkan bagi ladang (imma), biasa dinamakan oleh masyarakat Baduy sebagai leuweung kolot (hutan tua), lewweung titipan (hutan titipan) atau lenweung gede (hutan besar/luas). Struktur vegetasi yang menyusun hutan tua biasanya lebih kompleks dibandingkan dengan hutan sekunder bekas ladang yang sedang diberakan (reuma) (Gambar 9) Beberapa hutan tua yang masih cukup luas, antara lain masih ditemukan di kawasan Baduy Dalam, khususnya di Cibeo dan Cikeusik. Lokasi hutan tersebut berada di bagian luar dari hutan sakral Sasake Domas dan Arca Domas. Di Kawasan hutan tersebut ditumbuhi oleh aneka ragam tumbuhan khas hutan, termasuk juga berbagai jenis buah-buahan liar atau setengah liar, seperti asam Keraji (Dilium indicum), pisitan (Lansium domesticum), durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), limus (Mangifera foetida), binglu (Mangifera caesia) dan lain-lain. Berdasarkan hasil pencatatan flora di daerah hutan tua Cibeo telah dapat dicatat 165 jenis tumbuhan. Di antara jenis-jenis tumbuhan tersebut, beberapa tumbuhan dominan di hutan antara lain lolot, kaneungay, kikadu, kibuluh, haraghag, jirak (Symplocus fasciculata), hantap (Sterculia sp), puspa (Schima wallichi), kileho, bubuay, putat (Planchonia valida), trumbueusi (Phyllantus niruri), kimolka (Myristica litoralis) dan paku kapal (Arcypteris irregularis). Sementara itu, mengingat hutan tua di Kampung Cibeo sangat rimbun dengan vegetasi, di hutan tua tersebut juga telah dihuni aneka ragam fauna hutan. Hasil pencatatan fauna di hutan Cibeo, telah tercatat 62 jenis burung dan 14 jenis mamalia. Di antara jenis-jenis binatang tersebut, banyak di antaranya yang termasuk kategori dilindungi a7 undang-undang di Indonesia. Misalnya, jenis-jenis bu- rung dilindungi undang-undang, antara lain elang hitam ([ctinaetus malayens's), elang ruyuk (Spilornis cheela), manuk hhurang (Halcyon cyanoventris), cekahkeh (Halcyon chloris), tulung tumpuk (Vegalema javensis), manuk paok (Pitta ‘guajana), manuk sapu (Rhipidure javanica), manuk madu (Arachnothera braziliensis), manuk madu beureum (Aetopyga ‘mystacalis), dan Klaces (Arachnothera longirostra). Sedangkan jenis-jenis mamalia yang dilindungi undang-undang di Indonesia yang ditemukan di hutan tua Cibeo, tercatat antara lain surili (Presbytis aygularis), oa/kueung (Hylo- bates molock), landak (Hystrix javanica), sigung (Mydaus javanensis), kancil/peucang (Tragulus javanicus), mencek (Muntiacus muntjak), dan trenggiling/peusing (Manis javanica), Gambar 9, Vegetasi Huian Tua (Leuwweung Kolot) di Cibeo, Baduy Dalam 58 KOLOGIPERLADANGAM ORANG BADLY: PENGELOLAAN HUTAN BERBASS ADAT Pada umumnya, masyarakat Baduy memanfaatkan hutan tua, untuk mencari berbagai bahan kerajinan tangan, buah-buahan, mencari madu, jamur, dan lain-lain. Oleh Karena itu, secara umum fungsi hutan tua di kawasan hutan Baduy memiliki fungsi penting ekologi dan sosial ekonomi serta budaya. Fungsi ekologi hutan antara lain: (1) konservasi keanekaan jenis/varietas tumbuhan; (2) habitat satwa liar; (8) fungsi konservasi tanah dan hidrologi sungai; (4) fungsi iklim mikro; dan (5) rosot karbon dan menyerap gas pencemar, seperti CO penyebab efek rumah kaca dan pemanasan global rumah. Sementara itu, fungsi sosial ekonomi budaya hutan tua, untuk pengambilan aneka ragam hasil ikutan hutan (non- timber forest products). Tidak hanya itu, hutan tua seperti Saka Domas di Cibeo dan Pada Ageung atau Sasaka Pusaka Buana di Cikeusik, dianggap sakral, memiliki fangsi untuk ziarah masyarakat Baduy. Ringkasan Pada bab ini, dibahas tentang berbagai karakteristik biofisik kawasan Baduy, seperti kondisi topografi, sungai dan anak-anak sungai, kampung-kampung, curah hujan, kondisi tanah, dan tataguna lahan. Berdasarkan sejarah kawasan’Baduy, di Desa Kanekes telah dikelola oleh masyarakat Baduy secara mandiri berabad-abad lamanya. Pada tahun 2001 Desa Kanekes telah dikukuhkan menjadi hak ulayat melului PERDA Kabupaten Lebak dan selanjutnya diperkuat dengan SK Bupati Lebak 2002. Berdasakan pengukuran BPN, luas tanah ulayat masyarakat Baduy tercatat sekitar 5.136,58 ha. eunkan Sesto adr 59 Lingkungan alam atau ekosistem Baduy mempunyai berbagai keunikan menarik. Daerahnya bergunung-gunung, dengan topografi bervarisi dari yang agak curam hingga sangat curam. Jenis tanah dan kondisi kesuburan tanahnya bervariasi, serta erosi tanah cukup tinggi karena curah hujan cukup tinggi dan kondisi tanah merupakan vulkanik muda hhasil letusan gunung api. Namun, penduduk Baduy dengan pengetahuan ekologi tradisionalnya, mereka membagi kawasan hutan menjadi dua tipe, yaitu hutan lindung (hutan Konservasi) dan hutan non-konservasi untuk berladang. Bagi kawasan hutan non-konservasi_biasa digarap masyarakat Baduy untuk uma. Penduduk Baduy dalam mengelola hum berlandaskan adat dan pengetahuan ekologi lokal, penuh dengan kehati-hatian dan menghin- dari kerusakan lingkungan. Sementara itu, kawasan hutan lindung atau hutan konservasi merupakan kawasan hutan yang dicadangkan tidak diperuntukkan bagi huma. Karena itu, di kawasan Baduy masih ditemukan kawasan hutan tua yang masih cukup luas, terutama di kawasan Baduy Dalam, seperti di kawasan Kampung Cikeusik dan Kampung Cibeo. Berdasarkan aturan adat (pikukuh) Baduy, kawasan hutan Baduy dikelola menjadi beberapa zona yang terdiri atas aneka ragam tata guna lahan. Pada zona pertama, daerah-daerah lembah. pinggiran sungai atau dekat dengan sumber-sumber air, biasanya didirikan Kampung baru (babakan) dan berkembang menjadi kampung besar (lembur) dengan rumah-rumah dan hutan kampung (dukuh lembur). Pada umumnya, pekarangan Baduy dibiarkan terbuka tidak ditanami jenis-jenis tanaman, tetapi lahan di pinggiran Kampung biasanya ditumbuhi aneka ragam tanaman buah- buahan dan kayu-kayuan, yang tumbuh liar, setengah liar atau bahkan masih liar. Karena itu, hutan kampung (dukuh lembur) struktur vegetasinya sangat rimbun menyerupai 60. XOL0Gi PERLADANGAN ORANG BADUY:PEUGELOLAAN HUTA BERBASS ADAT struktur vegetasi hutan alami. Di kawasan dukuh lembur tersebut di bawah pepohonan rindang biasa ditempatkan lumbung padi tradisional (Iewit) Menurut pikukuh Baduy, dukuh lembur tidak boleh dirusak, ditebangi dijadikan lua, karena dianggap sebagai perlindungan kampung dan sekaligus menghasilkan aneke ragam buah-buahan untuk kepentingan sosial ekonomi penduduk. Di pinggiran-pinggiran kampung di bawah pepohonan rindang kayu-kayu besar dan rumpun-rumpun_ bambu, umumnya ditemukan mata air keluar dari tanah (cai nyusu). Pada beberapa tempat mata air tersebut biasanya dibuat pancuran air yang dimanfaatkan untuk tempat mandi dan mencuci, serta mengambil air minum. Di samping itu, sungai besar, $. Ciujung lazim dimanfaatkan untuk mencuci, mandi dan buang air besar. Tidak hanya itu, S. Ciujung juga biasa dimanfaatkan untuk mengambil ikan, dengan dipancing, dijala, dipasang perangkap ikan dari bambu/bubu dan ditangkap dengan menyelam. Pada zona dua, di bagian luar permukiman dan dukuh lembur, biasanya di atas lembah-lembah bukit diperuntukan perladangan (hums). Karena itu, pada bagian bukit-bukit tersebut terdapat daerah huma dan derah hutan sekunder bekas ladang (reuma) dengan berbagai umur masa bera secara mozaik tumpang tindih. Sementara itu, pada zona tiga, daerah-daerah puncak bukit, biasanya terdapat hutan tua yang tidak pernah dijadikan huma, Berbagai kawasan hutan tersebut biasa disebut hutan titipan (lenweung titipan) atau hutan tua (leuweung kolot) Beberapa kawasan hutan tua yang masih cukup luas ditemukan di kawasan Baduy Dalam. Pada kawasan hutan tua tersebut, terdapat dua kawasan hutan yang dianggap sakaral atau keramat serta sangat dilindungi oleh segenap eunian Eon ay 61 warga Baduy. Hutan itu hanya digunakan untuk ziarah tahunan piminan adat Baduy. Yaitu, kawasan hutan Sasaka Pusaka Buana atau Pada Ageung di kawasan hulu S. Ciujung, bagian selatan kampung Cikeusik; dan hutan Sakadomas di kawasan hulu sungai Ciparahiang, anak sungai Ciujung, bagian selatan Cibeo, Baduy Dalam. Keberadaan aneka ragam tumbuhan serta vegetasi pada macam-macam sistem agroforestri tradisional, seperti leuweung lembur, huma, dan reuma di kawasan Baduy telah memiliki fungsi penting bagi Konservasi alam dan sosial ekonomi budaya. Fungsi Konservasi alam, antara lain penting bagi konservasi aneka ragam jenis dan varietas tumbuhan, habitat aneka ragam fauna dan fungsi sosial ekonomi penduduk, dan fungsi perlindungan tanah dan mengatur sistem hidrologi. Sedangkan, fungsi sosial eko- nomi budaya penduduk, seperti dengan adanya aneka ragam tumbuhan pada macam-macam tataguna lahan tersebut menghasilkan aneka ragam produksi, seperti bahan pangan, buah-buahan, sayuran, bahan obat-obatan tradisio- nal, bahan upacara adat, kerajinan tangan dan lain-lain. Sementara itu, keberadaan sungai Ciujung dan berbagai mata air, serta anak-anak sungai (37 anak sungai), telah ‘menjadi sumber air bukan saja bagi masyarakat Baduy, tetapi juga bagi masyarakat non-Baduy di bagian hilir S. Ciujung, seperti kota Rangkasbitung dan daerah utara Serang hingga pantai Teluk Pontang, pantai utara Laut Jawa. 2 £01061 PERLADANGAN ORANG BADUT. PENGELOLAAN MUTAN Foto 9, Hutan tua (lexweung kolof) Foto 10, Hutan sekunder tua (rewma i Kawasan Cibeo, Baduy Dalam. _Kolot) bekas laban ladang yang telah diberakan lebih dari 3 tahun Foto. Hutan sekunder muda Foto 12. Lahan Jami lahan bekas (reuma ngora) bekas Iahan ladang _ladang yang baru diberakan yang telah diberakan 2-3 tahun, tahun. Foto 13. Lembur dan dukuh lembur Foto 14. Huma, lahan ladang, (daerah Kampung dengan hutan —_ ditanami padi dan aneka ragam Kampung) di Baduy Luar. tanaman non padi, 63 Bab IV Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Orang Baduy daerah, yaitu daerah Baduy Dalam (Daerah Tangtu), daerah Baduy Luar (Pananping), dan Daerah Dangka. Daerah Baduy Dalam dianggap daerah yang lebih sakeal (tanah larangan) dibandingkan dengan daerah luarnya dan ditempati oleh penduduk yang lebih kokoh dalam mem- pertahankan adat leluhur mereka yang disebut Urang Tangtu atau Urang Dalewm. Sementara itu, Daerah Baduy Luar dianggap kurang sakral dan di tempat penduduk Baduy Luar (Urang Panamping) yang adatnya agak longgar dibandingkan dengan Urang Tangtu. Pada umumnya, Orang Tangtu yang melanggar adat biasa dikeluarkan dari Baduy Dalam dan ditempatkan di Daerah Dangka. Akan tetapi, setelah 40 hari, orang yang melanggar adat tersebut dapat Kembali lagi ke daerah Baduy Dalam, setelah diterima oleh pimpinan adat Baduy (pun) melalui suatu upacara khusus. Namun, pada banyak kasus, orang Baduy Dalam yang melanggar adat tersebut tidak kembali lagi ke daerahnya dan terus menetap selamanya bermukim di derah Baduy Luar. Se adat kawasan Baduy dapat dibedakan atas 3 Pada bab ini dinarasikan tentang beberapa aspek sistem sosial ekonomi dan budaya masyarakat Baduy, seperti asal usul nama Baduy, asal usul Orang Baduy, agama dan Kepercayaan Orang Baduy, pola kepemimpinan Orang Baduy, perkembangan penduduk Baduy, pola permukiman Orang Baduy, dan mata pencaharian Orang Baduy.

Anda mungkin juga menyukai