Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KEDUDUKAN HADITS DALAM HUKUM ISLAM

Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadits

Dosen Pengampu:

Dr. H. Kholilur Rohman, M.Pd.I

Oleh:
Elok Riska Wardani (2022390101583)

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM IBRAHIMY GENTENG
BANYUWANGI
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulilahirobbil’alamin. Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa,


sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
saw. yang telah menjadikan kita sebagai umat yang baik. Dengan mengucapkan
puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah Swt. yang melimpahkan rahmat, taufiq
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam“.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dan banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
kami harapkan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan.
Akhir dari kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada
bapak Dr. H. Kholilur Rohman, M.Pd.I selaku dosen pembimbing yang turut
membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini, serta kepada teman-teman yang
memberi motivasi dalam penyusunan makalah. Penulis juga mengharapkan saran
dan kritik demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Dan semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan dan bermanfaat bagi semua
pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Genteng, 29 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................ii


Daftar Isi ..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusah Masalah ...............................................................................2
C. Tujuan .................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi al-Quran ................................................................................3
B. Definisi Hadis ...................................................................................... 4
C. Kedudukan Hadits dalam hukum Islam ..............................................5
D. Kedudukan Hadits terhadap al-Quran beserta fungsinya .................... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... ix
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... x

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan Hadits. Hadits adalah segala hal
yang berasal dari nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan dan
ketetapan. Kita termasuk penulis seringkali kurang memahami bahwa persoalan
kehidupan sehari-hari tidak bisa hanya berpedomankan kepada Al Qur'an saja,
karena banyak firman Allah yang tidak bisa langsung ditelan mentah-mentah
begitu saja, tetapi masih memerlukan penafsiran dimana yang mau tidak mau
memerlukan hadis atau sunnah untuk menafsirkannya atau menjelaskanya. Sebab
ayat-ayat al-Qur’an dalam hal itu hanya berbicara secara global dan umum, yang
menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.

Hadits merupakan pedoman hidup kaum muslimin yang kedua setelah al-
Quran. Bagi mereka yang telah beriman kepada al-Qur’an sebagai sumber hukum,
maka secara otomatis harus percaya bahwa hadits sebagai sumber hukum Islam
juga. Apabila hadis tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin
akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal cara shalat, kadar dan ketentuan
zakat, cara haji dan lain sebagainya, itu kenapa kedudukan hadis dalam hukum
Islam sakral. Sebagaimana contoh perintah untuk sholat dalam QS Al Baqarah: 43

َّ ‫َواَقِ ۡي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰات ُوا‬


ّٰ ‫الز ٰكوةَ َو ۡار َكعُ ۡوا َم َع‬
٤٣ َ‫الر ِك ِع ۡين‬

Artinya: "Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-


orang yang rukuk".

Dalam ayat ini Allah memerintahkan bahwa manusia yang beriman wajib
untuk menunaikan shalat tetapi allah tidak menjelaskan bagaimana tata cara
sholat. Maka di sinilah peran Hadis, Hadis memiliki banyak fungsi salah satunya
bayan tafsiri yaitu memberikan tafsiran dan rincian terhadap hal-hal yang sudah
dibicarakan oleh Al-Qur'an.

1
Maka hadis yang menjelaskan tentang ayat tersebut adalah hadis riwayat
Bukhari tentang tata cara salat yang berbunyi,

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِى أ‬


‫ص ِ ِّلى‬ َ

Artinya: "Salatlah kamu sekalian sebagaimana engkau sekalian melihat aku


salat".

Pada masa Nabi, Umat Islam tidak mendapat kendala dalam memahami al-
Quran maupun Hadis. Tetapi setelah Nabi wafat, timbul permasalahan berkaitan
pemahaman terhadap al-Quran maupun Hadits. Begitu halnya keterangan-
keterangan dari Rasululah saw, yang selalu di imbangi oleh wahyu ilahi, baik
dalam ucapan maupun tindakannya. Hanya saja, disebabkan ucapan-ucapan
Rasulullah tersebut tidak di catat secara teliti di masa hidupnya seperti yang telah
dilakukan terhadap ayat-ayat al-Quran, maka timbulah beberapa persoalan
disekitar hadits-hadits beliau, baik yang bersangkutan dengan aqidah (ihwal
keimanan) atau Syariah (hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhannya atau dengan sesamanya).

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana definisi al-Quran?


2. Bagaimana definisi Hadis?
3. Bagaimana kedudukan Hadis dalam hukum Islam?
4. Bagaimana kedudukan Hadis terhadap al-Quran beserta fungsinya?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi al-Qur’an


2. Untuk mengetahui definisi Hadis
3. Untuk mengetahui kedudukan Hadis dalam hukum Islam
4. Untuk mengetahui kedudukan Hadis terhadap al-Qur’an beserta fungsinya

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi al-Qur’an

Al-Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan –


qur’anan, yakni sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah
merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan
sampai kepada kita secara mutawatir serta membacanya berfungsi sebagai ibadah
(Al-Qattan:14). Selain sebagai firman Allah kepada Nabi saw. Al-Qur’an juga
sebagai mukjizat daripada Nabi saw. Mukjizat sendiri berarti sesuatu yang
melemahkan atau perkara yang keluar dari kebiasaan (amru khariju lil’adah).

Turunnya al-Qur’an tidaklah sekali dalam bentuk mushaf yang terdapat pada
saat ini, melainkan al-Qur’an turun secara periodik atau bertahap. Tujuan dari
turunnya yang bertahap ini dimaksud agar memperbaiki umat manusia,
diantaranya sebagai penjelas, kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap
musyrikin, teguran dan juga ancaman.

Akan tetapi ada perbedaan pendapat dikalangan ulama’ berkenaan dengan


proses turunnya al-Qur’an, ada pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an turun
pada malam hari (lailatu al-qadar), ada pula pendapat yang mengatakan bahwa
turunnya al-Qur’an melalui tiga proses tahapan. Tahap pertama diturunkan di
Lauh al-Mahfudz, kemudian diturunkan ke langit pertama di Bait al-Izzah, dan
terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur dan sesuai
kebutuhan serta peristiwa yang sedang terjadi atau dihadapi oleh Nabi saw. (Al-
Zarqani, 2001: 41- 45)

Meskipun terdapat perbedaan mengenai proses turunnya al-Qur’an, amun pada


intinya al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Tujuan dari proses tersebut
diantaranya memenuhi kebutuhan nabi dan kaum muslimin, bentuk keperluan
yang dibutuhkan nabi akan proses turunnya al-Qur’an secara beransur-ansur

3
diantaranya untuk meneguhkan hati nabi karena setiap proses turun ayat disertai
dengan suatu peristiwa tertentu, dan agar mudah untuk dihafal. (Drajat, 2017: 35)

B. Definisi Hadis

Secara etimologi Hadis berasal dari kata (‫( حيدث – حدث‬artinya al-jadid “sesuatu
yang baru” atau khabar “kabar” (Al-Ghouri, 2007: 10). Maksudnya jadid adalah
lawan dari al-qadim (lama), seakan-akan dimaksudkan untuk membedakan al-
Qur’an yang bersifat qadim (Al-Azami, 2012: 1). Sedangkan khabar maksudnya
berita, atau ungkapan, pemberitahuan yang diungkapkan oleh perawi hadis dan
sanadnya bersambung selalu menggunakan kalimat haddatsana (memberitakan
kepada kami). (Majid Khon, 2015: 2)

Secara terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli
hadis, namun makna yang dimaksud adalah sama. Al-Ghouri memberi definisi
sebagai berikut;

‫ما أضيف إلى النبي ﷺ من قول أو فعل أو تقرير‬

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan,
taqrir” (Al-Ghouri: 10). Maksud dari fi’il (perbuatan) ialah perilaku nabi yang
bersifat praktis, dan taqrir (keputusan) sesuatu yang tidak dilakukan nabi tetapi
nabi tidak menginkarinya. Selain pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering
disamakan dengan istilah Sunnah, khabar, dan atsar, sebagaimana berikut;

a) Sunnah, yang berarti jalan yang terpuji. Sunnah ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh Rasulullah saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat
fisik, atau akhlaq, serta perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi
Rasul (seperti mengasingkan diri yang beliau lakukan di Gua Hira’) atau
setelah kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama’ Fiqh”, Sunnah
merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan fardlu dan
tidak wajib (Ash-Shiba’i: 65).
b) Khabar. Secara bahasa Khabar artinya al-Naba’ (berita). Selain itu khabar
juga berarti hadis, sebagai mana telah dijelaskan di atas. Khabar berbeda

4
dengan hadis, hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi, sedangkan
khabar ialah berita yang datang selain dari Nabi. Maka dapat disimpulakan
bahwa khabar lebih umum dari pada hadis. (Al-Thahan:16)
c) Atsar. Secara etimologi atsar berarti “sisa atau suatu peninggalan”
(baqiyat al-Syai). Sebagaimana dikatan di atas bahwa atsar adalah sinonim
dari hadis, artinya ia mempunyai arti dan makna yang sama. Selain itu
atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, yang
terdiri dari perkataan atau perbuatan. Mayoritas Ulama’ lebih condong atas
pengertian khabar dan atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw dan demikian juga kepada Sahabat dan tabi’in. Jika ditinjau dari
segi makna hadis, maka hadis dapat di bagi menjadi tiga, yaitu Hadis
Qauli, Hadis Fi’li, dan Hadis Taqriri.

Adapun macam-macam hadis jika ditinjau dari segi penyandarannya maka ada
dua macam, yakni Hadis Nabawi (yang disandarkan kepada Nabi) dan Hadis
Qudsi (yang disandarkan kepada Tuhan/ Allah). Dalam penyebaran dan
pengajaran hadis, ada 8 prinsip yang dijadikan dasar oleh Rasulullah, yaitu:

a. Berangsur-angsur
b. Memperhatikan tempat
c. Ilmu yang layak dan tepat
d. Redaksi yang fleksibel
e. Praktis dan ilmiah
f. Menghormati perbedaan antar individu, bahasa, waktu, dan tempat
g. Mempermudah dan tidak mempersulit
h. Universal sehingga meliputi dewasa, anak-anak, laki-laki, dan
perempuan ( Majid Khon. 2014: 39).

C. Kedudukan Hadits dalam hukum Islam

Kedudukan hadis dalam Islam yaitu sebagai sumber hukum. Para ulama juga
telah sepakat dasar hukum Islam adalah al-Quran dan Hadis/sunnah. Kedudukan

5
Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir
seluruh ulama dan umat Islam. Akan tetapi, kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa ada sebagian kecil dari kalangan ulama dan umat Islam yang justru
menolak Sunnah. Mereka inilah yang dikenal sebagai kalangan “inkar as-
sunnah”. Mereka berpendapat bahwa sumber ajaran Islam itu hanya satu, yaitu al-
Quran. Paham ini telah ada sejak tahun 204 H/820 M.

Argumentasi-argumentasi mereka, bahkan telah dibantah Asy-Syafi’i dengan


membuktikan keabsahan sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Faktor
pendorong munculnya paham inkar as-sunnah banyak sekali. Tapi di antaranya,
yang paling mendasar adalah ketidak pahaman mereka atas berbagai hal yang
berkaitan dengan ilmu hadits (Zein, 2013: 35-36).

Inkar As-Sunnah adalah golongan kaum muslimin yang meragukan kehujahan


dan as-sunnah sebagai sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Ragib Al-Asfahani
(w. 502 H/1108 H), ahli fiqh dan ahli tafsir, mengartikan inkar sebagai
penyangkalan dengan ucapan sebagai perwujudan dari penolakan hati. Penyakalan
ini terjadi karena ketidaktahuan mengenai hakikat sesuatu yang disangkal. As-
syafi’i membagi golongan ini menjadi tiga golongan, yakni:

1. Golongan yang menolak seluruh sunnah.


2. Golongan yang menolak sunnah, kecuali yang memiliki kesamaan
dengan petunjuk al-Quran.
3. Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad. (Rofiah, 2018: 48)

Menurut Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya (al-Hadis wa al-Muhadisun:


25), bahwa golongan yang menolak Hadis ahad ialah golongan Qodariyah, dan
sebagian Rafidlah madhab zahiri. Sebagian golongan Khawarij dan Mu’tazilah,
juga tidak menerima hadis ahad sebagai hujjah. Sebab di dalam hadis itu terdapat
kemungkinan kesalahan purbasangka dan kebohongan dari rawi-rawinya. Dengan
demikian tidak memberikan faedah ilmu qath’iy, padahal Allah Swt berfirman:
“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya”. (QS. Al-Isra’: 36)

6
Sesuatu yang tidak memberikan kaedah ilmu qath’iy tidak dapat digunakan
sebagai hujjah untuk menetapkan aqidah dan tidak pula dapat digunakan
mewajibkan beramal (Rofiah, 2018: 50-51).

D. Kedudukan Hadis terhadap al-Quran

Sumber hukum pertama adalah al- Qur’an, yaitu wahyu atau kalamullah yang
sudah dijamin keontentikannya dan juga terhindar dari intervensi tangan manusia.
Sehingga dengan penyucian tersebut meneguhkan posisi al-Qur’an sebagai
sumber hukum yang utama. Oleh karena itu, sebagai sumber utama hendaklah ia
memiliki sifat dinamis, benar,dan mutlak. Sudah selayaknya jika al-Qur’an
bersifat dinamis, benar, dan mutlak. Dinamis dalam arti al-Qur’an dapat
diterapkan di manapun, dan kapanpun, serta kepada siapapun. Kebenaran al-
Qur’an dapat dibuktikan dengan realita atau fakta yang terjadi
sebenarnya.Terakhir, al-Qur’an tidak diragukan kebenarannya serta tidak akan
terbantahkan.

Hadis dalam Islam menempati posisi yang sacral, yakni sebagai sumber hukum
setelah al-Qur’an. Maka, untuk memahami ajaran dan hukum Islam, pengetahuan
terhadap hadis haruslah suatu hal yang pasti. Rasulullah saw. adalah orang yang
diberikan amanah oleh Allah swt untuk menyampaikan syariat yang
diturunkannya untuk umat manusia, danbeliau tidak menyampaikan sesuatu
terutama dalam bidang agama, kecuali bersumber dari wahyu. Oleh karenanya
kerasulan beliau dan kemaksumannya menghendaki wajibnya setiap umat Islam
untuk berpegang teguh kepada hadis Nabi saw.

Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an:

a) al-Qur’an dengan sifat yang qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti


dan diyakini) sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada
hadis. Dimana status hadis (kecuali yang mutawatir) adalah zhanni al-
wurud.
b) Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an.
Maksudnya,yang dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih

7
tinggi. Maka eksistensi dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung
kepada eksistensi al-Qur’an.
c) Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu
jika bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-
Qur’an tidak ditemukan maka merreka merujuk kepada Sunnah yang
mereka ketahui, atau bisa menanyakan kepada sahabat yang lain.

Pada dasarnya Hadis Nabi adalah sejalan dengan al-Qur’an karena keduanya
bersumber dari wakyu. Akan tetapi mayoritas hadis sifatnya adalah operasional,
karena fungsi utama hadis adalah sebagai penjelas atas al-Qur’an. Secara garis
besar, fungsi Hadis terhadap al-Qur’an ada tiga, diantaranya (Yuslem, 1998: 63-
65).

a) Menegakkan kembali keterangan atau Perintah yang terdapat di dalam al-


Qur’an. Dalam hal ini hadis datang dengan keterangan atau perintah yang
sejalan dengan alqur’an.
b) Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang datang secara
mujmal (global). Dalam hal ini kaitannya ada tiga hal: (1). Menafsirkan
serta memperinci ayat-ayat yang bersifat umum, (2). Mengkhususkan ayat-
ayat yang bersifat umum, (3). Memberi batasan terhadap ayat bersifat
mutlaq.
c) Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an (Bayan
Tasyri’)

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Hukum islam yang pertama adalah al-Qur’an, dimana al-Qur’an


merupakan bacaan yang berisi firman-firman allah. Selain sebagai firman
allah, juga sebagai mukjizat rasulullah yang diturunkan secara
mutawattir/bertahap dengan tujuan agar untuk meneguhkan hati nabi
karena setiap proses turun ayat disertai dengan suatu peristiwa tertentu,
dan agar mudah untuk dihafal.
2. Hukum islam yang kedua yakni hadits, dimana hadis merupakan Segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan,
taqrir.
3. Kedudukan hadis dalam Islam yaitu sebagai sumber hukum. Dan para
ulama pun juga telah sepakat dasar hukum Islam adalah al-Quran dan
Hadis/sunnah.
4. al-Qur’an bersifat qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan
diyakini) sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis.
Yang statusnya adalah zhanni al-wurud (kecuali yang mutawatir). Hadis
berfungsi sebagai penjelas dan penjabar atas al-Qur’an. Maksudnya,yang
dijelaskan adalah al-Qur’an, dimana kedudukannya lebih tinggi. Maka
eksistensi dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada
eksistensi al-Qur’an.

ix
DAFTAR PUSTAKA

Al-Azami, Mustafa. 2012. Studies in Hadith Methodology and Literature. USA:


American Trust Publication.

Al-Ghouri, Abdu al-Majid. 2007. Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsah. Beirut:


Dar Ibnu Katsir

Indo-Islamika, Volume 9, No. 2 Juli-Desember 2019/1440

Khon, Abdul Majid. 2014. Takhrij &Amp; Metode Memahami Hadis. Jakarta:
Amzah

_______. 2015. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Rofiah, Khusniati. 2018. Studi Ilmu Hadis. Ponorogo: Iain Po Press

Sadali, H. A. Dkk. 1999. Dasar-dasar Agama Islam. Universitas terbuka. Jakarta

Yuslem, Nawir. 1998. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Dewi.

Zein, Ma’shum. 2013. Ilmu Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Pustaka


Pesantren

Anda mungkin juga menyukai