Anda di halaman 1dari 4

Asa Anak Desa

Desa, bak surga yang menyilaukan mata. Tanah yang subur, dedaunan yang rindang,
pepohonan yang menjulang tinggi, serta burung-burung yang bernyanyi gembira kala pagi
menyapa, membuatnya menjadi tempat yang indah dan mempesona. Terlebih masyarakatnya
bersahabat, ramah, dan budaya kekeluargaannya pun masih dijunjung tinggi, membuatnya
seperti tak pernah menyimpan masalah. Balutan kebersahajaan dan kerukunan selalu menjadi
kunci kebersamaan, dalam suka maupun duka.
Pun, desa seperti gambaran surga yang dituturkan Tuhan dalam kitab sucinya.
Pepohonan rindang kehijauan, air mengalir deras je pemukiman, buah-buah tumbur subur di
pekarangan. Hingga bunga-bunga yang bermekaran nan elok dipandang. Tak salah jika desa
ibarat tetesan surga yang jatuh ke dunia. Indah sekali.
Tak beda dengan Wonokerto, desa yang begitu jauh dari kebisingan kota. Letaknya
sekitar 3 km dari puncak Gunung Kamulyan atau yang biasa masyarakat sebut sebagai
Gunung Kemulan. Entah mengapa orang-orang lebih suka menyebut Kamulyan dengan
Kemulan. Padahal Kamulyan memiliki arti kemuliaan, sedang Kemulan berarti berselimut
karena kedinginan. Tapi tak salah juga, mungkin mereka menyebutnya Kemulan, karena
gunung itu selalu diselimuti kabut tebal kala senja menyapa.
Memang keadaan desa Wonokerto sangatlah menyedihkan. Akses untuk sampai ke
desa ini pun tergolong amat sulit. Jalannya tak beda dengan kali mati. Bahkan, hanya
penduduk asli Wonokerto atau tetangga desa saja yang bisa melewati jalananan itu dengan
sepeda motor. Selebihnya dipastikan tak akan sanggup. Apalagi kalau hujan tiba, jalanan
begitu licin dan kabut tebal selalu menyelimutinya. Ya, akhirnya desa ini menjadi amat
terisolir dibandingkan desa-desa lainnya yang ada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Terlebih untuk sambungan alay telekomunikasi. Tak bisa berharap banyak dari
Wonokerto. Hampir-hampir tak akan ditemui sinyal meski satu titik. Alhasil, ketika ada
informasi penting dari kabupaten, masyarakat desa Wonokerto pasti paling telat
mendapatkannya. Mungkin kini mereka sudah sedikit lega, karena sudah ada radio dan
televisi yang bisa menemani kesepuan mereka. Tapi jangan dikira masalahnya sudah selesai.
Karena untuk memperoleh gambar yang jelas, mereka harus memasang antena di tempat
yang sangat tinggi. Seperti di pohon, atau disambung dengan bambu yang dipasang di atap-
atap rumah mereka. Namun, itupun belum cukup. Buktinya tak semua channel stasiun TV
Nasional bisa tersaring. Ya, hanya ada
3 sampai 4 channel saja yang masuk ke rumah mereka. Belum lagi kalau ada hujan
lebat dan angin yang bertiup kencang, gambar pun ikut terseok-seok terbawa oleh hembusan
angin. Bahkan channelnya pun hilang entah kemana. Payah sekali.
Sebenarnya, mereka sudah sangat geram dengan keadaan ini, tapi mereka tak bisa
berbuat banyak. Terutama ketika melihat kondisi jalan bak seperti kalu mati yang seolah
dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Mereja kadang berfikir, mungkin memang desa
Wonokerto benar-benar dimiskinkan oleh pemerintahannya sendiri. Terbukti dengan akses
jalan yang tak layak, akses komunikasi yang susah, dan sarana pendidikan yang tak tersedia
di desa mereka.
Warga desa pun tak diam. Mereka sudah melakukan berbagai upaya, baik melalui
birokrasi atau jalur belakang, tapi hasilnya masih sama. Jalan aspal yang mereka idam-
idamkan tak jua ada. Apalagi menghayal untuk bisa menikmati jaringan internet seperti yang
sudah ada di kota. Kadang warga merasa iri melihat desanya tak dipedulikan sebagaimana
desa-desa lain yang letaknya tak begitu jauh dari kota. Tapi, sekali lagi, mereka tak bisa
berbuat apa-apa, elit-elit parlemen yang dulunya "bersujud" untuk meminta dukungan
mereka, kini seolah menghilang bak ditelan bumi dan akan muncul lagi "batang hidungnya"
tatkala pemilihan umum hampir tiba, karena mereka pasti membutuhkan dukungan warga
untuk memperoleh tahta. Setelah itu, perjuangannya pun tak kelihatan. Entah lupa atau
memang tak mau memikirkan nasib desa mereka. Entahlah.
Berkali-kali caleg-caleg datang dengan membawa angin segar dengan slogan untuk
membangun desa, tapi ternyata hanya slogannya untuk membangun desa, tapi ternyata hanya
slogan untuk mengambil simpati mereka. Buktinya
Keadaan desa masih tetap seperti sediakala. Jalan masih rusak, akses informasi masih
begitu sulit. Begitu pula sarana pendidikan yang tak kunjung tertanam di bumi mereka.
Kemana mereka? Warga pun sering bertanya-tanya. Mengapa elit-elit politik itu seperti
siluman. Yang tiba-tiba muncul kemudian hilang dalam sekejap. Aneh. Mungkin mereka
punya "ajian" yang bisa membuat mereka hilang dalam kedipan mata.
Sebenarnya masyarakat sudah lelah dengan semua ini. Ya, pada pemilu 2009 lalu,
warga desa sudah kompak untuk tidak ikut menggunakan hak suara mereka, alias golput.
Menurut mereka percuma. Kewajiban sebagai warga negara sudah dilaksanakan, tapi hak
mereka tak kunjung dipenuhi. Sayang, rayuan politisi lebih hebat dari kesepakatan
masyarakat "kelas bawah". Hingga mereka pun luluh, apalagi setelah diiming-imingi
"angpao" cokelat yang tersebar luas sesaat sebelum pencoblosan. Mereka pun berubah
pikiran. Akhirnya, "terpaksa" mereka gunakan suara mereka untuk menentukan calon wakil
mereka yang belum tentu mau berjuang dengan sepenuh hati.
Itulah realitanya.
Pagi itu, matahari nampak begitu cerah. Memancarkan seluruh cahayanya untuk
menerangi bumi dan penghuni semesta raya. Meski masih ada tetesan embun yang menempel
di dedaunan, burung-burung tetap menari indah di atas dahan cemara. Mereka pun berkicau,
menambah asyiknya suasana. Saling bersautan dan tak ada yang mau mengalah. Indah sekali.
Tak tampak mendung, apalagi kilatan guntur. Yang nampak hanya matahari dengan sejuta
harapan untuk hari ini.
Bocah-bocah SD dengan seragam lengkap, beranjak dari rumah menuju sekolah
masing-masing dengan sejuta asa yang terselip dari wajah-wajah mungilnya. Bagi mereka
mungkin tak ada kesulitan berarti, karena gedung sekolahnya tak begitu jauh dari desanya.
Mungkin sekitar 2 km saja. Tapi 2 km setiap hari cukup membuat tumit kaki mereka melebar.
Apalagi usianya masih terlalu dini untuk menjalani skenario kehidupan seperti itu.
Lebih-lebih bagi anak-anak yang sudah duduk di bangku SMP. Mereka harus
menempuh 7 km setiap hari dengan jalan kaki. Kecuali mereka yang berasal dari keluarga
yang sedikit mampu, biasanya mereka diantar oleh bapak atau kakaknya dengan sepeda
motor. Tapi tak ada pilihan lain, bagi mereka yang lahir dari kelas ekonomi rendah harus
menapaki jalanan bak kali mati setiap harinya. Semuanya, demi asa yang sudah terukir sejak
lama.
Sayang, tak semua anak-anak desa bermental baja. Banyak dari mereka yang
menghalalkan keadaan itu sebagai alasan tak melanjutkan ke SMP. Mereka hanya mengambil
Paket B atau SMP Terbuka yang berangkatnya tidak setiap hari. Pun dengan orang tua
mereka yang tak mau memaksa anaknya untuk melanjutkan pendidikannya. Miris memang.
Bagi orang dewasa, seperti biasa melakukab aktifitasnyadi kebun, sawah, dan ladang.
Sebagian besar masyarakat desa menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Namun tak
sedikit dari mereka yang mengabdikan dirinya untuk bekerja di perkebunan milik salah satu
perusahaan teh terkemuka di Indonesia. Terutama mereka yang tak punya tanah sendiri.
Bekerja di kebun teh dirasa menjadi pilihan yang dianggap sangat tepat. Syaratnya yang
sangat mudah membuat siapapun yang mendaftar kerja di perusahaan itu pastilah diterima.
Tak perlu surat lamaran apalagi ijazah dan sebagainya, yang ada hanya ijin untuk ikut
menjadi buruh pemetik teh kepada mandor yang tersebar di beberapa desa.
"Aku berharap, kelak aku tak hanya menjadi pekerja kebun atau petani kluthuk."
Kata Santoso.
Ia adalah pemuda desa Wonokerto yang dikenal baik oleh masyarakat. Mungkin ialah
satu-satunya anak petani yang memiliki cukup pengalaman di luar. Maklum, dari sekian
banyak petani di Desa Wonokerto, hanya bapaknya yang mau menyekolahkan anaknya ke
SMA. Namanya, Pak Kirman, atau yang biasa dipanggil Kang Kirman oleh para tetangga.
Bagi masyarakat, menyekolahkan anak sampai SMA itu butuh biaya tak sedikit.
Mulai dari biaya bulanan, biaya buku, dan seragam. Belum lagi biaya untuk transportasi yang
harus ada setiap harinya. Bagi buruh pabrik teh yang penghasilannya pas-pasan sangatlah
berat. Apalagi untuk petani yang panennya tiga bulan sekali. Bahkan ada yang setahun dua
kali. Hingga tak aneh, semenjak Desa Wonokerto ada, hingga sekarang, baru memiliki tiga
orang yang lulus SMA, itupun tak ada yang menetap di desa. Dan ketiganya bukanlah anak
petani. Tapi anak-anak PNS yang orang tuanya sudah punya gajih tetap.
Sayangnya, mereka semua meninggalkan desa karena mungkin tak ada yang menarik
baginya untuk tetap bertahan di desa. Untuk bertani mereka tak mau. Untuk menjadi buruh
teh, mereka tak sanggup. Hanya sesekali mereka pulang ke desa tatkala hari raya tiba. Itupun
sudah menjadi buah bibir para tetangga. Sepertinya mereka adalah orang yang paling sukses
di desanya. Tapi aneh, masyarakat tidak mau mengambil i'tibar dari mereka yang sudah
sukses berkarir karena pendidikannya.
Hingga mereka hanya puas dengan memuji tetangganya yang sudah sukses, tanpa ada
keinginan untuk membuat anaknya sukses. Aneh memang.
Tapi mereka tak kehabisan akal. Masih ada cara lain untuk mendapatkan penghasilan
lebih. Terutama kaum muda. Mereka memikih merantau ke Malaysia, Singapura, Taiwan,
Hongkong, dan Arab Saudi. Jadi TKW. Dengan janji akan memperoleh gaji yang tinggi,
mereka pun tergiur. Para orang tua pun seperti tak ada yang keberatan dan mengijinkan anak-
anak mereka menjadi TKW. Alasannya, demi membantu ekonomi keluarga. Sebenarnya,
tahun 2007 lalu, pernah ada seorang warga yang menjadi TKW dan disiksa oleh majikannya
di Malaysia. Tapi ternyata itu tak meluluhkan "niat baik" kaum-kaum muda untuk menjadi
TKW di negeri tetangga. Semuanya dilakukan demi memperoleh uang yang banyak yang
tentunya susah untuk didapatkannya bila mereka hanya bekerja di desa.
Kalau dipikir-pikir Wonokerto begitu subur. Letaknya yang tidak terlalu jauh dengan
Gunung Kemulan, membuat tanahnya gembur dan cocok untuk ditanami segala macam
tanaman. Namun, ternyata itu tak cukup membuat kaum-kaum muda tertarik untuk
menancapkan kakinya di desa. Mungkin karena yang dibutuhkan tak sekedar makanan.
Mereka masih ingin rumah layak, kendaraan yang bagus, HP mewah, dan sebagainya. Ya,
kalau seperti itu, memang tanah desa tak menjanjikan, karena tak setiap bulan mereka bisa
memetik hasilnya. Berbeda dengan menjadi TKW, setiap bulan mereka akan mendapatkan
gaji, dan mungkin tak butuh waktu lama untuk memenuhi keinginan-keinginan mereka.
Andai saja mereka memiliki pendidikan yang cukup, mungkin tak harus bersusah
payah bekerja ke luar negeri, karena di Indonesia pun mereka bisa mencari nafkah. Atau
seandainya harus pergi ke luar negeri, mungkin tak akan jadi pembantu rumah tangga di
negeri orang. Mereka bisa bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pembantu rumah tangga. Ya, lagi-lagi masalah pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai