Anda di halaman 1dari 17

Machine Translated by Google

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022

beranda jurnal: https://jmb.lipi.go.id/jmb

BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM


TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN BUBER

BUDAYA NGELONG KASONG MANGGARAI


SUKU DALAM CAHAYA DIALOGIS MARTIN BUBER
FILSAFAT

Agustinus Asman;1 F.X Eko Armada Riyanto2

1,2Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang emphodenabang@gmail.com


fxarmadacm@gmail.com

ABSTRAK
Fokus pembahasan tulisan ini adalah menggali makna dan nilai filosofis dibalik budaya Ngelong suku Kasong
Manggarai-Flores-NTT. Metodologi perspektif pembahasan menggunakan filsafat fenomenologis, yakni penulis
menggarap persoalan-persoalan filosofis berupa kearifan lokal, khususnya yang menyangkut relasionalitas dengan
alam dan lingkungan, sekaligus berdialog dengan pemikiran filosofis dialogis Martin Buber. Pendekatan yang digunakan
untuk mendalami budaya Ngelong adalah pendekatan kualitatif dengan mengacu pada beberapa sumber literatur dan
wawancara. Tujuan pembahasan tulisan ini adalah pertama, untuk memahami lebih dalam makna filosofis dibalik
kearifan lokal budaya Ngelong suku Kasong Manggarai tentang Filsafat Dialog Martin Buber.

Kata Kunci: Budaya Ngelong, Aku dan Engkau, , Tanggung Jawab, Rekonsiliasi, Penghormatan, Rasa Religius.

ABSTRAK
Fokus pembahasan dari tulisan ini untuk menggali makna dan nilai-nilai filosofis di balik budaya Ngelong suku Kasong
Manggarai-Flores-NTT. Metodogi perspektif pembahasan menggunakan filosofis fenomenologis yaitu penulis menggarap perkara
filsafat berupa kearifan lokal terutama yang menyangkut relasionalitas dengan alam dan lingkungan hidup dan pada saat yang sama
mendialogkannya dengan pemikiran filsafat dialogis Martin Buber.
Pendekatan yang digunakan dalam upaya menggali budaya Ngelong ialah pendekatan kualitatif dengan mengacu
pada beberapa sumber kepustakaandan dan wawancara. Tujuan dari pembahasan tulisan ini ialah pertama, memahami lebih dalam
makna filosofis di balik kearifan lokal budaya Ngelong suku Kasong Manggarai dalam kaitannya dengan Filsafat Dialogus Martin
Buber. Kedua, menggugah kesadaran setiap orang untuk membangun suatu pola relasi subjek- subjek atau relasi I and Thou dalam
membangun relasi dengan alam, sehingga tercipta relasi yang harmonis antara manusia dengan alam dan bagi para pemangku
pemerintahan agar mampu mengimplementasikan pembangunan
yang berkelanjutan dimana tetap mengutamakan kelestarian alam.

Kata Kunci: Budaya Ngelong, I and Thou, Tanggung jawab, Rekonsiliasi, Penghormatan, Cita rasa religius.

PENDAHULUAN
Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan Perubahan musim dan cuaca, pencemaran
yang runyam dewasa ini baik dalam tataran lokal lingkungan berupa polusi udara dan air, sampah dan
maupun tataran global. Kerusakan lingkungan hidup limbah-limbah pabrik, musnahnya flora dan fauna
baik yang berskala kecil maupun yang berskala masif tertentu dan bencana alam adalah potret terjelas dari
membawa dampak sederetan persoalan lingkungan yang menimpa
buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. wajah bumi saat ini.

DOI: 10.55981/jmb.1495
105
Naskah Masuk: 28/11/2021 Revisi akhir: 3/4/2022
Diterima: 4/4/2022
ISSN 1410-4830 (cetak) | e-ISSN 2502-1966 (daring) | © 2022 Penulis. Diterbitkan oleh BRIN Publishing. Ini adalah
artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND (http://creativecommons.org/licenses/by-nc nd/ 4.0/).
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

Badan Nasional Penanggulangan Bencana


manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh
(BNPB) mencatat adanya 20.041 kejadian bencana
kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuatan
alam pada periode 2009-2019, dengan jumlah tahunan
dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan,
semakin meningkat. Dari seluruh kejadian itu, 13.540
seperti dipentaskan di dalam mitologi mitologi yang
di antaranya berupa banjir, longsor, kekeringan, serta
dinamakan bangsa-bangsa primitif. Dalam tahap ini,
kebakaran hutan dan lahan yang telah merusak 12.725
manusia merasa bahwa dia bagian dari makrokosmos.
kilo meter jalan dan 804.608 hektar sawah. Laporan
Tindakan-tindakan manusia untuk melestarikan
terbaru PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana
keberlangsungan hidupnya tidak bisa dipisahkan dari
(UNISDR) juga menempatkan Indonesia sebagai
sikap sikapnya untuk menghormati dan menjaga alam.
negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana
Demikian sebaliknya ketika dia merusak alam, maka
alam tertinggi di dunia sepanjang 2018. Dari total
pada saat yang sama dia sedang merusak habitat dan
10.737 korban jiwa di seluruh dunia, 4.535 dari
dirinya sendiri. Namun pada tahap ini banyak rahasia
Indonesia (HRS/GRE, 2019: 6)
kehidupan alam tetap misteri
Jika menilik lebih jauh, salah satu penyebab dari bagi manusia, terlebih karena pengetahuan dan
persoalan tersebut di atas ialah karena ulah manusia. tehknologi yang dimiliki manusia masih sangat
Ulah manusia itu lahir dan berawal dari terbatas (Wijanarko, 2011: 17-18).
gaya hidup konsumtif, hedonis, materialis, egois yang
Tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak
mengarah pada kerusakan ekosistem global
hidup lagi berada dalam kepungan kekuasaan mitis,
(Heydemans & Langi, 2019: 158). Pola hidup ini
melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal
mengarah pada relasi subjek-objek antara manusia
ikhwal. Manusia mengambil jarak tehadap segala
dengan alam. Alam dilihat sebagai objek semata dan
sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia
manusia sebagai subjek yang kapan saja dapat
mulai menyusun suatu ajaran dan teori mengenai dasar
‘memanfaatkan’ alam. Realitas ini pada dasarnya
hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala
dilandasi oleh persoalan fundamental filosofis dimana
sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu).
manusia
menempatkan dirinya sebagai pusat dari tata semesta inTie(rabnetnrotapnogsedniktroisto) mi antara manusia sebagai
(Putra, 2021: 72 ). subyek dan alam sebagai objek. Pada tahap inilah
Jika digali secara mendalam apa yang ditampilkan terjadi pengasingan antara manusia dan alam. Dalam
tidak terlepas dari tahap perkembangan manusia itu sejarah pemikiran filsafat barat, skema relasi semacam
sendiri. Hal ini secara jelas ditampilkan oleh Van ini bisa diasosikan
Puersen dalam karya klasiknya Strategi Kebudayaan, dengan kelahiran gaya pemikiran filsafat cartesian yang
yang membuat sebuah skema atau bagan perkembangan dianggap sebagai momentum kelahiran filsafat modern
kebudayaan. Pada dasarnya pembahasan ini tidak (Wijanarko, 2011: 19).
dimaksudkannya untuk mengurai perkembangan Sedangkan level fungsional adalah sikap
pandangan tentang relasi manusia dengan alam, atau dan sifat pikiran yang terlihat pada manusia modern. Ia
visi kosmologis tertentu. tidak lagi terpesona oleh lingkungannya (sikap mitis) dan
Akan tetapi usahanya yang demikian itu, yang dia tidak lagi berkepala dingin mengambil jarak dari objek
sebut sebagai sebuah dinamika ketegangan unsur penelitiannya (tingkat ontologis).
‘imanen’ dan ‘transenden’ kebudayaan, memuat Dia ingin menjalin hubungan baru, hubungan baru
unsur-unsur yang mengindikasikan bagan dengan segala sesuatu di lingkungannya.
perkembangan relasi antara manusia dan dunianya Hubungan manusia dengan alam tidak lagi mandiri
(Wijanarko, 2011: 16). tetapi saling bergantung. Pada tataran ini, refleksi
Adapun bagan tiga tahap perkembangan tidak lagi berpijak pada 'apa-realitas' manusia dan
kebudayaan itu ialah: tahap mitis, tahap ontologis, dan benda-benda di luar dirinya, melainkan terletak pada
tahap fungsional. Tahap mitis ialah, sikap 'makna' manusia dan berbagai benda di luar dirinya.
Jadi alam dilihat sebagai objek

106
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

yang kapan saja bisa dimanfaatkan (Wijanarko, 2011:


hal ini buaya Ngelong menawarkan pola relasi
20).
‘subjek-subjek’ sebagai suatu solusi terbentuknya
Pola relasi yang tampak dalam kehidupan suatu paradigma baru bagi masyarakat luas
manusia modern ini tentu saja menjadi sebuah yang sangat kuat didominasi oleh model pendekatan
persoalan yang runyam dan sangat mendesak untuk subjek-objek terhadap alam. Selain itu tulisan ini juga
segera diatasi, sebab hal ini berdampak buruk terhadap hendak mengungkapkan kekayaan kearifan lokal
kehidupan manusia itu sendiri. Atas dasar itu, penting Indonesia yang mesti
untuk kembali pada kearifan lokal dengan melihat dirawat dan tetap di jaga di tengah kemajuan dunia modern.
nilai-nilai luhur terkait dengan pola relasi yang saling
Metode yang digunakan dalam tulisan ini ialah
bergantung antara alam dan manusia. Perlu dipahami
metode filosofis-fenomenologis. Armada Riyanto
bahwa upaya kembali kepada kearifan lokal bukanlah
(2018: 114) menjelaskan bahwa metode filosofis
sebuah ‘kemunduran’ karena kembali ke tahap mitis,
fenomenologis adalah sebuah metode penelitian yang
tetapi hal yang hendak dikedepankan ialah soal pesan
menaruuh minat pada perkara
moral-etis-edukatif yang terkandung di dalamnya.
filsafat berupa kearifan lokal. Dengan kearifan lokal
Kearifalan lokal yang diangkat dalam tulisan ini ialah memaksudkan kesadaran-kesadaran
kearifan lokal suku Kasong Manggarai yaitu budaya
pikiran, perasaan, nilai-nilai kebersamaan, nilai- nilai
Ngelong.
religius, nilai-nilai rekonsiliatif, nilai kultural relasional
Alasan yang melatarbelakangi pemilihan kearifan
terkait dengan hidup bersama dengan siapa pun,
lokal ini ialah karena budaya Ngelong adalah sebuah
termasuk relasi dengan alam dan lingkungan hidup.
kearifan lokal yang mengekspresikan penghormatan,
Disebut fenomenologis karena halnya berkaitan
penghargaan, dan rekonsiliasi atau usaha penyatuan
dengan pengalaman subjek (manusia). Dalam proses
kembali sebuah relasi yang sudah retak antara orang
menggali dan memahami budaya Ngelong serta
dari Suku Kasong Manggarai dengan alam semesta.
pemikiran Martin Buber, penulis menggunakan
Budaya Ngelong adalah sebuah ungkapan kesatuan
pendekatan
dari trilogi relasi suku Kasong Manggarai yakitu relasi
kualitatif dengan merujuk pada beberapa buku sumber
manusia, alam dan Tuhan Pencita. terkait serta melalui wawancara.
Upaya menggali dan menggarap kearifan lokal Wawancara dilakukan terhadap dua tokoh adat dari
(budaya Ngelong) dalam kajian dan pendekatan suku Kasong Manggarai yaitu Bpk. Romanus Balar
filosofis tentu saja membutuhkan suatu referensi. (62 tahun) tentang budaya Ngelong suku Kasong,
Dengan demikian, sebutan ‘filsafat dialogis Martin pada tanggal 25-27 Oktober 2021 dan Bpk. Theodorus
Buber’ yang ada dalam judul di atas memaksudkan Gadul (58 Tahun) tentang Budaya Ngelong Suku
gagasan Buber sebagai referensi. Gagasan Martin Kasong, pada tanggal
Buber menjadi bagaikan sebuah pisau bedah yang 12-14 Oktober 2021. Meskipun kajian dan wawancara
sangat membantu penulis dalam proses menggali, ini dilakukan pada oktober 2021, tetapi sebagai putera
merefleksikan, dan mengangkat nilai-nilai Suku Kasong Manggarai, penulis mengalami dan
kearifan lokal ini ke ranah filosofis. Dialog antara mengamati secara langsung budaya Ngelong ini.
filsafat barat dan kearifan lokal ini kemudian
Dari Metodologi dan pendekatan di atas, ada
membawa suatu pemahaman yang mendalam dan
pun poin-poin yang hendak digarap dalam tulisan ini
substansial akan makna kearifan lokal ini yang tidak
yaitu, pertama, memahami budaya Ngelong suku
lain adalah relasi subjek-subjek/ interdependen antara
Kasong Manggarai, kedua, mengenal pemikiran
manusia dan alam. Melalui tulisan ini pula penulis
Buber tentang relasi dialogis, ketiga, memahami
hendak menggugah kembali kesadaran manusia
budaya Ngelong dalam terang pemikiran Buber,
universal, orang Indonesia, dan orang Manggarai itu
keempat, relevansi terhadap kehidupan manusia
sendiri untuk
yang
universal, bangsa Indonesia dan orang Manggarai itu
sendiri, serta kelima, kesimpulan.
kembali membangun sebuah relasi yang harmonis dengan alam. Dalam

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
107
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

LIHAT TENTANGNYA
hidup di dunia seberang dan dapat diundang
BUDAYA HIDUP
oleh anak cucunya untuk menjaga, dan
melindungi tanaman mereka sehingga
Pengertian dan Model Budaya Ngelong mendatangkan hasil yang berlimpah (Asman 2021a).
Ngelong adalah sebuah ritus budaya suku Kasong Kedua, Kalok Uma. Kalok uma adalah
Manggarai yang mengekspresikan sikap penghormatan, upacara pemberian sesaji yang dilakukan menjelang
panghargaan (réku atau hiang tau) dan rekonsiliasi musim panen (sebelum ako woja agu geok latung).
(hambor), dan tanggung jawab manusia terhadap Materi presentasi dalam acara kalok ini adalah ayam
alam ciptaan baik tumbuhan maupun binatang. Dalam dan telur. Telur sebagai tuak kapu merupakan
hal ini, Ngelong merupakan sebuah istilah atau bentuk penghargaan kepada Tuhan, leluhur, dan
sebutan umum untuk beberapa ritus yang berkaitan makhluk halus yang menjaga kebun. Setelah selesai
aktivitas orang suku Kasong Manggarai berkaitan sembahyang atau pidato adat, putih telur yang telah
dengan alam seperi awal pengerjaan kebun, dipersembahkan ditaburkan ke tanah sebagai
saat hendak panen, meminta izin saat menebang persembahan kepada Ibu Pertiwi, kemudian telur
pohon di hutan, dan rekonsiliasi teruama dalam hal tersebut diletakkan di atas kayu atau bambu yang
ini memohon kesembuhan ketika orang mengalami telah disiapkan untuk menghormati 'Bapa Di Atas',
sakit yang berkepanjangan dan diketahui bahwa langit. (hiang ende mese wa mai agu ema mese
penyebab sakitnya ialah adanya pelanggaran dalam eta mai). Setelah itu ayam hewan kurban yang
menjalin relasi dengan alam baik saat proses dipersembahkan juga disembelih dan darahnya
pengerjaan kebun maupun karena menebang secara ditaburkan di tanah kemudian hati
sembarangan pohon dan ususnya dibakar untuk dijadikan persembahan.
di hutan (Asman 2021a) . Adapun beberapa
model dari ritus ngelong ini yaitu antara lain: Makna ritus ini adalah untuk mengucapkan syukur
Pertama, Dur Utung Labang Cu’a. Ngelong dan terima kasih kepada Tuhan, kepada leluhur, dan
Dur Utung Labang Cu’a adalah upacara Awal roh penjaga kebun (naga tana), atas segala
Pengerjaan Kebun dan Penanaman. Tahap ini disebut perlindungannya selama bekerja hingga panen tiba
juga “wa’u wini” (menanam benih) atau dur utung (Asman 2021a).
labang cu’a (awal pengerjaan dan penanaman). Ketiga, Tosi Agu Tesi. Tosi Agu Tesi secara
Barang yang disiapkan adalah bibit/ benih, ayam dan harafiah berarti minta izin. Orang suku Kasong
babi. Binatang ini disembelih, darahnya dicampur Manggarai menyadari bahwa segala yang ada di
dengan bibit yang siap di tanam sembari memohon alam ini (sangged weang) adalah ciptaan dari
agar apa yang ditanam itu dapat bertumbuh dengan Tuhan (Mori kraeng, ata jari agu dedek). Adanya
baik (Asman 2021a). Setelah itu bibit yang telah kesadaran ini mempengaruhi mereka dalam
disiapkan ditanam menurut pembagian masing- bertindak terutama dalam hal penebangan pohon di
masing. Inti pokok acara ini ialah memohon hutan. Ketika hendak menebang pohon di hutan, orang
perlindungan para leluhur (empo) untuk menjaga Manggarai harus melakuan sebuah ritus Ngelong.
tanaman padi dan Melalui ritus ini, orang suku
jagung sehingga mendatangkan hasil yang melimpah. Kasong Manggarai meminta izin kepada Mori
Selain itu, diminta pula kesehatan rohani dan jasmani ata jari agu dedek (Tuhan Pencipta) dan meminta
bagi mereka yang mengerjakan kebun tersebut. Ayam izin kepada binatang-binatang atau roh-roh yang
persembahan itu dibunuh di kebun dan seperti menjadikan pohon itu sebagai tempat tinggal mereka.
biasanya hati dan usus hewan kurban ‘dibaca’ (toto Apa yang dilakukan ini sama seperti tindakan yang
urat) dan kemudian disajikan “helang” (memberi dilakukan oleh orang suku Kasong Manggarai
persembahan) dan akhirnya mereka semua yang hadir terhadap sesama manusia. Bahasa dan pilihan kata
di kebun dapat makan bersama-sama. Dalam yang digunakan juga seakan- akan menggambarkan
peristiwa bahwa orang sedang
ini tersirat pula kepercayaan bahwa arwah para leluhur it u micaasriha dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari
b e rb

108 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

(Asman 2021a). .
Dalam hal ini, meskipun Ngelong ditampilkan relasi manusia dengan alam.
orang suku Kasong Manggarai bisa meminta izin Relasi yang dibangun oleh manusia difondasikan pada
dengan melalui ritus budaya tosi agu tesi ini, tetapi sikap penghargaan dan penghormatan yang mendalam
ada kekecualian yaitu, dilarang mengambil kayu dekat akan alam. Alam dilihat sebagai sesuatu yang sakral.
mata air. Kesadaran akan alam sebagai sesuatu yang sakral
Keempat, Rewos Beti/ Hambor. Rewos Beti/ menyebabkan orang Manggarai tidak serta merta
Hambor merupakan suatu tindakan rekonsiliasi dengan menggunakan alam dengan sewenang-wenang. Dalam
alam terutama berkaitan dengan binatang. Tindakan mengambil
rekonsiliatif terjadi tentu oleh karena adanya konflik atau upaya untuk memperoleh sesuatu dari alam
yang terjadi sebelumnya. Dalam konteks Ngelong, orang harus melakuan sebuah ritus. Ritus inilah yang
tindakan rekonsiliatif dilakukan untuk menjalin kembali menjadi sebuah potret paling jelas akan sikap dan
suatu relasi yang harmonis antara manusia dengan alam. penghormatan akan alam.
Suatu kebiasaan orang suku Kasong Manggarai, ketika Kedua, dimensi sosial. Selain menampilkan
seseorang mengalami kesakitan dalam waktu yang dimensi kosmologis, Ngelong juga memiliki di dalam
cukup lama, meskipun diberi obat namun belum juga dirinya dimensi sosial. Dalam tahap awal pengerjaan
mengalami kesembuhan, maka pihak keluarga berusaha kebun, orang Manggarai dituntut untuk bersatu. Hal ini
mencari orang ‘pintar’ untuk mengetahui secara persis tampak dengan jelas dalam ritus ‘dur utung - labang
penyebabnya. Dalam upaya mencari penyebabnya orang cu’a’ (awal pengerjaan kebun).
‘pintar’ melakukan teka nampo (sebuah ritus untuk Dalam nuansa kebersamaan mereka meminta izin dan
menyelidiki penyebab kesakitan). memohon berkat dan perlindungan dari
Dengan karisma dan kemampuan Pencipta, leluhur, dan roh-roh yang mendiami tempat
penglihatannya, dia bisa mengetahui penyebab dari itu, sebab tempat itu akan digunakan sebagai ladang.
kesakitan tersebut. Apabila penyebab kesakitannya Nuansa kebersamaan dan kesatuan ini menjadi sebuah
diketahui oleh karena telah melukai binatang tertentu kekuatan dalam usaha membangun lingko (areal
baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja pada ladang) (Adon,2021: 418). Selain tergambar dalam
saat memotong kayu ritus ini, dimensi sosial ini juga terkait dengan
di hutan atau saat mengerjakan kebun maka yang mesti tanggung jawab sosial orang Manggarai sebagai
dilakukan adalah Ngelong. Artinya melakuan anggota komunitas ekologis untuk menjaga alam. hal
rekonsiliasi dengan binatang tersebut. itu tampak dalam upacara barong lodok dan barong
Dalam ritus ini, orang yang bersangkutan atau wae dalam upacara penti (syukuran panen tahunan).
diwakili pergi ke tempat kejadian peristiwa (TKP). Barong lodok adalah ritus yang dilakukan oleh
Hal yang dilakuan di sana ialah menyampaikan warga kampung di tengah-tengah wilayah perkebunan
permohonan maaf atas ketidaksengajaan. Bahan atau masyarakat untuk memanggil atau mengundang roh-
materi yang digunakan dalam ritus ini ialah telur roh yang menjaga kebuh guna mengikuti perayaan
ayam (Asman 2021a). penti yang akan dilaksanakan di rumah gendang pada
alam harinya. Selain memanggil roh-roh penjaga
Dimensi-Dimensi Ngelong kebun, dalam ritus ini diadakan juga sebuah ungkapan
penghormatan kepada penjaga kebun tersebut dengan
Setelah melihat pengertian, bentuk-bentuk budaya
memberikan persembahan kepada teno (teno
Ngelong, maka penulis melihat bahwa budaya
adalah kayu yang ditancap di tengah-tengah kebun yang
Ngelong memiliki empat (4) dimensi, yaitu, dimensi
berbentuk jaring laba-laba. Titik pusat dari kebun ini
kosmologis, dimensi sosial, dimensi moral, dan dimensi
disebut lodok. kayu teno ini merupakan simbol dan
religius.
reprsentasi dari segala kayu dan tanaman di kebun).
Pertama, dimensi kosmologis. Dimensi Persembahan itu merupakan ungkapan syukur atas
kosmologis merupakan suatu dimensi yang sangat segala hasil
menonjol dari Ngelong. Dalam budaya

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
109
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

yang diperoleh dari kebun itu (Janggur, 2010: 124). Barong


menjalin atau membangun kembali relasi yang harmonis
wae ialah upacara/ritus yang dilakukan di mata air dengan
menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilakukan.
dua tujuan yaitu pertama, ucapan syukur kepada mori jari
Rekonsiliasi menjadi kata kunci dalam proses pemulihan relasi
agu dedek (Tuhan pencipta) yang telah menciptakan mata
tersebut. Maka prinsip norma moral objektif “melakukan yang
air untuk kehidupan seluruh warga kampung, kedua, ucapan
baik dan menjauhkan yang jahat” dalam tatanan moral bukan
syukur kepada kepada roh- roh penjaga mata air dan yang
saja berlaku dalam relasi antar sesama manusia, melainkan
tinggal di sana (mereka diyakini sebagai perpanjangan tangan
juga dalam relasi dengan alam semesta. Terkait dengan itu,
Tuhan) yang telah menjaga dan melidungi mata air (Janggur,
ada ungkapan adat (go’et) yang bunyinya demikian:
2010: 123).

Neka rua rapa agu kaka tana, neka sangge


Ketiga, dimensi moral. Dimensi moral poro neteng pong dopo, ai ce libo ite one lino.
yang terkandung dalam budaya Ngelong Sangged ata pedek one pere, ata uwa one puar, ata
tergambar dalam pelbagai aturan berupa todo lobo golo, ata hela wa bea, ata kaeng neteng
larangan dan kewajiban yang harus dilakukan just, finger and jiri le Mori Dewa. Le hitu ga, hiang
dalam bersikap dan bertindak terhadap alam. bernyanyi di itad, reku bernyanyi di nempung (Asman
Bentuk larangan itu seperti larangan untuk 2021b).
menebang pohon apa pun di dekat mata air, Makna harafiahnya kurang lebih begini: “jangan
larangan untuk melukai binatang secara sembarangan dengan binatang, jangan sembarangan
sengaja, larangan untuk menebang pohon di hutan, karena kita sama dan hidup di
membakar hutan, larangan untuk membuang satu tempat, dunia.
tubah/racun di sungai ketika hendak menangkap
ikan atau binatang air lainnya. Segala sesuatu yang ada di setiap jurang, segala sesuatu
Sementara itu kewajiban yang harus
yang tumbuh di hutan, di gunung atau di atas
dilakukan ialah meminta izin terlebih dahulu
bukit, dan segala sesuatu yang hidup di air diciptakan oleh Tuhan.
(ritus tosi agu tesi) kepada roh-roh atau
Oleh karena itu, marilah kita menghormati segala yang
penunggu dan kepada Mori Jari (Tuhan Pencipta)
kelihatan dan menghargai segala yang ada.
ketika hendak menebang pohon di hutan untuk
Keempat, dimensi religius. Ngelong merupakan suatu
suatu tujuan yang jelas, dan ketika hendak
ungkapan atau ekspresi cita rasa religius orang Manggarai
membuka ladang (poka puar kudut uma rana).
khususnya suku Kasong. Adanya Ngelong
Selain itu kewajiban yang lain juga misalnya
didasari pada kesadaran akan kesakralitasan alam. Dalam
memberikan sesajian sebagai ucapan syukur
kesadaran akan kesakralitasan ini, orang suku
kepada Tuhan (Mori kraeng) yang dilakukan di
kebun ketika hendak memanen hasil bumi Kasong Manggarai melihat adanya hubungan yang

(Asman 2021b).. Dari hal ini dapat dipahami mendalam antara Pencipta dan dunia ciptaan. Segala

dengan jelas bahwa alam dipandang sebagai yang sesuatu yang ada di dunia ini adalah ciptaan dari realitas

sakral, sebagai sesuatu yang ‘hidup’ dan yang tertinggi yang disebut Mori Jari Agu Dedek.

memiliki kekuatan atau roh-roh, menuntut orang


Manggarai untuk menunjukkan sikap yang baik Ekspresi penghormatan dan penghargaan kepada Sang

dalam berelasi. Artinya bahwa segala tingkah Pencipta ini tergambar dalam aneka ritus, baik ritus yang

laku dilakukan di kebun (saat menggarap ladang dan saat panen),


saat mengambil sesuatu dari hutan,
maupun ketika melakuan rekonsiliasi untuk memulihkan
relasi yang sudah retak. Berkaitan dengan rekonsiliasi,
harus disesuaikan dengan norma-norma tertentu yhaanl igni staamnpgaaktdmalaemnjruitunsjurenwgotsinbgetgi di
s ik a p h ormat terhadap alam.
a n h a mb or
Pelanggaran terhadap norma-norma dalam
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Selain itu ada
menjalin relasi dengan alam dari sendirinya menimbulkan
sebuah kewajiban untuk menanam lagi anakan pohon yang
keretakan relasi. Keretakan dalam relasi ini lebih lanjut
baru untuk menggantikan pohon yang telah dipotong
berdampak pada petaka tertentu pada subjek atau khususnya di wilayah
komunitas. Upaya untuk

110 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

sekitar mata air dan juga ditempat lainnya. Hal ini biasa
suatu relasi dialogal. Relasi dialogal ini hendak
disebut dengan istilah lesing weri weru ata poli poka menegaskan penghormatan, kesederajatan, dan cita rasa
(menamam kembali pohon yang baru sebagai ganti senasib dan sepenanggungan ( Riyanto, 2018: 212).
pohon yang sudah ditebang) (Asman, 2021b). Dalam relasi dialogal ini ada persekutuan dan dalam
prinsip persekutuan ini masing-masing individu tidak
KONSEP FILSAFAT DIALOGIS lenyap oleh kehadiran subjek lain. Namun hal itu
BUBER menjadi mungkin bekat perjumpaan. Dalam
perjumpaan, Aku-Engkau saling berdialog. Di sinilah
Model Relasi Manusia masing masing subjek mengalami subjek lain sebagai
rahmat yang memungkinkan masing-masing pihak sadar
Selaku Filsuf yang berdarah Yahudi Martin Buber
akan keunikannya (Pandor, 2014: 190).
menjadi termasyur melalui bukunya Ich und Du atau I
Buber (1987: 16) mengatakan bahwa aku tidak
And Thou (Aku dan Engkau) yang ditulisnya pada
pernah berdiri sendiri, tetapi kehadiranku selalu
tahun 1923. Dalam karyanya ini, ia menampilkan dua
berelasi dengan engkau (Buber 1987).
model relasi manusia yaitu I
and Thou dan I and It. Penjelasan atas dua model Selain merujuk pada manusia, Buber juga
relasi tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, mengartikan terminologi Engkau dengan Tuhan.
relasi I and Thou. Istilah I and Thou (Jerman: Ich- Relasi manusia menjadi mungkin bukan hanya
dengan ‘Engkau’ partikular, melainkan juga dengan
Du, Indonesia: ‘Aku-Engkau’) merupakan istilah yang
‘Engkau’ Absolut atau Allah. Di sinilah religiusitas
digunakan oleh Buber untuk menggambarkan sebuah
manusia memuncak. Bagi Martin Buber relasi I-
model relasi dalam kehidupan manusia. I and Thou
Thou pada akhirnya membawa manusia pada suatu
merupakan model relasi yang merujuk kepada kodrat
cita rasa spiritual. Artinya bahwa relasi dengan
manusia dalam dan holistik. Buber mengatakan kata
Particular Thou (Engkau partikular manusia dan
utama ‘Aku-
alam) mampu membawa manusia pada persatuan
Engkau’ hanya dapat diungkapkan dengan seluruh
keberadaan. Aku adalah Aku ketika Aku dengan Eternal Thou (Allah) (Buber, 1987: 104).
Perjumpaan dengan Allah (Eternal Thou) bukanlah
berelasi dengan Engkau. Tanpa Engkau tidak ada Aku
suatu kegiatan
(Buber, 1987: 44). Dalam Buber, Engkau
yang terpisah dari aktivitas keseharian manusia.
bukan non-Aku (lawan Aku). Di sini tidak ada relasi
Aktivitas keseharian manusia terutama soal relasi
asimetris sebab itu bukan relasi manusiawi.
yang dibangun di atas wadas cinta, membawa
Relasi manusiawi adalah relasi yang timbal balik. Aku
manusia pada tahap-tahap religius hidupnya.
menyapa Engkau dan Engkau menjawab Aku. Itu yang
dimaksud dengan ‘timbal balik’ (Hia, 2015: 306). Kedua, Relasi I-It (Jerman: Ich-Es, Indonesia:
Sebab secara konkret Aku tidak Aku-Itu) merupakan sebuah relasi monologal.
mungkin berkomunikasi dengan diri sendiri. Dalam Relasi ini bertentangan dengan model relasi I- Thou.
berkomunikasi yang terjadi secara intens, Engkau bukan Dalam relasi I-Thou, sesuatu yang di luar diri subjek
hanya lawan bicara, tetapi mengambil peran sebagai dilihat sebagai ‘Engkau’ (Thou), tetapi dalam relasi I-
‘Aku yang lain’, karena Engkau makin memungkinkan It, semua yang ada di luar diriku adalah objek atau
Aku-subjek (Riyanto, 2018: 215). benda-benda yang kapan saja bisa dimanfaatkan,
digunakan dan diperalat.
Dalam relasi I and Thou , yang satu melihat yang
Buber ( 1987: 16 ) mengatakan: “the primary word I-It,
lain bukan sebagai objek melainkan sebagai subjek yang
can never be spoken with the wholle
ia sebut Thou atau Thou. Dengan menggunakan kata
being” (kata utama Aku-Itu, tidak pernah dapat
ganti orang kedua “Thou” Buber hendak menunjukkan
diungkapkan dengan seluruh keberadaan).
suatu hubungan kekeluargaan yang akrab dan penuh
Dengan pernyataan ini Buber memaksudkan
kasih (Rumyaru, 2018: 11). Semua yang saya jumpai
adanya relasi yang tidak utuh yang dibangun
adalah subjek. Relasi yang dibangun ini merupakan
dalam pola relasi I-It, sebab relasi I-It tidak
mengungkapkan keseluruhan being. ‘Engkau’
yang disanjung dalam relasi I-Thou kini telah

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
111
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

menjadi It/ itu (benda). Sesuatu yang di luar diriku


untuk mengenal alam dengan memahaminya dalam
kini tidak ditampilkan secara keseluruhan dan secara
kategori-kategori atau yang disebutnya ‘konstruksi
utuh.
akal budi’. Selain itu pengalaman akan alam tidak
Dalam relasi I-It, objek-objek bahkan tidak lain adalah suatu pengalaman
ditampilkan secara langsung di hadapanku, dan aku inderawi (Buber, 1987: 18). Manusialah yang
menggantikan kehadiran dan pertemuan dengannya mendominasi dan alam tidak lebih dari sebuah
melalui ide-ide yang ada dalam pikiranku. Dalam hal benda.
ini kehadiran objek tidak perlu dialami secara Thou-relation melampaui It-relation. Dalam
langsung. Subjek cukup ‘melihat’ sesuatu, merasakan Thou-relation subjek tidak hanya berhenti pada
sesuatu, membayangkan sesuatu, memikirkan pengamatan semata terhadap apa yang dicerap oleh
sesuatu. indra dan yang dikonstruksi dalam persepsi akal budi,
Ia tidak perlu ke luar untuk menjumpainya (Buber, 1987: tetapi melampaui semua itu. Hal itu yang kemudian
16). Segala sesuatu bisa dipahami dan dimengerti cukup disebut Buber sebagai
dengan dihadirkan dalam kerangka akal budi, tanpa harus “vision” (penglihatan). Dengan “vision” Buber
berdialog dengannya. Di sini Aku menjadi seorang memaksudkan sebuah persepsi yang diperdalam.
individu yang mementingkan diri sendiri serta Artinya alam tidak dilihat dalam
mengabaikan relasi dialogis. Segala sesuatu ditaklukkan objek yang terpisah, tetapi sebagai keseluruhan dan
demi kepentinganku dan relasi yang dibangun berpijak ditampilkan sebagai ada (being) (Wood, 1969, 48).
di atas prinsip oportunis, artinya saya berelasi dengan Lebih lanjut hal ini dipertegas lagi
yang lain di luar diriku (baik benda maupun manusia) oleh Friedman, dengan mengatakan bahwa Thou
sejauh itu berguna dan bermanfaat bagi diriku. Maka pola (Engkau), dalam I and Thou (Aku dan Engkau) tidak
hubungan I-It terbatas pada manusia tetapi termasuk hewan, pohon,
ini tidak akan pernah tumbuh perasaan cinta sesama objek alam dan Tuhan (Friedman, 1955: 57).
yang lain (Badewi, 2016: 84 ) . Objek yang
Kedua, Manusia dengan Manusia. Ruang
ditampilkan dalam relasi I-It pada dasarnya tidak hanya
lingkup kedua dalam relasi menurut Buber yaitu
merujuk pada benda benda kasat mata, tetapi engkau
relasi antara sesama manusia. Relasi antara
sebagai manusia dapat juga diperlakukan sebagai objek
sesama manusia adalah sebuah relasi yang terbuka
/it (Buber, 1987: 15).
(Friedman, 1955, 18). Artinya bahwa relasi itu
berpijak di atas semangat dialog, yang memungkin
Aku dan Engkau saling mengenal. Buber
Ruang Lingkup Relasi Manusia mengutarakan bahwa manusia adalah aku yang
Martin Buber menjelaskan bahwa ada tiga ruang menjalin relasi dengan engkau. Dalam menjalin relasi
lingkup relasi manusia yaitu, relasi manusia dengan dia membangun komunikasi.
alam, manusia dan Tuhan. Pertama, Manusia dengan Dalam komunikasi ini ia menunjukkan kesadaran akan
Alam. Secara garis umum, gagasan Martin Buber dirinya dan akan yang lain (Riyanto, 2018: 215). Lebih
terkait relasi manusia dengan alam semesta, meliputi lanjut Buber (1987: 123) menegaskan bahwa melalui
dua hal, yaitu It relation dan Thou relation. It- Engkau, seorang manusia menjadi Aku. Hal ini jelas
relation berhubungan dengan dua hal yaitu, objek hendak mengungkapkan bahwa ketika terjadi
pengalaman (object of experience) dan objek komunikasi secara intens, Engkau bukan hanya lawan
penggunaan (object of use). Objek pengalaman terdiri bicara, tetapi mengambil peran sebagai aku yang lain,
dari objek pengalaman indrawi (sensory) dan karena Engkau memungkinkan Aku. Buber (1987: 24)
konstruksi mengatakan bahwa Engkau tidak mungkin didapatkan
akal budi (intellectual consruction) (Wood, 1969: dengan mencari. Engkau tampil bagi saya sebagai
46). Dalam It- relation relasi manusia dengan alam suatu rahmat (Buber 1987: 24).
pada dasarnya bersifat monologis. Pada taraf ini Upaya membangun relasi tidak terlepas dari unsur
hanya manusialah yang paling berperan aktif. penting yaitu komunikasi. Tetapi bagi
Manusia menggunakan daya nalarnya

112
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

Buber komunikasi bukan perkara interaksi saja, tetapi


dalam keseluruhan atau keseluruhan yang lain. Lebih
komunikasi yang memiliki kedalaman sebab melalui
lanjut dikatakan bahwa apabila manusia menyucikan
komunikasi aku semakin menjadi manusia yang utuh
atau menguduskan hidupnya, maka ia telah bertemu
(Riyanto, 2018: 217). Relasi dengan yang lain
dengan Allah yang hidup (Friedman, 1955: 104).
merupakan suatu batu pijakan dalam menumbuhkan
Eternal Thou merupakan sebuah relasi yang puncak
benih-benih religiositas. Artinya dalam upaya
dan menyeluruh karena relasi dengan-Nya merangkul
membangun relasi dengan spritual being manusia
segenap liyan (Hilal, 2014: 72). Bagi Buber penyataan
tidak mengasingkan dirinya dari yang lain, tetapi
diri dari Eternal Thou bisa datang kepada siapa saja
justru dalam relasi dialogis dengan sesama, ia
dan tidak dibatasi oleh orang dan agama apa pun
dimungkinkan merajut relasi yang harmonis dengan
(Yahya, 2001: 48).
spiritual being. Singkat kata, relasi yang mendalam
dengan sesama mampu membawa subjek pada relasi Dengan demikian tiga ruang lingkup relasi
dengan Allah. Hal ini diperjelas lagi oleh Buber manusia berada dalam lingkaran yang tak terputuskan.
Kualitas relasi dengan yang satu
dengan mengatakan: “Spirit is not in the I, but
akan mempengaruhi keutuhan relasi dengan yang lain.
beetwen I and Thou” (Buber, 1987: 104).
Artinya ketika Aku berusaha membangun relasi yang
Religiositas hanya mungkin apabila manusia memiliki
baik dan harmonis dengan alam semesta dan juga
relasi perdamaian dengan sesamanya. Buber
dengan sesama manusia, maka pada saat yang sama
mengatakan bahwa unsur yang menjadi fondasi bagi
saya sedang merajut suatu model relasi mendalam dan
terbentuknya relasi Aku-Engkau dengan sesama ialah
harmonis dengan Allah. Demikian sebaliknya. dengan
cinta. Bagi Buber, cinta bukanlah suatu kenikmatan dan
demikian kehadiran yang lain adalah ‘penampakan’
gejolak emosi atau perasaan yang luar biasa, tetapi
dari spiritual being. Ketika manusia mampu
cinta adalah sebuah tanggung jawab terhadap
‘menyapa’ (baca: menghormati dan menghargai) yang
‘Engkau’ ( Friedman, 1955, 59). Cinta memampukan
lain, maka pada saat yang sama ia juga sedang
orang untuk melihat yang lain dalam keseluruhan
menyapa Allah. Hal itu ditegaskan Buber
sebagai Thou bukan It.
(1987: ) demikian: ‘In each Thou we address the eternal Thou’ ).
Ketiga, Manusia dengan spiritual being.
Relasi Aku-Engkau (Manusia) memuncak dalam
relasi aku dengan Allah sebagai Engkau yang abadi, BUDAYA GULUNG DI
sebagaimana yang dikatakan Buber sendiri: “the TERANG FILAFAT DIALOGIS
extended lines of relations meet in the eternal Setelah melihat dua premis dasar di atas, yaitu budaya
Thou” ( Friedman, 1955: 99). Buber menegaskan Ngelong dan pemikiran Buber, berikut ini akan dilihat
bahwa relasi dengan Allah atau spiritual being bagaimana budaya Ngelong dipahami dalam filsafat
merupakan sebuah relasi yang merangkul segalanya. Dialogis Buber. Pertama, Ngelong sebagai Bentuk
Artinya tidak ada sekat- sekat dalam relasi. Relasi Penghormatan dan Penghargaan terhadap Alam. Pada
dengan Allah mengandaikan adanya kesatuan dalam dasarnya hanya manusia yang bisa menghormati dan
menghargai
s e s a m a n y a . H a l in i t i dak terlepas dari kesadaran
membangun dunia. Maka di dalam Allah ada kesatuan ( F r ie d m a n , 1 9 5 5 : 9 9 ) .
Dalam relasi I and Thou (Allah), religiositas manusia dan kemampuannya dalam mengetahui hal yang baik dan
(maksudnya relasi intim manusia dengan Allah) tidak yang buruk. Dalam menghormati dan menghargai yang
terjadi mendadak (Riyanto, 2018: 216). Religiositas lain, manusia menunjukkan keunggulannya sebagai
mengandaikan adanya suatu sikap aktif dari manusia manusia.
untuk membangun relasi dengan aku yang lain yang Sebaliknya ketika manusia tidak menghargai dan
saya jumpai dalam keseharian. Maka bagi Buber, menghormati yang lain itu berarti manusia menyangkal
perjumpaan dengan spiritual being adalah juga keunggulan dan keluhurannya sebagai manusia.
dialami saat ini dan di sini. Perkara hidup bersatu Singkat kata, semakin manusia menghargai dan
dengan menghormati sesama, maka
s e m akin ia menghayati makna kemanusiaannya,
Allah bukanlah suatu perkara akhirat, tetapi Allah ditemu k a n

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121 113
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

sebab menghargai dan menghormati adalah tuntutan


dasar kodrat manusia. Disebut sebagai tuntutan kodrat,
karena hal itu menyatu dengan keberadaan manusia itu
sendiri yang selalu dalam keterarahan kepada yang jawab atas perbuatannya ketika ia telah melukai kaka
lain (Gea, 2002: 224- 225). tana (binatang). Hal yang sama juga, yaitu ketika orang
Manggarai hendak menebang pohon, ia menunjukkan
Dalam konteks budaya Manggarai, menghormati
sikap tanggung jawabnya
dan menghargai adalah suatu sikap dasar yang tidak
dengan melakukan ritus meminta izin terlebih dahulu
saja ditujukan kepada sesama manusia tetapi juga
(kepada roh-roh atau binatang yang mendiami pohon
kepada alam dalam keseluruhannya. Sikap
tersebut serta kepada Mori Jari agu Dedek yang telah
penghormatan dan penghargaan terhadap alam ini
menciptakannya). Demikian juga halnya dengan proses
diungkapkan melalui budaya Ngelong. Dalam budaya
pembukaan lahan (lingko).
Ngelong sikap penghormatan dan penghargaan akan
alam didasari pada kesadaran bahwa manusia sebagai Berbicara tentang tanggung jawab bukanlah hal
anggota komunitas ekologis memiliki yang baru dan asing dalam konsep filsafat dialogis
Martin Buber. Menarik bahwa gagasan tentang tanggung
jawab tidak terlepas dari pembahasannya tentang cinta
sebagai fondasi
kehidupan bersama. Buber mengatakan bahwa ‘cinta itu
bukan soal kenikmatan dari emosi yang
kewajiban moral untuk saling menghormati dan menghabreggai.u indah atau bukan soal ekstasi, tetapi cinta
Sebagaimana dalam kehidupan sosial masyarakat yang itu berkaitan dengan tanggung jawab Aku tehadap
saling menghormati dan menghargai satu sama lain, Engkau’ (Friedman, 1955: 59). Lebih lanjut,
demikian juga dalam konteks komunitas ekologis dilansirkan bahwa sebuah komunitas akan menjadi
setiap orang dituntut untuk menghormati ciptaan lain. lebih baik apabila ditopang di atas sikap tanggung
Pandangan Buber mengenai sikap menghargai dan jawab (Friedman, 1955: 212).
menghormati yang lain (alam) ini kemudian Konsep Buber tentang tanggung jawab tidak
diungkapkannya dengan istilah relasi dialogis. Dalam hanya berpijak di atas dimensi antropologis tetapi juga
relasi dialogis ini hubungan antara subjek dengan difondasikan pada makna spiritual. Artinya, tanggung
sesuatu yang di luar dirinya dipahami sebagai relasi jawab yang diembankan oleh setiap pribadi dalam
timbal balik. menyapa Engkau, difondasikan pada kesadaran akan
‘Aku’ melihat sesuatu yang di luar aku sebagai yang lain sebagai ciptaan Allah. Lebih lanjut, tanggung
‘Engkau’. Di dalam relasi ‘Aku-Engkau’ ini subjek jawab terhadap alam ciptaan merupakan ekspresi dari
memahami yang lain sebagai ‘Aku yang lain’. penghormatan akan Pencipta. Hal itu ditegaskan Buber
Kehadiran dari ‘Engkau’ memungkinkan ‘Aku’. Dalam demikian: “Kita sekarang memiliki tanggung jawab
relasi dialogal, penghormatan atau penghargaan yang besar atas cinta untuk seluruh ciptaan yang ada di
terhadap yang lain menjadi suatu keniscayaan. hadapan Allah (Friedman, 1955: 143). Dan lebih lanjut
Kedua, Ngelong sebagai Bentuk Tanggung Jawab ia mengatakan bahwa komunitas yang sejati hanya
terhadap Alam. Dalam budaya Ngelong, prinsip dapat direalisasikan oleh orang-orang beriman sejati
tanggung jawab terhadap alam menjadi sebuah gagasan yang memikul tanggung jawab hidup yang dihayati di
yang sangat penting. Orang Manggarai menyadari hadapan Allah (Friedman, 1955: 157). Tanggung jawab
bahwa kehadirannya menuntut suatu tanggung jawab dengan demikian merupakan sebuah mandat bagi
dalam menjaga, manusia yang mendasari
merawat, dan melestarikan alam. Sikap tanggung dia dalam membangun cinta dan relasi yang harmonis dengan se
jawab yang ditunjukkan dalam budaya Ngelong Ketika melihat kerangka pemikiran dan pemahaman
ini terlihat dalam aneka ritus yang dilakukan. Dalam Buber yang demikian, maka Ngelong bagi Buber tidak
upacara atau ritus Ngelong rewos beti atau lain merupakan sebuah bentuk ekspresi cinta yang
hambor agu kaka tana (rekonsilasi dengan kemudian diterjemahkan ke dalam sikap tanggung jawab.
binatang-bintang yang terluka atau tersakiti) Ekspresi tanggung
orang Manggarai hendak menunjukkan sikap tanggung jawab itu bukan saja karena alam telah

114
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh


Engkau dan menyapa Engkau. Gagasannya tentang
manusia tetapi karena adanya kesadaran sebagai sesama
cinta yang dipengaruhi oleh hasidisme, membawa
bagi yang lain. Ketika Ngelong tidak hanya dipahami
Buber pada pemahaman mendalam tentang arti
dalam dimensi ekologis melainkan juga dalam dimensi
kehadiran yang lain dalam komunitas. Menarik bahwa
spiritual maka Ngelong ini dipahami Buber sebagai konsep tentang cinta yang dimaknai Buber tidak hanya
sebuah model relasi dialogis. sekedar urusan pada wilayah perasaan tetapi soal
Ketiga, Ngelong sebagai Bentuk Rekonsiliasi tanggung jawabku terhadap kehadiran yang lain
dengan Alam. Rekonsiliasi (hambor) dengan alam (Friedman, 1955: 59). Ketika cinta mengalami
merupakan unsur penting dari ritus Ngelong. kemorosotan oleh karena adanya kesalahan dalam cara
Rekonsiliasi ini difondasikan pada kesadaran orang bertindak terhadap yang lain, maka yang harus
Manggarai yang melihat alam sebagai sesama. Dengan dilakukan adalah mengupayakan rekonsiliasi.
memandang alam dalam keseluruhannya, orang Rekonsiliasi dilakukan ketika terjadi kesalahan.
Manggarai akhirnya dibawa pada suatu cara pandang Ketika gagasan eksistensi Buber difondasikan pada
baru tentang segala sesuatu yang ada di alam ini, yakni relasi, maka bagi Buber Manusia tidak pernah bersalah
sama- sama memiliki nilai kehidupan dalam diri terhadap dirinya sendiri. Dia selalu bersalah terhadap
masing- masing. Alam dilihat dalam kaca mata relasi yang lain, terhadap dunia, terhadap yang mengatasi
‘Aku- Engkau’. Hal ini terlihat dengan jelas dalam ritus dirinya. Rekonsiliasi, dengan demikian berarti, harus
Hambor agu kaka tana (rekonsiliasi dengan menjurus kepada tiga ruang lingkup tersebut yaitu
binatang) rewos beti (ritus Ngelong untuk rekonsiliasi dengan orang lain, dengan dunia (baca:
memohon kesembuhan) tatkala orang Manggarai telah alam), dan rekonsiliasi dengan “Engkau Abadi”
melukai mereka.
(Friedman, 1967: 188). Konsep Ngelong sebagai
Orang Manggarai menyadari bahwa perlu sebuah model rekonsiliasi dengan demikian sejauh ini
adanya perdamaian dengan alam semesta. memiliki garis lurus dengan gagasan rekonsiliasi dari
Dengan adanya kesadaran ini maka setiap kali mereka Buber. Rekonsilasi dalam budaya Ngelong jika dilihat
telah melukai binatang atau menebang pohon secara secara sepintas terkesan hanya berhubungan dengan
sembarangan entah di hutan, saat membuka lingko alam.
(membuka kebun), ataupun dalam proses pengerjaan Sementara itu dalam gagasan Buber rekonsiliasi
kebun, mereka wajib melakukan permintaan maaf. merujuk pada tiga ruang lingkup.
Dalam praktiknya, orang biasanya membawa telur Keempat, Ngelong sebagai Pengungkapan Cita
(simbol dari tuak) atau ayam dan selanjutnya Rasa Religius. Gagasan tentang Ngelong sebagai
mengungkapkan permohonan maaf atas kesalahan pengungkapan cita rasa religius tidak terlepas dari
mereka terhadap kaka tana (binatang) atau apa saja lingkungan cara berpikir orang Manggarai yang melihat
yang telah mereka lukai atau sakiti. Proses rekonsiliasi alam sebagai sesuatu yang sakral. Bagi orang
terhadap alam semesta, memiliki kesamaan dengan Manggarai, alam bukan semata-mata sebagai sumber
proses rekonsiliasi (hambor) dengan sesama manusia. yang memberikan segala sesuatu yang mereka perlukan
Kesamaannya di sini bukan karena kebetulan tetapi untuk mempertahankan hidup, melainkan juga
karena alam dilihat sebagai ”sesama“ dan diperlakukan memiliki daya dan kekuatan yang dahsyat. Kesadaran
sama seperti sikap terhadap sesama. akan daya dan kekuatan dahsyat alam yang melampaui
Konsep tentang rekonsiliasi bukanlah hal yang kemampun manusia, membawa orang Manggarai pada
asing bagi Buber. Gagasan Buber tentang cara pandang yang bercorak mistik terhadap alam.
rekonsiliasi memiliki hubungan yang sangat erat Alam kemudian tidak sekedar tempat (place) tetapi
dengan gagasannya tentang cinta. Bagi Buber cinta sebagai ruang (space) yang sakral, pusat segala makna
merupakan fondasi dari relasi I-Thou. dan kehidupan dan sumber utama yang memberikan
Cintalah yang memungkinkan aku bisa mengenal kehidupan (Friedman, 1967: 293). Orang Manggarai meyakini

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
115
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

bahwa hutan, sungai, rawa-rawa adalah tempat tinggal


Perjumpaan dengan spiritual being adalah suatu
dari roh-roh. Keyakinan ini kemudian membangun suatu
perjumpaan yang mulai dialami ‘di sini dan saat ini’
sikap yang menuntut manusia untuk menunjukkan sikap
(hic et nunc) yang dibingkai dalam keutuhan relasi
hormat terhadap alam.
dengan Thou atau Engkau baik Thou yang adalah
Pemahaman dan kesadaran orang Manggarai akan manusia maupun Thou sebagai alam semesta. Ketika
alam rupanya tidak berhenti pada penilaian akan alam manusia menguduskan atau menyucikan hidupnya
dalam dirinya, tetapi mereka berusaha masuk ke ruang melalui relasi yang harmonis maka ia telah bertemu
refleksi yang lebih dalam yakni melihat Pencipta di dengan Allah (Buber, 1987: 104). Lebih lanjut
balik apa yang diciptakan. dikatakan bahwa Allah tidak bisa dicari, tetapi Ia hanya
Mereka percaya bahwa alam adalah ciptaan Mori bisa disapa (baca: dihormati dan dihargai) melalui
Kraeng. Sehubungan dengan itu, ada istilah atau kehadiran ‘yang lain’(Wood, 1969: 130). Jadi
sebutan lain untuk Mori Kraeng atau Tuhan yang kehadiran ‘yang lain’ bagi Buber adalah penampakkan
berkaitan dengan ciptaan, yaitu Mori Ngaran (Dewa dari spiritual being. Relasi manusia, alam, dan Tuhan,
dan Penguasa), Jari agu Dedek (Menjadi dan bagi Buber adalah sebuah relasi yang berada dalam
Pembuat), Ciri agu Wawo (Menjadi dan Rujukan), satu-kesatuan. Ketiga relasi ini pada akhirnya
Jari agu Dading (Menjadi dan Lahir), Ema Eta, memuncak dalam relasi dengan Thou atau Engkau
Ende wa (ayah di atas/langit dan ibu di bawah/bumi) (Riyanto, 2018: 103 ).
(Verheijen, 1991: 38-40). Biasanya dalam tuturan adat
Bagi Buber, Ngelong adalah sebuah model relasi
(torok) atau dalam go'et (ungkapan adat) pengucapan
‘I and Thou’. Perjumpaan dan persatuan hubungan
Mori Agu Ngaran- Jari Agu Dedek dinyatakan
antara tiga ruang lingkup relasi yaitu manusia, alam,
dalam satu kesatuan sebagai frase.
dan Tuhan yang menjadi unsur hakiki dari Ngelong
Dengan berpijak di atas pemahaman bahwa alam memiliki tempat dalam peta pemikiran Buber. Model
adalah ciptaan, tempat tinggal (Roh roh) bahkan relasi yang digagaskan oleh Buber yaitu relasi dialogis
sebagai jejak sang Pencipta atau singkatnya sebagai telah ada, telah dihidupi dan telah dimaknai oleh orang
ruang sakral maka segala aktivitas yang berhubungan Manggarai dalam praksis hidup mereka. Bahkan
dengan alam (seperti membuka ladang, saat panen, gagasan tentang relasi puncak dari model relasi ‘I and
saat mengambil kayu, dan saat berburu) harus Thou’ yaitu persatuan dengan Spiritual Bieng, telah
didahului dan diakhiri oleh sebuah ritus meminta izin menjadi bagian dari hidup orang Manggarai. Cita rasa
sebagai bentuk penghormatan terhadap alam.Lebih spiritual orang Manggarai ketika berhadapan dengan
lanjut apabila dalam kehidupan sehari-hari telah terjadi alam adalah sebuah lukisan nyata dari gagasan relasi
keretakan relasi karena tidak memperhatikan ritus-ritus dialogis ‘I and Thou’.
di atas, dan bertindak semena-mena baik terhadap
tumbuhan maupun terhadap binatang maka harus
Dari empat gagasan di atas dapat dipahami bahwa
dilakukan upacara hambor
gagasan orang suku Kasong-Manggarai yang begitu
atau rekonsiliasi untuk memulihkan kembali relasi
mendalam tentang alam semesta, memiliki kesejajaran
yang sudah retak sebagaimana yang ditampilkan dalam
dengan konsep relasi dialogis (Aku–Engkau) Martin
ritus Ngelong sebagai rewos beti.
Buber. Dalam cetusan filosofisnya, Martin Buber
Berkaitan dengan relasi manusia dengan Tuhan melihat bahwa relasi ideal yang mesti dibangun oleh
dalam kesatuan hubungan dengan Alam, Martin manusia ialah relasi dialogis. Relasi dialogis ini
Buber telah menegaskannya dalam pembahasannya memaksudkan adanya suatu cara pandang baru, yaitu
tentang ruang lingkup relasi manusia khususnya melihat yang lain sebagai ‘Engkau’.
relasi manusia dengan spiritual being. Bagi Martin Lebih lanjut konsep tentang ‘Engkau’ yang
Buber, perjumpaaan dengan spiritual being tidak dikedepankan oleh Buber ini mengarah kepada tiga
terjadi secara mendadak dan tidak pernah muncul hal, yaitu manusia, alam, dan Tuhan.
begitu saja secara mudah dan instan (Riyanto, 2018:
216).

116 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

Manusia, alam, dan Tuhan, demikian Buber, berada


Menyadari hal ini maka sudah saatnya untuk secara masal
dalam satu kesatuan relasi. Keutuhan relasi
melakukan gerakan-gerakan untuk memulihkan kondisi
dengan yang satu mengandaikan keutuhan relasi dengan
lingkungan yang lebih baik.
yang lain, demikian sebaliknya. Dalam pembahasannya
Namun untuk sampai pada hal ini upaya untuk mengubah
pula, Buber menekankan bahwa relasi manusia dengan
cara pandang manusia terhadap alam juga menjadi sangat
manusia dan manusia dengan alam (atau biasa
urgen untuk dilakukan.
disebutnya Particular Thou) memuncak dalam relasi
Sebuah kenyataan bahwa alam kita sedang ‘sakit’.
dengan Tuhan (Eternal Thou). Ketiga ruang lingkup
Namun jika ditinjau lebih dalam rupanya bukan hanya
relasi ini berada dalam serangkaian hubungan yang tak
alam yang ‘sakit’ tetapi juga manusia. Salah satu faktor
terpisahkan.
yang menyebabkannya adalah karena defisit cinta. Secara
Ketika Ngelong dimaknai dalam pemikiran atau fenomenologis dapat disaksikan masyarakat yang apatis
konsepsi filosofis Buber, maka tidak menjadi sebuah dan ‘mati rasa’ terhadap sesama dan lingkungannya. Atas
kesulitan untuk mengatakan bahwa Ngelong adalah situasi ini cinta yang berkarakter kiranya menjadi vitamin
sebuah model relasi dialogis ‘I and Thou’. Ngelong untuk menyembuhkan masyarakat yang sakit. Oleh karena
sebagai sebuah relasi dialogis, yang menekankan model itu, gerakan ‘amorisasi’ menjadi sangat penting (Pandor,
relasi Aku Engkau, terkandung di dalamnya sebuah cara 2014: 88) melalui penataan diri dan tindakan praksis.
pandang yang utuh tentang alam semesta. Alam tidak Pendekatan multi dimensi (sosial, budaya, ekonomi politik)
dilihat sebagai objek yang harus dikuasai dan ditakluki untuk melihat dan mengatasi persoalan lingkungan ini
tetapi dilihat sebagai subjek. menjadi sesuatu yang penting (Prakasa, 2016: 16). Budaya
Gagasan tentang alam sebagai subjek ini tampak dalam Ngelong sebagai sebuah pendekatan budaya/ kearifan
kedekatan bahkan keintiman relasi orang Manggarai lokal menggencarkan gerakan amorisasi di tengah dunia
dengan alam. Kedekatan hubungan itu selain terlihat yang sedang sakit. Sebab kearifan lokal ini menampilkan
dalam praksis hidup juga tampak dalam kesadaran dan dua sisi yang selalu beriringan yakni aspek kesadaran (ad
konsep yang tertuang dalam ritus-ritus. Cara pandang ini intra) dan praksis (ad ekstra). Di satu sisi budaya
kemudian dipertegas Ngelong mengingatkan manusia untuk memiliki suatu cara
oleh Fritfjof Capra dengan istilahnya yaitu Ecoliteracy pandang yang holistik dengan mengedepankan aspek saling
atau ‘Melek Ekologi’(Keraf, 2014: 127). ketergantungan, saling menghormati antara manusia dan
alam dan sisi lain Ngelong juga menampilkan serta
menawarkan suatu tindakan praktis untuk merawat bumi
RELEVANSI melalui nilai-nilai moralnya berupa larangan dan
kewajiban.
Setelah melihat hubungan antara budaya Ngelong suku
Kasong Manggarai dengan filsafat dialogis Martin Buber, Kedua, bagi bangsa Indonesia. Bangsa terkenal
maka baiklah dilihat relevansi kolaborasi kedua gagasan sebagai bangsa yang memiliki bentangan alam
ini tehadap manusia universal, bagi bangsa Indonesia dan yang luas. Bentangan alam yang luas ini menjadi salah satu
bagi Masyarakat suku Kasong Manggarai. aset bangsa yang menjamin kelangsungan hidup manusia
Pertama, bagi manusia universal. Indonesia.
Persoalan lingkungan hidup bukan saja sebuah persoalan Menarik bahwa para pendiri bangsa sudah sejak awal
lokal tetapi sebuah persoalan global yang sedang menimpa memiliki sebuah perhatian terhadap keberlangsungan
semua negara di dunia saat ini. hidup bangsa Indonesia terutama terkait dengan sikap
Krisis ekologi, perubahan iklim yang ekstrim, terhadap alam semesta di bumi pertiwi ini. Hal itu tampak
menimbulkan aneka bencana yang pada akhirnya dalam pengaturan hak atas lingkungan hidup dalam
merenggut kehidupan manusia itu sendiri. Dengan itu hukum positip Indonesia yang tercantum dalam konstitusi
menjadi sangat jelas bahwa persoalan lingkungan dan beberapa peraturan lainnya. Hal
hidup merupakan pesoalan semua orang (Sallsabillah and
Buana, 2021: 105).

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121 117
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

itu bisa dilihat dalam alinea keempat Pembukaan UUD ekosistem atau yang disebut dengan ekosida.
1945 yang berbunyi ”membentuk suatu pemerintah Diketahui bahwa setiap tahunnya tidak kurang dari 4,1
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa juta hektar hutan di Indonesia berganti menjadi areal
Indonesia.”, serta dikaitkan dengan hak penguasaan pertambangan, perkebunan besar dan Kawasan
kepada negara atas bumi, air, dan kekayaan yang industri lainnya (Arliman S, 2018: 763). Semua ini
terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya hanya menguntungkan segelintir orang. Tidak bisa
kemakmuran rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 33 disangkal bahwa antara faktor ekonomi dan ekologi
(3) ada hubungan yang kuat. Kelangsungan ekonomi
UUD 1945 (Permadhi, 2019: 27). sangatlah bergantung kepada ekologi. Dan yang
Lebih lanjut, Amandemen UUD 1945 Pasal 28 terjadi ialah tidak adanya mutualisme dimana sistem
H (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup yang satu hanya parasit bagi sistem yang lain
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan (Chayandito, 2006: 6). Diketahui pula bahwa isu
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat pembangunan berkelanjutan di Indonesia baru
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal mencapai dua per tiga dari target maksimum. Selain
33 (4) mengatakan: “perekonomian nasioanal itu berdasarkan aspek keberlanjutan, yaitu ekonomi,
diselenggaran berdasar atas demokrasi ekonomi lingkungan dan sosial, ternyatan kemajuan cukup
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, tinggai tejadi pada sisi ekonomi dan sosial, sementara
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, aspek lingkungan banyak
serta dengan menjaga terkoreksi oleh degradasi (Margiyono et al., 2019: 44).
keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”(Permadhi, 201K9e: n2y7a).taan ini tentu saja menuntut
Sementara hak dan kewajiban warga negara pemerintah dan semua elemen untuk bekerja lebih
sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Hak keras dan sungguh-sungguh menjadikan
Asasi Manusia (HAM) yang merupakan bagian tak pembangunan yang berkelanjutan tetap menjadi
terpisahkan dari Tap MPR No. XVII/ MPR/1998 prioritas utama dan corak dasar pembangunan di
yang ditetapkan oleh sidang istimewa MPR tahun Indonesia meskipun membutuhkan sebuah proses
1998, diantaranya menyatakan bahwa manusia yang tidak mudah. Ciri khas dari model pembangunan
adalah Mahkluk Tuhan yang Mahaesa yang ini ialah perhatian pembangunan tidak hanya
berperan sebagai menyasar pada manfaat ekonomi tetapi juga manfaat
pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan sosial, lingkungan (alam),
serasi dengan ketaatan kepada-Nya. dan budaya yang berkelanjutan (Jenaru, 2017: 15).
Manusia dianugerahi hak asasi dan tanggung jawab Dalam hal ini upaya ekonomi perlu menghormati
serta kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, integritas dan ritme alam dengan bijak. Hal ini
martabat kemuliaan kemanusiaan serta menjaga dikarenakan sumber daya alam yang terbatas
keharmonisan kehidupan. Pada dan sikap bangsa dan beberapa diantaranya tidak dapat diperbarui. Jadi,
terhadap Hak Asasi Manusia yang bersumber dari perlu untuk menentang ekonomi eksploitatif dan pola
ajaran pembangunan yang justru membahayakan
agama, nilai moral universal, dan nilai luhur ketersediaan sumber daya
a la m , b ai k un t u k g e n e r a s i s ekarang maupun
budaya bangsa, serta berdasarkan pancasila dan UUD 1 9 45 (P e rm a d h i, 2 0 1 9 : 2 7 ) .
yang akan datang (Denar, Juhani, and Riyanto 2021: 69).
Apa yang digaungkan oleh Konstitusi dan
undang-undang ini rupanya tidak dihayati dengan Dalam konteks seperti ini Ngelong yang
semestinya, baik oleh pemerintah sebagai pemangku merupakan kearifan lokal suku Kasong
kekuasaan maupun oleh masyarakat Indonesia. Hal Manggarai hendaknya menjadi kearifan ‘nasional’.
itu tampak jelas dalam banyak kasus dan salah Artinya gagasan-gagasan inti budaya Ngelong
satunya ialah fenomena eksploitasidalam skala masif (tanggung jawab, penghormatan, penghargaan serta
tehadap rekonsiliasi terhadap alam) dan nilai-nilai yang
sumber sumber daya alam tersebut secara terkandung di dalamnya (keharmonisan,
p e n g h a rgaan terhadap kehidupan, dan spiritual)
terbuka yang berdampak pada perusakan hingga pemu s n a h a n

118 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

perlu dihidupi oleh semua orang Indonesia, dan


budaya Ngelong tentu saja menjadi sebuah cara untuk
secara khusus mereka yang memangku jabatan dan
menggugah kesadaran orang Manggarai
yang berpengaruh dalam menentukan keputusan dan itu sendiri untuk semakin hari semakin bertumbuh
kebijakan. Sehingga dengan demikian alam tidak lagi
alam cita rasa ekologis. Oleh karena itu, peran semua
tampil dengan ‘ganas’ yang selalu menelan korban
masyarakat pada umumnya dan lembaga keluarga pada
tatkala ia murka, tetapi sebagai ‘Engkau’ atau sesama
khususnya sangat penting dalam menanamkan kearifan
yang
lokal ini kepada generasi
memungkinkan aku untuk hidup dalam keharmonisan damnukdead. aSmealaiainni.tu budaya Ngelong hendaknya
Pendekatan kearifan lokal untuk menangani juga dimaknai dengan sungguh-sungguh supaya tidak
persoalan lingkungan hidup tentu saja masih sangat jatuh pada ritualisme dan kecenderugan antroposentrisme.
relevan dan sangat penting (Gunawan, Digdoyo, and
Subarkah, 2014: 207). Menghidupi kearifan lokal
KESIMPULAN
Ngelong tentu saja bukan suatu kemunduran, dalam
arti kembali pada zaman atau tahap mitologi Munculnya budaya Ngelong tidak terlepas dari
sebagaimana dalam gagasan Van Peursen, tetapi keyakinan dan kesadaran orang Manggarai yang melihat
penghayatan akan nilai-nilai yang terkandung di dirinya sebagai bagian dari alam semesta. Sebagai
dalamnya menjadi sebuah hal penting untuk anggota komunitas kosmik, orang Manggarai memiliki
dilakukan. Dengan demikian upaya untuk berkiblat kewajiban untuk menjaga keharmonisan relasi di antara
dan belajar pada kearifan lokal menjadi urgen dalam unsur unsur yang membentuk ‘rumah bersama’ ini.
menentukan sebuah kebijakan yang sangat Kesadaran yang membawa pada cara pandang
berpengaruh keutuhan ciptaan/lingkungan. Indonesia demikian ini pada akhirnya membawa batasan batasan
adalah negara berbudaya. Nilai-nilai luhur kebudayaan tertentu berkaitan dengan sikap-sikap yang mesti
itu hendaknya juga menjadi spirit dasar dalam dibangun. Ketika manusia melanggar kenyamanan
pembangunan bangsa. Sebab dari kearifan lokal dan tata hidup bersama dalam komunitas kosmik,
mengalirlah karakter edukatif-etis yang membentuk maka ia harus melakukan rekonsiliasi, demi
pola perilaku terhadap sesama ciptaan (Riyanto, 2018: memulihkan kembali relasi yang harmonis.
118). Oleh karena itu, konsep penghormatan, Gagasan orang Manggarai yang begitu mendalam
penghagaan, tanggung jawab, dan rekonsiliasi terhadap tentang alam semesta, rupanya memiliki kesejajaran
alam sebagaimana yang menjadi point utama dalam dengan konsep relasi dialogis (Aku–Engkau) Martin
budaya Ngelong suku Kasong Manggarai hendaknya Buber. Dalam cetusan filosofisnya Martin Buber
menjadi semangat dasar bangsa melihat bahwa relasi ideal yang mesti dibangun oleh
Indonesia baik di kalangan pemerintah pemangku manusia ialah relasi dialogis. Relasi dialogis ini
kekuasaan, maupun masyarakat pada umumnya. memaksudkan adanya suatu cara pandang baru, yaitu
Dengan cara demikian maka pola relasi I and Thou melihat yang lain sebagai ‘Engkau’.
dengan alam dimungkinkan terjadi. Lebih lanjut konsep tentang ‘Engkau’ yang
Ketiga, bagi masyarakat Manggarai sendiri. dikedepankan oleh Buber ini mengarah kepada tiga
Ngelong merupakan budaya yang khas dari suku hal, yaitu manusia, alam, dan Tuhan.
Kasong Manggarai. Kearifan lokal yang begitu Dengan diterangi oleh gagasan Buber ini, maka
mendalam nilai dan maknanya ini harus tetap dipelihara budaya Ngelong suku Kasong Manggarai dipahami
dan menjadi pedoman dalam berelasi dengan alam sebagai sebuah model relasi dialogis terhadap alam.
semesta. Ngelong tidak boleh menjadi sebuah kearifan Ngelong sebagai sebuah model relasi I and Thou
yang pada akhirnya tertinggal hanya sebuah kisah dan mengandung di dalamnya penghormatan dan
berlaku hanya sampai pada generasi tertentu saja. Tentu penghargaan terhadap alam, tanggung jawab terhadap
sangatlah disayangkan jika yang terjadi demikian. alam, rekonsiliasi dengan alam serta sebagai sebuah
Menggali dan mendalami ekspresi dari

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121 119
Machine Translated by Google
Agustinus Asman; F.X Eko Armada Riyanto

cita rasa religius. Nilai- nilai yang mengalir dari Friedman, Maurice. 1967. "Filsafat Martin Buber." dalam
budaya ini ialah keharmonisan, penghargaan terhadap The Philosophy of Martin Buber, diedit oleh MF
kehidupan, dan nilai religius. Relevansi yang dan PA Schilpp. Amerika Serikat: Perpustakaan
Filsuf Hidup.
diberikan tidak saja dalam kotenks lokal tetapi juga
Friedman, Maurice S. 1955. The Life of Dialogueitle.
nasional dan bahkan global. Sebab kerusakan
Chicago: Universitas Chicago Press.
lingkunan hidup terjadi dari konteks lokal hingga
Gea, Antonius Atosokhi. 2002. Relasi Dengan Sesama.
global dari tanggung jawab pemulihannya pun Jakarta: PT. Gramedia.
melibatkan semua orang
Gunawan, Rudy, Eko Digdoyo, and Aryo Subarkah.
baik dari konteks lokal, nasional, hingga global.
2014. “Budaya Kearifan Lokal Dalam Tata Kelola
Dengan demikian budaya Ngelong suku Kasong Dan Pengembangan Lingkungan Kota.”
Manggarai pada akhirnya bukan saja sebuah Jurnal Sejarah Dan Budaya 8(2):207–14.
‘kearifan lokal’, tetapi juga ‘kearifan nasional’ dan Hadis Badewi, Muhammad. 2016. “Hubungan Interpersonal
‘kearifan global’. dalam Nilai Budaya Bugis: Perspektif Filsafat Dialogis
Martin Buber.” Jurnal Filsafat 25(1):75. doi:
10.22146/jf.12615.
DAFTAR PUSTAKA
Heydemans, Nency Aprilia, dan Fienny Maria Langi.
2019. “Rekonsiliasi Pemuda Dengan Alam.”
Adon, Mathias Jebaru. 2021. “Folkways Lonto Leok Budaya Jurnal Studi Pemuda 8(2):156. doi: 10.22146/
Manggarai Dalam Terang Pemikiran William studipemudaugm.48448.
Sumner Tentang Masyarakat Sebagai Kerjasama Hia, Robeti. 2015. “Konsep Relasi Manusia Ber
Antagonistic.” Journal of Educa tion, Humaniora dasarkan Pemikiran Martin Buber.” Melintas
and Social Sciences (JEHSS) 4(1):411–21. doi: 30(3):303. doi: 10.26593/mel.v30i3.1448.303-
10.34007/jehss.v4i1.671. 322.
Arliman S, Laurensius. 2018. “Eksistensi Hukum Hilal, Muhammad. 2014. “Tuhan Dalam Filsafat Dialog
Lingkungan Dalam Membangun Lingkungan Sehat Di Martin Buber.” Jurnal Pusaka.
Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum 5(1):761– HRS/GRE. 2019. “Indonesia Darurat Bencana.” Har ian
70. doi: 10.5281/zenodo.1683714. Kompas, 6.
Armada Riyanto. 2018. Relasionalitas Filsafat Fon dasi Janggur, Petrus BA. 2010. Butir-Butir Adat Mang garai.
Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen,. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Yogyakarta: Kanisius.
Jenaru, Avent OFM. 2017. “Konflik Alam Dan Hak Asasi
Asman, Agustinus. 2021a. Wawancara Dengan Bpk. Manusia (HAM) Di Papua.” Gita Sang Surya 12.
Romanus Balar Tetang Budaya Ngelong
Suku
Keraf, Soni. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup. Yog
Kasong Manggarai Pada Tgl.25-27
Oktober 2021. yakarta: Kanisius.
Margiyono, Margiyono, Ahmad Fauzi, Ernan Rus tiadi, and
Asman, Agustinus. 2021b. Wawancara Dengan Bpk.
Bambang Juanda. 2019. “Kerugian Ekologis
Theodorus Gadul Tentang Budaya Ngelong
Dalam Pembangunan Di Provinsi Kalimantan
Suku Kasong Manggarai Pada Tgl. 12-14 Timur.” Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan
Oktober 2021. Publik
Buber, Martin. 1987. Aku dan Kamu. Southampton: 10(1):43–55. doi: 10.22212/ jekp.v10i1.1162.
Cammelot Press PLC.
Chayandito, Fani........2006. “Pembangunan Berkelan Pandor, Pius. 2014. Seni Merawat. Jakarta: Obor.
jutan, Ekonomi Dan Ekologi, Sustainability Permadhi, Putu Lantika Oka. 2019. “HAK ATAS
Communication Dan Sustainability Reporting.” LINGKUNGAN HIDUP DILIHAT DALAM
Jurnal Fakultas Ekonomi Dan Bisnis LMFE PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDO
i(022):1–12.
NESIA.” Jurnal Hukum Saraswati (JHS) 1:21–32.
Denar, Benny, Sefrianus Juhani, and Armada Riyanto. 2021.
“Dimensi Ekoteologi Roko Molas Poco dalam Tradisi
Prakasa, Satria Unggul Wicaksana. 2016. “ECOCIDE
Pembuatan Rumah Adat Masyarakat Manggarai - CRIMES& OMNIBUS LAW: REVIEW OF
NTT.” JURNAL ORIENTASI ASIA dalam INTERNATIONAL LAW AND ITS IMPLI
TEOLOGI 03(01):59–88. doi: 10.24071/ CATIONS ONINDONESIA LAW.” Dinamika Ham
jaot.v3i1.3218.
12(2):1–23. doi: https://doi.org/10.24123/
jdh.v12i2.2898.

120 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121
Machine Translated by Google
BUDAYA NGELONG SUKU KASONG MANGGARAI DALAM TERANG FILSAFAT DIALOGIS MARTIN
BUBER

Putra, Darius Ade. 2021. “Merengkuh Bumi Merawat


Sallsabillah, Fiona, and Universitas Mercu Buana.
Semesta: Mengupayakan Hermeneutik Ekolo gis 2021. “HUKUM LINGKUNGAN DARI
Dalam Rangka Menanggapi Kerusakan PERSPEKTIF HUKUM KEGIATAN BIS NIS.”
Lingkungan Dewasa Ini.” Aradha: Journal of Jurnal Ilmu Hukum Humaniora Dan Ilmu Politik
Divinity, Peace and Conflict Studies 1(1):71.
1(1):104–15. doi: https://doi. org/10.38035/
doi: 10.21460/aradha.2021.11.537.
jihhp.v1i1.354.
Riyanto, Armada. 2018. “Mendesaian Riset Filosofis
Verheijen, SVD. 1991. Manggarai Dan Wujud
Fenomenologis Dalam Rangka Mengembang kan
Tertinggi. Jakarta: Lembaga Pengetahuan
Berfilsafat Indonesia.” in Metodologi Risert Studi Indonesia.
Filsafat Teologi, edited by D. Y.
Raharso, A. Tjatur. Malang: Dioma. Wijanarko, Robertus. 2011. “Mencermati Visi Kos
mologis Kontemporer, Tinjauan Kritis Atas
Robert E. Wood. 1969. Ontologi-an Analisis Martin Dominasi Pemikiran Materialistik.” in Minum
Buber tentang Aku dan Engkau. Evanston:
dari Sumber Sendiri dari Alam Menuju
Pers Universitas Utara.
Tuhan, edited by B. Valentinus, Phang. Malang:
Rumyaru, Bruno. 2018. “‘Top Ten’, Citra Relasional Seri Filsafat Teologi Widya Sasana.
Manusia Dalam ‘Trias Entitas’ Tinjauan Kritis
Yahya, Panca. 2001. “Mengenal Martin Buber Dan
Dialogis Pandangan Buber Dan Heidegger.”
Filsafat Dialogisnya.” Veritas : Jurnal Teologi
Expose: Jurnal Ilmu Komunikasi 1(1):9–18.
Dan Pelayanan 1(April):37–50.
doi: 10.33021/exp.v1i1.366.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 1 Tahun 2022, hlm. 105–121 121

Anda mungkin juga menyukai