Mengkaji hal-hal yang sifatnya ghaib seperti turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam di akhir zaman,
tentu tak luput dari pro dan kontra. Karena sebagai bagian dari ranah keimanan, tentu itu
semua tak bisa ditelisik hanya dengan mengandalkan indera manusia yang terbatas. Siapa
yang tak mampu menundukkan akalnya di bawah kendali keimanan, niscaya ia akan berada
di barisan pasukan pengingkar.
Ahmadiyyah
Golongan lain yang menyeleweng dalam hal keimanan akan turunnya Al-Masih Ibnu
Maryam ‘alaihimassalam adalah Ahmadiyyah. Aliran yang diprakarsai oleh seorang bernama
Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani ini mengklaim bahwa dirinyalah sesungguhnya yang
dijanjikan dalam hadits-hadits akan turunnya Isa Ibnu Maryam. Namun karena tahu bahwa
dirinya bukanlah Al-Masih Ibnu Maryam maka dia menciptakan suatu doktrin bagi
pengikutnya bahwa Al-Masih Ibnu Maryam telah mati. Ini dia lakukan demi mencapai
sebuah sasaran, yakni bahwa sebenarnya yang muncul bukanlah Al-Masih, tapi orang yang
menyerupainya. Siapa dia? Tentu yang dia maksudkan adalah dirinya.
Bantahan:
Amat mudah sebenarnya mengungkap kedustaan mereka dan membantah pembodohan
mereka terhadap umat. Saya nyatakan, mereka tentunya mengimani hadits-hadits yang
menerangkan akan turunnya Isa. Jika tidak, bagaimana mungkin mereka mengklaim bahwa
yang dijanjikan dalam hadits adalah orang yang menyerupai Al-Masih.
Dan sejak awal langkah, akan hancurlah proklamasi mereka bahwa Mirza-lah yang dijanjikan
dalam hadits. Karena jikalau mereka mengimani hal itu, semestinya pula mereka beriman
dengan sifat-sifat fisik Al-Masih, bagaimana peristiwa turunnya, misi yang diembannya,
serta kondisi alam pada zamannya. Termasuk dua hal yang disebut oleh At-Tuwaijiri di atas,
bahwa ia membunuh Dajjal dan bahwa setiap orang kafir yang mendapati desah nafasnya
pasti akan mati.
Apakah ini terjadi pada Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadyani, bila ia benar-benar orang yang
dijanjikan dalam hadits? Tentu setiap orang tahu –termasuk Mirza sendiri– bahwa itu semua
tidak terjadi pada dirinya. Demikian pula kata-kata “turun” yang tidak menunjukkan adanya
kematian, mereka takwil. Sehingga tidak mereka imani apa adanya, bahkan mereka
selewengkan kepada makna lain, semacam “keluar” atau “kebangkitan”.
Adapun anggapan mereka bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam telah wafat, tidak diangkat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu ini juga merupakan kebatilan yang nyata. Melalui
pembahasan sebelumnya, pembaca dapat menakar seberapa nilai keyakinan ini.
Namun mereka berupaya melegitimasi keyakinan tersebut dengan ayat yang mereka
selewengkan maknanya. Di antaranya:
وما محمد* إل رسول* قد خلت من قبله الر]سل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang
(murtad)?” (Ali ‘Imran: 144)
Mereka anggap bahwa para nabi seluruhnya telah wafat atas dasar makna ( )خلتyakni yang
telah mati. Dan bahwa Abu Bakr berdalil dengan ayat ini atas kematian Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena para nabi sebelumnya telah mati. Para sahabat juga
berijma’ atas kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh rasul
sebelumnya.
Jawab: Seandainya kita terima bahwa ( )خلتbermakna mati, maka dalil-dalil yang lain
menunjukkan pengkhususan Isa dari hukum ini. Artinya mereka semua mati terkecuali Isa.
Lalu, siapakah yang menukilkan “ijma’ para shahabat” bahwa mereka sepakat atas kematian
seluruh nabi termasuk Nabi Isa? Bukankah ini semata-mata kedustaan?
إذ قال ال يا عيسى إني متوفيك ورافعك إلي ومطهرك من الذين كفروا وجاعل الذين اتبعوك
فوق الذين كفروا إلى يوم القيامة ثم إلي مرجعكم فأحكم بينكم فيما كنتم فيه تختلفون
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-
orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang
kafir hingga hari kiamat. Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan
di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya.” (Ali ‘Imran: 55)
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan kata ()متوف;يك
“mewafatkanmu” yakni mematikanmu.
Jawab: Bahwa maksud Ibnu Abbas adalah mewafatkannya di akhir zaman setelah turunnya.
Yang semakin menguatkan hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr dan
Ibnu ‘Asakir dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam menafsirkan ayat ini. Beliau
katakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkatmu kemudian mewafatkanmu di akhir
zaman.” (lihat Ad-Dur Al-Mantsur, 2/36)
Dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma sendirilah yang menjelaskan maksud ucapannya,
tidak memerlukan orang-orang Ahmadiyyah untuk menyelewengkan ucapannya menuruti
keinginan mereka. Demikian pula riwayat-riwayat lain dari beliau yang menunjukkan
keimanan tentang diangkatnya Isa dan akan turunnya beliau. Seperti tafsir beliau terhadap
ayat 61 dari surat Az-Zukhruf: “Sungguh itu adalah tanda untuk datangnya hari kiamat.”
Beliau katakan: “Yakni munculnya Isa bin Maryam ‘alaihimassalam sebelum hari kiamat.”
(HR. Al-Imam Ahmad)
Kemudian kata (“ )متوف;يكmewafatkanmu” dalam penggunaan bahasa Arab yaitu bahasa Al-
Qur`an, tidak terbatas pada “kematian”. Bahkan bisa berarti “mengambil atau menangkap”,
terkadang juga bermakna “menidurkan”. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan:
“Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إذ قال ال يا عيسى إني متوفيك ورافعك إلي ومطهرك من الذين كفروا
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu, mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-
orang kafir’.” (Ali Imran: 55)
justru menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memaksudkan dengan kata (
)متوف;يكadalah mati. Kalau yang Allah Subhanahu wa Ta’ala maksudkan adalah kematian,
tentu dalam hal ini Isa sebagaimana mukminin yang lain, karena sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala ambil arwah mereka dan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat menuju
langit. Dengan itu diketahui, tidak ada keistimewaan (pada Nabi Isa kalau begitu, pent.)...
Padahal pada ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وقولهم إنا قتلنا المسيح عيسى ابن مريم رسول ال وما قتلوه وما صلبوه ولكن شبه لهم وإن
بل رفعه ال. إل اتباع الظن وما قتلوه يقيناd منه ما لهم به من علمeالذين اختلفوا فيه لفي شك
إليه...
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah’, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar
dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang
siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat
Isa kepada-Nya….” (An-Nisa`: 157-158)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di sini “Allah mengangkatnya kepada-Nya”
menerangkan bahwa ia diangkat dengan jasad dan rohnya. Oleh karena itu, para ulama
mengatakan bahwa makna: ( )متوفيكadalah “mengambilmu”2 yakni mengambil roh dan
badanmu… Dan terkadang bermakna menidurkan seperti firman-Nya:
ال يتوفى النفس حين موتها والتي لم تمت في منامها
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu tidurnya.” (Az-Zumar: 42)
ى ثم إليهhوهو الذي يتوفاكم بالليل ويعلم ما جرحتم بالنهار ثم يبعثكم فيه ليقضى أجل* مسم
مرجعكم ثم ينبئكم بما كنتم تعملون
“Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu
kerjakan pada siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk
disempurnakan umur (mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali,
lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.” (Al-An’am: 60)
[Majmu’ Fatawa, 4/322-323]
Ahmadiyyah mengatakan bahwa maksud diangkatnya Isa adalah diangkat derajatnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajatnya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala angkat rohnya
sebagaimana arwah kaum mukminin. Seperti Nabi Idris ‘alaihissalam:
اh ورفعناه مكانا علي.اhواذكر في الكتاب إدريس إنه كان صديقا نبي
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-
Qur`an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan
Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Maryam: 56-57)
Jawab: Tentang Idris ‘alaihissalam, para ulama memiliki beberapa tafsir tentang ayat itu. Di
antara para ulama mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkatnya ke langit
dalam keadaan hidup lalu meninggal padanya. Dan ini tafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, dan
selain keduanya dari ulama salaf. Dengan tafsir ini maka ayat ini justru menjadi dalil yang
mematahkan pendapat mereka.
Yang lain berpendapat diangkatnya derajat Nabi Idris di dalam surga, dan tanpa diragukan,
bahwa itu dengan jasad dan rohnya. Lalu seandainya pun ayat yang berkaitan dengan Idris itu
artinya terangkatnya derajat, tidak mesti berarti demikian pada ayat yang berkaitan dengan
Isa. Karena tentang Isa sangat jelas bahwa maksudnya adalah terangkatnya roh dan jasad
dengan alasan:
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: “Dan mengangkatmu kepada-Ku”, “Bahkan Allah
mengangkatnya kepada-Nya.” Dan sesuatu yang telah tetap/pasti dan disepakati kaum
muslimin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada pada ketinggian. Sehingga arti diangkat
kepadanya adalah ke langit. Berbeda dengan ayat yang berkaitan dengan Idris “Dan kami
mengangkatnya pada tempat yang tinggi” (tidak ada kata-kata “kepada-Ku” atau “kepada-
Nya”). Tentu orang yang sedikit saja tahu bahasa Arab akan mengetahui perbedaan kedua
susunan kalimat itu.
Seandainya pun –kita mengalah dalam diskusi– bahwa ayat tidak menunjukkan diangkatnya
jasad Isa ke langit, namun hadits-hadits sendiri dengan tegas menunjukkan demikian dan
jumlahnya sangat banyak. Lantas apa keistimewaan Isa kalau dikatakan seperti layaknya
muslimin yang lain?
Dalam ayat An-Nisa 157-158 di atas terdapat dalil yang sangat jelas bagaikan terangnya
matahari menunjukkan apa yang telah dijelaskan dan yang diimani kaum mukminin. Firman-
Nya: “Bahkan Allah mengangkatnya kepada-Nya” menunjukkan diangkatnya roh dan jasad.
Seandainya Allah memaksudkan kematian, tentunya akan dikatakan: “Tidaklah mereka
membunuhnya dan tidaklah mereka menyalibnya… bahkan ia mati.” (Lihat At-Taudhih li
Ifkil Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatal Masih, karya Shalih bin Abdul ‘Aziz As-Sindi)
Wallahu a’lam bish shawab.
1 Dalam buku kumpulan fatwanya hal. 59-82. Lihat Asyrathus Sa’ah hal. 349, Ash-Shahihah
no. 1529.
1 Bukan “mewafatkanmu”.