Anda di halaman 1dari 88

FIQH BERLALU LINTAS

Copyright @ 2021, Penulis & Penerbit


Penulis: KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H. - Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.
Dr. Khairuddin, M.Ag. - Dr. Iskandar A. Gani, S.H., M. Hum.
Dr. Badrul Munir, L.C., M.A. - Dr. T. Saiful, S.H., M. Hum.
Prof. Dr. H. A. Hamid Sarong, S.H., M.H - Dr. Zahratul Idami, S.H., M. Hum.
Dr. Tgk. H. A Gani Isa, S. H., M. Ag. - Khairuddin, S.Ag., M.A.

Editor: Ahmad Mirza Safwandy, S.H., M.H.

ISBN: 978-623-6114-96-4

Layout & Sampul: Creative BANDAR

Diterbitkan Oleh:
Bandar Publishing
Jl. Teungku Lamgugob, Syiah Kuala Banda Aceh Provinsi
Aceh. Hp. 08116880801 IG. bandar.publishing
TW. @bandarbuku FB. Bandar Publishing
Anggota IKAPI

Dicetak oleh:
Percetakan Bandar di Lamgugob Banda Aceh
(Isi diluar tanggung jawab percetakan)
Cetakan Pertama, 2021
Halaman: x + 75 hlm. 18 x 25 cm

Undang-Undang No. 19 tahun 2002 | Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) Ayat (1) atau pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau dendapaling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus
juta rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak ciptaan atau hak terkait sebagai pada Ayat (1) dipidanan dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah)

ii FIQH BERLALU LINTAS


KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H iii
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H v
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
vi FIQH BERLALU LINTAS
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H vii
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H ix
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
DAFTAR ISI

Ranub Sigapu Gubernur Aceh ~ iii


Kata Sambutan Kapolda Aceh ~ v
Bunga Rampai Fiqh Berlalu Lintas As SDM Kapolri ~ vii
Sambutan Kakorlantas Polri - ix

Daftar Isi ~ xi
Prolog ~ xiii

Bab I Pendahuluan ~ 1
A. Pengertian Fiqh Berlau Lintas ~ 1
B. Tertib Lalu Lintas Sesuai Syariah - 8
C. Tujuan Tertib Berlalu Lintas Dalam Perspektif
Maqashid Syariah ~ 13

Bab II Ketentuan Tertib Berlalu Lintas Dalam Al-Qur'an, Hadis, Kaidah


Fiqh, Dan Fatwa Ulama ~ 21
A. Tertib Berlalu Lintas Menurut Al-Qur’an ~ 21
B. Tertib Berlalu Lintas Menurut Hadis ~ 23
C. Tertib Berlalu Lintas Menurut Kaidah Fiqh ~ 26
D. Tertib Berlalu Lintas Menurut Fatwa Ulama ~ 32

Bab III Tuntunan Berlalu Lintas Dan Hukumnya ~ 43


A. Tuntunan Bagi Pengendara ~ 43
B. Tuntunan Bagi Pejalan Kaki ~ 48

Bab IV Pengetahuan dan Adab Berlalu Lintas ~ 51


A. Wajib Mengetahui Aturan Lalu Lintas Sebelum Berkendara ~ 51
B. Adab Sesuai Syariah dalam Berkendara ~54
Bab V Penutup ~ 67
EPILOG ~ 69
Daftar Pustaka ~ 71

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H xi


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
PROLOG

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ض َم َر ًح ۗا اِّن ه‬
‫ّٰللاَ ََل ي ُِّحبُّ ُكل ُم ْختَا ٍل فَ ُخ ْو ٍر‬ ِّ ‫اس َو ََل ت َْم ِّش فِّى ْاَلَ ْر‬ َ ُ ‫َو ََل ت‬
ِّ ‫ص ِّع ْر خَدكَ ِّللن‬

“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan
janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong dan membanggakan diri”.(Al-Qur’an Surah Al- Luqman
Ayat 18).

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas menjadi peringatan agar


setiap manusia tidak berlaku angkuh dan sombong. Berjalan dapat juga
diartikan dengan berkendara di jalan raya. Berkendara di jalan raya dengan
adab yang baik menjadi kewajiban bagi setiap pengendara dan pengguna
jalan. Pengendara dituntut memiliki pengetahuan tentang lalu lintas dan
jalan raya. Selain itu, pengendara wajib memiliki kompetensi dengan bukti
mendapatkan surat izin mengemudi. Syarat berkendara yang telah
disebutkan berguna untuk menghindari gangguan dan perbuatan yang
menjurus terhadap kemungkaran di jalan raya. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ع ِّن ْال ُم ْنك َِّر‬


َ ‫ي‬ ِّ ‫َف ْاْلَذَى َو َردُّ الس ََل ِّم َو ْاْل َ ْم ُر بِّ ْال َم ْع ُر ْو‬
ُ ‫ف َوالن ْه‬ َ َ‫َض ْالب‬
ُّ ‫ص ِّر َوك‬ ُّ ‫غ‬
Artinya: “Haknya jalan adalah menundukkan pandangan, menghilangkan
gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang
mungkar”. HR. Al-Bukhariy (6229), dan Muslim (2121).

Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan tuntunan


kepada kaum muslimin tentang hak-hak pengguna jalan, termasuk di
dalamnya tentang etika atau adab. Adanya sikap saling menghargai, di mana
sikap dan adab dalam berlalu lintas pada masanya juga dipraktikkan oleh
Rasulullah dan para sahabat dalam kehidupan sehari-hari. SSebagai negara
dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah memiliki
regulasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. Melalui Undang-
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H xiii
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, tegas
mengatur sejumlah tata tertib dan etika berlalu lintas di jalan raya.
Sebagaimana bunyi Pasal 105 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan bahwa: “Setiap orang
yang menggunakan jalan wajib berperilaku tertib dan mencegah hal-hal yang dapat
merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan
jalan atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan”. Bertolak belakang dari
harapan, pada kenyataannya, angka kecelakaan pada setiap tahun terus
meningkat, banyak korban kecelakaan meninggal dunia.
Berdasarkan hasil Survei Kepatuhan Berlalu Lintas (SKBL) tahun 2021
yang dilakukan oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Aceh dan Pusat Riset Ilmu
Kepolisian Universitas Syiah Kuala (Pripol USK) menunjukkan bahwa
perilaku berlalu lintas masyarakat Aceh masih buruk, dengan indeks
kepatuhan berlalu lintas 5,41 dari skala 1-10. Mayoritas pelanggaran
dilakukan oleh pengendaran roda 2 (dua) dengan jenis kelamin laki-laki.
Jenis pelanggaran paling tinggi adalah tidak memakai helm dan tidak
menghidupkan lampu utama di siang hari serta tidak memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM). Pelaku pelanggaran lalu lintas paling tinggi dilakukan
oleh masyarakat yang berusia 17-40 tahun, mayoritas berpendidikan SMA
sederajat. Adapun jenis pelanggaran lalu lintas yang paling sering terjadi
yaitu perilaku berkendara dengan melawan arah, menerobos lampu lalu
lintas, kendaraan yang tidak sesuai standar, berkendara melebihi kecepatan
maksimal yang diperkenankan dan tidak membawa atau memiliki
kelengkapan dokumen kendaraan.
Pelanggar lalu lintas memberikan berbagai alasan atas pelanggaran
yang dilakukan, seperti pendapat bahwa pelanggaran lalu lintas merupakan
perbuatan melanggar hukum negara bukan hukum Tuhan, sehingga
membangun pemahaman bahwa pelanggaran yang dilakukan tidak memiliki
konsekuensi dosa apabila dilanggar. Selain itu, ada juga yang beranggapan
bahwa memakai helm tidak lebih baik daripada memakai peci atau kopiah,
dikarenakan memakai peci atau kopiah lebih praktis digunakan saat
berkendaaran maupun ketika beribadah. Pelaku pelanggaran lalu lintas
dengan pola pikir di atas tidak sedikit berasal dari lembaga pendidikan
keagamaan seperti guru, siswa, mahasiswa, santri, dan kelompok masyarakat
umum lainnya, di mana masih terdapat pemahaman yang kurang memadai
xiv FIQH BERLALU LINTAS
tentang tertib berlalu lintas. Ironisnya, perbuatan melanggar lalu lintas
dianggap suatu perbuatan yang tidak berdosa.
Berdasarkan hasil SKBL yang ditelah dipaparkan, munculnya semangat
untuk mendorong agar setiap orang taat terhadap ketentuan lalu lintas jalan
raya. Dengan demikian, diharapkan partisipasi dan kontribusi semua pihak
untuk memberikan pengetahuan serta pemahaman tentang pentingnya
kepatuhan dan ketertiban berlalu lintas guna menurunkan tingkat kecelakaan
lalu lintas dan tingkat fatalitas akibat kecelakaan lalu lintas di Aceh. Sejalan
dengan penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, perlu disusun fiqh berlalu
lintas guna memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pola pikir
masyarakat untuk patuh dan tertib berlalu lintas sebagai bagian dari
pelaksanaan tujuan bersyariat, yaitu untuk mewujudkan keselamatan
manusia, dalam hal ini keselamatan di jalan raya.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H xv


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Fiqh Berlalu Lintas

Di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi dan lalu


lintas menjadi sebuah kebutuhan. Transportasi dan lalu lintas memiliki
peranan penting dalam mendukung pembangunan nasional. Bahkan,
transportasi sangat dibutuhkan untuk menjamin terselenggaranya mobilitas
penduduk maupun barang. Pada periode 2012-2016 terdapat peningkatan
jumlah kendaraan bermotor yang cukup tinggi yaitu, sebesar 8,19%
pertahun. Peningkatan terjadi pada semua jenis kendaraan setiap tahunnya.
Kenaikan jumlah kendaraan bermotor yang cukup tinggi terjadi pada mobil
penumpang 8,73% pertahun kemudian diikuti oleh sepeda motor, mobil
barang dan bus masing-masing 8,32%, 7,52% dan 2,26% pertahun. Indikator
ini menunjukkan semakin tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sarana
transportasi yang memadai, sejalan dengan kebutuhan dan mobilitas
penduduk yang semakin meningkat.
Alat-alat transportasi semakin bertambah namun tingkat kesadaran
masyarakat terhadap peraturan lalu lintas belum tumbuh secara signifikan,
sebagaimana pertumbuhan transportasinya. Penyebab kecelakaan yang
terjadi khususnya di kota -kota besar, 86% didominasi oleh faktor manusia,
6% faktor kendaraan, 5,5% faktor jalan dan 2,5% faktor lingkungan. Kenaikan
volume kendaraan yang semakin bertambah yang tidak diimbangi dengan
kesadaran menaati peraturan lalu lintas ditambah dengan kurangnya
ketersediaan sarana prasana lalu lintas yang memadai, yang mengakibatkan
angka kemacetan dan kecelakaan kian meningkat.
Permasalahan tidak hanya pada regulasi yang ada, komponen lain yang
mempengaruhi adalah tingkat kesadaran masyarakat dalam mengindahkan
peraturan lalu lintas masih sangat rendah. Kesadaran untuk mematuhi
ketentuan berlalu lintas tentu menjadi sangat penting, mengingat mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim, dan lebih khusus lagi bagi provinsi
Aceh yang secara khusus memberlakukan syariat Islam menuju kaffah.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 1


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dKK
Kajian tentang penyelenggaraan lalu lintas adalah bagian dari inovasi
ilmu pengetahuan dan teknologi. Perihal penyelenggaraan lalu lintas
merupakan bagian dari urusan dunia yang diserahkan sepenuhnya pada
kreativitas dan inovasi dari akal budi manusia yang tetap bersandarkan pada
suatu postulat atau dalil. Sebagaimana umumnya perkembangan teknologi,
selagi tidak menimbulkan madlarat/mafsadah dalam pandangan Islam, pada
dasarnya tidak ada larangan. Akan tetapi, mengapa perlu mendapatkan
dukungan dalam pandangan agama (fiqh), yaitu untuk meyakinkan inovasi
pengaturan lalu lintas itu sendiri.
Sebagai gagasan dan gerakan inovasi dan teknologi yang membutuhkan
banyak dukungan, tentunya bukan hanya dukungan sosial, ekonomi, politik,
dan kebudayaan, tetapi juga dukungan moral keagamaan, agar semuanya
dapat berjalan dengan berdaya guna dan seimbang. Dukungan ini bukan
untuk melegitimasi, melainkan untuk memastikan kemaslahatan melekat,
serta tidak ada efek kemafsadatan dalam inovasi ini, baik untuk jangka
pendek maupun jangka panjang. Fiqh lalu lintas ini tidak membahas soal
halal dan haram, melainkan memposisikan konsep dan praktik lalu lintas
dalam pandangan agama, baik dari sisi kemaslahatan maupun kemafsadatan
untuk kehidupan masyarakat, baik saat digunakan maupun konsekuensi ke
depannya. Sekalipun masalah lalu lintas secara eksklusif tidak diatur di
dalam Islam, namun secara inklusif terdapat banyak masalah dalam
kehidupan masyarakat bila tata tertib lalu lintas ini tidak diatur. Untuk itulah
fiqh hadir memberikan respons.
Terminologi fiqh seringkali diterjemahkan dengan istilah hukum Islam,
karena materi pembahasannya terkait dengan hukum syari’at (Islam)
terhadap perbuatan manusia. Hal ini sesuai dengan definisi fiqh menurut
istilah syara’ yaitu:

ُّ َ‫ب ِم ْن أَدِلَّ ِت َها التَّف‬


‫ص ِل َّي ِة‬ َ َ‫ش ْر ِع َّي ِة ْال َع َم ِل َّي ِة ْال ُم ْكت‬
ِ ‫س‬ َّ ‫ِع ْل ُم ْال ِف ْق ِه ه َُو ْال ِع ْل ُم ِب ْاْلَحْ َك ِام ال‬

(‘ilm al-fiqh huwa al- ‘ilm bi al-ahkam al-syar’iyyah al- ‘amaliyyah al-muktasab min
adillatiha al-tafshiliyyah). Artinya: ilmu fiqh adalah ilmu yang membahas tentang
hukum-hukum syari’at terkait perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil terperinci
(Abd al-Wahhab Khallaf, 1978:11).

2 FIQH BERLALU LINTAS


Fiqh adalah salah satu cabang ilmu dalam syariat Islam, yang merupakan
hasil ijtihad ulama (mujtahid) berdasarkan dalil-dalil nash Al-Qur`an dan
Hadis dengan menggunakan dua kaidah hukum, yaitu; pertama, kaidah
ushuliyyah (ushul fiqh) yang berfungsi menafsirkan nash untuk menemukan
hukum; dan kedua, kaidah fiqhiyyah (kuliyyah) yang berfungsi menetapkan
hukum yang tidak ada dalam nash konkret. Posisi fiqh sebagai sebuah hasil
ijtihad dapat dipastikan tidak statis, tetapi selalu dinamis sesuai dinamika
perkembangan zaman dan tempat, sebagaimana ungkapan dari Muhammad
bin Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d az-Zur’i ad-Dimasyqi atau yang lebih
dikenal dengan Ibnul Qayyim, dia berkata:
‫الَ يُ ْن َك ُر تَغَ ُّي ُر ْاْلَحْ َك ِام ِبتَغَ ُّي ِر ْاْل َ ْز ِم َن ِة َو ْاْل َ ْم ِك َن ِة‬
(la yunkaru taghaiyuru al-ahkam bi taghayyuri al-azminah wa al-amkinah).
Artinya: tidak dipungkiri bahwa perubahan hukum disebabkan perubahan
zaman dan tempat (Ibn Qayyim al-Jauziyyah, tt:3).

Hal tersebut berbeda dengan syari’at yang sifatnya statis, tidak ada
perubahan, karena syari’at itu ketentuan baku yang ada dalam nash Al-
Qur`an dan Hadis yang tidak lagi mengalami perubahan setelah wafatnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (A. Qodri Azizy, 2002:56-57).
Gambar: Logika metode istinbath (ijtihad/penggalian) hukum Islam

Nash al-Qur`an/Hadits Nash al-Qur`an/Hadits

Mujtahid Mujtahid

Ushul Fiqh Kaidah Fiqhiyyah

Fiqh Fiqh Fiqh Fiqh

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 3


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Fiqh sebagai sebuah ilmu yang terus menerus berkembang sesuai dengan
tuntutan kebutuhan masyarakat. Pembahasannya kian terus berkembang,
sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang terjadi. Dalam
pembahasan fiqh mazhab yang telah dimulai sejak dahulu, objek kajian fiqh
hanya terbatas pada empat materi utama yang dikenal dengan rubu’ ibadah,
mu’amalah, munakahat (perkawinan/hukum keluarga), dan jinayah (hukum
pidana). Seiring perkembangan zaman dan semakin meluasnya penyebaran
Islam ke seluruh sentero dunia, fiqh pun mengalami perkembangan yang
cukup signifikan, sehingga kemudian lahirlah materi fiqh baru yang dikenal
di antaranya fiqh al-siyasah (politik), fiqh al-nisa` (wanita), fiqh al-bi`ah
(lingkungan), fiqh sosial, dan lain-lain.
Jika dihubungkan dengan kondisi terkini, permasalahan hukum terus
bermunculan, sehingga membutuhkan legalitas dalam penerapannya, hal
tersebut dilakukan semata-mata demi pemenuhan terhadap kekosongan
hukum maupun kelemahan kedayagunaan hukum di tengah-tengah
masyarakat, di mana memberikan pengaruh terhadap penegakan hukum.
Maka, ketersediaan fiqh berlalu lintas di jalan raya sebagai sarana pendorong
kesadaran dan ketaatan masyarakat. Aturan hukum terkait berlalu lintas di
jalan tidak ditemukan nash konkret dalam Al-Qur`an maupun Hadis, karena
model transportasi sekarang ini dengan berbagai bentuknya belum dikenal
di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat bahkan generasi
setelahnya. Pada masa lalu, sistem transportasi masih menggunakan
binatang seperti unta, kuda, keledai dan sejenisnya, dan belum
membutuhkan sarana dan prasarana jalan yang khusus seperti saat ini.
Kondisi dan penyelenggaraan lalu lintas yang begitu ruwet dan
rumitnya, sehingga mobilitas pengendara dengan volume yang semakin
tinggi, tidak hanya terdiri dari roda dua (sepeda, sepeda motor), tetapi juga
dipengaruhi oleh roda tiga (becak), roda empat bahkan lebih (mobil pribadi,
bus, truk, dan lain-lain). Tanpa adanya kepatuhan dan sarana lalu lintas yang
memadai, yang kemudian dipengaruhi oleh kemacetan dan kecelakaan
bukan saja berpotensi jatuhnya korban yang terluka, bahkan bisa
menyebabkan hilang nyawa. Korban di jalan raya karena kecelakan menjadi
berita yang kerap disaksikan saban hari. Karena itu, fiqh sebagai bentuk
aturan hukum praktis bagi umat muslim harus mampu menjawab
problematika penyelenggaraan lalu lintas, yang sejalan dengan prinsip
pelaksanaan syari’at Islam.
4 FIQH BERLALU LINTAS
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (UU LLAJ), menegaskan bahwa: “Lalu lintas adalah gerak
kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan”. Berdasarkan ketentuan tersebut,
yang menjadi materi pembahasan atau objek kajian fiqh berlalu lintas adalah
hukum-hukum syari’at terkait dengan gerak kendaraan dan orang dalam
berlalu lintas di jalan raya, atau dengan kata lain, fiqh lalu lintas adalah
sekelompok hukum yang berhubungan dengan aturan tentang cara
berkendara kendaraan di jalan raya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Dalil hukum yang menunjukkan bahwa perilaku
orang dalam berlalu lintas di jalan raya merupakan bagian dari aturan fiqh
yang harus ditaati sebagai bagian dari pelaksana hukum syari’at adalah
dalam rangka mewujudkan kebaikan, ketertiban, keselamatan, dan menolak
kesulitan, kecelakaan, serta kerusakan yang bisa menimbulkan korban jiwa.
Selain daripada mewujudkan kemashlahatan (kebaikan) dan menolak
kemafsadatan (kerusakan/kehancuran) di mana hal tersebut merupakan
tujuan dari syari’at (maqashid al-tasyri’i) yang mesti dicapai sesuai dengan
ketentuan di dalam nash Al-Qur`an dan Hadis, meskipun tidak ada dalil
konkret. Kaidah ini dalam rumusan hukum Islam dikenal dengan teori al-
mashlahah al-mursalah.
Ulama mendefinisikan al-mashlahah al-mursalah sebagai suatu
kemashalahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ untuk mewujudkannya
dan tidak pula terdapat dalil syara’ yang memerintahkan untuk
memperhatikannya atau mengabaikannya (Abd al-Wahhab Khallaf,
1978:11). Ulama membagi mashlahah itu kepada tiga macam (Satria Effendi,
2014:149-150, Amir Syarifuddin, 2014: 373-377), yaitu:
1. Al-mashalih al-mu’tabarah, yaitu mashlahat yang disebutkan, diterima atau
diakui keberadaannya oleh nash. Misalnya, syari’at mengakui bahwa harta
kekayaan diperlukan bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya,
sehingga ada hukum hak kepemilikan atas harta kekayaan, akad jual beli
dan perikatan lainnya.
2. Al-mashalih al-mulghah, yaitu maslahat yang ditolak atau diingkari oleh
nash, merupakan maslahat semu, yakni sesuatu yang diduga sebagai
mashlahat, tetapi sebetulnya bukan maslahat. Misalnya, manfaat dari
meminum khamar, al-Qur`an menyatakan mudaratnya lebih besar dari
manfaatnya, sehingga hukumnya haram.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 5


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
3. Al-mashalih al-mursalah, yaitu maslahat yang dikirim, adalah maslahat
yang tidak disinggung secara konkret oleh nash, baik untuk ditolak ataupun
diterima, tetapi secara tidak langsung didukung atau paling kurang sejalan
dengan nash yang umum. Misalnya; penggunaan uang sebagai alat tukar
sehingga memudahkan dalam transaksi akad jual beli, Buku/Akta Nikah,
Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akta Lahir, Akta Jual Beli, Surat Izin
Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dan lain-lain sebagai identitas
seseorang atau kepemilikan, untuk menghindari terjadinya berbagai macam
kejahatan atau hal lain yang merugikan seseorang, termasuk juga aturan
berlalu lintas di jalan dalam rangka mewujudkan keselamatan dan kebaikan
serta menghindari kemacetan dan kecelakaan.
Ulama menetapkan tiga syarat sebuah kemashalatan itu dapat diterima
sebagai hujjah (Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, 1986:108-109), yaitu:
1. Maslahat hakiki, yaitu kemashlahatan yang sudah pasti, bukan yang
hanya berdasarkan wahm (perkiraan) saja. Artinya hukum itu dibina atas
sesuatu yang sudah diyakini benar-benar membawa kebaikan dan
menolak kemudaratan.
2. Maslahat bersifat umum, yaitu kemaslahatan yang berlaku bagi banyak
orang, bukan yang khusus untuk perseorangan, atau dapat menolak
kemudaratan yang menimpa banyak orang.
3. Maslahat yang tidak bertentangan dengan nash dan ijma’, yaitu
kemaslahatan yang tidak berlawanan dengan aturan yang sudah
ditetapkan dalam Al-Qur`an atau Hadis, dan juga tidak bertentangan
dengan kesepakatan ulama yang sudah menjadi ijma’.

Berdasarkan tiga syarat di atas maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Aturan berlalu lintas di jalan merupakan suatu maslahat yang bersifat
hakiki, karena dapat dipastikan tanpa ada aturan ini, maka akan
menimbulkan kesulitan (kemacetan) bahkan kecelakaan.
2. Aturan berlalu lintas di jalan merupakan suatu maslahat yang bersifat
umum, karena bermanfaat bagi semua orang pengguna jalan, baik bagi
pejalan kaki, pesepeda, pengguna sepeda motor, mobil pribadi, bus, truk,
dan seluruh pengguna kendaraan bermotor lainnya.
3. Aturan berlalu lintas di jalan merupakan suatu maslahat yang tidak
bertentangan dengan nash Al-Qur`an dan Hadis maupun ijma’, bahkan
6 FIQH BERLALU LINTAS
sesuai dengan ketentuan nash yang disepakati ulama, yaitu mewujudkan
kemaslahatan berupa ketertiban, keselamatan diri dan orang lain, juga
menolak kerusakan berupa kemacetan dan kecelakaan yang dapat
mengancam jiwa pengguna jalan.

Dengan demikian, aturan berlalu lintas di jalan raya merupakan bagian


dari aturan hukum syari’at yang wajib ditaati, karena sesuai dengan
tuntunan nash Al-Qur`an dan Hadis dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan dan menolak kerusakan. Fiqh lalu lintas ini memberikan
penalaran agama yang diambil dari dalil-dalil tafshiliyyah (terperinci) terkait
dengan lalu lintas yang dihadapi oleh mukallaf. Hasil penalaran ini tidak
selalu berupa hukum-hukum praktis yang bersifat taklifiyyah seperti wajib,
haram, makruh, sunnah, dan mubah, melainkan juga berupa pandangan etis
yang semestinya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang mukallaf dalam
kaitan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih
maslahat.
Selain itu, dalam fiqh lalu lintas ini juga dibahas sejumlah masalah-
masalah praktis yang ditemukan di lapangan terkait dengan persiapan,
penerapan, pengelolaan, dan pemanfaatan sistem lalu lintas untuk
kepentingan kemaslahatan masyarakat. Pembahasan ini dipandang sangat
penting karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, sehingga
pendekatan dan penjelasan keagamaan menjadi relevan diberikan. Selain
untuk memudahkan dalam mencerna masalah yang dihadapi dan
menentukan posisi hukumnya, penjelasan keagamaan ini juga menjadi
kebutuhan masyarakat. Agama dalam kehidupan masyarakat memiliki
posisi yang sangat sentral dan signifikan. Hampir semua masalah kehidupan
mendapatkan solusi berdasarkan pandangan keagamaan. Tanpa justifikasi
keagamaan, solusi yang diberikan seolah masih menggantung dan belum
menancap dalam hati sanubari masyarakat. Syariat diturunkan Allah
Subhana wa Ta’ala, untuk kemaslahatan manusia dan bersifat menyeluruh
(syumul).
Dalam surat Al-Jatsiyah ayat 18 Allah berfirman:
َ َ‫ث ُ َّم َجعَ ْل َٰ َنك‬
َ‫علَ َٰى ش َِريعَ ٍة ِمنَ ْٱْل َ ْم ِر فَٱتَّ ِب ْع َها َو َال تَتَّ ِب ْع أ َ ْه َوآ َء ٱلَّذِينَ َال َي ْعلَ ُمون‬
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 7
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
B. Tertib Lalu Lintas Sesuai Tuntutan Syariah
Sebagai seorang muslim yang selalu terikat dengan Al-Quran dan Hadis,
maka setiap manusia dianjurkan untuk menjalankan suatu kegiatan sehari-
hari dengan baik dan benar. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan
sehari-hari adalah mengemudi kendaraan bermotor, kendaraan tidak
bermotor dan pengguna jalan lainnya. Dalam berkendara dituntut untuk
patuh dan peduli terhadap peraturan yang telah ditetapkan, karena jika
aturan diabaikan maka, akan menimbulkan kerugian pada diri sendiri
maupun orang lain, seperti terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan ringan
maupun berat dan bahkan menyebabkan kematian. Semua tindakan dalam
berkenderaan itu, sangat tergantung kepada diri sendiri dan juga masyarakat
pengguna jalan lainnya yang dituntut kedisiplinan dalam berlalu lintas,
sehingga dengan berdisiplin dalam berkenderaan kerugian bagi diri sendiri
dan orang lain tidak akan terjadi.
Disiplin yang dimaksud adalah latihan batin dan watak dengan maksud
agar segala perbuatan selalu menaati tata tertib dalam mencapai tujuan yang
telah ditentukan bersama. Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan
terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-
nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban terhadap
peraturan yang telah ditetapkan dan diundangkan. Begitu pula halnya
dengan peraturan negara dalam lalu lintas yang tertuang dalam UU LLAJ
sebagai suatu dasar hukum yang memuat aturan-aturan dalam lalu lintas
yang diatur dalam undang-undang, di mana bersifat mengatur dan memaksa
bagi seluruh masyarakat.
Sebagai rujukan atau dasar hukum UU LLAJ memiliki beberapa pasal
yang berkaitan dengan disiplin lalu lintas antara lain; Pasal 57 UU LLAJ yang
mengatur tentang kewajiban setiap kendaraan bermotor dilengkapi dengan
perlengkapan kendaraan bermotor. Pasal 77 UU LLAJ yang mengatur
mengenai Surat Izin Mengemudi (SIM), Pasal 105 dan Pasal 106 UU LLAJ
yang mengatur mengenai ketertiban dan keselamatan, diantaranya
mengatur mengenai kewajiban pengguna jalan untuk berperilaku tertib
dan/atau mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan
keamanan dan keselamatan LLAJ, atau yang dapat menimbulkan kerusakan
jalan, kewajiban pengemudi untuk berkendara secara wajar dan konsentrasi

8 FIQH BERLALU LINTAS


penuh, mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda, penggunaan sabuk
keselamatan dan helm pengaman, mematuhi rambu-rambu, marka jalan, alat
pemberi isyarat lalu lintas (APIL). Pasal 107 UU LLAJ yang mengatur
mengenai penyalaan lampu kendaraan bermotor.
Pasal 108 -111 UU LLAJ yang mengatur mengenai jalur dan lajur lalu
lintas. Pasal 112-114 UU LLAJ yang mengatur mengenai belokan atau
simpangan, diantaranya pengemudi kendaraan yang akan berbelok atau
berbalik arah wajib mengamati situasi lalu lintas serta memberi isyarat
dengan lampu penunjuk arah. Pasal 115-117 UU LLAJ yang mengatur
kecepatan. Pasal 118-119 UU LLAJ yang mengatur mengenai berhenti. Pasal
120-121 mengatur cara memarkir kendaraan dalam keadaan biasa dan
darurat. Pasal 122-123 mengatur cara berkendara kendaraan tidak bermotor,
termasuk bagi tuna rungu yang wajib menempelkan tanda pengenal di
depan dan belakang sepeda. Pasal 124-126 mengatur kendaraan umum
dalam berjalan di jalur kiri, menaikkan dan menurunkan penumpang,
menutup pintu saat berjalan dan mematuhi kecepatan. Seluruh Pasal UU
LLAJ disebutkan tersebut merupakan rujukan dan dasar hukum negara
dalam kita berlalu lintas, di samping hukum yang bersifat umum, khususnya
dalam kehidupan masyarakat Aceh yang diakui sebagai daerah khusus dan
istimewa, di mana salah satu kekhususan dan keistimewaan dalam
pelaksanaan syariat Islam yang selalu menjunjung tinggi asas kesatuan dan
persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berbicara tentang kesadaran lalu lintas di Aceh, ditemukan bahwa masih
terdapatkan masyarakat Aceh yang masih kurang memiliki kesadaran akan
pentingnya patuh terhadap aturan lalu lintas yang sudah ada. Hal ini dapat
dilihat dari masih banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan,
sehingga banyak menimbulkan kecelakaan. Kondisi ketidaksiapan
pengemudi dalam berkendara memungkinkan terjadinya kecelakaan yang
dapat membahayakan keselamatan pengguna jalan itu sendiri maupun
orang lain. Selain itu, penyebab kecelakaan lalu lintas yang telah diuraikan
di atas, terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan juga dipengaruhi oleh faktor
usia pengemudi itu sendiri. Kenyataannya yang sering ditemui dalam sehari-
hari adalah masih banyak pengemudi yang belum cukup umur dan tidak
siap mental dan kompetensi. Pengemudi tersebut saling mendahului tanpa
mempedulikan keselamatan b sendiri maupun orang lain.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 9


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada dasarnya dapat dihindari
apabila pengguna jalan mampu berperilaku disiplin, sopan, dan saling
menghormati hak pengendara lain. Maka dari itu, masyarakat Aceh yang
mayoritas beragama Islam, telah diajarkan akan pentingnya disiplin dalam
berkendaraan dengan baik dan benar. Islam memandang bahwa melanggar
lalu lintas akan membahayakan diri sendiri dan orang lain, sehingga ada
beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain. Pertama, setiap perbuatan
yang menyebabkan keselamatan pelakunya terancam, apalagi sampai
mengancam keselamatan orang lain, hukumnya adalah haram. Berdasarkan
Hadis riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam Daruquthni, dari Sa’ad bin Sinan
Al-Khudri, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
‫ار‬ ِ ‫ض َر َر َو َال‬
َ ‫ض َر‬ َ َ‫ال‬
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang
lain.”

Kedua, melanggar lalu lintas berarti melanggar keputusan dan aturan


pemerintah yang mengatur ketertiban umum. Setiap keputusan pemerintah
yang mengatur emaslahatan umum wajib ditaati secara lahir dan batin dan
melanggarnya termasuk perbuatan haram. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut:

َ ‫اطنَا ِم َّما لَي‬


‫ْس ِب َح َر ٍام‬ ِ ‫ظا ِه َرا َو َب‬ َ ‫عةُ ْاْل َم ِام فِي َما أ َ َم َر ِب ِه‬
َ ‫طا‬ َ ‫ب‬ ِ ‫َو ْال َح‬
ُ ‫اص ُل أ َ َّنهُ ت َِج‬
‫ص ِل َحة‬ْ ‫ب َو َكذَا ْال ُم َبا ُح ِإ َّن َكانَ فِي ِه َم‬ُ ‫ُوب َي ِج‬ َ ‫ب َيتَأ َ َّكدُ َو ْال َم ْند‬ ِ ‫أ َ ْو َم ْك ُرو ٍه فَ ْال َو‬
ُ ‫اج‬

)Wa al-hasilu annahu tajibu tha’atu al-imami fima amara bihi zahiran wa
bathinan mimma laisa biharamin au makruhin fa al-wajibu yataakkadu wa al-
mandubu yajibu wa kaza al-mubahu in kana fihi maslahatun(. Kesimpulannya,
wajib mentaati pemimpin dalam semua hal yang telah diperintahkan, secara
lahir dan batin, selama bukan perkara haram atau makruh. Perkara wajib
semakin wajib untuk ditaati, perkara sunah menjadi wajib, begitu juga perkara
mubah jika mengandung kemaslahatan umum.

10 FIQH BERLALU LINTAS


Selain hal di atas, dalam ajaran Islam juga dikenal ilmu fiqh siyasah. Ilmu
fiqh siyasah adalah ilmu yang membahas tentang cara pengaturan masalah
ketatanegaraan Islam. Kajian fiqh ini membahas peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan pinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk
kemaslahatan umum. Adapun kemaslahatan tersebut jika dilihat dari sisi
syari’ah bisa dibagi menjadi tiga yaitu, yang wajib melaksanakannya (jika
dikerjakan berpahala, dan jika ditinggalkan berdosa), yang sunnah
melaksanakannya (jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa), dan ada pula yang mubah (jika dikerjakan atau tidak dikerjakan
tidak berpahala dan tidak berdosa). Kemaslahatan tersebut haruslah
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, di mana
kemaslahatan itu harus sesuai dengan tujuan atau rahasia Allah dalam
setiap hukum syari’at-Nya.
2. Kemaslahatan itu harus pasti, artinya kemaslahatan itu berdasarkan
penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa ia
bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.
3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan
kesulitan yang di luar batas dalam arti kemaslahatan itu bisa
dilaksanakan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh
siyasah adalah ilmu tata negara Islam yang secara spesifik membahas
tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya
dan negara pada khususnya, berupa penerapan hukum, peraturan dan
kebijakan oleh pemegang kekuasaan yang sejalan dengan ajaran Islam, guna
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkannya dari
berbagai kemudaratan yang mungkin timbul dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan demikian, melaksanakan ketentuan hukum negara dan hukum
agama khususnya dalam lalu lintas yang tertib dan berdisplin merupakan
bagian dari penegakan syariat Islam, karena penegakan syariat adalah salah
satu unsurnya melakukan perbuatan yang tidak menimbulkan kerugian baik
pada diri sendiri maupun pada orang lain. Imam di Kementerian Wakaf
Mesir Syekh Abdul Wahab (Jurnal Republika Dakwah, www.republika.co.id)
melalui artikelnya yang berjudul Ishamat Islamiyah fi Hallil Musykilat al-
Mururiyyah mengatakan:
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 11
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Problematika lalu lintas tak bisa dipisahkan dari prinsip-prinsip agama
Islam. Risalah samawi tersebut juga menaruh perhatian terhadap
pentingnya sikap tertib berlalu lintas. Ini karena pada dasarnya, berlalu
lintas ialah soal sikap ketidakdisiplinan mengikuti rambu dan peraturan
lalu lintas. Islam meluruskan sikap itu agar taat terhadap etika di jalan.
“Ketika berkendara, juga ada hak yang harus dipenuhi”. Ia menjelaskan,
ada lima perkara utama yang wajib dijaga dan dipertahankan oleh umat
Islam, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Ini kemudian disebut
dengan lima pokok hak asasi tiap manusia (al kuliyyat al khamsah). Maka,
petaka yang terjadi di jalanan berakibat fatal pada hilangnya salah satu
atau bahkan kelima pokok tersebut. Kecelakaan itu bisa mengakibatkan
hilangnya nyawa. Ini bisa dilihat dari ayat ke-32 Surah al-Maidah. Dari
segi hilangnya keturunan, tragedi di jalan menyebabkan hilangnya kepala
keluarga yang menghidupi anak-anaknya. istri menjanda, anak-anak
menjadi yatim. Urusan pendidikan terbengkalai. Atas dasar inilah, agama
mendesak urgensi memberikan sanksi bagi mereka yang tidak sengaja
telah membunuh. Apalagi, mereka yang sengaja melakukannya.
Termasuk, soal keteledoran berkendara. “Dan, janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)
yang benar. Dan, barangsiapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya kami
telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi, janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya, ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.” Sebuah hadis dari Abdullah bin Umar
menyebutkan, suatu saat Rasulullah pernah naik mimbar dan
menyerukan agar sesama muslim tidak menyakiti muslim yang lain.
Karena, harta dan darah saudara Muslim itu tidaklah halal dan harus
dijaga.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin berlalu lintas yang
baik dan benar adalah sama dengan mengamalkan seluruh ajaran agama
Islam sebagai kewajiban yang harus penuhi serta larangan yang harus
dihindari. Maka dari itu mentaati aturan berlalu lintas merupakan bahagian
dari sikap menjaga hubungan dengan Maha Pencipta yaitu hubungan
dengan Allah Subhana wa Ta’ala (hablum minallah) dan hubungan kita sesama
ummat manusia (hablum minannas), sehingga akan terjaga dari setiap
perbuatan yang dapat menimbulkan dosa.

12 FIQH BERLALU LINTAS


B. Tujuan Tertib Berlalu Lintas Dalam Perspektif Maqashid Syariah

Islam adalah ajaran yang bersifat universal, integral, komplit,


komprehensif, fleksibel dan responsif terhadap perkembangan kehidupan,
serta menjangkau dimensi duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, ajaran
Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik dengan penciptanya,
dengan dirinya sendiri, hubungan sesama manusia, bahkan mengatur
hubungan manusia dengan lingkungan, hewan dan tumbuhan. Aspek yang
diatur itu sangat luas mencakup semua lini kehidupan, menyangkut akidah,
akhlaq, ibadah, muamalah, politik, ekonomi, sosial, termasuk urusan tertib
berlalu lintas dan etika di jalan umum.
Semua ajaran Islam tersebut disyariatkan dan diturunkan untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam. Allah berfirman: ( َ‫س ْلنَاكَ إِ َّال َر ْح َمةً ل ِْلعَالَمِ ين‬
َ ‫)و َما أَ ْر‬,
َ artinya:
“Kami tidak mengutus engkau Wahai Muhammad kecuali untuk membawa rahmat
bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya, 107). Rasulullah sebagai Nabi akhir zaman
mengingatkan fungsi utama beliau diutus dalam sabdanya: ( ‫اس إِنَّ َما أَنَا‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
َ artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya aku merupakan rahmat yang
‫)رحْ َمة ُم ْهدَاة‬,
diberi petunjuk” (HR. Hakim, No. 100). Nilai-nilai rahmat bagi semesta alam
tersebut diperoleh dengan merealisasikan tujuan utama ajaran Islam atau
yang dikenal dengan maqashid syariah yang bertujuan meraih kemaslahatan
dan menolak kemudharatan (ِ‫سدَة‬ َ ‫صلَ َح ِة َودَ ْر ُء ْال ُم ْف‬
ْ ‫) َج ْلبُ ْال َم‬.
Al-Raisuni mendefinisikan maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang
diberlakukan oleh syari’ yang direalisasikan untuk kemaslahatan hamba.
(Al-Raisuni, 1992:7). Sejalan dengan spirit kemashlahatan ini, para founding
fathers maqahid syariah seperti Imam Syatibi merumuskan dalam magnum
opus: “Sesungguhnya ajaran Islam disyariatkan untuk meraih kemaslahatan dan
menolak kemudharatan.” (Al-Syatibi,1997, Jilid I:311). Sejalan dengan prinsip
Syatibi, Al-’Iz Abdul Salam menegaskan bahwa “Semua Syariat Islam
mengandung kemaslahatan, baik dengan meraih maslahat ataupun menolak
mudharat.” (Al-‘Iz Abdul Salam, 1991, Jilid I:11). Ibnu Taimiah menyatakan
bahwa “Sesungguhnya syariat itu datang untuk merealisasikan dan
menyempurnakan kemashlahatan dan untuk menghilangkan serta meminimalisir
kemudharatan”. (Ibnu Taimiah, 1995, Jilid XXX:234). Secara lebih mendalam
dan gamblang, Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan bahwa ajaran Islam
berlandaskan kemashlahatan, keadilan dan rahmat baik kehidupan dunia
maupun akhirat, sehingga semua aturan-aturan yang dirumuskan kemudian
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 13
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
tidak mengandung nilai-nilai maslahat, rahmat dan keadilan, maka itu
bukan ajaran dan syariat Islam. (Ibnu al-Qayyim, 1423 H, Jilid I:41)
Dengan demikian, Islam diturunkan untuk membawa kemashlahatan
pada ajarannya, baik pada perintah maupun larangannya. Tidak ada satupun
perintah ajaran Islam, baik yang bernilai wajib, sunnah dan mubah, kecuali
pasti terdapat maslahat, hikmah, kebaikan, keadilan dan nilai-nilai positif
bagi manusia. Dapat dipahami bahwa tidak ada satupun larangan baik yang
bernilai haram atau makruh, kecuali pasti mengandung mudharat, bahaya
dan nilai-nilai negatif bagi manusia. Namun, akal manusia terkadang belum
mampu menjangkau hikmah dan rahasia dari hukum syariat, bahkan ada
perintah dan larangan Islam yang baru dijangkau, dipahami dan dilogikakan
oleh manusia, ketika adanya penemuan dan perkembangan sains dan
teknologi modern. Dalam konsep maqashid syariah, meraih kemaslahatan dan
menghindari kemudaratan tersebut diiplementasikan melalui menjaga,
memelihara atau melindungi unsur-unsur pokok berupa:
1. Menjaga agama; (‫ِين‬ ِ ‫ظ الد‬ ُ ‫)حِ ْف‬
2. Menjaga jiwa; (‫ظ النَّ ْف ِس‬ ُ ‫)حِ ْف‬
3. Menjaga akal; (‫ظ ْال َع ْق ِل‬ُ ‫)حِ ْف‬
4. Menjaga keturunan dan kehormatan; (‫س ِل‬ ُ ‫)حِ ْف‬
َ َّ‫ظ الن‬
5. Menjaga harta; (‫ظ ْال َما ِل‬ ُ ‫)حِ ْف‬
6. Menjaga lingkungan hidup. (‫ظ ْال ِب ْيئ َ ِة‬ ُ ‫)حِ ْف‬
7. Menjaga keadilan (‫ظ ْال َعدْ ِل‬ ُ ‫)حِ ْف‬
8. Menjaga HAM (‫ان‬ ِ ‫س‬ ِْ ‫ق‬
َ ‫اْل ْن‬ ُ ‫)حِ ْف‬.
ِ ‫ظ ُحقُ ْو‬

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, syariat Islam sangat


memperhatikan terwujudnya kesejahteraan dan kemaslahatan umat (al-
maslahah al-ammah). Mewujudkan al-maslahah al-ammah harus diupayakan
agar tidak menimbulkan kerugian orang lain dan setidaknya bisa
memperkecil kerugian yang mungkin timbul, karena upaya menghindari
kerusakan harus diutamakan dari pada upaya mendatangkan kemaslahatan,
sesuai kaidah fiqh:
‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ‫صا ِل‬ ِ ‫علَى َج ْل‬
َ ‫دَ ْر ُء ْال َمفَا ِس ِد ُمقَدَّم‬
)daru al-mafasidi muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalihi)
Artinya: “Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mewujudkan
keselamatan.”

14 FIQH BERLALU LINTAS


Dari uraian di atas, ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rangka
untuk mewujudkan maslahah al-ammah yaitu:
1. Kemaslahatan harus lebih memprioritaskan kepentingan umum, dalam
artian, kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syari’at
Islam.
2. Hukum yang sudah menjadi kesepakatan bersama harus menjadi
pedoman bagi pemerintah dan dilaksanakan secara jujur serta konsekuen
(istiqamah).
3. Rakyat wajib memberi dukungan atas terlaksananya hukum-hukum yang
sudah menjadi kebijakan pemerintah, sekaligus sebagai kontrol yang kritis
terhadap sistem pemerintahan.
Dalam hal ini, semua aturan dan tata tertib lalu lintas pada dasarnya
bertujuan untuk kemashlahatan yaitu dalam rangka menjaga keselamatan
jiwa pengguna kendaraan dan masyarakat umum yang berlalu lintas.
Dengan menjaga keselamatan jiwa atau nyawa, maka otomatis unsur pokok
lainnya akan terlindungi, baik harta, keluarga, akal dan agama, sehingga
aturan tertib lalu lintas sejalan dengan dengan prinsip maqashid syariah yaitu
menjaga keselamatan jiwa.
Melindungi dan menjaga keselamatan jiwa menempati tingkatan
prioritas atau primer dalam syariat Islam. Islam melarang melakukan
sesuatu tindakan dan pekerjaan yang dapat mencelakakan, membahayakan,
merugikan nyawa dan anggota tubuh diri sendiri dan orang lain. Allah telah
berfirman: (‫)و َال ت ُ ْلقُوا بِأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى الت َّ ْهلُ َك ِة‬,
َ artinya: “Janganlah kalian menjatuhkan diri ke
dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah, 195). Demikian juga firman Allah: ( ‫َو َال ت َ ْقتُلُوا‬
‫َّللا َكانَ ِب ُك ْم َرحِ ي ًما‬ َ ُ‫)أَ ْنف‬, artinya: “Janganlah kalian membunuh diri kalian;
َ َّ ‫س ُك ْم ِإ َّن‬
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa, 29).
Dua ayat Al-Quran di atas secara tegas melarang melakukan segala tindakan
yang dapat membahayakan keselamatan jiwa manusia, apalagi jika tindakan
tersebut mengundang terjadinya kecelakaan yang menyebabkan korban
meninggal dunia. Seluruh ketentuan lalu lintas sebagaimana yang diatur
dalam UU LLAJ, seperti memakai helm atau sabuk keselamatan, memiliki
SIM, tidak berkendaraan melawan arah, kendaraan sesuai dengan standar
keselamatan, mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan aturan lainnya
bertujuan untuk menjaga keselamatan pengguna jalan.
Rasulullah telah mengajarkan kita: (ُ‫الط ِر ْيقَ َحقَّه‬ َّ ‫طوا‬
ُ ‫)فَأ َ ْع‬, artinya: “Berikan jalan
itu hak-haknya.” (HR Bukhari, No. 2285), bahkan menjaga ketertiban berlalu
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 15
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
lintas hingga menciptakan kenyamanan jalan termasuk bentuk manifestasi
keimanan, amalah saleh, dan sedekah nonmateri sebagaimana Sabda
Rasulullah: (‫ق‬ َّ ‫ع ِن ال‬
ِ ‫ط ِر ْي‬ َ ‫طةُ ْاْل َذَى‬
َ ‫) َوإِ َما‬, artinya: “Menyingkirkan halangan di jalan
termasuk bentuk keimanan atau amalan saleh/sedekah.” (HR Bukhari, No. 2438).
Kecelakaan yang disebabkan atas kelalaian dan pelanggaran lalu lintas bisa
mengakibatkan hilangnya nyawa. Dari segi hilangnya keturunan, kecelakan
dan tragedi di jalan menyebabkan hilangnya kepala keluarga yang
menafkahi istri dan anak-anaknya. Istri menjanda, anak-anak menjadi yatim,
masalah pendidikan terbengkalai, dan timbul berbagai dampak sosial
lainnya.
Aturan lalu lintas dirumuskan untuk menjaga keselamatan pengendara,
kendaraan dan pengemudi dan pengguna jalan lainnya, Rasulullah tegas
melarang melakukan segala tindakan yang dapat merugikan dan
membahayakan keselamatan diri dan orang lain, Rasulullah bersabda: “Tidak
boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang
lain.” (HR. Ibnu Majah, No. 2332, Ahmad. No. 2719).
Dalam konsep maqashid syariah, realisasi kemaslahatan dari segi tingkat
kebutuhan dan prioritas terbagi kepada tiga macam (Syatibi, 1997, Jilid II:17):
1. Menjaga maslahat pada level primer (dharuriyyah) yaitu maslahat yang
harus dijaga demi tegaknya kehidupan dan jika diabaikan kehidupan
akan terancam. Menjaga keselamatan jiwa (‫ )حفظ النفس‬ketika berlalu lintas
termasuk dalam tingkatan primer, dikarenakan dengan hilangnya nyawa,
maka agama, keturunan dan harta menjadi tidak terlindungi.
2. Menjaga maslahat pada level sekunder (hajiyyah), yaitu maslahat yang
tidak sampai mengancam keselamatan manusia, namun akan
menyebabkan kesulitan jika tidak disyariatkan, seperti rukhsah menjama’
dan mengqashar shalat dan boleh tidak berpuasa saat musafir.
3. Menjaga maslahah pada level tersier (tahsiniyyah), yaitu maslahah yang
tidak mengancam keselamatan dan juga tidak menimbulkan kesulitan,
tetapi hanya sebagai pelengkap dan penyempurna untuk kepatutan
menurut adat, sesuai dengan nilai norma, akhlaq dan estetika.
Oleh karena itu, menjaga keselamatan jiwa dengan mematuhi aturan lalu
lintas menjadi hal pokok dalam Islam, bahkan jika sengaja melanggar lalu
lintas yang membahayakan diri dapat dianggap sama hukumnya seperti
membiarkan dirinya terbunuh atau membunuh diri dan hal ini sangat
dilarang dalam Islam. Salah seorang ulama besar fiqh dan hadis, Syeikh Bin
16 FIQH BERLALU LINTAS
Baz telah memfatwakan orang mengenderai kendaraan dengan melampaui
batas kecepatan yang ditetapkan, kemudian kecelakaan dan meninggal
dunia, termasuk dalam kategori melakukan sesuatu sebab yang
mengakibatkan bunuh diri. (Syeikh Bin Baz, www.binbaz.org). Dari segi
pertimbangan syariat terhadap mashlahat yang ingin dicapai, para ulama
maqashid membagikan mashlahat kepada tiga macam (al-Jizani, 1427 H:235;
al-Raisuni, 1992:238):
1. Maslahah mu’tabarah (‫)مصلحة معتبرة‬, yaitu maslahat yang diperintahkan oleh
Al-Qur’an dan Hadis seperti perintah salat lima waktu;

2. Maslahah mulghah (‫)مصلحة ملغاة‬, yaitu maslahat yang telah


dibatalkan/dilarang oleh Al-Qur’an dan Hadis, walaupun menurut akal
manusia ada manfaat, seperti larangan judi.

3. Maslahah mursalah (‫)مصلحة مرسلة‬, yaitu maslahat yang belum secara tegas
diperintahkan atau dilarang oleh Quran dan Hadist, tetapi dibolehkan
selama ada manfaat dan nilai positif dan tidak bertentangan dengan teks
Al-Quran dan Hadis serta prinsip umum syariat, seperti membuat
peraturan lalu lintas.

Sesuai klasifikasi maslahat tersebut, untuk itu, pemerintah dan atau Polri
boleh saja membuat kebijakan dan aturan lalu lintas yang mendatangkan
maslahat, selama tidak bertentangan dengan teks syariat dan prinsip-prinsip
umum syariat. Wahbah Zuhaili dalam Ushul Fiqh Islami menjelaskan definisi
maqasid syariah yaitu makna-makna dan tujuan yang diperhatikan oleh syari’
(Allah) pada keseluruhan hukum-hukumnya atau sebagian besarnya, atau
tujuan dari syariat itu sendiri. Sementara Asy-Syatibi menjelaskan bahwa
tujuan-tujuan syariat (maqasid) terklasifikasi pada tiga hal, yaitu:
mewujudkan kemaslahatan dengan menjamin kebutuhan daruriyah (primer),
memenuhi kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan memenuhi kebutuhan
tahsiniyyah (tersier/pelengkap). Dalam al-Muwafaqat disebutkan bahwa
kebutuhan daruriyah (primer) terklasifikasi dalam lima pilar, yaitu menjaga
agama (hifz ad-din), menjaga jiwa (hifz an-nafs), menjaga keturunan (hifz an-
nasl), menjaga harta (hifz al-mal) dan menjaga akal (hifz al-aql). Sebagian ulama
bahkan menambahkan menjaga kehormatan (hifz al- ‘ird) sehingga maqashid
itu menjadi enam tujuan pokok/primer. Karena itu, tujuan utama syariat
Islam (maqashid asy-syari’ah) adalah menjaga kemaslahatan hamba-Nya, baik
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 17
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
di dunia maupun di akhirat, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Sejalan dengan itu Imam ‘Izzuddin ibnu Abdissalam, menegaskan, bahwa
seluruh syariat Islam mengandung kemaslahatan. “Dan seluruh syariat (Islam)
itu maslahat, baik dalam bentuk menolak kemafsadatan maupun menarik
kemaslahatan.”
Pertama, kemaslahatan menjaga agama (hifdhu ad-din). Agama menyeru
kepada segenap umat manusia untuk berbuat baik dan adil, termasuk
berbuat baik di jalan.. Manusia adalah khalifah Allah. Bumi dan seluruh
isinya diamanahkan kepada umat manusia untuk diurus dan dipelihara
sebaik-baiknya (QS. al-A’raf: 128). Kedua, menjaga jiwa (hifdhu an-nafs).
Menjaga dan memelihara tata tertib saat berkendera juga bagian dari
menjaga jiwa. Menjaga jiwa artinya memelihara keselamatan, kesehatan, dan
juga kehidupan. Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan “indisipliner” di
jalan dapat mengancam jiwa manusia. Ketiga, melindungi keturunan dan
martabat (hifdh an-nasl wa al- ‘irdl). Melindungi keturunan dan martabat
termasuk salah satu tujuan syariat Islam (maqashid asy-syari’ah). Artinya,
menjaga keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini adalah
bagian penting syari’at Islam diturunkan. Oleh karena itu, setiap bentuk
pembangunan harus berorientasi sekaligus mempertimbangkan
kelangsungan hidup generasi umat manusia.
Segala upaya yang berdampak pada perusakan dan ketidakseimbangan
ekosistem adalah tindakan yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Keempat, menjaga akal (hifdh al-‘aql). Akal dalam Islam menempati posisi
sangat penting sebagai salah satu tujuan syariat Islam. Tanpa akal, manusia
tidak sempurna dan terhindar dari hukum taklifiy. Menjaga ketertiban di
jalan dalam arti umum, sesungguhnya menjaga umat manusia, baik jasmani,
rohani, maupun akalnya. Kelima, menjaga harta (hifdh al-mal). Harta memiliki
arti sangat luas, yaitu segala sesuatu yang berharga dan mempunyai nilai
sekaligus bisa dimiliki. Alam dan lingkungan hidup ini, seperti tanah, pohon,
binatang, air, energi, dan lain-lain, adalah harta benda. Menjaga dan merawat
lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) sama halnya dengan menjaga harta benda kita.
Kewajiban pemerintah (negara) untuk membangun, mengelola, serta
menjaga kepentingan umum sebagai bentuk pemenuhan terhadap hajat
hidup rakyatnya. Hal tersebut adalah amanat agama dan tujuan yang sesuai
dengan konstitusi. Namun, dalam membangun dan mengelola kepentingan
umum, pemerintah harus selalu berorientasi pada kemaslahatan publik (al-
18 FIQH BERLALU LINTAS
mashlahat al-‘ammah) sebagai pijakan dan dasar bagi perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Kemaslahatan publik adalah sesuatu yang terbaik
dan terpenting (al-aham) untuk kehidupan rakyat. Kemaslahatan publik
harus dijadikan landasan sekaligus parameter bagi seluruh kebijakan publik.
Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana cara mengukurnya. Tentu saja,
kemaslahatan itu harus diukur dan dikembalikan kepada publik untuk
merumuskan dan menentukan kemaslahatan dirinya. Partisipasi publik
dalam perumusan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan publik
menjadi suatu keharusan. Tanpa partisipasi publik, suatu kebijakan sulit
dapat disebut maslahat. Imam ‘Izzuddin ibn Abdissalam asy-Syafi’i dalam
Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam menjelaskan:
Pasal tentang kebijakan (tasharruf) seorang pemimpin atau
penggantinya. Sebagaimana yang sudah dijelaskan tentang jenis-jenis
tasharruf (kebijakan), seorang pemimpin harus membuat kebijakan yang
terbaik/paling maslahat (al-ashlah) buat rakyatnya. Yaitu, dengan
menghindari mudarat atau kerusakan dan mengambil yang manfaat dan
benar. Pemimpin tidak boleh mengambil sebuah kebijakan yang baik
sementara masih ada yang lebih baik lagi, kecuali ada halangan atau
kendala untuk merealisasikannya (masyaqah syadidah).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa melaksanakan
perintah agama bukan hanya menjaga salat lima waktu dan berbagai
perintah lainnya, tetapi juga menjaga keselamatan jiwa ketika berlalu lintas
dengan mematuhi aturan yang telah dibuat. Meninggalkan larangan agama
bukan hanya meninggalkan perbuatan mungkar seperti larangan judi dan
lainnya, tetapi juga meninggalkan larangan melangggar aturan lalu lintas.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 19


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
BAB II
KETENTUAN TERTIB BERLALU LINTAS DALAM
AL-QUR'AN, HADIS, KAIDAH FIQH, DAN FATWA ULAMA

A. Tertib Berlalu Lintas Menurut Al-Qur’an


Terdapat dua hal yang perlu dipikirkan dalam menentukan konsep
hukum yang akan berlaku dalam masyarakat. Dua hal tersebut terdiri dari
nilai ilahiyah dan nilai kemanusiaan. Kedua nilai tersebut berada dalam Al-
Qur’an. Al-Qur’an mengingatkan setiap kegiatan yang mengatur
kemaslahatan umat manusia harus dikaitkan dengan nilai yang terkandung
di dalam al-Qur’an. Jika masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat
Aceh secara khusus memahami maksud pengaturan lalu lintas dengan baik,
dipastikan kecelakaan lalu lintas akan turun drastis. Jika semua kaum
muslim tunduk dan merenungkan kembali isi Al-Qur’an, maka tingkat
kecelakaan akan menurun di Indonesia. Ternyata sebaliknya, Indonesia
mengalami tingkat kecelakaan yang tinggi. Justru hal tersebut dapat
dipahami bahwa masyarakat muslim paling rendah pemahamannya tentang
peraturan berlalu lintas. Permasalahan terbesar adalah masih ada yang
beranggapan bahwa taat berlalu lintas bukan bagian dari perintah agama.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang dibuat oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) adalah konsep dari sistem pemerintahan. Masyarakat
diperintahkan oleh untuk tunduk dan patuh kepada pemerintah
sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 59:

ٍ‫ش ْىء‬َ ‫سو َل َوأ ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَإِن تَ َٰنَزَ ْعت ُ ْم فِى‬ ُ ‫ٱلر‬ ۟ ُ‫ٱَّللَ َوأَ ِطيع‬
َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫َٰيَٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا أَ ِطيع‬
َّ ‫وا‬
‫يل‬ َ ْ‫اخ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخيْر َوأَح‬
ً ‫سنُ تَأ ْ ِو‬ ِ ‫ٱل َء‬ ْ ‫ٱَّلل َو ْٱليَ ْو ِم‬
ِ َّ ‫سو ِل ِإن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِب‬ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫ٱَّلل َو‬ ِ َّ ‫فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬

(Yā ayyuhallażīna āmanū aṭī'ullāha wa aṭī'ur-rasụla wa ulil-amri mingkum, fa in


tanāza'tum fī syai`in fa ruddụhu ilallāhi war-rasụli ing kuntum tu`minụna billāhi
wal-yaumil-ākhir, żālika khairuw wa aḥsanu ta`wīlā) “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 21
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.

Dalil di atas menegaskan bahwa hukumnya wajib mematuhi perintah


pemimpin. Para ulama melalui fatwa ulama terus-menerus memberi
masukan kepada pemerintah guna membangun masyarakat yang tertib.
Harus dipahami pula bahwa tunduk dan patuh kepada pemerintah tidak
terjadi secara serta-merta, tetapi melalui pelibatan masyarakat dalam
membuat rumusan perundang-undangan yang mengatur tentang lalu lintas.
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi masyarakat menganggap bahwa patuh
terhadap peraturan lalu lintas tidak ada hubungan dengan agama.
Beberapa ayat al-Qur’an yang mengatur tentang pentingnya ketertiban
berlalu lintas:

1. Surat Luqman ayat 18, Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:

ٍ ‫ب ُكلٍ ُم ْختَالٍ فَ ُخ‬


‫ور‬ ٍ َ َ‫ّللا‬
ٍ ‫ل ي ُِح‬ ٍ ِ ‫ش فِي ْاْل َ ْر‬
ٍ ٍ‫ض َم َرحاٍ ِإن‬ ٍ َ ‫اس َو‬
ٍ ِ ‫ل ت َْم‬ َ ُ‫ل ت‬
ٍ ِ ‫ص ِع ٍْر خَدكٍَ ِللن‬ ٍ َ ‫َو‬

“Dan jangan kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan
janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”. Bagian dari sombong
dijalan adalah bertindak seperti raja dijalan. Seakan-akan tidak ada
orang lain dijalan.

2. Surah al-A’raf ayat 86 Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:

‫َّللا َم ْن آ َمنَ بِ ِه َوتَ ْبغُونَ َها ِع َو ًجا‬


ِ َّ ‫سبِي ِل‬
َ ‫عن‬
َ َ‫صدُّون‬ ِ ‫َو َال تَ ْقعُدُوا بِ ُك ِل‬
ُ َ‫ص َراطٍ تُو ِعدُونَ َوت‬

“Dan janganlah kamu duduk di setiap jalan dengan menakut-nakuti dan


menghalangi orang-orang yang beriman dari pada Allah dan ingin
membelokkannya”. Jalan yang dimaksud dalam ayat ini tidak hanya jalan
tetapi juga proses ketertiban di jalan.

Pengertian mengganggu dapat dikembangkan untuk berbagai bentuk,


mulai nongkrong (sambil mengusili orang yang melintas), membegal
pelintas jalan dan ugal-ugalan di jalan. Sebaliknya, memperbaiki
insfrastruktur jalan agar pengguna jalan merasa aman dan nyaman,
22 FIQH BERLALU LINTAS
menyingkirkan duri dari jalanan adalah petanda orang beriman. Adanya
pemahaman dari sebahagian masyarakat yang menyatakan bahwa manaati
aturan lalu lintas bukanlah bagian dari ketaatan menjalankan Syariah,
padahal aturan ini merupakan otoritas ulil amri yang harus ditaati selama
tidak menganjurkan kemaksiatan.

B. Tertib Berlalu Lintas Menurut Hadis

Tidak terdapat dalil khusus yang menjelaskan tertib lalu lintas dalam
Hadis, akan tetapi Islam sebagai agama yang sempurna tentu sangat lengkap
mengatur semua aspek kehidupan manusia baik aturan yang dibuat tersebut
secara khusus maupun secara umum. Adapun hadis yang mengatur tentang
ketertiban berlalu lintas dapat diambil dari hadis yang bersifat umum yang
bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan aktifitas di jalan raya. Hadis-
hadis ini bisa menjadi rujukan yang harus benar-benar diikuti sehingga tidak
ada manusia dimanapun yang dizalimi atau disakiti jika seorang muslim
atau muslimah sedang berada di jalan.
1. Hadis tentang kewajiban mentaati pemimpin atau penguasa
Ketika mengaku mukmin, pada saat itulah setiap manusia harus awas
dan sadar bahwa Allah selalu memantau perbuatan dan segala tindak-
tanduknya, hingga apa yang tersembunyi dalam hati. Sementara Allah,
meskipun diyakini ada, tetapi karena tidak kelihatan oleh mata telanjang,
maka manusia pun mudah lupa, melupakan, atau pura-pura lupa,
sehingga tidak malu untuk melanggar syariat-Nya. Hilangnya kesadaran
ini membuat iman seseorang berkurang ke tingkat terendah. Demikian
pula dengan pelanggaran di jalan. Terkadang, yang melakukannya itu
adalah seorang muslim yang taat dalam ibadah dan rajin dalam hal
kewajiban salat. Mengapa hal ini dilakukan, salah satu penyebabnya
adalah adanya pemahaman bahwa menaati aturan lalu lintas itu
bukanlah bagian dari ketaatan dalam menjalankan syariah, padahal
aturan ini merupakan wilayah ulil amri (pemerintah; melalui Dishub dan
Polisi Lalu Lintas) yang harus ditaati selama tidak menganjurkan
kemaksiatan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam:

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 23


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
ِ ‫عةُ فِ ْي َما أَ َحبَّ َوك َِرهَ إِ َّال أَ ْن يُؤْ َم َر بِ َم ْع‬
‫صيَ ٍة‬ َّ ‫علَى ْال َم ْر ِء ْال ُم ْس ِل ِم الس َّْم ُع َو‬
َ ‫الطا‬ َ
‫عة‬ َ ‫طا‬ َ ‫س ْم َع َو َال‬
َ ‫ص َي ٍة فَ َل‬ ِ ‫فَإِ ْن أ ُ ِم َر ِب َم ْع‬

Artinya: "Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan mentaati


(penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak
diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat,
maka tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)". (HR. Al-Bukhariy
dalam Kitab Al-Ahkam no. 6725 dan Kitab Al-Jihad no. 2796, Muslim no.
1839).

Abul ‘Ula Al-Mubarakfuriy-rahimahullah- berkata, "Di dalam


hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa
memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka
wajib (ditaati).” Al-Muthahhar berkata, "Maksudnya, mendengarkan
dan menaati ucapan penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim,
sama saja apakah penguasa memerintahkannya untuk melakukan
sesuatu yang sesuai dengan keinginannya ataukah tidak. ‘Tetapi dengan
syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika ia
diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh taat kepadanya.
Namun tidak boleh baginya memerangi penguasa." (Abul ‘Ula
Muhammad Abdurrahman, 1995, Jilid V:298).
Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka
wajib bagi seorang muslim untuk menaatinya, walaupun memakai helm,
membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika
penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib.
Jadi, memakai helm atau sabuk keselamatan, memiliki SIM dan STNK
saat berkendaraan adalah perkara yang wajib. Kewajiban menaati
pemimpin merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh
semua orang beriman sebagaimana Allah perintahkan untuk mentaati
Allah, Rasul dan ulil amri (pemimpin). Aturan yang dibuat oleh negara
tentang lalu lintas merupakan aturan yang harus dipatuhi oleh setiap
orang yang berada di negara tersebut. Aturan negara menunjukkan
bahwa pemimpin dapat mengeluarkan peraturan yang sesuai dan untuk
kepentingan negara, sehingga jika warga negaranya tidak patuh maka
akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Begitu

24 FIQH BERLALU LINTAS


juga bagi umat beragama karena keharusan untuk patuh dan taat pada
pemimpin.

2. Hadis tentang menjaga keselamatan orang lain


Seseorang hendaklah memperhatikan keselamatan dirinya dan
keselamatan orang lain ketika berkendara. Jangan sampai menjadi sebab
tertumpahnya darah seseorang serta rusaknya harta manusia. Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ش ْه ِر ُك ْم َهذَا فِ ْي بَلَ ِد ُك ْم‬ َ ‫اؤ ُك ْم َوأَ ْم َوالَ ُك ْم َح َرام‬


َ ‫علَ ْي ُك ْم َك ُح ْر َم ِة يَ ْو ِم ُك ْم َهذَا فِ ْي‬ َ ‫إِ َّن ِد َم‬

Artinya: “Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram (mulia) atas
kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian
ini”. (HR. Muslim dalam Shahihnya, No. 1218).

Sebab itu, darah dan harta seorang muslim menjadi haram terganggu,
apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena harta dan darah seorang
muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah. Kebiasaan buruk menimpa
mereka dalam mengendarai motor atau mobil di jalan akibat aksi ugal-
ugalan di jalan raya yang membuat takut bagi kaum muslimin lain yang
berada di sekitar jalan. Bahkan terkadang pengendara menabrak sebagian
orang atau fasilitas yang terdapat di jalan raya. Knalpot yang tidak standar
atau yang telah dimodifikasi membuat kebisingan yang sangat
mengganggu pengguna jalan lainnya, bahkan spontan membuat kaget.
Padahal di dalam Islam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
perbuatan menyebarkan ketakutan kepada seorang muslim.
َ ‫َال َي ِح ُّل ِل ُم ْس ِل ٍم أ َ ْن ي َُر ِو‬
‫ع ُم ْس ِل ًما‬

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim”. (HR.
Abu Dawud)

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 25


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
3. Hadis tentang memberi hak kepada jalan
Jalan juga mempunyai hak yang harus dipenuhi. Karena itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat kepada para sahabat ketika
seseorang duduk di pinggir jalan,
“Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan”. Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah
haknya jalan”. Mereka bertanya, “Apa haknya jalan?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Janganlah kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan,”
mereka (para sahabat) berkata, “Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk
berbincang-bincang.” Beliau berkata, “Jika kalian tidak bisa melainkan harus
duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut,” mereka bertanya, “Apa hak jalan
tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menundukkan (membatasi)
pandangan, tidak mengganggu (menyakiti orang), menjawab salam,
memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”.

Jadi, haknya jalan ada 5 (lima) yaitu: menundukkan pandangan dari


melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita yang bukan
mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya, tidak buang
sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak menyakiti orang
lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam orang yang
mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum
muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu
shalat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang
mungkar (misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang
bermaksiat di jalan, dan lainnya).

C. Tertib Berlalu Lintas Menurut Kaidah Fiqh


Kaidah secara etimologis bermakna asas, dasar atau pondasi baik dalam
arti konkret maupun abstrak sebagaimana arti yang digunakan dalam
Alquran Surat An-Nahl ayat 26 yang berbunyi:
‫فاتى هللا بنيانهم من القواعد‬
Artinya: Allah menghancurkan bangunan mereka dari fondasi-fondasinya.”
(An-Nahl ayat 26)

26 FIQH BERLALU LINTAS


Abu Zahrah mendefinisikan kaidah sebagai kumpulan hukum-hukum
yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya
(Muhammad Abu Zahrah, tt:10). Al-Jurjani mendefinisikan kaidah fiqh
sebagai Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh
bagian-bagiannya (Al-Jurjani, 1403 H / 1983 M:171). Selanjutnya,
Muhammad Sidqi Al-Burnu (Muhammad Shidqi Al Burnu, tt:13-24)
mengatakan bahwa kaidah fiqh adalah hukum atau pondasi yang bersifat
umum yang bisa memahami permasalahan fiqh yang tercakup dalam
pembahasannya. Jika seseorang menguasasi kaidah fiqh maka akan sangat
membantu dalam memberikan sebuah hukum yang kontemporer dan belum
pernah terjadi sebelumnya dengan cara yang mudah. Terkait dengan
peraturan-peraturan lalu lintas dan angkutan jalan terdapat beberapa kaidah
fiqh yang bisa dijadikan sebagai pedoman berkendaraan di jalan. Kaidah-
kaidah tersebut adalah:
1. Kaidah meraih kemashlahatan dan menolak kemudharatan

ِ ‫ح َودَ ْف ُع ْال َمفَا‬


)Jalbu al-mashalihi wa daf’u al-mafasidi( ‫س ِد‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ‫صا ِل‬ ُ ‫َج ْل‬

Artinya: “Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah.”


Dengan kaidah ini, dapat dilihat bahwa peraturan yang dibuat oleh
pemimpin dalam hal ini peraturan lalu lintas adalah untuk menjaga
keselamatan semua orang baik keselamatan pengendara maupun
keselamatan pengguna jalan lainnya. Tindakan Pemerintah dalam
pembentukan regulasi lalu lintas merupakan upaya untuk mencegah hal-hal
yang membahayakan agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Kemanfaatan
aturan ini menunjukkan pada kepatuhan memakai helm yang berfungsi
menjaga kepala pengendara, begitu juga dengan penggunaan sabuk
keselamatan (safety belt) berguna untuk menyelamatkan anggota tubuh jika
mobil yang dikendarakan mengalami kecelakaan lalu lintas, sarana
keselamatan tersebut bersifat pencegahan atau untuk meminimalisir dampak
kecelakaan lalu lintas, kepatuhan lalu lintas adalah ikhtiar untuk menolak
kemudaratan yang lebih besar.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 27


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
2. Kaidah segala sesuatu tergantung pada niat
ِ َ‫اَْل ُ ُم ْو ُر ِب َمق‬
)al-umuru bi maqashidiha( ‫اصدهَا‬

Artinya: “Segala perbuatan tergantung niatnya.” (al-Zarkasyi, 1985, Jilid I:


309).
Maksud dari kaidah ini, segala perkataan maupun perbuatan tergantung
dari niat. Apakah perkataan dan perbuatan tersebut berbuah pahala atau
tidak, semua akan kembali kepada niat dan tujuan dalam berkata dan
berbuat. Dengan niat, akan terbedakan antara dua orang yang melakukan
jenis ibadah yang sama tetapi yang satu berpahala yang satunya tidak, atau
yang satu berpahala tetapi sedikit namun satunya berpahala yang sangat
besar. Fungsi niat ini adalah (A. Djazuli, 2007: 35-36):
a. untuk membedakan antara ibadah dengan adat kebiasaan.
b. untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun
kejahatan.
c. untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu
serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.

Jika seseorang berkendara, maka tujuan dia berkendara sangat tergantung


pada niatnya, apakah dengan berkendaraan dia akan mendapat pahala atau
akan mendapat dosa, karena apabila niatnya mengharap ridha Allah, maka
akan memperoleh pahala. Dengan niat karena Allah maka akan hilang
kesombongan, riya dan sifat tercela lainnya.

3. Kaidah kemudharatan harus dihilangkan


)al-dhararu yuzalu( ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫ال‬

Artinya “Kemudlaratan itu harus dihilangkan.” (M. Shidqi Burnu, 2003, Jilid
VI: 261).
Kaidah ini bertujuan untuk merealisasikan maqashid syar’iyah dengan
menolak yang mafsadah (kerusakan), dengan cara menghilangkan
kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh sebab itu, Ahmad al-
Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah ini meliputi lapangan yang
sangat luas di dalam fiqh bahkan meliputi seluruh materi fiqh yang ada.
Masyaqqah (kesulitan) adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya
kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan

28 FIQH BERLALU LINTAS


membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan dharurah (kesukaran) adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, akal, nasab, harta serta
kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqah akan mendatangkan
kemudahan atau keringanan. Sedangkan dengan adanya darurat akan
adanya penghapusan hukum. Dengan demikian menjelaskan bahwa
keringanan masyaqqat dan penghapusan mudarat akan mendatangkan
kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya
tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218). Dalam konteks
lalu lintas, semua yang memudaratkan harus dihindari, misalnya balap liar
di jalan, menerobos lampu merah, melawan arus lalu lintas, dan lainnya.

4. Kaidah keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang

ُ ْ‫الض َُّر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح المح‬


)al-dharuratu tubihu al-mahzurati( ‫ظ ْو َرات‬

Artinya: “Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.” (Ibnu al-


Mulaqqin, 2010, Jilid I: 30).
Maksud dari kaidah ini adalah boleh melakukan yang dilarang, karena
adanya keadaan darurat. Untuk melaksanakan kaidah ini diperlukan syarat-
syarat:
a. dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan
dharar (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan demikian, maka tidak boleh
menerjang yang haram. Contoh: Jika terdapat mobil ambulance yang
membawa pasien atau jenazah mendapatkan prioritas utama di jalan
(dapat menerobos lampu lalu lintas (traffic light).
b. tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan yang dilarang demi
hilangnya dharar (kemudaratan). Contoh: Mobil pemadam kebakaran
mengubah arah normal arus pada jalan (contra flow) karena akan
menolong korban kebakaran.
c. larangan yang dilanggar lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
Contoh: memarkirkan kendaraan di bahu jalan untuk menolong korban
kecelakaan lalu lintas.
d. yakin akan memperoleh dharar, bukan hanya sekedar sangkaan atau yang
nantinya terjadi. Contoh: Supir yang terlibat kecelakaan lalu lintas, tidak

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 29


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
menyelamatkan korban kecelakaan kerena takut diamuk oleh massa,
sehingga memutuskan untuk menyelamatkan diri ke kantor polisi.

5. Kaidah ukuran darurat ditentukan menurut kadar kedaruratannya

)al-dharuratu tuqaddaru bi qadriha( ‫وراتُ تُقَد ُِر ِبقَد ِْرهَا‬


َ ‫الض َُّر‬

Artinya: “Keadaan darurat ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya.”


(Ibnu Nujaim, 1999: 373).

)ma ubiha li al-dharurati yuqaddaru biqadriha( ‫ت يُقَد ُِر ِبقَد ِْرهَا‬ َ ‫َما أ ُ ِب ْي َح ِللض َُّر‬
ِ ‫ورا‬

Artinya: “Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekedar kedaruratannya.”


(Ibnu Nujaim, 1999: 373).

Dalam keadaan darurat kebolehan melakukan yang dilarang, hanya


sekedar untuk menghilangkan kemudaratan yang sedang menimpa. Apabila
kemudaratan atau suatu keadaan yang memaksa telah hilang, maka
kebolehan terhadap yang didasarkan atas kemudaratan ini menjadi hilang,
artinya perbuatan itu kembali ke asal mulanya yakni dilarang.
Kedua kaidah di atas sesungguhnya membatasi manusia dalam
melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Melakukan yang dilarang
karena darurat tidak boleh melampaui batas, tapi hanya sekedarnya. Contoh:
Mobil barang tidak diperuntukkan untuk mengangkut orang, kecuali dalam
keadaan darurat hanya untuk menolong korban kecelakaan lalu lintas ke
rumah sakit.

6. Kaidah kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kemaslahatan


rakyat

ْ ‫الر ِعيَّ ِة َمنُوط ِب ْال َم‬


‫صلَ َح ِة‬ َ ‫ف ْاْل َم ِام‬
َّ ‫علَى‬ َ َ‫ت‬
ُ ‫ص ُّر‬

(tashaarufu al-imami ‘ala al-ra’iyyati manuthun bi al-mashlahat(

30 FIQH BERLALU LINTAS


Artinya: “Setiap kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kemaslahatan
rakyat.” (al-Zarkasyi, 1985, Jilid I: 309).

Berdasarkan kaidah fiqh ini, pemerintah atau negara berhak membuat


kebijakan, aturan dan undang-undang yang mengatur ketertiban umum dan
keselamatan jiwa, termasuk hukuman bagi pelanggar lalu lintas untuk
mencegah tidak mengulangi perbuatannya. Contoh lain seperti
pemberlakuan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) ganjil genap
pada jalan-jalan protokol dalam rangka mengurangi kemacetan lalu lintas.

7. Kaidah sesuatu tidak sempurna hukum wajibnya kecuali dengannya,


maka ia menjadi wajib juga hukumnya

ِ ‫َما َال يَتِ ُّم ْال َو‬


ِ ‫اجبُ إِ َّال بِ ِه فَ ُه َو َو‬
)mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun( ‫اجب‬

Artinya: “Sesuatu tidak sempurna hukum wajibnya kecuali dengannya, maka ia


menjadi wajib juga hukumnya.” (al-Zarkasyi, 2000, Jilid I: 179).
Dalam Islam, menjaga keselamatan jiwa wajib hukumnya. Hal ini dapat
dilaksanakan dengan perantara safety driving seperti memakai helm bagi
sepeda motor dan sabuk keselamatan bagi pengemudi mobil. Berdasarkan
kaidah ini, hukum memakai helm dan sabuk keselamatan menjadi wajib,
karena merupakan perantara untuk melindungi sesuatu yang wajib yaitu
keselamatan jiwa pengemudi dan pengguna jalan lainnya. Contoh lain,
seorang pengemudi wajib memeriksa kondisi kendaraannya (rem, ban,
lampu dan stir), sebelum mengendarai kendaraan di jalan.

8. Kaidah wasilah mempunyai hukum yang sama dengan maqashid


َ ‫ِل ْل َو‬
ِ َ‫سائِ ِل ُح ْك ُم اْل َمق‬
)li-alwashaili hukmu al-maqashidi( ‫اص ِد‬
Artinya: “Setiap wasilah atau sarana mempunyai hukum yang sama dengan
tujuan).” (al-Qahtani, 2000: 80).

Dalam fiqh terdapat dua mekanisme dalam melaksanakan hukum Islam,


maqashid (‫ )مقاصد‬yang berarti tujuan utama dan wasilah/wasail (‫وسيلة‬/‫)وسائل‬
yang berarti sarana atau instrumen untuk mencapai tujuan utama tersebut.
Maqashid atau tujuan utama hukum Islam adalah meraih kemaslahatan dan
mencegah kemudaratan yang diimplementasikan dalam bentuk
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 31
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan/nasab, harta, dan
ekosistem/lingkungan hidup. Hal yang esensial dari pelaksanaan hukum
Islam adalah tercapainya tujuan utama melalui wasilah-wasilah tertentu.
Wasilah tersebut bersifat fleksibel dan berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemashlahatan manusia, selama tidak
bertentangan langsung dengan ayat Al-Qur’an/Hadits dan prinsip umum
syariat. Terkait lalu lintas, kewajiban pemerintah memasang traffic light,
rambu-rambu lalu lintas, marka jalan, dan kamera CCTV untuk keselamatan,
keamanan, dan kelancaran lalu lintas pengguna jalan.

9. Kaidah menolak kemudaratan diutamakan daripada meraih


kemashlahatan
daru al-mafasidi muqaddamun ‘ala jalbi al-( ‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬
ِ ‫صا ِل‬ ِ ‫علَى َج ْل‬
َ ‫دَ ْر ُء اْل َمفَا ِس ِد ُمقَدَّم‬
)mashalihi
Artinya: “Menolak kemudharatan atau sesuatu yang membahayakan lebih
diutamakan daripada meraih kemashlahatan.” (al-Winsyirisi, 2006: 89).
Syarat menerapkan kaidah ini, mudarat atau bahaya lebih banyak daripada
maslahat. Aplikasi kaidah ini dalam lalu lintas yaitu, mengutamakan
keselamatan dengan mematuhi berbagai aturan lalu lintas daripada
kemaslahatan lain seperti berkendara dengan kecapatan tinggi di jalan
supaya dengan tujuan agar cepat sampai, hal ini dapat menyebabkan
kecelakaan lalu lintas. “Lebih baik terlambat asal selamat”.

D. Tertib Berlalu Lintas Menurut Fatwa Ulama


Fatwa sebagai upaya ulama, ilmuwan dan cendekiawan Islam untuk
menjawab dan menjelaskan hukum Allah dan Rasul, memegang peranan
penting dalam kehidupan umat, terutama menyangkut hukum halal haram,
hal yang wajib dilakukan dan hal yang terlarang dilakukan. Para ulama
sebagai pewaris Nabi mempunyai tugas mulia berkewajiban menyampaikan
hukum syariat terhadap masalah yang timbul dan ditanyakan oleh umat.
Mengingat pentingnya aturan-aturan terkait lalu lintas untuk melindungi
keselamatan jiwa pengemudi dan pengguna jalan lainnya, sejumlah ulama
telah mengeluarkan fatwa baik secara kelembagaan ataupun personal terkait
kewajiban mentaati peraturan lalu lintas dan hukum melanggarnya. Di
antara fatwa-fatwa tersebut yaitu:
32 FIQH BERLALU LINTAS
1. Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Arab Saudi

Komisi Fatwa Majelis Ulama Arab Saudi (Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts
Wal Ifta’) menyatakan terkait hukum seseorang melanggar peraturan lalu
lintas seperti melanggar batas kecepatan kendaraan di dalam kota atau di
luar kota, juga berhenti di tempat-tempat yang terlarang untuk berhenti.
Menjawab hal tersebut komisi mengeluarkan fatwa nomor 15752 bahwa
wajib bagi semua pengendara untuk mematuhi rambu-rambu tersebut,
karena aturan tersebut dibuat untuk kemaslahatan dan keselamatan
bersama. Melanggar aturan dapat menimbulkan mudarat dan bahaya bagi
keselamatan.

Adapun isi fatwa no. 15752 selengkapnya yaitu (Komisi Fatwa Arab Saudi,
1424 H, Jilid XXIII: 468):

‫شا َر ِة ال ُمرور َّي ِة‬ ِ ‫َجاو ُز‬


َ ‫اْل‬ ُ ‫ ه َْل ت‬،15752 : ‫ ال َف ْت َوى َر ْق ُم‬:ُ‫ السُّؤال‬.‫( ُح ْك ُم ُمخا َل َف ِة اْل َ ْن ِظ َم ِة ال ُمرور َّي ِة‬
ً‫ص ة‬ َّ ‫غي ِْر النِظامي ِ خا‬ َ ‫قوف‬ِ ‫وال ُو‬ ْ ‫خار َجها‬ ِ ‫داخ َل ال ُمد ُِن أَ ْو‬ ِ ‫ع ِة‬ َ ‫او ِز الس ُّْر‬ ُ ‫ت ِمثْ َل تَ َج‬ ِ َ ‫غي ِْر َها ِم ْن ال ُمخَالَفَا‬ َ ‫َو‬
‫ ه َْل‬- ‫ت ال ُمروريَّ ِة‬ ِ ‫غي ِْر ذَلِكَ ِم ْن ال ُمخَالَفَا‬ َ ‫ب َو‬ ٍ ‫س َب‬
َ ‫ُون‬ ِ ‫ب أَ ْو ِبد‬ ِ ‫س َب‬ َ ‫صل ِة َوتَ ْع ِط ْي ِل اآلخ َِرينَ ِب‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫فِي َو ْق‬
ُ‫ اْل َ ْن ِظ َمةُ ال ُمروريَّة‬:‫واب‬ ُ ‫ ال َج‬.‫َّللاُ َخي ًْرا‬ َّ ‫ َو َجزا ُك ْم‬،‫كورين‬ ِ ‫ِي ُم َح َّر َمة ش َْرعًا أَ ْم َم ْكروهَة؟ أَ ْفتُونَا َم ْش‬ َ ‫ه‬
َ َ ْ
‫ُموم السائِقينَ أ ْن يُ َراعُوا تِلكَ اْل ْن ِظ َمةَ؛ ِْل َّن فِي‬ َ ِ ‫علَى ع‬ َ ‫ب‬ ُ ‫واج‬ ْ ْ
ِ ‫صلَ َح ِة العا َّم ِة ِلل ُم ْس ِل ِمينَ وال‬ ْ
ْ ‫ت ِلل َم‬ ْ َ‫ضع‬ ِ ‫ُو‬
‫علَ ْي َها‬َ ‫ب‬ ُ َّ‫ َو َيت ََرت‬، َ‫ث َواْلَذَى ِل ْْلخ َِرين‬ ِ ‫ص ُل كَثير ِم ْن ال َحوا ِد‬ ُ ْ‫ َوفِي ُمخالَفَتِها َيح‬،‫اس‬ ِ َّ‫صلَ َحة ِللن‬ ْ ‫ُمراعاتِها َم‬
‫اس‬ُ ‫علَ ْي ِه الن‬ َ ‫ف‬ َ ‫َعار‬َ ‫ُون ُمضايَقَ ٍة ِْل َ َح ٍد ِم َّما ت‬ ِ ‫ساج ِد زَ َمنًا َمحْ دُودًا بِد‬ ِ ‫ب ال َم‬ َ ‫قوف قُ ْر‬ ُ ‫الو‬ ُ ‫ َوأَ َّما‬،‫َمفا ِسدُ أ ُ ْخ َرى‬
‫سلَّ َم‬ َ ‫صحْ بِ ِه َو‬ َ ‫علَى نَبيِنا ُم َح َّم ٍد َوآ ِل ِه َو‬ َ ُ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ َو‬، ‫فيق‬ ُ ‫اَّلل التَّ ْو‬
ِ َّ ِ‫ َوب‬.ُ‫َّللا‬َّ ‫فَن َْر ُجو أَال َح َرج فِي ذَلِكَ إِ ْن شَا َء‬
‫يز‬ ِ ‫ع ْب ِد ال َع ِز‬َ ‫عض ُْو‬ ُ . . . ‫ ) َب ْك َر أَبُو زَ ْي ٍد‬469 - 468 / 23 ( ‫تاء‬ ِ ‫ث ال ِع ْلميَّ ِة وا ْ ِْل ْف‬
ِ ‫ اللَّجْ نَةُ الدائِ َمةُ ِل ْلبُ ُحو‬.
‫ع ْب ِد‬ َ ُ‫يز بْن‬ ِ ‫ع ْب ِد العَ ِز‬ َ ‫عض ُْو‬ ُ . . . ‫َديان‬ ِ ‫َّللا ب ِْن غ‬ ِ َّ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫عض ُْو‬ ُ . . . ‫ان‬ ِ َ‫ح الف َْوز‬ ِ ‫عض ُْو صا ِل‬ ُ . . . ‫ْخ‬ ِ ‫شي‬ َّ ‫آ ِل ال‬
.‫ئيس‬
ُ ‫الر‬ َّ . . . ‫از‬ ِ َّ
ٍ ‫َّللا ب ِْن َب‬

(Hukmu mukhalafati al-anzimati al-mururiyyati. Al-soal: al-fatwa raqam: 157552,


hal tajawuzu al-isyarati al-mururiyyati wa ghairiha min al-mukhalafati mitslu
tajawuzi al-sur’ati dakhila al-muduni au kharijaha wa al-wuqufi ghairi al-nizami
khassatan fi waqti al-shalati wa ta’thili al-akharina bisababin au biduni sababin wa
ghairi zalika min al-mukhalafati al-mururiyyati, hal hiya muharramatun syar’an am
makruhatun? Aftuna masykurin, wa jazakumullahu khairan. Jawaban: al-anzimatu
al-mururiyyatu widhi’at li al-maslahah al-‘ammah li al-muslimina wa al-wajibu ‘ala
‘umumi al-saiqina an yura’u tilka al-anzimaha, liana fi mura’atiha maslahatun li al-
nasi, wa fi mukhalafatiha yahsulu katsirun min al-hawaditsi wa al-aza lil al-akhirin,

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 33


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
wa yatarattabu ‘alaiha mafasidu ukhra, wa amma al-wuqufu qurba al-masajidi
zamanan mahdudan biduni mudhayaqatin liahadin mimma ta’arafa ‘alaihi al-nasu
fa narju alla harajun fi zalika in sya Allah. Wa billahi al-taufiq.)

Terjemahan Fatwa:
Hukum melanggar rambu lalu lintas:
Pertanyaan: Apakah melanggar rambu lalu-lintas dan yang semacamnya termasuk
mukhalafah (pelanggaran syariat)? Semisal melanggar batas kecepatan kendaraan di
dalam kota atau di luar kota, juga berhenti di tempat-tempat yang terlarang untuk
berhenti, terlebih pada waktu shalat, dan pelanggaran yang lain baik dengan sebab
tertentu atau tanpa sebab. Apakah ini diharamkan oleh syariat ataukah makruh?
Terima kasih atas fatwa anda, semoga Allah membalas dengan kebaikan.
Jawaban:
Rambu-rambu lalu lintas diadakan dalam rangka maslahat yang besar bagi kaum
Muslimin. Maka wajib bagi semua pengendara untuk mematuhi rambu-rambu
tersebut. Karena dengan mematuhinya, terwujud maslahah yang besar bagi
masyarakat. Dan dengan melanggarnya, terjadi berbagai kejadian dan gangguan
bagi orang lain, juga menimbulkan kerusakan-kerusakan terhadap orang lain.
Adapun berhenti di dekat masjid (untuk shalat), untuk jangka waktu tertentu, jika
tidak menimbulkan kesulitan pada orang lain, dan di tempat yang diketahui orang-
orang bahwa itu tempat berhenti, maka kami harap itu tidak mengapa insya Allah.
Wabillahi at taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin, wa alihi wa shahbihi
wasallam.

Komisi Fatwa:

Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz (Ketua)

Abdullah bin Ghuddayan (anggota)

Shalih Al Fauzan (anggota)

Abdul Aziz Alu Asy Syaikh (anggota)

Bakr Abu Zaid (anggota)

34 FIQH BERLALU LINTAS


2. Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Yordania

Komisi Fatwa Majelis Ulama Yordania yang diketuai oleh Syeikh Abdul
Karim Khainah telah mengeluarkan fatwa nomor 3266, tertanggal 11 Januari
2017 mengenai hukum mematuhi rambu lalu lintas. Majelis menjawab
bahwa menjaga keselamatan jiwa adalah salah satu tujuan utama syariat
(Maqashid Syariah), oleh karena itu, tidak boleh melanggar aturan yang
dibuat. Karena aturan tersebut bertujuan untuk mengatur kemaslahatan
umum dan melanggarnya dapat membawa bahaya besar. Kami berpesan
agar para pengemudi mematuhi aturan lalu lintas untuk menjaga jiwa
mereka dan jiwa orang lain (www.aliftaa.jo). Adapun ringkasan fatwa dalam
teks asli arab yaitu:

‫صلةُ والسَّل ُم‬ َّ ‫ وال‬،‫َّلل‬ ِ ِ ُ‫ ال َح ْمد‬:‫واب‬ ُ ‫الط ُرقَاتِ؟ ال َج‬ ُّ ‫علَى‬ َ ‫سي ِْر‬ َّ ‫ْطاء اْل َ ْولَويَّ ِة أَثْنا َء ال‬
ِ ‫عدَ َم إِع‬ َ ‫ َما ُح ْك َم‬:ُ‫(السُّؤال‬
‫ع‬َ ‫ َوقَ ْد ش ََر‬،‫علَ ْي َها بِحا ٍل‬ َ ‫وز اَ ِال ْعتِدا ُء‬ ُ ‫شريعَ ِة فَ َل يَ ُج‬ َّ ‫قاص ِد ال‬ ِ ‫ظ النَّ ْف ِس ِم ْن أَه َِم َم‬ ُ ‫ ِح ْف‬،‫َّللا‬
ِ َّ ‫سيِدِنا َرسو ِل‬ َ ‫علَى‬ َ
‫(و َمن يَ ْقت ُ ْل ُمؤْ ِمنًا‬ َ :‫َّللاُ تَ َعالَى‬ َّ ‫ قَا َل‬،ُ‫ فَ ُح ِر َم القَتْل‬،ِ‫صد‬ ِ ‫علَى َهذَا ال َم ْق‬ َ ‫ظ ِة‬ َ َ‫كام ْال َك ِف ْيلَةَ ِب ْال ُمحاف‬ َ ْ‫اْلسْل ُم اْلَح‬ ِ
َ
‫ َو ِلق ْو ِل ِه‬،93/‫ع ِظي ًما) النِسا ُء‬ َ ‫عذابًا‬ َ َ
َ ُ‫عدَّ له‬ َ َ
َ ‫عل ْي ِه َولعَنَهُ َوأ‬ َ َ ُ‫ب هللا‬ َ ‫َض‬ َّ
ِ ‫ُمتَعَ ِمدًا ف َجزَ ا ُؤهُ َج َهن ُم خَا ِلدًا فِي َها َوغ‬ َ
‫ت‬ ْ َ‫ َوقَ ْد َج َعل‬.) ‫ضهُ ) َر َواه ُم ْس ِلم‬ ُ ‫ َو ِع ْر‬،ُ‫ َومالُه‬،ُ‫ دَ ُمه‬،‫علَى اَ ْل ُم ْس ِل ِم َحرام‬ َ ‫ ( ُك ُّل ال ُم ْس ِل ِم‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْيهُ َو‬َ ُ‫َّللا‬ َّ ‫صلَّى‬ َ
َ‫العام بِ َما يَ ْكفُ ُل ِح ْفظ‬
ِ ‫ظام‬ ِ ِ‫على الن‬ َ َ
َ ‫وانين اَلتِي تُسا ِه ُم فِي ال ُمحافَظ ِة‬ َّ ِ َ‫ض َع الق‬ َ ُ
ْ ‫اْلسْلميَّة ِل َولي ِ اْل ْم ِر َو‬ ُ
ِ ‫شريعَة‬ َّ ‫ال‬
‫سي ِْر‬ َّ ‫قانون ال‬
ِ ‫زام ِب‬ ْ
َ ِ‫االلت‬ ِ ‫ َو ِبالتَّا ِلي فَإِ َّن‬.‫اء‬ ِ ‫شري َع ِة الغَر‬ َّ ‫ص ال‬ ِ ‫ص ْو‬ ُ ُ‫ َو ِب َما َال يَتَصادَ ُم َم َع ن‬،‫واْل ْموا ِل‬ َ ْ ‫فوس‬ ِ ُّ‫الن‬
‫ْرار‬ٍ ‫علَى ذَلِكَ ِم ْن أَض‬ َ ‫ب‬ ُ َّ‫وز؛ ِلما َيت ََرت‬ ُ ‫واجب ش َْرعًا َو ُمخالَفَتُهُ َال تَ ُج‬ ِ َ‫َوالَّذِي ِم ْنهُ ِإعْطا ُء اْل َ ْولَويَّ ِة ِل ْْلخ َِرين‬
‫ َولَما فِيه ِم ْن ُمخالَفَ ِة‬.)ُ‫رار ) َر َواه ابْنُ َما َجه‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ض َر َر َو َال‬ َ ‫ َال‬:ُ‫سلَّ َم يَقُول‬ َ ‫علَ ْيهُ َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫ َوالنَّب‬،ٍ‫َجسي َمة‬
‫وال َع ْشوائيَّ ِة ِفي َحيا ِة‬ ْ ‫ َوالَّذِي ي َُؤ ْو ُل ِإلَى ال َخلَ ِل‬،‫اْلسْلميَّ ِة‬ ِ ‫شري َع ِة‬ َّ ‫صادَ ُم َم َع ال‬ َ َ‫َولي ِ اْل َ ْم ِر ِفي َما أَ َم َر ِم َّما َال َيت‬
.)‫ وهللا تعالى أعلم‬.‫واح ِه ْم‬ ِ ‫علَى أَ ْر‬ َ ‫ظا‬ ً ‫سي ِْر ِحفَا‬ َّ ‫زام بِقَوا ِع ِد ال‬َ ِ‫وصي السائِقينَ ا ِال ْلت‬ ِ ُ‫ فَن‬،‫اس‬ ِ ‫الن‬

(Al-sualu: ma hukmu ‘adami i’thai al-awlawiyyahti atsnai al-sairi ‘ala al-thuruqati?


Al-jawabu: alhamdulillahi, washalatu wassalamu ‘ala sayyidina rasulillahi, hifzhu
al-nafsi min ahammi maqashidi al-syariati fala yajuzu al-‘itidau ‘alaiha bihalin, wa
qad syara’a al-islamu al-ahkama al-kafilata bi al-muhafazati ‘ala haza al-maqashadi
fahurima al-qatlu, qalallahu ta’ala “wa man yaqtul mukminan muta’ammidan
fajazauhu jahannamu khalidan fiha wa ghadiballahu ‘alaihi wa a’adda lahu ‘azaban
‘aziman”. Wa liqauli al-rasuli: “kullu al-muslimi ‘ala al-muslimi haramun damuhu
wa maluhu wa ‘irdhihi”. Wa qad ja’alat al-syari’atu li walliyyi al-amri wadh’a al-
qawanina allati tusahimu fi al-muhafazati ‘ala al-nizami al-ammi bima yakfulu hifza
al-nufus wa amwali, wa bima la yatashadamu ma’a nushusi al-syari’ati al-garrai.
Wabittali fainna al-iltizama biqanuni al-sairi wallazi minhu i’thau al-awlawiyyatu

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 35


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
li al-akharina wajibun syar’an wa mukhalafatuhu la tajuzu, lima yatarattabu min
mukhalati waliyyi al-mari fima amara mimma la yatashadamu ma’a al-syari’ati al-
islamiyyati, wallazi yauulu ila al-khalali wal ‘iswaiyyati fi hayati al-nasi, fa nushi al-
saiqinan al-iltizama bi qawa’idhi al-sairi hifazan ‘ala arwahihim).

Terjemahan:
“Pertanyaan: Apa hukum melanggar aturan lalu lintas dan tidak memberikan
prioritas berlalu lintas di jalan raya sesuai aturan? Jawaban: Segala puji bagi Allah
dan shalawat bagi Rasulullah. Menjaga jiwa adalah unsur terpenting dalam maqasid
syariah, tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan jiwa dalam bentuk
apapun, sebagaimana tercantum dalam al-Quran dan al-Hadis. Syariat Islam telah
memberikan otoritas bagi pemerintah untuk membuat peraturan yang tidak
bertentangan dengan syariat yang berkontribusi menjaga kepentingan umum untuk
menjamin perlindungan jiwa dan harta. Karena itu, mematuhi peraturan lalu lintas
dan memberikan prioritas dalam berlalu lintas merupakan kewajiban agama dan
melanggarya tidak dibolehkan, karena mengakibatkan timbulnya bahaya besar dan
kekacauan dalam lalu lintas di jalan. Kami menasehatkan para pengemudi mematuhi
aturan dalam rangka menjaga jiwa mereka”.

3. Fatwa Syeikh Bin Baz

Syeikh Bin Baz (mufti Arab Saudi dan ulama senior Fiqh dan Hadis)
pernah mengeluarkan fatwa haram melanggar peraturan negara terkait lalu
lintas, karena menimbulkan bahaya besar bagi dirinya dan orang lain dan
pemerintah boleh memberikan hukuman kepada pelanggar untuk
menimbulkan efek jera.

Selengkapnya fatwa beliau (Syeikh Bin Baz, 1415 H, Jilid IV: 536):

َ ‫شارةَ َمثَ ًل َوه‬


‫ِي‬ َ ‫اْل‬ ِ َ‫َجاوز‬َ ‫ف أَ ْن ِظ َمةَ ال ُم ُر ْو ِر َكأ َ ْن َيت‬ ُ ‫ص اَ َّلذِي يُ َخا ِل‬ ِ ‫ش ْخ‬
َّ ‫ْلم ِفي ال‬ِ ‫اْلس‬ ِ ‫( َما ُح ْك َم‬
‫ف أَ ْن ِظ َمةَ الد َّْولَ ِة فِي شَأ ْ ِن‬ َ ‫غي ِْر ُم ْس ِل ٍم أَ ْن يُخَا ِل‬ َ ‫وز ِْلَي ِ ُم ْس ِل ٍم أَ ْو‬ ُ ‫ َال يَ ُج‬.‫ُمضيئَة اللَّ ْو ِن اْلَحْ َم ِر؟‬
‫ت‬ ْ َ‫ضع‬ َّ ‫ والد َّْولَةُ َوفَّقَ َها‬،ِ‫غي ِْره‬
َ ‫َّللاُ إِنَّ َما َو‬ َ ‫علَى‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫ظيم‬ِ َ‫ط ِر الع‬ َ ‫رور ِل َما فِي ذَلِكَ ِم ْن ال َخ‬ ِ ‫ال ُم‬
‫وز ِْلَي ِ أَ َح ٍد‬ ُ ‫ فَ َل َي ُج‬. َ‫ع ْن ال ُم ْس ِل ِمين‬ َ ‫ميع َودَ ْف ِع الض ََّر ِر‬ ِ ‫صلَ َح ِة ال َج‬ ْ ‫علَى َم‬ َ ‫صا ِم ْن َها‬ ً ‫ذَلِكَ ِح ْر‬
ُ‫س ْب َحانَه‬ َّ ‫ ِْل َ َّن‬،ُ‫ َوأَ ْمثالُه‬،ُ‫عه‬
ُ َ‫َّللا‬ ُ َ‫عقوبَةً َم ْن فَعَ َل ذَلِكَ بِ َما يَ ْرد‬ ُ َ‫ َو ِل ْل َم ْسؤُولِين‬، َ‫ف ذَلِك‬ َ ‫أَ ْن يُخَا ِل‬
‫ َوإِنَّ َما‬،‫سنَّ ِة‬ ُّ ‫آن وال‬ ِ ‫وازعُ القُ ْر‬ ِ ‫ع ُه ْم‬ ُ َ‫ق َال يَ ْرد‬ ِ ‫ َوأَ ْكثَ ُر الخ َْل‬،‫آن‬ ِ ‫ان َما َال يَزَ عُ بِ ْالقُ ْر‬ِ ‫ط‬َ ‫يَزَ عُ بِالس ُّْل‬
.)‫اآلخ ِر‬
ِ ‫واليَ ْو ِم‬ ْ ‫اَّلل‬
ِ َّ ‫ان ِب‬
ِ ‫اْلي َم‬ ِ ْ ‫ت َو َما ذَاكَ ِإ َّال ِل ِقلَّ ِة‬ ِ ‫وازعُ الس ُّْل‬
ِ ‫طان ِبأ َ ْنواعِ العُقُ ْوبَا‬ ِ ‫ع ُه ْم‬ ُ َ‫يَ ْرد‬
36 FIQH BERLALU LINTAS
(Ma hukmu al-islami fi al-syakhsi allazi yukhalifu anzimata al-mururi kaan
yatajawaza al-isyarata wa hiya mudhiatu al-launi al-ahmari? La yajuzu liayyi
muslimin au ghairi muslimin an yukhalifa anzimata al-daulati fi syakni al-mururi
lima fi zalika min al-kathari al-‘azimi ‘alaihi wa ‘ala ghairihi, wa al-daulatu innama
wadha’at zalika hirsan minha ‘ala maslahati al-jami’i wa daf’i al-dharari ‘an al-
muslimina. Fala yajuzu liayyi ahadin an yukhalifa zalika, wa li al-masulina
‘uqubatun man fa’ala zalika bima yardha’uhu wa amtsaluhu, li annallahi yaza’u bi
al-sulthani ma la yaza’u bi al-qurani, wa aktsaru al-khalqi la yarda’uhum wazi’u al-
qurani wa al-sunnati wa innama yardha’uhum wazi’u al-sulthani bi anwa’i al-
‘uqubati wama zaka illa liqillati al-imani billahi wa al-yaumi al-akhiri).

Terjemahan fatwa:

“Apa hukum dalam Islam untuk orang yang melanggar rambu lalu lintas,
seperti menerobos lampu lalu lintas padahal lagi nyala merah? Tidak boleh
bagi seorang muslim maupun non muslim untuk melanggar peraturan
negara terkait rambu lalu lintas. Karena tindakannya ini menyebabkan
bahaya besar baginya dan orang lain. Pihak pemerintah membuat undang-
undang dan peraturan tersebut, dalam rangka menjaga kemaslahatan
seluruh masyarakat, dan menghindarkan bahaya agar tidak menimpa kaum
muslimin. Karena itu, tidak boleh bagi seorangpun untuk melanggar aturan
itu. Dan pemerintah boleh memberikan hukuman untuk perbuatan itu, yang
bisa membuatnya jera. Karena Allah menghentikan maksiat masyarakat
melalui penguasa, yang tidak bisa dihentikan dengan al-Quran dan sunah.
Mereka bisa berhenti dari pelanggaran, karena hukuman yang diberikan oleh
pemerintah. Mengapa bisa demikian, Karena sedikitnya iman mereka
kepada Allah dan hari akhir.”

Lebih tegas lagi beliau juga pernah memfatwakan orang yang sengaja
mengenderai kenderaan dengan melampaui batas kecepatan yang
ditetapkan, kemudian kecelakaan dan meninggal dunia, termasuk dalam
kategori melakukan sesuatu sebab yang mengakibatkan bunuh diri
(https://binbaz.org.sa/fatwas/27933/.). Padahal menjaga keselamatan jiwa
dengan mematuhi aturan lalulintas sangat penting dalam Islam, karena
sengaja melanggar membahayakan diri dapat dianggap sama hukumnya
seperti membiarkan dirinya terbunuh atau membunuh diri dan hal ini sangat
dilarang.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 37


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
4. Fatwa Syeikh Prof. Dr. Jibrin

Syeikh Prof. Dr. Jibrin (ahli fiqh dan hadis Arab Saudi)
mengeluarkan 11 fatwa terkait dengan hukum lalu lintas, salah satunya
Fatwa No 11394 Tentang Hukum melanggar aturan lalu lintas (www.ibn-
jebreen.com). Beliau berfatwa tidak boleh melanggar peraturan dan
ketentuan lalu lintas yang dibuat untuk mengatur lalu lintas dan mencegah
kecelakaan lalu lintas. Para pelanggar dapat dihukum dengan membayar
denda atau kurungan penjara atau bentuk-bentuk hukuman lainnya.

Ringkasan fatwa dalam teks Arab yaitu:

‫علَى‬ َ ‫ظ ِة‬ َ َ‫وال ُمحاف‬ ْ ‫صلَ َح ِة‬ ْ ‫ص ًل ِم ْن أَجْ ِل ال َم‬ ْ َ‫ت أ‬ ْ َ‫ضع‬ ِ ‫ َما ُح ْك َم ُمخالَفَ ِة أَ ْن ِظ َم ٍة َولَوائِحِ اَ ْل ُم‬:ُ‫(السُّؤال‬
ِ ‫رور اَلَّتِي ُو‬
‫سي ِْر َو ِلت ََلفِي‬ َّ ‫ت ِلتَ ْن ِظ ِيم ال‬ْ َ‫ضع‬ ِ ‫رور اَلَّتِي ُو‬ِ ‫ح اَ ْل ُم‬ ِ ِ‫وز ُمخالَفَةُ أَ ْن ِظ َم ٍة َولَوائ‬ ُ ‫ َال تَ ُج‬:‫واب‬ ُ ‫ ال َج‬.‫ميع‬ ِ ‫سل َم ِة ال َج‬ َ
،‫ق‬ ُّ
ِ ‫قاط ِع الط ُر‬ ِ ُ ‫ت فِي ت‬ ْ ‫ض َع‬ ِ ‫ت اَلَّتِي ُو‬ِ ‫َارا‬
َ ‫اْلش‬ ْ
ِ ‫ َوذَلِكَ ِمث ُل‬،‫ت‬ ْ
ِ ‫ت َوال ُم َهاتِ َرا‬ ِ ‫طرا‬ ْ
َ ‫ع ْن اَل ُمخا‬ َ ‫لز ِج ِر‬ ُّ ‫ث َو ِل‬ ِ ‫ال َحوا ِد‬
،‫قوف‬ِ ‫الو‬ ُ ‫ت ِل َم ْن ِع الدُّخو ِل أَ ْو َم ْن ِع‬ ْ ‫ِهام اَلَّ ِتي ُر ِس َم‬
ِ ‫ والس‬،‫ع ِة‬ َ ‫يف الس ُّْر‬ ِ ‫ت ِللتَّ ْه ِدئَ ِة أَ ْو ِلت َْخ ِف‬ ْ ‫ض َع‬ ِ ‫ت اَلَّ ِتي ُو‬ ِ ‫والل ِفتا‬
‫ض ِع َها‬ْ ‫ص َل بِ َو‬ َ ‫ َولَقَ ْد َح‬،‫جاو ِز َونَحْ ِوها‬ ُ َّ‫صير ِة ِل َم ْن ِع الت‬ َ َ‫الطويلَ ِة أَ ْو الق‬ َّ ‫ق‬ ُّ ‫طوط اَ ْل ُم ْستَطيلَ ِة فِي‬
ِ ‫الط ُر‬ ِ ‫وال ُخ‬ ْ
‫ فَ َه ُؤ َال ِء ال ُمخَا ِلفُونَ أَ ْهل أَ ْن يُ َعاقَب ُْوا َويُن َِك ْلوا ِبدَ ْف ِع‬.‫َّللا تَ َعالَى‬
ِ َّ ‫ث ِبإِ ْذ ِن‬ ِ ‫ َوتَ ْقليل ِل ْل َح َوا ِد‬،‫ظ كَثير‬ ُ َ‫زام ِب َها تَحْ ف‬ِ ِ‫وا ِال ْلت‬
. )‫ب‬ ِ ‫طلَقًا أَ ْو ِإلَى َح ٍد َمحْ دو ٍد َو ِبنَحْ ِو ذَلِكَ ِم ْن ال ِعقا‬ ْ ‫ ْأوقَعيَّةً َو ِب َم ْن ٍع ِم ْن القيادَ ِة ُم‬،‫طوي ٍل‬ َ ‫ت ماليَّ ٍة َو ِبسِجْ ٍن‬ ٍ ‫غ ََرا َما‬

(Al-sualu: ma hukmu mukhalafati anzimatin wa lawaihi al-mururi allati wudhi’at


aslant min ajli al-maslahati wa al-muhafzati ‘ala salamati al-jami’i. Al-jawabu: la
tajuzu mukhalafatu anzimatin wa lawaihi al-mururi allati wudhi’at li tanzimi al-
sairi wa litalaqi al-hawaditsi wa li al-alzajri ‘an al-mukhatarati wa almuhatarati wa
zalika mitslu al-isyarati allati wudhi’at fi taqathu’i al-thariqi wa al-lafitati allati
wudhi’at li al-tahdiati au litakfifi al-sur’ati wa al-sihami allati rusimat liman’i al-
dukhuli au man’i al-wuqufi wal-al-wuqufi wal al-khututi al-mustathilati fi al-
thuruqi al-thawilati au al-qashirati liman’i al-tajawuzi wa nahwiha, wa laqad hasala
bi wadh’iha wa al-iltizami biha tahaffuzun katsirun, wa taqlilun li al-hawaditsi
biiznillahi ta’ala. Fahaulai al-mukhalifuna ahlun an yu’aqabu wa yunkalu bi daf’i
gharamatin maliyatin wa bisijni thawilin wa bin man’i min al-qiyadati mutlaqan au
ila haddin mahdudin wa binahwi zalika min al-‘iqabi).

Terjemahan:
Pertanyaan: apa hukum melanggar peraturan dan rambu lalu lintas yang dibuat
untuk kemaslahatan dan menjaga keselamatan umum? Jawaban: tidak boleh
melanggar aturan lalu lintas yang dibuat untuk menertibkan lalu lintas, mencegah
38 FIQH BERLALU LINTAS
kecelakaan dan menghindari bahaya, seperti lampu lalu lintas di persimpangan jalan,
rambu-rambu atau marka jalan untuk mengurangi kecepatan, tanda panah larangan
masuk atau berhenti di tempat tertentu, demikian juga garis batas tidak boleh
dilewati. Karena semua itu dibuat untuk menjaga keselamatan dan meminimalisir
kecelakaan dengan izin Allah. Para pelanggar dapat dihukum dengan denda atau
penjara atau dilarang mengemudi untuk selamanya atau jangka waktu tertentu atau
bentuk-bentuk hukuman lainnya.

5. Fatwa Mufti Yaman Al-Qadhi Al- ‘Imrani

Mufti Yaman Al-Qadhi Al- ‘Imrani telah menfatwakan hukum


kenderaan melebihi kecepatan yang diizinkan dan kecelakaan yang
disebabkan akibat pelanggaran lalu lintas. Dalam fatwanya beliau
menyatakan bahwa setiap pelanggaran lalu lintas yang menimbulkan
bahaya dan kecelakaan serta menyebabkan kerugian materi ataupun
nonmateri, semua itu hukumnya haram dan pelakunya berdosa. Pengemudi
yang sengaja melampui batas kecepatan di luar kelaziman dapat dianggap
membunuh diri. Fatwa ulama tersebut dikeluarkan setelah maraknya
berbagai pelanggaraan lalu lintas berat di Yaman yang menelan banyak
korban jiwa dan menyebabkan banyak kerugian.

Lebih lengkap fatwa dapat diakses melalui (www.hayrout.com):

َ‫سواء َكان‬ َ ،‫ي ِإلَى ُوقُ ْوعِ الض ََّر ِر‬ ْ ‫ت ال ُم ُر ْو ِريَّ ِة َوالَّتِي قَ ْد ت ُ َؤ ِد‬ ُّ َ‫"أ‬
ِ ‫ي ُمخَالَفَ ٍة ُمتَ َع ِمدَةٍ ِللت َّ ْع ِل ْي َما‬
ُ ‫ َويَ ْل َحقُهُ ال ِو ْز ُر َواَ ْلذَ ْن‬،ُ‫احبُه‬
.‫ب‬ ِ ‫ص‬َ ‫ يَأْثَ ُم‬.‫ َح َرام‬،‫ َح َرام‬،‫ فَ ُك ُّل ذَلِكَ َح َرام‬،‫ض َرر ُر ْو ِحي أَ ْو َم ِادي‬ َ
‫ب‬ َ ‫س‬ َ ‫عةً ُمخالَفَةً ِلما ُه َو الل ِز ُم أَ ْن يَ ِس ْي َر فِي ِه َح‬ َ ‫س ْر‬ ُ ُّ‫سي ِْر اَلَّتِي تُعَد‬َّ ‫عةُ فِي ال‬ َ ‫َكذَلِكَ يَحْ ُر ُم الس ُّْر‬
ُ‫ض َرر أَنَّه‬َ ‫ص َل فِي َها هَلك َو‬ َّ ‫عةَ ِإذَا قَدَّ َر‬
َ ‫َّللاُ َح‬ َ ‫ماء يَ َرى أَ َّن الس ُّْر‬ ِ َ‫ض العُل‬ َ ‫ بَ ْل ِإ َّن بَ ْع‬،ِ‫ال ُم ْعتاد‬
."ً ‫يَ ْعتَبَ ُر ا ْنتِحارا‬

(Ayyu mukhalafatin muta’ammidatin li al-ta’limati al-mururiyyati wallati qad


tuaddhi ila wuqu’i al-dharari, Shallallahu ‘alaihi wa sallam aun kana dhararun
ruhiyyun au maddiyyun, fa kullu zalika haramun, haramun, haramun. Yaktsimu
shahibuhu wa yalhaquhu al-wizru wa al-zanbu. Kazalika yahrumu al-sur’atu fi al-
sairi allati tu’addu sur’atan mukhalafatan lima huwa al-lazimu an yasira fihi hasaba
la-mu’tadi, bal inna ba’dha al-‘ulamai yara anna al-sur’ata iza qaddarallahu hasala
fiha halakun wa dhararun annahu yu’tabaru intiharan)

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 39


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Terjemahan:
“Setiap pelanggaran sengaja terhadap aturan lalu lintas yang mengakibatkan
timbulnya bahaya atau kerugian materi dan non materi, maka semua itu hukumnya
haram, haram, haram. Pelaku pelanggaran berdosa. Demikian juga diharamkan
membawa kenderaan dalam kecepatan di luar kelaziman. Jika terjadi kecelakaan dan
meninggal dunia karena melebihi kecepatan, dianggap membunuh diri”.

6. Fatwa Mufti Dubai

Untuk mengurangi angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas, Mufti


Dubai, Dr. Ahmad al-Haddad, telah memfatwakan bahwa menerobos lampu
merah, kecepatan melebihi batas dan pelanggaran lalu lintas adalah haram
dan pemerintah atau petugas kepolisian berhak memberikan hukuman
penjara atau denda bagi pelanggar selama ada kemaslahatan untuk itu.
Dalam fatwanya, Mufti Dubai menyatakan (www.archive.aawsat.com)
َ ‫عة‬َ ‫علَى آ َخ ِر أَ ْو َيتَ َعدَّى الس ُّْر‬ َ ‫سي ِْر‬ َّ ‫َارةَ ْال َح ْم َرا َء أَ ْو َي ْد ُخ ُل فِي خَط ال‬
َ ‫او ُز ْاْلش‬ َ ‫"أَ َّن الَّذِي َيتَ َج‬
،ِ‫غي ِْره‬ َ ‫ يَ ُكونُ ْال َخ‬،َ‫ْال ُمخ ََّولَة‬
َ ِ‫ فَقَ ْد ي َُؤدِي بِ ِه ذَلِكَ إِلَى أَ َّن يُ ْو ِدي بِ َحيَاتِ ِه َو َحيَاة‬،‫ط ُر بِ ِه َوبِغَي ِْر ِه ُمحْ ِدقًا‬
‫ إِ َّن اِ ْنتِ َهاكَ َه ِذ ِه ْالقَ َوا ِع ِد يَ ْل َح ُق‬.‫اْلس َْل ُم‬ِ ْ ُ‫ َوذَلِكَ ِمنَ الض ََّر ِر الَّذِي َمنَعَه‬،ِ‫غي ِْره‬ َ ‫ف َمالَهُ َو َما َل‬ ُ ‫َويُتْ ِل‬
."‫ع‬ َ ‫الرا ِد‬ َّ ‫ض َمانَ َو ْال َجزَ ا َء‬ َّ ‫ب ال‬ ُ ‫ُوج‬
ِ ‫ َوي‬،‫عا‬ً ‫ َو ُك ُّل ذَلِكَ َح َرام ش َْر‬،‫الض ََّر َر ِبالنَّ ْف ِس َو ِب ْالغَي ِْر‬

(Anna allazi yatajawazu al-isyaratu al-hamrau au yadkhulu fi khatti al-sairi ‘ala


akhar au yata’adda ‘ala akhar au yata’adda ‘ala al-sur’ati al-mukhawwalati, yakunu
al-khataru bihi wa bighairihi muhdaqan, faqad yuaddi bihi zalika ila an yuaddhi bi
hayatihi wa hayati ghairihi, wa yutlifu malahu wa mala ghairihi, wa zalika min al-
dharari allazi mana’ahu al-islamu. Inna intihaka hazihi al-qawa’id yalhaqu al-
dharara bi al-nafsi wa bil al-gairi, wa kullu zalika haramu sya’an, wa yujibu al-
dhamana wa al-jazaa al-radhi’).
Terjemahan:
“Pengemudi yang melanggar lampu merah atau menerobos jalur jalan atau melebihi
kecepatan yang membahayakan jiwanya dan jiwa orang lain, merusak hartanya
(kenderaan) dan harta orang lain. Semua itu adalah bentuk kerusakan dan bahaya
yang dilarang dalam Islam. Oleh karena itu, segala pelanggaran lalu lintas yang
menyebabkan kerusakan, maka dilarang dalam syariat dan pelanggar harus diberikan
hukuman yang menimbulkan efek jera”.

40 FIQH BERLALU LINTAS


7. Fatwa Mufti Palestina
Mufti Palestina, Syeikh ‘Ikrimah Shabri telah menerbitkan fatwa bahwa
pengemudi yang melanggar aturan lalu lintas apabila meninggal dunia, dia
dianggap membunuh diri dan jika para penumpang yang meninggal dunia
dan pengemudi masih hidup, maka pengemudi dimaksud dapat didakwa
atau dituntut dengan pembunuhan sengaja.
Pernyataan beliau selengkapnya dalam fatwa yaitu
(https://24.ae/article/360836/):
،ِ‫ت البِلد‬ ِ ‫ظا‬ َ َ‫ظ ِم ُمحاف‬ َ ‫ت فِي ُم ْع‬ ِ ‫الط ُرقَا‬ ُّ ‫علَى‬ َ ‫سي ِْر‬ َّ ‫ث ال‬ ِ ‫عدَ ِد َحوا ِد‬ َ ‫خير ِة زيادَة فِي‬ َ َ ‫ظ فِي اآل ِونَ ِة اْل‬ َ ‫وح‬ ِ ُ‫"ل‬
ْ َ ‫واْل‬
‫ص َل ِم ْن‬ َ ‫ص ٍة َما َح‬ َّ ‫ َو ِبخَا‬،‫طفا ِل‬ ْ ‫ساء‬ ِ ِ‫الر َجا ِل والن‬ ِ ‫ت ِم ْن‬ ِ ‫ق أَ ْر‬
ِ ‫واح ال َعش ََرا‬ ِ ‫َّت ِإلَى ِإ ْزها‬ ْ ‫َوالَّتِي أَد‬
َ ‫وم َبدَا َهةً أَ َّن ِح ْف‬
‫ظ‬ ِ ُ‫ ِم ْن ال َم ْعل‬.ِ‫ط ِر السَّعيد‬ ْ ‫ار ِك َو ِفي أَي ِام ِعي ِد ال ِف‬ َ ‫ش ْه ِر َر َمضانَ ال ُم َب‬ َ ‫سي ٍْر ِخل َل‬ َ ‫ث‬ ِ ‫َحوا ِد‬
‫ين‬
ِ ‫ظ الد‬ ُ ‫ِي ِح ْف‬ َ ‫ َوه‬،‫ع ْن َها‬ َ ‫ان‬ ِ ‫س‬ ِ ْ ‫ َو َال ِغنًى ِل‬،‫علَ ْي َها‬
َ ‫ْل ْن‬ َ ‫ظ‬ ُ ‫الحفا‬ِ ‫ب‬ ُ ‫ت الخ َْم ِس اَلَّتِي يَ ِج‬ ِ ‫النَّ ْف ِس ِم ْن الض َُّر ْو َرا‬
‫ َوأَدَّى ذَلِكَ ِإلَى‬،‫سي ِْر‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫علَ ْي ِه فَإِ َّن السائِقَ اَلَّذِي َال يَ ْلت َِز ُم بِتَ ْعليما‬ ْ ‫ض‬
َ ‫ َو‬،‫والما ِل‬ ِ ‫وال ِع ْر‬ْ ‫والعَ ْق ِل‬ ْ ‫والنَّ ْف ِس‬
‫ي السائِ ُق فِي‬ َ ِ‫ َو ِإذَا ت ُ ُوف‬،ِ‫ فَإِ َّن السائِقَ فِي َه ِذ ِه الحالَ ِة ت ُ َو َّجهُ لَهُ ت ُ ْه َمةُ اَ ْلقَتْ ِل اَ ْل َع ْمد‬،‫ب‬ ِ ‫الركا‬ ُّ ‫اح‬ِ ‫ق أَ ْر َو‬ ِ ‫ِإ ْزها‬
."‫َه ِذ ِه الحالَ ِة فَإِنَّهُ يُعَدُّ ُم ْنت َِح ًرا‬
(Luhiza fi al-awinati al-akhirati ziyadatun fi ‘adadin hawadhitsi al-sairi ‘ala
al-thuruqati fi mu’zami muhafdhati al-biladi, wallati addat ila izhaqi arwahi
al-‘asyarati min alrijali wa al-nisai wa al-athfali, wa bi khassatin ma hasala
min hawaditsi sairi khilali syahri ramadhana al-mubaraki wa fi ayyami ‘idil
al-fitri al-sa’idi. Min al-ma’lum badahatan anna hifza al-nafsi mi al-dharurati
al-khamsi allati yajibu al-hifazu ‘alaiha, wala ghina lil al-insani ‘anha, wa
hiya hifzu al-dini wa al-nafsi wa al’aqli wa ‘Irdhi wa al-mali. Wa ‘alaihi fa
inna al-saiqa allazi la yaltazimu bi ta’limati al-sairi, wa adda zalika ila izhaqi
arwahi al-rukkabi, fa inna al-saiqa fi hazihi al-halati tuwajjahu lahu tuhmatu
al’aqli al-‘amdi, wa iza tuwuffiya al-saiqu fi hazihi al-halati fa innahu
yu’addu muntahiran).
Terjemahan:
“Memperhatikan akhir ini terjadi peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas
di jalan di sejumlah kota yang menyebabkan hilangnya nyawa baik lelaki,
perempuan dan anak-anak, khususnya kecelakaan yang terjadi selama bulan
Ramadhan dan hari raya Idul fitri, maka pengemudi yang tidak mematuhi
aturan lalu lintas dan pelanggaran yang dilakukan mengakibatkan hilang
nyawa penumpang, maka pengemudi tersebut dapat didakwa dengan
pembunuhan sengaja dan pengemudi yang meninggal dunia dianggap
membunuh diri. Hal ini dikarenakan bahwa menjaga keselamatan jiwa

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 41


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
(nyawa) adalah termasuk unsur pokok yang wajib dijaga dan dilindungi
selain menjaga agama, akal, keturunan harta”.
Sementara di Indonesia, berdasarkan penelusuran hingga buku ini disusun
belum ditemukan fatwa resmi tertulis baik oleh MUI Pusat maupun MPU
Aceh terkait lalu lintas. Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) pada tahun
2014 pernah meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa
haram terhadap setiap pelanggaran lalu lintas, mengingat makin meningkat
angka kematian yang disebabkan pelanggaran lalu lintas. "Kecelakaan lalu
lintas menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para pengguna jalan. Bahkan
kecelakaan lalu lintas menjadi salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia
maupun secara global," kata Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW),
Edison Siahaan (www.rmol.id-).
Berdasarkan fatwa-fatwa tersebut di atas disimpulkan bahwa melanggar lalu
lintas termasuk perbuatan yang tidak boleh dalam Islam. Terdapat alasan-
alasan penting pelanggaran lalu lintas tidak dibolehkan dalam Islam, yaitu:

1. Perbuatan melanggar lalu lintas akan membahayakan diri sendiri dan


orang lain. Setiap perbuatan yang menyebabkan keselamatan pelakunya
terancam, apalagi sampai mengancam keselamatan orang lain, hukumnya
adalah haram. Berdasarkan hadis Nabi Shallahu ’alaihi wa sallam dan
prinsip umum syariat.
2. Perbuatan melanggar lalu lintas berarti melanggar keputusan dan aturan
negara dan pemerintah yang mengatur ketertiban dan kenyamanan
umum. Selama tidak bertentangan dengan teks Al-Quran dan Hadis,
maqashid syariah dan prinsip-prinsip umum syariat, maka setiap keputusan
negara atau pemerintah yang mengatur kemaslahatan dan kepentingan
umum wajib ditaati dan sengaja melanggarnya merupakan perbuatan
haram.

42 FIQH BERLALU LINTAS


BAB III
TUNTUNAN BERLALU LINTAS DAN HUKUMNYA

A. Tuntunan Bagi Pengendara


1. Kewajiban Memiliki SIM, Memakai Helm atau Sabuk Keselamatan
Sebagaimana telah disampaikan pada pembahasan maqashid syariah,
menjaga keselamatan jiwa (hifdhu al-nafs) dan menghindari kecelakaan dan
bahaya (daru al-mafsadah) merupakan salah satu prioritas ajaran Islam,
khususnya ketika menggunakan kendaraan di jalan. Salah satu bentuk
ikhtiar, upaya preventif dan protektif yang dilakukan ketika berkendara
dalam rangka melindungi keselamatan jiwa yaitu, dengan menggunakan
helm bagi pengguna sepeda motor dan sabuk keselamatan pagi pengguna
mobil.
Peraturan lalu lintas yang mewajibkan memiliki SIM, penggunaan helm
dan sabuk keselamatan saat berkendara tidak bertentangan dengan Islam.
Pada dasarnya, peraturan negara selama tidak bertentangan dengan teks dan
spirit Al-Quran, Hadis dan prinsip-prinsip umum Syariat, maka peraturan
negara tersebut menjadi ketentuan dan kewajiban agama. Hal ini sejalan
dengan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul dan Pemimpin di antara kalian”. (Qs. An-Nisa: 59). Bahkan peraturan ini
sejalan dengan firman Allah: “Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke
dalam kebinasaan” (Qs. Al-Baqarah:195) dan sabda Nabi Muhammad Shallahu
‘alaihi wa sallam: “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.”
(HR. Hakim).
Aturan memiliki SIM, memakai helm dan sabuk keselamatan telah
sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, yaitu prinsip meraih kemaslahatan
dan menolak bahaya dan menghindarai kecelakaan, yaitu setiap manusia
wajib menjaga dirinya dari hal-hal yang membahayakan dan bisa membuat
nyawanya terancam. Dari prinsip ini terbentuklah beberapa prinsip atau
kaidah fiqh lainnya seperti: “Bahaya harus dihilangkan”: “Menghindari bahaya
dan kecelakaan lebih diutamakan daripada mencari kemaslahatan”. Dengan
demikian, memakai helm dan sabuk keselamatan pada saat berkendaraan
adalah wajib dalam pandangan Islam, bahkan bukan sekedar kewajiban,
tetapi telah menjadi sebuah kebutuhan primer dan asasi dalam berlalu lintas.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 43


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Pemakaian helm sangat penting untuk melindungi agar kepala tidak
terbentur saat kecelakaan, melindungi wajah, khususnya mata dari angin,
debu, kotoran, serta benda berbahaya lainnya dan melindungi kepala dari
panas terik matahari. Kewajiban menggunakan helm Standar Nasional
Indonesia (SNI) bagi pengendara sepeda motor telah diatur dalam Pasal 57
ayat (1) dan ayat (2) UU LLAJ, yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi
dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor
berupa helm standar nasional Indonesia.
Selain itu, Pasal 106 ayat (8) UU LLAJ menyatakan bahwa: “Setiap orang yang
mengemudikan sepeda motor dan penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm
yang memenuhi standar nasional Indonesia.”
Apabila melanggar ketentuan tersebut di atas, ancaman atas pelanggaran
tersebut diatur dalam Pasal 291 ayat (1) dan ayat (2) UU LLAJ menyatakan
bahwa:

(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm
standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat
(8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau
denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan
penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu
rupiah).

Demikian juga pemakaian sabuk keselamatan (safety belt) berfungsi antara


lain untuk melindungi kepala dari kemungkinan terbentur kaca depan saat
rem mendadak, sebagai bentuk tindakan preventif dan protektif melindungi
nyawa, mencegah pengendara terlempar dari mobil saat terjadi hal yang tak
diinginkan dan agar bisa tetap fokus serta memberikan kenyamanan saat
mengemudi dan meminimalisir risiko kecelakaan di jalan.
Mengenai pemakaian sabuk keselamatan telah diatur dalam Pasal 57 ayat (1)
dan ayat (3) UU LLAJ bahwa setiap kendaraan bermotor (termasuk mobil

44 FIQH BERLALU LINTAS


penumpang) yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan
perlengkapan kendaraan bermotor, terdiri atas:
a. sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
c. segitiga pengaman;
d. dongkrak;
e. pembuka roda;
f. peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan lalu lintas.
Kemudian, setiap pengemudi dan penumpang di sampingnya wajib
memakai sabuk keselamatan juga sebagaimana telah diatur dalam Pasal 106
ayat (6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan: “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda
empat atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib
mengenakan sabuk keselamatan.” Adapun sanksinya jika tidak menggunakan
sabuk keselamatan mengacu ke Pasal 289 UU LLAJ sebagai berikut: “Setiap
orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di
samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) UU LLAJ dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.”
Lalu lintas merupakan suatu interaksi dari berbagai komponen dan
perilaku yang membentuk suatu kondisi lalu lintas. Komponen lalu lintas
setidaknya terdapat empat macam, yaitu pemakai jalan (manusia),
kendaraan, jalan sebagai tempat geraknya dan lingkungan. Komponen
pemakai jalan (manusia) terkait dengan karakter dan perilaku manusia
dalam kaitannya dengan berbagai situasi di jalan, kesadaran dalam
berkendara dan akhlak dalam berlalu lintas. Komponen kendaraan terkait
dengan alat transportasi yang digunakan oleh pengguna jalan. Komponen
jalan berkaitan dengan konstruksi jalan sebagai tempat berinteraksi antar
sesama pemakai jalan dan komponen lingkungan sebagai faktor kondisi
alam sekitar seperti cuaca buruk dan bencana alam. Keempat komponen ini
sangat menentukan tingkat keamanan dan efisiensi dalam berlalu lintas.
Meskipun syariat Islam secara khusus tidak mengatur bagaimana berlalu
lintas di jalan raya, namun demikian para ulama sudah memberikan
tatacara/adab berkendara dan berjalan menurut Islam. Adab-adab tersebut
dilandasi oleh nilai-nilai universal agama Islam sesuai tujuan-tujuan syariat
(maqāṣid asy-syarīah).
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 45
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
2. Larangan Menerobos Lampu Merah
Sudah menjadi suatu pembicaraan bahwa masyarakat Indonesia
terkenal dengan pelaku pelanggaran lalu lintasnya, tidak terkecuali juga
terjadi di negeri syariah seperti di Aceh. Bahwa masih banyak masyarakat
Aceh yang kurang memiliki kesadaran dalam mengikuti rambu-rambu lalu
lintas, salah satunya masih banyak yang menerobos lampu merah (trafflic
light). Tindakan itu sering dilakukan bila tidak ada petugas yang berjaga,
pengendara tidak segan-segan untuk melanggar dengan menerobos lampu
merah dan lainnya. Hal itu berpotensi membahayakan keselamatan diri
sendiri dan pengguna jalan lainnya. Melanggar lalu lintas, khususnya
menerobos lampu merah dalam Islam sangat dilarang.
Melanggar lalu lintas termasuk perbuatan yang dihukumi haram dalam
Islam. Setidaknya, ada dua alasan utama mengapa melanggar lalu lintas ini
termasuk perbutan yang dilarang dalam Islam. Pertama, melanggar lalu lintas
akan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Setiap perbuatan yang
menyebabkan keselamatan pelakunya terancam, apalagi sampai mengancam
keselamatan orang lain, hukumnya adalah haram. Ini berdasarkan hadis
riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam Daruquthni, dari Sa’ad bin Sinan Al-
Khudri, dia berkata bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak
boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”. Kedua,
melanggar lalu lintas berarti melanggar keputusan dan aturan pemerintah
yang mengatur ketertiban umum. Setiap keputusan pemerintah yang
mengatur kemaslahatan umum wajib ditaati secara lahir dan batin dan
melanggarnya adalah termasuk perbuatan haram. Hal ini sebagaimana telah
dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut:

‫ْس بِ َح َر ٍام أَ ْو َم ْك ُرو ٍه‬


َ ‫اطنَا ِم َّما لَي‬ َ ‫عةُ ْاْل َم ِام فِي َما أَ َم َر بِ ِه‬
ِ َ‫ظاه َِرا َوب‬ َ ‫ب‬
َ ‫طا‬ ُ ‫اص ُل أَنَّهُ ت َِج‬ ِ ‫َو ْال َح‬
ْ ‫ب َو َكذَا ْال ُمبَا ُح إِ َّن َكانَ فِي ِه َم‬
‫ص ِل َحة‬ َ ‫ب يَتَأ َ َّكدُ َو ْال َم ْند‬
ُ ‫ُوب يَ ِج‬ ُ ‫اج‬ِ ‫فَ ْال َو‬

)Wa al-hasilu annahu tajibu tha’atu al-imami fima amara bihi zahiran wa bathinan
mimma laisa biharamin au makruhin fa al-wajibu yataakkadu wa al-mandubu yajibu
wa kaza al-mubahu in kana fihi maslahatun.(“Bahwa kita, wajib mentaati pemimpin
dalam semua hal yang telah diperintahkan, secara lahir dan batin, selama bukan
perkara haram atau makruh. Perkara wajib semakin wajib untuk ditaati, perkara

46 FIQH BERLALU LINTAS


sunah menjadi wajib, begitu juga perkara mubah jika mengandung kemaslahatan
umum.”

Kecelakaan (lalu lintas) masuk 10 peringkat ‘pembunuh’ yang berdarah


dingin. Tentunya ini menjadi ancaman terhadap keberlangsungan hidup.
Keselamatan pada dasarnya, dapat diupayakan. Islam mengatur dengan
rinci segala aspek kehidupan umatnya, dari doa makan dan minum hingga
masuk jamban, begitu pula dengan akhlak, termasuk di jalan raya.

3. Larangan Melanggar Aturan Lalu Lintas


Allah Subhana wa Ta’ala, memerintahkan kita untuk taat kepada ulil
amri (pemerintah) selama tidak mengajak untuk bermaksiat kepada Allah,
sebagaimana perintah-Nya untuk taat kepada Allah dan Rasulnya. Setiap
muslim harus memenuhi aturan negara yang berlaku baginya. Termasuk
aturan ketika berlalu lintas di jalan, untuk berkendara di jalan adalah
termasuk bentuk ketaatan kepada pemerintah yang diperintahkan dalam
al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59. Negara membuat aturan itu didasari
semangat untuk mewujudkan maslahat bagi semua masyarakat dan
menghindari bahaya yang mengancam. Oleh karena itu siapapun harus
taat pada aturan kemudian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan dalam banyak hadis, perintah untuk taat kepada pemerintah
selain dalam hal maksiat antara lain:
Hadis dari Ibnu Umar ra., Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Wajib bagi setiap lelaki muslim untuk mendengar dan taat (kepada atasan), baik
ketika dia suka maupun tidak suka. Selama dia tidak diperintahkan untuk
bermaksiat. Jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengarkan maupun mentaatinya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis dari Ubadah bin Shamit ra;

“Kami membaiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjanji setia untuk


mendengar dan taat (kepada pemerintah), baik ketika kami semangat maupun
ketika tidak kami sukai. Dan kami dilarang untuk memberuntak dari pemimpin
yang sah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 47


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Jika diperhatikan, semua dalil di atas, memerintahkan untuk tunduk dan
taat kepada ulil amri (pemerintah yang sah). Selama pemimpin tidak
memerintahkan untuk maksiat. Semua bentuk mengikuti perintah Allah
dan Rasul-Nya termasuk ibadah. Sesuai dengan sebuah kaidah yang harus
dipegang erat: “Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan
kemaslahatan.”

Taat kepada aturan lalu lintas yang telah disepakati dan diterapkan oleh
pemerintah adalah demi terwujudnya kemashlahatan umum (al-mashlahah
al-amah), dan menghindarkan dari mara-bahaya. Baik bahaya yang terkait
dengan jiwa (hifz al-nafs) ataupun bahaya yang terkait dengan harta (hifz al-
mal). Di mana ada kemashlahatan yang bersifat umum, tidak bertentangan
dengan ajaran agama, sehingga diperintahkan untuk taat dan tidak
melanggar segala bentuk aturan lalu lintas yang merupakan hasil
kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu peraturan perundang-
undangan, sehingga tidak boleh melanggar perintah untuk taat aturan lalu
lintas tersebut, baik dalam proses pembuatan dan kepemilikan Surat Izin
Mengemudi (SIM) kewajiban memakai helm dan atribut safety riding,
larangan melanggar rambu-rambu lalu lintas, dan tidak melakukan suap
tilang di saat kedapatan melanggar lalu lintas.

B. Tuntunan Bagi Pejalan Kaki


Jalan adalah tempat untuk lalu lintas orang dan kendaraan. Pada masa
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam jalan sudah ada dan lebih banyak dilalui
para pejalan kaki. Kenderaan masih terbatas mengendarai keledai, unta, dan
kuda. Kini, makin sedikit yang mengendarai hewan tunggangan di jalan,
karena digantikan oleh sepeda, sepeda motor, mobil, kereta, dan kendaraan
modern lainnya. Jalanpun telah dibagi-bagi, tersedianya jalan khusus bagi
pejalan kaki, jalan khusus pesepeda, jalan khusus mobil, dan jalan bisa
dilewati berbagai jenis kendaraan. Fungsi jalan semakin hari semakin
penting karena semakin banyak orang berada di jalan untuk berbagai
keperluan, seperti bekerja, bersekolah, belanja, rekreasi, mengunjungi sanak-
saudara, berdakwah, dan lain-lain. Begitu banyaknya orang yang melalui
jalan, kita menyaksikan jalanan yang padat dan bahkan sampai macet.

48 FIQH BERLALU LINTAS


Dalam kasus masuk rumah diisyaratkan dengan kaki kanan dan
mendahulukan kaki kiri pada waktu keluar dari rumah dan membaca doa:
ِ ‫ َال َح ْو َل َو َال قُ َّوةَ ِإ َّال ِبا‬،‫هللا‬
‫لل‬ َ ُ‫هللا ت ََو َّك ْلت‬
ِ ‫علَى‬ ِ ‫ِبس ِْم‬
(Bismillahi tawakkaltu 'alallah, laa haula wa laa quwwata illaa billaah)
Artinya: "Dengan nama Allah (aku keluar). Aku bertawakal (berserah diri)
kepada Allah, tiada daya upaya melainkan dengan izin Allah." (HR. Turmudzi
dari Anas bin Malik).
Ketika berjalan diniatkan untuk memberi manfaat bagi diri dan bagi
orang lain, tidak berjalan untuk berbuat maksiat atau menyakiti seseorang.
Karena kaki, sebagaimana anggota-anggotamu yang lain adalah amanat
yang akan bersaksi atas diri terhadap amal-amal pada hari kiamat.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
ٍَ‫علَ ْي ِه ٍْم أَ ْل ِسنَت ُ ُه ٍْم َوأَ ْيدِي ِه ٍْم َوأَ ْر ُجلُ ُهم بِ َما كَانُواٍ يَ ْع َملُون‬
َ ُ‫يَ ْو ٍَم تَ ْش َه ٍد‬
Yauma tasy-hadu 'alaihim alsinatuhum wa aidīhim wa arjuluhum bimā kānụ
ya'malụn

Artinya: “Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas
mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Dalam ayat lain Allah berfrman: “Janganlah engkau berjalan di muka bumi
ini dengan sombong. Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup menembus bumi
dan tidak akan mencapai setinggi gunung” (AI-Israa': 37). Hendaklah engkau
tidak berlenggang ke kanan dan ke kiri. Janganlah mengayunkan kedua
tanganmu dengan sombong dan bangga. Dalam hadits: Nabi Shallahu ‘alaihi
wa sallam melihat kepada Abi Dujanah yang berjalan dengan sombong di antara dua
pasukan di Uhud. Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya berjalan yang seperti ini
dibenci oleh Allah, kecuali di tempat ini.”
Pengaturan yang diberlakukan di Indonesia bahwa berjalan di jalur kiri,
tidak ada syariat dilanggar, di satu sisi sudah menjadi adat kebiasaan yang
sudah mapan, maka menjadi wajib setiap warga negara untuk menaatinya,
maka dalam ini dapat dijelaskan bahwa posisi hukum positif dihadapan
hukum syar’i ada beberapa kemungkinan:
1. Hukum positif menetapkan sesuatu yang tidak diperoleh petunjuk nash
al-Qur’an secara sharih (eksplisit), bahkan kadang-kadang sengaja
didiamkan oleh Syari’, dan itu mengimplisitkan kreasi mengatur “al-

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 49


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
maskut 'anhu” oleh ummat Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam, maka
hukum positif seperti ini bisa diterima dan diikuti.
2. Hukum positif menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum
syar’i, maka dalam posisi ini harus ditolak.
3. Apabila hukum positif menetapkan dan menganjurkan sesuatu yang tidak
bertentangan dengan hukum syar’i, atau hukum positif menetapkankan
sesuatu yang ditetapkan hukum syar’i baik dalam perkara wajib atau
mandub, maka wajib ditaati, sedang jika menetapkan sesuatu yang
mubah, apabila bermanfaat bagi kepentingan umum maka juga wajib
ditaati, tetapi kalau tidak bermanfaat untuk umum maka tidak wajib
ditaati.

50 FIQH BERLALU LINTAS


BAB IV
PENGETAHUAN DAN ADAB BERLALU LINTAS

A. Wajib Mengetahui Aturan Lalu Lintas Sebelum Berkendara


Dalam perspektif hukum positif maupun hukum Islam, keberadaan
aturan dapat dilihat dari perspektif berbeda, dengan menjawab pertanyaan
berikut: apa yang akan terjadi manakala tidak ada aturan dalam berkendara
di jalan?; apa yang akan terjadi manakala tidak ada aturan tentang lalu lintas?
Dari pertanyaan ini jelas diperoleh gambaran bahwa perlu kehati-hatian
dalam berlalu lintas. Untuk itu, penerbitan aturan mutlak dibutuhkan
sebagai pedoman apabila terjadi sengketa di jalanan. Posisi fiqh lalu lintas
adalah sebagai pendukung terhadap pemberlakukan yang tertuang dalam
undang-undang lalu lintas. Dalam tulisan ini dijelaskan mengenai perintah
dan larangan dalam berlalu lintas. Perintah berisi pentingnya memiliki izin
mengemudi dan pentingnya memakai helm, kelengkapan kenderaan dan
atribut safety riding lainnya. Sejalan dengan hal itu, dalam ajaran Islam
penjagaan diri dari malapetaka adalah suatu kewajiban.

1. Surat Izin Mengemudi


SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol dan data
forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan,
kemampuan dan keterampilan untuk mengemudikan di jalan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan berdasarkan UU LLAJ. Dalam Pasal 77 ayat (1)
UU LLAJ “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
memiliki SIM sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.” SIM
berfungsi sebagai berikut:
a. sarana identifikasi seseorang. Bertitik tolak dari SIM akan diketahui
identitas ciri-ciri fisik seseorang. Di samping itu juga berfungsi sebagai
tanda bukti bahwa pemegang SIM telah memiliki kemampuan,
pengetahuan dan keterampilan mengemudikan kendaraan bermotor
tertentu di jalan.
b. sebagai alat bukti, SIM mempunyai fungsi dan peranan sebagai alat bukti
dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas pokok Polri, khususnya yang
bersifat represif yustisi, di mana alat bukti tersebut sebagai penunjang

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 51


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
penyelidikan dan pengungkapan pelanggaran maupun kejahatan yang
berkaitan dengan kendaraan bermotor.
c. sarana upaya paksa penyitaan SIM dalam kasus pelanggaran dan
kecelakaan lalu lintas, untuk memaksa pelanggar menghadiri sidang,
merupakan bukti nyata betapa besarnya fungsi dan SIM dalam
pelaksanaan tugas Polri, karena pada dasarnya tanpa upaya paksa
demikian itu, sukar dipastikan bahwa pelaksanaan penegakan hukum
akan berhasil dengan baik.
d. sarana perlindungan masyarakat. Pengemudi kendaraan bermotor wajib
memiliki SIM sesuai dengan golongannya dengan pengertian bahwa
pemegang SIM tersebut telah memiliki kemampuan mengemudikan
kendaraan bermotor dengan baik, sehingga bahaya-bahaya kecelakaan
dan terjadinya pelanggaran dapat dikurangi.
e. sebagai sarana pelayanan masyarakat. Polri sebagai instansi yang
berwenang menerbitkan SIM wajib melayani kebutuhan masyarakat
tersebut dengan sebaik-baiknya. Guna keperluan tersebut Polri selalu
berusaha meningkatkan pelayanan masyarakat dalam bidang SIM ini,
tanpa mengurangi faktor security sebagai tujuan pokok.

Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan untuk taat kepada ulil amri


(pemerintah) selama tidak mengajak untuk bermaksiat kepada Allah,
sebagaimana perintah-Nya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Setiap muslim harus mematuhi aturan negara yang berlaku baginya,
termasuk aturan lalu lintas di jalan. Penetapan Peraturan Surat Izin
Mengemudi (SIM) dilakukan untuk kemaslahatan umum (al-mashlahah al-
amah) sebagai bentuk menjaga nyawa (hifz al-nafs) dan menjaga harta (hifz
al-mal). Wajib bagi seluruh pengendara kendaraan bermotor untuk
memperhatikan dan melaksanakan peraturan tersebut. Karena ketika
aturan itu dilaksanakanakan akan mendatangkan maslahat bagi
masyarakat. Sebaliknya ketika aturan itu dilanggar, akan terjadi banyak
masalah dan membahayakan orang lain serta ancaman lainnya. Aturan
SIM berlaku untuk semua warga negara, muslim dan nonmuslim. Setiap
orang boleh melanggar, karena pelanggaran bukan hanya membahayakan
dirinya sendiri tapi juga membahayakan orang lain. Negara membuat
aturan itu didasari semangat untuk mewujudkan maslahat bagi semua
masyarakat dan menghindari bahaya yang mengancam dirinya dan orang
52 FIQH BERLALU LINTAS
lain. Oleh karena itu, siapapun harus taat pada aturan itu karena SIM
adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol dan data forensik
Kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan
dan keterampilan untuk mengemudikan di jalan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.

2. Memakai Helm dan Sabuk Keselamatan


Perilaku tidak mengindahkan keamanan diri (safety riding) umumnya
dilakukan oleh banyak pengendara, dari tidak menggunakan helm, tidak
memakai sabuk keselamatan, bahkan ugal-ugalan di jalan. Tentunya, hal ini
perlu menjadi perhatian kita semua, dan tentunya dibutuhkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya mengetahui aturan aturan yang berlaku bagi
penggguna kendaraan bermotor. Dalam UU LLAJ ditegaskan tentang
aturan tata cara berlalu lintas yang baik:
a. setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mengemudikan dengan wajar dan penuh konsentrasi (Pasal 106 ayat 1).
b. dalam hal terjadi kondisi kemacetan lalu lintas yang tidak
memungkinkan gerak kendaraan, fungsi marka kotak kuning harus
diutamakan daripada alat pemberi isyarat berlalu lintas yang bersifat
perintah atau larangan (Pasal 103 ayat 3).
c. setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dan
penumpang sepeda motor, wajib mengenakan helm yang memenuhi
standar nasional (Pasal 106 ayat 8).
d. sepeda motor wajib menyalakan lampu utama pada siang hari (Pasal 107
ayat 2).
e. setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib
mematuhi ketentuan rambu perintah atau rambu larangan: marka jalan,
alat pemberi isyarat lalu lintas, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir,
peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan, tata cara penggan
dengan (Pasal 106 ayat 1).
f. pengguna jalan harus gunakan jalur jalan sebelah kiri (Pasal 108 ayat 1).
g. pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat lalu
lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung, berbelok kiri, kecuali
ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau alat pemberi isyarat lalu
lintas (Pasal 112 ayat 3).
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 53
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Selain itu, dalam mengendarai kendaraan bermotor sangat penting untuk
berkonsentrasi dengan penuh perhatian dan tidak terganggu karena sakit,
lelah, mengantuk, menggunakan telepon, menonton tv/video, meminum
alkohol/obat.

B. Adab Sesuai Syariah Dalam Berkendara


Islam adalah agama yang sangat mementingkan akhlak mulia,
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫إِنَّ َما بُ ِعثْتُ ْلُت َِم َم َمك‬
ِ ‫َار َم اْل َ ْخل‬
‫ق‬
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
(HR. Bukhari)

Hadits tersebut menggambarkan bahwa misi utama Rasulullah Shallahu


‘alaihi wa sallam adalah memperbaiki akhlak manusia, kemudian mengajak
kepada ketauhidan dan beribadah kepada Allah Subhana wa Ta’ala. Karena
bagi orang yang telah mampu berbuat baik, maka semua bentuk kebaikan
lainnya, baik berupa pengakuan akan keesaan Allah Ta’ala dan beribadah
kepada-Nya mudah diterima dan dilaksanakan. Hal ini sebagaimana
tergambar dalam Al-Qur`an yang mana kebanyakan ayatnya berbicara
tentang berperilaku baik, hanya sebagian kecil berbicara tentang ketauhidan
dan hukum ‘amaliah, baik masalah ibadah maupun mu’amalah. Fazlur
Rahman mengatakan bahwa al-Qur`an adalah suatu ajaran yang
berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi
tindakan manusia. Atau bahasa mudahnya bahwa Al-Qur`an itu isinya
adalah pesan moral, yaitu bagaimana semestinya seseorang menjadi lebih
baik dalam sikapnya dalam seluruh aspek kehidupannya, dan kebaikan itu
dianggap sebagai sebuah ibadah dan pengabdiannya kepada Allah Subhana
wa Ta’ala, (Fazlur Rahman 1984, 354).
Akhlak mulia itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
salah satunya adalah adab berlalu lintas di jalan raya. Allah berfirman ‫َو َال ت َ ْم ِش‬
ِ ‫ فِي ْاْل َ ْر‬Artinya: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan
‫ض َم َر ًحا‬
sombong.” Potongan ayat ini terdapat dalam dua surah, yaitu surah al-Isra`
ayat 37 dan Luqman ayat 18. Untuk konteks kekinian, dapat dipahami bahwa
larangan dalam ayat tersebut untuk tidak berlaku sombong ketika berjalan,
artinya setiap orang tidak boleh melanggar aturan berlalu lintas. Karena
54 FIQH BERLALU LINTAS
perilaku melanggar aturan termasuk aturan berlalu lintas adalah perilaku
sombong, sesuai firman Allah Subhana wa Ta’ala, dalam surah Al-Baqarah
ayat 34:
ٰۤ
َ‫ْس ا َ َٰبى َوا ْستَ ْكبَ ۖ َر َو َكانَ مِ نَ ْال َٰك ِف ِريْن‬ َ َ‫َواِذْ قُ ْلنَا ل ِْل َم َٰل ِٕى َك ِة ا ْس ُجد ُْوا ِ َٰالدَ َم ف‬
ٓ َّ ‫س َجد ُْٓوا ا‬
َ َۗ ‫ِال اِ ْب ِلي‬

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah
kamu kepada Adam, maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan
menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.

Ayat di atas menggambarkan perilaku sombong yang ditunjukkan oleh


Iblis dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah Subhana wa Ta’ala,
untuk sujud kepada Adam. Allah Subhana wa Ta’ala mengatakan bahwa Iblis
itu telah berlaku sombong dengan menolak perintah-Nya, dan ia termasuk
golongan kafir. Dalam hadis riwayat Muslim menjelaskan tentang larangan
angkuh ketika berjalan. Dari Abu Sa’id Al-khudri dan Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhuma, keduanya mengatakan: Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, dalam hadis qudsi yang diriwayatkan dari Ali bin
Abi Thalib ra, Rasulullah bersabda:
.ُ‫عذَّ ْبتُه‬
َ ‫عنِ ْي فِ ْي ِه َما‬ ِ ‫ي َو ْال ِكب ِْريَا َء ِردَائِ ْي فَ َم ْن ن‬
ُ ‫َاز‬ ْ ‫ ِإ َّن ْالع َِّز ِإزَ ِار‬:ُ‫ِإ َّن هللاَ ت َ َعالَى يَقُ ْول‬

Artinya: “Sesunguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Kemuliaan adalah pakaian-


Ku dan sombong adalah selendang-Ku. Barangsiapa yang mengambilnya
dariku, Aku Adzab dia.” (HR. Muslim No. 2620.

Hadis di atas menunjukkan bahwa manusia dilarang untuk


menyombongkan diri dan Allah akan mengazab orang yang
menyombongkan diri, serta Allah mengatakan bahwa Allah yang pantas
sombong karena itu memang pakaian Allah, maka manusia dilarang untuk
berlaku sombong. Dari beberapa hadis tersebut menunjukkan bahwa
kesombongan di jalan pada saat menggunakan kenderaan sangat tidak
dibenarkan dan sangat dimurkai oleh Allah, sehingga Allah mengatakan
akan mengazab siapapun yang memakai pakaian Allah karena pakaian Allah
adalah kesombongan. Dengan demikian mengebut di jalan tentunya harus
dihindari. Kesombongan juga bisa digambarkan dengan cara memakai
asesoris pada kenderaan yang dapat menggangu orang lain, dan hal tersebut
juga dianggap berlebihan dalam menggunakan sesuatu. Membunyikan
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 55
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
knalpot yang sangat bising, lampu yang mencolok warna yang sangat
kontras dan lain-lain yang bisa mengganggu pandangan dari orang yang
berada di jalan.
Islam mengajarkan ummatnya untuk selalu berbuat baik di mana saja. Dalam
sebuah hadits riwayat Turmuzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫س ٍن‬ ٍ ُ‫اس ِب ُخل‬


َ ‫ق َح‬ َ َّ‫ق الن‬ َ ‫ َوأَتْ ِب ِع الس َِّيئَةَ ال َح‬، َ‫هللا َح ْيث ُ َما ُك ْنت‬
ِ ‫ َوخَا ِل‬،‫سنَةَ ت َْم ُح َها‬ َ ‫ق‬ ِ َّ ‫ات‬

Artinya: Bertakwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, dan iringilah
kejelekan itu dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya (kejelekan),
dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik.
Seorang Muslim dilarang melakukan sesuatu yang dapat mengganggu orang
lain di jalan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ َما لَنَا مِ ْن‬،‫َّللا‬ َ ‫ يَا ر‬:‫ فقَالُوا‬،ِ‫ط ُرقات‬
َّ ‫سو َل‬ َ ُ‫ إِيَّا ُكم َو ْال ُجل‬:َ‫ عن النَّبِي ِ ﷺ قَال‬،t ِ ‫سعي ٍد ْال ُخد ِْري‬
ُّ ‫وس في ال‬ َ ‫عن أَبِي‬
ْ
‫ و َما َح ُّق‬:‫ قالوا‬،ُ‫طريقَ َحقَّه‬ َّ ‫طوا ال‬ ُ ‫ فَإِذَا أَبَ ْيت ُ ْم إِ َّال ْال َم ْجلِس فَأ َ ْع‬:‫َّللا ﷺ‬
َّ ‫ فَقَا َل رسو ُل‬،‫ث فِي َها‬ُ َّ‫ نَتحد‬،‫َمجالِسنَا بُد‬
‫عن ْال ُم ْن َك ِر‬
ِ ‫ي‬ ْ ‫ َواْل َ ْم ُر‬،‫َّلم‬
ُ ‫ والنَّ ْه‬، ِ‫بال َمعْروف‬ ِ ‫وردُّ الس‬ َ ،‫َف اْلَذَى‬ ُّ ‫ وك‬،‫صر‬َ َ‫َض ْالب‬
ُّ ‫ غ‬:َ‫َّللا؟ قَال‬
َّ ‫ق يَا رسو َل‬ ِ ‫ط ِري‬َّ ‫ال‬

Artinya: Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Beliau bersabda: Jauhilah dari duduk-duduk di jalan! Para sahabat berkata: wahai
Rasulullah, kegiatan kami duduk (di jalan) berkumpul ya hanya (di pinggir jalan)
itu. Kami bisa bercengkerama saat itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
bersabda: Kalau kalian memang sulit berpindah dari berkumpul (seperti itu), maka
berikan kepada jalanan itu haknya. Para sahabat bertanya lagi: Apa hak dari jalan itu
wahai Rasulullah? Rasul menjawab: menundukkan pandangan, tidak menyakiti,
membalas salam, menyampaikan kebaikan, melarang kemungkaran.

Dalam hadits lain riwayat Bukhari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda:
ُ‫َّللاُ لَهُ فَغَف ََر لَه‬ َ َ‫ ف‬،ُ‫ق فَأ َ َّخ َره‬
َّ ‫شك ََر‬ َّ ‫علَى ال‬
ِ ‫ط ِري‬ ُ َ‫ق َو َجد‬
َ ٍ‫غصْنَ ش َْوك‬ َ ِ‫بَ ْينَ َما َر ُجل يَ ْمشِي ب‬
ٍ ‫ط ِري‬

Artinya: Ketika seseorang sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan


berduri yang menghalangi jalan, kemudian ia menyingkirkannya, maka Allah
berterima-kasih kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.

56 FIQH BERLALU LINTAS


Tiga hadits di atas menggambarkan bahwa umat Islam diperintahkan
selalu berbuat baik dan berakhlak mulia, di mana saja dan kapan saja,
demikian juga di jalan. Sehingga kewajiban berbuat baik itu termasuk ketika
berkendara di jalan dengan benar dan tertib sesuai aturan yang berlaku
dengan memberi hak jalan bagi pengguna jalan lainnya. Ada pepatah Aceh
yang berbunyi: jak ube lot tapak, duk ube lot punggong, maksudnya:
menggunakan sesuatu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, jangan
sampai menggunakan hak orang lain dan berlebihan.
Kita bisa mengambil sebuah analogi bahwa etika dalam berkendaraan
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan etika berjalan. Keduanya mempunyai
tujuan yang sama, yaitu ingin mencapai satu tujuan tertentu. Etika berjalan
sebenarnya banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an, yang tentunya bisa menjadi
refleksi etis dalam berkendara. Di antara etika tersebut adalah: Pertama,
ketika berkendara, ada baiknya seseorang tidak tergesa-gesa. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah memberi peringatan bahwa sikap tergesa-
gesa itu bersumber dari setan (sikap tenang itu bersumber dari Allah, sedang
sikap tergesa- gesa berasal dari setan). Tentu tidak ada yang menginginkan
dirinya dikuasai setan. Secara psikologis, sikap tergesa-gesa menunjukan
ketidaksiapan mental dan tindakan. Misal, karena takut terlambat, maka
seorang pengendara melaju kendaraan dengan tergesa-gesa. dan akhirnya
berujung pada ketidakmampuan untuk mengontrol diri sendiri. Dalam surat
Luqman ayat 19, Allah berfirman:

Sumber: tafsirweb.com

Ayat ini semakin memperjelas bahwa mengatur tempo dan ritme


kecepatan dalam berkendaraan menjadi hal yang sangat penting demi
menciptakan keselamatan bersama. Kedua, dilarang mementingkan ego diri.
Berkendara dengan sikap egois akan membahayakan diri sendiri dan
pengendara lain. Ego umumnya ingin memperlihatkan diri sebagai yang
terbaik, mengedepankan ego justru dapat membawa pengendara pada sikap
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 57
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
brutal dan tidak terkendali. Dalam Al-Quran Surat Al-Isra’: 37, Allah
berfirman:

Dari pendalilan tersebut, terdapat pelajaran bahwa berjalan atau


berkendara sudah seharusnya tidak mengunggulkan ego personal. Oleh
karenanya, jawaban atas sikap egoisme jalanan bisa ditemukan dalam Surat
al- Furqan ayat 63, di mana Allah memberikan isyarat agar bersikap rendah
hati dalam berjalan. Ketiga, memberikan hak kepada diri, orang lain, dan
kendaraan. Ada kalanya ketika berkendara dihadapkan pada kondisi
kelelahan. Rasa lelah merupakan petanda bahwa ada hak tubuh yang
membutuhkan istirahat. Jika hifd al-nafs diabaikan, hal ini bisa fatal.
Umumnya kecelakaan terjadi karena mengabaikan hal sepele.
Rasa ngantuk yang hanya berjalan sepersekian detik dapat mengakibatkan
kecelakaan. Untuk itu, seorang pengendara harus waspada dan hati-hati.
Ingat, salah satu tujuan syari’at (maqasid al-syari’ah) adalah menjaga jiwa (hifdl
nafs). Jika berkendara dalam rasa ngantuk dapat merusak tubuh dan
mengancam jiwa, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan tujuan syari’at Islam.
Dengan demikian dianjurkan istirahat, karena jika tidak, akan menghadapi
mudarat yang lebih besar. Hak yang sama pula harus diberikan kepada
kendaraan yang digunakan.
Jika kendaraan yang digunakan sudah jatuh tempo untuk diperbaiki
(service), kewajiban bagi pemilik kendaraan untuk memperbaikinya. Karena
kerusakan kendaraan dapat menimbulkan mudarat yang besar, dan
menjurus pada keadaan yang menyebabkan merusak jiwa, bilamana dengan
tiba-tiba kendaraan tersebut rusak di tengah jalan dan mengakibatkan
kecelakaan. Inilah yang ditekankan oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya: yang artinya, “Ketika dalam sebuah perjalanan kalian
mendapati rumput yang subur, maka berhentilah sejenak untuk memberikan makan
pada unta.” Unta dalam hal ini bisa dianalogikan dengan alat transportasi.

58 FIQH BERLALU LINTAS


Ini artinya bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk
memberikan hak-hak pada alat transportasi yang dipakai.
Keempat, fokus. Dalam teori “mindfulness”, ketika seseorang mampu
memusatkan perhatian hanya pada apa yang sedang dikerjakan, maka akan
timbul energi positif. Energi itulah yang akan membawa rasa bahagia dan
tenang. Ketika jiwa berada dalam kondisi tenang, maka proses berkendara
akan bisa dinikmati. Ketika bisa menikmati perjalanan, maka rasa syukur
akan muncul. Di situlah kita bisa mengejawantahkan perintah Allah Subhana
wa Ta’ala dalam Surah An-Naml Ayat 69:

Dalam ayat-ayat tersebut, manusia diperintahkan untuk berjalan atau


berkendara untuk melihat, membaca dan merenungi manifestasi ayat-ayat
Allah di muka bumi. Jika hal ini yang direnungkan, maka berkendara akan
menjadi sebuah amal baik yang bisa mendatangkan pahala. Karena hasil
akhir dari perenungan itu adalah terwujudnya rasa syukur kepada Allah.
Dalam bahasa Al-Qur’an, teori mindfulness ini sering disebut dengan
khusyuk. Hanya saja, khusyuk lebih banyak diidentikan dengan masalah-
masalah ubudiyyah (ibadah), seperti salat.
Namun pada esensinya, khusyuk merupakan sebuah sikap yang tidak
mendua. Ia merupakan sikap yang berusaha untuk menyatukan irama hati,
tindakan dan pikiran. Dalam konteks berkendara, seseorang harus fokus
dengan kendaraannya, tidak menyelingi dirinya dengan hal-hal yang
menggangu, seperti bermain handphone, makan dan bergurau. Jadi mematuhi
aturan berlalu lintas di jalan merupakan akhlak yang mulia, karena prilaku
tersebut dapat menimbulkan kebaikan dan keselamatan bukan saja bagi
dirinya sendiri, tetapi juga bagi pengguna jalan lainnya, juga bisa
menghindari terjadinya kecelakaan yang menelan korban jiwa.
Secara lebih rinci, di antara adab ketika berkendara menurut tuntunan
syari’at adalah sebagai berikut:
1. Memilih kendaraan yang cocok untuk perjalanan. Ajaran Islam sangat
memperhatikan keselamatan dan kenyamanan. Seorang Muslim

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 59


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
hendaknya memilih kendaraan yang paling bermanfaat dan cocok untuk
mencapai tujuan. Selain itu, mempersiapkan alat transportasi yang akan
digunakannya, jika kendaraan tersebut milik pribadi. Kendaraan
diperiksa mesinnya, bahan bakar, onderdil dan lain sebagainya.
2. Niat yang baik. Seorang Muslim ketika naik kendaraan atau
menggunakan alat transportasi harus meniatkan diri untuk mencapai
tujuan yang benar. Di antaranya berniat untuk menyambung tali
silaturahmi dan ukhwah, mencari nafkah, ziarah karena Allah Subhana wa
Ta’ala, juga berniat akan berlaku baik terhadap kendaraan yang dinaiki
sesuai dengan syari’at Allah Subhana wa Ta’ala, dan mematuhi semua
aturan berlalu lintas demi menjaga ketertiban dan keselamatan di jalan.
Hendaknya seorang muslim meniatkan berkendaraan untuk
mencapai tujuan, diantaranya menyambung tali silaturrahmi, mencari
nafkah dan ziarah karena Allah. Sebagaimana hadis tentang niat di bawah
ini:
ِ ‫ِإنَّ َما اْْل َ ْع َما ُل ِبالنِيَّا‬
ٍ ‫ت َو ِإنَّ َما ِل ُك ِل ْام ِر‬
‫ئ َما ن ََوى‬
Artinya: “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan sesuai denga napa yang ia niatkan.” (Sahih Muslim No. 1907,
Sunan Abu Dawud No. 2201, Sunan At Tirmidzi No. 1646, Sunan Ibnu
Majah No. 4227).

Hadis di atas sangat penting, karena menjadi orientasi seluruh hukum


dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pendapat para ulama. Abu
Dawud berkata bahwa hadis ini setengah dari ajaran Islam. Karena agama
bertumpu pada dua hal yaitu sisi lahiriyah (amal perbuatan) dan sisi
bathiniah (niat). Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata, hadis ini mencakup
sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal yaitu hati,
lisan dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu
dari tiga hal tersebut (Musthafa Dieb Al-Bugha Muhyidin Mitsu, 1998: 2-5).
Abu Ubaid berkata “Tidak ada di antara hadits-hadits Nabi Shallahu ‘alaihi
wa sallam yang lebih mencangkup sesuatu, lebih mencukupi dan lebih banyak
faedahnya selain hadits ini”. Kenapa bisa dikatakan sepertiga ilmu, karena
sesungguhnya perbuatan seorang hamba adakalanya dari hatinya, lisannya
dan anggota tubuhnya, maka niat merupakan salah satu dari tiga bagian
tersebut dan lebih kuat karena niat terkadang menjadi ibadah yang tersendiri
sedangkan selainnya butuh terhadap niat. Mengingat urgensinya, maka
60 FIQH BERLALU LINTAS
banyak ulama yang mengawali berbagai buku dan karangannya dengan
hadis ini. Imam Bukhari menempatkan hadis ini di awal kitab Shahihnya,
Imam Nawawi menempatkan hadis ini pada urutan pertama dan tiga
bukunya yaitu Riyadhus Shalihin, Al-Adzkar dan Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Hal ini dilakukan agar setiap pembaca paham tentang pentingnya niat,
sehingga ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika
menuntut ilmu atau melakukan perbuatan baik lainnya, dalam hal ini
termasuk berjalan atau berkendara menuju suatu tempat.
Dengan demikian seseorang yang melakukan perjalanan dengan
menggunakan jalan maka harus berniat juga karena Allah, sehingga dengan
niat karena Allah maka perjalanan dia akan mendapat pahala. Sesungguhnya
manusia diberi pahala dan siksa menurut niatnya, jika niatnya baik, maka
amalnya baik. Jika niatnya buruk maka amalnya buruk walaupun bentuknya
baik. Berdasarkan uraian ini, jika pengendara berkendara di jalan raya
walaupun niat baik tetapi dengan sengaja memacu kecepatan dengan
kencang, sengaja melanggar aturan, sengaja menggangu orang di jalan, atau
sengaja balap di jalan tidak memakai helm, melanggar rambu-rambu lalu
lintas karena banyak orang berbuat begitu, maka perbuatan yang dilakukan
adalah sesuatu yang buruk walaupun niatnya baik. Niat yang baik harus juga
dibarengi dengan perbuatan yang baik pula.
3. Membaca do’a. Seorang Muslim dianjurkan untuk senantiasa berdoa
kepada Allah Subhana wa Ta’ala, baik sebelum atau sesudah melakukan
aktivitas, tidak terkecuali saat naik kendaraan. Membaca do’a naik
kendaraan menjadi salah satu amalan yang sering dilakukan oleh
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bertujuan agar diberi rasa
aman dan keselamatan saat berkendara, juga sebagai bentuk mengakui
nikmat Allah Ta’ala. Ketika sedang mengendarai kendaraan ataupun
setelahnya hendaklah seorang hamba mengakui limpahan nikmat yang
diberikan kepadanya. Sebab, berkat kendaraan yang dianugerahkan Allah
Subhana wa Ta’ala, setiap orang bisa menghemat waktu dan tenaga untuk
sampai ke suatu tujuan. Do’a yang Allah Subhana wa Ta’ala ajarkan
sebagaimana tercantum dalam surat az-Zukhruf ayat 13-14 yang berbunyi:
َ‫س َّخ َرلَنَا َهذَا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرنِيْنَ َواِنَّآ اِلَى َربنَا لَ ُم ْنقَ ِلب ُْون‬ ْ ‫س ْب َحانَ الَّذ‬
َ ‫ِى‬ ُ

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 61


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Artinya: Maha suci Allah yang memudahkan ini (kendaraan) bagi kami dan
tiada kami mempersekutukan bagi-Nya, dan sesungguhnya kami akan
kembali kepada Tuhan kami.

Do’a ini juga diajarkan oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam


sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Muslim, yaitu:
‫سف َِرنَا َهذَا ْالبِ َّر‬َ ‫س َّخ َر لَنَا َهذَا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرنِينَ َوإِنَّا إِلَى َربِنَا لَ ُمنقَ ِلبُونَ اللَّ ُه َّم إِنَّا نَ ْسأ َلُكَ فِى‬ َ ‫س ْب َحانَ الَّذِي‬ُ
‫سف َِر‬ َ َّ
َّ ‫عنَّا بُ ْعدَهُ الل ُه َّم أ ْنتَ الصَّاحِ بُ فِى ال‬ ْ
َ ‫سف ََرنَا َهذَا َواط ِو‬ َ ‫علَ ْينَا‬ َّ
َ ‫ضى الل ُه َّم َه ِو ْن‬ ْ ْ
َ ‫َوالتَّق َوى َومِ نَ العَ َم ِل َما ت َْر‬
َ ْ
‫ب فِى ال َما ِل َواْل ْه ِل‬ ْ
ِ َ‫ظ ِر َوسُوءِ ال ُم ْنقَل‬ ْ َّ ‫َو ْال َخلِيفَةُ فِى اْل َ ْه ِل اللَّ ُه َّم إِنِى أعُوذ بِكَ مِ ْن َو ْعثَاءِ ال‬
َ ‫سف َِر َوكَآبَ ِة ال َم ْن‬ ُ َ
.‫الولَ ِد‬
َ ‫َو‬

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan,


taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah
mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya
Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah
keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran
perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang
buruk pada harta, keluarga dan anak.

Ketika membaca doa naik kendaraan sebaiknya memperhatikan


beberapa adab seperti; dianjurkan membaca doa naik kendaraan dalam
keadaan suci dan menghadap kiblat, berdoa dengan penuh harapan dan
rasa takut kepada Allah Subhana wa Ta’ala, dan sebaiknya mengangkat
kedua tangan, merendahkan diri dan tunduk di hadapan Allah Subhana
wa Ta’ala, memohon dengan sungguh-sungguh atas kahadirat Allah
Subhana wa Ta’ala, dan dianjurkan untuk senantiasa memohon ampun atas
perbuatan buruk yang pernah dilakukan.
4. Zikir safar (perjalanan). Saat berkendaraan hendaknya seorang Muslim
tetap ingat kepada Allah dengan cara berzikir. Saat kendaraan melaju,
seorang Muslim memperbanyak baca doa dan zikir, sebagai salah satu
bentuk ibadah. Hadist dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ص ِعدْنَا َكب َّْرنَا َوإِذَا نَزَ ْلنَا‬
‫سبَّ ْحنَا‬ َ ‫ُكنَّا إِذَا‬

Artinya: Ketika kami hendak naik kendaraan, kami bertakbir, ketika kami turun
dari kendaraan, kami bertasbih. (HR. Bukhari 2993)

62 FIQH BERLALU LINTAS


Dalam Al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 28 Allah Subhana wa Ta’ala,
berfirman:
ُ‫َّللا ت َۡط َم ِٕى ُّن ۡالقُلُ ۡوب‬
ِ ‫ا َ َال بِذ ِۡك ِر ه‬

Artinya: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

Berzikir ketika berkendara akan menjadi hati lebih tenang, sehingga


konsentrasi menjadi lebih baik dan lebih fokus. Selain itu, mendengar
bacaan ayat-ayat al-Qur`an juga bisa memberi efek positif terhadap diri
pengendara menjadi lebih baik, dengan diiringi do’a keselamatan yang
diperuntukkan untuk kebaikan selama perjalanan.
5. Memperhatikan kapasitas muatan kendaraan. Seseorang tidak boleh
membebani kendaraan dengan beban yang melampaui kapasitas, karena
dapat mengakibatkan kendaraan mengalami kerusakan atau bahkan
rawan terhadap kecelakaan. Seringkali saat mudik lebaran misalnya,
begitu banyak orang yang mudik dengan sepeda motor membawa beban
yang melampaui batas, yang semestinya kendaraan roda dua hanya boleh
dinaiki oleh dua orang saja, malah ditumpangi sampai empat-lima orang,
bahkan lebih. Kejaddi seperti ini menyebabkan hilangnya kestabilan
kendaraan dalam lajunya, yang bisa berakibat fatal berupa kecelakaan.
Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah dirawat dengan
baik. Sebagaimana binatang ternak yang dimiliki, tidak boleh
membebaninya lebih dari kemampuannya. Di antara wujud kesyukuran
kepada Allah, harus menyayangi kendaraan apakah berupa hewan atau
bukan, dan tidak membebaninya lebih kemampuannya.
Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin
Ja’far radhiyallahu‘anhu pernah berkata, “Beliau masuk kedalam kebun laki-
laki Anshar. Tiba-tiba ada seekor unta. Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihatnya, maka unta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya seraya mengusap dari perutnya
sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah unta itu. Kemudian
beliau bersabda, “Siapakah pemilik unta ini, Unta ini milik siapa?” Lalu

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 63


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Unta itu milikku, wahai
Rasulullah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ُ‫ي أَ َّنكَ ت ُ ِج ْيعُهُ َوتُدْئِبُه‬ َ ُ‫أَفَ َل تَتَّقِي هللاَ فِ ْي َه ِذ ِه ْالبَ ِه ْي َم ِة الَّتِى َملَ َّككَ هللاُ ِإيَّاهَا فَإِنَّه‬
َّ َ‫شكَى ِإل‬

Artinya: “Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang
telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah
mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.
Muslim dalam Shahihnya (342), dan Abu Dawud dalam As-Sunan (2549).

Untuk itu, seorang muslim tidak boleh membebani kendaraan lebih


dari kemampuannya, sehingga kenderaan tersebut tidak dalam kondisi
baik akibat dipaksakan membuat kenderaan tersebut rusak. Kenderaan
juga harus diperhatikan bahan bakar dan olinya sebagaimana halnya jika
kendaraan berupa hewan, maka harus diperhatikan makanan, dan
perawatannya. Kendaraan yang dimiliki harus dirawat dengan baik;
jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi carilah naungan
baginya. Jangan dibebani melebihi kapasitas kemampuan yang telah
ditetapkan baginya.
Hadis yang telah disebutkan menunjukkan upaya perawatan atau
bentuk pemeliharaan kendaraan yang dimiliki agar selalu baik dan sesuai
dengan standarnya, sehingga tidak menimbulkan bahaya baik bagi diri
pengendara atau bagi orang lain di jalan. Kendaraan harus selalu diservice
sesuai dengan waktu, pengecekan kondisi ban, lampu, dan sebagainya
maka haruslah diperbaiki jika terdapat kerusakan dan lain-lain yang harus
diperhatikan dan diperbaiki. Hal ini merupakan bentuk kepedulian
seseorang terhadap kenderaannya sehingga tidak bermasalah di suatu
saat atau waktu.
6. Memperhatikan rambu-rambu lalu lintas. Keselamatan merupakan hal
yang perlu diperhatikan, karena perintah agama. Islam melarang
seseorang menjatuhkan dirinya dan orang lain kepada kesulitan dan
kebinasaan. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Baqarah
ayat 195:
َ‫َّللاَ يُحِ بُّ ْال ُم ْح ِسنِين‬
َّ ‫َّللا َو َال ت ُ ْلقُوا بِأ َ ْيدِي ُك ْم إِلَى التَّ ْهلُ َك ِة ۛ َوأ َ ْح ِسنُوا ۛ إِ َّن‬ َ ‫َوأ َ ْن ِفقُوا فِي‬
ِ َّ ‫سبِي ِل‬

64 FIQH BERLALU LINTAS


Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

7. Anjuran untuk memberikan kemudahan bagi pengguna jalan. Dalam


sebuah Hadits Musnad Ahmad No. 8993 yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, Nabi bersabda:

ٍ‫ان‬ ِْ ‫ن‬
ِ ‫اْلي َم‬ ُ ‫ق َو ْال َحيَا ٍُء‬
ٍْ ِ‫ش ْعبَةٍ م‬ ٍْ ‫ع‬
ٍِ ‫ن الط ِري‬ ٍْ َ‫ط ٍةُ ْالع‬
َ ‫ظ ٍِم‬ َ ‫ّللاُ َوأَدْنَاهَا إِ َما‬ َ ‫س ْبعُونٍَ بَابا أَ ْف‬
ٍ َ ‫ضلُ َها‬
ٍ ٍ‫ل إِلَهٍَ إِل‬ ِْ
ٍُ ‫اْلي َما‬
َ ‫ن بِضْعٍ َو‬

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu


mempunyai tujuh puluh sekian cabang pintu, yang paling utama adalah ucapan;
Laa Ilaaha Illa Allah, dan yang paling ringan adalah membuang duri dari jalan,
dan malu adalah cabang dari iman."
Tema hadis ini adalah pemeringkatan iman. Yang tertinggi adalah
ucapan tahlil (La ilaha illallah) dan yang paling rendah adalah
“menyingkirkan aral dari tengah jalan”. Namun, amanat di dalamnya
mengandung anjuran untuk memudahkan orang saat melintas di jalan.
Hadis ini menunjukkan formula agar setiap orang peduli dengan
sesamanya, sehingga walaupun dia sangat dekat dengan Allah akan tetapi
dengan manusia dan makhluk Allah juga harus peduli, sehingga jika ada
yang menghambat atau yang membahayakan orang lain di jalan maka
dianjurkan untuk disingkirkan, agar orang yang melewati jalan tersebut
aman dan tidak sampai membahayakan keselamatan pengguna jalan
tersebut. Menyadari bahwa perbuatan yang ringan ini namun berarti,
cukup dengan menyingkirkan sandungan yang ada di jalan. Karena hal
itu merupakan indikator keimanan.

8. Larangan tergesa-gesa di jalan


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menegur seorang sahabat
yang cepat dan tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita
yang menyertai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhaji,

‫س ْوقَكَ ِب ْالقَ َو ِاري ِْر‬ َ ‫َو ْي َحكَ َيا أَ ْن َج‬


َ َ‫شةُ ُر َو ْيدَك‬
“Wahai Anjasyah, celaka engkau! Pelanlah engkau dalam menuntun para
wanita”. (HR. Al-Bukhariy no. 6149, 6161, 6202, & 6209, dan HR Muslim no.
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 65
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
2323). An-Nawawi Rahimahullah berkata saat menyebutkan penafsiran
ulama tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini
adalah pelan dalam berjalan, karena jika unta mendengar al-hida’ (nyanyian
hewan), maka ia akan cepat dalam berjalan; unta akan merasa senang, dan
membuat penumpangnya kaget, dan penat. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarangnya dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat
kerasnya gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya
mereka”. [Lihat Syarh Shahih Muslim (15/81)]
Maka sepantasnya ketika berkendara, tetap tenang dan tidak terburu-
buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan. Boleh saja untuk
mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas, sehingga tidak
dianggap terburu-buru, dengan syarat jika ada kemaslahatan, dan tidak
menimbulkan kerugian dan bahaya. Demikianlah adab berkendara di
jalan, sebagai bentuk perilaku seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim
diperintahkan untuk berbuat baik di mana saja dan kapan saja, termasuk
ketika beraktivitas di jalan. Bentuk kebaikan saat berkendara di jalan
adalah dengan mematuhi seluruh aturan berlalu lintas sebagai adab
kesopanan atas pelaksanaan syari’at Islam itu sendiri.

66 FIQH BERLALU LINTAS


BAB V
PENUTUP

Kajian tentang penyelenggaraan lalu lintas adalah bagian dari inovasi


ilmu pengetahuan dan teknologi. Perihal penyelenggaraan lalu lintas
merupakan bagian dari urusan dunia yang diserahkan sepenuhnya pada
kreativitas dan inovasi dari akal budi manusia yang tetap bersandarkan pada
suatu postulat atau dalil. Sebagaimana umumnya perkembangan teknologi,
selagi tidak menimbulkan madlarat/mafsadah dalam pandangan Islam,
pada dasarnya tidak ada larangan. Akan tetapi, mengapa perlu
mendapatkan dukungan dalam pandangan agama (fiqh), yaitu untuk
meyakinkan inovasi pengaturan lalu lintas itu sendiri. Karena itu, fiqh
sebagai bentuk aturan hukum praktis bagi umat muslim harus mampu
menjawab problematika penyelenggaraan lalu lintas, yang sejalan dengan
prinsip pelaksanaan syari’at Islam.
Materi pembahasan atau objek kajian fiqh berlalu lintas adalah hukum-
hukum syari’at terkait dengan gerak kendaraan dan orang dalam berlalu
lintas di jalan raya, atau dengan kata lain, fiqh lalu lintas adalah sekelompok
hukum yang berhubungan dengan aturan tentang cara berkendara
kendaraan di jalan raya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Dalil hukum yang menunjukkan bahwa perilaku orang dalam
berlalu lintas di jalan raya merupakan bagian dari aturan fiqh yang harus
ditaati sebagai bagian dari pelaksana hukum syari’at adalah dalam rangka
mewujudkan kebaikan, ketertiban, keselamatan, dan menolak kesulitan,
kecelakaan, serta kerusakan yang bisa menimbulkan korban jiwa.
Aturan berlalu lintas di jalan raya merupakan bagian dari aturan hukum
syari’at yang wajib ditaati, karena sesuai dengan tuntunan nash Al-Qur`an
dan Hadis dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan. Fiqh lalu lintas ini memberikan penalaran agama yang diambil
dari dalil-dalil tafshiliyyah (terperinci) terkait dengan lalu lintas yang
dihadapi oleh mukallaf. Hasil penalaran ini tidak selalu berupa hukum-
hukum praktis yang bersifat taklifiyyah seperti wajib, haram, makruh,
sunnah, dan mubah, melainkan juga berupa pandangan etis yang semestinya

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 67


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang mukallaf dalam kaitan
mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih maslahat.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagai pedoman dalam
berlalu lintas. Seluruh hal yang menjadi larangan, kewajiban, arahan, dan
peringatan yang terdapat dalam UU LLAJ tersebut bertujuan untuk
kemaslahatan umat dalam mewujudkan keamanan, ketertiban, kelancaran
dan keselamatan berlalu lintas yang wajib dipatuhi, karena dibuat dan
ditetapkan oleh pemerintah (pemimpin) yang berisi kebaikan dan tidak
bertentangan dengan hukum Allah Subhana wa Ta’ala.

68 FIQH BERLALU LINTAS


EPILOG

Allah Subhana wa Ta’ala memerintahkan agar umat manusia berlaku


tertib dan tidak sombong. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-
Luqman ayat 18, yang berarti “Dan jangan kamu memalingkan wajah dari
manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”, dan Al-
Quran surat Al-A’raf ayat 86, yang artinya “Dan janganlah kamu duduk di setiap
jalan dengan menakut-nakuti dan menghalangi orang-orang yang beriman dari pada
Allah dan ingin membelokkannya”. Perintah Allah Subhana wa Ta’ala ini
menegaskan bahwa setiap umat manusia memiliki tugas dan tanggungjawab
untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, dan keselamatan baik jiwa
maupun harta benda.
Sejalan dengan perintah Allah Subhana wa Ta’ala, Nabi Muhammad
Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Majah dan Imam Daruquthni, dari Sa’ad bin Sinan Al-Khudri, bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.
Bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadis qudsi, bersabda:
“Sesunguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Kemuliaan adalah pakaian-Ku dan sombong
adalah selendang-Ku. Barangsiapa yang mengambilnya dariku, Aku Azab dia”.
Sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas bahwa setiap
muslim wajib menjaga keamanan diri dan keluarganya serta orang lain dari
sesuatu yang membahayakan. Islam mengatur banyak hal terkait
kemaslahatan umat, yang kemudian dikenal dengan konsep maqashid syariah
untuk meraih kemaslahatan dan menghindari kemudaratan guna menjaga
dan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan kehormatan, harta,
lingkungan hidup, keadilan dan hak asasi manusia.
Ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan sehari-hari merupakan
kewajiban dari orang-orang yang beriman sebagai bagian dari ketaatan
kepada Allah Subhana wa Ta’ala, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan
pemimpinnya, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Quran surat An-Nisa
ayat 59 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul dan Pemimpin di antara kalian”. Ayat ini mempertegas bahwa setiap
orang wajib taat kepada Allah, taat kepada Rasul Allah, dan kepada para
pemimpin. Apabila seorang pemimpin telah menetapkan aturan dan
KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 69
Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
kebijakan untuk kepentingan dan keteraturan hidup umat manusia dan tidak
bertentangan dengan hukum Allah maka sepatutnya hukum dan kebijakan
tersebut dipatuhi. Pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sebagai
pedoman dalam berlalu lintas. Seluruh hal yang menjadi larangan,
kewajiban, arahan, dan peringatan yang terdapat dalam UU LLAJ tersebut
bertujuan untuk kemaslahatan umat dalam mewujudkan keamanan,
ketertiban, kelancaran dan keselamatan berlalu lintas. Ketentuan yang
terdapat dalam UU LLAJ wajib dipatuhi, karena dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah (pemimpin) yang berisi kebaikan dan tidak bertentangan dengan
hukum Allah Subhana wa Ta’ala.
Fiqh berlalu lintas dilahirkan sebagai pedoman dalam berlalu lintas. Fiqh
lalu lintas ini sendiri sejalan/sesuai denga apa yang menjadi tuntunan dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam lalu lintas. Fiqh ini juga
menjabarkan korelasi yang linear antara tuntunan agama Islam, khususnya
dalam etika dan adab berlalu lintas dengan tuntunan yang terdapat dalam
hukum positif Indonesia. Semoga fiqh berlalu lintas dapat dijadikan acuan,
sandaran dan pedoman bagi masyarakat dalam mewujudkan masyarakat
yang patuh hukum dan tertib berlalu lintas.

70 FIQH BERLALU LINTAS


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abul ‘Ula Muhammad Abdurrahman, 1995, Tuhfah Al-Ahwadziy, Bairut:


Dar al Kotob AlIlmiyah.

A. Djazuli, 2007, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta, Prenada Media.

-------------, 2007, Kaidah-Kaidah Fiqih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta, Kencana, Jakarta.

Al-Zarkasyi, 1985, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Kuwait, Kementerian Waqaf.

--------------, 2000, al-Bahru al-Muhith, Beirut, Dar al-Kutub.

Al-Syatibi, 1997, al-Muwafaqat, Cairo, Dar Ibni ‘Affan.

Az-Zuhaili, Wahbah, 1982, At-Tafsiir Al-Wajiiz, Beirut: Dar el Fikr.

Al-‘Iz Abdul Salam, 1991, Qawa’id al-Ahkam, Cairo, Maktabah al-Kulliyyat al-
Azhariyyah.

Al-Jizani, 1427H, Ma’alim Ushul Fikih, Kairo, Dar Ibni al-Jauzi,

Al-Jurjani, 1403H-1983M, Kitab al-Ta’rifat, Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Raisuni 1992, Nazariyyah al-Maqasid ‘Inda al-Imam al-Syatibi, Beirut, al-Dar


al-Alamiyyah.

Al-Subki, 1991, al-Asybah wa al-Nazair, Beirut, Dar al-Kutub.

-----------, 1992, Al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut, Dal al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 71


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk
Al-Winsyirisi, 2006, Idhah al-Masalik, Beirut: Dar Ibnu Hazm.

Al-Qahtani, 2000, Majmu’ah al-Fawaid al-Bahiyyah, Riyadh, Dar al-Sumai’i.

Al-Zuhaili, 2006, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa Tatbiqatuha, Damaskus, Dar al-


Fikri.

Ibnu Taimiah, 1995, Majmu’ al-Fatawa, al-Madinah, Mujamma’ al-Malik al-


Fahd.

Ibnu al-Qayyim, 1423H, Ilamu al-Muwaqqi’in, Riyadh, Dar Ibni al-Jauzi.

Ibnu al-Mulaqqin, 2010, Riyadh, Dar Ibnu al-Qayyim.

Ibnu Nujaim, 1999, al-Asybah wa al-Nazair, Beirut, Dar al-Kutub.

Joseph Sehacht 1964, An Introduction To Islamic Law, Oxford: Universitas


Press.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, 1993, filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan


Bintang.

Musthafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin Mitsu, Al-wafi (Menyelami Makna 40


Hadis Rasulullah), diterjemahkan oleh Muhil Dhofir, Lc, Daar Ibnu Katsir,
Damaskus-Beirut, 1418H-1998M.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Dar Al-Fikri Al-Arabi.

Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhahi


Qawaid Al-Fiqh Al-Kulliyah.

-------------, 2003, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Beirut, Muassasah al-


Risalah.

72 FIQH BERLALU LINTAS


B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan


Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025).

C. Jurnal-Jurnal

Jurnal Republika Dakwah.

D. Internet

Lihat Kompilasi Fatwa Syeikh Bin Baz, Nur ‘Ala a’-Dharb,


www.binbaz.org.sa.
www.fiqihmuslim.com, Hadits-Tentang-Niat

KBP Dicky Sondani, S.I.K., M.H 73


Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H, dkk

Anda mungkin juga menyukai