Studi Kasus Perbuatan Melawan Hukum Kasus Pembunuhan Munir Dari Aspek Hukum Perdata Internasional
Studi Kasus Perbuatan Melawan Hukum Kasus Pembunuhan Munir Dari Aspek Hukum Perdata Internasional
Perdata Internasional
Oleh: Kardoman Tumangger, dkk
BAB I
Dalam banyak kejadian perbuatan melawan hukum, misalnya pembunuhan berencana yang
akibatnya diatur oleh hukum pidana, maka sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Pasal 340 maka akan dijatuhkan pidana sesuai dengan ancaman dalam undang-
undang tersebut. Penjatuhan pidana dianggap sudah setimpal atau adil dengan perbuatan
yang telah dilakukan pelakunya dengan pertimbangan-pertimbangan oleh hakim. Hal ini
memang sesuai dengan salah satu teori penjatuhan pidana yaitu teori pembalasan
(vergeldings theorie) yang mengatakan bahwa pidana tidak bertujuan untuk hal yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat, kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-
unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, tidaklah perlu untuk
memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat
dijatuhkannya pidana kepada pelanggar.
Pemikiran umum seperti ini ternyata bagi sebagian orang masih dianggap belum adil.
Karena kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain selain menimbulkan
penderitaan terhadap korban juga yang menimbulkan kerugian. Dan hal ini sudah
diantisipasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang sampai
sekarang masih berlaku di Indonesia. Dalam salah satu pasalnya, yaitu Pasal 1370 : “Dalam
halnya suatu pembunuhan dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang maka
suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban, yang lazimnya mendapat
nafkah dari si korban yang mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai
menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.” Aturan ini
menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum selain mengandung aspek pidana juga
mengandung aspek perdata yaitu terkait ganti kerugian.
Kasus pembunuhan aktivis HAM Indonesia, pendiri KontraS dan Imparsial, Munir Said Thalib
(39) yang diduga diracun arsenik dari mie goreng yang dikonsumsinya di Bandara Changi,
Singapura merupakan salah satu kasus Hukum Perdata Internasional. Munir yang dalam
perjalanannya untuk melanjutkan studi pasca sarjana ke Belanda, meninggal di dalam
pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA 974 di sekitar daerah Madras setelah akhirnya
mendarat di Bandara Schippol, Amsterdam. Setelah di otopsi oleh Institut Forensik Belanda
(NFI), dinyatakan bahwa di dalam tubuhnya terkandung racun arsenik dengan jumlah dosis
yang dapat berakibat fatal. Kasus pembunuhan ini menarik untuk dibahas, karena sepanjang
sepengetahuan Tim Penulis, kasus ini lebih sering diperbincangkan dalam konteks hukum
pidana saja (terutama pengungkapan kebenaran materiilnya). Oleh karena itu, Tim Penulis
ingin menguraikan bahwa di dalam kasus ini juga terkandung aspek hukum lain, yaitu aspek
hukum perdata internasional.
B. Kasus Posisi
Munir Said Thalib (39) berkewarganegaraan Indonesia, meninggal pada tanggal 7 September
2004 dalam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor GA 974 yang terbang dari Bandara
Soekarno Hatta, Jakarta menuju Bandara Schippol, Amsterdam tanggal 6 September 2004.
Di dalam perjalanan sebelum transit di Bandara Changi, Singapura, Munir memakan mie
goreng yang kemudian diketahui mengandung racun arsenik dengan konsentrasi tinggi.
Dalam melanjutkan perjalanan ke Belanda, dua jam sebelum mendarat di Bandara Schippol
Amsterdam, Munir diketemukan tewas.
Dalam kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib (39) ini, istri Munir (Suciwati) juga
berkewarganegaraan Indonesia dan keluarga menjadi pihak korban (sekaligus penggugat)
mempunyai hak untuk menggugat secara perdata kepada PT Garuda Indonesia (tergugat I),
Indra Setiawan (Tergugat II), Ramelgia Anwar (Tergugat III), Rohainil Aini (Tergugat IV),
Pollycarpus Budihary Priyanto (Tergugat V), Yetti Susmiarti (Tergugat VI), Oedi Irianto
(Tergugat VII), Brahmanie Hastawati (Tergugat VIII), Pantun Matondang (Tergugat IX),
Madjib Radjab Nasution (Tergugat X), Sabur M. Taufik (Tergugat XI) atas gagalnya
memberikan pelayanan yang aman, nyaman dan selamat kepada penumpang.
BAB II
A. Masalah Hukum
Dalam kasus pembunuhan terhadap Munir ini, dimana Tim Penulis akan menarik aspek
perdata internasionalnya, ada beberapa masalah hukum yang akan Tim Penulis uraikan,
yaitu:
1) Pengadilan manakah yang berwenang mengadili kasus ini?
2) Apa yang menjadi titik taut primer (titik taut pembeda) kasus ini sehingga merupakan
kasus perdata internasional?
3) Apakah klasifikasi kasus ini dalam hukum perdata internasional?
4) Apa yang menjadi titik taut sekunder (titik taut penentu) kasus ini untuk menentukan
hukum mana yang berlaku?
5) Apakah lex cause kasus ini?
B. Tinjauan Teoritik
Berikut ini, Tim Penulis akan menjelaskan mengenai asas, kaidah, teori, doktrin, konsep yang
relevan dengan masalah yang dibahas yaitu Pebuatan Melawan Hukum yang disarikan dari
buku “Pengantar Hukum Perdata Internasional Buku ke VIII” karangan Prof. Dr. Sudargo
Gautama, S.H.
1. Pengertian Istilah
Istilah perbuatan melanggar hukum dikenal dalam bacaan HPI sebagai onrechtmatigedaad
(Belanda), Perancis “delit” atau acte illicit dengan istilah kumpulan “obligations delictuelles
et quasi delictuelles, obligations quasi contractuelles, obligations purement legalis”,
unerlaubte handlungen” (Jerman).
Kaidah-kaidah HPI yang mengatur materi-materi ini tidak semata-mata dibataskan kepada
perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja, karena
kesalahan pihak yang melakukan, baik dengan sengaja (intentional) atau hanya karena
kelalaian (negligence). Istilah untuk kategori ini adalah “quasi delicts” tetapi, kini pada
umumnya pengertian-pengertian yang dipergunakan dalam rangka “perbuatan melanggar
hukum” dalam bacaan HPI tidak membedakan secara tegas antara kedua bagian ini. Juga
tanggung jawab yang disebabkan karena perbuatan melanggar hukum tanpa kesalahan
termasuk di sini.
Di sini orang teringat kepada “tanggung jawab karena resiko”. Orang dapat melakukan
perbuatan yang menurut hukum sama sekali sah adanya adanya, tetapi toh hal ini bisa
menyebabkan kerugian bagi orang lain. Jika ia terjadi maka ia harus pula menanggung resiko
untuk mengganti kerugian itu.
Kaidah “lex loci delicti” merupakan kaidah yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa
menemukan tantangan sedikitpun. Kaidah ini dianggap terlalu kaku sebagai “hard and fast
rule” kurang memperlihatkan “souplesse” yang demikian diperlukan bilamana hendak
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hukum yang demikian aneka warnanya dalam realitas
kehidupasn sehari-hari.
Hukum yang berlaku untuk peruatan melanggar hukum ialah hukum dimana perbuatan itu
dilakukan atau terjadi. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya (jadi
mengenai pertanyaan apakah telah terjadi suatu perbuatan melanggar hukum ialah
onrechtmatigheidsvraag)” maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat daripadanya.
Dengan kata lain tidak diadakan perbedaan antara “syarat-syarat” untuk perbuatan
melanggar hukum dan akibat-akibat hukumnya.
Terhadap teori klasik yang diuraikan tadi menurut Wachter dan Savigny telah dipupuk
pendirian bahwa dalam perkara-perkara perbuatan melanggar hukum selalu harus
dipergunakan hukum dari forum sang hakim. Hal ini disebabkan karena kaidah-kaidah yang
mengatur persoalan perbuatan melanggar hukum dan akibat-akibatnya mengenai
pergantian kerugian adalah bersifat demikian memaksa, karena segi-segi ethisnya, hingga
hakim dari setiap negara tak akan dapat menyimpang dari padanya.
Kaidah-kaidah perbuatan melanggar hukum dari negara lain tak akan dipergunakan. Pikiran
ini adalah sejalan dengan pendapat bahwa perbuatan melanggar hukum dari negara lain tak
akan dipergunakan. Pikiran ini adalah sejalan dengan pendapat bahwa perbuatan melanggar
hukum ini bersifat kriminal pula, setidak-tidaknya segi-segi kepidanaan ini memengaruhi
dengan sangat Lex Fori ini juga menentukan kompetensi hakim.
Untuk HPI indonesia umumnya dikenal pula pemakaian prinsip “Lex Loci delicti” sebagai
prinsip umum. Hal ini dapat kita saksikan dari pendirian para penulis dan juga dalam
yurisprudensi walaupun perkara-perkara yang kita saksikan tak banyak. Telah disebutkan
dalam rangka pembicaraan mengenai titik-titik taut beberapa keputusan yurisprudensi
Indonesia yang memakai hukum tempat dimana perbuatan telah dilakukan.
Dalam suasana HAG, dimana batas-batas hukum yang berlaku atas ukuran-ukuran personal
(HAG= interpersoneel recht, interpersonal law) maka dapat dikatakan telah terpuruk dalam
yurisprudensi suatu kaidah yang pasti, bahwa dalam persoalan-persoalan perbuatan
melanggar hukum yang dipakai ialah “hukum dari pihak si pelanggar”. Untuk menentukan
apakah dan seberapa jauh telah terjadi perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigheidsvraag) telah dipergunakan pula hukum dari pihak sang korban.
Pemakaian azas “hukum dari pihak yang melanggar” boleh dikatakan pasti adanya. Hanya
sebagai pengecualian kadang-kadang dapat dipakai perlunakan dengan memakai hukum
pihak yang lain (yakni dari sang korban), apabila pihak pelanggar ternyata telah “masuk ke
dalam suasana hukum dari pihak lain”itu.
Pada latar belakang semua keberatan-keberatan yang diajukan terhadap teori klasik
mengenai lex loci delicti commissi ini nampak ketidakpuasan dengan sikap kaku (rigide),
yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara otomatis oleh pihak hakim,
sebagai “hard and fast rule”, tanpa memperhatikan “keadaan sekitarnya” peristiwa
bersangkutan, tak adanya “souplesse” atau “soupelheid” sedikitpun.
Kaidah utama yang termaktub dalam paragrap 379 “Restatement of the Law of Conflict of
Laws as adopted and promulgated by the “American Law Institute” yang telah ditambahkan
dengan perincian titik taut secara enunsiatip, yakni :
1. the place where the injury occured,
2. the place where the conduct occured,
3. the domicilie, nationality, place of incorporation and place of business of the parties, and
4. the place where the relationship, if any between the parties is centered.
Nilai dari titik-titik taut ini adalah relatif.
Dalam Konsep Rancangan E. W. Benelux pasal 18 mulai ayat pertamanya menunjuk Lex Loci
Delicti yang berlaku untuk “onrechtmatigheidsvraag’ dan juga untuk akibat-akibatnya.
BAB III
Adapun pertimbangan yang dipakai oleh hakim dalam memutus perkara ini secara singkat
adalah sebagai berikut:
1. Untuk petitum angka I “Menerima dan mengabulkan gugatan PENGGUGAT untuk
seluruhnya” maka majelis hakim akan mempertimbangkan apakah penggugat dapat
membuktikan dalil-dalil gugatannya sehingga petitum gugatan dapat dikabulkan.
2. Untuk petitum angka II “Menyatakan bahwa TERGUGAT I, TERGUGAT II, TERGUGAT III,
TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI, TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, TERGUGAT IX,
TERGUGAT XI dan TERGUGAT X telah melakukan perbuatan melawan hukum” majelis hakim
memberi pertimbangan antara lain:
• Tergugat I harus bertanggung jawab pula terhadap perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tergugat IX.
• Tergugat IX selaku pribadi dan pilot GA 974 Singapura-Amsterdam dipandang telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
• Tergugat II selaku pribadi dan Dirut PT Garuda Indonesia 2002-2005 tidak dapat dikatakan
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
• Tergugat III, IV, V, VI, VII, VIII, X, XI tidak memiliki peranan dalam kelalaian tergugat IX
karenanya tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
• Tergugat I bertanggung jawab atas ganti rugi atas kelalaiannya.
3. Untuk petitum III “Memerintahkan Para TERGUGAT meminta maaf kepada PENGGUGAT
melalui 5 Media cetak yaitu : KOMPAS, KORAN TEMPO, Jawa Pos, Suara Pembaharuan dan
JAKARTA POST dan 7 media elektronik yaitu, SCTV, TRANS TV, RCTI, INDOSIAR, METRO TV,
TV 7, LATIVI yang format dan isinya ditentukan oleh PENGGUGAT selama 7 hari berturut-
turut”; petitum IV “Memerintahkan TERGUGAT I untuk melakukan pemeriksaan independen
terhadap kinerja TERGUGAT II, TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT V, TERGUGAT VI,
TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, TERGUGAT IX, TERGUGAT XI, TERGUGAT X dan kru pesawat
dalam penerbangan GA 974 tanggal 6 September 2004. Pemeriksa independen yang
dimaksud harus melibatkan unsur akademisi, ahli penerbangan, ahli manajemen
perusahaan, dan sepuluh perwakilan dari NGO yang terkait dengan Munir”; petitum V
“Memerintahkan TERGUGAT I membuat Monumen Peringatan atas Kematian Aktivis HAM
Munir dalam Pesawat GA 974 di halaman kantor TERGUGAT I sesuai dengan gambar dan
ukuran yang ditentukan oleh PENGGUGAT”; petitum VI “Memerintahkan TERGUGAT I
mengeluarkan peringatan kepada masyarakat tentang keselamatan naik garuda yang berisi
pernyataan salah satunya “PERNAH JATUH KORBAN PERACUNAN DALAM PESAWAT INI”.
Peringatan tersebut harus dicetak dalam seluruh tiket beserta dan seluruh benda yang
terkait dengan penerbangan TERGUGAT I”; petitum VII “Memerintahkan TERGUGAT I
melakukan perbuatan hukum berupa penjatuhan sanksi administratif/kepegawaian sesuai
dengan tingkat kesalahan masing-masing terhadap TERGUGAT III, TERGUGAT IV, TERGUGAT
V, TERGUGAT VI, TERGUGAT VII, TERGUGAT VIII, TERGUGAT IX, TERGUGAT XI dan
TERGUGAT X” semuanya dari petitum yang telah tersebut diatas tidak beralasan hukum dan
karenanya harus ditolak.
4. Untuk petitum angka VIII “Menghukum PARA TERGUGAT secara tanggung renteng untuk
membayar segala kerugian yang dialami oleh PENGGUGAT, yakni sebesar Rp.
14.329.107.500 (Empat Belas Milyar Tiga Ratus Dua Puluh Sembilan Juta Seratus Tujuh Ribu
Lima Ratus Rupiah)” majelis hakim berpendapat para tergugat secara tanggung renteng
untuk membayar ganti rugi.
5. Untuk petitum IX “Menyatakan sah dan berharga sita lebih dulu yang telah diletakkan
atas barang-barang yang bersangkutan” tidak beralasan hukum karenanya harus ditolak.
6. Untuk petitum XI “Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
meskipun ada upaya verzet, banding, kasasi; perlawanan dan/atau peninjauan kembali
(uitvoerbaar bij Voorraad)” tidak memenuhi syarat-syarat dalam perkara aquo maka
petitum ini tidak beralasan hukum dan karenanya harus ditolak.
B. Putusan
Adapun putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim dalam perkara ini antara lain:
Dalam eksepsi: menolak eksepsi para tergugat.
Dalam pokok perkara:
1. Mengabulkan gugatan tergugat sebagian.
2. Menyatakan tergugat I : PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia dan
tergugat IX : Pantun Matondang, telah melakukan perbuatan melawan hukum.
3. Menghukum tergugat I dan IX secara tanggung renteng untuk membayar kerugian yang
dialami penggugat sebesar Rp. 664.209.900,-
4. Menolak gugatan penggugat untuk selebihnya.
Dalam rekonpensi: menolak gugatan rekonpensi seluruhnya.
Dalam konpensi dan rekonpensi: menghukum tergugat I dan IX dalam konpensi/ para
penggugat dalam rekonpensi untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.644.000,-
BAB IV
ANALISIS KASUS
1. Fakta Hukum
Dalam kasus pembunuhan terhadap Munir Said Thalib (39) ini, istri Munir (Suciwati) juga
berkewarganegaraan Indonesia dan keluarga menjadi pihak korban (sekaligus penggugat)
mempunyai hak untuk menggugat secara perdata kepada PT Garuda Indonesia (tergugat I),
Indra Setiawan (Tergugat II), Ramelgia Anwar (Tergugat III), Rohainil Aini (Tergugat IV),
Pollycarpus Budihary Priyanto (Tergugat V), Yetti Susmiarti (Tergugat VI), Oedi Irianto
(Tergugat VII), Brahmanie Hastawati (Tergugat VIII), Pantun Matondang (Tergugat IX),
Madjib Radjab Nasution (Tergugat X), Sabur M. Taufik (Tergugat XI) atas gagalnya
memberikan pelayanan yang aman, nyaman dan selamat kepada penumpang.
Pengadilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah Pengadilan Indonesia, karena:
a.Forum rei (domisili) para tergugat di Jakarta, Indonesia;
b.Berdasarkan principle of basis presence yaitu gugatan diajukan di pengadilan tempat
tergugat dan penggugat berdomisili;
c.Berdasarkan principle of convenience, yaitu tergugat diberi kemudahan untuk membela
diri;
d.Berdasarkan principle effectiveness yaitu agar putusan dapat efektif dilaksanakan;
e.Prinsip lex loci delicti commis, yaitu tempat terjadinya perbuatan melawan hukum
dilakukan berada di pesawat Indonesia yaitu Garuda Indonesia.
f.Prinsip lex fori, yaitu hukum dari hakim (Indonesia) yang mengadili.
g.Pengadilan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Indonesia.
Unsur-unsur yang menandakan adanya unsur asing, sehingga ada kemungkinan suatu
kaidah hukum asing yang berlaku bagi suatu peristiwa hukum , dinamakan titik-titik taut,
atau titik pertalian, atau anknupfungspunkte, atau points of contact, atau test factors, atau
connecting factors, atau points de rattachement (Perancis). Titik taut primer adalah unsur-
unsur yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa Hukum
Perdata Internasional atau bukan. Jadi titik taut primer adalah titik taut yang membedakan
Hukum Perdata Internasional itu dari peristiwa intern (bukan Hukum Perdata Internasional).
Oleh sebab itu, maka titik taut primer juga dinamakan titik taut pembeda.
Dalam kasus pembunuhan Munir ini, titik taut primer yaitu tempat keberangkatan Bandara
Soekarno Hatta (Indonesia), tempat diracuni di Singapura, tempat merasakan sakit di
Madras, tempat meninggalnya di Belanda.
4. Klasifikasi/ Kualifikasi
Klasifikasi atau kualifikasi adalah penggolongan peristiwa atau hubungan hukum ke dalam
kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional dan hukum materiil. Dalam kaidah hukum
materiil Indonesia dikenal permasalahan hukum perdata internasional dibagi dalam empat
klasifikasi, yaitu:
1) Hukum orang;
2) Hukum benda;
3) Hukum perjanjian;
4) Hukum perbuatan melawan hukum;
Dalam kasus pembunuhan Munir ini, klasifikasi permasalahan adalah perbuatan melawan
hukum, dimana dalam diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Dikatakan perbuatan melawan
hukum yaitu apabila mengandung unsur:
a. Adanya perbuatan yang mengandung kesalahan;
b. Perbuatan itu menimbulkan kerugian;
c. Ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Titik taut sekunder yaitu akan menentukan hukum manakah yang harus berlaku bagi
peristiwa Hukum Perdata Internasional itu. Karena itu, titik taut sekunder ini juga biasa
dinamakan titik taut penentu.
Titik taut sekunder dapat berupa:
1.Pilihan hukum (choice of law);
2.Tempat terletaknya benda (lex sitae);
3.Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis);
4.Tempat dilangsungkannya perkawinan (lex celebretionis);
5.Tempat ditanda tanganinya kontrak (lex loci contractus);
6.Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)
Dalam kasus Munir ini, yang menjadi titik taut sekunder yaitu:
a. Tempat terjadinya peristiwa/ tempat meninggalnya di Belanda;
b. Tempat diracuninya di Singapura di dalam pesawat Garuda Indonesia berbendera
Indonesia;
c. Tempat perbuatan melawan hukum di Madras.
6. Lex Cause
Hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia. Berkaitan dengan hukum yang berlaku bagi
perbuatan melawan hukum, maka terdapat beberapa prinsip:
*Berdasarkan prinsip ini, maka dalam kasus Munir actionability dapat dibuktikan penggugat
(Suciwati) sedangkan justifiability juga terpenuhi dimana perbuatan pembunuhan yang
dilakukan dapat dihukum.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarakan uraian Tim Penulis diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1) Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Indonesia.
2) Yang menjadi titik taut primer (titik taut pembeda) kasus ini sehingga merupakan kasus
perdata internasional adalah tempat diracuninya (Singapura), tempat merasakan sakit
(Madras), dan tempat meninggalnya (Belanda).
3) Klasifikasi kasus ini dalam hukum perdata internasional adalah perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad).
4) Yang menjadi titik taut sekunder (titik taut penentu) kasus ini untuk menentukan hukum
mana yang berlaku adalah adalah tempat diracuninya (Singapura), tempat merasakan sakit
(Madras), dan tempat meninggalnya (Belanda).
5) Lex cause kasus dalam kasus ini adalah Hukum Indonesia.