Tanggal 18 September 2013 merupakan hari pertama kami sampai di Distrik
Ilugwa, Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua. Udara sejuk dan wajah-wajah asing menyambut kita dengan senyum dan perlakuan yang sangat baik, mereka dengan seragam putih biru dan putih abu-abu yang kusut datang membawakan koper dan tas besar kami selepas kami turun dari angkutan menuju rumah kepala sekolah SMP Negeri Ilugwa. Sosok seorang ibu yang sedang menyapu tampak di dalam rumah dan mempersilahkan kami masuk, inilah rumah yang disediakan untuk kami berlima untuk satu tahun kedepan. Setelah acara penyerahan dan penerimaan dari pihak LPTK UNESA ke kepala sekolah selesai, rombongan panitia SM3T meninggalkan Ilugwa dan kami. Handphone yang kami bawa sudah tampak tak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya bisa untuk alat dokumentasi dan dengan daya yang sudah terbatas. Kami menata barang bawaan kami stelah itu melaksanakan ibadah dan istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa lelah perjalanan sekitar 3 jam dari Wamena. Sore hari kami jalan-jalan di sekitar sekolah yang entah tidak tau kemana tujuannya. Tampak bahwa tempat ini dikelilingi oleh gunung, mirip dengan kuali raksasa, itulah kesan pertama yang ku dapatkan di tempat ini. Tidak jauh kami berjalan kaki, kami bertemu dengan salah satu warga ilugwa, setelah bersalaman kami berbincang-bincang tentang ilugwa, dalam percapakan tersebut kami memanggilnya dengan kata “bapak” karena dari raut wajah, laki-laki tersebut sepertinya sudah bapak-bapak. karena matahari sudah hampir terbenam kami bergegas untuk kembali pulang dan memasak nasi untuk makan malam. Malam hari, lilin yang saya bawa akhirnya menyala dan menjadi satu-satunya penerangan yang kami miliki, sepi dan gelap itulah yang kami rasakan, dalam sujud dan doa kami meneteskan air mata, kami berdoa bersama-sama agar diberikan kesabaran untuk bisa melalui tugas ini dengan baik dan memberikan yang terbaik untuk tempat ini. Makan malam seadanya dengan lauk potongan tempe goreng yang kecil-kecil dengan sedikit bumbu pecel, kami bersyukur dan menikmati makanan itu bersama- sama. Malam yang dingin dan gelap menemani tidur kami, kami tidur tanpa kasur, hanya beralaskan karpet yang lantainya terbuat dari kayu, yah ini malam pertama kami di ilugwa, tetap semangat. Pagi hari sekitar jam setengah 7 kami bersama-sama ke sekolah yang letaknya sangat dekat dari rumah yang kami tempati, disambut dengan beberapa guru. pagi ini kami memperkenalkan diri dari kelas 1sampai kelas 3 SMP, saya sangat senang sekali dengan sambutan dan senyuman yang mereka suguhkan kepada saya. Wajah-wajah yang serasa masih sangat asing dan terlihat mirip satu dengan yang lainnya, dengan ciri khas mereka rambut kriting, kulit hitam dan sebagian besar dari mereka yang masih beringus, ingus yang hampir membentuk angka sebelas, itulah kesan pertama kali yang saya dapatkan dari pekenalan dari siswa SMP, setelah istirahat kami memperkenalkan diri di kelas SMA. Sekolah ini SMP dan SMA nya satu atap jadi memudahkan jika mengajar di SMP dan SMA, saya perhatikan satu persatu mereka, tinggi besar dan berotot, sekilas memang tampak tua dibandingkan umurnya. Sayapun terkejut ketika melihat seorang siswa yang duduk di belakang, ternyata orang yang kemarin mengobrol dengan kami itu adalah siswa kami yang telah kami panggil bapak, malu rasanya.
Sabtu 21 September, Persediaan makanan kami sangat menipis, tidak
mungkin bisa sampai hari minggu, maka dari itu kami sepulang sekolah bergegas untuk berangkat ke kota, yah inilah pedalaman, tidak ada kios apalagi mall. Untuk bisa sampai di kota saja kami sangat kesulitan untuk mendapatkan angkutan karena tidak setiap hari ada angkutan masuk, jalan yang masih sangat rusak juga menyebabkan mobil angkutan jarang masuk ke distrik ini. Maka dari itu kami diantar ke daerah sebelah yang mungkin ada mobil angkutan. Diantar oleh siswa kami yang kebetulan satu arah dengan rumahnya. Naik bukit, turun bukit, naik bukit lagi, turun lagi, itulah perjalanan yang kami lakukan untuk bisa menemukan angkutan, dalam hati masih bertanya-tanya tentang ada atau tidaknya angkutan. Murid kami yang bernama Yeski mengatakan bahwa dekat saja untuk bisa sampai ke tempat itu, yah 2 jam perjalanan kaki menaiki dan menuruni bukit, perjalanan ini menurut kami sangatlah jauh tetapi bagi dia yang biasa berjalan kaki, ini dekat. Kejadian ini kami membuat kita mengatahui adanya perbedaan persepsi ukuran jauh-dekat bagi kami dengan orang Papua. Yeski juga mengatakan, kalau gunung yang masih terlihat itu jaraknya dekat, yang jauh itu jika sudah tidak kelihatan dan waktu berjalannya bisa sehari semalam, jadi sampai sekarang kami masih bertanya beberapa kali jika siswa yang mengajak kami jalan-jalan. Sesampainya di tempat biasa mobil angkutan parkir, kami istirahat minum untuk yang kesekian kalinya, dan Yeski mengatakan bahwa mobil tidak ada, kamipun berfikir, akan kemana kami ini. Kegelisahan kita terhapuskan oleh penampakan mobil yang keluar dari gereja. Yeski berteriak, sentak mobil besar itu berhenti. Kami meminta izin jika boleh, kami ingin ikut mobil itu ke kota. Senyum ramah dari pengemudi mobil besar itu di sertai dengan mengizinkan kami menumpang di mobilnya. Kami berlima ada di bak belakang, semua mobil yang berada disini adalah mobil 4WD, karena jalannya masih sangat sulit dan tidak akan mampu bisa dilalui oleh mobil-mobil biasa, yang ketika kita sudah di atas mobil, kita sama dengan naik roller coster, meneganggangkan sekali rasanya. Sesampainya di Wamena, kami menginap di kediaman tante Diah, salah satu saudara dari salah satu teman SM-3T kita. Sabtu dan minggu kami pergunakan untuk belanja berbagai keperluan kita seperti beras, gula, minyak tanah, lilin dan bahan makanan lainnya untuk keperluan kita selama satu bulan di Ilugwa. Senin 23 September, pagi hari sekitar jam 6 kami pamitan ke tante untuk kembali kepedalaman, kami membawa beras dan lain-lain ke terminal Potikelek, letaknya lumayan jauh dan kami pun membawa bawa barang bawaan yang berat. Sesampainya di terminal, kami menghubungi lagi keluarga dan pacar selagi signal dan baterai handphone masih ada, karena perbedaan waktu 2 jam, di jawa masih subuh dan sayapun pamitan kepada ibu dan berpesan agar selalu tenang karena saya akan baik-baik saja selama di pedalaman. Lama menunggu, akhirnya mobil Strada Triton merah, angkot kami jalan juga, 30 menit perjalanan signal sudah hilang, sayapun masih sempat smsn dengan pacar saya, saling menguatkan dan saling berpesan agar selalu sabar dan setia meski waktu dan jarak yang memisahkan. Setelah perjalanan 3 jam lebih yang menegangkan kamipun sampai di Ilugwa, Alhamdulillah kami turun di dekat sekolah dan tempat tinggal kami, untuk yang kedua kalinya murid-murid kami membawakan barang bawaan kami yang sangat banyak. Handphone yang telah kami matikan kami simpan dengan harapan jika nanti kami jalan-jalan, dapat kami gunakan sebagai alat dokumentasi. Jumat, 11 Oktober 2013, siang hari sepulang dari sekolah kami bersiap-siap untuk berangkat ke Kota, sesuai dengan rapat koordinasi kami turun ke kota bersama- sama. Kami berkumpul dan menginap kembali di kediaman tante Diah, 15 anak tidur di ruang tamu, rasanya kami sangat bersyukur bisa mendapatkan tempat untuk bermalam meskipun tidur hanya beralaskan karpet. Sabtu, 12 Oktober 2013, pagi ini cuaca wamena cerah sekali, handphone signal dan baterai telah tersedia, menghubungi keluarga kembali adalah salah satu kegiatanku. Sore hari kami bersama-sama membeli makan di salah satu warung makan di jalan Trikora, Warung Tulungagung namanya, belum selesai kami makan ada beberapa orang pribumi papua berselisih dan saling pukul di depan warung, sontak sayapun kaget dan melihat kejadian itu, tak lama satu dari mereka mengeluarkan parang dan tak lama parang panjang tersebut di tusukkan ke orang yang berada di depannya, saya dan beberapa dari kami melihat kejadian itu dengan sangat jelas, selang beberapa detik orang yang tertusuk tersebut masuk ke dalam warung dan jatuh terkapar, darah mengucur deras membasahi lantai, kami sangat ketakutan melihat kejadian tersebut. Pengalaman pertama kali dan paling buruk yang kami rasakan, was-was dan takut selalu kami rasakan ketika berada di kota Wamena. Tindakan kriminal di kota ini memang tinggi, entah mungkin dari pola pikir atau pendidikan masyarakat sekitar yang masih rendah. Hari-hari yang kami lalui di ilugwa adalah hari-hari tak mungkin terlupakan dari mulai dari pagi hari sampai malam hari, pagi hari kegiatan kita di awali dengan sholat subuh, memasak nasi, sarapan, mandi dan berangkat ke sekolah. Kegiatan belajar mengajar yang kami rasakan berbeda dengan kegiatan belajar mengajar di Jawa, keterbatasan-keterbatasan yang kami rasakan dalam metode pembelajaran, media pembelajaran, namun semangat kami tetap kami jaga. Masing-masing dari kami mengajar lebih dari satu mata pelajaran, hal ini diakibatkan banyaknya guru PNS dan honorer yang tidak aktif mengajar. Rasa letih dan lelah seakan terbayarkan karena semangat dan antusias murid- murid kami dalam menerima pelajaran, meskipun dalam menerima pelajaran mereka sangat lambat, tetapi kami tetap bersabar dan mengulang sampai mereka mengerti dan paham atas materi yang kami sampaikan. Siang hari sekitar jam setengah dua aktivitas belajar mengajar di sekolah selesai. Sebelum pulang mereka apel di depan lapangan sekolah, kami pun tak bosan-bosannya memberikan motivasi dan semangat bagi mereka. Kegiatan di rumah kami langsung mencuci piring dan melakukan bersih-besih di kali kecil yang alhamdulillah letaknya tidak jauh dari tempat tinggal kami. Setelah sholat duhur kami makan siang dan istirahat sejenak. Ketika jam 3 sore kami mengisi kegiatan les bagi siswa-siswi SMP guna menambah pengetahuan dan wawasan mereka, sampai jam 5 sore hari. Kecuali hari sabtu dan minggu kami tidak mengisi les, kami isi dengan olah raga seperti sepak bola dan voli. Malam hari kegiatan kami sangat terbatas karena memang tidak memungkinkan keluar rumah di malam hari dan penerangan yang sangat minim yang hanya menggunakan lilin. Kami melaksanakan ibadah dan kegiatan keagamaan secara bersama-sama. Sekitar jam 8 malam kami sudah terbiasa istirahat. Begitu kegiatan kami sehari-hari di ilugwa. Tanggal 12 Agustus 2014 sekolah mengadakan acara perpisahan, yang menandakan bahwa tugas kami di Ilugwa sudah selesai dan kami akan berpisah dengan murid-murid yang menemani kami selama satu tahun kemarin. Rasa haru dan sedih muncul ketika itu, banyak dari siswa-siswi kami yang menangis karena perpisahan ini, dan kami satu persatu memberikan pesan bagi mereka semua, agar tetap bersemangat dalam belajar dan meraih masa depan mereka. Mereka sangat termotivasi karena sudah ada 3 orang teman mereka yang berhasil melanjutkan sekolah di Jawa dengan biaya yang seluruhnya ditanggung oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Setelah acara perpisahan dengan siswa dan rekan guru selesai, kami bergegas untuk mengambil tas-tas besar kami yang akan kami bawa pulang ke jawa, tidak seberat awal kita sampai, karena sebagian baju dan sepatu yang kita miliki kami berikan untuk siswa-siswi kami yang tidak mampu. Untuk yang kesekian kalinya mereka membawakan tas dan koper kami ke jalan di mana mobil angkutan sudah menanti kami. Masih sangat tampak dari wajah mereka akan kesedihan dan kehilangan, begitu juga dari kami, kami sedih meninggalkan mereka namun kami bahagia karena sebentar lagi kami akan bertemu dan berkumpul lagi dengan keluarga kami. Ketika mobil melaju mereka semua melambaikan tangan dan kami sempat mendengar, terima kasih paguru, kamipun membalas dengan melambaikan tangan dan senyuman. Terima kasih ilugwa, banyak cerita yang kami dapatkan di daerah terpencil tersebut. Wah wah wah wah wah wah (Terima kasih)