Anda di halaman 1dari 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Kanker kepala dan leher adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan berbagai tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas (Boyle et al, 2008). Kanker kepala dan leher merupakan kanker berbahaya yang terjadi pada rongga hidung, sinus, rongga mulut, faring, laring, kelenjar ludah, tiroid, dan kulit kepala dan leher (American Cancer Society, 2008). Setiap tahun ada sekitar 560.000 kasus kanker kepala dan leher yang didiagnosis di seluruh dunia dan 300.000 pasien meninggal setiap tahunnya (American Cancer Society, 2007). Di Indonesia, belum ada data insidensi kanker kepala dan leher yang akurat dan mencakup seluruh keganasan kepala dan leher. Menurut Badan Registrasi Kanker Indonesia dibawah pengawasan Direktorat Jendral Kesehatan Republik Indonesia, kanker kepala dan leher menempati urutan keempat dari sepuluh besar keganasan pada pria dan wanita, serta urutan kedua dari sepuluh besar kanker tersering pada pria (Soekamto et al, 2003). Insidensi kanker kepala dan leher di RS Dr. Kariadi berdasarkan diagnosis Laboratorium Patologi Anatomi FK Universitas Diponegoro periode 1 Januari 200131 Desember 2005 adalah sebanyak 448 kasus. Kanker nasofaring merupakan diagnosis terbanyak. Rasio insidensi pria terhadap wanita adalah sebesar 5 : 4, dan paling banyak pada rentang usia 40-49 tahun (Wiliyanto, 2006). Secara histopatologi, lebih dari 90% kanker kepala dan leher adalah squamous cell carcinomas, jenis lainnya adalah mucoepidermoid carcinoma, adenoid cystic carcinoma, dan adenocarcinoma ( Ridge et al, 2003). Gambaran Histopatologi sangat berperan dalam menentukan modalitas terapi, Karsinoma nasofaring yang secara histopatologi dibagi menjadi 3 tipe keganasan yaitu karsinoma sel skuamosa (WHO 1) dan karsinoma tak berdiferensiasi (WHO2 danWHO 3), berdasarkan responnya terhadap terapi

radiasi, karsinoma nasofaring WHO 2 dan WHO 3 mempunyai respon yang lebih baik dibandingkan dengan karsinoma nasofaring WHO 1 (Yusmawan W et al, 2007) Di Aceh belum ada data tentang insidensi kanker kepala dan leher yang mencakup seluruh keganasan kepala dan leher. Karena pentingnya gambaran histopatologi dalam menentukan modalitas terapi yang tepat pada kanker kepala dan leher, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian, gambaran kanker kepala dan leher berdasarkan diagnosis histopatologi di RSUDZA Banda Aceh periode 1 Oktober 2008-30 Oktober 2011. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana gambaran histopatologi kanker kepala dan leher berdasarkan diagnosis PA di RSUDZA Banda Aceh periode 1 Oktober 2008-30 Oktober 2011. Tujuan Penelitian a. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran kanker kepala dan leher berdasarkan diagnosis histopatologi di RSUDZA Banda Aceh periode 1 Oktober 2008-30 Oktober 2011. b. Tujuan khusus Untuk mengetahui gambaran kanker kepala dan leher dan pola distribusi kasus kanker kepala dan leher berdasarkan jenis kelamin, usia, dan lokasi tumor. 1.3 Manfaat Penelitian a. Dapat digunakan sebagai informasi gambaran kanker kepala dan leher berdasarkan gambaran histopatologi di RSUDZA Banda Aceh. b. Dapat digunakan sebagai referensi epidemiologis untuk kepentingan penelitian selanjutnya.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1

Anatomi kepala dan leher A. Hidung luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung bagian luar

2.1.1. Hidung

menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan, dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). (Soetjipto & Wardani ,2007). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto & Wardani , 2007)

A. Hidung dalam Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapis oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise (Soetjipto & Wardani , 2008). Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan posterior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) Krista nasalis os maxila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) Kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela (Soetjipto & Wardani , 2008). 2.1.2 Sinus paranasal Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga didalam tulang, semua sinus mempunyai muara kerongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2008) Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemuadian berkembang secara cepat dan akhirnya mencapai ukura, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila , dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding posteriornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum(Soetjipto & Wardani ,2008). 2.1.3 Mulut Mulut terbentang dari bibir samapi ke isthmus faucicum, yaitu peralihan dari mulut dengan faring. Mulut dibagi dalam vestibulum oris, yaitu bagian antara bibir dan pipi disebelah luar dengan gusi dan gigi Geligi di sebelah dalam, dan cavitas oris propia yang terletak didalam arcus alveolaris, gusi dan gigi Geligi (Snell, 2006) 2.1.4 Faring Faring terletak dibelakan cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong dengan bagian atas yang lebar terletak dibawah dan bagian bawahnya

yang sempit dilanjutkan sebagai eshopagus sebagai vertebra servikalis enam. faring mempunyai dinding musculomembranosa yang tidak sempurna dibagian depan. Disini jaringan musculomembranosa diganti oleh aperture nasalis posterior, isthmus faucium ( muara kedalam rongga mulut), dan adytus laringes (Snell, 2006) A. Nasofaring Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, diatas palatum mole. Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anteririor, dinding posterior dan dinding lateral. Atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis oksipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis, terdapat didalam submukosa daerah ini. Dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharingeus adalah lubang didasar nasofaring diantara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior faring kedepan. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi. dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba audiotiva ke faring. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba (Snell, 2006) B. Orofaring Orofaring terletak pada pinggir belakang cavum oris, dan terbentang dari palatum molle, samapi kepinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral (Snell, 2006) Atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus faringeus. kumpulan kecil jaringan limfoid, terdapat didalam submukosa permukaan bawah pallatum molle. Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah yang hampir vertikal dan celah diantara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga posterior lidah terbentuk irreguler, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid dibawahnya, disebut tonsila lingual (Snell, 2006)

Dinding anterior terbuka kedalam rongga mulut melalui isthmus orofaring (istmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars faringeus linguale. Dinding posterior disokong oleh corpus vertebrata cervicalis kedua dan bagian atas corpus servikalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglosus yang terdapat dengan tonsila palatina diantaranya (Snell, 2006). 2.1.5 Laring laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentuka suara. Diatas laring terbuka kedalam laringofaring, dan dibawah laring berlanjut sebagai trakea (Snell, 2006) Kerangka laring terbentuk dari beberapa kartilago, yang dihubungakan oleh membrana dan ligamentum yang digerakkanoleh otot. Laring dilapisi oleh membrana mukosa (Snell, 2006) 2.1.6 Telinga Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah atau cavum timpani, dan telinga dalam atau labirin. Telinga dalam berisi organ organ pendengaran dan keseimbangan(Snell, 2006). A. Telinga luar Telinga luar terdiri atas auricula dan meatus acusticus eksternus. Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara. Auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula mempunyai otot intrinsik dan ektrinsik, keduanya disarafi oleh N. Facialis dan berfungsi mengumpulkan getaran udara.. Auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula mempunyai otot intrinsik dan ektrinsik, keduanya dipersarafi oleh N.facialis (Snell, 2006). Meatus acusticus eksternus adalah tabung berkelok yang menghubungkan auricula dengan membrana timpan. Tabung ini berfungsi menghantarkan gelombang suara dari auricula ke membran timpani. Pada orang dewasa panjangnya lebih kurang satu inci (2,5 cm), dan dapat diluruskan untuk memasukkan ototoskop dengan cara menarik auricula kebelakang atau keatas, atau kebawah dan kebelakang (Snell, 2006). B. Telinga tengah

Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang dilapisi oleh membrana mucosa. Ruang ini berisi tulang-tulang pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani (gendang telinga) ke perylympha telinga dalam. Cavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani. Telinga tengah mempunyai atap, lantai, dinding anterior, dinding posterior, lateral, dan dinding medial (Snell, 2006). C. Telinga dalam Telinga dalam terletak dipars petrosa ossis temporalis, medial terhadap telinga tengah, dan terdiri atas Osseus, tersusun atas sejumlah rongga didalam tulang, dan membranaceus, terdiri atas ductus dan saccus rongga membranossa didalam labirintus osseus (Snell, 2006). 2.1.7 Anatomi lidah Lidah adalah massa otot lurik yang ditutupi oleh membran mukosa. Dua pertiga bagian anteriornya terletak didalam mulut, dan sepertiga bagian posteriornya terletak di faring. Otot-otot meletakkan lidah ke prosesus syloideus dan palatum molle disebelah atas serta mandibula dan Os hyoideum di sebelah bawah, lidah dibagi menjadi belahan kanan dan kiri oleh septum fibrosum mediana (Snell, 2006). ` 2.2.7 Anatomi maksila dan mandibula Maksila merupakan tulang terbesar pada bagian wajah, dan terdiri dari dua tulang yang tergabung di media sutura. Maksila melebar ke bagian dasar dari orbital, dan bagian luar dari rongga hidung. Dari pinggir luar rongga hidung membentu atap mulut (Phinney, 2007). Mandibula terdiri dari corpus berbentuk tapal kuda dan sepasang ramus. Corpus mandibula bertemu dengan reamus masing-masing sisi pada angulus mandibula. Pada permukaan dasar digaris tengah korpus mandibula terdapat sebuah rigi yang menunjukkan gari fusi dari kedua (Phinney, 2007). 2.2 Jenis kanker kepala dan leher

2.2.1 Kanker hidung dan sinus paranasal

Tumor hidung dan sinus paranasal jarang terjadi. Diperkirakan insidensi pertahun dari tumor ini di Amerika serikat adalah kurang dari 1/100.000 orang. Beberapa factor lingkungan dicurigai berperan dalam perkembangan tumor dalam region sinonasal. Khususnya, tukang kayu, tukang sepatu, dan furniture, memiliki resiko pekerjaan untuk berkembangnya adenokarsinoma karna terhirupnya zat mutagen. Human papiloma virus (HPV) juga berhubungan dengan perkembangan karsinoma sel pipih. Walaupun mekanisme molekularnya belum diketahui pasien dengan HPV tipe 16 dan 18 memiliki resiko berkembangnya karsinoma ( Chaboki et al, 2008) Ada beberapa tahap staging morfologi proses patologi menuju adenokarsinoma pada kanker hidung, yaitu metaplasia dan dysplasia sebelum terjadinya karsinoma. Satu-satunya keluhan adalah hidung terasa buntu sebelah, dan biasanya tidak ada rasa nyeri. Pada kaneker sinus paranasal gejala awal yang didapatkan adalah hidung mampet sebelah, atau keluar cairan, perdarahan kecil atau tidak ada perdarahan, pada kanker sinus paranasal juga tidak didapatkan rasa nyeri, pertumbuhan lanjut kebawah dapat menyebabkan gigi graham lepas, sementara pertumbuhan kea rah lekuk mata dapat menyebabkan mata juling ( Dejong, 2005) Tahapan staging kanker rongga hidung dan sinus paranasal( Chaboki, et al, 2008) :
Sinus Maksila T1 T2 Kriteria

Tumor terbatasa pada mukosa sinus maksila dengan, tanpa erosi atau penghancuran tulang. Tumor menyebabkan erosi tulang atau penghancuran termasuk ekstensi ke palatum kerasa dan atau pertengahan meatus hidung kecuali ekstensi kedidinding posterior dari sinus maksila dan lempengan pterygoid Tumor menginvasi bagian-bagian berikut : tulang pada dinding posterior sinus maksila, jaringan sub kutan, lantai atau pertengahan dinding orbita, fossa pterygoid, sinus ethmoid. Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, lempengan ptrygoid, fossa intra temporal, lempengan klibiformis, sinus sphenoid, dan sinus frontal

T3

T4a

T4b

Tumor menginvasi bagian-bagian berikut, apeks orbita, dura, otak, fossa cranium, nervus cranial. Lebih dari divisi maksila nervus trigeminal (V), nasofaring.

Kanker rongga hidung dan sinus ethmoid T1 T2

Kriteria

Tumor terbatas pada satu tempat, dengan atau tanpa invasi ketulang Tumor menginvasi 2 tempat dalam satu region atau menyebar region didalam, kompleks naso ethmoidal, dengan atau tanpa invasi ketulang Tumor menginvasi dinding medial atau lantai dari orbital, sinus maksila, palatum, atau lempengan klibiformis. Tumor menginvasi kebagian-bagian berikut : bagian anterior orbital, kulit hidung atau pipi, penyebaran minimal kebagian fossa anterior cranium, lempengan trigoid, sinus sphenoid, atau frontal. Tumor menginvasi kebagian-bagian berikut : apeks orbital, dura, otak, fossa medial cranium, nervus kranialis, melebih divisi maksila dari nervus trigeminal ( VI2), nasofaring

T3 T4a

T4b

Nodus Limfe regional

NX N0 N1 N2a N2b N2c

Nodus limfe regional tidak dapat dinilai Tidak ada metastasi ke nodus limfe regional Metastasis ke satu nodus limfe ipsilateral, 3 cm atau kurang Metastasis ke satu nodus limfe ipsilateral, 3-6 cm Metastasis kebanyak nodus limfe ipsilateral, lebih dari 6 cm Metastasis ke nodus limfe bilateral atau kontralateral lebih

dari 6 cm N3 Metastasis kenodus limfe lebih dari 6 cm Metastasis jauh MX Metasatasis jauh tidak dapat dinilai M0 Tidak ada metastasis jauh M1 Ada metastasis jauh Sumber : Chaboki, H., Wanna, G.B., Westreich, R., Kao, J. 2008. Carsinoma of the Nasal
cavity and Paranal sinus. Dalam: Head and neck cancer. Thime: New York.

Klasifikasi karsinoma rongga hidung dan sinus paranasal berdasarkan histopatologi Carlson et al, 2011:

1. Karsinoma sel skuamosa a. Keratinizing b. Non keratinizing 2. Varian karsinoma sel skuamosa a. Acatholiytic squamous cell carcinoma b. Adenosquamous carcinoma c. Basaloid squamous carcinoma d. Papilary squamous cell carcinoma e. Spindle cell squamous cell carcinoma f. Verrocous carcinoma 3. Giant cell carcinoma a. Lymphoephithelial carcinoma (non-nasopharingeal) b. Sinonasal undifferentiated carcinoma.

2.2.2 Kanker rongga mulut Karsinoma rongga mulut jarang terjadi. Diperkirakan kejadiannya 30% kanker ganas dari kepala dan leher. Walaupun mayoritas kanker adalah karsinoma sel skuamosa, sarcoma, dan umor kelenjar air ludah minor tapi berbagai macam tuor dapat muncul pada rongga mulut. Di amerika utara, faktor resiko yang paling sering dari perkembangan dari karsinoma rongga mulut adalah merokok dan konsumsi alkohol, selain itu juga jeleknya kebersihan mulut dan iritasi mekanik kronis juga dapat menyebabkan terjadinya karsinoma Lesi dapat menimbulkan nyeri lokal atau kesulitan menelan, tetapi banyak yang asimptomatik sehingga lesi ( yang terbiasa dirasakan oleh lidah) diabaikan. akibatnya, banyak yang belum terdiagnosis sampai tahap yang tiak dapat diobati (Robin et al, 2007). Tipe histopatologi dari kanker rongga mulut adalah squamous cell carsinoma, adenocarsinoma, adenoid cyst carsinoma, ameloblastic carsinoma, adenolymphoma, mal. mixed tumor, pleomorphic carsinoma, melanoma maligna, dan lymphoma maligna. Sebagian besar (90%) kanker rongga mulut berasal dari mukosa yang berupa karsinoma epidermoid atau karsinoma sel skuamosa dengan

diferensiasi baik, tetapi dapat pula berdiferensiasinya sedang, jelek, atau anaplastik. Bila gambaran patologis menunjukkan suatu rabdomiosarkoma, fibrosarcoma, malignat fibrohistiocytoma atau tumor ganas jaringan lunak lainya (PERABOI, 2003).

2.2.3 Kanker nasofaring Karsinoma nasofaring, kanker faring atas sangat jarang terjadi didunia barat, tetapi cukup sering terjadi dikawasan Asia tenggara, termasuk Indonesia, Cina selatan, Afrika Utara, dan Eropa Selatan. Banyak faktor penyebab yang penting. Selain infeksi virus Ebstein-Bar (Pencetus penyakit Pfeifeer), juga berperan faktor genetik dan kebiasaan makan. Gejala pertamanya sering tidak datang sering tidak datang dari tumor induknya yang tersembunyi tinggi di laring. Gejala pertama baru muncul setelah pertumbuhan masuk dan perluasan kelingkungan sekitar, misalnya mata juling, kareana pertumbuhan masuk dan perluasan kejaringan sekitar (atap rongga tenggorok). Disini terdapat saraf otak yang memasok otot mata, atau tuli satu telinga karena tabung eustacius tertutup akibat tertekan, sehingga selaput gendang dilorong pendengar tidak lagi dapat bergerak atau bengkak pada leher akibat metastasis dikelenjar limfa leher, nyeri yang hanya dirasakan disatu telinga tanpa diketahui asalnya (De jong, 2005). Tiga varian histologik adalah karsinoma sel skuamosa keratinasi, karsinoma sel skuamosa non keratinasi, dan karsinoma tidak berdiferensiasi (Robin et al, 2007) 2.2.4 Kanker hipofaring Karsinoma nasofaring jarang terjadi, jumlahnya kira-kira 4,3-7 % dari kanker kepala dan leher, dilaporkan insidensinya satu kasus per seratus ribu orang pertahun. Didunia, jumlahnya bervariasi dengan rata-rata tertinggi ada di Prancis sekitar 9,4/100000 orang pertahun. Pada laki-laki ditemukan 75-90% kasus, dan kebanyakan terjadi pada umur 60 sampai 70 (Ganden dan Varvares, 2008). Seperti tumor kepala dan leher lainnya, tumor di hipofaring juga lambat dalam menimbulkan keluahan, banyak terjadi bahwa pada saat diagnosis, sudah ada pertumbuhan masuk kelingkungan sekitar atau bahkan sudah ada penyebaran ke kelnjar limfa. Juga tidak jarang adanya penyebaran hematogen. Keluhan yang

muncul adalah sulit menelan dan atau nyeri pada saat, serak, napas bau, dan pembengkakan dikelenjar di leher (De jong, 2005). Secra Histopatology, lebih dari 90% karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa, dengan differensiasi yang jelek, yang lainnya adenokarsinoma sebanyak 5%. Namun ada beberapa neoplasma lain yang dilaorkan, yaitu, Hystiosytoma fibrosa ganas, liphosarcoma, sinovial sarcoma, dan mukosal melanoma (Ganden dan Varvares, 2008). 2.2.5 Kanker laring Karsinoma laring mencerminkan hanya sekitar 2% dari semua kanker.

Tumor ini paling sering terjadi pada usia setelah 40 tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan. Pengaruh linkungan sangat penting sebagai penyebabnya, hampir semua kasus terjadi pada perokok, sementara pajanan ke alkohol dan asbestos, mungkin juga berperan. (Robin et al, 2007). Sekitar 95% karsinoma laring adalah lesi sel skuamosa tipikal. Meskipun jarang, dapat terjadi adenokarsinoma yang mungkin berasal dari kelenjar mukosa. Tumor biasanya terbentuk dipita suara (tumor glotis) pada 60% hingga 75% kasus, meskipun juga dapat diatas pita suara(supraglotis, 25% hingga 40%) atau dibawah pita suara (subglotis, kurang dari 5%), (Robin et al, 2007). Serak adalah gejala utama karsinoma laring, merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini merupakan akibat dari gangguan fungsi fonasi laring. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi dengan baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot0otot vokalis, sendi dan ligamen krikoritenoid, dan kadang-kadang menyerang saraf (Robin et al, 2007). Pada pemeriksaan laring diamati dengan cermin kecil dan sebuah laringoskop yang sekaligus dapat mengambil suatu biopsi. Tindakan ini tergantung atas letak tumor, dilaksanakan dibawah pembiusan setempat atau narkosis.Penyebaran kanker laring lebih lambat dari kanker lainnya termasuk nasofaring (De jong, 2005).

Karsinoma sel skuamosa meliputi 95% samapi 98% dari semua tumor ganas laring. Karsinoma sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi: a) Berdiferensiasi baik (grade 1), b) berdiferensiasi sedang (grade 2) dan c) berdiferensiasi buruk (grade 3) (Robin et al, 2007). 2.2.6 Kanker kelenjar liur Sekitar 80% tumor kelenjar liur terjadi didalam kelenjar parotis dan sebagian besar sisanya dikelenjar submandibula. Angka kejadian anatara laki-laki dan perempuan adalah sama, kanker kelenjar ludah banyak terjadi pada orang berusia lanjut, yaitu sekita 60 keatas (Robin et al, 2007). Tumor ini berbeda dari tumo-tumor sebelumnya karena mempunyai perjalanan penyakit yang panjang, ditandai oleh kekambuhan lokal yang sering, dan kekembuhan dapat terjadi setelah 15 tahun (Liston SL, 1997). Secara histopatologis, gambaran yang bisa ditemukan pada kanker kelenjar liur adalah : karsinoma mukoepidermoid, karsinoma adenokistik, kanker sel asini, adenokarsinoma, karsinoma sel clear,dan karsinoma sel skuamosa (Liston SL, 1997). 2.2.7 Kanker tiroid Karsinoma tiroid relatif jarang ditemukan di Amerika serikat dan merupakan penyebab pada kurang dari 1% kematian akibat kanker. Pentingnya faktor genetik digaris bawahi dengan adanya kasus kanker tiroid dalam satu keluarga, selain itu pajanan ke radiasi pengion terutama selama dua dekade pertama kehidupan, juga menjadi faktor terpenting terjadinya kanker tiroid (Robin et al, 2007). Ditemukan adanya predominasi perempuan pada pasien yang menderita karsinoma dewasa muda dan pertengahan, mungkin berkaitan dengan ekspresi reseptor estrogen di epitel tiroid neuplastik. Sebaliknya kasus yang timbul pada anak dan dewasa lanjut terdistribusi merata pada laki-laki dan perempuan dan terutama berkaitan dengan pengaruh eksogen (Robin et al, 2007). Subtipe utama karsinoma tiroid dan frekuensi relatifnya yang terbanyak yaitu karsinoma papilar (75% hingga 85% kasus), karsinoma folikular (10%

hingga 20% kasus), karsinoma medular (5% kasus), dan yang terkecil karsinoma anasplatik (<5% kasus) (Robin et al, 2007). 2.2.8 Kanker telinga Di United Kingdom hanya ditemukan pada tahun 1967, insidensinya adalah sekitar, 1/1000000 orang pertahun untuk wanita, dan 0,8/1000000 orang pertahun untuk laki-laki selama sepuluh tahun dari tahun 1967-1977. Sex ratio antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1,2. Etiologi yang paling sering adalah inflamasi kronis, selain itu cedera radiasi kemudian karsinogen yang dihasilkan oleh mikroorganisme, contohnya afla toksin B, yang diproduksi oleh aspergillus flavus, kemudian produksi karsinogen dalam serumen. Karsinoma sering dialamiu oleh pasien otitis media kronis (Still, 2006). Kebanyakan pasien mengeluh keluarnya cairan dari telinga dan juga kadang-kadang disertai dengan vertigo, nyeri juga sering terjadi yang merupakan indikasi adanya metastasis kedaerah dura, gejala lainnya yaitu paralisis parsial, trismus (mengindikasikan invasi ke pterygoid atau sendi temporo mandibular, terabanya kelenjar parotis (mengindikasikan penyebaran melalui meatus kartilaginosa), terabanya fossa intratemporal, dan perikondritis pada auricula (Still, 2006) . Secara histopatology kanker telinga luar terdiri dari : Squamous carsinoma, adenocarsinoma, malignant melanoma, basal sel carsinoma, sebaseous tumor, sedangkan kanker telinga tengah terdiri dari : Choristoma, benign adenoma, adenocarsinoma, squamous carsinoma, 2.2.9 Kanker kulit pada kepala, wajah dan leher Kanker kulit termasuk kanker melanoma, dan non melanoma merupakan kanker yang sering terjadi di Amerika serikat, dan insidensinya terus meningkat, walaupun secara biologi melanoma dan non melanoma berbeda, tetapi secara patogenesis pertimbangan anatomi dan manajemen keganasanya mirip. Nom Melanoma diderita lebih dari 1,3 juta orang per tahun di Amerika serikat. Sel basal karsinoma kira-kira 80% dari NMSCs, dan karsinoma sel skuamosa, kira-kira menunjukan angka 20%, walaupun , Walaupun lebih dari

95% NMSCs dapat diobati dengan berbagai macam terapi, varian agresive dari NMSCs tetap ada, yang ciri-cirinya rekurensi, metatasis, dan meningkatan morbiditas yang menyebabkan sedikitnya kematian lebih dari 2500 orang per tahun. Sejak tahun 1950 laporan peningkatan kasus melanoma kulit lebih dari 600% per tahun. Dengan rata-rata peningkatan 165% kematian pertahun. Menurut penelitian yang terbaru menunjukkan bahwa melanoma kutaneus diderita oleh 55.000 orang Amerika dan menyebabkan kematian lebih dari 7500 orang. Peringkat ketujuh dan kelima insidensi kanker pada pria dan wanita di Amerika. Biasanya tidak seperti NMSCs, melanoma kulit lebih banyak menyerang usia yang lebih muda, yang berdampak pada hilangnya generasi produktif, dan paling banyak kanker terjadi pada wanita yang berumur 20-29 tahun (Genden EM, 2005). 2.3 Gambaran histopatologi Histopatologi yaitu cabang dari ilmu patologi yang mempelajari penyakit pada jaringan, histopatologi memiliki fungsi yang sangat vital untuk pelayanan pasien, Histopatologi tidak hanya membahas tentang diagnosis kelainan jaringan, tetapi juga sangat penting dalam menentukan keputusan penatalaksanaan klinis, dan menyediakan data yang penting untuk memperkirakan prognosis (Allen, and Cameron, 2004) 2.4. 2.4.1 Diagnosis Anamnesis Hal yang perlu dijadikan acuan dalam menganamnesis pasien yang mengalami kanker kepala dan leher yaitu saluran aerodigestive yang terdiri dari deglutition, phonation, pendengaran, dan saluran pernapasan pernapasan. Pertanyaan yang harus diajukan kepada pasien adalah apakah pasien merasakan sulit dalam menelan, sulit mengunyah, sensasi globus, suara parau, kesulitan dalam berkomunikasi , perdarahan hidung, epiphora, nyeri telinga, hemoptysis, kekakuan telinga, dan trismus ( Ridge et al, 2003).

2.4.2

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan leher yang harus pertama kali dilakukan adalah inspeksi, yang harus dicari dalam melakukan inspeksi adalah apakah ada bekas luka, pembatasan gerak, massa abnormal, pemerikasaan yang kedua yaitu palpasi, ini bisa dilakukan di dua posisi, pertama dibelakang pasien, kedua bisa didepan pasien. Pemeriksaan leher yang ketiga yaitu transiluminasi, berguna untuk membedakan massa yang padat atau lunak, keempat auskultasi leher, harus dilakukan secara rutin untuk mendeteksi bising terdengar pada stenosis karotis atau tumor pembuluh darah (Gonzales, 2008). 2.4.3 Pemeriksaan penunjang A. Biopsy Jenis-jenis biopsi yang dapat kita lalukan pada pasien : 1. Punch or cup forceps biopsy Penting dalam mendiagnosis lesi mukosa. Biopsi sebaiknya dilakukan pada batas lesi yang jauh dari area nekrosis. 2. Biopsi aspirasi jarum halus (BAJH) ini merupakan modalitas diagnosis yang sangat berguna, beberapa jalan dibuat pada lesi dengan menggunakan jarum halus (22 G) selama aspirasi, kemudian aspirasi sebaiknya dilepaskan sebelum jarum tercabut dari jaringan lunak sekitar leher. BAJH memiliki kemungkinan negatif palsu dibawah 7%, keakuratan diagnostiknya tergantung pada skill dan pengalaman ahli sitopatologi dan dokter. Sitologi sangat berguna untuk membedakan sel karsinoma skuamosa yang metastatik dari histologi keganasan lain. Walau begitu hasil yang negatif sebaiknya bukan diinterpretasikan sebagai tidak adanya keganasan. 3. Biopsi inti Sebaiknya tidak dilakukan pada massa leher kecuali yang sudah trerbukti limfoma. 4. Open biopsi terbuka Sebaiknya dilakukan hanya ketika diagnosis belum dibuat setelah evaluasi klinik dan BAJH tidak dapat mendiagnosis. Operasi sebaiknya dilakukan hanya

oleh ahli bedah yang sudah dipersiapkan untuk melakukan terapi definitif pada saat yang sama (Ridge JA et al, 2006). B. Pemeriksaan endoskopi Salah satu alasan untuk melakukan endoskopi adalah untuk mengevaluasi ukuran dan tingkat primer tumor mukosa dan menentukan asal metastatasis yang mungkin ditemukan dalam leher, kanker ( Wax, MK, 2005 ). Endoskopy dilakukan melalui hidung, apabila ingin lebih jelas lagi bisa dilakukan antrostomy meatus media, keuntungannya adalahvisualisasinya lebih bagus, morbilitasnya rendah, dan hanya menganggu sedikit bagian dari tumor(Wollen SL, 2001) C. Radiologi Kemampuan dari Ct scan dan MRI yaitu dapat melihat lapangan tiga dimensi, tempat letak dari penyebaran lesi, dan hubungannya dengan sruktur penting dalam kepala dan leher, imaging atau pencitraan juga dapat mendiagnosis pada lapangan yang tidak dapat dijangkau oleh pemeriksaan biopsi, misalnya pada lesi yang nekrotik, cedra pembuluh darah pada saat melakukan biopsi dapat dihindari pada saat melakukan CT scan dan MRI(Patel dan Syah, 2001) Resonance Imaging (MRI) atau Positron Emission Tomography (PET). Kepala dan leher kanker yang dipentaskan menurut ukuran (T) dan lokasi tumor primer, kehadiran metastasis di kelenjar getah bening leher (N), dan bukti dari metastasis jauh (M). Pementasan biasanya membutuhkan pencitraan dengan CT, MRI, atau keduanya, dan sering PET( American kanker society, 2007). selain itu juga berguna untuk mengambil sepotong jaringan dengan forsep biopsi untuk mendiagnosis sesuatu jaringan

2.4. 2.4.1

Penatalaksanaan Operasi

Bedah kuratif terdiri atas pembuangan total dari tumor dengan diseksi kelenjar limfa regional. Disini, penting untuk mencari kelenjar portal (kelenjar limfe pengawal) karena mungkin adanya penyebaran kesisi seberangnya. Tumorektomi dan limfadenektomi sering dilanjutkan dengan rekondtruksi melalui bedah plastik. Pemebdahan untuk keganasan kepala dan leher merupakan tindakan yang luas dan revalidasinya dan membentuk banyak hal dari penderita (De jong, 2005).

2.4.2

Radioterapi Radioterapi adalah pengobatan yang penting dalam manajemen pasien

dengan kanker kepala dan leher. Terapi ini dapat dijadikan sebagai terapi utama pada penderita kanker kepala dan leher di tahap awal, selain itu juga bisa digunakan sebagai terapi pendamping pengobatan pendamping untuk pengobatan dengan menggunakan ( Billingsley, 2009 ) 2.4.3 Kemoterapi Kemoterapi sangat berpengaruh terhjadap perkembangan penanganan kanker kepala dan leher. Kemoterapi dapat dipasangkan dengan radioterapi pada pengobatan kanker kepala dan leher, kombinasi penanganan dengan kedua metode ini untuik meringankan keluhan pasien berupa kesulitan untuk menelan dan berbicara, terapi ini juga dianjurkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien kanker kepala dan leher, terapi ini merupakan salah satu solusi penanganan kanker kepala dan leher yang tidak dapat disembuhkan, yang tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien ( Billingsley, 2009 ). kemoterapi. Radiasi juga berguna pada pasien post operative yaitu pad pasien yang beresiko tinggi kembalinya penyebaran kanker

2.4.4

Radioimunoterapi

Telah dikembangkan antibodi monoklonal terarah pada tumor tertentu di daerah kepala dan leher yang dapat diberikan dan disambungkan pada radionuklida (De jong, 2005).

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan melakukan survei insidensi kanker kepala leher, yaitu melihat data rekam medis di Laboratorium Patologi Anatomi RSUDZA Banda Aceh selama periode 1 Oktober 2008-31 Oktober 2011. 3.2. Kerangka Konsep 3.2.1 Proses terjadinya karsinoma sebagai berikut : Hiperplasia/metaplasia Displasia Karsinoma In situ Metastasis 3.2.2 Definisi Operasional Sel Normal

1. Kanker kepala dan leher berdasarkan diagonosis Patologi anatomi Kanker kepala dan leher berdasarkan diagonosis Patologi anatomi adalah tumor ganas yang berasal dari saluran aerodigestive atas dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis bagian Patologi Anatomi RSUDZA Banda Aceh 1 Oktober 2008-31 Oktober 2011. 2. Usia Usia adalah umur penderita yang tercantum jelas pada rekam medis. 3. Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita yang tercantum jelas pada rekam medis 3.3 Waktu dan Tempat Penelitian 3.3.1 Tempat Penelitian ini dilakukan di Bagian Patologi Anatomi di RSUDZA Banda Aceh. 3.3.2 Waktu

Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada bulan AgustusOktober 2011. Perencanaan jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 Kegiatan 3 Studi perpustakaan Survey awal Pembuatan Proposal Seminar Proposal Pengambilan Data Pengolahan Data Pembuatan Skripsi Sidang Skripsi 4 5 6 7 Bulan 8 9 10 11 12

i.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian 3.4.1 Populasi Penelitian Rekam Medis periode 1 Oktober 2008-31 Oktober 2011 berdasarkan diagnosis patologi anatomi di Laboratorium Patologi Anatomi RSUDZA Banda Aceh. 3.4.2 Sampel Penelitian Sampel yang diambil adalah semua rekam medis yang mediagnosis kanker kepala dan leher di bagian PA RSUDZA Banda Aceh 3.5 Instrumen Penelitian Alat yang digunakan adalah data sekunder berupa rekam medik pasien kanker kepala dan leher berdasarkan diagnosis Patologi Anatomi di Bagian Patologi Anatomi RSUDZA Banda Aceh. 3.6 Alur penelitian Peneliti membuat surat izin pengambilan data rekam medis ke Bagian Patologi Anatomi RSUDZA Banda Aceh

Peneliti mencari rekam medis dengan diagnosa kanker kepala dan leher

Peneliti mengelompokkan data rekam medis dengan diagnosa kanker kepala dan leher berdasarkan jenisnya dan gambaran histologinya

Menganalisis dan mengolah data

Presentasi hasil penelitian ( seminar Skripsi )

3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu : 1. Editing Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. Apabila data belum lengkap ataupun ada kesalahan maka responden diminta untuk melengkapinya. 2. Coding Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya kemudian diberi kode oleh peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer. 3. Transfering Data yang telah dilengkapi dimasukkan ke dalam tabel sesuai dengan variabel yang diteliti. 4. Tabulating Mengelompokkan responden berdasarkan kategori yang dibuat peneliti. 3.7.2 Analisa Data

Data yang tertulis pada catatan medik dicatat sesuai dengan kelompok atau kriteria masing-masing. Data yang terkumpulkan kemudian diolah dengan program komputer Microsoft Excel dan dianalisis, kemudian ditampilkan secara deskriptif serta dilakukan pembahasan untuk menarik kesimpulan dan saran.

Daftar Pustaka 1. Boyle P. 2010. Head and neck cancer backgrounder. Boehringer ingelheim. 2. American Cancer Society, 2010. Head and neck cancer backgrounder. Boehringer ingelheim. 3. Wilianto, onggo. 2005. Skripsi. insidensi kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi anatomi di RS dr Kariadi

Semarang periode 1 januari 2001 31 desember 2005. Semarang: Universitas Diponegoro. 4. Ridge et al. 2003. Jurnal. Head and neck tumors. Vol 4. United States: 5.

Ferlay J. et al. GLOBOCAN 2002: Cancer Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide. Lyon: IARC Press, 2004

6. Wiliyanto O et al, 2006: insidensi kanker kepala leher berdasarkan diagnosis patologi anatomi di rs dr kariadi semarang periode 1 januari 2001 31 desember 2005.diunduh dari http://eprints.undip.ac.id/20998/, pada tanggal 10 Juli 2011 7. Soetjipto et al, 2008. Buku ajar Ilmu kesehatan Telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta : Balai penerbit FK UI 8. Snel RS, 2006: Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta 9. De jong, 2005 10. Stell PM, 2006, diunduh dari : famona.sezamfro.rs/ medifiles/OTOHNS/SCOTT/scott3222.pdf, diakses pada 2 agustus 2011 11. Patel SG, Syah JP. 2001. Soft tissue and bone tumour.dalam: cancer of the head and neck. American cancer society, Ontario 12. Chaboki, H., Wanna, G.B., Westreich, R., Kao, J. 2008. Carsinoma of the Nasal cavity and Paranal sinus. Dalam: Head and neck cancer. Thime: New York 13. . Carlson, D.L., Barnes, L., Chan, J., Ellis, G., 2011. Protocol for the Examination of Sepecimens from patiens with carcinomas of the Nasal Cavity and Paranal Sinuses, diunduh dari : http://www.cap.org/apps/docs/commitees/cancer/cancer_protoc ols/2011/NasCavParanasasSinus_11protocol.pdf. Diakses pada tangga 30 juli 2011. 14.

Anda mungkin juga menyukai