Anda di halaman 1dari 92

BAB III PENGELOLAAN AIR LIMBAH

PT. UNITED TRACTORS Tbk


3.1. Pengelolaan Limbah Secara Umum

Dalam satu jenis limbah dengan karakteristik tertentu


terkadang mengandung berbagai macam bahan pencemar di
dalamnya, yang mana setiap jenis polutan tersebut mempunyai sifat-
sifat yang berlainan. Jika menghadapi limbah seperti ini, maka
diperlukan teknik-teknik untuk mengkombinasikan proses maupun
sistem yang akan digunakan, yang mana sistem manajemen limbah
dari sumbernya memegang peran yang sangat penting. Gambar 3.1
menunjukkan contoh diagram alir sistem pengelolaan limbah dari
sumbernya.
Buangan limbah di klasifikasikan menjadi beberapa bagian
yaitu limbah yang tidak mengandung polutan, limbah yang
mengandung polutan organik, limbah yang mengandung oli/lemak,
yang mengandung bahan yang bersifat racun (toxic) terhadap
mikroba, limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dan limbah
padat. Masing-masing karakteristik limbah diolah dengan proses-
proses tertentu.

11
Gambar 3.1: Diagram Alir Sistem Pengelolaan Limbah Industri

12
Pemilihan proses, sistem dan spesifikasi alat yang tidak
tepat atau disain IPAL yang salah akan menimbulkan berbagai
persoalan di dalam IPAL itu sendiri, misalnya :

 biaya investasi, operasional maupun perawatannya akan menjadi


mahal,

 sistem tidak dapat bekerja secara optimal,

 hasil olahan tidak seperti yang diinginkan,

 sulit dalam pengendalian/operasional,

 Peralatan cepat rusak (korosi, panas, tidak awet dll).

Untuk menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, maka


dalam perencanaan suatu IPAL harus dilakukan tahap demi tahap
dan diikuti juga upaya minimalisasi limbah, manajemen pengelolaan
limbah, sampai dengan pemilihan teknologi dan sistem.

3.2. Pengelolaan Limbah Produksi PT. United Tractors Tbk

Untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap


lingkungan sekitar industri, maka PT. United Tractors Tbk telah
membangun satu unit instalasi pengolahan air limbah produksi dan
re-use(IPAL&re-useproduksi). IPAL ini didisain oleh tim Pusat
Teknologi Lingkungan, BPPT. Saat ini IPAL telah selesai dibangun
dan siap untuk dioperasikan. Untuk pengoperasian IPAL agar dapat
memberikan hasil pengolahan yang optimal, maka perlu kiranya para

13
operator IPAL diberikan bekal teknik-teknik operasionalnya dan
teknik-teknik perawatannya. Untuk pembekalan tersebut maka
disusun buku panduan operasional IPAL ini.

Dengan adanya sistem IPAL yang baru ini berarti ada


perubahan sistem dalam pengelolaan limbah produki dari sebelumnya.
Perbedaan sistem pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut:

Pengelolaan Limbah Sebelum Ada IPAL Produksi :

Sebelum ada IPAL produksi air limbah yang berasal dari unit
produksi (bengkel) dikelola dengan sarana grease trap. Di grease trap
ini berfungsi untuk memisahkan oli secara gravitasi, dan dilakukan
secara bertahap. Diagram alir sistem pengelolaan limbah, foto dan
denah dan sistem grease trap lama ini dapat dilihat seperti pada
Gambar 3.2, 3.3 dan Gambar 3.4.

Gambar 3.2 : Pengelolaan Air Limbah Produksi Sebelum Ada


IPAL Produksi

14
Gambar 3.3 Sarana Oil Trap Yang Lama

Gambar 3.4 : Gambar sarana grease trap lama


(Sebelum Ada IPAL Produksi)

15
Outlet air limbah dari grease trap ini dibuang ke saluran umum, hasil
analisa limbah ini seperti terlihat pada Tabel 2.1, sedangkan secara
fisik foto limbah buangan ini seperti terlihat pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 : Foto Air Limbah Buangan Dari Grease Trap

Air limbah yang berasal dari cuci unit dikelola dengan sarana grease
trap yang dilengkapi dengan bak pengendap. Di sini padatan yang ada
diendapkan dan oli yang terbawa dipisahkan di grease trap. Outlet air
limbah ini juga langsung dibuang ke saluran umum (Lihat gambar 3.6
dan 3.7).

16
Gambar 3.6 : Foto Bak Pengendap
Dan Oil Trap Di Cuci Unit

Gambar 3.7 : Lay Out Area Cuci Unit.

17
Pengelolaan Limbah Setelah Ada IPAL Produksi :

Setelah ada IPAL produksi air limbah yang berasal dari unit
produksi (bengkel) dan air limbah yang berasal dari cuci unit diolah
bersama di dalam IPAL produksi. Sistem pengelolaan tersebut seperti
terlihat pada gambar 3.8, dimana limbah yang berasal dari limbah
produksi dikumpulkan di dalam bak pengumpul lalu masuk ke IPAL
dengan cara pemompaan. Sedangkan limbah yang berasal dari cuci
unit dilewatkan dalam bak pengendap yang berfungsi juga sebagai oil
trap lalu dipompa ke IPAL untuk diolah bersama limbah dari ruang
produksi. Foto IPAL secara keseluruhan dapat dilihat seperti pada
Gambar 3.9

Gambar 3.8 : Pengelolaan Air Limbah Produksi Setelah


Ada IPAL Produksi

18
Gambar 3.9 : Foto IPAL Produksi Secara Keseluruhan.

Gambar 3.10 : Foto Bak Pengendap, Oil Trap Dan Bak Pengumpul
Di Area Cuci Unit.

19
3.3. Teknologi IPAL PT. United Tractors Tbk.

Pengolahan air limbah bertujuan untuk menghilangkan


parameter pencemar yang ada di dalam air limbah sampai batas
yang diperbolehkan untuk dibuang ke badan air sesuai dengan
syarat baku mutu yang diijinkan atau sampai memenuhi kualitas
tertentu untuk dimanfaatkan kembali. Pengolahan air limbah secara
garis besar merupakan upaya pemisahan padatan tersuspensi
(solid–liquid separation), pemisahan senyawa koloid, serta
penghilangan senyawa polutan terlarut. Ditinjau dari jenis prosesnya
dapat dikelompokkan sebagai : proses pengolahan secara fisika,
proses secara kimia, proses secara fisika-kimia serta proses
pengolahan secara biologis.
Penerapan masing-masing metode tergantung pada
karakteristik limbahnya dan kualitas hasil yang diinginkan. Klasifikasi
jenis proses pengolahan untuk menghilangkan senyawa pencemar
dalam air limbah dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Ditinjau dari urutannya proses pengolahan air limbah dapat


dibagi menjadi tiga jenis pengolahan, yakni :

 Pengolahan Primer, digunakansebagaipengolahan pendahuluan


untuk menghilangkan padatan tersuspensi, koloid, serta
penetralan yang umumnya menggunakan proses fisika atau
proses kimia.

 Pengolahan Sekunder, digunakan untuk menghilangkan


senyawa polutan organik terlarut yang umumnya dilakukan
secara proses biologis.
20
 Pengolahan Tersier atau Pengolahan Lanjut, digunakan untuk
menghasilkan air olahan dengan kualitas yang lebih bagus sesuai
dengan yang diharapkan. Prosesnya dapat dilakukan baik secara
biologis, secara fisika, kimia atau kombinasi ke tiga proses
tersebut.

Tabel 3.1. Klasifikasi Proses Pengolahan Air Limbah Menurut


Jenis Kontaminannya

KLASIFI
KONTAMINAN SISTEM PENGOLAHAN
KASI
Screening and communition F
Sedimentasi F
Flotasi F
Padatan Filtrasi F
Tersuspensi Koagulasi/sedimentasi K/F
Land treatment F
Lumpur aktif B
Trickling filters B
Rotating biological contactors B
Biodegradable Aerated lagoons (kolam aerasi) B
Organics Saringan pasir F/B
Land treatment B/K/F
Khlorinasi K
Ozonisasi K
Pathogens
Land treatment F
Suspended-growth nitrification
B
and denitrification
Fixed-film nitrification and
B
denitrification
Nitrogen Ammonia stripping K/F
Ion Exchange K
Breakpoint khlorinasi K
21
Land treatment B/K/F
Koagulasi garam
K/F
logam/sedimentasi
Koagulasi kapur/sedimentasi K/F
Phospor Biological/Chemical phosphorus
B/K
removal
Land treatment K/F
Adsorpsi karbon F
Refractory
Tertiary ozonation K
Organics
Sistem land treatment F
Pengendapan kimia K
Ion Exchange K
Logam Berat
Land treatment F
Padatan Ion Exchange K
Inorganik Reverse Osmosis F
Terlarut Elektrodialisis K

Keterangan : B = Biologi, K = Kimia, F = Fisika

3.3.1. Pengolahan Air Limbah Secara Fisika dan Kimia

Proses Penyaringan (Screening )

Di dalam proses pengolahan air limbah, screening atau


saringan dilakukan pada tahap paling awal. Saringan untuk
penggunaan umum (general purpose screen) dapat digunakan untuk
memisahkan bermacam-macam benda padat yang ada di dalam air
limbah, misalnya kertas, plastik, kain, kayu dan benda dari metal
serta lainnya. Benda-benda tersebut jika tidak dipisahkan dapat
menyebabkan kerusakan pada sistem pemompaan dan unit
peralatan pemisah lumpur misalnya weir, block valve, nozle, flow
22
meter, saluran serta sistem perpipaan. Hal tersebut dapat
menimbulkan masalah yang serius terhadap operasional maupun
pemeliharaan peralatan. Saringan yang halus kadang-kadang dapat
juga digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi.

Unit Pemisah Pasir (Grit Removal)

Di dalam proses pengolahan air limbah, pasir, kerikil halus,


dan juga benda-benda lain misalnya kepingan logam, pecahan kaca,
tulang, dan lain lain yang mana tidak dapat membusuk, harus
dipisahkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk:

 Melindungi kerusakan pada peralatan mekanik seperti pompa,


flow meter dll agar tidak terjadi abrasi atau kebuntuan.
 Untuk menjaga atau mencegah kebuntuan di dalam sistem
perpipaan dan terjadinya pengendapan di dalam saluran.
 Untuk mencegah pengerakan (cementing) di dasar bak
pengendapan awal atau bak pengolah lumpur (sludge digesting).
 Untuk mengurangi atau menghilangkan akumulasi dari material
inert yang tidak dapat terurai di dalam bak aerasi atau reaktor
biologis serta bak pengolah lumpur yang akan mengakibatkan
kerugian volume (loss of usable volume).

23
Gambar 3.11 : Bak Pengumpul Limbah Dan Pemisah Pasir

Unit Pemisah Oli (Oil Trap)

Pada tahap awal pengolahan limbah yang dilakukan di IPAL


ini adalah unit pemisahan minyak. Pada tahap ini terdiri dari
pengolahan awal (primary treatment) yakni proses awal pemisahan
minyak dan penghilangan pasir (grit removal) kemudian proses
pemisahan minyak dengan cara fisika-kimia (physico-chemical oil
seperation) dilanjutkan dengan pengolahan sekunder menggunakan
proses biologis misalnya biofilter. Proses pemisahan minyak tersebut
sangat penting untuk dilakukan karena jika konsentrasi minyak di
dalam air limbah masih tinggi maka dapat mengganggu proses

24
pengolahan air limbah secara biologis serta mengakibatkan biaya
pengolahan menjadi mahal.

Pemisahan minyak (preliminary oil separation) atau


pemisahan minyak secara gravitasi (gravity oil seperation) ini adalah
merupakan proses tahap awal dari seluruh proses pengolahan air
limbah industri PT. Uniited Tractors Tbk. Tujuan dari pemisahan oli
dan minyak adalah untuk menghilangkan oli dan senyawa
hidrocarbon lainnya di dalam proses emulsi mekanik. Air yang
dihasilkan harus bebas oli & minyak sehingga dapat dialirkan ke
proses pemurnian fisika-kimia yang sederhana sehingga kebutuhan
zat kimia yang ditambahkan lebih ekonomis.

Tujuan kedua adalah untuk menghilangkan pasir dan tanah


(alluvia) yang tidak dikehendaki dalam proses pemurnian fisika-kimia,
yang dapat mempersulit pengumpulan, pengkonsentrasian, serta
dapat mengganggu porses tahap akhir pembuangan lumpur minyak
atau oli yang mengambang.

Pemisahan oli atau minyak biasanya dilakukan tanpa


adanya penambahan bahan kimia. Proses ini dirancang untuk
menyamakan konsentrasi sisa hydrocarbon (HC) pada inlet proses
pemurnian fisika-kimia dengan cara menurunkan laju aliran puncak
HC yang masuk. Konsentrasi HC tak larut di dalam air limbah
bervariasi dari 20 mg/l hingga 150-200 mg/l (pada industri
petrokimia) tergantung pada seberapa halus emulsi yang terjadi.
Secara prinsip konsentrasi HC di dalam air limbah tidak dapat
diantisipasi atau dihitung. Pendekatan tertentu dapat dilakukan,
25
tetapi hanya untuk kasus efluent limbah yang sederhana misalnya
limbah dari deballasting atau produced water.

Proses pemisahan oli &minyak ini dilakukan dengan cara


gravitasi alami, dimana butiran oli/minyak naik dengan kecepatan
keatas yang ada yang dibatasi oleh berat jenisnya (specific
gravity).Ada dua jenis pemisah yang sering ditemukan, yaitu :

 Settler separators, minyak langsung dikumpulkan dari permukaan


air. Yang termasuk dalam metoda tersebut adalah pemisah
minyak API (American Petroleum Institute) longitudinal
(longitudinal API separators) dan pemisah minyak API bentuk
bulat (circular separators).
 Lamella separators atau plate separators, dimana minyak
dikumpulkan secara langsung oleh permukaan bagian bawah
plate miring dan kemudian terangkat ke permukaan. Plate
tersebut mempunyai dua fungsi. Dengan adanya plate ini butiran
minyak menempuh jalur pendek dan memberikan efek menyatu
(coalescence effect). Kedua fungsi ini sangat dipengaruhi oleh
jarak antar lamella (plates).

Untuk IPAL PT. United Tractors Tbk ini menggunakan jenis


settler separator, karena oli yang terkandung di dalam limbah relatif
mudah untuk dipisahkan dan teknologinya relatif lebih sederhana
namun dapat diterapkan dengan efektif di sini. Secara detail gambar
dan foto oil separator IPAL PT. United Tracktor tersebut dapat dilihat
seperti pada Gambar 3.12 dan 3.13. Unit oil trap ini juga dilengkapi
dengan bak pemekat oli, dan juga pompa untuk pemindahan oli.
26
Gambar 3.12 : Oil Trap IPAL.

Bak oil trap Sistem pemisahan oli dengan


over flow dari oil trap

27
Bak pemekat oli lengkap Pemindahan oli dari bak pemekat
dengan pompa oli ke drum penampung

Gambar 3.13. : Foto Oil Trap IPAL dan Sarana Pengumpul Oli

Proses Netralisasi atau Pengontrolan pH

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk


menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh
suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritmaaktivitasion
hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak
dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan
pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. Ia
bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya
ditentukan berdasarkan persetujuan internasional. Salah satu
pengukuran yang sangat penting dalam berbagai cairan proses
(industri, farmasi, manufaktur, produksi makanan dan sebagainya)
adalah pH, yaitu pengukuran ion hidrogen dalam suatu larutan.
Larutan dengan harga pH rendah dinamakan ”asam” sedangkan
yang harga pH-nya tinggi dinamakan ”basa”. Skala pH terentang dari
0 (asam kuat) sampai 14 (basa kuat) dengan 7 adalah harga tengah
28
mewakili air murni (netral). Nilai ini menunjukkan konsentrasi ion H+
dan ion OH- di dalam air. Gambar 3.14 menunjukkan hubungan
antara nilai pH dengan konsentrasi ion H dan OH-. Prinsip dari skala
+

pH adalah :Konsentrasi ion H+ berhubungan terbalik terhadap nilai


pH, sedangkan konsentrasi ion OH- berhubungan langsung terhadap
nilai pH.

Gambar 3.14 : Hubungan nilai pH Terhadap Konsentrasi H + dan OH-.

Konsep pH pertama kali diperkenalkan oleh


kimiawanDenmarkSøren Peder Lauritz Sørensen pada tahun 1909.
Tidaklah diketahui dengan pasti makna singkatan "p" pada "pH".
Beberapa rujukan mengisyaratkan bahwa p berasal dari singkatan
untuk powerp (pangkat), yang lainnya merujuk kata bahasa

29
JermanPotenz (yang juga berarti pangkat), dan ada pula yang
merujuk pada kata potential. Jens Norby mempublikasikan sebuah
karya ilmiah pada tahun 2000 yang berargumen bahwa p adalah
sebuah tetapan yang berarti "logaritma negatif".

pH larutan dapat diukur dengan beberapa cara. Secara


kualitatif pH dapat diperkirakan dengan kertas Lakmus (Litmus) atau
suatu indikator (kertas indikator pH). Seraca kuantitatif pengukuran
pH dapat digunakan elektroda potensiometrik.Elektroda ini
memonitor perubahan voltase yang disebabkan oleh perubahan
aktifitas ion hidrogen (H+) dalam larutan. Elektroda potensiometrik
sederhana untuk tipe ini seperti gambar 3.15.

Gambar 3.15 : Pengukuran pH Dengan pH Meter.

Elektroda pH yang paling modern terdiri dari kombinasi


tunggal elektroda referensi (reference electrode) dan elektroda
30
sensor (sensing electrode) yang lebih mudah dan lebih murah
daripada elektroda tepisah seperti gambar 4-10. Elektroda kombinasi
ini mempunyai fungsi yang sama dengan elektroda pasangan.

Proses netralisasi bertujuan untuk menetralkan pH atau


keasaman air limbah sampai menjadi netral. Hal ini dimaksudkan
agar proses pengolahan air limbah dapat berjalan dengan baik.
Bahan kimia yang umum digunakan adalah asam sulfat (H 2SO4) atau
asam khlorida (HCl) untuk menetralkan air limbah yang bersifat
alkali. Sedangkan untuk zat alkali yang banyak digunakan antara lain
yakni soda ash atau soda abu (NaHCO 3), Kapur tohor (CaO),
Ca(OH)2, CaCO3, natrium hidroksida (NaOH).

Air limbah produksi PT. United Tractors Tbk kondisi pH –nya


sering berubah, sehingga perlu dilakukan pengontrolan dan proses
netralisasi agar proses koagulasi-flokulasi dapat berjalan dengan
baik. Untuk melakukan pekerjaan ini, maka di unit bak equalisasi
dipasang sensor pH kontrol dan dihubungan dengan alat pH kontrol
yang dihubungkan langsung dengan pompa dosing (Gambar 3.16).
Jika ada perubahan pH dan nilai pH keluar dari range yang telah
disetel (pH 7 – 8), maka pH kontrol akan memerintahkan pompa
dosing untuk melakukan pemompaan bahan kimia (asam) agar nilai
pH limbah di bak equalisasi turun menuju ke range pH yang telah
ditetapkan. Jika pH limbah sudah masuk pada range pH yang telah
ditetapkan, maka secara otomatis pompa dosing akan menghentikan
pemompaan bahan kimia (asam) sehingga tidak akan terjadi over
dosis penambahan bahan kimia yang dapat menyebabkan
kegagalan dalam proses koagulasi-flokulasi.
31
Gambar 3.16. : Foto pH Control Lengkap Dengan Dosing Pump Dan
Sensor Elektroda Nya.

Proses Koagulasi – Flokulasi

Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel koloid dengan


cara penambahan senyawa kimia yang disebut koagulan. Koloid
mempunyai ukuran tertentu sehingga gaya tarik menarik antara
partikel lebih kecil dari pada gaya tolak menolak akibat muatan listrik.
Pada kondisi stabil ini penggumpalan partikel tidak terjadi dan
gerakan Brown menyebabkan partikel tetap berada sebagai
suspensi. Melalui proses koagulasi terjadi destabilisasi, sehingga
partikel-partikel koloid bersatu dan menjadi besar. Dengan demikian
partikel-partikel koloid yang pada awalnya sukar dipisahkan dari air,
setelah proses koagulasi akan menjadi kumpulan partikel yang lebih
besar sehingga mudah dipisahkan dengan cara sedimentasi, filtrasi
atau proses pemisahan lainnya yang lebih mudah.

Koagulasi adalah proses destabilisasi koloid dengan


penambahan senyawa kimia yang disebut zat koagulan. Flokulasi

32
adalah proses penggumpalan (agglomeration) dari koloid yang tidak
stabil menjadi gumpalan partikel halus (mikro-flok), dan selanjutnya
menjadi gumpalan patikel yang lebih besar dan dapat diendapkan
dengan cepat. Senyawa kimia lain yang diberikan agar pembentukan
flok menjadi lebih cepat atau lebih stabil dinamakan flokulan atau zat
pembantu flokulasi (flocculant aid).

Di dalam sistem pengolahan air limbah dengan penambahan


bahan kimia proses koagulasi sangat diperlukan untuk proses awal.
Partikel-partikel yang sangat halus maupun partikel koloid yang
terdapat dalam air limbah sulit sekali mengendap. Oleh karena itu
perlu proses koagulasi yaitu penambahan bahan kimia agar partikel-
partikel yang sukar mengendap tadi menggumpal menjadi besar dan
berat sehingga kecepatan pengendapannya lebih besar.

Bahan Koagulan

Bahan kimia yang sering digunakan untuk proses koagulasi


umumnya diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yakni Zat
Koagulan, Zat Alkali dan Zat Pembantu Koagulan. Zat koagulan
digunakan untuk menggumpalkan partikel-partikel padat tersuspensi,
zat warna, koloid dan lain-lain agar membentuk gumpalan partikel
yang besar (flok). Sedangkan zat alkali dan zat pembantu koagulan
berfungsi untuk mengatur pH agar kondisi air baku dapat menunjang
proses flokulasi, serta membantu agar pembentukan flok dapat
berjalan dengan lebih cepat dan baik.Pemilihan zat koagulan harus
berdasarkan pertimbangan antara lain : jumlah dan kualitas air yang

33
akan diolah, kekeruhan air baku, metode filtrasi serta sistem
pembuangan lumpur endapan.

Penentuan Dosis Koagulan

Penentuan dosis koagulan bervariasi sesuai dengan jenis


koagulan yang dipakai, kekeruhan air baku, pH, alkalinitas dan juga
temperatur operasi. Disamping itu dipengaruhi pula oleh faktor-faktor
lainnya misalnya kandungan zat besi dan mangan yang tinggi,
mikroorganisme. Perhitungan dosis koagulan dapat dilakukan
dengan memakai rumus sebagai berikut:

Vv = Q x Rs x (100/C) x 10-3

dimana :
Vv = Dosis volumetrik koagulan ( lt/jam).

Q = Laju alir air baku ( M3).


Rs = Dosis koagulan yang diharapkan (ppm).

C = Konsentrasi larutan koagulan ( % ).

Zat Alkali (Alkaline Agent)

Zat alkali dipakai untuk pengolahan air limbah dan air minum
dengan tujuan untuk pengaturan pH dan alkalinitas air baku agar
proses koagulasi - flokulasi dapat berjalan dengan baik dan efektif.
Dosis zat alkali yang dibubuhkan harus ditentukan sesuai laju
pembubuhan harus ditentukan berdasarkan alkalinitas air baku dan
laju pembubuhan koagulan. Perlu atau tidaknya penambahan zat
34
alkali tersebut serta dosisnya (rata-rata, minimum dan maksimum)
harus ditentukan berdasarkan alkalinitas air baku, laju pembubuhan
koagulan serta alkalinitas air olahan yang diharapkan dengan
menggunakan jar tes. Untuk menghitung dosis zat alkali yang
diperlukan dapat memakai rumus sebagai berikut :

W = [( A2 + K x R ) - A1] x F
Keterangan:
W = Dosis pembubuhan zat alkali ( mg/lt = ppm )
A1 = Alkalinitas air baku (mg/lt = ppm )
A2 = Alkalinitas yang diinginkan (mg/lt = ppm )
K = Harga numerik dari koagulan yang digunakan (dapat dilihat
pada tabel 13)
R = Dosis koagulan (ppm).
F = Harga numerik untuk zat alkali yang digunakan

Tangki Pencampur

Tangki pencampur dilengkapi dengan alat pengaduk atau


agitator agar bahan kimia (koagulan) yang dibubuhkan dapat
bercampur dengan air baku secara cepat dan merata.Oleh karena
kecepatan hidrolisa koagulan dalam air besar maka diperlukan
pembentukan flok-flok halus dari koloid hidroksida yang merata dan
secepat mungkin sehingga dapat bereaksi dengan partikel-partikel
kotoran membentuk flok yang lebih besar dan stabil. Untuk itu
diperlukan pengadukan yang cepat.

35
Gambar 3.17.: Reaktor Pengolahan Kimia dan Arah Aliran Limbah

Flokulator

Fungsi flokulator adalah untuk pembentukan flok-flok agar


menjadi besar dan stabil sehingga dapat diendapkan dengan mudah
atau disaring. Untuk proses pengendapan dan penyaringan maka
partikel-partikel kotoran halus maupun koloid yang ada dalam air
baku harus digumpalkan menjadi flok-flok yang cukup besar dan
kuat untuk dapat diendapkan atau disaring.

Flokulator pada hakekatnya adalah kombinasi antara


pencampuran dan pengadukan sehingga flok-flok halus yang
terbentuk pada bak pencampur cepat akan saling bertumbukan

36
dengan partikel-partikel kotoran atau flok-flok yang lain sehingga
terjadi gumpalan gumpalan flok yang besar dan stabil.

UNIT CHEMICAL TREATMENT

1 (satu) set peralatan proses Tangki pengendap


koagulan

Pompa dosing bahan kimia dan


motor pengaduk

Jenis bahan kimia yang dapat


dipakai (Zeta ace, PAC, Tawas
Kaporit, Kuriflok)
Gambar 3.18 :Foto-Foto Sarana Proses Koagulasi-Flokulasi Limbah.

Sedimentasi atau Pengendapan


Sedimentasi adalah suatu unit operasi untuk menghilangkan
materi tersuspensi atau flok kimia secara gravitasi. Proses
sedimentasi pada pengolahan air limbah umumnya untuk
37
menghilangkan padatan tersuspensi sebelum dilakukan proses
pengolahan selanjutnya. Gumpalan padatan yang terbentuk pada
proses koagulasi masih berukuran kecil. Gumpalan-gumpalan kecil
ini akan terus saling bergabung menjadi gumpalan yang lebih besar
dalam proses flokulasi. Dengan terbentuknya gumpalan-gumpalan
besar, maka beratnya akan bertambah, sehingga karena gaya
beratnya gumpalan-gumpalan tersebut akan bergerak ke bawah dan
mengendap pada bagian dasar tangki sedimentasi.

Bak sedimentasi dapat berbentuk segi empat atau lingkaran.


Pada bak ini aliran air limbah sangat tenang untuk memberi
kesempatan padatan/suspensi untuk mengendap. Kriteria-kriteria
yang diperlukan untuk menentukan ukuran bak sedimentasi adalah :
surface loading (beban permukaan), kedalaman bak dan waktu
tinggal. Waktu tinggal mempunyai satuan jam, cara perhitungannya
adalah volume tangki dibagi dengan laju alir per hari. Beban
permukaan sama dengan laju alir (debit volume) rata-rata per hari
3
dibagi luas permukaan bak, satuannya m per meter persegi per
hari.

satuannya (m3/m2 hari)

Dimana :
Vo = laju limpahan/beban permukaan
Q = aliran rata-rata harian, m3 per hari
A = total luas permukaan (m2)

38
Gambar 3.19.: Tangki Pengendapan

3.3.2. Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Kombinasi


Biofilter Anaerob-Aerob Tercelup

Proses pengolahan dengan biofilter anaerob-aerob ini


merupakan pengembangan dari proses biofilter anaerob dengan
proses aerasi kontak. Pengolahan air limbah dengan proses biofilter
anaerob-aerob terdiri dari beberapa bagian yakni bak pengendap
awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak pengendap akhir,
dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor.

Air limbah dialirkan melalui saringan kasar (bar screen)


untuk menyaring sampah yang berukuran besar seperti sampah
daun, kertas, plastik dll. Setelah melalui screen air limbah dialirkan

39
ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir
dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga
berfungsi sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa
organik yang berbentuk padatan, sludge digestion (pengurai lumpur)
dan penampung lumpur.

Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke


bak kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke dan bawah ke
atas. Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari
bahan plastik. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari
satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah.
Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh
bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik. Setelah beberapa hari operasi,
pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film
mikroorganisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat
organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap

Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak


kontaktor aerob. Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan
media, plastik (polyethylene), sambil diaerasi atau dihembus dengan
udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat
organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel
pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak
dengan mikroorgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang
menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat
meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta
mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan

40
ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering di namakan Aerasi
Kontak (Contact Aeration).

Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di


dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme
diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan
pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan
ke bak penampung sementara. Dari sini air olahan dipompa untuk
difilter dan diberikan kaporit sebagai disinfektan. Air olahan, yakni
air yang keluar setelah proses filter ditampung di penampungan
sementara untuk selanjutnya ditransfer ke penampungan di cuci unit
untuk digunakan kembali sebagai air cucian. Dengan kombinasi
proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat
organik (BOD, COD), ammonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS),
phospat dan lainnya.Skema proses pengolahan air limbah dengan
sistem biofilter anaerob-aerob dapat dilihat pada Gambar3.20
berikut.

Gambar 3.20: Diagram Proses Pengolahan di Biofilter Dengan


Proses Biofilter Anaerob-Aerob

41
Proses dengan Biofilter Anaerob-Aerob ini mempunyai beberapa
keuntungan yakni :

 Adanya air buangan yang melalui media yang terdapat pada


biofilter mengakibatkan timbulnya lapisan lendir yang menyelimuti
kerikil atau yang disebut juga biological film. Air limbah yang
masih mengandung zat organik yang belum teruraikan pada bak
pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan mengalami proses
penguraian secara biologis. Efisiensi biofilter tergantung dari luas
kontak antara air limbah dengan mikroorganisme yang
menempel pada permukaan media filter tersebut. Makin luas
bidang kontaknya maka efisiensi penurunan konsentrasi zat
organiknya (BOD) makin besar. Selain menghilangkan atau
mengurangi konsentrasi BODdan COD, cara ini dapat juga
mengurangi konsentrasi padatan tersuspensi atau suspended
solids (SS) , deterjen (MBAS), ammonium dan posphor.
 Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah yang
melalui media ini. Sebagai akibatnya, air limbah yang
mengandung suspended solids dan bakteri E.coli setelah melalui
filter ini akan berkurang konsentrasinya. Efisiensi penyaringan
akan sangat besar karena dengan adanya biofilter up flow yakni
penyaringan dengan sistem aliran dari bawah ke atas akan
mengurangi kecepatan partikel yang terdapat pada air buangan
dan partikel yang tidak terbawa aliran ke atas akan
mengendapkan di dasar bak filter. Sistem biofilter anaerob-aerob
ini sangat sederhana, operasinya mudah dan tanpa memakai
bahan kimia serta tanpa membutuhkan energi. Proses ini cocok

42
digunakan untuk mengolah air limbah dengan kapasitas yang
tidak terlalu besar

 Dengan kombinasi proses “Anaerob-Aerob”, efisiensi


penghilangan senyawa phospor menjadi lebih besar bila
dibandingankan dengan proses anaerob atau proses aerob saja.
Fenomena proses penghilangan phosphor oleh mikroorganisne
pada proses pengolahan anaerob-aerob dapat diterangkan
seperti pada Gambar 3.21. Selama berada pada kondisi anaerob,
senyawa phospor anorganik yang ada dalam sel-sel
mikrooragnisme akan keluar sebagai akibat hidrolisa senyawa
phospor. Sedangkan energi yang dihasilkan digunakan untuk
menyerap BOD (senyawa organik) yang ada di dalam air limbah.
Efisiensi penghilangan BOD akan berjalan baik apabila
perbandingan antara BOD dan phospor (P) lebih besar 10.
(Metcalf and Eddy, 1991). Selama berada pada kondisi aerob,
senyawa phospor terlarut akan diserap oleh
bakteria/mikroorganisme dan akan sintesa menjadi polyphospat
dengan menggunakan energi yang dihasilkan oleh proses
oksidasi senyawa organik (BOD). Dengan demikian dengan
kombinasi proses anaerob-aerob dapat menghilangkan BOD
maupun phospor dengan baik. Proses ini dapat digunakan untuk
pengolahan air limbah dengan beban organik yang cukup besar.

43
Gambar 3.21 : Proses Penghilangan Phospor Oleh Mikroorganisme

Di Dalam Proses Pengolahan “Anaerob-Aerob”.


Pengolahan air limbah dengan proses biofilm mempunyai beberapa
keunggulan antara lain :

a. Pengoperasiannya mudah

Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm, tanpa


dilakukan sirkulasi lumpur, tidak terjadi masalah “bulking” seperti
pada proses lumpur aktif (Activated sludge process). Oleh karena itu
pengelolaaanya sangat mudah.
44
b. Lumpur yang dihasilkan sedikit
Dibandingakan dengan proses lumpur aktif, lumpur yang dihasilkan
pada proses biofilm relatif lebih kecil. Di dalam proses lumpur aktif
antara 30 – 60 % dari BOD yang dihilangkan (removal BOD) diubah
menjadi lumpur aktif (biomasa) sedangkan pada proses biofilm
hanya sekitar 10-30 %. Hal ini disebabkan karena pada proses
biofilm rantai makanan lebih panjang dan melibatkan aktifitas
mikroorganisme dengan orde yang lebih tinggi dibandingkan pada
proses lumpur aktif.

c. Dapat digunakan untuk pengolahan air limbah dengan


konsentrasi rendah maupun konsentrasi tinggi.
Oleh karena di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem
biofilm mikroorganisme atau mikroba melekat pada permukaan
medium penyangga maka pengontrolan terhadap mikroorganisme
atau mikroba lebih mudah. Proses biofilm tersebut cocok digunakan
untuk mengolah air limbah dengan konsentrasi rendah maupun
konsentrasi tinggi.

d. Tahan terhadap fluktuasi jumlah air limbah maupun fluktuasi


konsentrasi.
Di dalam proses biofilter mikroorganisme melekat pada permukaan
unggun media, akibatnya konsentrasi biomassa mikroorganisme per
satuan volume relatif besar sehingga relatif tahan terhadap fluktuasi
beban organik maupun fluktuasi beban hidrolik.

45
e. Pengaruh penurunan suhu terhadap efisiensi pengolahan
kecil.
Jika suhu air limbah turun maka aktifitas mikroorganisme juga
berkurang, tetapi oleh karena di dalam proses biofilm substrat
maupun enzim dapat terdifusi sampai ke bagian dalam lapisan
biofilm dan juga lapisan biofilm bertambah tebal maka pengaruh
penurunan suhu (suhu rendah) tidak begitu besar.

3.3.2.1. Tinjauan Proses Anaerob Dan Aerob

Pengolahan air limbah secara biologis adalah suatu cara


pengolahan yang diarahkan untuk menurunkan atau menyisihkan
substrat tertentu yang terkandung dalam air buangan dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk melakukan
perombakan substrat tersebut.Proses pengolahan air limbah
secara biologis dapat berlangsung dalam tiga lingkungan utama,
yaitu :

 Lingkungan aerob , yaitu lingkungan dimana oksigen terlarut


(DO) di dalam air cukup banyak, sehingga oksigen bukan
merupakan faktor pembatas.
 Lingkungan anoksik, yaitu lingkungan dimana oksigen terlarut
(DO) di dalam air ada dalam konsentrasi rendah.
 Lingkungan anaerob, merupakan kebalikan dari lingkungan
aerob, yaitu tidak terdapat oksigen terlarut, sehingga oksigen
menjadi faktor pembatas berlangsungnya proses metabolisme
aerob.

46
Berdasarkan pada kondisi pertumbuhan mikroorganisme
yang bertanggung jawab pada proses penguraian yang terjadi,
reaktor dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :

 Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth


reaktor), yaitu reaktor dimana mikroorganisme yang berperan
pada proses biologis tumbuh dan berkembang biak dalam
keadaan tersuspensi.
 Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor), yaitu
reaktor dimana mikroorganisme yang berperan pada proses
penguraian substrat tumbuh dan berkembang di atas suatu
media dengan membentuk suatu lapisan lendir (lapisan
biofilm) untuk melekatkan diri di atas permukaan media
tersebut.

3.3.2.2. Proses Pengolahan Biologis Secara Anaerob

a. Mekanisme Proses Anaerob

Polutan-polutan organik komplek seperti lemak, protein dan


karbohidrat pada kondisi anaerobic akan dihidrolisa oleh enzim
hydrolase yang dihasilkan bakteri pada tahap pertama. Enzim
penghidrolisa seperti lipase, protease dan cellulase. Hasil hidrolisa
polimer-polimer diatas adalah monomer seperti manosakarida, asam
amino, peptida dan gliserin. Selanjutnya monomer-monomer ini akan
diuraikan menjadi asam-asam lemak (lower fatty acids) dan gas
hidrogen.

47
Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat
dalam transformasi senyawa komplek organik menjadi metan. Lebih
jauh lagi, terdapat interaksi sinergis antara bermacam-macam
kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah.
Keseluruhan reaksi dapat digambarkan sebagai berikut (Polprasert,
1989) :

Senyawa Organik  CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S

Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat


ditemukan dalam penguraian anaerobik, bakteri bakteri tetap
merupakan mikroorganisme yang paling dominan bekerja didalam
proses penguraian anaerobik. Sejumlah besar bakteri anaerobik dan
fakultatif (seperti: Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium,
Lactobacillus, Streptococcus) terlibat dalam proses hidrolisis dan
fermentasi senyawa organik. Proses penguraian senyawa organik
secara anaerobik secara garis besar ditunjukkan seperti pada
Gambar 3.22.

48
Gambar 3.22: Kelompok Bakteri Metabolik Yang Terlibat Dalam
Penguraian Limbah Dalam Sistem Anaerobik.

Ada empat grup bakteri yang terlibat dalam transformasi


material komplek menjadi molekul yang sederhana seperti metan
dan karbon dioksida. Kelompok bakteri ini bekerja secara sinergis
(Archer dan Kirsop, 1991; Barnes dan Fitzgerald, 1987; Sahm, 1984;
Sterritt dan Lester, 1988; Zeikus, 1980).
49
1) Kelompok Bakteri Hidrolitik

Kelompok bakteri anaerobik memecah molekul organik


komplek (protein, cellulose, lignin, lipids) menjadi molekul monomer
yang terlarut seperti asam amino, glukosa, asam lemak, dan gliserol.
Molekul monomer ini dapat langsung dimanfaatkan oleh kelompok
bakteri berikutnya. Hidrolisis molekul komplek dikatalisasi oleh
enzim ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan lipase.
Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan
menjadi terbatas dalam penguraian limbah sellulolitik yang
mengandung lignin (Polprasert, 1989; Speece, 1983).

2) Kelompok Bakteri Asidogenik Fermentatif

Bakteri asidogenik (pembentuk asam) seperti Clostridium


merubah gula, asam amino, dan asam lemak menjadi asam organik
(seperti asam asetat, propionik, formik, lactik, butirik, atau suksinik),
alkohol dan keton (seperti etanil, metanol, gliserol, aseton), asetat,
CO2 dan H2. Asetat adalah produk utama dalam fermentasi
karbohidrat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi tergantung jenis
bakteri dan kondisi kultur seperti temperatur, pH, potensial redok.

3) Kelompok Bakteri Asetogenik

Bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan


H2) seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei
(McInernay et al., 1981) merubah asam lemak (seperti asam
propionat, asam butirat) dan alkohol menjadi asetat, hidrogen, dan
karbon dioksida, yang digunakan oleh bakteri pembentuk metan
50
(metanogen). Kelompok ini membutuhkan ikatan hidrogen rendah
untuk merubah asam lemak; dan oleh karenanya diperlukan
monitoring hidrogen yang ketat.

Di bawah kondisi tekanan hidrogen (H2) parsial yang relatif


tinggi, pembentukan asetat berkurang dan subtrat dirubah menjadi
asam propionat, asam butirat, dan etanol dari pada metan. Ada
hubungan simbiotik antara bakteri asetonik dan metanogen.
Metanogen membantu menghasilkan ikatan hidrogen rendah yang
dibutuhkan oleh bakteri asetogenik. Etanol, asam propionat, dan
asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik
dengan reaksi sebagai berikut :

CH3CH2OH + CO2 CH3COOH + 2H2


Etanol Asam Asetat

CH3CH2COOH + 2H2O  CH3COOH + CO2 + 3H2


Asam Propionat Asam asetat

CH3CH2CH2COOH + 2H2O  2CH3COOH + 2H2


Asam Butirat Asam Asetat

Bakteri asetogenik tumbuh jauh lebih cepat dari pada bakteri


metanogenik. Kecepatan pertumbuhan bakteri asetogenik (mak)
mendekati 1 per jam sedangkan bakteri metanogenik 0,04 per jam
(Hammer, 1986).

51
4) Kelompok Bakteri Metanogen
Penguraian senyawa organik oleh bakteri anaerobik
dilingkungan alam melepas 500 - 800 juta ton metan ke atmosfir tiap
tahun dan ini mewakili 0,5% bahan organik yang dihasilkan oleh
proses fotosintesis (Kirsop, 1984; Sahm, 1984). Bakteri metanogen
terjadi secara alami didalam sedimen yang dalam atau dalam
pencernaan herbivora. Kelompok ini dapat berupa kelompok bakteri
gram positif dan gram negatif dengan variasi yang banyak dalam
bentuk. Mikroorganime metanogen tumbuh secara lambat dalam air
limbah dan waktu tumbuh berkisar 3 hari pada suhu 35 oC sampai
dengan 50 hari pada suhu 10oC.

Bakteri metanogen dibagi menjadi dua katagori, yaitu :


Bakteri metanogen hidrogenotropik (seperti : chemolitotrof yang
menggunakan hidrogen) merubah hidrogen dan karbondioksida
menjadi metan.

CO2 + 4H2 CH4 + 2H2O


Metan

Bakteri metanogen yang menggunakan hidrogen membantu


memelihara tekanan parsial yang sangat rendah yang dibutuhkan
untuk proses konversi asam volatil dan alkohol menjadi asetat
(speece, 1983).Bakteri metanogen Asetotropik, atau biasa disebut
sebagai bakteri asetoklastik atau bakteri penghilang asetat, merubah
asam asetat menjadi metan dan CO2.

52
CH3COOH  CH4 + CO2

Bakteri asetoklastik tumbuh jauh lebih lambat (waktu


generasi = beberapa hari) dari pada bakteri pembentuk asam (waktu
generasi = beberapa jam). Kelompok ini terdiri dari dua kelompok,
yaitu : Metanosarkina (Smith dan Mah, 1978) dan Metanotrik (Huser
et al., 1982). Selama penguraian termofilik (58 oC) dari limbah
lignosellulosik, Metanosarkina adalah bakteri asetotropik yang
ditemukan dalam bioreaktor. Sesudah 4 minggu, Metanosarkina
(mak = 0,3 tiap hari; Ks = 200 mg/l) digantikan oleh Metanotrik (mak =
0,1 tiap hari; Ks = 30 mg/l).

Kurang lebih sekitar 2/3 metan dihasilkan dari konversi asetat


oleh metanogen asetotropik. Sepertiga sisanya adalah hasil reduksi
karbon dioksida oleh hidrogen (Mackie dan Bryant, 1984). Diagram
neraca masa pada penguraian zat organik komplek menjadi gas
metan secara anaerobik ditujukkan seperti pada Gambar 3.23.

Secara umum klasifikasi bakteri metanogen dapat dilihat


pada Tabel 3.4. (Balch et al, 1979). Metanogen dikelompokkan
menjadi tiga orde yakni:

 Metanobakteriales misalnya Metanobakterium, Metano-breviater,


Metanotermus.
 Metanomikrobiales misalnya Metanomikrobium, Metano-genium,
Metanospirilium, Metanosarkina, dan Metanokokoid
 Metanokokales misalnya Metanokokkus.

53
Tabel 3.4 : Klasifikasi Metanogen

Order Famili Genus Spesies

Methanobacter Methanobact Methanobacteriu M. formicicum


iales eriaceae m M. bryanti
M. thermoautotrophicum
M. ruminantium
M. arboriphilus
M. smithii
Methanobrevibac M. vannielli
ter

Methanococcal Methanococ Methanococcus M. voltae


es caceae
Methanomicrobiu M. mobile
m

methanomicro Methanomicr Methanogenium M. cariaci


biales obiaceae M. marisnigri
M. hungatei
Methanospillum M. barkeri

Methanosarc Methanosarcina M. mazei


inaceae

Sumber dari : Balch et al., 1979.

54
Gambar 3.23 : Neraca Masa Pada Proses Penguraian Anaerobik
(Fermentasi Metan)
55
Paling sedikit ada 49 spesies metanogen yang telah
didiskripsi (Vogels et al., 1988; Koster,1988) telah mengkompilasi
beberapa bakteri metanogen yang telah diisolasi dan masing-masing
substratnya, ditunjukkan seperti pada Tabel 3.5Proses penguraian
senyawa hidrokarbon, lemak dan protein secara biologis menjadi
metan di kondisi proses anaerobik secara umum ditunjukkan seperti
pada Gambar 3.24 dan 3.25.

56
Gambar 3.24 : Proses Penguraian Senyawa Hidrokarbon
Secara Anaerobik Menjadi Metan

57
Gambar 3.25 : Proses Penguraian Senyawa Protein
Secara Anaerobik
58
Tabel 3.5 : Metanogen Terisolasi Dan Subtratnya

Bakteri Subtrat

Methanobacterium bryantii H2
M. formicicum H2 dan HCOOH
M. thermoautotrophicum H2
M. alcaliphilum H2
Methanobrevibacter arboriphilus H2
M. ruminantium H2 dan HCOOH
M. smithii H2 dan HCOOH
Methanococcus vannielii H2 dan HCOOH
M. voltae H2 dan HCOOH
M. deltae H2 dan HCOOH
M. maripaludis H2 dan HCOOH
M. jannaschii H2
M. thermolithoautotrophicus H2 dan HCOOH
M. frisius
Methanomicrobium mobile H2 dan HCOOH
M. paynteri H2
Methanospirillum hungatei H2 dan HCOOH
Methanoplanus limicola H2 dan HCOOH
M. endosymbiosus H2
Methanogenium cariaci H2 dan HCOOH
M. marisnigri H2 dan HCOOH
M. tatii H2 dan HCOOH
M. olentangyi H2
M. thermophilicum H2 dan HCOOH
M. bourgense H2 dan HCOOH
M. aggregans H2 dan HCOOH
Methanoccoides methylutens CH3NH2 dan CH3OH
Methanotrix soehngenii CH3COOH
M. conilii CH3COOH
Methanothermus fervidus H2
59
Methanolobus tindarius CH3OH, CH3NH2,
(CH3)2NH, dan (CH3)3N
Methanosarcina barkeri CH3OH, CH3COOH,
H2, CH3NH2, (CH3)2NH,
dan (CH3)3N
Methanosarcina themophila CH3OH, CH3COOH,
H2, CH3NH2, (CH3)2NH,
dan (CH3)3N
Sumber : Koster (1988).

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme Proses


Anaerob

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penguraian


secara anaerobik antara lain yakni temperatur, waktu tinggal
(rentention time), keasaman (pH), komposisi kimia air limbah,
kompetisi antara metanogen dan bakteri racun (toxicants).

1) Temperatur

Produksi metan dapat dihasilkan pada temperatur antara


0 C - 97oC. Walaupun bakteri metan psychrophilic tidak dapat
o

diisolasi, bakteri thermophilik beroperasi secara optimum pada


temperatur 50 - 75oC ditemukan di daerah panas. Methanothermus
fervidus ditemukan ditemukan di Iceland dan tumbuh pada
temperatur 63 - 97oC (Sahm, 1984).

Di dalam instalasi pengolahan limbah pemukiman,


penguraian anaerobik dilakukan dalam kisaran mesophilik dengan
temperatur 25 - 40 oC dengan temperatur optimum mendekati 35 oC .
Penguraian thermophilik beroperasi pada temperatur 50 - 65oC.
60
Penguraian ini memungkinkan untuk pengolahan limbah dengan
beban berat dan juga efektif untuk mematikan bakteri pathogen.
Salah satu kelemahan adalah sensitifitas yang tinggi terhadap zat
toksik (Koster, 1988).

Karena pertumbuhan bakteri metan yang lebih lambat


dibandingkan bakteri acidogenik, maka bakteri metan sangat sensitif
terhadap perubahan kecil temperatur. Karena penggunaan asam
volatil oleh bakteri metan, penurunan temperatur cenderung
menurunkan laju pertumbuhan bakteri metan. Oleh karena itu
penguraian mesophilik harus didisain untuk beroperasi pada
temperatur antara 30 - 35oC untuk fungsi optimal.

2) Waktu Tinggal

Waktu tinggal air limbah dalam reaktor anaerob, yang


tergantung pada karakteristik air limbah dan kondisi lingkungan,
harus cukup lama untuk proses metabolisme oleh bakteri anaerobik
dalam reaktor pengurai. Penguraian didasarkan pada bakteri yang
tumbuh menempel mempunyai waktu tinggal yang rendah (1-10 hari)
dari pada bakteri yang terdispersi dalam air (10-60 hari). Waktu
tinggal pengurai mesophilik dan termophilik antara 25 - 35 hari tetapi
dapat lebih rendah lagi (Sterritt dan Lester, 1988).

3) Keasaman (pH)

Kebanyakan pertumbuhan bakteri metanogen berada pada


kisaran pH antara 6,7 - 7,4, tetapi optimalnya pada kisaran pH antara

61
7,0 - 7,2 dan proses dapat gagal jika pH mendekati 6,0. Bakteri
acidogenik menghasilkan asam organik, yang cenderung
menurunkan pH bioreaktor. Pada kondisi normal, penurunan pH
ditahan oleh bikarbonat yang dihasilkan oleh bakteri metanogen. Di
bawah kondisi lingkungan yang berlawanan kapasitas buffering dari
sistem dapat terganggu, dan bahkan produksi metan dapat terhenti.
Asiditas lebih berpengaruh terhadap metanogen dari pada bakteri
acidogenik. Peningkatan tingkat volatil merupakan indikator awal dari
terganggunya sistem. Monitoring ratio asam volatil total (asam
asetat) terhadap alkali total (kalsium karbonat) disarankan di bawah
0,1 (Sahm, 1984). Salah satu metode untuk memperbaiki
keseimbangan pH adalah meningkatkan alkaliniti dengan menambah
bahan kimia seperti lime (kapur), anhydrous ammonia, sodium
hidroksida, atau sodium bikarbonat.

4) Komposisi Kimia Air Limbah

Bakteri metanogen dapat menghasilkan metan dari


karbohidrat, protein, dan lipida, dan juga dari senyawa komplek
aromatik (contoh: ferulik, vanilik, dan asam syringik). Walaupun
demikian beberapa senyawa lignin dan n-parafin sulit terurai oleh
bakteri anaerobik.Air limbah harus diseimbangkan makanannya
(nitrogen, fosfor, sulfur) untuk memelihara pencernaan anaerobik.
Rasio C:N:P untuk bakteri anaerobik adalah 700:5:1 (Sahmn, 1984).
Beberapa pengamat menilai bahwa ratio C/N yang tepat untuk
produksi gas yang optimal sebaiknya sekitar 25-30 :1 (Polprasert,
1989). Metanogen menggunakan ammonia dan sulfida sebagai
sumber nitrogen dan sulfur. Walaupun sulfida bebas adalah toksik
62
terhadap metanogen bakteri pada tingkat 150 - 200 mg/l, unsur ini
merupakan sumber sulfur utama untuk bakteri metanogen (Speece,
1983).

5) Kompetisi Metanogen dengan Bakteri Pemakan Sulfat

Bakteri pereduksi sulfat dan metanogen dapat


memperebutkan donor elektron yang sama, asetat dan H 2. Studi
tentang kinetik pertumbuhan dari dua kelompok bakteria ini
menunjukkan bahwa bakteri pemakan sulfat mempunyai afinitas
yang lebih tinggi terhadap asetat (Ks= 9,5 mg/l) dari pada metanogen
(Ks = 32,8 mg/l). Ini berarti bahwa bakteri pemakan sulfat akan
memenangkan kompetisi pada kondisi konsentrasi asetat yang
rendah (Shonheit et al., 1982; Oremland, 1988; Yoda et al., 1987).
Bakteri pemakan sulfat dan metanogen sangat kompetitif pada rasio
COD/SO4 berkisar 1,7 - 2,7. Pada rasio yang lebih tinggi baik untuk
metanogen sedangkan bakteri pemakan sulfat lebih baik pada rasio
yang lebih kecil.

6) Zat Toksik

Zat toksik kadang-kadang dapat menyebabkan kegagalan


pada proses penguraian limbah dalam proses anaerobik.
Terhambatnya pertumbuhan bakteri metanogen pada umumnya
ditandai dengan penurunan produksi metan dan meningkatnya
konsentrasi asam-asam volatil. Berikut ini adalah beberapa zat toksik
yang dapat menghambat pembentukan metan.

63
 Oksigen.
Metanogen adalah bakteri anaerob dan dapat terhambat
pertumbuhannya oleh oksigen dalam kadar trace level
(Oremland, 1988; Roberton dan Wolfe, 1970).

 Ammonia.
Ammonia yang tidak terionisasi cukup toksik atau beracun untuk
bakteri metanogen. Barangkali karena produksi ammonia bebas
tergantung pH (ammonia bebas terbentuk pada pH tinggi), sedikit
toksisitas yang dapat diamati pada pH netral. Ammonia sebagai
penghambat terhadap pembentukan metanogen pada
konsentrasi 1500 - 3000 mg/l. Penambahan ammonia menambah
waktu tinggal partikel padat (Bhattacharya dan Parkin, 1989).

 Hidrokarbon terklorinasi.
Senyawa khlorin alifatis lebih beracun terhadap metanogen dari
pada terhadap mikroorganisma hetrotropik aerobik (Blum dan
Speece, 1992). Kloroform sangat toksik terhadap bakteri
metanogen dan cenderung menghambat secara total, hal ini
dapat diukur dari produksi metan dan akumulasi hidrogen pada
konsentrasi diatas 1 mg/l (Hickey et al., 1987). Aklimatisasi
senyawa ini meningkatkan toleransi metanogen sampai pada
konsentrasi kloroform 15 mg/l Pemulihan kehidupan bakteri
metanogen tergantung pada konsentrasi biomassa, waktu tinggal
partikel padat, dan temperatur (Yang dan Speece, 1986).

 Senyawa Benzen.
64
Kultur murni dari bakteri metanogen (contoh : Methanothix
concilii, Methanobacterium espanolae, Methanobacterium
bryantii) dapat dihambat pertumbuhannya oleh senyawa benzen
(contoh : benzen, toloene, fenol, pentachlorophenol).
Pentachlorophenol adalah yang paling toksik (beracun) dari pada
seluruh benzen yang diuji (Patel et al., 1991).

 Formaldehida.
Proses pembentukan metan (Methanogenesis) terhambat atau
terganggu pada konsentrasi formadehida sebesar 100 mg/l tetapi
segera pulih kembali pada konsentrasi yang lebih rendah (Hickey
et al., 1988; Parkin dan Speece, 1982).

 Asam Volatil.
Jika pH dijaga tetap netral, asam volatil seperti asam asetat atau
butirik tidak berpengaruh besar (sedikit toksik) terhadap bakteri
metanogen.

 Asam Lemak rantai panjang.


Asam lemak rantai panjang (contoh : caprylic, capric, lauric,
myristic, dan asam oleic) menghambat asetoklastik metanogen
(contoh : Methanothrix spp.) dalam mencerna asetat dalam
lumpur limbah (Koster dan Cramer, 1987).

 Logam Berat.
Logam berat (contoh : Cu++, Pb++, Cd++, Ni++, Zn++, Cr+6) yang
ditemukan dalam air dan lumpur limbah dari industri dapat

65
menghambat penguraian limbah anaerobik (Lin, 1992; Mueller
dan Steiner, 1992). Toksisitas meningkat jika afinitas logam berat
pada lumpur limbah (sludge) menurun dan sebaliknya jika afinitas
pada lumpur logam berat tinggi menjadi sedikit toksik. Toksisitas
logam menghambat reaksi berikutnya dengan hidrogen sulfida,
yang cenderung untuk pembentukan pengendapan logam berat
yang tidak terlarut. Beberapa logam seperti nikel, kobalt, dan
molybdenum pada konsentrasi kecil (trace) dapat merangsang
bakteri methanogen (Murray dan Van Den Berg, 1981; Shonheit
et al, 1979; Whiman dan Wolfe, 1980).

 Sianida.
Sianida digunakan dalam proses industri seperti pembersihan
logam dan elektroplating. Pemulihan bakteri metanogen
tergantung pada konsentrasi biomassa, waktu tinggal partikel
padat, dan temperatur (Fedorak et al., 1986; Yang dan Speece,
1985).

 Sulfida.
Sulfida adalah salah satu penghalang potensial dalam
penguraian limbah anaerobik (Anderson et al, 1982). Melalui
difusi sel membran lebih cepat untuk hidrogen sulfida yang tidak
terionisasi dibandingkan dibandingkan yang terionisasi, toksisitas
sulfida sangat tergantung pada pH (Koster et al., 1986). Sulfida
sangat toksik untuk bakteri metanogen jika konsentrasinya lebih
dari 150-200 mg/l. Bakteri pembentuk asam tidak begitu sensitif
terhadap hidrogen sulfida dibandingkan dengan bakteri
metanogen.
66
 Tanin.
Tanin adalah senyawa fenolik yang berasal dari anggur, pisang,
apel, kopi, kedelai, dan sereal. Senyawa ini umumnya toksik
terhadap bakteri metanogen.

 Salinitas.
Salinitas adalah jenis marial toksik lain dalam penguraian air
limbah dalam sistem anaerobik. Karena potasium dapat
menetralkan toksisitas sodium, maka jenis toksisitas ini dapat
dihambat dengan menambah garam potasium dalam air limbah.

 Efek Balik (Feedback Inhibition).


Sistem anaerobik dapat dihambat oleh beberapa hasil antara
(intermediates produced) selama proses. Tingginya konsentrasi
hasil antara ini (seperti : H2, asam lemak volatil) toksik.

c. Keunggulan dan Kekurangan Proses Anaerob

Keunggulan proses anaerobik dibandingkan proses aerobik


adalah sebagai berikut (Lettingan et al, 1980; Sahm, 1984; Sterritt dan
Lester, 1988; Switzenbaum, 1983) :

 Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO 2 yang ada


sebagai penerima elektron. Proses tersebut tidak membutuhkan
oksigen dan pemakaian oksigen dalam proses penguraian limbah
akan menambah biaya pengoperasian.
 Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (3-20
kali lebih sedikit dari pada proses aerobik), energi yang dihasilkan

67
bakteri anaerobik relatif rendah. Sebagian besar energi didapat
dari pemecahan substrat yang ditemukan dalam hasil akhir, yaitu
CH4. Dibawah kondisi aerobik 50% dari karbon organik dirubah
menjadi biomassa, sedangkan dalam proses anaerobik hanya 5%
dari karbon organik yang dirubah menjadi biomassa. Dengan
proses anaerobik satu metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg
biomassa, sedangkan proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg
biomassa (Speece, 1983; Switzenbaum, 1983).
 Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat, metan.
Gas metan mengandung sekitar 90% energi dengan nilai kalori
9.000 kkal/m3, dan dapat dibakar ditempat proses penguraian
atau untuk menghasilkan listrik. Sedikit energi terbuang menjadi
panas (3-5%). Produksi metan menurunkan BOD dalam
Penguraian lumpur limbah.
 Energi untuk penguraian limbah kecil.
 Penguraian anaerobik cocok untuk limbah industri dengan
konsentrasi polutan organik yang tinggi.
 Memungkinkan untuk diterapkan pada proses penguraian limbah
dalam jumlah besar.
 Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa xenobiotik
(seperti chlorinated aliphatic hydrocarbons seperti
trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami recalcitrant
seperti lignin.

Beberapa kelemahan Penguraian anaerobik :


 Lebih Lambat dari proses aerobik
 Sensitif oleh senyawa toksik

68
 Start up membutuhkan waktu lama
 Konsentrasi substrat primer tinggi

3.3.2.3. Proses Pengolahan Biologis Secara Aerob

a. Mekanisme Proses Aerob

Di dalam proses pengolahan air limbah organik secara


biologis aerobik, senyawa komplek organik akan terurai oleh
aktifitas mikroorganisme aerob. Mikroorganisme aerob tersebut di
dalam aktifitasnya memerlukan oksigen atau udara untuk memecah
senyawa organik yang komplek menjadi CO2 (karbon dioksida) dan
air serta ammonium, selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi
nitrat dan H2S akan dioksidasi menjadi sulfat. Secara sederhana
reaksi penguraian senyawa organik secara aerobik dapat
digambarkan sebagai berikut :

Reaksi Penguraian Organik :


Oksigen (O2)
Senyawa Polutan organik CO2 + H20 + NH4 + Biomasa
Heterotropik
Reaksi Nitrifikasi :
+ - +
NH4 + 1,5 O2------> NO2 + 2 H + H2O
NO2- + 0,5 O2 ------> NO3-

Reaksi Oksidasi Sulfur :


S2 - + ½ O2 + 2 H+ -----> S0 + H2O
2 S + 3 O2 + 2 H2O -----> 2 H2SO4
69
Berbeda dengan proses anaerob, beban pengolahan pada
proses aerob lebih rendah, sehingga prosesnya ditempatkan
sesudah proses anaerob. Pada proses aerob hasil pengolahan
dari proses anaerob yang masih mengandung zat organik dan
nutrisi diubah menjadi sel bakteri baru, hidrogen maupun
karbondioksida oleh sel bakteri dalam kondisi cukup oksigen.

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Proses


Aerob

1) Temperatur
Temperatur tidak hanya mempengaruhi aktivitas metabolisme
dari populasi mikroorganisme, tetapi juga mempengaruhi
beberapa faktor seperti kecepatan transfer gas dan karakteristik
pengendapan lumpur. Temperatur optimum untuk
mikroorganisme dalam proses aerob tidak berbeda dengan
proses anaerob.

2) Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Beberapa bakteri dapat hidup pada pH diatas
9,5 dan di bawah 4,0. Secara umum pH optimum bagi
pertumbuhan mikroorganisme adalah sekitar 6,5-7,5.

3) Waktu Tinggal Hidrolis (WTH)


Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) adalah waktu perjalanan limbah
cair di dalam reaktor, atau lamanya proses pengolahan limbah
70
cair tersebut. Semakin lama waktu tinggal, maka penyisihan yang
terjadi akan semakin besar. Sedangkan waktu tinggal pada
reaktor aerob sangat bervariasi dari 1 jam hingga berhari -hari.

4) Nutrien
Di samping kebutuhan karbon dan energi, mikroorganisme juga
membutuhkan nutrien untuk sintesa sel dan pertumbuhan.
Kebutuhan nutrien tersebut dinyatakan dalam bentuk
perbandingan antara karbon dan nitrogen serta phospor yang
merupakan nutrien anorganik utama yang diperlukan
mikroorganisme dalam bentuk BOD : N : P

3.3.3. Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biofilter


3.3.3.1. Reaktor Biofilter Tercelup

Reaktor biofilter lekat tercelup adalah suatu bioreaktor lekat


diam dimana mikroorganisme tumbuh dan berkembang di atas suatu
media, yang dapat terbuat dari plastik atau batu, yang di dalam
operasinya dapat tercelup sebagian atau seluruhnya, atau hanya
dilewati air saja (tidak tercelup sama sekali), dengan membentuk suatu
lapisan lendir untuk melekat di atas permukaan media tersebut,
sehingga membentuk lapisan biofilm.Biofilm tumbuh pada hampir
semua permukaan di dalam suatu lingkungan perairan. Sistem biofilm
ini kemudian dimanfaatkan dalam proses pengolahan air buangan
untuk menurunkan kandungan senyawa organik. Biofilm merupakan
lapisan yang terbentuk dari sel-sel bio solid dan material inorganik

71
dalam bentuk polimetrik matriks yang menempel pada suatu lapisan
penyokong (support media).

Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm


atau biofilter secara garis besar dapat dilakukan dalam kondisi
aerobik, anaerobik, atau kombinasi anaerobik dan aerobik.
Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut
di dalam reaktor air limbah, dan proses anaerobik dilakukan
dengan tanpa adanya oksigen di dalam reaktor air limbah.
Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah merupakan
gabungan proses anaerobik dan proses aerobik. Proses operasi
biofilter secara anaerobik digunakan untuk air limbah dengan
kandungan zat organik cukup tinggi, dan dari proses ini akan
dihasilkan gas methan. Jika kadar COD limbah kurang dari 4000
mg/l seharusnya limbah tersebut diolah pada kondisi aerob,
sedangkan COD lebih besar dari 4000 mg/l diolah pada kondisi
anaerob.

3.3.3.2.Prinsip Pengolahan Air Limbah Dengan Proses


Biofilter Tercelup

Proses pengolahan air limbah dengan sistem biofilm atau


biofilter secara garis besar dapat diklasifikasikan seperti pada Gambar
3.26. Proses tersebut dapat dilakukan dalam kondisi aerobik, anaerobik
atau kombinasi anaerobi dan aerobik. Proses aerobik dilakukan
dengan kondisi adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah, dan

72
proses anaerobik dilakukan dengan tanpa adanya oksigen dalam
reaktor air limbah.

Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah


merupakan gabungan proses anaerobi dan proses aerobik. Proses
ini biasanya digunakan untuk menghilangan kandungan nitrogen di
dalam air limbah. Pada kondisi aerobik terjadi proses nitrifikasi yakni
nitrogen ammonium diubah menjadi nitrat (NH 4+ NO3 ) dan pada
kondisi anaerobik terjadi proses denitrifikasi yakni nitrat yang
terbentuk diubah menjadi gas nitrogen (NO 3 N2 ).

Mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm


secara aerobik secara sederhana dapat diterangkan seperti pada
Gambar 3.27.

Gambar 3.26 : Klasifikasi Cara Pengolahan Air Limbah Dengan


Proses Film Mikrobiologis (Proses Biofilm)

73
Gambar 3.27 : Mekanisme Proses Metabolisme Di Dalam
Sistem Biofilm

Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm yang


yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang melekat
pada medium, lapisan alir limbah dan lapisan udara yang terletak
diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah misalnya
senyawa organik (BOD, COD), ammonia, phospor dan lainnya akan
terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang melekat pada
permukaan medium. Pada saat yang bersamaan dengan
menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah senyawa
polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di
dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah
menjadi biomasa. Suplai oksigen pada lapisan biofilm dapat
dilakukan dengan beberapa cara misalnya pada sistem RBC yakni
dengan cara kontak dengan udara luar, pada sistem “Trickling Filter”
74
dengan aliran balik udara, sedangkan pada sistem biofilter tercelup
dengan menggunakan blower udara atau pompa sirkulasi.

Jika lapisan mikrobiologis cukup tebal, maka pada bagian


luar lapisan mikrobiologis akan berada dalam kondisi aerobik
sedangkan pada bagian dalam biofilm yang melekat pada medium
akan berada dalam kondisi anaerobik. Pada kondisi anaerobik akan
terbentuk gas H2S, dan jika konsentrasi oksigen terlarut cukup besar
maka gas H2S yang terbentuk tersebut akan diubah menjadi sulfat
(SO4) oleh bakteri sulfat yang ada di dalam biofilm.Selain itu pada
zona aerobik nitrogen–ammonium akan diubah menjadi nitrit dan
nitrat dan selanjutnya pada zona anaerobik nitrat yang terbentuk
mengalami proses denitrifikasi menjadi gas nitrogen. Oleh karena di
dalam sistem bioflim terjadi kondisi anaerobik dan aerobik pada saat
yang bersamaan maka dengan sistem tersebut maka proses
penghilangan senyawa nitrogen menjadi lebih mudah. Hal ini secara
sederhana ditunjukkan seperti pada Gambar 3.28.

Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau


biofilter tercelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke
dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media
penyangga untuk pengembangbiakan mikroorganisme dengan atau
tanpa aerasi. Untuk proses anaerobik dilakukan tanpa pemberian
udara atau oksigen. Posisi media biofilter tercelup di bawah
permukaan air. Media biofilter yang digunakan secara umum dapat
berupa bahan material organik atau bahan material anorganik.

75
Gambar 3.28 : Mekanisne Penghilangan Ammonia Di Dalam Proses
Biofilter

Untuk media biofilter dari bahan organik misalnya dalam


bentuk tali, bentuk jaring, bentuk butiran tak teratur (random
packing), bentuk papan (plate), bentuk sarang tawon dan lain-lain.
Sedangkan untuk media dari bahan anorganik misalnya batu pecah
(split), kerikil, batu marmer, batu tembikar, batu bara (kokas) dan
lainnya.

Di dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem


biofilter tercelup aerobik, sistem suplai udara dapat dilakukan
dengan berbagai cara, tetapi yang sering digunakan adalah seperti
yang tertera pada Gambar 3.29. Beberapa cara yang sering
digunakan antara lain aerasi samping, aerasi tengah (pusat), aerasi
76
merata seluruh permukaan, aerasi eksternal, aerasi dengan “air lift
pump”, dan aersai dengan sistem mekanik. Masing-masing cara
mempunyai keuntungan dan kekurangan. Sistem aerasi juga
tergantung dari jenis media maupun efisiensi yang diharapkan.
Penyerapan oksigen dapat terjadi disebabkan terutama karena aliran
sirkulasi atau aliran putar kecuali pada sistem aerasi merata seluruh
permukaan media.

Di dalam proses biofilter dengan sistem aerasi merata,


lapisan mikroorganisme yang melekat pada permukaan media
mudah terlepas, sehingga seringkali proses menjadi tidak stabil.
Tetapi di dalam sistem aerasi melalui aliran putar, kemampuan
penyerapan oksigen hampir sama dengan sistem aerasi dengan
menggunakan difuser, oleh karena itu untuk penambahan jumlah
beban yang besar sulit dilakukan. Berdasarkan hal tersebut diatas
belakangan ini penggunaan sistem aerasi merata banyak dilakukan
karena mempunyai kemampuan penyerapan oksigen yang besar.

Jika kemampuan penyerapan oksigen besar maka dapat


digunakan untuk mengolah air limbah dengan beban organik
(organic loading) yang besar pula. Oleh karena itu diperlukan juga
media biofilter yang dapat melekatkan mikroorganisme dalam jumlah
yang besar. Biasanya untuk media biofilter dari bahan anaorganik,
semakin kecil diameternya luas permukaannya semakin besar,
sehinggan jumlah mikroorganisme yang dapat dibiakkan juga
menjadi besar pula.

77
Jika sistem aliran dilakukan dari atas ke bawah (down flow)
maka sedikit banyak terjadi efek filtrasi sehingga terjadi proses
penumpukan lumpur organik pada bagian atas media yang dapat
mengakibatkan penyumbatan. Oleh karena itu perlu proses
pencucian secukupnya. Jika terjadi penyumbatan maka dapat terjadi
aliran singkat (Short pass) dan juga terjadi penurunan jumlah aliran
sehingga kapasitas pengolahan dapat menurun secara drastis.

3.3.3.3. Media Biofilter

Media biofilter termasuk hal yang penting, karena sebagai


tempat tumbuh dan menempel mikroorganisme, untuk
mendapatkan unsur-unsur kehidupan yang dibutuhkan-nya,
seperti nutrien dan oksigen. Dua sifat yang paling penting yang
harus ada dari media adalah :
 Luas permukaan dari media, karena semakin luas permukaan
media maka semakin besar jumlah biomassa per-unit volume.
 Persentase ruang kosong, karena semakin besar ruang
kosong maka semakin besar kontak biomassa yang
menempel pada media pendukung dengan substrat yang ada
dalam air buangan
Untuk mendapatkan permukaan media yang luas, media dapat
dimodifikasikan dalam berbagai bentuk seperti bergelombang,
saling silang, dan sarang tawon.

Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batuan, plastik


(polivinil chlorida), pasir, dan partikel karbon aktif. Untuk media
biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat dengan cara

78
dicetak dari bahan tahan karat dan ringan misalnya PVC dan
lainnya, dengan luas permukaan spesifik yang besar dan volule
rongga (porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan
mikroorganisme dalam jumlah yang besar dengan resiko
kebuntuan yang sangat kecil. Dengan demikian memungkinkan
untuk pengolahan air limbah dengan beban konsentrasi yang
tinggi serta efisiensi pengolahan yang cukup besar. Salah Satu
contoh media biofilter yang banyak digunakan yakni media
dalam bentuk sarang tawon (honeycomb tube) dari bahan PVC.
Kelebihan dalam menggunakan media plastik tersebut antara
lain:
 Mempunyai luas permukaan per m3 volume sebesar 150 –
2 3
240 m /m
 Volume rongga yang besar dibanding media lainnya.
 Penyumbatan pada media yang terjadi sangat kecil.
Beberapa contoh perbandingan luas permukaan spesifik
dari berbagai media biofilter dapat dilihat pada Tabel 3.6 :

Tabel 3.6 : Perbandingan Luas Permukaan Spesifik


Media Biofilter

Luas Permukaan
No Jenis Media
spesifiik (m2 /m 3)
1. Trickling filter dengan batu pecah 100 – 200
Model sarang tawon (honeycomb
2. 150 – 240
modul)
3. Tipe jaring 50

4. RBC 80 – 150

79
3.3.4. Pengolahan Secara Filtrasi (Penyaringan)

Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan padatan


tersuspensi dari dalam air yang diolah. Pada penerapannya filtrasi
digunakan untuk menghilangkan sisa padatan tersuspensi yang tidak
terendapkan pada proses sedimentasi. Pada pengolahan air
buangan, filtrasi dilakukan setelah pengolahan kimia-fisika atau
pengolahan biologi. Ada dua jenis proses penyaringan yang umum
digunakan, yaitu penyaringan lambat dan penyaringan cepat.
Penyaringan lambat adalah penyaringan dengan memanfaatkan
energi potensial air itu sendiri, artinya hanya melalui gaya gravitasi.
Penyaringan ini dilakukan secara terbuka dengan tekanan
atmosferik. Sedangkan penyaringan cepat adalah penyaringan
dengan menggunakan tekanan yang melebihi tekanan atmosfir.
Berdasarkan jenis media filter yang digunakan, penyaringan
dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu filter media granular
(butiran) dan filter permukaan. Pada jenis media granular, media
yang paling baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: Ukuran
butiran membentuk pori-pori yang cukup besar agar partikel besar
dapat tertahan dalam media, sementara butiran tersebut juga dapat
membentuk pori yang cukup halus, sehingga dapat menahan
suspensi. Butiran media bertingkat, sehingga lebih efektif pada saat
proses pencucian balik (backwash). Saringan mempunyai
kedalaman yang dapat memberikan kesempatan aliran mengalir
cukup panjang. Sejauh ini media yang paling baik adalah pasir yang
ukuran butirannya hampir seragam dengan ukuran antara 0,6 hingga
0,8 mm.

80
Laju operasi untuk penyaringan ditentukan oleh kualitas air
baku, pengolahan kimia yang diterapkan dan media filter. Pada
umumnya laju penyaringan pada saringan pasir cepat adalah 82,4
liter per menit/m2. Sistem yang ada pada saat ini dapat menaikkan
aliran hingga 206 liter per menit/m2. Unggun saringan yang terdiri
dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan
media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada
diatas media pasir yang lebih halus (berat jenis 2,6). Susunan media
dari atas ke bawah kasar-halus, akan memudahkan aliran air. Flok
yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan
unggun.

3.3.5. Pengolahan Secara Adsorpsi

Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara


dua fase. Pada umumnya zat terlarut terkumpul pada interface.
Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan
materi dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di
industri, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering
digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent
polar akan menarik air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori
pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total luas
2
permukaan umumnya antara 500 – 1.500 m /gr. Berat jenis kering
lebih kurang 500 kg/m3.

81
Gambar 3.30 : Sistem Reuse Air Limbah PT. United Tracktor.
(Pengolahan Tersier).

Bak penampungan air olahan IPAL dan Satu set peralatan re-use: pompa feed,
bak penampung air yang telah siap di sand filter, carbon filter, dosing kaporit
re-use dan panel kontrol

82
Tangki penampungan yang siap di re- Contoh limbah segar dan hasil olahan
use setiap unit/s
Gambar 3.31 : Filter Pasir dan Karbon Aktif Untuk Sistem
Re-useAir Limbah

3.3.6. Pengeringan / Pengolahan Lumpur

Lumpur yang dihasilkan dari proses sedimentasi diolah lebih


lanjut untuk mengurangi sebanyak mungkin air yang masih
terkandung didalamnya. Proses pengolahan lumpur yang bertujuan
mengurangi kadar air tersebut sering disebut dengan pengeringan
lumpur. Ada empat cara proses pengurangan kadar air, yaitu secara
alamiah, dengan tekanan (pengepresan), dengan gaya sentrifugal
dan dengan pemanasan. Pengeringan secara alamiah dilakukan
dengan mengalirkan atau memompa lumpur endapan ke sebuah
kolam pengering (drying bed) yang mempunyai luas permukaan
yang besar dengan kedalaman sekitar 1 atau 2 meter. Proses
pengeringan berjalan dengan alamiah, yaitu dengan panas matahari
dan angin yang bergerak di atas kolam pengering lumpur tersebut.
Cara pengeringan seperti ini tentu saja sangat bergantung dari
83
cuaca dan akan bermasalah bila terjadi hujan. Bila lumpur tidak
mengandung bahan yang berbahaya, maka kolam pengering lumpur
dapat hanya berupa galian tanah biasa, sehingga sebagian air akan
meresap ke dalam tanah dibawahnya. Contoh pengeringan lumpur
antara lain pengeringan lumpur dengan cara tekanan (pengepresan)
dan proses pengeringan lumpur dengan gaya centrifugal. Berikut
diberikan beberapa contoh alat pengering lumpur yang ada.

Gambar 3.32 : Diagram Proses Pengering Lumpur Secara Alami


(Sludge Drying Bed)

84
Gambar 3.33 : Foto Unit Pengering Lumpur Secara Alami (Sludge
Drying Bed)

Gambar 3.34 : Foto Unit Pengering Lumpur Dengan Filter Press.

Gambar 3.35 : Foto Unit Pengering Lumpur Dengan Belt Press.

85
3.3.7.Sistem Kelistrikan IPAL Produksi PT. United
Tracktors Tbk

Peralatan pompa dan blower IPAL produksi PT. United


Tracktors Tbk digerakkan dengan menggunakan listrik yang
diambilkan dari sumber listrik utama gardu PLN yang ada di dalam
lokasi pabrik, sedangkan untuk pompa di bak pengumpul diambilkan
dari sumber listrik terdekat. Kebutuhan power dari masing-masing
peralatan dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Adapun panel listrik ditempatkan pada rumah panel yang


berada menempel dengan dinding IPAL dan dilengkapi dengan CT,
main breaker dan MCB, kontaktor serta Volt meter dan ampere
meter. Foto panel listrik ditunjukkan pada gambar 3.34. dan 3.35.

Tabel 3.7 : Jenis Peralatan Dan Kebutuhan Power Di IPAL

No Jenis Peralatan Jumlah Daya


(Unit) (Watt)
1. Pompa pengumpul limbah cuci unit 1 1.500

2. Pompa pengumpul limbah produksi 1 800

3. Pompa feed chemical treatment 1 400

4. Pompa feed biologi treatment 1 400

5. Pompa sirkulasi air limbah 1 250

6. Pompa pemekat oli 1 200

86
Lanjutanya..

7. Pompa pemekat lumpur 1 250

8. Pompa feed filter air 1 250

9. Pompa transfer air re-use 1 400

10. Pompa dosing bahan kimia koagulan 1 50

11. Pompa dosing bahan kimia flokulan 1 50


Pompa dosing bahan kimia
12. 1 50
disinfektan
13. Agitator reaktor koagulasi 1 90

14. Agitator reaktor flokulasi 1 90

15. Agitator bak pengendap 1 300

16. Blower udara 2 200

17. Lampu penerangan 4 20

87
Gambar 3.36: Wiring Diagram Kelistrikan IPAL Produksi
PT. United Tracktors Tbk

88
Gambar 3.37 : Foto Panel Listrik Gambar 3.38 : MCB Outdoor
IPAL Untuk Pompa
Bak Pengumpul

3.3.8. Diagram Alir Proses IPAL PT. United Tracktor Tbk

Keterangan Proses :
I. Pengolahan Secara Fisika – Kimia
1. Limbah segar yang dihasilkan dari proses pencucian disalurkan
ke bak penampungan yang di depannya dilengkapi dengan
saringan untuk memisahkan padatan yang berukuran besar.

2. Setelah melalui saringan, limbah dialirkan ke bak pengumpul .Di


dalam bak ini, padatan yang berat (pasir, tanah) diendapkan di
bagian dasar. Dalam waktu periode tertentu (1 minggu) kondisi
bak harus di cek untuk melihat jumlah padatan yang telah
terkumpul di dalam bak. Bersihkan bak dari Lumpur dan padatan
lainnya.

89
3. Bak pengumpul ini dilengkapi dengan pompa pentransfer limbah
yang digunakan untuk memompa limbah ke bak equalisasi/ oil
trap. Limbah dari cuci unit masuk ke bak equalisasi, sedangkan
limbah dari produksi/ bengkel masuk ke oil trap terlebih dahulu
sebelum mengalir ke equalisasi untuk dicampur dengan limbah
dari cuci unit.

Bak pengumpul limbah cuci unit Bak pemekat oli lengkap dengan
pompa oli

4. Kandungan oli yang berasal dari limbah produksi akan


mengapung di bagian atas dari limbah, sedangkan air limbah
yang sudah bersih dari oli akan mengalir ke bak berikutnya.
Kandungan oli semakin hari akan bertambah jumlahnya, dan jika
sudah cukup tebal maka dipisahkan untuk ditampung ke bak
pemekat oli dengan cara menutup ball valve yang ada di bak
depannya. Oli akan mengalir secara over flow ke bak pemekat.
Oli di bak pemekat ini masih mengandung air, dan air ini dapat di
recycle masuk ke dalam oil trap kembali dengan pompa pemekat
oli yang tersedia. Jika jumlah oli di bak pemekat ini sudah cukup
banyak maka harus dipindahkan ke drum penampungan untuk
dikirim ke perusahaan pengolah oli bekas.
90
Pemindahan oli ke drum Sistem pemisahan oli dengan over
penampung oli flow dari oil trap

5. Air limbah produksi setelah melewati oil trap akan mengalir


secara gravitasi menuju bak equalisasi. Disini air limbah produksi
yang telah bersih dari oli akan tercampur dengan air limbah dari
cuci unit. Di bak equalisasi dilengkapi dengan pompa feed
chemical treatment yang dilengkapi dengan system level control
dengan pelampung. Pengaturan debit limbah yang akan diolah
dapat dilakukan dengan mengatur posisi ball valve yang terdapat
di pompa feed dan dengan menggunakan ball valve yang
terdapat di inlet reaktor koagulasi.

Peralatan proses koagulasi – flokulasi


91
6. Kebutuhan bahan kimia untuk proses koagulasi – flokulasi diatur
dengan menggunakan dua buah pompa dosing. Jumlah
kebutuhan bahan koagulan dan flokulan ditentukan berdasarkan
dari hasil jar test yang telah dilakukan. Sedangkan untuk
meningkatkan proses reaksi agar dapat terbentuk flok dengan
ukuran besar serta kuat sehingga proses sedimentasi dapat
terjadi dengan sempurna di reaktor koagulasi dan flokulasi
dilengkapi dengan agitator.

Pompa dosing bahan kimia dan motor pengaduk/agitator

7. Setelah melalui proses koagulasi-flokulasi, limbah dialirkan ke


bak pengendap. Tangki bak pengendap ini berbetuk kerucut di
bagian bawahnya dan dilengkapi dengan agitator. Agitator yang
ada secara periodik dihidupkan agar flok yang ada dapat
terkumpul di dasar tangki dan dapat dengan mudah untuk
dipisahkan menuju ke bak pemekat lumpur. Sedangkan air yang
sudah bersih akan mengalir secara over flow dari bak pengendap
untuk selanjutnya diproses secara biologi dengan biofilter.
Lumpur yang sudah terkumpul di bak pemekat selanjutnya
92
dikelola ke unit pengolah lumpur, sedangkan air limpasan dari
bak pemekat lumpur ini dipompa ke unit pengolahan limbah
secara biologi.

Bak Pengendap
Pengelolaan
Lumpur

Bak Pengendap Dan Pemekat Lumpur

93
II. Pengolahan Secara Biologi

Biofilter Untuk Proses Pengolahan Secara Biologi

Untuk melakukan start-up biofilter, langkah pertama yang


harus dilakukan adalah melakukan pengecekan sistem IPAL secara
keseluruhan. Pengecekan IPAL meliputi pengecekan kebocoran bak,
pengecekan perpipaan dalam IPAL, pengecekan sistem kelistrikan,
pengecekan pompa-pompa, pengecekan sistem suplai udara ke
reaktor aerobik dan pengecekan bak-bak pengumpul. Setelah yakin
kalau sistem biofilter sudah sempurna, selanjutnya dilakukan pengisian
biofilter dengan urutan sebagai berikut:

1. Isi semua bak di biofilter dengan air limbah secara bersamaan.


Pengisian IPAL diusahakan merata jangan sampai sebagian penuh,
bagian yang lain masih kosong. Pada posisi penuh dengan air
limbah, cek semua dinding bak biofilter apakah ada kebocoran atau
tidak.

2. Setelah IPAL penuh selanjutnya blower pada bak aerobik


dihidupkan dan cek apakah udara keluar melalui difuser secara

94
merata atau tidak. Kalau tidak merata maka perlu perbaikan difuser
udara.

Blower Udara Dan Proses Aerasi Air Limbah Di Bak Aerasi

95
3. Tes pompa feed biofilter dan pompa recycle, apakah sudah dapat
berfungsi dengan baik.
4. Biarkan bak equalisasi II terisi hingga pompa feed biofilter dapat
beroperasi secara otomatis. Atur aliran /debit pompa feed biofilter
sesuai dengan kapasitas IPAL terpasang.
5. Selanjutnya Air limbah dari bak equalisasi II dipompa ke IPAL
(bioreaktor/bak anaerobik-aerobik dan pengendap akhir) sampai
mencapai level penuh.

WierDi Outlet Biofil

6. Langkah selanjutnya adalah mengisi IPAL dengan bibit atau seed


mikroba atau bakteri. Seed mikroba diambilkan dari instalasi
pengolahan air limbah domestik yang sudah diketahui kinerjanya
berjalan dengan baik. Jumlah seed mikroba sekitar 0,5 – 1 m3.

96
7. Selanjutnya hidupkan pompa sirkulasi, dengan demikian mikroba
akan mengalir teraduk dalam IPAL, dan lama kelamaan akan
lengket pada permukaan media biofilter.
8. Selama masa seeding, untuk mempercepat proses
perkembangbiakan mikroba pengurai air limbah, maka perlu
dilakukan penambahan nutrient. Nutrient berupa padatan yang
komposisinya diramu oleh BPPT. Penambahan nutrient dilakukan
pagi setiap hari selama 3 minggu pertama ipal beroperasi. Caranya
adalah mengambil nutrient sebanyak 1/4 kg kemudian dilarutkan
kedalam air pada ember. Pastikan nutrient larut semua. Setelah itu
cairan nutrient dituangkan kedalam bak pengendap awal dan bak
anaerobik. Sisa padatan nutrient jangan dimasukkan ke dalam
IPAL.
9. Setelah selesai masa seeding, selanjutnya dilakukan pemantauan
secara kontinyu (Swa-pantau).
10. Semua Industri yang sudah memiliki IPAL diwajibkan melakukan
Swa-pantau harian oleh BPLHD DKI. Yang paling mudah dan
ekonomis adalah swa pantau debit air limbah, swa pantau pH, swa
pantau TSS dan pemantauan COD atau organik KMnO4.
11. Setiap 3 bulan, sampel dari inlet dan outlet IPAL harus diambil dan
dianalisakan komposisinya di laboratorium independent seperti
Sucofindo, Unilab dan atau di laboratorium BPLHD DKI. Hasil
analisa dilaporkan ke BPLHD DKI jakarta.

97
III. Pengolahan Tersier (Secara Fisika – Kimia)

Klorin

Tangki Penampung di Cuci Unit

Diagram Alir Pengolahan Tersier

1. Air olahan dari IPAL yang sudah bagus kualitasnya tersebut


ditampung untuk sementara di bak penampungan hasil.
2. Air olahan limbah selanjutnya ditingkatkan kualitasnya lagi
dengan pengolahan tersier untuk tujuan reuse di cuci unit.
3. Operasional system reuse ini dikendalikan dengan panel yang
ada di lantai I.
4. Isi larutan kaporit di tangki penampungan.
5. Pompa air dengan dengan pompa feed filter.
6. Cek apakah pompa dosing kaporit berfungsi dengan baik.
7. Pengolahan tersier yang ada terdiri dari filter pasir dan filter
karbon aktif.
8. Air limbah yang telah mempunyai kualitas bagus ini di filtrasi
dengan menggunakan sand filter yang berfungsi untuk
menyaring jika masih ada padatan yang terikut limbah. Hal ini
berfungsi agar carbon filter yang dipasang setelah sand filter
dapat berfungsi lebih lama.
98
9. Filtrasi berikutnya adalah carbon filter. Filter ini berfungsi untuk
menyerap jika masih ada bau yang kurang sedap dan untuk
menyerap warna jika air belum jernih.
10. Air yang telah difilter sebagian masuk ke kolam biokontrol yang
ditanam ikan di dalamnya, sebagian air lainnya di tambahkan
disinfektan. Bahan disinfektan yang sering dipakai adalah
kaporit. Air yang telah ditambahkan disinfektan ini selanjutnya
ditampung di bak penampungan air sementara, selanjutnya dari
bak ini ditransfer ke penampungan air di cuci unit dan siap
digunakan kembali.
11. Disamping digunakan untuk keperluan di cuci unit, air ini juga
direkomendasikan dapat untuk memenuhi air siram tanaman
maupun untuk cuci kendaraan lainnya.

Peralatan re-use terdiri dari pompa feed, sand filter, carbon filter,
dosing kaporit dan panel kontrol re-use

99
Bak penampung air olahan IPAL dan bak penampung air yang
siap untuk di re-use

Ikan tetap sehat hidup di air lingkungan air olahan dari IPAL

100
Tangki penampung air yang siap dire-use

101
Gambar 3.39: Diagram Alir IPAL Produksi dan Proses

102

Anda mungkin juga menyukai