Anda di halaman 1dari 26

BUKU SAKU

PANDUAN EDUKASI, KONSELING dan


PEMERIKSAAN LABORATORIUM TALASEMIA

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular


Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Kementerian Kesehatan
2021
Pengantar

Penyakit Talasemia merupakan salah satu penyakit kronis dan degeneratif


lainnya yang menjadi bagian dari masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Upaya Pencegahan penyakit Talasemia ini memerlukan kolaborasi dari semua pihak
untuk mewujudkan zero kelahiran Talasemia Mayor.
Sampai saat ini, Talasemia belum dapat disembuhkan, tetapi terjadinya
Talasemia mayor dapat dicegah. Kelahiran bayi penyandang Talasemia mayor
dapat dihindari dengan mencegah perkawinan antara dua orang pembawa sifat
(carrier) Talasemia. Salah satu metode pencegahan kelahiran anak dengan
Talasemia mayor adalah dengan melakukan deteksi dini/ skrining bagi populasi yang
berisiko dan dilakukan konseling genetika bagi para pembawa sifat.
Buku ini kami harapkan digunakan sebagai acuan bagi petugas kesehatan di
FKTP dan FKRTL dalam melakukan deteksi dini, pemeriksaan laboratorium serta
konseling Talasemia.
Terima kasih kepada seluruh kontributor yang telah penyusun materi ini.
Semoga memberikan manfaat dan dapat diimplementasikan dengan optimal.

Salam sehat

Direktur Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Tidak Menular

dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes


NIP 196206221988122001

i
Daftar Isi

PENGANTAR ……………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… ii
BAB 1 Uji Coba Deteksi Dini Talasemia ……………………. 1
BAB 2 Edukasi Talasemia ………………………………….. 4
BAB 3 Pemeriksaan Laboratorium Talasemia 9
di FKTP dan FKRTL ……………………………………
Bab 4 Penentuan Diagnosis Talasemia 18
secara Genotip dan Fenotip di FKRTL …………….
Bab 5 Konseling Genetika pada Talasemia Minor 19
dan dan Langkah Tindak Lanjut ……………………..
Lampiran ………………………………………………………………. 20
TIM PENYUSUN ………………………………………………………………. 23

ii
Bab 1
UJI COBA DETEKSI DINI TALASEMIA

Talasemia sampai saat ini belum dapat disembuhkan, namun Talasemia mayor
dapat dicegah. Program pengendalian penyakit Talasemia di Indonesia
diprioritaskan kepada pencegahan terhadap kelahiran bayi dengan Talasemia
Mayor. Talasemia mayor terjadi karena pernikahan antar sesama Talasemia minor/
pembawa sifat. Salah satu metode pencegahan Talasemia mayor adalah dengan
melakukan deteksi dini bagi populasi yang sangat berisiko, yaitu populasi yang
memiliki anggota keluarga penyandang Talasemia Mayor disebut juga keluarga ring
1.
Bentuk upaya strategis Kementerian Kesehatan dalam penanggulangan Talasemia
ini melibatkan pemangku kebijakan meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Organisasi profesi, swasta, dan masyarakat.

1
Pelaksanaan uji coba deteksi dini Talasemia pada keluarga ring 1 dilaksanakan
mengikuti algoritme berikut:
Gambar 1. Algoritme Uji Coba Deteksi Dini Talasemia

Peserta yang telah diberikan edukasi dan informasi


pelaksanaan uji coba deteksi dini

FKTP yang ditunjuk

Pemeriksaan laboratorium (Hb, MCV, MCH dan SADT)

FKTP
Tidak Curiga Talasemia Curiga Talasemia Anemia sebab lain

Kartu telah deteksi dini Pemastian diagnosis Talasemia :


Talasemia rujukan sampel ke FKRTL

Pemeriksaan laboratorium (Hb analisis:


HPLC/ capilarry electrophoresis)

Rujuk ke Bukan Talasemia Talasemia Talasemia


Laboratorium Talasemia Minor/pembawa sifat Mayor Intermedia FKRTL
Tingkat Beta
Lanjut
Konseling dan edukasi
Kartu telah Konseling dan Tatalaksana
tindak lanjut
deteksi di Unit Pelayanan
Talasemia Talasemia RSUD

Kartu tanda pembawa sifat

Data Nasional

2
Penjelasan algoritme:
1. Peserta yang telah diberikan edukasi tentang deteksi dini Talasemia serta
telah menerima menerima kartu dan informasi tentang pelaksanaan
ujicoba mendatangi FKTP yang ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan
laboratorium.
2. Di FKTP dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap (Hb, MCV,
MCH, dan pembuatan sediaan apus darah tepi).
3. Dokter di FKTP akan melakukan analisis hasil pemeriksaan laboratorium,
dengan kemungkinan hasil : tidak curiga Talasemia, curiga Talasemia, dan
anemia sebab lain.
4. Jika hasil tidak curiga Talasemia, peserta akan diberi kartu telah deteksi dini
Talasemia.
5. Jika hasilnya curiga Talasemia, maka dilakukan rujukan sampel ke FKRTL
yang ditunjuk.
6. Di FKRTL dilakukan pemeriksaan laboratorium lanjutan (Hb analisis: HPLC/
capillary electrophoresis) dan penegakkan diagnosis. Bagi yang hasilnya
terbukti sebagai penyandang Talasemia Mayor dan Intermedia, akan
dilakukan konseling dan tatalaksana, sementara jika sebagai Talasemia
Minor/pembawa sifat dilanjutkan dengan konseling dan edukasi tindak
lanjut.
7. Konseling dilakukan oleh dokter terlatih di FKRTL.
8. Seluruh peserta akan memperoleh kartu hasil deteksi dini sesuai hasil
pemeriksaan
9. Hasil pemeriksaan sebagai penyandang Talasemia dimasukkan ke dalam
Sistim Informasi Talasemia (SIT) dan dilaporkan secara berjenjang.
10. Bila ada individu yang dicurigai Talasemia tetapi hasil penentuan diagnosis
di FKRTL tidak bisa ditentukan Talasemia Beta, maka dilakukan rujukan
parsial ke tingkat yang lebih tinggi di Provinsi atau Pusat untuk menentukan
apakah individu tersebut penyandang Talasemia alfa (yang memerlukan
penelusuran keluarga lebih lanjut dan pemeriksaan analisis DNA) atau jenis
Hemoglobin struktural varian lainnya.

3
Bab 2
EDUKASI TALASEMIA

Apa itu Talasemia?


Talasemia merupakan penyakit kelainan darah yang diturunkan dari kedua orang
tua kepada anak dan keturunannya. Penyakit ini disebabkan karena berkurangnya
atau tidak terbentuknya protein pembentuk hemoglobin utama manusia. Hal ini
menyebabkan sel darah merah mudah pecah sehingga menyebabkan anemia,
dengan tanda pasien menjadi pucat karena kekurangan darah.

Pada sel darah merah sehat, terdapat protein


hemoglobin yang bertugas membawa
oksigen ke seluruh tubuh. Hemoglobin (Hb)
pada umumnya, tersusun atas 4 rantai globin,
yaitu 2 rantai globin alfa dan 2 rantai globin
beta.
Jika terjadi gangguan pada produksi rantai
globin alfa, penyandang dikatakan sebagai
pengidap talasemia alfa, jika kelainan terjadi
pada rantai globin beta menjadi penyandang talasemia beta, dan jika kelainan
terjadi pada kedua rantai globin alfa dan beta, menjadi penyandang talasemia
alfabeta. Talasemia juga dapat bergabung dengan adanya hemoglobin varian,
seperti hemoglobin E, sehingga disebut sebagai talasemia beta/HbE.

Sel darah merah yang mudah pecah ini berlangsung seumur hidup, menyebabkan
penyintas Talasemia membutuhkan transfusi darah berkala untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh. Berdasarkan tingkat keparahannya, Talasemia dibagi
menjadi :
1. Talasemia mayor: penyintas talasemia mayor memerlukan transfusi darah rutin
2. Talasemia intermedia: penyintas talasemia intermedia sesekali memerlukan
transfusi darah
3. Talasemia minor atau pembawa sifat (carrier): disebut juga pembawa sifat
talasemia. Secara kasat mata tampak sehat, tidak bergejala, tidak butuh transfusi,
namun dapat menurunkan gen talasemia kepada keturunannya. Biasanya

4
terdiagnosis atau ditemukan saat melakukan pemeriksaan darah dimana bentuk
sel darah merah pembawa sifat talasemia berukuran lebih kecil daripada orang
sehat.

Bagaimana Talasemia diturunkan?


Talasemia merupakan penyakit keturunan yang berarti diturunkan dari kedua orang
tua kepada anaknya. Jika kedua orang tua memiliki kelainan genetic talasemia
(sebagai talasemia minor), kelainan gen inilah yang dapat diturunkan kepada
anaknya.
Berikut gambar untuk menjelaskan bagaimana Talasemia dapat diturunkan dari
orang tua kepada anaknya.

Gambar 2. Skema Penurunan Talasemia

Apa penanganan untuk penyandang Talasemia Mayor?


Penyandang Talasemia Mayor akan mengalami anemia yang berat dan
memerlukan transfusi darah rutin sejak usia dini (usia 6 bulan). Penyandang Talasemia

5
mayor dapat menjalani hidup yang normal jika cepat didiagnosis dan ditangani
dengan baik.
Penanganan penyandang talasemia meliputi transfusi darah rutin, konsumsi obat
kelasi besi setiap hari, serta pemantauan komplikasi.

Hingga saat ini, tatalaksana kuratif untuk talasemia mayor masih belum tersedia di
Indonesia, yang meliputi:
1. Transplantasi sumsum tulang. Tindakan ini memerlukan donor yang cocok dan
umumnya adalah saudara kandung. Tindakan ini memiliki tingkat keberhasilan
yang tinggi, terutama jika dilakukan sebelum terjadi penumpukan besi dalam
tubuh (90-95%). Akan tetapi, proses ini memerlukan banyak tahapan dan memiliki
resiko komplikasi yang tinggi bahkan sampai kematian.
2. Terapi gen. Tujuan mengganti kelainan gen yang rusak dengan gen yang baru,
tetapi hal ini masih dalam tahap penelitian.

Apa saja komplikasi dari Talasemia Mayor?


1. Komplikasi Medis
Komplikasi pada penyakit Talasemia utamanya disebabkan penumpukan besi
dalam tubuh, yang terjadi sejak awal dekade ke-2 kehidupan. Komplikasi utama
adalah gangguan fungsi jantung, penyakit hati (hepatitis, sirosis, dan kanker hati),
kelainan endokrin (diabetes melitus, infertilitas, pertumbuhan terlambat),
osteoporosis, dan infeksi (hepatitis, HIV, tuberkulosis).

6
2. Komplikasi Non medis
 Terdapat perubahan fisik
yang dapat terlihat yaitu
facies Cooley (hidung pesek,
rahang menonjol, gigi atas
menonjol, tulang dahi
menonjol), pembesaran
organ seperti hati dan limpa, perawakan pendek, warna kulit yang lebih hitam
akibat penumpukan zat besi sehingga dapat menyebabkan tingkat
kepercayaan diri yang rendah dan merasa inferior.

 Pengobatan rutin seumur hidup dapat menyebabkan rasa jenuh dan bosan,
dapat menyebabkan beban waktu, finansial dan emosional bagi penyintas
dan orang terdekat.
 Stigma sosial sehingga penyintas talasemia dilihat sebagai kesakitan, sehingga
dapat mempengaruhi keluarga, pendidikan, dan rasa kuatir saat mencari
pekerjaan dan/atau pasangan hidup penyintas

Namun, bagi penyandang Talasemia Mayor tidak perlu berkecil hati, jika pasien
Talasemia mendapatkan penanganan yang baik (transfusi dan kelasi besi yang
optimal, dengan pemantauan komplikasi yang rutin) maka penyandang
Talasemia dapat hidup layaknya orang lain pada umumnya. Hal ini juga
ditunjukkan dengan angka harapan hidup pasien Talasemia mayor terus
meningkat sejak tahun 1970 dan dapat terus meningkat seiring perkembangan
waktu.

7
Bagaimana sistem jaminan kesehatan untuk pembiayaan Talasemia?
Hingga saat ini, sebagian besar penyintas Talasemia menggunakan asuransi
kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hingga saat ini,
talasemia merupakan penyakit katastropik yang menghabiskan anggaran dana
BPJS terbesar ke-5.
Secara total, biaya terapi suportif untuk satu penyintas Talasemia Mayor sejak lahir
hingga usia 18 tahun sebesar lebih kurang 5 milyar rupiah. Sementara itu, biaya
skrining Talasemia untuk satu orang adalah Rp 550.000,00, satu kali seumur hidup.
Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk penyintas Talasemia hingga
memasuki fase dewasa dapat digunakan untuk skrining 9.090 orang lainnya. Oleh
karena itu, upaya preventif Talasemia harus semakin dikembangkan di Indonesia.

Mengapa deteksi dini Talasemia penting?


 Deteksi dini Talasemia Mayor pada keluarga ring 1 penderita Talasemia Mayor
harus dilakukan sejak lahir, karena 25% dari keluarga penderita Talasemia Mayor
akan terjadi Talasemia Mayor pada usia 6 bulan atau kurang sampai 2 tahun. Bila
pada usia 6 bulan atau kurang sampai 2 tahun tidak ditransfusi darah atau kurang,
maka akan meninggal.
 Pada bayi usia 2 – 6 tahun dari keluarga ring 1 penderita Talasemia Mayor harus
dilakukan deteksi dini Talasemia Intermedia untuk mengetahui apakah bayi
tersebut memerlukan transfusi darah regular atau tidak, karena jika tidak dilakukan
transfusi darah regular akan mengakibatkan komplikasi gangguan pertumbuhan
(pendek, deformitas tulang) dan gangguan intelegensia
 Skrining talasemia minor dilakukan pada keluarga ring 1 penderita Talasemia
Mayor yang secara fisik seperti orang normal
 Pada skrining Talasemia minor pada populasi umum, ditentukan saat sekolah SMA,
mahasiswa, sebelum menikah agar tidak menikah dengan sesama penyandang
Talasemia Minor, karena jika diteruskan menikah akan terjadi kelahiran Talasemia
Mayor sebesar 25% pada setiap kehamilan.

8
Bab 3
PEMERIKSAAN LABORATORIUM TALASEMIA
DI FKTP DAN FKRTL

INFORMED CONSENT
Informed consent atau persetujuan tindakan medis merupakan persetujuan tindakan
yang diberikan oleh peserta atau pengampunya setelah diberikan informasi yang
jelas dan menyeluruh dari petugas kesehatan yang berwenang. Informed consent
diberikan dalam bentuk tertulis.
Dalam pelaksanaan program uji coba deteksi dini Talasemia bagi keluarga ring
1, semua peserta diberikan edukasi tentang Talasemia serta penjelasan
prosedur pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Setelah mendapatkan edukasi,
peserta selanjutnya memberikan informed consent sebagai tanda persetujuan
untuk menjadi peserta uji coba deteksi dini Talasemia pada keluarga ring 1 dan
akan diberikan informasi untuk melakukan pemeriksaan di FKTP yang ditun juk.
Bagi usia dewasa ≥18 tahun, informed consent ditandatangani oleh klien
sendiri, sementara untuk usia < 18 tahun ditandatangani oleh orang tua/wali.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM TALASEMIA DI FKTP


A. SOP Pemeriksaan Laboratorium di FKTP
A.1 Pengambilan Darah Vena Untuk Pemeriksaan Hematologi
Pengambilan bahan darah vena untuk pemeriksaan hematologi umumnya
menggunakan antikoagulan K3EDTA. Anti koagulan ini dipilih karena
memberikan efek perubahan minimal terhadap morfologi sel darah dan
pewarnaan apusan darah tepi.
Alat dan Bahan yang diperlukan untuk pengambilan darah vena, sebagai
berikut :
1. Spuit steril (5 mL), jarum 24 gauge / vacutainer
2. Kapas alkohol 70%
3. Kapas kering
4. Plester
5. Tourniquet
6. Tabung K3/K2 EDTA 2 mL, 2 buah

9
7. Label identitas pasien
8. Sarung tangan
9. Desinfektan
10. Tempat sampah infeksius, tempat sampah jarum

Prosedur pengambilan darah vena :


1. Pastikan identitas pasien dengan menanyakan nama dan tanggal lahir.
Cocokkan dengan formulir dan label.
2. Cuci tangan menggunakan sabun atau desinfektan, kemudian gunakan
sarung tangan baru.
3. Periksa area lengan bagian dalam (fossa cubiti) dan cari lokasi vena yang
akan ditusuk. Hindari daerah yang hematom, tampak terinfeksi, atau ada
jaringan parut.
4. Lakukan pembendungan vena dengan memasang tourniquet 7-10 cm di
atas area vena yang akan dilakukan penusukan.
5. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan menggunakan kapas alkohol
70% dengan gerakan berputar dari dalam ke luar.
6. Biarkan kering, jangan ditiup.
7. Lakukan penusukan vena, antara jarum dan kulit membentuk sudut 15-30o
dan lubang jarum menghadap ke atas.
8. Lepaskan bendungan segera setelah darah mengalir lancar, bendungan
tidak boleh lebih dari 1 menit untuk meminimalisir hemolisis.
9. Jika penampungan bahan telah selesai, perlahan tarik jarum spuit ke luar.
10. Tekan tempat penusukan menggunakan kapas kering atau kapas alkohol
70%
yang telah diperas terlebih dahulu.
11. Aplikasikan plester pada tempat penusukan.
12. Masukkan darah dalam spuit ke dalam 2 tabung EDTA perlahan, tidak
boleh disemprot untuk menghindari hemolisis. Pastikan volume darah
sesuai batas minimal volume tabung.
13. Segera homogenisasi tabung dengan membolak balik tabung sebanyak
8 kali.
14. Tempelkan label identitas pasien pada dinding tabung

10
15. Lepaskan jarum dari spuit. Buang jarum ke tempat sampah jarum, dan
tabung spuit ke tempat sampah infeksius.

A.2 Pembuatan sediaan apus darah tepi


Sediaan apus darah tepi (SADT) sebaiknya dibuat dalam waktu kurang dari 2
jam sejak darah diambil untuk mempertahankan morfologi yang baik.
Alat dan bahan
1. Kaca obyek berbahan kaca ukuran 75x25 mm dengan permukaan bening,
datar, dan halus
2. Kaca apus, dapat dibuat dari kaca obyek yang dimodifikasi dengan
dihaluskan tepinya dan permukaannya dibuat lebih sempit dari lebar kaca
obyek
3. Batang kaca / pipet dan tip
4. Methanol absolut

Prosedur pembuatan SADT


1. Homogenkan darah dengan cara membolak balik tabung dengan lembut
sebanyak 8 kali
2. Teteskan darah ke atas kaca obyek pada 2-3 mm dari tepi, sebanyak 1 tetes
darah
3. Letakkan kaca apus di depan di depan tetes darah dengan sudut 30-45o,
tarik kaca apus ke belakang hingga menyentuh tetes darah
4. Setelah darah menyebar pada tepi kaca apus, dorong kaca apus sehingga
terbentuk apusan darah 3-4 cm
5. Biarkan SADT kering di udara, dan tuliskan nama pasien di bagian pangkal
apusan dengan menggunakan pensil
6. Fiksasi dengan cara meneteskan methanol absolut ke seluruh permukaan
sediaan, dan biarkan hingga kering
7. Setelah kering, tempelkan label identitas pasien
8. Simpan di tempat yang terlindung dari cahaya, jaga agar tidak menempel
satu sama lain. Dapat dimasukan dalam kotak sediaan atau dibungkus
kertas tissue satu persatu.

11
A.3 Penyimpanan Darah (Whole Blood)
Setelah dilakukan pengambilan darah vena terkadang dijumpai situasi
dimana darah tidak dapat langsung diperiksa, tidak dapat langsung
ditransport ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL), atau pemeriksaan telah
selesai dilakukan. Oleh karena itu darah vena dengan antikoagulan K3EDTA
atau K2EDTA (Darah EDTA) harus disimpan dengan cara yang tepat agar
darah EDTA tidak mengalami perubahan morfologi maupun lisis.
Penyimpanan darah EDTA dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Sampel darah EDTA dapat disimpan dalam tabung primer yang berisi
antikoagulan K2EDTA atau K3EDTA.
2. Identitas pasien ditempelkan pada tabung. Identitas pasien minimal
meliputi nama lengkap dan tanggal lahir. Cantumkan tanggal
pengambilan spesimen pada label
3. Sampel darah EDTA disimpan pada suhu 2-8oC (lemari pendingin) dalam
posisi tegak. Sampel maksimal disimpan selama 5 hari sebelum
pemeriksaan analisis hemoglobin dilakukan

A.4 Pengiriman Spesimen


Pengiriman spesimen darah K2EDTA/K3EDTA dan sediaan apus darah tepi
dilakukan dengan menerapkan kewaspadaan universal dan persyaratan
pengiriman spesimen untuk menjaga kualitasnya.
Pengiriman spesimen dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut :
1. Paparan patogen yang diluarkan melalui darah dalam spesimen
diminimalisir dengan menerapkan kewaspadaan universal pada
pengiriman spesimen. Semua spesimen diperlakukan sama seperti spesimen
infeksius.
2. Sediaan apus darah tepi dikirimkan dalam kotak sediaan atau dibungkus
kertas tissue satu persatu dan dimasukkan ke dalam kotak
3. Spesimen dimasukan ke dalam kantong biohazard tertutup / plastik klip.
Kemudian dimasukan ke dalam wadah tertutup dijaga pada suhu ruang
25oC.
4. Setiap spesimen yang dikirim harus dipastikan telah diberi label identitas dan
disertai surat pengantar/ formulir yang sesuai. Selama perjalanan

12
perhatikan agar spesimen tidak terpapar suhu ekstrim atau mengalami
goncangan keras.

B. Pemeriksaan laboratorium di FKTP


Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama adalah pemeriksaan hitung hematologi otomatis. Hitung hematologi
otomatis dapat memberikan informasi mengenai kadar hemoglobin dan nilai
indeks eritrosit rerata (NER). Nilai indeks eritrosit rerata meliputi mean cell volume
(MCV), mean cell hemoglobin (MCH), dan mean cell hemoglobin concetration
(MCHC). Nilai-nilai tersebut diperoleh dari perhitungan eritrosit, hemoglobin, dan
hematokrit. Penilaian kadar hemoglobin dan nilai indeks eritrosit rerata akan
membantu dalam intepretasi anemia. Pada alat hitung hematologi otomatis nilai
tersebut telah disediakan oleh alat.
Pemeriksaan dengan hitung hematologi otomatis dilakukan sesuai prosedur
operasional alat yang digunakan. Sebelum dilakukan pemeriksaan spesimen
pasien, harus dilakukan pemantapan mutu internal dengan menjalankan bahan
kontrol dan menilai hasilnya.

C. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium


Penapisan awal Talasemia pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, dilakukan
menggunakan pengukuran kadar hemoglobin dan nilai indeks eritrosit rerata,
terutama MCV dan MCH. Pada program deteksi dini Talasemia ini, anemia ini
didefinisikan sebagai kadar Hb < 11,0 g/dL pada pemeriksaan dengan alat
hematologi otomatis. Pasien dicurigai sebagai penyandang Talasemia bila MCH <
27 pg dan atau MCV < 80 fL, dengan atau tanpa anemia. Bila Hb < 11,0 g/dL,
namun MCV ≥ 80 fL dan MCH ≥ 27 pg maka dicurigai anemia disebabkan faktor
lain. Pasien tidak dicurigai Talasemia apabila terpenuhi semua kriteria berikut Hb ≥
11,0 g/dL, MCV ≥ 80 fL ,dan MCH ≥ 27 pg.
Berdasarkan kesan yang didapat dari pemeriksaan tersebut maka diputuskan
apakah pasien perlu dilakukan pemeriksaan selanjutnya di fasilitas kesehatan
tingkat lanjut (FKTL). Alur interpretasi dan tindak lanjut pemeriksaan tercantum
pada alur dan tabel berikut:

13
KELUARGA
RING 1

• Pengambilan darah (2 tabung EDTA, @ 2 mL)


•Pemeriksaan Hematologi
•Sediaan apus darah tepi (fiksasi methanol)

Kadar HbNormal
MCV < 80 fL MCH < 27 pg
atau <11,0 g/dL

Rujuk ke FKRTL untuk dilakukan pemeriksaan analisis Hb

Gambar 3. Alur Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1 Interpretasi Hasil Pemeriksaan di FKTP dan Tindak Lanjut Pemeriksaan


Hb (g/dL) MCV (fL) MCH (pg) Kesan Rujuk

≥ 11 ≥ 80 ≥ 27 Tidak curiga Talasemia TIDAK


> 11 < 80 < 27 Curiga Talasemia YA
< 11 < 80 < 27 Curiga Talasemia YA
< 11 ≥ 80 < 27 Curiga Talasemia YA
< 11 < 80 ≥ 27 Curiga Talasemia YA
≤ 11 < 80 < 27 Curiga Talasemia YA
≤ 11 ≥ 80 < 27 Curiga Talasemia YA
≤ 11 < 80 ≥ 27 Curiga Talasemia YA
< 11 ≥ 80 ≥ 27 Anemia sebab lain TIDAK

14
Rujukan laboratorium ke FKRTL dengan fasilitas HPLC atau capillary electrophoresis
dilakukan dengan mengirimkan:
1. EDTA 1 tabung
2. Sediaan apus darah tepi yang difiksasi dengan methanol
3. Data pemeriksaan hematologi: Hb, jumlah eritrosit, MCV, MCH dan data riwayat
transfusi yang dimasukkan ke dalam sistem informasi

PEMERIKSAAN LABORATORIUM TALASEMIA DI FKRTL


Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan di laboratorium FKRTL untuk peserta yang
dicurigai sebagai penyandang Talasemia adalah :
1. Pewarnaan Wright dan pembacaan morfologi eritrosit dari sediaan apus darah
tepi
2. Analisis hemoglobin dengan metode high-performance liquid chromatography
(HPLC) atau capillary electrophoresis
3. Interpretasi terhadap hasil analisis analisis Hb, morfologi eritrosit darah tepi dan
data hematologi

Pada evaluasi morfologi eritrosit dari SADT perlu dilihat adanya kelainan morfologi
eritrosit sebagai berikut:
 Anisopoikilositosis +/-
 Sel pensil +/-
 Sel target +/-
 Fragmentosit +/-
 Sferositosis +/-
 Eritrosit berinti +/-
 Inclusion bodies +/-
 Kelainan lain (sebutkan)

Pada analisis haemoglobin dengan metode HPLC atau capillary electrophoresis,


dilakukan evaluasi terhadap fraksi yang ditemukan serta kadarnya.

Berdasarkan data pemeriksaan hematologi yang dikirimkan oleh FKTP, evaluasi darah
tepi, dan hasil analisis haemoglobin, maka ditarik kesimpulan dari salah satu
kemungkinan berikut ini, atau diagnosis lain bila tidak ada di dalam daftar:

15
 Tidak curiga Talasemia
 Talasemia beta heterozigot (pembawa sifat Talasemia beta)
 Talasemia beta homozigot
 Talasemia beta /HbE
 Curiga Talasemia alpha
 Hb E heterozigot (pembawa sifat HbE)
 Homozigot HbE
 Anemia sebab lain
 Lainnya (sebutkan)

Berikut ini adalah gambaran laboratorium dan klinis beberapa jenis kelainan
haemoglobin bawaan yang sering dijumpai.

Tabel 2. Gambaran Laboratorium dan Klinis Beberapa Kelainan Haemoglobin


Bawaan yang Sering Dijumpai
Diagnosis Hematologi Analisis hemoglobin Klinis
Tidak curiga MCH ≥ 27 pg Fraksi hemoglobin Bervariasi
Talasemia dalam batas normal :
HbA2 2,2-3,5%, HbF
<0,5%
Tidak ada fraksi Hb
lain

Talasemia beta Hb ≥ 9,0 g/dL, HbA2 >3,5%, HbF 0,5- Anemia ringan /
heterozigot MCV 55-75 fL 0,6% tanpa gejala
(pembawa sifat MCH 19-25 pg
Talasemia beta Morfologi eritrosit
mikrositik hipokrom

Talasemia beta Hb < 7,0 g/dL, HbA2 bervariasi, HbF Gejala berat sejak
homozigot MCV 50-60 fL 70-90 % usia muda,
(Talasemia MCH 14-20 pg membutuhkan
mayor) Kelainan morfologi transfusi
berat, eritrosit (transfusion
mikrositik hipokrom, dependent)
anisopoikilositosis,
eritrosit berinti

Talasemia beta Hb 6-10,0 g/dL, HbA2 bervariasi: Gejala sedang,


homozigot MCV 55-70 fL normal-meningkat, kebutuhan transfusi
(Talasemia MCH 15-23 pg HbF sd 100% bervariasi
intermedia)
Curiga Talasemia Hb bervariasi: normal- HbA2 < 2,2 %, dapat Bervariasi. Tanpa
alfa anemia disertai HbH pada 3 gejala pada 1 gen
MCH < 27 pg gen delesi delesi. Anemia
ringan pada 2 gen

16
Morfologi eritrosit delesi, gejala berat
mikrositik hipokrom pada 3 gen delesi
Hb E heterozigot Hb 10-14,0 g/dL, HbE 25-35% Gejala ringan
(pembawa sifat MCV 55-70 fL HbA 60-75%
HbE) MCH 20-25 pg HbA2 3,4%
Morfologi eritrosit HbF tidak meningkat
mikrositik hipokrom

Homozigot HbE Anemia 9-14 g/dL HbE >90% Gejala ringan


MCV 60-67 fL HbE+HbA2 >95%
MCH 20 pg (HPLC)
Morfologi eritrosit HbF<3%
mikrositik hipokrom, sel
target

Talasemia beta HbE-Beta+ Thal: HbE-Beta+ Thal: HbE-Beta+ Thal:


HbE Hb bervariasi HbA 5-60% Bervariasi, tidak
MCV 55-62 fL HbF 6-50% perlu transfusi rutin,
HbE-Beta0 Thal: HbE (+HbA2) : 25-80% splenomegali (+)
Anemia seperti pada HbE-Beta0 Thal: HbE-Beta0 Thal:
Talasemia mayor HbA 0% Perlu transfusi rutin,
HbF 15-25% splenomegali (+)
HbE (+HbA2) : 75-85%

Anemia mikrositik hipokrom dapat pula dijumpai pada penyakit lain yang bukan
termasuk dalam kelainan haemoglobin bawaan, seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Klasifikasi Anemia


Anemia Mikrositik Hipokrom Normositik Makrositik
Normokrom
Nilai Indeks MCV < 80 fL MCV < 80 - 95 fL MCV > 95 fL
Eritrosit Rerata MCH < 27 pg MCH ≥ 27 pg
(NER)
Penyebab Defisiensi besi Anemia hemolitik Megaloblastik :
Anemia defisiensi vitamin B12
dan asam folat
Talasemia Anemia penyakit Non-megaloblastik :
kronik penyakit liver,
myelodysplasia,
anemia aplastik
Anemia penyakit Perdarahan
kronik
Sideroblastik anemia Penyakit ginjal
Keracunan timbal Gagal sumsum
tulang

17
Bab 4
Penentuan Diagnosis Talasemia secara Genotip dan Fenotip di FKRTL

1. Penentuan diagnosis Talasemia definitif di FKRTL sekunder dilakukan oleh


Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Spesialis Anak, dan Spesialis Patologi Klinik.
2. Diagnosis pasti Talasemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium skrining,
berupa Talasemia Beta, Beta HbE atau Alfa 3 delesi, disertai dengan
penentuan diagnosis klinis Talasemia Mayor, Talasemia Intermedia, dan
Talasemia Minor.
3. Bila diagnosis pasti Talasemia sudah ditegakkan, maka mereka yang
terdiagnosis Talasemia Mayor atau Intermedia dirujuk ke Unit Talasemia di RS
4. Bila diagnosis belum dapat ditentukan maka dirujuk ke FKRTL tersier
5. Bila diagnosis Talasemia Minor ditegakkan maka penyandang Talasemia Minor
akan dirujuk ke tim konseling genetika
6. Untuk dokter yang melakukan konseling genetika dan edukasi pada
penyandang Talasemia Minor hasil skrining, harus mengikuti pelatihan
konseling genetika dan edukasi Talasemia Minor yang akan dilaksanakan oleh
profesi yang akan mengeluarkan sertifikat yang layak menjadi konselor

18
Bab 5
Konseling Genetika pada Talasemia Minor dan dan Langkah Tindak Lanjut

Konseling dilakukan oleh konselor (oleh dokter dan dokter spesialis yang terlatih untuk
memberikan penjelasan yang sederhana, informasi tentang penyakitnya, genetika,
dan langkah atau tindak lanjut hasil deteksi dini.
1. Konseling genetika diberikan kepada penyandang talasemia minor/ carrier/ trait.
2. Konseling genetika dimulai setelah individu dinyatakan dengan pasti sebagai
penyandang Talasemia Minor
3. Sebelum konseling dimulai dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai
pengertian dan tujuan konseling genetika serta edukasi tindak lanjut.
4. Konseling genetika mencakup penjelasan kepada penyandang Talasemia Minor
tentang sistem pewarisan talasemia jika kedua penyandang Talasemia Minor
menikah.
5. Penyandang Talasemia Minor tersebut dapat mengisi pohon keluarga tentang
pewarisan Talasemia dalam keluarga penyandang Talasemia itu, yang mencakup
ring 1, 2, dst.
6. Pembawa sifat Talasemia diharapkan tidak menikah dengan sesama pembawa
sifat. Jika tetap akan menikah, dianjurkan untuk tidak memiliki anak atau
mengadopsi anak. Serta informasi mengenai konsekuensi kemungkinan bayi lahir
dengan Talasemia Mayor beserta dampaknya.

19
Lampiran

Contoh lembar informed consent


Lembar
*PUSKESMAS/Rumah Sakit :

INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN/PENOLAKAN TINDAKAN MEDIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Tanggal lahir :
Alamat :
Telpon :
Menyatakan dengan sesungguhnya saya orang tua dari:
Nama :
Tanggal lahir :
Alamat :
Telpon :
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK* untuk dilakukan tindakan medis berupa
pemeriksaan darah sebagai deteksi dini Talasemia.
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti dengan segala hal yang berhubungan
dengan penyakit tersebut, serta pemeriksaan lanjutan yang akan diberikan.
.................,...................2020
Pelaksana tindakan, Yang membuat pernyataan,

(.............................) (.......................................)

*coret yang tidak perlu

20
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
SKRINING PASIEN TALASEMIA DI FASILITAS
STANDAR
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
PROSEDUR
No. Dokumen No. Revisi Halaman
OPERASIONAL
Tanggal Terbit: Ditetapkan oleh:

PENGERTIAN Pemeriksaan laboratorium hematologi lengkap yang pertama kali


dilakukan pada pasien di FKTP untuk mencari kemungkinan adanya
Talasemia
TUJUAN 1. Untuk menentukan kebutuhan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
2. Menentukan kecurigaan Talasemia.
KEBIJAKAN
PROSEDUR 1. Dokter melakukan penilaian terhadap kemungkinan adanya
talasemia pada hasil pemeriksaan hematologi lengkap pasien
a. Penilaian dilakukan berdasarkan kadar hemoglobin, mean
corpuscular volume (MCV), dan mean corpuscular
hemoglobin (MCH).
b. Pasien yang dianggap memiliki kemungkinan
adanya Talasemia adalah (salah satu dibawah ):
Kadar hemoglobin normal atau kurang dari rentang
normal dengan :
i. MCV kurang dari rentang normal
laboratorium pemeriksa (<80)
ii. MCH kurang dari rentang normal
laboratorium pemeriksa (<27)
2. Cara pengambilan sampel :
- Darah vena dimasukkan dalam tabung EDTA masing-
masing 2 ml untuk pemeriksaan Hematologi lengkap dan
hapusan darah tepi difiksasi
- Dokter merujuk sampel yang memiliki hasil
pemeriksaan seperti di poin 1b ke Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) untuk diperiksa
analisa Hb.
UNIT TERKAIT 1. Pendaftaran
2. Pelayanan Medis
3. Laboratorium

21
STANDAR PROSEDUR OPERASIONAL
SKRINING PASIEN TALASEMIA DI FASILITAS
STANDAR
KESEHATAN TINGKAT LANJUT
PROSEDUR
No. Dokumen No. Revisi Halaman
OPERASIONAL
Tanggal Terbit: Ditetapkan oleh:

PENGERTIAN Sampel yang dikirim dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer


(FKTP) dengan curiga Talasemia untuk menegakkan diagnosis
Talasemia
TUJUAN Menentukan diagnosis Talasemia dan melakukan konseling
KEBIJAKAN
PROSEDUR Ketentuan sampel pemeriksaan di FKTL adalah tabung EDTA 2
ml untuk pemeriksaan analisa Hb
Untuk sampel yang dikirim dari FKTP dengan dugaan adanya
Talasemia :
1. Dokter spesialis melakukan pemeriksaan berikut:
a. Gambaran darah tepi
b. Analisis hemoglobin
2. Dokter spesialis melakukan interpretasi hasil abnormal
dibawah ini.
a. Gambaran darah tepi: eritrosit mikrositik hipokrom,
anisositosis, adanya sel target dan/atau tear drop cell
b. Fraksi HbA2 yang lebih dari 3,5% pada pasien
dewasa sesuai Talasemia beta
c. Fraksi HbA2 kurang dari 3.5 % kemungkinan
Talasemia jenis lain atau penyakit lain
d. Adanya fraksi hemoglobin varian dilaporkan
3. Jika diperlukan dokter spesialis dapat merujuk pasien untuk
pemeriksaan Talasemia lanjutan (Analisis DNA) dengan
biaya mandiri

UNIT TERKAIT 1. Pendaftaran


2. Unit Rawat Jalan
3. Laboratorium

22
TIM PENYUSUN

Pengarah :
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kontributor :
dr. Cut Putri Arianie, M.H.Kes
Dr. dr. Djumhana Atmakusuma, Sp.PD,KHOM
Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A (K)
dr. Iswari Setianingsih, Sp.A,(K), PhD
Dr. dr. Agus Susanto, Kosasih, Sp.PK, MARS
Dr. dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A (K)
dr. Ludi Dhyani Rahmartani, Sp.A
dr. Aldrin NP, Sp.Ak, MARS, M.Biomed, M.Kes, SH
dr. Sylviana Andinisari, M.Sc
dr. Tiersa Vera Junita, M.Epid
Agus Sugiarto, SKM. M.Kes
Merlida Sitinjak, SKM
Nengsih Hikmah S, SKM, MKM
La Ode Hane, SKM, M.Kes
Dian Kiranawati, S. Kep, Ners
Yulia Armenda, SKM
Aryanti Natalia, SKM

Sekretariat :
Indrasila, S.Sos
Fadli Amri Tanjung, AMK

23

Anda mungkin juga menyukai