Anda di halaman 1dari 138

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

ANALISIS TERHADAP KESIAPAN IMPLEMENTASI E-PROCUREMENT


DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Magister

Program Studi Magister Administrasi Publik

Oleh:

HARTAWAN TRI WIBAWA


NIM. S240809009

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Hartawan Tri Wibawa, S240809009, 2011, Analisis Kesiapan Implementasi e-


Procurement di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tesis: Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan rencana implementasi


e-procurement di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dengan indikator
kesiapan dari Pemerintah Kabupaten dan dunia usaha.

Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang digunakan


bersumber dari data primer melalui wawancara, dokumentasi, telaah kepustakaan serta
pengamatan langsung terhadap obyek sasaran. Metode analisis data berupa analisis
interaktif, yaitu: mengumpulkan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan.

Hasil penelitian terkait kesiapan implementasi e-procurement di Kabupaten


Sukoharjo menunjukkan bahwa dilihat dari tiga komponen yaitu Sumber Daya,
Komitmen Pimpinan dan Teknologi, Pemerintah Kabupaten telah siap untuk
menjalankan e-procurement. Pihak dunia usaha yang menjadi penyedia barang dan
jasa di Kabupaten Sukoharjo terlihat belum siap. Belum banyak rekanan yang
mengetahui sistem ini karena sosialisasi yang dilakukan pemerintah masih kurang
serta penggunaan teknologi informasi di kalangan pengusaha yang masih minim.

Beberapa saran yang direkomendasikan antara lain Pemerintah Kabupaten


Sukoharjo selaku pelaksana sistem e-procurement lebih aktif melakukan sosialisasi
sehingga para pengusaha mengetahui dan memahami tentang e-procurement dan
segera melakuan pendaftaran dan verifikasi di Sekretariat Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE). Di samping itu dunia usaha dituntut untuk harus memiliki
kesiapan kompetisi, seperti kemampuan penguasaan teknologi, kepiawaian membuat
penawaran bersifat digital dan lainnya yang berhubungan dengan prosedur pengadaan
secara elektronis. Kalangan dunia usaha sebaiknya memanfaatkan fasilitas yang
diberikan pemerintah daerah berupa pelatihan gratis serta ruang bidding bagi penyedia
yang tidak memiliki fasilitas IT Perlu juga dibentuk lembaga khusus e-procurement
dalam bentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP), sehingga tidak ada lagi personil yang
merangkap tugas pada dinas/bagian lain. Dengan demikin ada struktur dan
tanggungjawab yang jelas disesuaikan dengan kemampuan personil.

Kata kunci: Kesiapan, Implementasi, E-procurement

commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Hartawan Tri Wibawa, S240809009, 2011, Analysis of e-Procurement Implementation


Readiness in Sukoharjo Regency Government. Thesis: Program of Postgraduate in
Sebelas Maret University, Surakarta.

The purpose of this study was to determine the readiness of e-procurement


implementation plan at the Sukoharjo Regency Government with the readiness
indicator of the Government and the business world.

The method used is descriptive qualitative. The data used derived from primary data
through interviews, documentation, review the literature and direct observation of the
target object. Methods of data analysis in the form of interactive analysis, namely: data
gathering, data reduction, data presentation and drawing conclusions.

The results related to the implementation of e-procurement readiness in Sukoharjo


district show that the visits of three components namely Resources, Commitment
Leadership and Technology, County Government is ready to run e-procurement. Many
industries are the providers of goods and services in the District of Sukoharjo looks
not ready. Not many partners who know the system is due to socialization by the
government is still lacking and the use of information technology among entrepreneurs
is still minimal.

Some suggestions are recommended among other Sukoharjo District Government as


the implementing e-procurement system more active information dissemination so that
the entrepreneurs know and understand about e-procurement and immediately undergo
a registration and verification of the Secretariat of the Electronic Procurement Service
(LPSE). In addition, businesses are required to have a readiness competition, such as
mastery of technology skills, expertise make an offer is digital and the other relating to
the procurement procedures electronically. Business community should take
advantage of the facilities provided by local government in the form of free training as
well as bidding for space providers who do not have the IT facilities should also be
established a special agency e-procurement in the Procurement Services Unit (ULP),
so that no personnel are on duty tasks concurrently / other parts. By Accordingly there
is a clear responsibility structure and adapted to the abilities of personnel.

Keywords: Readiness, Implementation, E-procurement

commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI TESIS…………………......... iii

HALAMAN PERNYATAAN………………………………………..... iv

KATA PENGANTAR………………………………………………….. v

DAFTAR ISI…..……………………………………………................... viii

DAFTAR TABEL……..………………………………………………… xi

ABSTRAK………………………………………………………………. xii

ABSTRACT…………………………………………………………….. xiii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………… 1

A. Latar Belakang…………………………………………………… 1

B. Perumusan Masalah……………………………………………… 12

C. Tujuan Penelitian………………………………………………… 12

D. Kegunaan Penelitian……………………………………………... 13

E. Sistematika Penulisan…………………………………................. 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..…………………………………… 16

A. Landasan Teori…………………………………………………… 16

1. Implementasi Kebijakan Publik……………………………… 26

commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Good Governance……………………………………………. 22

3. E-Government……………………………………………….. 25

4. E-Procurement………………………………………………. 27

B. Aplikasi e-Procurement pada Sektor Publik…………………….. 30

C. Identifikasi Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan e-

Proc……………………………………………………………… 37

D. Problematika Proses Pengadaan Barang/Jasa Publik di

Indonesia……………………………………………………….. 48

E. Fenomena Korupsi dalam tender Proyek dan

Implikasinya…………………………………………………….. 53

F. E-Procurement: Inovasi Proses Pengadaan Barang/Jasa

Publik…………………………………………………………… 61

G. Keunggulan dan Manfaat e-Procurement………………………. 64

H. Membangun LPSE di Kabupaten/Kota………………………… 74

I. Kerangka Berpikir………………………………….................... 76

BAB III. METODE PENELITIAN……………………………………. 78

A. Desain Penelitian……………………………………….............. 78

B. Lokasi Penelitian……………………………………….............. 79

C. Teknik Pengumpulan Data……………………………………… 79

D. Teknik Pengambilan Sampel…………………………………… 81

E. Teknik Analisis Data……………………………………………. 81

commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

F. Validitas Data…………………………………………………… 81

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………… 84

A. Deskripsi Wilayah Penelitian…………………………………… 84

B. E-Government di Kabupaten Sukoharjo……………….............. 90

C. Program Penyiapan Menuju e-Procurement…………………… 95

D. Kesiapan Pemerintah daerah Dalam e-procurement…………… 96

E. Perbedaan proses pelelangan Secara Manual dan

Elektronik……………………………………………………… 119

F. Peran Pihak Swasta dalam implementasi………………………. 120

G. Pembahasan……………………………………......................... 121

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………… 128

A. Kesimpulan………………………………………..................... 128

B. Saran………………………………………………................... 130

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………. 132

LAMPIRAN………………………………………………………….. 136

commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Good governance atau tata laksana pemerintahan yang baik merupakan

semboyan yang sedang gencar–gencarnya dipromosikan oleh pemerintah. Banyak

negara telah menerapkan prinsip good governance sekitar 50-100 tahun yang lalu,

sedangkan Indonesia baru mengemuka di era reformasi beberapa tahun yang lalu.

Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi di

Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid, sekaligus juga korup dan sentralitis

terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa negeri ini. Berarti terbuka sebuah

kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai bidang. Sebagai catatan

saja, kondisi kita waktu itu merupakan kondisi yang amat terpuruk. Tak hanya

dibidang ekonomi saja, tapi juga dibidang hukum, birokrasi dan juga moralitas.

Kemudian berkembanglah sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat

menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut, yaitu Good Governance.

Istilah good governance mulai muncul di Indonesia sejak tahun 1990-an dan

semakin mengemuka pada tahun 1996 seiring dengan interaksi pemerintah dengan

negara-negara luar beserta lembaga-lembaga pemberi bantuan yang semakin

menyoroti kondisi obyektif perkembangan ekonomi dan politik di Indonesia.

Lembaga-lembaga pemberi donor baik yang bersifat multirateral maupun bilateral

mengaitkan penerapan good governance dengan kebijakan pemberian bantuan. Good


commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian

bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah (grant).

Prinsip good governance sebenarnya merupakan prinsip yang

mengetengahkan keseimbangan antara masyarakat (society) dengan negara (state)

serta negara dengan pribadi-pribadi (personals). Artinya, setiap kebijakan public

(public policy) harus melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat maupun

sektor swasta dengan aturan main yang jelas. Ciri good governance di sini adalah

keputusan tersebut diambil secara demokratis, transparan, akuntabilitas, dan benar

(Nugroho, 2008:39).

Menurut UNDP karakteristik pelaksanaan good governance meliputi

beberapa aspek, salah satunya adalah Transparency. Transparansi dibangun atas dasar

kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan

publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

(Mardiasmo,2004:18)

Upaya mewujudkan good governance merupakan suatu prioritas dalam

rangka menciptakan suatu tatanan masyarakat, bangsa, dan negara yang lebih

sejahtera, jauh dari korupi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintah Indonesia saat ini

berusaha untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan

menerapkan tata kelola yang baik (good governance). Kedua hal tersebut baru bisa

dicapai jika penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip kepastian hukum,

profesional, visioner, efisien, efektif, akuntabel, transparan, dan partisipatif. Maraknya

praktik korupsi, rendahnya kualitas layanan publik yang tidak memenuhi harapan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

publik, birokrasi pemerintahan yang tidak efisien dan efektif, transparansi dan

akuntabilitas yang rendah, serta rendahnya disiplin dan etos kerja aparatur negara

menjadi dasar perlunya reformasi untuk mencapai pemerintahan yang bersih.

Menurut Riza Nizarli (1996) yang disampaikan dalam Seminar

Perkembangan Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus, Good

Governance adalah pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan adminstratif dalam

pengelolaan sebuah negara, termasuk di dalamnya mekanisme yang kompleks serta

proses yang terkait, lembaga-lembaga yang dapat menyuarakan kepentingan

perseorangan dan kelompok serta dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul

diantara mereka. Persyaratan minimal untuk mencapai good governance adalah

adanya transparansi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, serta keadilan.

Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan transparansi dalam

penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai good governance adalah dengan

menerapkan pengembangan electronic government (e-government).

Pelayanan pemerintah yang birokratis dan terkesan kaku dieliminasi melalui

pemanfaatan teknologi informasi menjadi lebih fleksibel, dan lebih berorientasi pada

kepuasan pengguna yang lazim disebut sebagai electronic government (e-government).

E- government menawarkan pelayanan publik bisa diakses secara 24 jam, kapan pun,

dan dari manapun pengguna berada. E-government juga memungkinkan pelayanan

publik tidak dilakukan secara face-to-face sehingga pelayanan menjadi lebih efisien.

Selain itu seperti telah disebutkan di atas, e-Government ditujukan untuk

mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance) yang tercermin

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dari pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Dengan demikian

transparansi merupakan unsur penting untuk penerapan e-Government dalam

pemerintahan yang modern karena mencerminkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan

keadilan yang merupakan tanggungjawab dari aparatur Negara.

Dari penelitian yang pernah dilakukan di Kabupaten Sleman, ada beberapa

pengembangan sistem yang dapat dilakukan ke depannya untuk mendukung e-

government di Pemerintah Kabupaten/Kota antara lain :

1. Integrasi Sistem Administrasi Kependudukan (SAK) – Geografic Information

System (GIS), yaitu integrasi data kependudukan dengan GIS, sehingga statistik

data penduduk bisa ditampilkan lebih menarik.

2. Integrasi Sistem Perijinan – GIS, yaitu integrasi sistem layanan perijinan dengan

GIS. Pada proses perijinan hal yang cukup krusial biasanya di bagian survey

lokasi. Dengan adanya GIS, maka survey lokasi tidak harus dilakukan dengan

langsung datang ke lokasi, tetapi bisa melihat lokasi secara online di komputer,

sehingga hasil survey lokasi bisa lebih akurat dan bisa meminimalkan biaya

survey.

3. Integrasi Sistem Perijinan – SMS, yaitu informasi layanan perijinan yang dapat di

akses melalui SMS. Masyarakat yang memproses ijin bisa memonitor status ijin

mereka lewat SMS.

4. Penyediaan Sistem e-Procurement, yaitu sistem berbasis web untuk layanan

proses lelang.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Integrasi Sistem Internal dengan SMS, yaitu informasi gaji pegawai, informasi

kenaikan pangkat, masa pensiun, informasi kepegawaian bisa diakses lewat SMS

6. Penyediaan akses internet murah bahkan gratis di semua kecamatan untuk

mendukung akses masyarakat. Dengan adanya internet murah di kecamatan bisa

mendorong minat masyarakat untuk penggunaan internet. Lokasinya juga di

kantor kecamatan agar masyarakat lebih akrab dengan kantor kecamatan. (Cecilia

Lusiani,1999:44).

Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik atau via internet (e-

Procurement) merupakan salah satu bagian dari penerapan e-government untuk

mewujudkan nilai-nilai good governance. Sistem e-procurement adalah

pengembangan dari sistem pengadaan barang dan jasa publik yang dikelola secara

elektronik berbasis Internet. Prosedur pokok pengadaan masih tetap merujuk kepada

Perpres No.54 tahun 2010 dengan prinsip bahwa mekanisme pengadaan harus efisien,

efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil atau non-diskriminatif, dan akuntabel.

Harus diakui bahwa prinsip-prinsip ini di dalam praktik pengadaan barang dan jasa

selama ini sulit ditegakkan karena banyak pihak yang senantiasa mencari celah dalam

peraturan atau mencari kesempatan untuk mengambil keuntungan pribadi atau

kelompok. Terobosan e-procurement dimaksudkan untuk menghindari sistem

transaksi pengadaan yang mengandalkan tatap muka langsung, kontak surat, atau

komunikasi rahasia yang rawan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Pemerintah perlu segera mengimplementasikan e-procurement sebagai

bagian penerapan e-government karena penerapan kebijakan itu sudah menjadi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebutuhan yang mendesak menuju terwujudnya good governance karena sistem

pengadaan barang dan jasa yang saat ini berlaku di Indonesia masih memiliki

kelemahan dan belum secara efektif mampu mencegah terjadinya korupsi.

Indonesia memiliki reputasi internasional yang sangat buruk dalam hal

korupsi. Praktek korupsi telah terjadi dalam berbagai wilayah, mulai korupsi di

lingkup birokrasi, kepolisian, pengadilan, hingga militer. Bank Dunia pernah mencatat

Indonesia sebagai lima besar negara terkorup di dunia dengan tingkat pengendalian

yang sangat rendah. Meskipun telah mengalami sedikit peningkatan Indeks Persepsi

Korupsi (IPK) selama tiga tahun terakhir, pada tahun 2006 IPK Indonesia sebesar

(2,4), menjadi (2,3) pada tahun 2007 dan mengalami sedikit peningkatan menjadi (2,6)

pada tahun 2008 seperti terlihat pada Table 1.

Tabel 1.
Corruption Perception Index (CPI) Indonesia 2004-2009

No Tahun Ranking CPI


1 2 3 4
1 2004 133 dari 145 negara 2.0
2 2005 137 dari 158 negara 2.2
3 2006 130 dari 163 negara 2.4
4 2007 143 dari 179 negara 2.3
5 2008 126 dari 180 negara 2.6
6 2009 111 dari 180 negara 2.8

Sumber: Tranparency International, 2009

TI merumuskan Corruption Perception Index dengan skala rata-rata skor 0-

10, dimana skor 0 menunjukkan Negara terkorup dan skor 10 sebagai negara terbersih.

Skor tersebut adalah hasil survey persepsi yang dilakukan atas responden pelaku

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bisnis, akademis maupun para analis resiko yang dilakukan di negara tersebut atas

responden domestik maupun asing. Namun capaian tersebut masih jauh jika

dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainya seperti Malaysia (dengan IPK 5,0)

dan Singapura ( dengan IPK 9,4).

Penyebab utama tingginya angka korupsi dan kebocoran keuangan Negara di

Indonesia adalah terkait dengan proses pengadaan barang dan jasa. Dari seluruh kasus

yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2006-2007

lebih dari 75% terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Demikian juga laporan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini telah menerima lebih dari

50% perkara mengenai persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa.

Dalam seminar dengan tema “Kasus Pengadaan yang Sampai Pengadilan”,

yang diselenggarakan oleh Inspektorat Bidang Administrasi Umum Bappenas pada

tanggal 25 Juni 2009, terungkap bahwa sekitar 80% kasus korupsi temuan KPK terkait

dengan pengadaan barang/jasa Pemerintah. Beberapa modus korupsi yang ditangani

KPK dapat dilihat pada Tabel 2.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 2.
Modus Kasus Korupsi yang Ditangani KPK Januari 2008-Agustus 2009

Persentase
No Modus Jumlah
(%)
1 2 3 4
1 Penyalahgunaan Anggaran 15 15,79
2 Suap 34 35,79
3 Penunjukan Langsung 8 8,42
4 Mark Up 19 20,00
5 Pemerasan 1 1,05
6 Penggelapan/ Pungutan 18 18,95
JUMLAH 95 100
Sumber: Dokumen ICW, 2009

Dari Tabel 2 terlihat bahwa modus korupsi terbanyak yang dijerat oleh KPK

adalah suap, mark-up dalam pengadaan barang dan jasa, dan penggelapan/pungutan

liar. Berkaitan dengan banyaknya peluang penyimpangan dalam pelaksanaan

pengadaan barang dan jasa pemerintah, KPK yang juga bertugas dalam bidang

pencegahan korupsi berkonsentrasi untuk ikut memecahkan masalah tersebut.

Dari pengalaman implementasi e-procurement di Kota Surabaya, diperoleh

beberapa manfaat, yaitu:

1. Terjadi efisiensi sampai dengan 80%, karena kertas kerja dikurang;

2. Terjadi efisiensi terhadap penawaran antara 20-25%;

3. Mampu mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengadaan barang/jasa

sehingga paket-paket proyek berjalan relatif lebih tepat waktu;

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Panitia pengadaan dapat melakukan evaluasi kualifikasi dan evaluasi penawaran

dengan cepat dan akurat;

5. Memberikan respon yang cepat terhadap pertanyaan dan klarifikasi selama proses

lelang. (Kumoro, 2010:47)

Pemerintah menargetkan pada awal tahun 2012, semua pemerintah

Kabupten/Kota di Indonesia sudah mempraktikkan e-procurement. Pada prinsipnya

embrio sistem e-procurement adalah Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kabupaten Sukoharjo sampai saat ini secara intensif masih mempersiapkan

pelaksanaan implementasi kebijakan e-procurement. Dalam proses lelang pengadaan

barang dan jasa /pemerintah selama ini Kabupaten Sukoharjo dalam masih memakai

sistem konvensional.

Dalam beberapa tahapan pengadaan barang/jasa secara konvensional masih

terdapat beberapa kelemahan, antara lain:

1. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara konvensional sulit diawasi

oleh masyarakat karena pelaksanaannya yang tidak transparan.

2. Penyalahgunaan wewenang pimpinan baik pada level eksekutif maupun legislatif,

modusnya bisa berupa rekomendasi lisan dari pimpinan dan rencana pengadaan

yang diarahkan.

3. Sering dijumpai terjadinya penyimpangan kontrak seperti pemakaian

bahan/volume barang tidak sesuai dengan spesifikasi dokumen kontrak,

pengurangan kualitas barang, pemalsuan barang, mark up harga dalam RAB.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

4. Adanya kolusi antara pejabat publik dengan rekanan penyedia barang/jasa.

Sehingga perusahaan harus mengeluarkan sejumlah fee/ komisi yang biasanya

diberikan pada saat pencairan dana atau sebelum tender dilakukan dengan tujuan

agar tendernya dimenangkan.

5. Adanya kelemahan sumber daya manusia pelaksana lelang. (Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 2009:11)

Persiapan-persiapan yang sudah dilakukan Kabupaten Sukoharjo sampai

saat ini dalam rangka implementasi e-procurement antara lain:

1. Mengirimkan 6 (enam) orang pegawai untuk mengikuti Pendidikan dan Latihan

pembentukan Layanan Pengadaan Barang/jasa Secara Elektronik Kabupaten/Kota

di Jakarta sebagai Training of Trainer (TOT).

2. Pembentukan Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE)

yang terdiri dari 25 (dua puluh lima) orang. LPSE merupakan unit kerja yang

dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara

elektronik dan memfasilitasi kepada Portal Pengadaan Nasional

3. Penyusunan draft Surat Keputusan Bupati Sukoharjo tentang Pembentukan Tim

Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) sebagai payung hukum

dalam implementasi kabijakan e-procurement.

4. Penambahan Bandwith agar akses internet bisa lebih cepat sehingga pelayanan

pengadaan barang/jasa melalui e-procurement bisa lebih maksimal.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

5. Setting software e-procurement sehingga siap digunakan. Dalam persiapan

implementasi e-procurement, Kabupaten Sukoharjo telah mempunyai web sub

domain yaitu: lpse.sukoharjokab.co.id.

6. Pengadaan penambahan peralatan jaringan komputer, yaitu Wifi

Broadband/Hotspot untuk kelancaran kegiatan.

7. Pengadaan Hardware (server khusus e-procuremen, printer, scanner)

8. Sosialisasi tentang implementasi e-procurement di seluruh SKPD di lingkungan

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, sehingga pada awal tahun 2012 seluruh

pengadaan barang dan jasa dilakukan bisa dilaksanakan secara elektronik. (Bagian

Pengolahan Data Elektronik Kab. Sukoharjo, 2011)

Dari persiapan yang telah dilakukan seperti tersebut di atas terlihat bahwa

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo sangat serius untuk mengimplementasikan e-

procurement sebagai bagian penerapan e-government untuk menuju terwujudnya good

governance, karena dengan e-Procurement proses pengadaan barang dan jasa dapat

dilakukan secara transparan sehingga menghasilkan persaingan yang sehat, adil dan

non diskriminatif. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi e-procurement

akan menimbulkan pro dan kontra baik di lingkungan Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo maupun dari kalangan pengusaha. Akan tetapi implementasi e-procurement

harus tetap dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Pemerintah, bahwa awal tahun 2012 semua

Kabupaten/Kota sudah harus mengimplementasikan e-procurement.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka beberapa hal yang akan dibahas

dalam tulisan ini adalah :

1. Bagaimana kesiapan implementasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo?

2. Kendala apa yang dihadapi dalam rangka rencana implementasi e-procurement di

Kabupaten Sukoharjo?

3. Apa solusi yang perlu dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala dalam rangka

rencana implementasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Kesiapan implementasi e-procurement dilihat dari aspek sumber daya, teknologi

serta komitmen pimpinan dalam rangka rencana implementasi e-procurement di

Kabupaten Sukoharjo.

2. Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam rangka rencana implementasi e-

procurement di Kabupaten Sukoharjo.

3. Solusi yang perlu dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala dalam rangka

rencana implementasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

D. Kegunaan Penelitian

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu kegiatan yang

dilakukan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti tertera dalam

Pasal 5 UU Pelayanan Publik. Pemerintah telah memberikan perhatian serius berkaitan

dengan proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang ditandai dengan

dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, disusul munculnya Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kehadiran Perpres tersebut diharapkan membuat pengadaan barang/jasa pemerintah

menjadi lebih efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, adil, serta akuntabel.

Perpres tersebut menjadi standar regulasi di bidang pengadaan bagi seluruh lembaga

pemerintah di seluruh wilayah hukum negara Republik Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan

bagi pengambil keputusan dalam mempersiapkan implementasi pengadaan barang/jasa

secara online (e-procurement) di Kabupaten Sukoharjo.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi penelitian ini, maka sistematika

penulisan dibuat sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Menguraikan tentang kerangka dasar teori yang merupakan landasan penting dalam

melakukan penelitian kesiapan implementasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo

yaitu pengertian good governance, pengertian electronic government, pengertian e-

procurement dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan implementasi e-

procurement di Kabupaten Sukoharjo. Selain itu juga memuat penelitian-penelitian

sebelumnya yang berhubungan dengan implementasi electronic government dan e-

procurement.

BAB III. METODE PENELITIAN

Menjelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yang

mencakup uraian mengenai tahapan penelitian, lokasi dan metode pengumpulan data

serta metode analisis data.

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Membahas tentang analisis dan pembahasan dari penelitian ini. menguraikan lingkup

dan kesiapan Kabupaten Sukoharjo dalam implementasi e-procurement. Mengawali

bagian ini akan diuraikan gambaran umum wilayah penelitian, yaitu Kabupaten

Sukoharjo. Analisis kualitatif akan diterapkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor

yang mempengaruhi kesiapan dalam implementasi e-procurement di Kabupaten

Sukoharjo, serta kendala apa yang dihadapi dalam rangka rencana implementasi e-

procurement di Kabupaten Sukoharjo.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berupaya untuk menarik kesimpulan hasil penelitian yang menggaris bawahi

hal-hal penting mulai dari rumusan masalah, rekomendasi dan rencana tindakan

kebijakan dalam rangka pelaksanaan e-procurement di Kabupaten Sukoharjo.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk membangun suatu penelitian, landasan teori sangat diperlukan terutama

sebagai dasar untuk menjawab masalah atau pertanyaan penelitian. Landasan teori

dalam penelitian ini beranjak dari pemahaman terhadap teori-teori yang berkaitan

dengan Implementasi kebijakan public, Good Governance, E-Government dan proses

pengadaan barang dan jasa yang dilakukan pemerintah secara online (e-procurement).

Teori-teori inilah yang kemudian menjadi dasar penghubung untuk menjawab

pertanyaan penelitian berupa indikator-indikator yang menjadi bagian dari kesiapan

pelaksanaan kebijakan e-proc di Kabupaten Sukoharjo.

A. LANDASAN TEORI

1. Implementasi Kebijakan Publik

1.1. Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)

Menurut Parsons (2005), model implementasi inilah yang paling

pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang

hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile

karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan

Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.

Masih menurut Parsons (2005), model rasional ini berisi gagasan

bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang

diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.

commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Mazmanian dan Sabatier (1983), berpendapat bahwa

implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan

mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi

kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut :

1.1.1. Van Meter dan Van Horn

Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2009),

implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan

publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa

variable yang mempengaruhi kebijakan publik adalah sebagai

berikut :

1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi

2. Karakteristik agen pelaksana/implementor

3. Kondisi ekonomi, sosial dan politik

4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

1.1.2. George Edward III

Menurut Edward III (1980) dalam Nugroho (2009),

salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai

dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai

berikut, yaitu :

1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi

keberhasilan implementasi kebijakan?

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward

III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi

keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :

1. Communication (komunikasi): komunikasi merupakan sarana

untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah

maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya

distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu

adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus

jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian

dan konsistensi dalam menyampaikan informasi.

2. Resourcess (sumber-sumber): sumber-sumber dalam

implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena

implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-

sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-

sumber dimaksud adalah :

a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian

dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan

b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan

implementasi

dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi

kebijakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

c. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan

kebijakan.

3. Dispotition or Attitude (sikap): berkaitan dengan bagaimana sikap

implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan.

Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif

dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana

wewenang yang dimilikinya.

4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi): suatu kebijakan

seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam

proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang

efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung

keberhasilan implementasi.

1.1.3. Mazmanian dan Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan

implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan

kebijakan, sebagaimana pendapat mereka :

“Implementation is the carrying out of basic policy decision,

usually incorporated in a statute but wich can also take the form

of important executives orders or court decision. Ideally, that

decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety

of ways, ‘structures’ the implementation process”.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan

ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2009) :

a. Variabel independen: yaitu mudah-tidaknya masalah

dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori

dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan

seperti apa yang dikehendaki.

b. Variabel intervening: yaitu variable kemampuan kebijakan

untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator

kejelasan dan konsistensi tujuan

c. Varaibel dependen: yaitu variable-variabel yang

mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan

indiator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan

publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang

lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari

pejabat pelaksana

1.1.4. Grindle

Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994),

implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan

konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa

setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi

kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh

derajat implementability dari kebijakan tersebut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut :

1.Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan

2.Jenis manfaat yang akan dihasilkan

3.Derajat perubahan yang diinginkan

4.Kedudukan pembuat kebijakan

5.Pelaksana program

6.Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah :

1.Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat

2.Karakteristik lembaga dan penguasa

3.Kepatuhan dan daya tanggap

Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks

kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan

implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin

terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-

kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

1.2. Implementasi Kebijakan Sistem Bottom Up

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul

sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down).

Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting

dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan

dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan

consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom

up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan

memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.

Dari berbagai model-model implementasi yang telah

dijelaskan diatas dan dengan melihat subtansi kebijakan penerapan e-

procurement di Kabupaten Sukoharjo, maka penulis tidak

memusatkan pada salah satu model akan tetapi dengan mengambil

beberapa faktor yang dianggap relevan berpengaruh terhadap proses

implementasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo. Adapun

beberapa faktor yang dianggap penulis berpengaruh, antara lain:

1. Sumber daya (diadopsi dari Grindle dan G Edward III)

2. Ketersediaan Teknologi dan Teori Teknis (diadopsi dari Sabatier

& Mazmanian)

3. Sikap dan dukungan aparat pelaksana (diadopsi dari G. Edwards

III)

2. Good Governance

Governance merupakan tata pemerintahan, good governance

adalah tata pemerintahan yang baik. Ada tiga komponen yang terlibat

dalam governance, yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.

Hubungan ketiganya harus dalam posisi sejajar dan saling kontrol untuk

menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh salah satu komponen

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

terhadap komponen lainnya. Bila salah satu komponen lebih tinggi dari

komponen yang lain, maka akan terjadi dominasi kekuasaan atas dua

komponen lainnya (Bappenas, 2007)

UNDP mendefinisikan good governance sebagai “the exercise of

political, economic and social resources for development of society“ penekanan

utama dari definisi diatas adalah pada aspek ekonomi, politik dan administratif

dalam pengelolaan negara. Menurut UNDP karakteristik pelaksanaan good

governance meliputi (Mardiasmo,2004:18) :

1. Participation. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik

secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang

dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar

kebebasan berasosiasi dan berbicara serta partisipasi secara konstruktif.

2. Rule of law. Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh

informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan public secara

langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.

4. Responsiveness. Lembaga – lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam

melayani stakeholders.

5. Consensus of orientation. Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang

lebih luas.

6. Equity. Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk

memperoleh kesejahteraan dan keadilan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

7. Efficiency and effectiveness. Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara

berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).

8. Accountability. Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang

dilakukan

9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus

memiliki visi jauh kedepan

Secara luas, governance mengacu pada persamaan hubungan

antara pemerintah dan warga masyarakat yang dilayani dan

dipertahankan. Good governance menunjuk pada proses pengelolaan yang

luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik suatu negara dan

pendayagunaan sumber-sumber alam, keuangan, manusia menurut

kepentingan semua pihak dan dalam cara yang sesuai dengan prinsip-

prinsip keadilan, kejujuran, persamaan, efisiensi, transparansi

dan akuntabilitas (Hoessein 2000 dalam Domai, 2009).

Menurut Saiful, et.al., 2009, bahwa good governance

merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini banyak diperkenalkan

sebagai upaya merumuskan pemerintahan yang baik. Lebih jauh lagi

menurut Saiful dan Utomo sebagaimana dinyatakan oleh Meuthia-Ganie

Rachman (2000), bahwa good governance mempunyai indikator-indikator

sebagai berikut:

1. Penjamin situasi keterbukaan (transparancy)

2. Pertanggungjawaban publik (public accountability) dan,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

3. Kontrol dalam proses ekonomi maupun politik

3. E-Government

Good governance melebihi ruang lingkup e-Government. E-

government didefenisikan sebagai penyampaian layanan dan informasi

dari Pemerintah kepada publik menggunakan sarana elektronik. E-

Goverment memungkinkan warga negara berkomunikasi antar mereka

maupun dengan pemerintah, dan ikut berpartisipasi dalam proses

pembuatan keputusan, mengekpresikan kebutuhan nyata mereka tentang

kesejahteraan dengan menggunakan e-Government sebagai sarana.

Pendayagunaan e-Government, merupakan bentuk pemanfaatan teknologi

informasi untuk mendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good

governance) dalam aktivitas Pemerintah Daerah yang meliputi aktivitas

intern dalam satu lembaga maupun antar lembaga pemerintah serta

aktivitas pelayanan publik.

World Bank menjelaskan domain dan ruang lingkup e-

government sebagai : e-government refers to the use by government

agencies of information, technologies (such as wide area networks,

internet, and mobile computing) that have the ability to transform

relations with citizens, business, and other arms of government. (e-

government merupakan penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah

seperti wide area networks, internet, dan computer mobile yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

mempunyai kemampuan mentransformasikan hubungan dengan rakyat,

kelompok bisnis, aparatur pemerintah) (http://web.worldbank.org/).

UNDP mendefinisikan e-government : e-government is the application

of Information and Communication Technology (ICT) by government agencies.

(e-government merupakan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi oleh

pemerintah).

Janet Caldow, Direktur Institute for Electronic Government (IBM

Corporation) dari hasil kajiannya bersama Kennedy School of

Government, Harvard University, memberikan sebuah definisi yang

menarik, yaitu : Electronic Government is nothing short of fundamental

transformation of government and governance at a scale we have not

witnessed since the beginning of industrial era. (elektronik government

tidak hanya transformasi fundamental pada pemerintah dan

kepemerintahan tetapi sudah ada pada era industrial).

Pemerintah New Zealand melihat e-government sebagai sebuah

fenomena sebagai berikut : E-government is a way for government use

new technologies to provide people convenient access to government

information services to improve the quality of the services and to provide

greater opportunities to participate in our democratic institution and

processess. (E-government merupakan cara pemerintah untuk

menggunakan teknologi yang baru untuk menyediakan masyarakat akses

yang lebih banyak mengenai informasi dan pelayanan pemerintah, untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

meningkatkan kualitas service dan menyediakan kesempatan yang lebih

besar untuk berpartisipasi dalam proses dan institusi demokrasi (Indrajit,

2002 : 2-4).

4. E-Procurement

Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik atau via

internet (e-Procurement) merupakan salah satu mekanisme mewujudkan

nilai-nilai good governance. Secara umum e-Proc adalah proses pembelian

barang dan jasa yang diperlukan bagi kebutuhan operasional organisasi

secara elektronik (Oliviera,2001: 43).

e-Proc dalam pengertian umum diterapkan pada sistem data base

yang terintegrasi dan area luas yang berbasis internet dengan jaringan

system komunikasi dalam sebagian atau seluruh proses pembelian

(Croom&Brandon-Jones, 2005: 369). Sementara Neef, (2001: 38)

mengidentifikasikan e-Proc sebagai pengadopsian sistem berbasis internet

dalam proses pembelian.

Davila, Tony, Mahendra Gupta, dan Richard Palmer dalam jurnal

“Moving Procurement Systems to The Internet” (2003:43) menyebutkan

e-procurement:

a. Teknologi yang dirancang untuk memfasilitasi pengadaan barang

melalui internet.

b. Manajemen seluruh aktivitas pengadaan secara elektronik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

c. Aspek-aspek fungsi pengadaan yang didukung oleh bermacam-macam

bentuk komunikasi secara elektronik.

Pengertian yang lebih lengkap dipaparkan oleh (Indrajit,


2003:22), dimana ia memberikan pemahaman sebagai berikut :

e-procurement merupakan suatu mekanisme pembelian masa kini atau


dapat dikatakan sebagai teknik pembelian modern dengan memanfaatkan
sejumlah aplikasi berbasis internet dan perangkat teknologi informasi
terkait lainnya sebagai enabler dalam menjalankan proses tersebut.
Sedangkan sistem e-procurement merupakan kumpulan dan sejumlah
komponen-komponen atau entitas-entitas didalam perusahaan yang saling
terkait satu dengan lainnya, yang memiliki fungsi untuk menjalankan
konsep e-procurement didalam perusahaan. Adapun yang dimaksud
dengan komponen terkait misalnya : perangkat keras (hardware),
perangkat lunak (software), sumber daya manusia (brainware) dan
pemakai atau pengguna (users), kebijakan (policy), tata kelola
(governance), proses (business process), dan infrastruktur perusahaan.

Menurut Mitchell (dalam MacManus, 2002: 8): “Traditional procurement


is a paper based process that is charcterized by fragmented purchasing,
of-contract buying, and lack of control of expenditure…e procurement
fasilitates, integrated, streamlines the entire ssupply chain process (from
consumer to supplier and back again) in a seamness, realtime, and
iterative manner.”

Pengadaan barang dan jasa konvensional telah menyita waktu

manajer dalam mengemas kertas kerja, dibanding mengelola supplier

mereka atau menegosiasikan harga yang lebih baik (Reddick, 2004).

Dalam pengadaaan barang dan jasa secara konvensional, pemesanan

barang harus dilakukan melalui cara manual yang membutuhkan waktu

lebih lama serta kebutuhan kertas yang banyak. Siklus pemesanan barang

dan jasa menjadi lebih panjang.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

Menurut Chou (2006:543) ada 4 (empat) metode dalam

pelaksanaan tender pemerintah, yaitu terbuka, selektif, terbatas dan

negosiasi secara kompetitif. Selanjutnya Chou (2006:534) juga

mendefinisikan pengadaan pemerintah sebagai suatu pembelian, sewa,

peminjaman dan sewa beli dari barang, jasa dan konsruksi yang digunakan

bagi kepentingan public.

Arrowsmith (2004;18) menjelaskan bahwa sebagian besar

pengadaan barang/jasa di dunia memiliki beberapa prinsip-prinsip umum

untuk menjamin terjadinya obyektifitas, yang diantaranya termasuk berupa

nilai dari uang (biaya), integritas, akuntabilitas, perlakuan adil, dan

pembangunan social dan industry. Juga termasuk segala hal yang berkaitan

terhadap proses dengan biaya yang efektif.

Johnson dan Klassen, (2005:7), juga mengidentifikasi unsur-

unsur dalam e-Proc. Mereka menyatakan bahwa paling tidak, e-proc

terdiri dari tiga elemen khusus, yaitu e-sourcing, e-coordination, dan e-

communities. E-sourcing adalah pengiriman dan penerimaan penawaran

secara elektronik, yang sekaligus juga menggantikan permintaan

penetapan proposal menjadi via internet. Sementara e-coordination

merupakan otomatisasi proses transaksi bisnis, baik di dalam organisasi

maupun dengan pihak suplier. Misalnya pesanan pembelian via internet,

katalog online, dan keterhubungan online dengan suplier untuk bertukar

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

infromasi mengenai pemenuhan aktifitas, seperti pemesanan dan

inventarisasi informasi.

B. Aplikasi E-Procurement pada sektor Publik

Penerapan e-Proc di bidang bisnis yang dianggap berhasil meningkatkan

efisiensi dan transparansi mendorong berbagai pihak untuk mengaplikasikan e-

Proc dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Aplikasi e-Proc di sector

pemerintahan mulai berkembang pesat sebelum resesi pada awal tahun 2000.

Meskipun sebagian besar inisiatif pertumbuhan e-Proc berjalan lambat, namun

semua pemerintahan negara paling tidak telah mengelola website untuk

menjalankan fungsi pengadaan barang dan jasa mereka, dan di beberapa Negara

telah berpartisipasi dalam tawar-menawar barang via internet, “Internet Bidding”

(Reddick, 2004).

Pesatnya aplikasi e-Proc di pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari

kelemahan sistem sebelumnya. Pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui

cara konvensional telah menimbulkan berbagai masalah. Inovasi dan potensi

kreativitas cenderung dibatasi ketika pemerintah mengikuti standard prosedur

yang rutin dan seragam. Masalah akuntabilitas publik terhadap proses pengadaan

barang secara konvensional juga menjadi masalah tersendiri (Matthews, 2005:

388). Padahal pengadaan barang dan jasa merupakan aktifitas pemerintah yang

paling signifikan, tidak hanya dalam hal jumlah aktivitas namun juga dana yang

dialokasikan (Moon, 2005). Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai-nilai good

governance, seperti transparansi, akuntabilitas, dan integritas, dalam pengadaan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

barang dan jasa, maka sector publik atau pemerintah perlu menerapkan e-Proc

(Vaidya, et,all, 2006: 75).

Dalam konteks sektor publik, Mon (2005: 54) mendefinisikan e-Proc

sebagai : “comprehensive procces in which the government use IT system to

establish agreementfor the acquisition of product or service (contracting) or to

purchase services and product in exchange for payment (purchasing)”.

Secara lebih luas, e-Proc juga dapat dilihat sebagai suatu teknologi

yang didesain untuk memfasilitasi akuisisi barang oleh organisasi bisnis atau

pemerintah melalui internet (Davila, et.al, 2003:57). Sedangkan Weele (1994)

mendefinisikan e-Proc sebagai penggunaan teknologi internet dalam penyediaan

barang dan jasa pemerintah (Bruno, et.al, 2005). Penerapan e-Proc di sektor

publik pada awalnya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi organisasi publik

seperti di sektor bisnis. e-Proc pada gilirannya juga diharapkan dapat

membangun pasar nasional berbasis internet (Oliviera dan Amorim, 2001).

Namun, aplikasi e-Proc dalam pemerintahan selain untuk efisiensi, juga

ditujukan untuk meningkatkan efektivitas, keadilan, transparansi dan kesetaraan

(equity) antar warga negara dalam penyediaan barang dan jasa (MacManus, 2000;

Oliviera dan Amorim, 2001; Lloyd, 2004; Dooley dan Purchase, 2006;

Majdalawieh dan Bateman, 2008). Atau secara lebih khusus, penerapan e-Proc

ditujukan untuk mewujudkan good governance.

Menurut Bruno et. al (2005: 345) terdapat tiga faktor pendorong

sektor public untuk mengadopsi sistem e-Proc, yaitu :

1. stimulasi dari perubahan organisasional;

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

2. upaya meningkatkan efisiensi, efektivitas dan pengurangan biaya;

3. meningkatkan hubungan antara warga negara dengan sektor public (e-

demokrasi) dalam bentuk transparansi administrasi dan partisipasi.

Lebih lanjut, Dooley dan Purchase (2006) mengidentifikasi lima factor

positif yang mendorong adopsi e-Proc di sektor publik. Pertama adalah

partisipasi dan perhatian penyedia barang dan jasa. Mereka menekan rekan

pengguna barang dan jasa pemerintah untuk menggunakan teknologi informasi

(e-Proc), untuk mengurangi biaya, meningkatkan komunikasi dan memperoleh

efisiensi biaya operasional. Kedua, terkait dengan tekanan lingkungan eksternal

organisasi. Dalam hal ini adalah kekuatan penyedia barang dan jasa dalam

memaksa pengguna barang dan jasa untuk mengdopsi teknologi baru (e-Proc)

karena adanya ketergantungan pengguna terhadap penyedia barang dan jasa.

Ketiga, dukungan internal organisasi. Keinginan dari dalam organisasi untuk

dapat efisien juga memberikan pengaruh positif bagi adopsi e-Proc. Keempat,

terkait dengan interelasi atau keterhubungan jaringan. Sistem jaringan elektronik

yang lebih terintegrasi akan mendorong adopsi e-proc. Kelima, berkenaan dengan

keinginan peningkatan profesionalisme kerja. e-Proc diharapkan dapat

meningkatkan profesionalisme pekerjaan pengadaan barang dan jasa. Dengan

waktu yang lebih singkat akibat adopsi e-Proc, pekerja tender dapat

menggunakan sisa waktunya untuk menangani isu-isu yang lebih strategis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa adopsi e-Proc didorong dari manfaat

yang diperoleh darinya. Neef (2001) menyatakan paling tidak terdapat

delapan manfaat dari penerapan e-Proc tersebut :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

1. Biaya transaksi yang lebih rendah;


2. Pemesanan yang lebih cepat;
3. Pilihan terhadap vendor yang lebih luas;
4. Proses yang terstandarisasi sehingga pengadaan barang lebih efisien;
5. Kontrol yang lebih baik terhadap proses pengeluaran pengadaan barang
dan tingkat kepatuhan pegawai yang lebih baik;
6. Menyediakan akses internet yang lebih luas kepada pembeli;
7. Kertas kerja yang lebih sedikit dan mengurangi pengulangan prosedur
administratif; dan
8. Membantu penyusunan ulang terhadap proses pengadaan barang.

Dengan e-Proc, manajer publik dituntut untuk beralih dari

menekankan prosedur seperti efisiensi biaya, menjadi fokus pada kepuasan

pelanggan dan kontrol, fleksibilitas dalam memberikan pelayanan, dan

mengelola jaringan baikdengan pihak internal maupun eksternal.

Paradigma baru (e-Proc) menekankan pada inovasi, pembelajaran

organisasi dan kewirausahaan agar dengan itu pemerintah dapat

memberdayakan dirinya sendiri secara berkesinambungan (Reddick,

2004:79).

Pengadopsian elemen-elemen e-Proc pada sektor publik tidak jauh

berbeda dengan elemen-elemen di sektor bisnis. Beberapa mekanisme e-

Proc yang sering digunakan dalam sektor publik adalah e-tendering, e-

RFQ, e-auction, e-catalogue, dan e-Invoicing (Vaidya et, al, 2006: 74).

Mirip dengan apa yang disampaikan Vaidya et. al, Moon (2005: 54)

membagi elemen-elemen e-Proc yang diadopsi sektor publik, menjadi

sembilan jenis yang selanjutnya terbagi ke dalam empat aspek, yaitu:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

1. Aspek praktik e-Proc, khusus di pemerintah, yang meliputi: Web-

based information dissemination, e-tendering, internet bidding, reverse

auction.

2. Aspek sistem e-Proc yang meliputi: purchasing cards dan automated

procurement system.

3. Aspek insfrastruktur organisasional yang meliputi digital signature.

4. Aspek peraturan perundangan tentang internet bidding.

Pengembangan e-Proc di sektor publik dapat dianalisis

menggunakan tahapan-tahapan tertentu. Hiller dan Belanger (2001, dalam

Reddick, 2004)) menjelaskan empat tahap pengembangan e-Proc yang ia

adopsi dari pengembangan e-Gov. Tahap pertama adalah diseminasi

informasi. Ini adalah tahap paling mendasar bagi e-Proc, dimana

organisasi secara sederhana menyampaikan informasi melalui website

kepada suplier. Tantangan terbesar dalam tahap ini adalah bagaimana

informasi itu tersedia, akurat, dan aktual. Tahap kedua adalah komunikasi

dua arah. Pada tahap ini, website pemerintah memungkinkan suplier untuk

berkomunikasi dengan pemerintah dan membuat pesanan dan pertukaran

sederhana. Tahap ketiga adalah tahap transaksi. Pada tahap ini, kantor

pengadaan barang dan jasa memiliki website yang memungkinkan

transaksi secara aktual dengan suplier. Suplier berinteraksi dengan pejabat

dan mengatur transaksi seluruhnya secara online, dimana dalam kasus ini

pelayanan berbasis internet menggantikan pejabat publik (pembayaran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

online, tandatangan digital, dsb). Tahap keempat ialah dimana seluruh

fungsi dan pelayanan pengadaan barang dan jasa telah terintegrasi. Hal ini

dapat dicapai dengan adanya “portal tanda” dimana suplier dapat

menggunakannya untuk mengakses kebutuhan departemen atau agen

pemerintah, tidak peduli apakah mereka menawari kepada para suplier itu

atau tidak.

Sedangkan dari segi aktor pengelola sistem E-Proc,

Oliviera&Amorim(2001) mengemukakan tiga model bagi implementasi E-

Proc di sektor publik:

1. Model publik, dimana semua tugas E-Proc (notifikasi, diseminasi

catatan dan dokumen lelang, katalog elektronik, penerimaan

penawaran, dsb) dijalankan oleh pemerintah, yang juga menanggung

semua resiko dari proyek tersebut. Adopsi dari model ini menciptakan

derajat resiko yang tinggi dalam memilih teknologi yang sesuai

dengan tuntutan di masa depan. Masalah utama dari model ini adalah

waktu yang lama diperlukan untuk mengelola proses perubahan di

dalam sektor publik dan penentuan harga yang paling sesuai dengan

partisipasi di dalam sistem E-Proc bagi suplier.

2. Model swasta, dalam model ini, semua aktifitas E-Proc dijalankan

oleh pihak swasta, dengan seluruh resiko investasi ditanggung oleh

mereka. Model ini memiliki beberapa kelemahan yang cukup pelik.

Model ini membutuhkan perubahan legislasi yang mendasar,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

khususnya karena pihak swasta yang mengelola E-Proc dapat

melakukan tindakan yang secara tradisional diatur hukum bagi pihak

pemerintah. Model ini juga dapat menimbulkan beberapa masalah

keabsahan dalam bentuk aturan hukum masyarakat, (terkait dapatkah

pelayanan E-Proc oleh swasta ini diklasifikasikan sebagai salah satu

kepentingan ekonomi biasa dan menjadi konsesi peraturan) dan dalam

bentuk hukum persaingan usaha. Penerapan model ini juga dapat

menimbulkan mahalnya biaya partisipasi bagi suplier, sehingga

menyulitkan perusahaan usaha kecil dan menengah yang ingin

mengikuti proses tender. Model ini juga membutuhkan peraturan dan

otoritas supervisi yang kuat dalam memastikan bahwa transparansi,

tidak ada diskriminasi antar supplier, dan perlindungan terhadap data

personal, perusahaan dan rahasia perdagangan, terjamin. Selain itu,

model ini mengalami kesulitan dimana peraturan kontrak publik dirasa

tidak mencukupi untuk mengatasi keputusan yang dibuat pihak swasta

yang akan mengelola sistem EProc, dan akan membutuhkan revisi

menyeluruh.

3. Model campuran antara pemerintah dengan swasta (Public-Private

Partnerships). Dalam model ini, sistem E-Proc akan dikelola secara

bersama-sama oleh pemerintah dan pihak swasta. Resiko investasi

juga dibagi bersama diantara kedua pihak tersebut. Model ini, selain

menghindari inisiatif investasi keuangan total dari pemerintah, juga

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

dapat mengurangi biaya dari pengelolaan E-Proc, karena adanya

keterlibatan pemerintah dalam pengelolaannya, tidak diserahkan

sepenuhnya kepada swasta. Namun model ini juga tetap memerlukan

regulasi dan otoritas supervisi serta revisi terhadap peraturan kontrak

kerja.

C. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Adopsi E-

Procurement.

Implementasi e-Proc merupakan sesuatu yang tidak mudah

(MacManus, 2002). Terdapat kecenderungan pengadopsian e-Proc di sektor

publik mengalami keterlambatan. Hal ini membawa implikasi bahwa

inkrementalisme atau proses pengadopsian e-proc yang terputus-putus selalu

melekat pada sector publik (Mon, 2005: 55). Kondisi ini tidak dapat

dilepaskan dari biaya atau tantangan bagi implementasi e-Proc di sektor

publik.

Reddick, (2004: 151) mengidentifikasi lima tantangan bagi aplikasi

E-Proc: (1) Kompleksitas teknis kerahasiaan, keamanan, standardisasi dsb;

(2) Isu legalitas seperti informasi website sebagai catatan publik, tandatangan

digital untuk dokumen pengadaan barang; (3) Metode pembayaran bagi biaya

pengembangan inisiasi yang potensial dan biaya operasional; (4) Memelihara

hubungan dengan vendors secara online dan aplikasi pelayanan suplier; dan

(5) Marginalisasi secara digital terhadap pemilik bisnis kecil dan minoritas.

Berbagai pemerintahan negara yang mengimplementasikan e-Proc menuai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

hasil yang berbeda-beda. Amerika, Inggris, dan Selandia Baru merupakan

negara-negara yang inisiatif aplikasi e-Proc di sektor publiknya kurang

berhasil (Vaidya, et.al, 2006: 70). Sementara Brazil, Meksiko, Australia, dan

Turki merupakan negara-negara yang pengadopsian e-Proc mereka dinilai

berhasil yang dilihat dari indikator penghematan biaya hingga 25% (Alsac,

2007). Karena itu, identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan pelaksanaan e-Proc di sektor publik perlu dilakukan. Vaidya et.

al (2006), melakukan studi untuk keperluan tersebut. Mereka mengidentifikasi

tiga factor yang dianggap krusial bagi keberhasilan implementasi e-Proc.

Pertama adalah faktor “human” atau manusia, yang terkait dengan perilaku

dan kemampuan pegawai dalam menjalankan e-Proc. Faktor manusia terdiri

dari pelatihan terhadap pengelola dan pengguna, adopsi e-Proc oleh suplier,

pemenuhan syarat manajemen proyek pada bidang bisnis yang dinggap

berhasil (best practices), serta dukungan manajemen tingkat atas. Sementara

faktor teknologi terkait dengan pembangunan dan penyebaran teknologi e-

Proc. Kedua berkaitan dengan faktor teknologi. Faktor ini terdiri dari

integrasi sistem dan keamanan serta pembuktian keaslian dokumen digital.

Ketiga, faktor proses yang meliputi perubahan manajemen, penyusunan ulang

proses pengadaan barang dan jasa, pengukuran kinerja dan strategi

implementasi e-Proc.

Menurut Vaidya et. al (2006 ), pelatihan yang intensif dapat

mendukung implementasi e-Proc. Sementara dalam pengadopsian oleh

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

suplier, pelibatan para suplier dalam mendiskusikan berbagai isu, perubahan

maupun perhatian terhadap e-Proc, akan makin mempermudah pelaksanaan e-

Proc. Kemudian dinyatakan bahwa implementasi e-Proc akan lebih mudah

dilakukan jika memenuhi syarat keberhasilan pengelolaan e-Proc di sektor

bisnis. Selanjutnya, disebutkan bahwa dukungan yang kuat dari manajer atau

pimpinan tingkat atas akan lebih mempermudah implementasi e-Proc.

Sedangkan dalam aspek teknologi, sistem yang lebih terintegrasi akan lebih

mempermudah implementasi e-Proc. Termasuk dalam hal ini adalah integrasi

dengan system keuangan (pembayaran). Pelaksanaan e-Proc juga akan lebih

mudah jika sistem keamanan dan autentifikasi proses lelang telah sampai pada

derajat yang tinggi. Sementara perubahan manajemen, penyusunan ulang

proses lelang, pengukuran kinerja, dan strategi implementasi e-Proc,

merupakan faktor penentu keberhasilan yang melibatkan kedua aspek, baik

manusia maupun teknologi.

MacManus (2002: 10) mengutip pernyataan Robb (2001) : “Often,


e-goverment is embarked upon from a purely technological perspective. As a
result, initiatives are started in a haphazard fashion...It must be understood
that e-government consist of three distint parts : policy, people and
infrastructure.”( Seringkali, e-goverment dimulai dari perspektif murni
teknologi. Akibatnya, inisiatif dimulai dalam mode sembarangan ... Harus
dipahami bahwa e-government terdiri dari tiga bagian: kebijakan, orang dan
infrastruktur).

MacManus juga menyatakan perlunya redefinisi terhadap empat

prinsip pengadaan barang dan jasa konvensional setelah pengadopsian E-

Proc. Pertama, terkait prinsip “low bid win” atau penawaran terendah yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

menang. Prinsip ini mungkin merupakan prinsip pelelangan yang paling sulit

diubah. Selama ini, masyarakat secara konstan meyakini bahwa kompetisi

penawaran mengurangi biaya barang dan jasa dan bahwa biaya terbaik

dikurangi ketika penawaran terendah menjadi pemenang. Asumsi yang

mendasari filosofi penawaran terendah menang adalah bahwa efisiensi adalah

tujuan utama dari melelang barang dan jasa. Namun di dalam era reinventing

government, total quality management (TQM) dan anggaran berbasis kinerja,

pemerintah dituntut untuk melihat bahwa efektivitas dan kesetaraan

merupakan tujuan yang sama pentingnya dengan efisiensi. Penekanan

reinventing government dan peningkatan kinerja mendorong pengembangan

kontrak yang memiliki “best value”. Dalam hal ini kontrak dengan nilai

terbaik diartikan sebagai : “a process for selecting the most advantageous

offer by evaluating and comparing all relevant factors” in addition to cost or

price so that the overall combination that best services the interest of the state

[or local government] is selected.”

Pemilihan kontrak berbasis “best value” mungkin bersifat

subyektif dan karenanya dapat menimbulkan perkara hukum yang berkaitan

dengan keadilan. Tetapi pembelian profesional makin banyak yang melihat

hal tersebut sebagai satu-satunya jalan untuk meraih tiga tujuan “e”

pemerintah, yakni efficiency, effectiveness, and equity.

Kedua, prinsip pemisahan antara pengguna dengan penyedia

barang dan jasa. Selama ini panitia pengadaan barang dan jasa bekerja keras

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

untuk menjaga jarak antara personel agen pemerintah dengan peserta lelang

untuk menghindari “favoritisme” dan konflik kepentingan. Prinsip ini

ditentang oleh teknologi baru bahwa yang lebih baik menginformasikan

tentang siapa yangmembutuhkan apa dan oleh prinsip “supply-chain

management”. Manajemen pengadaan barang dan jasa meliputi : “tracking

the movement of and demand for components used to manufacture a product

across a variety of potential and actualsuppliers, otherwise known as the

supply chain”.

Agar ini dapat terjadi, peran dari panitia pengadaan barang dan jasa

harus diubah menjadi lebih interaktif antara user (agen pengguna barang dan

jasa) dengan penyedia barang dan jasa (bisnis). Ketika kontrak disepakati,

kantor pengadaan barang dan jasa harus memainkan peran minimal dan lebih

menjadi fasilitator hubungan antara agen pemerintah dengan penyedia barang

dan jasa melalui tim kerja lintas-fungsi. Meniadakan hubungan antara

pengguna dan penyedia barang dan jasa dapat menyebabkan kegagalan

inisiasi e-commerce dalam beberapa hal : “Too often, e-government initiatives

run aground...due to a lack of regard for the end users, either through failure

to consult them during the design and implementation phases or through

inadequate training on new technology”.

Menurut MacManus, hubungan yang lebih banyak antara pengguna

dan penyedia barang dan jasa merupakan hal yang penting sekali untuk

dilakukan jika kita ingin meningkatkan kompetisi dengan memperluas

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

jaringan penyedia barang dan jasa. Beberapa negara bagian di Amerika telah

secara agresif mempromosikan hubungan jangka panjang antara pengguna

dan penyedia barang dan jasa. Keuntungan yang diperoleh pemerintah dari

hubungan ini adalah: membagi penanggungan resiko, meningkatkan

pemahaman sector bisnis akan kebutuhan pemerintah, secara berkelanjutan

meningkatkan pelayanan, dan memperluas pengadaan barang dan jasa

pemerintah yang berbasis pengetahuan. Manajemen pengetahuan dalam

proses pengadaan barang dan jasa telah lama menjadi tujuan di sektor bisnis,

namun baru mulai menyebar di sektor publik. Yaitu memelihara data yang

telah dipesan secara kumulatif dan menganalisanya untuk melihat

kecenderungan dan nilai kemanfaatan yang lain. Hubungan jangka panjang

antara pengguna dan penyedia barang dan jasa lebih menyukai pemilihan

pemenang tender yang berbasis “best value” daripada “low bid win”. Namun

hal ini masih dilihat dengan prasangka oleh mereka yang menganggap proses

tersebut menimbulkan favoritisme. Karenanya prinsip pemisahan antara user

dengan vendor akan sulit untuk diubah. Ironisnya, hal ini akan tergantung

pada pembuktian keberhasilan antara prinsip “best value”melawan “low bid

win”. Ini mungkin akan menjadi resistensi yang paling kuat dalam transisi di

kantor pengadaan barang dan jasa. Ketiga, prinsip kontrak dengan bentuk dan

harga tetap. Kontrak dengan harga tetap yang telah ditentukan didasarkan

pada persetujuan-berbasis biaya per unit untuk tiap unit barang dan jasa yang

dipilih. NIGP Dictionary of Governmental Purchasing Terms mendefinisikan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

firm fixed— price contract sebagai kontrak yang menyediakan bagi harga

perusahaan atau harga yang mungkin disesuaikan hanya jika sesuai dengan

klausul kontrak yang memungkinkan revisi kontrak harga dibawah kondisi

Negara. Keuntungan dari kontrak ini adalah meliputi skala ekonominya dan

ketepatan waktu pengadaan barang dan jasa yang menempatkan penyedia

sebagai entitas pergudangan untuk memperoleh barang dan jasa. Namun

kelemahannya terkait dengan kesulitan untuk memastikan bahwa semua

pengguna barang dan jasa menggunakan kontrak dan ketidaklengkapan atau

ketidakmemadainya akses untuk keperluandata kontrak yang dibutuhkan

untuk menentukan apakah klausul kontrak akan menghasilkan meningkatnya

biaya.

Metode pengadaan barang dan jasa kita sebelumnya (teknologi

khusus untuk harga tetap dengan periode yang tetap) gagal untuk memuaskan

konsumen kita dimana perbedaan yang meluas diantara individu terkait

kebutuhannya terhadap barang dan jasa. Pelajaran dapat kita ambil dari

kontrak teknologi informasi. Semua instansi pemerintahan tidak memiliki

kebutuhan akan teknologi yang sama. Keempat, terkait prinsip keharusan

akses terbuka dalam semua situasi. Prinsip tender tradisional menyatakan

bahwa “jika sesuatu hal itu bersifat publik, maka ia harus dapat diakses oleh

masyarakat dan pers”. Tetapi, dengan e-commerce, keamanan dan kerahasiaan

telah mengemuka menjadi perhatian utama. Kelompok bisnis dan beberapa

warga khawatir dengan pengungkapan syarat yang mungkin meningkatkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

favoritisme oleh sistem komputer mereka yang sedang disusupi. Penipuan

identitas oleh kompetitor adalah isu yang sangat riil. Pemerintah tidak dapat

berharap untuk memaksimalkan partisipasi vendor dalam e-Proc tanpa

memiliki kebijakan keamanan di dalamnya. Kebijakan dan prosedur harus

dibentuk mendahului implementasi untuk melindungi kerahasiaan data

personal, menentukan jumlah dan tipe informasi untuk membuat

memungkinkan dihadirkan kepada publik, melindungi data, memandu akses

data, dan memberikan sanksi bagi penyelewengan kemanan. Aturan kemanan

dan prosedur seringkali dianggap membatasi hak publik dan pers untuk tahu.

Hal tersebut dianggap muncul untuk menentang prinsip “pemerintahan dalam

terang benderang sinar matahari”, praktik yang diklaim untuk mengurangi

kronisme dan korupsi dalam proses kontrak. Dalam poin ini, pandangan

publik terhadap kerahasiaan lebih dekat dengan pandangan kelompok bisnis

(akses terbatas) daripada pandangan pemerintah (akses yang tidak terbatas).

Survey oleh Center for Survey Research and Analysis at the

University of Connecticut menyatakan bahwa orang Amerika menginginkan

hukum untuk melindungi informasi kerahasiaan mereka meskipun dengan

biaya pembatasan terhadap akses publik dan kebebasan pers. Menurut

MacManus, perdebatan tentang keempat prinsip pelelangan diatas akan terus

mewarnai isu proses e-Proc. Sementara Neef (2001) percaya bahwa sebagian

masalah adalah dalam sebagian besar organisasi proses pengadaan barang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

masih dilihat masalah teknis dibanding strategis, dilihat sebagai biaya

dibanding manfaat bagi organisasi.

Fungsi e-Proc bagi banyak pemerintahan masih dibatasi pada

pembelian yang tidak berkelanjutan dan tidak terkoordinasi bagi kantor

penyuplai. Isu yang lain adalah keamanan dan kepercayaan. Vendor yang

tidak dikenal membuat pejabat lelang ragu-ragu untuk menyerah dengan

proses berbasis kertas yang tidak praktis dengan waktu yang lama dan

dipercayai suplier. Disini, isu manajemen adalah bagaimana melatih pegawai

untuk menggunakan peralatan e-Proc dan untuk melatih kembali pegawai

yang digantikan akibat e-Proc. Neef juga menekankan pentingnya

kepemimpinan senior untuk mencapai transformasi dan integrasi dari proses

pengadaan barang pemerintah. Peran pemimpin tersebut dibutuhkan untuk

mengatasi hambatan legislatif, peraturan dan organisasi yang ada. Sebagai

upaya pemerintah untuk menghemat biaya, para pemimpin tersebut harus

meningkatkan perhatian dengan mencari informasi untuk meningkatkan

proses pengadaan barangnya dengan cara otomatisasi dan digitalisasi proses

pengadaan barang dan jasa. Reddick (2004) menyatakan paling kurang

terdapat tiga independen variabel yang dapat menentukan pengembangan e-

Proc. Yaitu, kapasitas manajemen, kapasitas IT, dan kapasitas anggaran.

Negara yang memiliki kapasitas anggaran yang tinggi akan kurang terdorong

untuk mengembangkan e-Proc karena mereka tidak harus mengehemat biaya

pengadaan barang dan jasa sebab mereka tidak mengalami masalah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

keterbatasan dana. Sebaliknya, negara yang tertekan anggarannya, justru

terdorong untuk menerapkan e-Proc yang menjanjikan efisiensi dalam proses

pengadaan barang dan jasa, sebagai salah satu mekanisme menghemat

sumberdaya.

Namun faktor yang paling menentukan pengembangan e-Proc

adalah kapasitas manajemen. Keberhasilan pengembangan e-Proc sangat

tergantung pada kinerja manajemen. Jika pemimpin puncak tidak secara

strategis mendukung e-Proc, maka pengembangannya akan menghadapi

masalah. Begitu pula sebaliknya, komitmen yang kuat dari pemimpin puncak

dapat memudahkan pengembangan e-Proc. Sedangkan dalam faktor kapasitas

IT, negara yang telah menghabiskan banyak energinya untuk

mengembangkan teknologi informasi, akan lebih mudah mengembangkan e-

Proc. Sedangkan Moon (2005) mengidentifikasi paling tidak ada empat factor

yang dapat mempengaruhi efektifitas pengaplikasian e-proc. Pertama, ukuran

organisasi pemerintah. Menurut Moon, ukuran organisasi pemerintah yang

lebih besar memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengadopsi e-proc

daripada organisasi pemerintah yang berukuran kecil. Hal ini disebabkan

organisasi pemerintah yang berukuran besar mendapat tekanan yang lebih

besar untuk mencari alternative dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Selain itu, ukuran organisasi yang besar disumsikan memliki sumber daya

yang lebih besar untuk melaksanakan alternatif yang dipilih. Kedua,

komitmen pejabat tingkat tinggi dalam mengembangkan kebijakan penerapan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

e-Proc. Semakin tinggi komitmen otoritas tinggi dalam mengembangkan e-

Proc, maka adopsi e-Proc akan lebih berhasil. Ketiga, tingkat profesionalisme

pengadaan barang. Organisasi yang memiliki tingkat profesionalisme yang

lebih tinggi, lebih mudah menerima perubahan dan cenderung mengharagai

karakterisitik manajerial seperti efisiensi dan efektifitas. Ini disebabkan

profesionalisme seringkali menyuntikkan nilai dan norma professional ke

dalam budaya birokrasi. Keempat, budaya inovasi di dalam pemerintahan.

Pemerintahan yang lebih aktif mengimplementasikan berbagai jenis inovasi

manajemen mungkin lebih menikmati budaya inovasi yang kuat. Karena itu

adopsi e proc lebih mudah dilakukan dengan tingkat resistensi administrasi

yang rendah. Pendapat Moon diperkuat oleh Liao& Cheng (dalam

Croom&Brandon-Jones, 2005), yang berdasarkan studi kasus yang mereka

lakukan pada pengadaan barang Industri Militer Taiwan, menyatakan bahwa

tantangan utama terhadap penerapan e-Proc adalah resistensi budaya dalam

upaya merubah proses dan praktik pengadaan barang konvensional ke e-Proc.

Dari berbagai faktor yang diuraikan di depan, konferensi Isoneworld (2007)

mengidentifikasi empat faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi e-Proc di sektor publik. Yaitu faktor teknologi, proses, manusia,

dan peraturan. Faktor teknologi berkenaan dengan software yang melakukan

otomatisasi terhadap proses pengadaan barang dan jasa, maupun hardware

yang menyediakan infrastruktur bagi pelaksanaan proses tersebut. Faktor

kedua yaitu menyangkut proses. Proses pengadaan barang dan jasa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

melibatkan tujuh aktifitas utama dari mulai identifikasi kebutuhan hingga

analisis manajemen informasi yang terkait dengan e-Proc. Dalam proses ini

juga perlu dipertimbangkan tipe barang dan situasi pembelian pada saat

proses lelang dilakukan. Faktor ketiga adalah “people” yaitu individu yang

terlibat dalam proses pembelian, hubungan antara suplier dan pembeli serta

manajemen dari keseluruhan sistem. Terakhir, faktor keempat adalah

compliance strategy yang berkenaan dengan kebutuhan terhadap peraturan

dalam e-Proc. Isu-isu yang perlu diatur diantaranya adalah perlindungan data,

keamanan informasi dan kontrol organisasi terhadap lingkungan.

Berikut ini adalah gambar faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

implementasi e-Proc :

Gambar 1.

Sumber daya

Succesfull
Teknologi Implementation
of E-Procurement

Komitmen Pimpinan

Sumber: Konferensi Isoneworld (2007)

D. Problematika Proses Pengadaan Barang/Jasa Publik di Indonesia

Landasan normatif pelaksanaan pengadaan barang dan jasa

pemerintah yang selama ini berlaku adalah Perpres No 54 tahun 2010.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

Secara normatif, prinsip pengadaan barang dan jasa menurut Perpres No.

54 Tahun 2010 adalah efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, dan

adil/tidak diskriminatif, serta akuntabel. Selain itu, kebijakan umum

pengadaan barang/jasa pemerintah juga dimaksudkan antara lain untuk

mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, memperluas

lapangan kerja dan mengembangkan industri dalam negeri meningkatkan

peran serta usaha kecil termasuk koperasi dan kelompok masyarakat dalam

pengadaan barang/jasa; serta menyederhanakan ketentuan dan tata cara

untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam pengadaan

barang/jasa. Pengadaan barang/jasa setiap instansi pemerintah seharusnya

didasarkan pada Rencana tahunan yang merupakan penjabaran dari

Renstra Instansi, sehingga barang/jasa yang dibeli adalah barang/jasa yang

memang sungguh-sungguh dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan

tugas dan fungsi instansi.

Aspek penting dalam pengadaan barang/jasa adalah pertimbangan

profesionalisme dan integritas dari Pimpinan, Kuasa Pengguna Barang

(KPB)dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta dalam pemilihan

Panitia Pengadaan dan Pimpinan Proyek. Idealnya prinsip yang harus

dilakukan adalah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, diikuti dengan

pertimbangan teknis sesuai dengan kebutuhan. Namun dalam

implementasinya sistem pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara

konvensional masih memiliki banyak kelemahan karena masih

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

memungkinkan Panitia Pengadaan dan Penyedia Barang/Jasa melakukan

korupsi di setiap tahapannya. Akibatnya prinsip-prinsip ideal praktek

pengadaan barang dan jasa tidak melekat pada praktek yang

sesungguhnya, tetapi sebaliknya menghasilkan transaksi kontrak yang

tidak halal, sangat rentan dan tidak berdasarkan nilai-nilai penggunaan

uang yang baik untuk kepentingan publik. Praktek pengadaan barang dan

jasa juga kadang hanya berdasarkan motivasi politik atau kepentingan

individu tertentu saja.

Selain persoalan tersebut, masih ada beberapa potensi masalah

yang harus dihadapi oleh panitia lelang. Dari hasil Focus Group

Discussion (FGD) dengan beberapa pelaku yang terlibat dalam proses

pengadaan barang dan jasa publik, berbagai persoalan yang muncul dalam

pengadaan barang dan jasa secara konvensional selama ini dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Minimnya monitoring

Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara

konvensional sulit diawasi oleh masyarakat karena pelaksanaannya

yang tidak transparan. Bahkan aparat pengawasan fungsional

pemerintah yang semestinya berfungsi melakukan pengawasan kurang

antisipatif melakukan tugasnya. Apalagi tim pengawas independen

jarang dilibatkan, akibatnya sering muncul persoalan, seperti: adanya

sertifikasi perusahaan yang kurang fair, penggelembungan harga karena

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

tidak ada institusi yang mengawasi tarif/standar harga sehingga rawan

terjadinya penggelembungan harga dan tidak adanya evaluasi atas

pekerjaan yang dilelang sehingga tidak diketahui apakah barang yang

diterima sudah memiliki kualifikasi sesuai kebutuhan atau belum.

b. Penyalahgunaan wewenang

Pada beberapa kasus persoalan yang lazim dijumpai adalah

adanya penyalahgunaan wewenang pimpinan baik pada level eksekutif

maupun legislatif, modusnya bisa berupa rekomendasi lisan dari

pimpinan, rencana pengadaan yang diarahkan, adanya lelang tanpa

tender, adanya pendelegasian lelang yang tendensius ataupun rencana

pengadaan yang digagalkan. Hal tersebut menunjukkan intervensi

penguasa/pimpinan pada pelaksanaan lelang sangat kuat. Terlebih jika

pimpinan memiliki rangkap jabatan sebagai pejabat publik sekaligus

merangkap sebagai direktur/pemegang saham/komisaris perusahaan

tertentu, sehingga kadang muncul adanya kecenderungan kualifikasi

yang mengarahkan pada perusahaan tertentu.

c. Penyimpangan Kontrak

Beberapa persoalan juga sering dijumpai terjadinya

penyimpangan kontrak seperti pemakaian bahan/volume barang tidak

sesuai dengan spesifikasi dokumen kontrak, pengurangan kualitas

barang, pemalsuan barang, mark up harga dalam RAB, adanya proyek

yang dikejar-kejar waktu sehingga terkesan asal jadi, pemenang lelang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

yang disub kontrakan serta adanya rekanan yang menawar jauh

dibawah HPS (harga pengadaan setempat).

d. Kolusi antara Pejabat Publik dan Rekanan

Persoalan yang paling dominan ditemui pada saat melakukan

lelang adalah adanya kolusi antara pejabat publik dengan rekanan

penyedia barang/jasa. Sehingga perusahaan harus mengeluarkan

sejumlah fee/ komisi yang biasanya diberikan pada saat pencairan dana

atau sebelum tender dilakukan dengan tujuan agar tendernya

dimenangkan. Kolusi tersebut biasanya akan melibatkan Pimpro dengan

melakukan pembicaraan rahasia dengan pihak rekanan yang kemudian

akan diikuti dengan berbagai sekenario dalam proses lelang. Di

samping itu juga dijumpai adanya pemenang lelang yang dijual karena

pengusaha hanya mencari fee bahkan ada yang mengalihkan

pelaksanaan kontrak di bawah tangan karena ada persekongkolan.

e. Manipulasi dan Tidak Transparan

Dalam pelaksanaan lelang juga sering terjadi manipulasi karena

tidak adanya transparansi. Kadang panitia lelang mencari-cari

kesalahan dalam penilaian dan membuat aturan yang rumit, kadang

juga terjadi multi interpretasi antar panitia lelang karena tidak ada

persamaan persepsi. Manipulasi tersebut juga dapat terjadi karena

minimnya honor panitia dan pimpro sehingga melakukan mark up

harga dalam perencanaan ataupun melakukan pembelian barang yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

kurang bermanfaat. Manipulasi juga kadang terjadi pada saat

pengumuman lelang.

f. Kelemahan SDM

Persoalan juga timbul tidak terlepas dari adanya kelemahan

sumber daya manusia pelaksana lelang, seperti: jumlah panitia

bersertifikat terbatas/sedikit, adanya: inkompetensi panitia lelang

sehingga kurang memahami masalah teknis, serta lemahnya reward and

punishment yang diberikan kepada panitia lelang.

E. Fenomena Korupsi dalam Tender Proyek dan Implikasinya

Dari banyak kasus tindak pidana korupsi (TPK) yang disebabkan

oleh pengadaan barang dan jasa menunjukkan bahwa proses pengadaan

barang dan jasa pemerintahan selama ini tidak berjalan dengan sehat dan

sangat jauh dari prinsip-prinsip efisien, efektif, non diskriminatif,

transparan dan akuntabel. Hal ini terjadi karena pelelangan bukan lagi

menjadi ajang kompetisi tetapi berubah menjadi arena arisan. Peserta

bukan berasal dari kalangan profesional,melainkan mereka yang punya

akses pada pengambil keputusan. Bahkan, aturan hukum yang ada sering

dipakai untuk melegalisir suatu konspirasi yang direncanakan. Kondisi

tersebut diperparah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan

hukum. Akibatnya inefisiensi terus terjadi karena pemerintah selalu

mendapatkan harga barang dan jasa yang jauh lebih mahal dari harga

pasar. Mengutip Laporan Bank Dunia tahun 2001 ada beberapa alasan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

mengapa sistim yang berlaku sekarang ini belum mencapai level kualitas

dan efisiensi yang diharapkan:

1. Keanekaragaman instrumen hukum yang mengatur tentang beberapa

aspek yang berbeda dari pengadaan barang dan jasa. Hal ini telah

menimbulkan kebingungan. Ada resiko akan adanya tumpang-tindih

yuridiksi dan ketiadaan kejelasan kebijakan dan prosedur persyaratan;

2. Kelemahan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang sesuai

dengan ketentuan dan aturan yang berlaku, ketiadaan penegakan

hukum;

3. Ketiadaan kapasitas pada mayoritas staf yang mengerjakan pengadaan

barang dan jasa, anggota dari komisi tender dan pihak-pihak yang

memegang otoritas persetujuan;

4. Praktek korupsi, kolusi dan pengaruh lain;

5. Kurangnya pengiklanan terutama untuk kontrak yang nilainya kecil

dan medium;

6. Ketiadaan kelanjutan dari keluhan dalam pengadaan barang dan jasa,

pada hakekatnya tidak ada monitoring yang sistematis yang dilakukan

berdasarkan prinsip-prinsip, aturan dan prosedur pengadaan barang

dan jasa.

Salah satu aspek penting dalam melihat proses pengadaan barang

dan jasa pemerintah adalah transparansi. Ada dua indikator penting

dalam melihat transparansi dalam tender proyek yakni menyangkut aspek

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

prosedural dan penentuan pemenang tender. Berdasarkan data GDS

2002, Dwiyanto, dkk. (2003) menyebut tingkat transparansi prosedur

tender proyek secara nasional masih dikategorikan rendah. Demikian

juga dalam hal penentuan pemenang tender di berbagai kabupaten

ataupun kota, menunjukkan sebagian besar penentuan pemenang tender

tidak hanya ditentukan oleh harga penawaran terendah melainkan juga

dipengaruhi oleh faktor kedekatan hubungan favoritisme dengan

pengambil kebijakan seperti bupati, pimpinan proyek, atau anggota

DPRD setempat.

Dengan demikian tujuan transparansi pada sektor dunia usaha

yang dimaksudkan untuk membuat dunia usaha di daerah semakin mandiri

dan efisien masih sulit diwujudkan. Ironisnya, isu KKN dalam proses

tender proyek belum disikapi sebagai suatu isu yang sifatnya krusial yang

perlu segera direspon oleh pemerintah daerah/kota dan DPRD.

Fenomena pemberian uang suap kepada para pejabat publik oleh

para pengusaha dianggap bukan merupakan pungutan liar karena

dilakukan secara sukarela. Hubungan antara para pejabat publik dengan

para pengusaha tidak sejalan dengan prinsip hubungan “Negara Pasar”

yang sehat. Secara ekonomi politik hubungan tersebut dibangun dengan

berdasarkan pada hubungan simbiosis mutualisme. Dari sudut pandang

ekonomi hubungan yang baik diantara keduanya akan menjamin

terciptanya mekanisme pendistribusian tender proyek pemerintah yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

saling menguntungkan sedangkan bagi pihak pejabat publik setiap

memutuskan pemenang tender suatu proyek kepada pengusaha berarti

akan ada sejumlah fee yang diberikan pihak eksekutif/legislative melalui

pimpinan proyek.

Sedangkan dari sudut pandang kepentingan politis hubungan

mutualisme yang terjadi adalah upaya inklusivitas para pengusaha yang

dekat dengan pihak pejabat publik untuk masuk ke dalam kroninya. Hal

tersebut dapat dilihat dari dilibatkannya para pengusaha menjadi tim

sukses bupati/walikota. Para pengusaha yang menjadi kroni tersebut

mempunyai tugas utama melakukan penggalangan dana serta lobi atau

pendekatan kepada para anggota legislativepada saat proses pemilihan atau

persidangan pembahasan LPJ. Peran tersebut dianggap cukup efektif untuk

meloloskan Bupati/Walikota dalam melanggengkan kekuasaan. Hubungan

kolutif yang terjadi antara pengusaha dengan para pejabat publik dalam

proses tender proyek membuat para pengusaha sulit bersikap mandiri dan

tidak dapat menjalankan bisnisnya dengan efisien. Tekanan eksternal

bersifat politis dirasakan oleh pengusaha bukan berasal dari pasar

melainkan dari para pejabat publik yang seharusnya mampu mendorong

terciptanya iklim dunia usaha yang kondusif. Keterlibatan anggota DPRD

dalam menciptakan praktek korupsi dalamtender proyek di daerah juga

terlihat dari peran yang dimainkan oleh anggota DPRD sebagai tokoh di

balik layar (invisible hand) untuk menentukan pengusaha yang menjadi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

pemenang suatu tender proyek. Di beberapa daerah kadang DPRD sangat

proaktif menjadi perantara/broker proyek yang akan di jual kepada

pengusaha dengan konsekuensi ada alokasi uang komisi yang harus

disisihkan dari dana proyek tersebut kondisi tersebut menjadi kualitas

proyek sangat rendah. Masih lemahnya peran dan keterlibatan dunia usaha

dalam proses pengambilan kebijakan ekonomi membawa konsekuensi

pada lemahnya posisi kontrol dunia usaha terhadap kebijakan ekonomi

yang kontra produktif bagi dunia usaha. Dunia usaha semakin terkooptasi

dalam kekuasaan, seperti adanya kecenderungan para pengusaha untuk

mendekatkan diri menjadi kroninya agar dapat memperoleh akses proyek.

Dengan demikian persaingan usaha menjadi tidak efisien dan

tidak kompetitif sehingga akan berdampak buruk pada penciptaan tata

pemerintahan yang mengandalkan pada adanya sinergi antara pemerintah,

dunia usaha dan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip transparansi,

keadilan dan kesetaraan. Suap menjadi modus yang dominan karena

pembayaran ilegal untuk memenangi kontrak dan konsesi besar secara

umum telah menjadi ajang bisnis para pejabat tinggi dan kontraktor.

Secara teknis, penyuapan dalam proses pengadaan barang dan jasa

dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan. Pertama, perusahaan atau

pengusaha rela membayar untuk bisa diikutsertakan dalam daftar

prakualifikasi dan untuk membatasi peserta tender. Kedua, perusahaan

juga rela membayar untuk mendapatkan informasi mengenai proyek dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

orang dalam. Ketiga, pembayaran ilegal membuat pejabat dapat mengatur

spesifikasi tender sehingga perusahaan yang membayar itu akan menjadi

satu-satunya pemasok yang lolos prakualifikasi. Keempat, pembayaran

ilegal itu dimaksudkan untuk memenangi kontrak. Ketika proses ini terjadi

dalam satu kali putaran, konsekuensi yang harus diterima adalah adanya

penggelembungan harga dan penurunan kualitas barang dan jasa yang

dihasilkan (Susan Rose-Ackerman, 2006).

Dari hasil kajian ICW pada 2005, terungkap bahwa mekanisme

pelaksanaan proyek yang memberikan keistimewaan kepada salah satu

pihak melalui penunjukan langsung dianggap oleh pejabat tinggi bukan

merupakan pelanggaran yang serius. Padahal hal itu dilarang secara tegas

dalam Perpres Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengenai pengadaan

barang/jasa pemerintah mengingat nilai proyek di atas Rp 100 juta harus

melalui mekanisme pelelangan (tender). Dari temuan ICW, terdapat 43

kasus yang terindikasi korupsi di sector pengadaan yang modusnya

menggunakan penunjukan langsung. Selain indikasi korupsi yang terjadi

dengan melakukan penunjukan langsung, modus korupsi lainnya yang

kerap terjadi pada proses pengadaan adalah praktek markup (48 kasus),

pemerasan (50 kasus), penyimpangan kontrak (1 kasus), dan proyek fiktif

(8 kasus).

Banyaknya modus korupsi yang terjadi pada sektor pengadaan

menunjukkan masih buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

pemerintah serta tidak berjalannya sistem pencegahan yang efektif untuk

meminimalisasi terjadinya praktek korupsi di sektor tersebut. Dengan kata

lain, mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi yang sarat dengan

perburuan rentemasih menjadi penyakit serius yang menghambat

pemerintahan yang bersih. Hal ini menjadi ancaman nyata dalam korupsi

pengadaan karena buruknya kualitas barang/jasa yang dihasilkan sehingga

tidak dapat melayani kepentingan publik secara efektif dan efisien.

Demikian halnya dengan pemborosan anggaran yang terjadi karena

penyusunan anggaran proyek yang digelembungkan, dalam konteks ini,

masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan. Fenomena rent seeker

tidak hanya dapat dilihat pada modus korupsi yang terjadi, tapi juga dapat

diketahui dari pemetaan sektor-sektor yang selama ini rawan korupsi.

Dari data media massa yang dikumpulkan selama 2005, diketahui

bahwa korupsi di sektor pengadaan barang/jasa menempati posisi tertinggi

(66 kasus), diikuti kemudian oleh sektor anggaran Dewan (58 kasus) dan

infrastruktur (22 kasus). Yang terakhir ini bisa dikatakan memiliki

keterkaitan dengan isu korupsi dalam pengadaan barang/jasa mengingat

sebagian belanja pemerintah dialokasikan untuk pembangunan

infrastruktur. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa inti dari korupsi

pengadaan barang dan jasa adalah penyuapan. Penyuapan dapat

dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber daya kekuasaan

dan uang. Sumber daya kekuasaan mewujud dalam kewenangan, otoritas,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

informasi, jumlah, dan besarnya proyek yang menjadi domain pejabat,

sedangkan kekuasaan uang ada pada diri pelaku usaha/pebisnis/pengusaha.

Karena itu, memandang korupsi pengadaan barang/jasa tidak serta-merta

hanya dianggap sebagai-gejala penyimpangan yang dilakukan oleh

aparatur birokrasi belaka, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari

memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi.

Korupsi pengadaan bukan saja persoalan korupsi birokrasi semata,

melainkan bersinggungan erat dengan korupsi politik. Pertautan keduanya

secara alamiah karena ada keinginan untuk tetap berkuasa ada pada diri

setiap politikus. Sehingga tidak hanya berusaha mempertahankan,

melainkan juga melanggengkan dan memperbesar pengaruh

kekuasaannya. Dengan kepemilikan otoritas dan kekuasaan, mereka bisa

menggunakannya untuk memperkuat posisi bisnis, sedangkan keuntungan

dari bisnis itu digunakan untuk memperluas dan mempengaruhi

kekuasaan. Politikus yang memiliki bisnis punya kepentingan langsung

terhadap proyek-proyek di birokrasi. Politikus juga membawa kepentingan

elite partai/partai politik dalam rangka menjaga dukungan kelompok bisnis

terhadap partai. Karena itu, politikus yang berkepentingan dapat

melakukan intervensi dalam bentuk memasukkan proyek-proyek yang

diinginkan oleh kroni bisnis dalam rencana anggaran dinas/instansi

tertentu. Barangkali karena besarnya kepentingan politikus dalam berbagai

proyek pemerintah, korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa sulit

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

diberantas. Panitia pengadaan barang dan jasa tampaknya hanya memiliki

sedikit posisi tawar, kecuali jika terlibat secara bersama-sama dalam

mendesain penyimpangan. Posisi tawar yang lemah menyulitkan adanya

penilaian yang obyektif, kredibel, dan mandiri atas proses pelelangan

karena mereka sendiri adalah kelompok yang rentan tekanan, baik dari

internal maupun eksternal.

F. e-Procurement: Inovasi dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa Publik

Barang public memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan

barang privat. Oleh karena itu proses pengadaannya terdapat perbedaan

yang mendasar. Pertama, di sektor privat, pasar bisa dibentuk langsung

oleh pembeli. Sedangkan di sektor publik, pasar menjadi tanggung jawab

negara baik secara nasional maupun regional. Kedua, perlakuan antara

pembeli dan penjual di sektor privat tidak sejajar, sebaliknya di sektor

publik, antara penjual dan pembeli memiliki posisi yang sejajar. Ketiga,

pengadaan di sektor privat memungkinkan dilakukan secara tertutup dan

terbatas, tetapi di sektor public wajib transparan karena biayanya

bersumber dari rakyat. Keempat, dalam sector privat akuntabilitas lebih

ditekankan pada keuntungan dan efisiensi sedangkan di sektor publik

ditekankan pada akuntabilitas terhadap eksternalitas dan dampak

sosial.Buruknya kualitas pasar pengadaan barang dan jasa publik di

Indonesia merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sosial

dan hak-hak ekonomi masyarakat. Oleh karena itu untuk memperbaikinya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

perlu ada solusi agar pasar pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat

dilakukan lebih transparan dan akuntabel serta memungkinkan masyarakat

ikut mengontrolnya. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi

dan komunikasi, e-Proc dapat menjadi solusi strategis sebagai salah satu

alat (tools) untuk mempermudah pekerjaan pengelola pengadaan sekaligus

mampu mendorong efisiensi belanja nasional, serta meningkatkan daya

saing usaha nasional melalui penciptaaan satu pasar pengadaan yang

terbuka dan bersaing secara fair.

Pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-Proc) merupakan

inovasi system pengadaan barang/jasa pemerintah yang pelaksanaanya

dilakukan secara elektronik berbasis web/internet dengan memanfaatkan

fasilitas teknologi komunikasi dan informasi. Filosofi yang mendasari

pengadaan barang dan jasa publik di Indonesia adalah perlunya

menerapkan prinsip efisiensi, efektivitas, persaingan sehat, adil non

diskriminatif, serta transparan dan akuntabel sebagaimana tertuang dalam

Perpres No. 54/2010. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk

mewujudkan prinsip-prinsip tersebut adalah pentingnya mengadopsi e-

Proc, karena dengan e-Proc proses pengadaan barang dan jasa dapat

dilakukan secara transparan sehingga menghasilkan persaingan yang sehat,

adil dan non diskriminatif.

Dengan demikian pelaku usaha juga akan lebih cepat terdorong

untuk melakukan efisiensi, efektivitas karena biaya dapat ditekan,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

sehingga penghematan dalam belanja negara juga dapat segera

diwujudkan. e-Proc sebagai salah satu instrumen untuk mewujudkan good

governance dalam implementasinya juga mampu mendukung

interoperabilitas dan jaminan kemanan data (security), perlakuan antara

penjual dan pembeli mempunyai posisi yang sejajar dan setara, prosesnya

dapat dilakukan lebih cepat dan aman melalui proses penyandian. Ada dua

kategori yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan e-Proc yaitu kategori

proses dan dokumen. Dari segi proses, semua proses e-Proc mulai

penerbitan pengumuman lelang, pertukaran dokumen, aanwijzing sampai

penunjukkan pemenang dilakukan secara elektronik. Work flow e-Proc

lebih rigid karena kaduanya dipandu oleh suatu system aplikasi, sehingga

pembukaan dokumen harus dilakukan tepat sesuai dengan setting waktu

yang telah ditetapkan. Sedangkan dari segi dokumen, yang dipertukarkan

adalah dokumen dapat berupa CD, File, e-mail, USB tidak sebagaimana

dalam proses lelang manual dimana dokumen yang dipertukarkan berupa

dokumen kertas . Transaksi dokumen elektronik akan lebih efisien, adil

dan aman bila dibandingkan dengan dokumen kertas. Saat ini, e-Proc

merupakan salah satu pendekatan terbaik dalam mencegah terjadinya

korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Dengan e-Proc peluang untuk kontak langsung antara penyedia

barang/jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil, lebih

transparan, lebih hemat waktu dan biaya serta dalam pelaksanaannya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

mudah untuk melakukan pertanggung jawaban keuangan. Hal tersebut

dikarenakan sistem elektronik tersebut mendapatkan sertifikasi secara

internasional. Dengan penerapan e-Proc maka peluang terjadinya tindak

pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah juga dapat

diminimalisir. Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya implementasi e-

Proc pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang ITE No 11 tahun

2008 yang telah memberikan implikasi bahwa :

1. Transaksi elektronik menjadi sah dan dokumen elektronik (sms,

email,file) diakui sebagai alat bukti yang sah.

2. Tanda tangan elektronik yang terdiri atas informasi elektronik yang

dilekatkan, terisolasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya

sebagai alat verifikasi contohnya MD5, hash key, user ID dan password

memiliki kekuatan hokum yang sama dengan tanda tangan

konvensional.

G. Keunggulan dan Manfaat E-Procurement

1. Efektif dan Efisien

Pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan cara e-

Procurement dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih cepat

dibanding dengan cara yang dilakukan dengan cara konvensional. Rata-rata

waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang dan jasa dengan cara

konvensional adalah 36 (tiga puluh enam) hari sedangkan apabila dengan

cara e-procurement hanya berkisar 20 (dua puluh) hari. Hal ini dikarenakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

dengan sistem elektronik, proses pengumuman pengadaan, penawaran,

seleksi dan pengumuman pemenang dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Di samping waktu yang bisa lebih cepat e-Proc juga bisa

menghemat anggaran, karena dapat mengurangi biaya konsumsi rapat

maupun penggandaan dokumen dan terutama adalah dari adanya selisih

antara pagu anggaran dengan harga penawaran. Penghematan lainnya

adalah berkurangnya penggunaan kertas kerja (paperless) dan juga

kecepatan waktu realisasi barang/jasa. Penghematan anggaran penting

dilakukan di tengah kondisi ekonomi negara yang masih tertatih-tatih.

Dengan adanya efisiensi, belanja publik dapat lebih bermanfaat bagi

masyarakat luas,. “Peran belanja negara bagi perekonomian sangat

signifikan, sehingga bisa menggerakkan sektor riil dalam meningkatkan

produktivitas dan efisiensi dalam distribusi,”.

Penghematan juga dirasakan oleh berbagai pihak yang telah

menerapkan e-procurement seperti British Telcoms, misalnya, berhasil

memotong biaya rata-rata transaksi pengadaan barang/jasa dari US$80

menjadi US$8 dalam 1,3 juta transaksi. Penghematan berkat e-procurement

juga dirasakan oleh IBM, Microsoft, The Wall Street Journal, Raytheon, dan

lain-lain.

2. Terjadi persaingan yang sehat dan non diskriminatif

Terjadinya persaingan yang sehat antar pelaku usaha akan

mendukung iklim investasi yang kondusif secara nasional. Dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang lebih transparan, fair dan

partisipatif akan mendukung persaingan usaha yang semakin sehat di setiap

wilayah dimana pengadaan barang dan jasa dilakukan. Tidak ada

pengaturan pemenang lelang serta hilangnya sistem arisan antar pelaku

usaha, pelaku usaha yang besar tidak dapat menekan pelaku usaha kecil

untuk tidak berpartisipasi dalam tender, serta pelaku usaha di semua

tingkatan tidak dapat menekan lembaga pemerintah untuk

memenangkannya dalam tender. Pelaksanaan lelang diatur dalam suatu

sistem yang transparan, akuntabel, dan meniadakan kontak langsung antara

panitia dengan penyedia barang dan jasa. Pelaku usaha yang unggul dalam

melakukan efisiensi terhadap seluruh aktifitas operasional usahanya akan

mendapatkan keunggulan kompetitif. Secara umum sistem e-Procurement

menuntut penyedia barang/jasa untuk berlomba dalam melakukan efisiensi,

sementara disisi lain juga dituntut untuk menghasilkan output yang

berkualitas. Kondisi semacam ini merupakan ciri yang diterapkan pada

persaingan yang sehat (fair market competition) dan akan mendukung iklim

investasi yang kondusif bila e- Procurement diterapkan secara konsisten di

tingkat nasional.

Dengan terjadinya persaingan yang sehat antar pelaku usaha,

maka eprocurement juga mampu memberikan peluang kerja dan usaha bagi

UKM dan pelaku bisnis lokal tanpa diskriminasi sehingga pasar bisa hidup.

Dengan eprocurement telah membawa perubahan besar pada sistem kerja

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

dan mekanisme pelelangan. Di Surabaya terbukti pemenang lelang semakin

beragam. Banyak paket-paket pekerjaan kualifikasi kecil yang dilelang dan

memberikan peluang lebih besar pada perusahaan-perusahaan kecil untuk

ikut dan memenangi lelang. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan kecil

menjadi kelompok yang lebih sering menang dalam lelang/tender. Pada

tahun 2005, ada sekitar 1.066 perusahaan kecil yang telah memenangi

lelang dengan total nilai kontrak Rp 203,26 miliar. Perusahaan yang telah

menjadi pemenang lelang 73 persen berasal dari kelompok perusahaan

kecil, sesuai dengan peluang yang ada. Hal tersebut telah menunjukkan

bahwa e-procurement telah mampu memunculkan persaingan yang sehat,

fair dan tidak diskriminatif dalam pengadaan barang dan jasa.

3. Transparan dan akuntabel

Transparansi merupakan salah satu aspek mendasar bagi

terwujudnya penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik. Perwujudan tata

pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keterbukaan, keterlibatan dan

kemudahan akses bagi masyarakat terhadap proses pengambilan kebijakan

publik khususnya dalam penggunaan sumber daya yang berkaitan langsung

dengan kepentingan publik. Adanya transparansi memberikan jaminan pada

masyarakat adanya persebaran informasi kebijakan sehingga memudahkan

masyarakat dan stakeholders untuk melakukan kontrol atas

penyelenggaraan pemerintahan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

Penyelenggaraan pemerintahan yang transparan semakin menjadi

tuntutan bagi pemerintah daerah di era pemerintahan saat ini, salah satu

aspek penting dalam transaparansi adalah menyangkut keterbukaan dalam

pelaksanaan tender proyek baik proyek yang dibiayai oleh APBN maupun

APBD. Keterbukaan dalam proses tender proyek merupakan isu penting di

daerah, mengingat salah satu dari sasaran pencapaian penyelenggaraan tata

pemerintahan yang baik adalah terbentuknya iklim kerjasama yang kondusif

antara pemerintah dengan sektor swasta untuk meningkatkan investasi di

daerah. Dalam era tata pemerintahan baru, peran sektor swasta semakin

besar dalam pembangunan di daerah, swasta akan menjadi motor penggerak

pembangunan roda perekonomian daerah yang penting. Oleh karena itu

pemerintah daerah harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif di

daerah yang ditandai dengan adanya kebijakan-kebijakan ekonomi yang

efisien dan transparan bagi kalangan dunia usaha di daerah.

Penerapan e-procurement selain dapat menghemat anggaran

negara, juga lebih transparan dan akuntabel sehingga sangat efektif untuk

mencegah terjadinya KKN. Salah seorang pengusaha dari PT Internet

Pratama Indonesia, mengakui, “Kini persaingan berjalan sehat. Meskipun

kalah, tetapi bisa legowo karena percaya lelang berjalan secara fair.” Sejak

2003, perusahaannya telah delapan kali mengikuti lelang di Pemkot

Surabaya dan baru dua kali memenangi lelang lewat e-procurement”.

Semangat awal dibangunnya e-procurement adalah untuk membangun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

transparansi, juga menutup celah terjadinya macam-macam penyelewengan,

sebab sistem ini telah mengurangi peran orang-orang yang terlibat dalam

penerimaan, pencatatan, maupun pendistribusian persyaratan administrasi

lelang yang dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya kolusi.

Melalui e-procurement, rekanan tidak perlu datang berkali-kali,

karena semua bisa dilihat dan transaksi dari internet. Rekanan yang datang

harus menunjukkan berkas-berkas asli untuk dicocokkan dengan yang sudah

dikirim lewat internet. Sistem ini dapat mengurangi tatap muka antara

rekanan dan panitia lelang sehingga kecurigaan terjadinya kecurangan dapat

dihindari. Pelaksanaan lelang diatur dalam suatu sistem yang transparan,

akuntabel, dan meniadakan kontak langsung antara panitia dengan penyedia

barang dan jasa.

4. Lebih Aman

Dengan E-procurement akan mampu menjaga faktor kerahasiaan

dokumen penawaran antar vendor/penyedia barang jasa; dengan support

sistem enkripsi dari Lembaga Sandi Negara. Sistem pengamanan file

dokumen elektronik dilakukan dengan algoritma sandi. Algoritma sandi

terdiri dari tiga komponen yaitu informasi, kunci dan hasil teks sandi. Cara

mengenkrip yaitu informasi tambah kunci sama dengan server, cara

mendeskrip yaitu sandi – kunci sama dengan informasi.

Proses digitalisasi e-procurement juga ditekankan pada keamanan

data yang mengacu pada confidentiality, integrity, aviliability,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

authenticatication, non repudiation dan access control. File yang telah

terenkripsi tidak akan bisa dibuka sebelum tanggal yang ditetapkan terlebih

lagi jika kunci harus dibuka oleh lebih satu orang panitia secara

pengamanan dalam e-procurement bisa dilakukan pada dua hal yaitu :

1. Pengamanan data atau informasi (enskripsi) yang harus di upgrade dan

dievaluasi setiap tahun

2. Pengamanan jaringan melalui firewall

Hingga saat ini sudah ada beberapa instansi pemerintah pusat,

pemerintah daerah dan BUMN di Indonesia yang melakukan pengadaan

barang dan jasa melalui e-Procurement. Banyak manfaat yang telah

diperoleh selain dapat menghemat anggaran, sebagaimana diungkapkan oleh

beberapa lembaga yang telah menerapkan e-Procurement, seperti

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil),

Bappenas, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BPPT,

dan Pemkot Surabaya.

Pengakuan Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil, pelaksanaan e-

procurement di instansinya membuat proses interaksi antara pengguna dan

penyedia jasa, serta masyarakat, berjalan lebih mudah serta mempercepat

proses pengadaan barang. Yang tak kalah penting, penerapan e-

Procurement secara otomatis telah meningkatkan sistem kontrol terhadap

berbagai penyimpangan dan pelanggaran aturan. “Perubahan dalam proses

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

ini ditempuh dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi sebagai

media interaksi antara kedua belah pihak”.

E-procurement berakibat terjadinya sejumlah pengurangan, mulai

dari harga pembelian barang, waktu proses pembelian, penagihan dan

pembayaran, hingga pengurangan biaya administrasi. Selain itu, melalui e-

Procurement terjadi peningkatan kemampuan untuk mengelola basis

pasokan secara optimal, memperlancar komunikasi antara penjual dan

pembeli, menunjang pelaksanaan pembelian tepat waktu dan pelaksanaan

manajemen rantai pasokan serta pelaksanaan kemitraan pembeli dan

penjual. Pendeknya, e-Procurement menawarkan kesempatan seluas-

seluasnya untuk perbaikan dalam biaya dan produktivitas. Oleh karenanya

e-Procurement merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk

menyempurnakan manajemen, baik langsung maupun tidak langsung, dalam

pencarian sumber pembelian. Walhasil, e-Procurement akan meningkatkan

kunci keberhasilan dalam peningkatan daya saing di masa datang.

Sementara asisten deputi e-Government Kementerian Komunikasi

dan Informasi, menuturkan bahwa e-procurement merupakan salah satu

bentuk inisiatif dari e-Government. Di sejumlah negara, e-Procurement

dimanfaatkan sebagai penggerak pemula dari e-government. Lewat e-

Procurement yang merupakan bagian dari e-Government, sistem

penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah kepada

masyarakat berlangsung secara elektronis. Hal ini ditentukan pula oleh

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

kehandalan teknologi komunikasi dan informasi. Peran Information and

Communication Technology (ICT) tidak bisa dipandang sebelah mata.

Kecanggihan ICT telah digunakan oleh KPK untuk mendukung pelaksanaan

pemberantasan korupsi, baik pencegahan maupun penindakan.

Di bidang pencegahan, ICT digunakan untuk sistem informasi

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan dan Pelaporan Gratifikasi.

Sebagai gambaran, gratifikasi mencakup pemberian uang, barang, rabat

(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas

penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas

lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun luar

negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau

tanpa sarana elektronik. Sampai saat ini, baru satu orang penyelenggara

negara yang telah melaporkan gratifikasi ke KPK. Sementara di bidang

penindakan, ICT bermanfaat dalam sistem informasi penanganan perkara,

juga dalam menjalankan kewenangan KPK seperti menyadap dan merekam

pembicaraan.

Hasil penelitian menyangkut kesiapan e-procurement di

Kabupaten Sleman yang berjudul Analisis Terhadap Kesiapan Penerapan

E-Procurement (Pengadaan Barang/Jasa Secara Online) Di Lingkungan

Pemerintah Kabupaten Sleman oleh Akbar Prabowo tahun 2009

menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum siap untuk menjalankannya.

Hal ini dilihat dari masih rendahnya komitmen kepala daerah yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

diindikasikan dari adanya motif-motif ekonomi politik dalam menjalankan

kebijakan pengadaan barang jasa. Selain itu masih sangat minimnya

pegawai dengan kemampuan yang dapat diandalkan untuk menjalankan

sistem ini. Dari sisi bisnis juga dilihat masih kurang siap, dikarenakan etika

bisnis yang mereka miliki itu ternyata tidak dipatuhi dan tidak dijalankan

pada saat pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Begitu

juga dari asosiasi rekanan, seharusnya mereka yang menjadi lembaga yang

bisa menegakkan aturan dan sanksi terhadap pelanggaran etika bisnis serta

wadah sosialisasi peraturan dan kebijakan yang efektif bagi para

anggotanya. Ternyata fungsi kontrol tersebut malahan tidak dijalankan. Dari

sisi masyarakat, dengan tingkat melek internet tertinggi Indonesia, ditunjang

dengan banyaknya lembaga pendidikan yang menjadi agen penyebaran

teknologi informasi, adanya perhatian banyak LSM untuk meningkatkan

kontrol terhadap pengadaan barang/jasa dan ketersediaan jaringan internet

yang disediakan oleh ISP (internet service provider) di Yogyakarta yang

menjangkau sampai ke pelosok-pelosok daerah, menunjukkan masyarakat di

Sleman cukup siap untuk turut mendukung keberhasilan sistem e-

procurement. Dapat disimpulkan bahwa penerapan pengadaan barang/jasa

secara online di Kabupaten Sleman belum dapat diterapkan, dikarenakan

kurang siapnya stakeholder yang terlibat.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

H. Membangun LPSE di Kabupaten/Kota

Dari buku yang diterbitkan oleh LPSE nasional, untuk membangun LPSE di

Kabupaten/Kota beberapa hal yang harus dilaksanakan:

A. Penyiapan peraturan

1. Peraturan Menteri/Daerah Tentang Pedoman E-Proc di masing-masing

instansi

2. Surat Edaran Tentang Keharusan Memakai E-Proc (internal).

3. Surat Keputusan Penunjukan Personil LPSE

a. Administrator

b. Help Desk

c. Trainer

d. Verifikator

4. Surat Penunjukan Pejabat Pelaksana Kegiatan (PPK/Panitia/Pejabat

Pengadaan/ Unit Layanan Pengadaan)

B. Penyiapan SDM

1. Penunjukan Personel LPSE :

a. Administrator : 3 orang

b. Help Desk : 5 orang

c. Trainer : 6 orang

d. Verifikator : 6 orang

2. Penunjukan Personil Pelaksana Kegiatan :

a. PPK.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

b. Panitia/Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan.

3. Pelatihan Personil :

a. Pelatihan TOT E-Proc : 4 hari

b. Pelatihan Personil LPSE : 4 hari

c. Pelatihan PPK/Panitia/Pejabat Pengadaan/ Unit Layanan

Pengadaan : 1 hari.

C. Penyiapan Infrastruktur

1. Penyiapan Ruangan :

a. Ruang Lelang (Bidding Room);

b. Ruang pelayanan (helpdesk, ruang tunggu);

c. Ruang untuk server yang memadai.

2. Penyiapan Hardware dan Software :

a. Pemasangan hardware

b. Instalasi software : server, aplikasi helpdesk

3. Penyiapan Jaringan :

a. Jaringan telepon (personil LPSE) : 3 Line Telepon dan 1 Fax.

b. Jaringan LAN/Internet

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

Lay out ruang LPSE

I. Kerangka berpikir

Berangkat dari pemahaman kerangka teori yang ada sejalan dengan kondisi

permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka secara sederhana kerangka

pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam skema berikut ini:

Permasalahan pengadaan Implementasi. Kebijakan Keberhasilan


barang dan jasa saat ini: E-Procurement Implementasi
· Penyalahgunaan Kebijakan e-
wewenang procurement:
· Penyimpangan kontrak · Efektif dan
· Kolusi efisien
· Manipulasi · Persaingan yang
· Tidak transparan sehat dan non
· Kelemahan SDM diskriminatif
· Transparan dan
akuntabel
· Lebih aman

Sumber Teknologi Komitmen


Daya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

Dari gambar tersebut dapat diberi pemahaman bahwa keberhasilan

implementasi kebijakan e-procurement dipengaruhi oleh kesiapan

implementasi itu sendiri. Adapun kesiapan implementasi kebijakan e-

procurement di suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Sumber Daya

2. Teknologi

3. Komitmen

Faktor sumber daya tidak hanya melibatkan sumber daya manusia

melainkan juga sumber daya keuangan atau anggaran. Keberhasilan

pelaksanaan e-Procurement salah satunya ditentukan oleh sumber daya

manusia baik secara kualitas (kapasitas dan integritas) maupun kuantitas

(jumlah). Yang dimaksud dengan sumber daya manusia adalah orang-orang

yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sedangkan

kesiapan anggaran sangat menentukan dalam pengadaan infrastruktur untuk

pelaksanaan proses pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten/Kota.

Orang-orang yang akan terlibat dalam pelaksanaan e-procurement perlu

memiliki kapasitas dan pengetahuan yang memadai agar dapat berperan sesuai

dengan fungsinya masing-masing dalam pelaksanaan tender/lelang. Faktor

teknologi berkaitan dengan sistem aplikasi yang digunakan oleh LPSE local di

daerah. Aplikasi e-procurement disesuaikan dengan apa yang digunakan dan

dikembangkan oleh LPSE nasional yang dirancang menggunakan sistem

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

operasi yang murah dan terjangkau. Faktor terakhir adalah factor komitmen.

Pelaksanaan e-procurement membutuhkan dukungan banyak hal, baik itu

dukungan dana maupun dukungan politik, terkait dengan masalah seberapa

serius pengambil keputusan di tingkat daerah dalam mendukung e-

procurement dan LPSE.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Untuk melihat, mengetahui serta melukiskan keadaan yang sebenarnya secara

rinci dan aktual dengan melihat masalah dan tujuan penelitian seperti yang telah

disampaikan sebelumnya, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini jelas mengarah pada penggunaan metode penelitian kualitatif. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif, yang dapat diartikan sebagai proses pemecahan

masalah yang diselidiki dengan melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian pada

saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya (Hadari

Nawawi, 1990).

Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian yang non hipotesis

sehingga dalam rangka penelitiannya bahkan tidak perlu merumuskan hipotesisnya

(Suharsimi Arikunto, 1996). Metode penelitian deskriptif adalah metode yang

digunakan untuk mendapatkan gambaran keseluruhan obyek penelitian secara akurat.

Pelaksanaan metode penelitian deskriptif tidak terbatas hanya sampai pada

pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang

arti data tersebut, selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci

terhadap apa yang diteliti (Lexy Moleong, 2000).

Sugiyono (1998), mengatakan bahwa metode penelitian deskriptif

bertujuan untuk mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas dan teliti.

commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

Studi deskriptif harus lengkap, tanpa banyak detail yang tidak penting dengan

menunjukkan apa yang penting atau tidak. Dalam konsep Grounded Research bahwa

suatu cara penelitian bersifat kualitatif menjadi berpengaruh dengan suatu pandangan

yang berbeda tentang hubungan antara teori dan pengamatan.

Mengacu pada tujuan penulisan ini yakni untuk menggambarkan kesiapan

Kabupaten Sukoharjo dalam mengimplementasikan e-procurement, maka metode

yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitan adalah wilayah Kabupaten Sukoharjo, dimana menjadi

wilayah hukum dari kebijakan e-procurement yang akan diteliti. Unit analiasis yang

diteliti adalah pejabat yang saat ini berwenang melaksanakan kegiatan pengadaan

barang/jasa serta stakeholders terkait.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti,

maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data penelitian sebagai berikut:

a. Dokumentasi

Dokumen adalah setiap bahan yang tertulis atau film yang dipersiapkan

untuk penelitian, pengujian suatu peristiwa atau record maupun yang tidak

dipersiapkan untuk itu (Moleong,1999). Studi dokumentasi dalam penelitian ini

dilakukan dengan menelaah dokumen-dokumen yang terkait dengan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

implementasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo, antara lain dari Bagian

Pengolahan Data Elektronik Sekretariat Daerah Kabupaten Sukoharjo, Dinas

Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Bappeda Kabupaten

Sukoharjo dan Badan Statistik Kabupaten Sukoharjo.

b. Wawancara.

Wawancara dilakukan terhadap informan yang telah ditentukan untuk

mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam tentang berbagai hal yang

diperlukan, yang berhubungan dengan masalah penelitian, juga untuk merespon

berbagai pendapat untuk meningkatan pengadaan barang/jasa yang akan datang.

Wawancara dilakukan terhadap “stakeholder” yang berhubungan dengan

pengadaan barang/jasa yang dipilih secara “purpossive”, yaitu metode penarikan

sampel dengan tujuan tertentu, sesuai dengan data yang dibutuhkan. Dengan cara

ini dapat diperoleh masukan-masukan untuk memperdalam kajian mengenai

hambatan dan masalah yang dihadapi. Dalam wawancara terhadap informan

tersebut menggunakan panduan wawancara, sebagai alat dalam melakukan

wawancara agar dapat lebih terfokus dan konsistensi hasil pendataan.

Dalam melakukan in depth interview, penulis melakukan interview

langsung baik kepada pejabat yang bertanggungjawab atas seluruh kegiatan

pengadaan barang/jasa di Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, Asosiasi pengusaha

yang selama ini sering mengikuti lelang pengadaan barang/jasa di lingkungan

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pakar di bidang Teknologi Informasi di

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

Kabupaten Sukoharjo untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan

mendalam tentang berbagai hal yang diperlukan, yang berhubungan dengan

masalah penelitian.

c. Telaaah Kepustakaan

Telaah kepustakaan dilakukan dengan membandingkan data yang

diperoleh dengan konsep dan teori yang berkaitan secara langsung.

d. Observasi

Melakukan pengamatan langsung terhadap tempat-tempat yang menjadi

obyek/sasaran e-procurement seperti Sekretariat Layanan Pengadaan Barang/Jasa

Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Sukoharjo.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan Purposive Sampling, yaitu

teknik penentuan sampel untuk tujuan tertentu dimana peneliti menentukan informan

yang dianggap tahu dan dapat dipercaya (Sugiyono : 2007). Metode yang diganakan

adalah Judgment Sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa

dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.

E. Teknik Analisis Data

Data yang dikumpulkan dan ditunjang dengan berbagai argumentasi tinjauan

pustaka, diolah serta dianalisis dengan menggunakan teknik kualitatif. Pertimbangan

digunakannya teknik kualitatif adalah mampu menggali informasi yang lebih luas,

mendetil dan mendalam dari fenomena yang terjadi, juga dapat mengkaji temuan-

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

82

temuan dari kasus yang terjadi di lokasi penelitian, sehingga kajian yang diperoleh

diharapkan dapat mengembangkan konsep.

Adapun proses analisis data meliputi :

1. Penilaian data. Data yang telah dikumpulkan melalui teknik dokumentasi,

wawancara dan observasi, dilakukan penilaian dengan memperhatikan prinsip

validitas, obyektivitas, reliabilitas melalui cara mengkategorikan data dengan

sistem pencatatan yang relevan dan melakukan kritik atas data yang telah

dikumpulkan.

2. Interpretasi data, yang dilakukan dengan cara menganalisis data dengan

pemahaman intelektual yang dibangun atas dasar pengalaman empiris terhadap

data, fakta, dan informasi yang telah dikumpulkan dan disederhanakan dalam

bentuk analisis tabel.

3. Penyimpulan terhadap hasil interpretasi data.

Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

yang jelas dan menghasilkan informasi mengenai kesiapan rencana implementasi e-

procurement di Kabupaten Sukoharjo sehingga dapat menjawab berbagai masalah

menyangkut pertanyaan penelitian ini.

F. Validitas Data

Dalam penelitian deskriptif, ada beberapa cara yang dapat dipilih untuk

mengembangkan validitas (kesahihan) data penelitian. Cara tersebut antara lain berupa

teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

83

dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan

atau pembanding terhadap data tersebut. Dengan kata lain, data yang sama dikontrol

dari sumber yang berbeda.

Dalam hal ini teknik triangulasi yang digunakan adalah teknik triangulasi

sumber, yang berarti bahwa untuk melihat validitasnya dimungkinkan menggunakan

sumber lain selain sumber pertama data tersebut. Triangulasi merupakan teknik yang

bersifat multiperspektif yang berarti untuk menarik kesimpulan diperlukan tidak hanya

satu cara pandang. Dari beberapa cara pandang akan bisa dipertimbangkan beragam

fenomena yang muncul, dan selanjutnya bisa ditarik kesimpulan yang lebih mantap

dan lebih bisa diterima kebenarannya (HB. Sutopo, 2002 : 78).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Wilayah Penelitian

1. Data Umum

1.1 Letak Geografis.

Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten/Kota


diwilayah Jawa Tengah yang teletak antara 7.32’ 17.00 – 7.49’ 32.00
Lintang Selatan dan 110.57’ 33.7.00” Bujur Timur dengan luas wilayah
Kabupaten Sukoharjo 466,66 Km2 (46.666 Ha) terbagi menjadi :
· 12 Kecamatan
· 167 Desa/Kelurahan.
Sedangkan batas wilayah administrasinya:
· Sebelah Utara : Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar.
· Sebelah Timur : Kabupaten Karanganyar.
· Sebelah Selatan : Kabupaten Wonogiridan Kabupaten Gunungkidul
(Propinsi DIY)
· Sebelah Barat : Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali.

Selengkapnya Peta Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat seperti di bawah


ini:

commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

Gambar 1.
Peta Kabupaten Sukoharjo

Sumber: Bappeda Kabupaten Sukoharjo, Tahun 2010

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

2. Sosial Budaya

2.1. Demografi.

Data Kependudukan merupakan data pokok yang


dibutuhkan baik kalangan pemerintah maupun swasta sebagai
bahan untuk perencanaan dan evaluasi hasil-hasil pembangunan.

Tabel 3.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Kabupaten Sukoharjo
Tahun 2010

Laki – laki Perempuan Jumlah


No Tahun
(orang) (orang) (orang)
1 2 3 4 5

1 2006 408.506 417.783 826.289

2 2007 411.340 420.273 831.613

3 2008 414.292 422.987 837.279

4 2009 417.276 425.851 843.127

5 2010 443.794 451.313 895.107


Sumber: Bappeda Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010

Jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo berdasarkan registrasi

penduduk tahun 2010 tercatat sebanyak 895.107 jiwa terdiri dari 443.794

laki-laki (49,58%) dan 451.313 perempuan (50,42 %).

Apabila dilihat dari penyebaran penduduk, Kecamatan Grogol

paling tinggi persentasenya yaitu 14,57% kemudian Kartasura (12,71%),

Sukoharjo (10,54%) sedangkan yang terkecil Bulu (5,55%). Rasio jenis

kelamin pada tahun 2010 sebesar 98,23% yang berarti bahwa setiap 100

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

penduduk perempuan terdapat 98 penduduk laki-laki.

Tabel 4.
Data Kepadatan Penduduk per Kecamatan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010

Banyaknya Kepadatan
Luas
No Kecamatan Penduduk Penduduk
(Km2)
(orang) (Jiwa / Km2)
1 2 3 4 5

1 Weru 41,98 63.476 1.512

2 Bulu 43,86 49.668 1.132

3 Tawangsari 39,98 62.199 1.556

4 Sukoharjo 44,58 94.344 2.116

5 Nguter 54,88 53.381 973

6 Bendosari 52,99 64.153 1.211

7 Mojolaban 35,54 66.359 1.867

8 Polokarto 62,18 76.305 1.227

9 Grogol 30 130.429 4.348

10 Baki 21,97 69.581 3.167

11 Gatak 19,47 51.479 2.644

12 Kartasura 19,23 113.733 5.914

Jumlah 466,66 895.107 1.918


Sumber Data : Bappeda Kab. Sukoharjo Tahun 2010

Kepadatan penduduk dalam kurun waktu lima tahun (2006-2010)

cenderung mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan jumlah penduduk.

Pada tahun 2010 tercatat kepadatan sebesar 1.918 jiwa setiap Kilometer persegi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

naik dari kepadatan tahun 2009 yaitu sebesar 1.830 jiwa setiap Kilometer persegi.

Disisi lain penyebaran penduduk masih belum merata, di Kecamatan Kartasura

paling padat penduduk yaitu 5.914 jiwa per Km2 naik dari kepadatan tahun 2009

sebesar 5.051 jiwa per Km2. Sedangkan Kecamatan Nguter adalah yang paling

jarang kepadatan penduduknya yaitu 973 jiwa per Km2 .

Tabel 5.
Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010

No Uraian 2006 2007 2008 2009 2010


(orang) (orang) (orang) (orang) (orang)
1 2 3 4 5 6 7

1 Pertanian,kehutanan,
perburuan dan perikanan
130.989 131.001 132.121 130.254 130.120
Pertambangan dan galian
2 1.875 1.885 1.991 1.678 1.736
Industri pengolahan
3 125.905 126.053 126.854 125.876 126.751
Listrik, gas dan air
4 985 993 998 1.021 1.027
Konstruksi/Bangunan
5 22.978 22.981 22.123 23.785 23.858
Perdagangan
6 10.245 10.251 10.264 10.456 10.566
Transportasi,
7 3.964 3.969 3.985 4.054 4.065
Komunikasi
8 1.801 1.807 1.931 2.067 2.132
Keuangan dan Jasa
9 2.545 2.547 2.551 2.785 2.788

Jumlah 301.287 301.487 303.818 301.976 303.143


Sumber data : BPS Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010

Pada tahun 2010 jumlah penduduk yang bekerja pada lapangan usaha

pertanian mencapai 130.120 (42,94%) turun dari jumlah pada tahun 2009 yaitu

sebesar 130.254 orang (43,13%). Dari sisi prosentase juga mengalami penurunan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 sektor pertanian mengalami

penurunan jumlah tenaga kerja. Hal ini diperkirakan akibat dari penurunan luas

lahan pertanian dan perpindahan tenaga kerja pada sektor lain.

Lapangan usaha lain yang juga banyak menyerap tenaga kerja pada tahun

2010 masih tetap industri pengolahan yang mengalami peningkatan menjadi

126.751 (41,83%) orang naik dari tahun 2009 sebanyak 875 orang (0,69%). Dan

konstruksi pada tahun 2010 sebesar 23.858 (7,87%) orang naik dari jumlah tahun

2009 sebanyak 23.785 orang (7,88%).

Tabel 6.
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010


(Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
1 2 3 4 5 6

1. Pajak Daerah 13.450.850.450 14.261.800.000 14.019.623.395 18.003.312.543 21.741.894.000

2. Retribusi Daerah 9.850.838.454 14.434.284.950 11.313.427.443 20.524.244.000 28.618.817.000

3. Bagian Laba BUMD 250.000.000 - 2.605.921.209 3.734.266.687 3.820.151.000


4. bagian Laba Lembaga
Keuangan Bank - - 3.340.823.151 3.340.823.151
5.340.352.455
5. Lain-2 Pendapatan sah 7.883.203.300 12.861.70.141 6.767.806.365 6.116.671.000
1.950.575.467
6. Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yg
dipisahkan - 2.041.942.000 - 3.734.266.687 3.734.266.687

Sumber data : Buku APBD Kabupaten Sukoharjo Tahun 2006-2010

3. Organisasi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo

Susunan organisasi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo saat ini berdasarkan

Perda Kabupaten Sukoharjo Nomor 2, 3, 4 dan 5 Tahun 2008 tentang

Organisasi dan Tata Kerja, terdiri dari :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

· 1 (satu) Sekretariat Daerah,

· 1 (satu) Sekretariat Dewan,

· 1 (satu) Inspektorat

· 1 (satu) Rumah Sakit Umum

· 12 (dua belas) Dinas

· 6 (enam) Badan.

· 5 (lima) Kantor

· 12 (dua belas) Kecamatan

· 17 (tujuh belas) Kelurahan

B. E-Government Kabupaten Sukoharjo

1. Kondisi Perangkat dan Infrastruktur Jaringan Komputer

Sampai saat ini, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo telah

memiliki 315 komputer, baik yang berupa PC maupun Notebook.

Selain itu, Kabupaten Sukoharjo juga memiliki 4 server yang saat ini

berada di Bagian Pengolahan Data Elektronik, Ruang Layanan

Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) dan Dinas

Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah.

Kasubag Telematika Bagian Pengolahan Elektronik Setda

Kabupaten Sukoharjo mengatakan:

“dengan dukungan infrastruktur IT tersebut seharusnya e-


government di Kabupaten Sukoharjo dapat berjalan dengan
maksimal. Namun ada sekitar 40% atau lebih dari 100 PC
maupun Notebook yang digunakan masih dengan spesifikasi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

lama, misalnya masih menggunakan Pentium III, RAM


128/256, tidak ada CD Room, harddisk yang kecil dan
sebagainya. Akibatnya kinerja komputer lambat dan bahkan
tidak mampu menjalankan aplikasi terbaru dan akhirnya akan
sedikit mengganggu pelayanan masyarakat” (wawancara pada
hari Selasa, tanggal 12 Juli 2011)

2. Sistem Informasi Manajemen (SIM) di Kabupaten Sukoharjo

2.1. Situasi Sebelum Inisiatif

Sudah menjadi rahasia umum, setiap masyarakat yang

berhubungan dengan pemerintah daerah untuk mengurus sesuatu

(perijinan, umpamanya) bakal berhadapan dengan birokrasi yang

berbelit, memakan waktu cukup lama, dan mengakibatkan

ekonomi biaya tinggi. Padahal, pemberian pelayanan kepada

masyarakat merupakan salah satu dari berbagai keberadaan

pemerintah daerah itu adalah untuk melayani kebutuhan-

kebutuhan masyarakat? Karena itu, sejatinya, pelayanan

masyarakat diarahkan untuk memangkas jalur birokrasi yang

berbelit, cepat, dengan biaya terjangkau dan resmi. Menyadari hal

ini, tampaknya Pemerintah Kabupaten Sukoharjo berupaya

memegang filosofi itu, yakni melayani masyarakat sebaik-

baiknya dengan efisien dan efektif.

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo mulai berbenah diri

dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Salah

satunya adalah dengan membentuk Sistem Pelayanan Satu Atap

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

sebagai embrio dari Sistem Informasi Manajemen Pemerintah

Kabupaten Sukoharjo.

Sebelum dibentuk Pelayanan Satu Atap, pelayanan

masyarakat bidang perijinan dan non perijinan dilakukan oleh

masing-masing instansi terkait sehingga dirasakan sangat

membebani masyarakat dan sangat kurang efisien dari segi waktu

dan biaya. Belum lagi, permasalahan ego-sektoral dan kurangnya

transparansi di masing-masing instansi yang mengakibatkan

lambannya proses perijinan. Selain itu, pemanfaatan teknologi

informasi di lingkungan pemerintahan kurang maksimal.

Langkah awal yang dilakukan adalah pembenahan di

bidang pelayanan masyarakat dengan membentuk Sistem

Pelayanan Satu Atap (SIMTAP). Inisiatif tersebut bertujuan untuk

mencari solusi terhadap tuntutan masyarakat mengenai sistem

pengurusan perijinan dan non perijinan seperti KTP, Kartu

Keluarga dan Akte Kelahiran dengan prosedur yang sederhana,

transparan, efisien, termasuk kepastian biaya dan hasilnya. Proses

evaluasi dan assessment yang menghasilkan keputusan untuk

penyelenggaraan SIMTAP di Sukoharjo dilakukan dengan hati-

hati berdasarkan kajian yang komprehensif. Kajian tersebut juga

menilai dan mengevaluasi nilai tambah (value added) dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

beberapa alternative yang tersedia, termasuk kelebihan dan

kelemahan pendekatan SIMTAP dalam pelayanan publik.

Alasan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo memilih

SIMTAP adalah berdasarkan hasil kajian, Sistem Pelayanan Satu

Atap ini menawarkan solusi atas keprihatinan publik terhadap

prosedur perijinan dan non perijinan yang selama ini berbelit-belit

dan serba tidak pasti, termasuk uang ekstra yang harus dibayarkan

oleh pemohon kepada aparat. Dengan perbaikan yang signifikan

terhadap prosedur permohonan perijinan dan non perijinan,

diyakini Sistem Pelayanan Satu Atap mampu menjawab

keprihatinan masyarakat dan sekaligus menciptakan kepuasan

publik terhadap pelayanan yang disediakan melalui sistem ini.

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo kemudian mengembangkan

sistem-sistem informasi lainnya yang terintegrasi melalui Sistem

Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten (SIMPEKAB)

Sukoharjo.

2.2. Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten

(SIMPEKAB)

Latar belakang dibentuknya SIMPEKAB ini, dikarenakan

terbatasnya data dan informasi di bidang pemerintahan dan

pelayanan yang dapat diakses , baik oleh para pejabat pemerintah

maupun masyarakat. Bahkan data tersebut sering kali tidak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

akurat. Oleh karena itu, pengintegrasian seluruh sistem informasi

pemerintah kabupaten kedalam SIMPEKAB merupakan upaya

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo untuk mendukung program-

program pembangunan serta meningkatkan efisiensi dan

efektivitas kerja Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Fungsinya

adalah menyediakan informasi dan data yang akurat dan cepat

serta memberikan pelayanan prima bagi kepentingan masyarakat

umum. Disamping itu, juga berfungsi untuk mempromosikan

potensipotensi daerah yang tujuannya menarik para investor

untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan di Kabupaten

Sukoharjo. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen

Kabupaten yang terintegrasi ini merupakan salah satu upaya

meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat dan sebagai

bagian dari keunggulan kompetitif daerah. Dan keunggulan

Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Kabupaten yang sudah

dibangun tersebut berbasis komputerisasi dan bekerja secara

online system.

Banyaknya sistem informasi manajemen di Kabupaten

Sukoharjo tidak terlepas dari kemajuan teknologi, khususnya

teknologi informasi. Sistem komputerisasi di semua lini dan jenis

pekerjaan merupakan suatu tuntutan yang mau tidak mau sudah

harus dilakukan secepatnya untuk memperoleh data cepat dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

95

akurat, sehingga pengambilan keputusan berdasarkan data dapat

dilaksanakan dengan benar dan tertib. Dalam menentukan

peruntukan kawasan, penataan kota, batas wilayah dan

pembangunan fasilitas umum lainnya dapat dengan mudah

dilakukan melalui sistem terintegrasi dan terkomputerisasi. Selain

kedua SIM tersebut di atas, Kabupaten Sukoharjo masih memiliki

beberapa SIM, yaitu: SIM Kepegawaian, SIM Keuangan dan SIM

Perlengkapan Barang Daerah (Simbarda).

C. Program Penyiapan Menuju e-Procurement

1. Tahapan-tahapan Pengembangan Menuju e-Procurement

Otonomi luas telah memberikan kebebasan yang

memungkinkan pemerintah daerah menata dan mengelola pemerintahan

daerah menjadi pemerintahan yang baik (good government) dalam

kerangka tata pemerintahan yang baik. Salah satu isu strategis dalam

rencana strategis daerah yaitu perubahan paradigma tata pemerintahan

yang baik (good governance) yang menekankan antara lain pada unsur-

unsur transparansi, konsistensi, akuntabilitas, partisipasi sehingga segala

tindakan yang dilakukan selayaknya dapat dipertanggung-jawabkan,

sesuai dengan maksud Peraturan Pemerintah 108 Tahun 2000. Oleh

karena itu meskipun belum secara tegas memasukan isu korupsi sebagai

isu strategis dalam renstra, namun setidaknya adanya kehendak untuk

dapat mewujudkan good governance atau tata pemerintahan yang baik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

yang mensyaratkan penciptaan penyelenggaraan pemerintahan yang

akuntable, transparan, membuka ruang partisipasi, keadilan dan

responsible merupakan batu pijakan bagi Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo untuk memulai pelaksanaan e-procurement di Kabupaten

Sukoharjo.

D. Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam e-proc

1. Komitmen dan Dukungan Pemerintah Daerah

Komitmen pimpinan daerah untuk melaksanakan e-proc

berdampak positif bagi program tersebut, karena dengan begitu

dukungan anggaran yang dibutuhkan untuk pengadaan sarana dan

prasarana serta insentif bagi pengelola e-proc akan diperoleh tanpa

kendala. Dukungan nyata dari pimpinan biasanya diikuti dengan

komitmen penyediaan anggaran dan dikeluarkannya berbagai regulasi

untuk mempercepat penetrasi e-procurement. seperti disampaikan oleh

Bupati Sukoharjo:

“ Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan


barang/jasa Pemerintah, pada Bagian keempat mengatur
mengenai Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Pasal 111
ayat (1) menegaskan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota
membentuk LPSE untuk menfasilitasi ULP/Pejabat
Pengadaan dalam melaksanakan Pengadaan barang/jasa secara
elektronik. Oleh karena itu saya selaku Bupati Sukoharjo di
awal Tahun Anggran 2011 telah mengambil langkah guna
memenuhi amanat Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tersebut
telah membentuk Tim LPSE dengan Keputusan Bupati No.
482.05/142/2011 tanggal 10 Januari 2011” (sambutan Bupati

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

Sukoharjo dalam launching LPSE Kabupaten Sukoharjo


tanggal 25 Mei 2011)

Seperti yang diungkapkan oleh Thai (2001), yaitu dalam

rangka penerapan kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah,

pihak eksekutif yang dipimpin oleh presiden, gubernur, atau walikota,

memiliki cakupan yang luas dalam hal manajerial dan tanggung jawab

pengadaan secara teknis dan mengeluarkan kebijakan, yang dapat

mencakup antara lain yaitu: melengkapi dan menambah kebijakan dan

dasar hukum prosedur pengadaan melalui perintah eksekutif;

mengembangkan kebijakan dan menjalankan undang-undang dan

prosedur di bidang pengadaan. Sementara Gansler et al. (2003),

mengungkapkan bahwa komitmen yang berasal dari seorang pemimpin

sangat penting untuk mencapai transformasi dan integrasi dari rantai

pasokan pemerintah, serta untuk mengatasi hambatan legislatif,

peraturan, dan organisasi yang ada.

Penerapan layanan pengadaan secara elektronik (LPSE)

diharapkan mampu menekan peluang terjadinya praktik korupsi,

kolusi dan nepotisme (KKN). Karena, kesempatan bertatap muka

antara pejabat publik pengguna anggaran dan pihak rekanan dalam

layanan pengadaan bisa memicu terjadinya KKN.

Kabag Pembangunan Setda Sukoharjo sekaligus Ketua LPSE

Kabupaten Sukoharjo, Adji Arianto, mengakui ada peluang terjadinya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

praktik KKN di antara pengguna anggaran dan rekanan. Ia

mengatakan

“LPSE diharapkan mampu menekan peluang itu. Namun, ia


enggan menjelaskan tentang ada tidaknya kasus konkret praktik
KKN dalam layanan pengadaan yang selama ini dilakukan.
“Saya tidak bisa bilang. Tapi harapannya, melalui program ini
sudah tak ada lagi main mata,”(wawancara hari: Rabu, tanggal
25 Mei 2011).

Peneliti sudah berusaha untuk mendapatkan data apakah

layanan pengadaan yang selama ini dilakukan sarat dengan praktik

KKN, namun tidak menemukan data yang dibutuhkan. Kasubag

Telematika Bagian Pengolahan Elektronik Setda Kabupaten

Sukoharjo mengatakan:

“sampai saat ini dalam pengadaan barang/jasa yang dilakukan


oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo secara manual belum ada
kasus yang diproses oleh pengadilan Tipikor, sehingga data
bahwa pengadaan barang dan jasa secara manual sarat dengan
praktik KKN tidak bisa dibuktikan. (wawancara pada hari
Kamis, tanggal 23 Juni 2011)

Diperlukan dukungan DPRD agar komitmen pimpinan daerah

untuk mengadopsi LPSE dapat berjalan dengan lancar. Pimpinan

daerah tidak akan mampu mencapai berbagai program yang telah

ditetapkan tanpa dukungan DPRD. Sebab sesuai dengan aturan main

yang ada, DPRD memiliki hak legislasi dan hak budget. Artinya,

DPRD memiliki otoritas untuk memberikan dukungan secara politik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

berupa payung hukum yang kuat terhadap inisiatif untuk mengadopsi

LPSE. Selain itu, ketika program sudah disetujui, pembiayaan

program yang sudah dirancang tadi pelaksanaannya akan sangat

tergantung pada dukungan DPRD.

Ketua Komisi III DPR Sukoharjo, Sriyanto, menilai

penerapan sistem itu berdampak terhadap lebih objektifnya

pelaksanaan pengadaan.

“Saya rasa itu lebih objektif dan efisien. Karena sistem tidak
mengenal kedekatan pengguna anggaran dan rekanan,”. Sistem
tersebut akan mengacu kepada kualitas rekanan dan hal itu
selaras dalam menjaga pentingnya proporsionalitas.”
(wawancara pada hari Rabu, tanggal 25 Mei 2011)

2. Adanya Peraturan yang Mendukung

Faktor dasar hukum merupakan salah satu sisi yang

berpengaruh dalam pelaksanaan kegiatan di sektor pemerintah. Ini

disebabkan karena organisasi pemerintah diciptakan dan melakukan

kegiatan berdasarkan aturan formal tertentu atau sekelompok aturan

yang memang sengaja diciptakan untuk mendasari berjalannya suatu

kebijakan. Dalam membuat keputusan apapun, termasuk dalam suatu

proyek inisiatif e-goverment seperti e-procurement, manajer publik

harus mempertimbangkan sejumlah besar undang-undang dan

peraturan yang telah ada sebelumnya. Khususnya dalam bidang e-

procurement, hukum dan peraturan yang mengatur pelaksanaan sistem

elektronik dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah,dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

keabsahan terhadap transaksi dan otentikasi. Temuan lapangan

menunjukkan bahwa dasar hukum yang kuat dan jelas bagi

pelaksanaan e-procurement sangat dibutuhkan, karena implementasi

e-procurement akan menimbulkan implikasi berubahnya sistem

konvensional menjadi elektronik yang berdampak luas bagi para

rekanan serta panitia pengadaan,

Implemetasi e-procurement di Kabupaten Sukoharjo

mengacu kepada beberapa peraturan yang menjadi payung hukum

dalam pelaksanannya, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 58,

Tambahan Lembaran Negara No. 4843);

b. Undang-Undang N. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik;

c. Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga

Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

d. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah;

e. Keputusan Bupati Sukoharjo Nomor 482.05/142/2011 tanggal 10

Januari 2011 tentang Pembentukan Tim Pelayanan Pengadaan

Barang/Jasa secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Sukoharjo.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

Seperti yang diungkapkan oleh Jones (2007) bahwa terjadinya

fragmentasi, ambiguitas dan ruang lingkup yang terbatas dalam sisi

hukum, peraturan pelaksanaan serta prosedur menjadi hambatan

utama dalam mencapai pengadaan barang dan jasa pemerintah yang

efektif pada sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini

menimbulkan terjadinya inkonsistensi, kebingungan dan kurangnya

akuntabilitas dalam bidang pengadaan. Untuk mengatasi masalah ini,

di beberapa negara tersebut telah diambil langkah-langkah untuk

mengembangkan kerangka hukum dan administrasi yang dapat

menciptakan koherensi yang lebih besar dalam proses pengadaan,

kerangka-kerangka tersebut dengan jelas mendefinisikan proses dan

kriteria yang harus dijalankan, serta peran dan tanggung jawab pejabat

pengadaan dan organisasi pengadaan. Untuk beberapa negara, sebagai

tindakan lebih lanjut, kerangka kerja dapat menetapkan sistem

pengadaan publik yang lebih kompetitif dan transparan dengan

akuntabilitas yang lebih besar. Sementara menurut Clark (2003),

lembaga pemerintah dibentuk dan beroperasi berdasarkan hukum dan

peraturan. Inisiatif e-government, melibatkan berbagai lembaga,

memerlukan peraturan hukum tentang berbagi data (sharing) dan

kepemilikan data (ownership) serta tanggung jawab antara lembaga-

lembaga.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

3. Adanya Dukungan Dana/Anggaran Pemerintah Kabupaten

Ketersediaan anggaran untuk mendukung operasional

kegiatan, melakukan pelatihan dan memperoleh sumber daya manusia

serta sumber daya lainnya yang diperlukan seperti lisensi perangkat

keras dan perangkat lunak sangat berpengaruh dalam penerapan e-

procurement.

Temuan dilapangan mengungkapkan bahwa untuk

mendukung pelaksanaan e-procurement memang diperlukan sarana

dan prasarana pendukung yang memadai, seperti tempat/ruangan

untuk pusat pelayanan yang representatif, dukungan teknologi

informasi seperti jaringan internet, perangkat komputer baik untuk

server maupun untuk klien yang dilengkapi sistem aplikasi untuk

melakukan proses pengadaan secara elektronik serta untuk melakukan

pelatihan-pelatihan. Penyediaan anggaran yang rutin sangat berperan

penting dalam pelaksanaan program ini karena paling tidak untuk

pengadaan peralatan dan perlengkapan kantor,koneksi bandwidth,

pemeliharaan komputer, kemudian untuk para pengelola terdapat

anggaran untuk jamuan makan minum untuk setiap ada rapat-rapat

koordinasi, maupun kegiatan verifikasi data rekanan. Selain itu juga

ada honorarium tim yang harus diadakan setiap tahunnya, karena

alasan-alasan diatas maka dibutuhkan alokasi anggaran yang

berkesinambungan tiap tahunnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

Ketidaksediaan anggaran untuk kegiatan dapat menjadi

kendala dalam penerapan e-proc karena fungsi dari anggaran itu

adalah untuk penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk

penerapan e-proc. Seperti yang diungkapkan oleh Andrade et al.

(2010) bahwa biaya untuk melakukan integrasi dan pemeliharaan

terhadap sistem baru adalah dapat menjadi hambatan utama terhadap

penerapan e-procurement. Serupa dengan apa yang diungkapkan oleh

Ebber dan Dijk (2007) yang menjabarkan anggaran sebagai alokasi

dan pengeluaran dari jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendukung

kegiatan dan memperoleh sumber daya manusia dan sumber daya

lainnya yang diperlukan seperti lisensi perangkat keras dan perangkat

lunak. Sedangkan Van de Ven et al. (1999) mengungkapkan bahwa

alokasi sumber daya keuangan yang dibutuhkan sangat mungkin

untuk diabaikan dalam sebuah inovasi e-Goverment. Jika inovasi

harus diimplementasikan maka sumber daya keuangan harus

dialokasikan dan harus terus tersedia. Jelas, pelaksanaan suatu inovasi

berjalan selama ada sumber daya keuangan. Ketika sumber daya

keuangan tidak dialokasikan atau ketika habis sebelum implementasi

berhasil dijalankan, maka ini berarti bahwa proses implementasi tidak

akan berjalan dengan baik.

Sebagai bentuk dukungan dan komitmen terhadap

pelaksanaan e-procurement, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo pada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

tahun 2011, berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan

Kerja Perangkat Daerah Nomor: 1.20 1.20.03 23 01 5 2 telah

memberikan anggaran untuk layanan informasi berbasis web dan

layanan LPSE (e-procurement) sebesar Rp. 158.336.000. Sedangkan

untuk Tahun Anggaran 2012, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo

mengusulkan alokasi anggaran untuk LPSE kepada DPRD sebesar

Rp. 230.000.000.

Dilihat dari nominal anggaran yang dibutuhkan memang

terlihat besar, akan tetapi ke depan hal tersebut akan dapat

mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu dalam

pengadaan barang dan jasa, seperti kertas, pengurusan layanan dan

sebagainya, sehingga ada penghematan biaya, seperti yang dikatakan

oleh Kasubag Telematika Bagian Pengolahan Elektronik Setda

Kabupaten Sukoharjo:

“Anggaran yang dibutuhkan agar pelaksanaan LPSE di


Kabupaten Sukoharjo berjalan optimal memang cukup besar,
antara lain untuk meningkatkan kapasitas SDM dan
kelengkapan infrastruktur. Akan tetapi efisiensi ataupun
penghematan yang didapatkan dari implementasi e-proc juga
cukup signifikan” (wawancara pada hari Rabu, tanggal 23 Juni
2011)

4. Keterbukaan Akses Informasi Publik

Untuk mengakses segala informasi di kabupaten Sukoharjo,

termasuk informasi e-procurement, masyarakat dapat mengakses

melalui www.sukoharjokab.go.id dan disediakan area hot spot di

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

105

sekitar Sekretariat Kabupaten Sukoharjo dan juga di kompleks Kantor

Arsip Daerah Kabupaten Sukoharjo dan sekitar Alun-alun Kabupaten

Sukoharjo.

Berdasarkan hasil pengamatan pada halaman depan situs

www.sukoharjokab.go.id memuat informasi menyeluruh soal

Kabupaten Sukoharjo, seperti letak geografis, informasi pemerintahan,

peta wilayah, peraturan daerah dan informasi terbaru tentang

Kabupaten Sukoharjo.

Salah satu staf Bagian Pengolahan Data Elektronik Setda

Kabupaten Sukoharjo mengatakan:

“setiap hari website ini di update untuk menampilkan berita-


berita terbaru tentang kegiatan di Kabupaten Sukoharjo”
(wawancara pada hari Rabu, 15 Juni 2011)

Kepala Bagian Pengolahan Data Elektronik Setda Kabupaten Sukoharjo

menambahkan:

“masyarakat dapat membaca informasi terbaru tentang


Kabupaten Sukoharjo, karena setiap hari ada staf yang khusus
melakukan updating di website” (wawancara pada hari Rabu, 15
Juni 2011)

Pernyataan di atas dibenarkan oleh Anto, salah seorang warga masyarakat

Kabupaten Sukoharjo:

“Setiap hari saya menyempatkan diri membuka web Kabupaten


Sukoharjo untuk mendapatkan berita-berita dan informasi
terbaru, dan memang informasi yang ditampilkan merupakan
informasi yang up to date” (wawancara pada hari Jumat, 17 Juni
2011).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

Situs resmi Pemerintah Kabupaten Sukoharjo juga menyediakan

ruang bagi keluhan publik dalam fitur Buku Tamu dan e-mail. Hal

tersebut merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan UU No. 25

Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik khususnya pasal 4, dan UU No.

14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam UU

tersebut dinyatakan bahwa pelayanan publik haruslah berasaskan

kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan

hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, tidak diskriminatif,

terbuka, akuntabel, tepat waktu, cepat, mudah, dan terjangkau. UU

tersebut juga menyebutkan bahwa masyarakat berhak mengetahui

kebenaran isi, mengawasi pelaksanaan, mendapatkan tanggapan atas

pengaduan, mendapatkan pemenuhan pelayanan, mendapatkan

pelayanan yang berkualitas dan bahkan dapat mengadukan

penyimpangan pelayanan kepada Ombudsman. Dalam UU No. 14

Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pasal 2 disebutkan

bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh

setiap Pengguna Informasi Publik dikecualikan bersifat ketat dan

terbatas.

Meskipun LPSE Kabupaten Sukoharjo baru di Launching pada

tanggal 25 Mei 2011, namun secara nyata telah beroperasi

melaksanakan tugasnya sejak bulan Februari 2011, yaitu :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

1. Telah memfasilitasi Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan dari

SKPD dalam mengumumkan (menayangkan pengumuman)

pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa melalui Internet sebanyak 43

pengumuman, yang sudah terkoneksi ke Portal Pengadaan Nasional

(E-Proc) sebanyak 12.

2. Telah memfasilitasi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna

Anggaran dalam Mengumumkan Rencana Umum Pengadaan

Barang/Jasa dari 80% SKPD (dalam kurun waktu tanggal 14

Februari s/d 19 Mei 2011).

3. Telah memfasilitasi pendaftaran Penyedia Barang/Jasa, sebanyak

205 rekanan (dalam kurun waktu s/d 19 Mei 2011), yang telah

diverifikasi sebanyak 106 rekanan.

Untuk pelaksanaan operasional LPSE Kabupaten Sukoharjo,

telah dialokasikan tempat/ruangan untuk Sekretariat Tim LPSE di

bekas ruang rapat Dispenduk Capil Kabupaten Sukoharjo, yaitu di

Gedung KPPT Lantai 3.

Sosialisasi ataupun komunikasi dalam implementasi kebijakan

publik sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Edward III dalam

Juliartha (2009:58) bahwa masalah utama dari administrasi publik

adalah lack attention to implementation bahwa without effective

implementation the decision of policymakers will not be carried out

successfully. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik, ketersediaan

sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap, dan tanggapan dari

para pihak yang terlibat dan bagaimana struktur organisasi pelaksanaan

kebijakan.

5. Capacity

5.1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Faktor Sumber Daya Manusia memiliki pengaruh

terhadap penerapan e-proc, hal tersebut disebabkan bahwa

teknologi tidak akan mungkin berjalan dengan sendirinya tanpa

adanya pihak yang mengelola dan menggunakan teknologi

tersebut. Implementasi e-procurement membutuhkan jumlah

SDM yang memadai.,tidak hanya dari sisi jumlah yang harus

diperhatikan, namun juga dari sisi kompetensi yang mereka

miliki. Implementasi e-procurement membutuhkan SDM yang

memiliki keahlian dalam bidang infrastruktur TI dan juga SDM

yang memahami ketentuan pengadaan. E-procurement merupakan

hal yang baru dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah

karena selama ini proses pengadaan dilakukan secara

konvensional. Oleh karena itu menuntut kesiapan sumber daya

manusia baik dari pengguna (user) maupun penyedia agar

memiliki pemahaman yang mampu mendukung pelaksanaan e-

procurement.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

Secara umum jumlah pegawai yang melaksanakan

program elektronik dan urusan informatika maupun e-government

yang dilaksanakan oleh Bagian Pengolahan Data Elektronik

Sekretariat Daerah Kabupaten Sukoharjo sebanyak 14 (empat

belas) orang, dengan kualifikasi pendidikan terdiri dari S2

sebanyak 4 (empat) orang, S1 sebanyak 8 (delapan orang) dan

SLTA sebanyak 2 (dua) orang. Adapun pangkat dan golongan

pegawai terdiri dari Golongan IV sebanyak 1 (satu) orang,

Golongan III sebanyak 12 (dua belas) orang dan Golongan II

sebanyak 1 (satu) orang. Untuk kebutuhan implementasi e-

procurement dilakukan penggabungan dengan beberapa SKPD

terkait sebanyak 14 (empat belas) orang. Bagian Pembangunan

Setda sebagai penanggungjawab sistem e-procurement,

selengkapnya terlihat pada table berikut ini:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

Tabel 7.
Susunan Tim LPSE Kabupaten Sukoharjo

No Jabatan Dalam Nama Jabatan dalam


Tim Instansi
1 2 3 4

1 Penasehat Wardoyo Wijaya, Bupati


SH, MH Sukoharjo

Drs. Haryanto, MM Wakil Bupati


Sukoharjo

2 Penanggungjawab Drs. Indra Surya, Sekretaris


M.Hum Daerah Kab.
Sukoharjo

3 Koordinator Ir. Slamet Sanyoto, Asisten


Dipl, SE, MT Perekonomian
dan
Pembangunan

4 Ketua Eko Adji A, SH, Kepala Bagian


MM Pembangunan

5 Wakil Ketua Drs. BM Pramono Kepala Bagian


PDE
6 Sekretariat
Koordinator Ir. Joko BI, MT Kasubag
Pelaporan pada
Bagian
Pembangunan

Anggota Meta Dewi RW, S Staf Bagian


AP PDE
Retno Widiyanti B, Staf Bagian
SH Hukum

7 Bidang
Administrasi
Sistem Elektronik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

111

Koordinator Suyamto, ST, Kasubag PSI


M.Kom pada Bagian
PDE

Anggota Ade Kristiawan, Staf bagian


ST, M.Eng PDE

Hariyanti, S.Kom Staf Bagian


PDE
8 Bidang Registrasi
dan Verifikasi
Koordinator Wibawa, SH, MH Kasubag
Peraturan
Perundang-
undangan
Bagian Hukum

Anggota Ibnu Budi W, Staf Bagian


A.Md Pembangunan

Staf Bagian
Agus T Pembanguan

9 Bidang Layanan
dan Dukungan
Koordinator Kasi
Samodro PS, ST Pengendalian
Ruang DPU

Anggota Staf DPPKAD


Sugeng Darwanto,
SE Staf Dinas
Pendidikan
Andri Sumartono,
SE
Staf Dinas
Atas Yuda K, ST Kesehatan

Sumber: Bagian Pembangunan Setda Kabupaten Sukoharjo, 2011

Seluruh personil yang menjadi panggungjawab program

ini telah mendapatkan dukungan pelatihan dan pendampingan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

112

sehingga memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Penjaminan dan

peningkatan kompetensi juga dilakukan dengan penyelenggaraan

pelatihan yang difasilitasi oleh LKPP.

Seperti yang diungkapkan oleh Gunasekaran dan Ngaib

(2008) bahwa pelatihan yang memadai untuk para pegawai

dimaksudkan agar mereka dapat mengambil manfaat dari sistem

yang baru merupakan salah satu unsur penting dalam penerapan

e-procurement. Serupa dengan apa yang diungkapkan oleh

Ebbers dan Dijk (2007), bahwa jika tidak dilakukan proses untuk

mengadaptasi terhadap sebuah inovasi e-government yang akan

diimplementasikan kepada pengguna, maka kemungkinan besar

akan berakhir dengan aplikasi yang tidak digunakan oleh mereka.

OECD (2001) dan UN (2005) menerangkan bahwa

bahwa keberhasilan inovasi e-Goverment membutuhkan sumber

daya manusia yang seimbang di sektor pemerintah yang terdiri

dari profesional yang bertanggung jawab dalam bidang

pengembangan sistem, manajemen, dan pemeliharaan sistem,

serta pengguna yang memiliki kemauan dan dasar pengetahuan

TI. Berbagai program pelatihan untuk mengembangkan kapasitas

pengetahuan pengguna juga menjadi salah satu kondisi yang

diperlukan untuk memaksimalkan manfaat dari aplikasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

113

Keahlian SDM di bidang IT memang sangat dibutuhkan

dalam pengoperasian system e-Procurement antara lain dalam hal:

1. Pemahaman tentang regulasi yang digunakan (terutama

Perpres 54/2010 dan regulasi yang berhubungan dengan

keuangan negara);

2. Kemampuan sebagai sistem analis (kemampuan

menterjemahkan proses bisnis manual ke bentuk alur pikir

software);

3. Kemampuan melakukan coding aplikasi software;

4. Pemahaman tentang Information Security Knowledge

Kepala Bagian Pembangunan Setda Kabupaten

Sukoharjo mengatakan:

“Jumlah pengelola LPSE sesuai kondisi saat ini sudah


mencukupi, akan tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya penambahan personil seiring dengan banyaknya
kegiatan pengadaan yang dilaksanakan SKPD.”
(wawancara pada hari: Selasa, 21 Juni 2011).

Implementasi e-procurement bukan sekedar masalah

kecanggihan teknologi atau kemampuan mengalokasikan dana

besar, melainkan lebih kepada bagaimana menyiapkan nonteknis

dan non keuangan. Agar implementasi e-procurement dapat

berjalan dengan baik, maka perlu dipersiapkan pondasi nonteknis

khususnya yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM).

Efektivitas pengelolaan e-proc memerlukan dukungan sumber


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

114

daya manusia yang memiliki kapasitas dibidang TI dan

pemahaman yang baik tentang aturan pengadaan barang/jasa

pemerintah. Kendala yang dihadapi adalah para pengelola masih

berstatus aktif di SKPD masing-masing sehingga terkadang

menyebabkan pengelola kurang focus dalam mengerjakan

pekerjaannya di LPSE.

Berdasarkan Perpres nomor 54 tahun 2010, pengelola

pengadaan barang/jasa harus memiliki sertifikat. Sertifikat ini

menunjukkan kemampuan pemahaman mereka soal pengadaan

barang dan jasa dan diterbitkan oleh Bappenas dengan melalui

ujian. Saat ini Pemkab Sukoharjo telah memiliki 91 pegawai yang

memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa nasional dari

Bappenas.

6.2. Ketersediaan Infrastruktur Teknologi Informasi

Faktor infrastruktur mempengaruhi penerapan e-proc

tidak lepas dari kenyataan bahwa infrastruktur merupakan

prasarana dasar untuk proses digitalisasi dalam administrasi

pemerintahan. Dengan mengedepankan efektivitas pembiayaan

dan mendukung kinerja maka memungkinkan investasi yang

dilakukan untuk penyediaan infrastruktur akan menjadi tidak sia-

sia serta dapat digunakan oleh semua pihak, baik lembaga

maupun institusi. Infrastruktur yang dimaksud disini mencakup

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

115

banyak hal, dari mulai perangkat keras, piranti lunak, sampai

kepada jaringan komunikasi dan sarana fisik lainnya. Infrastruktur

yang harus disediakan oleh instansi/pemerintah antara lain:

a. Ruangan, sekurang-kurangnya meliputi: Ruang Training,

Ruang Bidding, Ruang Server, Ruang verifikasi dan

Helpdesk;

b. Kebutuhan perangkat jaringan dan server: Line internet,

Router, Switch dan Server.

Berdasarkan hasil pengamatan, hingga pertengahan

bulan Mei 2011, hardware yang tersedia antara lain : perangkat

komputer baik untuk server, administrator, untuk klien maupun

untuk pelatihan serta menyiapkan back-up server data yang selalu

identik dengan server induk disertai instalasi software (sistem

aplikasi server, aplikasi helpdesk). Jaringan untuk komunikasi

telah tersedia jaringan telpon dan fax, jaringan LAN/internet antar

unit di lingkup instansi pemerintah untuk penunjang kinerja

panitia pengadaan dan masing-masing panitia, instalasi sistem

aplikasi e-procurement. Untuk sarana fisik pendukung lainnya

telah tersedianya lokasi sebagai tempat sekretariat LPSE yang

dilengkapi dengan beberapa fasilitas, seperti: Ruang lelang

(bidding room), ruang tunggu publik dan penyedia barang/jasa,

ruang pelayanan, ruang info dan bantuan teknis (helpdesk), ruang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

116

server dan ruang untuk pelatihan. persiapan hardware maupun

software untuk pelaksanaan e-procurement. Saat ini sarana

penunjang guna pelaksanaan e-procurement Pemkab Sukoharjo

baru menyediakan fasilitas berupa hardware diantaranya 2 server,

3 unit computer yang telah disediakan baik untuk admin, server

maupun klien dengan anggaran dari APBD, scanner dan telepon.

Sedangkan Ruang Lelang (Bidding Room) dan Ruang Training

digabungkan agar proses pelatihan bisa langsung diterapkan pada

aplikasi program. Hal ini masih cukup memadai seperti yang

dikatakan Kasubag Telematika Bagian Pengolahan Elektronik

Setda Kabupaten Sukoharjo:

“karena jumlah pelaku usaha yang ingin mengikuti


pelatihan maupun yang ingin menggunakan fasilitas
ruang bidding masih sedikit, maka jumlah perangkat
diatas masih mencukupi. Namun kedepannya apabila
sistem ini telah dilaksanakan secara menyeluruh,
jumlah ideal yang sesuai untuk kegiaatan e-
procurement adalah 10 (sepuluh) unit komputer
lengkap.” (wawancara pada hari: Kamis, 23 Juni 2011)

Salah satu anggota tim Administrasi Elektronik LPSE

Kabupaten Sukoharjo mengatakan:

“walaupun pelatihan dan fasilitas diberikan gratis,


namun masih belum banyak yang memanfaatkan
maupun mengikuti pelatihan disini. Jadi jumlah
komputernya masih memadai” (wawancara pada hari:
Rabu, 29 Juni 2011)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

117

Ruang bidding dapat digunakan oleh rekanan yang ingin

mendapatkan bantuan program penggunaan fasilitas gratis, seperti

perangkat komputer online, seperti yang diungkapkan oleh

Kasubag Telematika Bagian Pengolahan Data Elektronik Setda

Kabupaten Sukoharjo:

“rekanan yang datang kesini akan dibantu dalam


penggunaan aplikasi dan penggunaan fasilitas lainnya
secara gratis” (wawancara pada hari: Rabu, 29 Juni
2011)

Serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Croom dan

Jones (2005) bahwa keandalan dan kemampuan infrastruktur dari

suatu organisasi (terutama konektivitas jaringan) akan berdampak

langsung pada kinerja operasional sistem e-procurement.

Infrastruktur teknologi yang tidak memadai untuk mendukung e-

procurement dapat menjadi penghambat dalam usaha mengadopsi

sistem e-procurement.

Prasarana pendukung yang berupa jaringan internet di

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo relatif tidak mengalami

masalah karena sudah terkoneksi dengan jaringan internet

meskipun belum merata ke semua SKPD. Namun jaringan

internet masih sering terputus sehingga dikhawatirkan akan

mengganggu pelaksaan e-procurement.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

118

6.3. Organisasi yang menangani e-proc

Pemerintah Kabupaten Sukoharjo telah membentuk Tim LPSE

untuk menangani e-procurement dengan Keputusan Bupati Sukoharjo

No. 482.05/142/2011, tanggal 10 Januari 2011, yang mempunyai

tugas :

1. Memfasilitasi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran

mengumumkan rencana umum pengadaan;

2. Memfasilitasi ULP menayangkan pengumuman pelaksanaan

pengadaan;

3. Memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan melaksanakan pemilihan

penyedia barang/jasa secara elektronik;

4. Memfasilitasi penyedia barang/jasa dan pihak-pihak lain yang

berkepentingan menjadi pengguna SPSE.

Khusus penyedia barang/jasa dalam menggunakan Sistem

Pengadaan barang/jasa Secara Elektronik tidak dipungut biaya, alias

gratis. Hal ini disampaikan Kasubag Telematika Bagian Pengolahan

Data Elektronik Setda Kabupaten Sukoharjo:

“pertama mereka melakukan pendaftaran melalui internet,


setelah itu nanti ada formulir yang harus mereka download,
ada isian yang harus mereka isi. Setelah diisi mereka datang
kemari untuk melakukan verifikasi. Jadi verifikasi ini untuk
mengecek kebenaran data sesuai data. Setelah mereka lolos
verifikasi mereka mendapat user ID dan password. Itu
dilakukan cuma sekali dan mereka bisa mengikuti proses
pelelangan yang dilakukan LPSE Sukoharjo. Semuanya itu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

119

tidak dipungut biaya.” (wawancara pada hari: Kamis, 28 Juli


2011)
E. Perbedaan Proses Pelelangan Secara Manual dan Elektronik

Perbedaan proses pelelangan secara manual dan elektronik adalah sebagai berikut:

No Konvensional Elektronik
1 Wajib hadir secara fisik untuk Secara online melalui website
melakukan proses pendaftaran LPSE

2 Pengumuman lelang diumumkan Pengumuman lelang yang


melalui media massa seperti surat dilaksanakan secara elektronik
kabar nasional akan tampil pada halaman utama
LPSE.

3 Dokumen lelang dalam bentuk Dokumen lelang dalam bentuk


hardcopy, dan pengambilan softcopy, dan pengambilan
dokumen lelang dengan cara dokumen lelang dapat
peserta lelang datang langsung. didownload di website LPSE.

4 Penjelasan Dokumen Lelang bisa Penjelasan Dokumen Lelang bisa


dilakukan melalui tatap muka ke dilakukan secara online di
kantor LPSE website LPSE

5 Pemasukan dokumen penawaran Pemasukan dokumen penawaran


bisa dilakukan melalui tatap muka bisa dilakukan secara online di
ke kantor LPSE website LPSE

6 Pembukaan dokumen penawaran Pembukaan dokumen penawaran


bisa dilakukan melalui tatap muka bisa dilakukan secara online di
ke kantor LPSE website LPSE

7 Melakukan sanggah bisa dilakukan Melakukan sanggah Lelang bisa


melalui tatap muka ke kantor LPSE dilakukan secara online di
website LPSE

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

120

F. Peran pihak swasta dalam Implementasi E-procurement

Sistem baru selalu disambut pro dan kontra. Bagi pihak yang kontra

biasanya karena sudah nyaman dengan sistem yang lama sehingga terdapat

keengganan untuk beralih ke sistem yang bru. Bagi sebagian orang pula, adanya

rasa puas diri sehingga hal yang inovatif dan baru ditanggapi secara kurang

proporsional. Resistensi akan lebih tinggi pada orang yang terhambat kepentingan

pribadinya dikarenakan sistem baru sehingga menghambat berjalannya sistem baru

tersebut.

E-procurement berdampak terhadap interaksi yang terjadi antara pelaku

usaha dengan pemerintah. Jika masa lalu pelaku usaha perlu sering mendatangi

instansi pemerintah di masing-masing sektor untuk dan mendekati pihak yang

terkait untuk mendapatkan informasi tentang peluang pengadaan, sekarang

prosedur informasi tersebut telah tersedia dan terintegrasi dalam sistem LPSE

melalui website LPSE Nasional maupun situs LPSE lokal pada tiap daerah. Hal ini

menyebabkan frekuensi tatap muka menjadi berkurang. Muncul juga kekhawatiran

bahwa dengan penerapan LPSE maka pengusaha daerah akan kalah bersaing

dengan pengusaha luar daerah. Akan tetapi Ketua Gapensi Sukoharjo mengatakan:

“tekad LPSE dan GAPENSI sama yaitu mengharapkan Anggota


Gapensi dapat memahami dan menguasai SPSE sehingga anggota
GAPENSI dapat menjadi pemenang di rumah sendiri dengan cara yang
normatif sesuai aturan yang ada”. (wawancara pada hari: Kamis, 28 Juli
2011)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

121

Manfaat dari e-procurement dapat dirasakan oleh rekanan dan juga

pemerintah. Bagi rekanan, mereka tidak perlu bolak-balik untuk memberikan

keterangan berkas-berkas terkait yang dibutuhkan serta tidak perlu memfotokopi

berkas-berkas. Jika ada masalah atau hal-hal yang masih belum dimengerti, rekanan

bisa chatting dengan petugas untuk mempertanyakan semua semua hal terkait

dengan pengadaan. Selain itu, rekanan cukup datang sekali ke LPSE untuk

mendapatkan account number yang akan digunakan untuk mengikuti lelang.

Koordinator Bidang Administrasi Sistem Elektronik LPSE Sukoharjo

menyampaikan:

“Sampai pertengahan bulan Juli 2011, 60% perusahaan sudah mendaftar di


LPSE Sukoharjo dan sudah dilakukan verifikasi oleh tim LPSE”.
(wawancara pada hari: Jumat, 5 Agustus 2011)

Namun kekhawatiran dari pengusaha terhadap LPSE masih tetap ada,

seperti yang disampaikan oleh Ketua Gapensi Sukoharjo:

“sekalipun pada dasarnya semua menyetujui pelaksanaan e-proc,


sebaiknya jangan dulu dilaksanakan secara penuh pada tahun ini. Karena
dengan berbagai ketidaksiapan yang dikhawatirkan malah tidak jalan,
sehingga berbagai proyek/kegiatan tidak bisa direalisasikan. Walaupun
sebagian perusahaan telah menguasai IT dalam operasionalisasinya,
namun ada sebagian perusahaan yang belum siap baik dari segi SDM
maupun dari kesiapan infrastruktur Teknologi Informasi”.(wawancara
pada hari: Kamis, 28 Juli 2011).

G. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, dikaitkan dengan teori

yang digunakan terdapat kesesuaian, khususnya teori implementasi dari G

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

122

Edward III dan Sabatier dan Mazmanian. Apa yang dikemukakan oleh G Edward

dan Sabatier dan Mazmanian berlaku untuk kesiapan implementasi e-procurement

di Kabupaten Sukoharjo. Variabel Sumber daya, ketersedian teknologi dan sikap

serta dukungan aparat pelaksana mempengaruhi tingkat kesiapan implementasi e-

procurement di Kabupaten Sukoharjo.

Dalam pelaksanaan e-procurement di Kabupten Sukoharjo, ketiga

variabel sebagai prakondisi implementasi sudah terpenuhi dengan baik, walaupun

masih ada yang perlu ditambah dan disempurnakan. Kesiapan dari pihak

pemerintah saat ini sudah siap dalam melaksanakan sistem e-procurement ini. Hal

ini terlihat dari kesiapan infrastruktur, kemampuan penggunaan teknologi dalam

pekerjaan sehari-hari, dukungan anggaran maupun dukungan politis dari legislatif.

Namun personil yang terlibat dalam Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara

Elektronik (LPSE) masih terbatas dari pegawai yang telah memiliki beban kerja di

SKPD lain. Sumber daya berupa personil dan dana telah terpenuhi demikian pula

sikap pelaksana sebagai pengelola e-procurement. Kepala Daerah memberikan

dukungan penuh pelaksanaan e-procurement dengan mengeluarkan payung

hukum peleksanaan dan pembentukan Tim LPSE.

Sedangkan dari pihak dunia usaha yang menjadi penyedia barang dan

jasa di Kabupaten Sukoharjo terlihat belum cukup siap. Indikasi ini bisa dilihat

dari belum semua perusahaan rekanan yang mendaftarkan diri di Layanan

Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Sukoharjo. Dari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

123

data di LPSE Kabupaten Sukoharjo, baru sekitar 60% perusahaan di Kabupaten

Sukoharjo yang telah melakukan pendaftaran dan verifikasi di LPSE Kabupaten

Sukoharjo. Salah satu hambatan dalam pelaksanaan e-procurement di

Kabupaten Sukoharjo adalah saat ini bandwith untuk akses internet masih menjadi

satu dengan bandwith Sekretariat Kabupaten Sukoharjo, sehingga apabila traffic

sibuk maka akses internet untuk e-procurement juga lambat. Hal ini disampaikan

oleh salah seorang anggota Tim LPSE Bidang Administrasi Sistem Elektronik:

“saat ini akses internet di Sekretariat Kabupaten Sukoharjo menggunakan


bandwith dengan kapasitas 2 Mb, termasuk untuk pelaksanaan e-
procurement. Apabila saat traffic sibuk, maka akses internet untuk e-
procurement jadi lambat dan hal ini mengganggu proses layanan
pengadaan. Ke depan akan diusahakan agar ada penambahan bandwith
sekitar 1 Mb khusus untuk layanan e-procurement sehingga pelaksanaan
pengadaan akan lebih lancar dan mempermudah rekanan untuk
melakukan pendaftaran” (wawancara pada hari: Kamis, 4 Agustus 2011)

Analisis kesiapan e-procurement dilihat dari kesiapan Pemerintah dan Dunia

Usaha serta hambatan/kendala yang dialami:

1. Kesiapan dari pihak Pemerintah

Variabel Kondisi ideal Kondisi saat ini Siap/Tidak Siap


(Berdasar Buku
Panduan LKPP) dan
Perpres No.54
Tahun 2010
2 3 4
1
Sumber Implementasi e- Untuk kebutuhan Siap
Daya procurement implementasi e-
membutuhkan procurement di
jumlah SDM yang Kabupaten
memadai.,tidak Sukoharjo sesuai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

124

hanya dari sisi dengan Keputusan


jumlah yang harus Sukoharjo
diperhatikan, dilaksanakan oleh 14
namun juga dari sisi (empat belas) orang.
kompetensi yang Seluruh personil
mereka miliki. yang menjadi
Implementasi e- pananggungjawab
procurement program ini telah
membutuhkan SDM mendapatkan
yang memiliki dukungan pelatihan
keahlian dalam dan pendampingan
bidang infrastruktur sehingga memiliki
TI dan juga SDM kompetensi yang
yang memahami dibutuhkan.
ketentuan Penjaminan dan
pengadaan. Dari peningkatan
buku panduan dari kompetensi juga
Lembaga Kebijakan dilakukan dengan
Pengadaan penyelenggaraan
Barang/Jasa pelatihan yang
Pemerintah (LKPP), difasilitasi oleh
jumlah ideal LKPP.
personil yang
terlibat dari
administrator
sampai helpdesk
adalah 12 orang dan
mempunyai
keahlian di bidang
IT

Ketersediaan Untuk pelaksanaan


anggaran untuk e-procurement di
mendukung Kabupaten
operasional Sukoharjo telah
kegiatan, dianggarkan untuk
melakukan layanan informasi
pelatihan dan berbasis web dan
memperoleh layanan LPSE (e-
sumber daya procurement) Tahun
manusia serta 2011 sebesar Rp.
sumber daya 158.336.000.
lainnya yang Sedangkan untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

125

diperlukan seperti Tahun Anggaran


lisensi perangkat 2012, Pemerintah
keras dan perangkat Kabupaten
lunak sangat Sukoharjo
berpengaruh dalam mengusulkan alokasi
penerapan e- anggaran untuk
procurement. LPSE kepada DPRD
sebesar Rp.
230.000.000.

Teknologi Teknologi yang Kabupaten Siap


digunakan berupa Sukoharjo telah
perangkat keras, menggunakan
piranti lunak, Teknologi berupa
sampai kepada perangkat keras,
jaringan piranti lunak,
komunikasi dan jaringan komunikasi
sarana fisik lainnya, dan sarana fisik
yaitu lainnya. Sudah
Ruang Lelang tersedia: Ruang
(Bidding Room); Lelang (Bidding
Ruang pelayanan Room);
(helpdesk, ruang Ruang pelayanan
tunggu); (helpdesk, ruang
Ruang untuk server tunggu);
yang memadai. Ruang untuk server
Pemasangan yang memadai.
hardware Pemasangan
Jaringan hardware
LAN/Internet Jaringan
Jaringan telepon :3 LAN/Internet
Line Telepon dan 1 Jaringan telepon: 2
Fax. Line Telepon dan 1
Instalasi software : Fax serta 1 scanner.
server, aplikasi Instalasi software :
helpdesk server, aplikasi
helpdesk
Sarana penunjang
hardware
diantaranya 2 server,
5 unit computer,1
scanner .

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

126

Komitmen Berdasarkan Bupati Sukoharjo di Siap


Pimpinan Perpres No. 54 awal Tahun Anggran
Tahun 2010 bahwa 2011 telah
awal tahun 2012 mengambil langkah
seluruh guna memenuhi
Kabupaten/Kota di amanat Perpres
Indonesia sudah Nomor 54 Tahun
harus menggunakan 2010 tersebut telah
e-procurement membentuk Tim
dalam pengadaan LPSE dengan
barang/jasa. Keputusan Bupati
No.
482.05/142/2011
tanggal 10 Januari
2011”

2. Kesiapan dari dunia usaha

Kekhawatiran dari pengusaha terhadap LPSE masih tetap ada, seperti

yang disampaikan oleh Ketua Gapensi Sukoharjo. Sekalipun pada dasarnya

semua menyetujui pelaksanaan e-proc, mereka meminta sebaiknya jangan dulu

dilaksanakan secara penuh pada tahun ini. Karena dengan berbagai

ketidaksiapan yang dikhawatirkan malah tidak jalan, sehingga berbagai

proyek/kegiatan tidak bisa direalisasikan. Walaupun sebagian perusahaan telah

menguasai IT dalam operasionalisasinya, namun ada sebagian perusahaan yang

belum siap baik dari segi SDM maupun dari kesiapan infrastruktur Teknologi

Informasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

127

3. Hambatan/Kendala

a. Sosialisasi pengadaan barang dan jasa kepada dunia usaha di Kabupaten

Sukoharjo belum maksimal. Sebagian pengusaha masih ada yang belum

memahami system pengadaan barang/jasa dari cara konvensional ke

elektronik. Permintaan sosialisasi e-procurement dari Asosiasi

Pengusaha untuk semua anggotanya masih minim, walaupun Tim LPSE

selalu siap dalam memberikan sosialisasi tanpa biaya alias gratis.

b. Akses internet di Sekretariat Kabupaten Sukoharjo saat ini

menggunakan bandwith dengan kapasitas 2 Mb, termasuk untuk

pelaksanaan e-procurement. Apabila saat traffic sibuk, maka akses

internet untuk e-procurement jadi lambat dan hal ini mengganggu proses

layanan pengadaan. Bandwith untuk akses internet untuk e-procurement

masih menjadi satu dengan bandwith Sekretariat Kabupaten Sukoharjo,

4. Solusi
a. Melakukan sosialisasi secara lebih intensif kepada para stakeholder

walaupun sosialisasi dari pemerintah tentang e-procurement untuk para

pengusaha telah dilakukan.

b. Penambahan bandwith sekitar 1 Mb khusus untuk layanan e-

procurement sehingga pelaksanaan pengadaan akan lebih lancar dan

mempermudah rekanan untuk melakukan pendaftaran.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

128

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Terhadap Kesiapan

Implementasi e-Procurement di Lingkungan Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo, dilihat dari komponen yang terlibat yaitu: Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo dan Dunia Usaha, dapat disimpulkan bahwa ada sebagian rekanan

yang belum siap untuk melaksanakan e-procurement di Kabupaten Sukoharjo.

Secara rinci kesiapan komponen yang terlibat dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Sumberdaya manusia dalam pelaksanaan e-procurement di Kabupaten

Sukoharjo cukup ideal dan memadai, tidak hanya dari sisi jumlah namun

juga dari sisi kompetensi yang mereka miliki. Implementasi e-procurement

membutuhkan SDM yang memiliki keahlian dalam bidang infrastruktur TI

dan juga SDM yang memahami ketentuan pengadaan. Tim LPSE

Kabupaten Sukoharjo sebagian besar sudah mengikuti TOT (Training of

Trainer) tentang e-procurement dan sudah melibatkan personil dari

beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah.

2. Dana/anggaran untuk mendukung implementasi e-procurement di

Kabupaten Sukoharjo telah dialokasikan baik untuk Tahun anggaran 2011

maupun 2012. Anggaran ini sangat diperlukan untuk peningkatan dan

pemeliharaan infrastruktur serta meningkatkan kualitas sumber daya

commit to user

128
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

129

manusia Hal ini juga menunjukkan dukungan yang positif dari Legislatif

dalam implementasi e-procuremen di Kabupaten Sukoharjo.

3. Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 bahwa awal tahun 2012 seluruh

Kabupaten/Kota di Indonesia sudah harus menggunakan e-procurement

dalam pengadaan barang/jasa. Bupati Sukoharjo di awal Tahun Anggran

2011 telah mengambil langkah guna memenuhi amanat Perpres Nomor 54

Tahun 2010 tersebut telah membentuk Tim LPSE dengan Keputusan

Bupati No. 482.05/142/2011 tanggal 10 Januari 2011.

4. Kabupaten Sukoharjo telah menggunakan teknologi perangkat keras,

piranti lunak, jaringan komunikasi dan sarana fisik lainnya untuk

mengimplementasikan e-procurement di Kabupaten Sukoharjo sesuai

standar yang telah ditentukan. Infrastruktur penunjang e-procurement

sudah cukup untuk mengcover perusahaan yang akan melakukan

pendaftaran, verifikasi maupun bidding/lelang.

5. Dunia Usaha sebagai penyedia barang dan jasa di wilayah Kabupaten

Sukoharjo ternyata belum cukup siap untuk mengikuti implementasi e-

procuremnt. Hal ini terbukti dari belum banyak rekanan yang mengetahui

sistem ini, walaupun sosialisai dari Pemerintah Kabupaten sudah dilakukan

dengan melibatkan dunia usaha. Dari data yang diperoleh, ada 40%

rekanan masih belum siap baik dari segi sumber daya manusia maupun dari

kesiapan Teknologi Informasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

130

B. Saran

1. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo harus lebih aktif untuk melakukan

sosialisasi implementasi e-procurement di kalangan dunia usaha, sehingga

diharapkan semua pengusaha di Kabupaten Sukoharjo mengetahui dan

memahami tentang e-procurement dan segera melakuan pendaftaran dan

verifikasi di Sekretariat Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE),

karena paling lambat awal Tahun 2012 seluruh proses pengadaan

barang/jasa sudah harus dilaksanakan secara elektronik.

2. Perlu dibentuk lembaga khusus e-procurement dalam bentuk Unit Layanan

Pengadaan (ULP), seperti yang sudah dilakukan di Kota Yogyakarta,

sehingga tidak ada lagi personil yang merangkap tugas pada dinas/bagian

lain. Dengan demikin ada struktur dan tanggungjawab yang jelas

disesuaikan dengan kemampuan personil.

3. Di era e-government yang menuntut pemenfaatan teknologi informasi,

dunia usaha dalam hal ini penyedia barang/jasa bagi pemerintah dalam

sistem e-procurement harus memiliki kesiapan kompetisi, seperti

kemempuan penguasaan teknologi, kepiawaian membuat penawaran

bersifat digital dan lainnya yang berhubungan dengan prosedur pengadaan

secara elektronis. E-procurement ini bukan semata-mata kebijakan

pemerintah tetapi tuntutan perubahan yang bersifat global, dampak dari

clean and good government. Oleh karena itu dunhia usaha dituntut untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

131

mengikuti perubahan secara cepat dan professional untuk mengantisipasi

ketertinggalan.

4. Terkait dengan penerapan e-procurement di Kabupaten Sukoharjo,

kalangan dunia usaha sebaiknya memanfaatkan fasilitas yang diberikan

pemerintah daerah berupa pelatihan gratis serta ruang bidding bagi

penyedia yang tidak memiliki fasilitas IT. Hal ini untuk meningkatkan

kesiapan penyedia barang/jasa menuju pengadaan yang full e-procurement.

Bagaimanapun diperlukan kesiapan mental untuk melakukan perubahan

sesuai kebutuhan. Selain menciptakan pengadaan yang bersih, bagi dunia

usaha e-procurement juga untuk meningkatkan daya saing bangsa jika

pemngelolaannya dilakukan secara professional.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai