Anda di halaman 1dari 3

Dai Tulen vs ar-Ruwaibidlah

Dakwah merupakan salah satu unsur penting dalam penyebaran dan penyempurnaan
agama Islam. Semacam promosi, dakwah membuat masyarakat awam mengenal agama
Islam, sekaligus semacam tuntunan bagi mereka untuk menyempurnakannya.

Allah telah menjadikan dakwah sebagai salah satu sebab untuk mendapatkan kebaikan
di akhirat, mengingatkan orang yang lupa dari-Nya, juga mengajarkan orang yang tidak tahu
terhadap Allah. Semakin seorang mukmin memperhatikan urgensi dakwah dalam agama
Islam, maka semakin melemah pula dakwah yang mengajak pada kesesatan. Begitupun
sebaliknya.

Dewasa ini, media dakwah sudah banyak tersedia. Dakwah bukan hanya di masjid
atau lembaga pendidikan Islam saja, belakangan banyak dai milenial yang menggabungkan
dakwah dengan berbagai kegiatan khas anak muda seperti pertandingan futsal, ngopi bareng,
mendaki gunung, dan berbagai kegiatan positif lainnya yang kemudian diisi dengan ceramah
agama. Bahkan dakwah dengan berbagai macam jenisnya juga tersebar melalui media cetak
seperti majalah dan surat kabar, atau dalam bentuk media digital seperti website, Facebook,
Instagram, Youtube hingga Whatsapp.

Jika dilihat sekilas, dakwah melalui media digital nampaknya tidak serius. Padahal
dibalik itu semua, berapa banyak mualaf yang masuk Islam, atau berapa banyak muslim yang
sadar kembali kepada agamanya walau hanya dengan melihat kata mutiara seorang ustaz
atau semenit-dua menit video yang tersebar di media sosial.

Membicarakan urgensi dakwah berarti membicarakan urgensi sosok dai. Karena


kehadirannya dapat memberikan pengaruh bagi para pengikutnya. Jika sosok dai itu memiliki
cakrawala keilmuan yang luas dan sanad yang jelas, maka sudah pasti apa yang ia sampaikan
juga bukan hal yang sembarangan. Maka seorang dai, baik itu dalam dunia nyata maupun
dunia maya harus mempunyai sanad keilmuan yang jelas.

Syariat Islam selalu memerhatikan sanad keilmuan. Seorang ulama termasuk dai
wajib mengetahui asal suatu ajaran agama, sehingga apa yang ia sebarkan dapat
dipertanggungjawabkan. Seorang ulama bernama Abdullah bin al-Mubarak menyebutkan,
“Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa adanya sanad, maka siapapun akan berbicara
semaunya.” Ajaran Islam disampaikan dari generasi ke generasi. Dari Rasulullah Saw. ke
para sahabat, dari sahabat ke para tabiin, terus bersambung hingga para ulama mengajarkan
ke murid-muridnya. Semua ini agar ajaran Islam benar-benar terjaga.

Maka dalam berdakwah di media sosial pun, harus benar-benar diperhatikan sanad si
pendakwah. Apakah dia orang yang jelas sanad keilmuannya, atau hanya sekedar belajar
otodidak dari buku dan medsos saja? Kalau hanya buku, maka siapapun akan bisa menjadi
pendakwah di era disrupsi ini.

Periwayatan ilmu agama itu sangat butuh akan sanad, sebagaimana juga dikatakan
oleh Imam Abdullah bin al-Mubarak di suatu kesempatan lain: "Orang yang mencari ilmu
agama tanpa sanad itu seperti orang yang naik ke atas loteng tanpa tangga."

Sanad berarti rantai keilmuan. Karena semua literatur keilmuan agama Islam
berbahasa Arab, maka seorang dai juga dituntut untuk mahir berbahasa Arab. Belajar bahasa
Arab pun harus berguru, atau lebih tepatnya berguru kepada yang bersanad. Betapa bahasa
Arab adalah bahasa yang sangat sulit, jika seorang muslim belajar bahasa Arab tanpa guru,
tentu setiap kata yang ia baca akan menimbulkan misinterpretasi. Kita ambil satu contoh:
Kalimat ‫البر‬, jika ba' nya diharokati dlommah, maka artinya adalah gandum. Jika ba' nya
diharokati fathah, maka artinya adalah daratan. Sedangkan jika ba' nya diharokati kasrah,
maka artinya adalah kebaikan. Jadi, jika dengan berbeda harokat saja bisa berbeda makna,
yakinkah ingin mendakwahkan teks-teks agama tanpa belajar kepada ahlinya?

Guru kami, al-Habib Abu Bakar al-Adani bin Ali al-Masyhur dalam kitabnya
"Mustajaddah al-Fiqhi ad-Dakwah Ila Allah Fi al-Marhalah al-Mu'ashiroh” halaman 15-29
menyebutkan: “Untuk menjadi pendakwah, seorang dai setidaknya harus mempunyai 20
kriteria,” dan pada poin ke-14 beliau menulis: “Seorang dai harus menambah ilmu dan terus
mencari pengalaman dalam berdakawah. Ilmu adalah dasar pokok dari dakwah dan
menyebarkannya. Ilmu yang wajib diketahui oleh seorang pendakwah pemula adalah ilmu
wajib yaitu mengetahui dasar ilmu dalam akidah, hadis, tafsir, fikih, bahasa Arab, dan shirah
nabi. Semua ilmu ini harus dipelajari langsung kepada para ulama, tidak cukup hanya
sekedar membaca buku, atau mendengarkan kaset. Karena Ilmu itu mempunyai cahaya yang
harus diambil langsung dari hati ke hati dari para ulama di bidangnya masing-masing."

Kiranya, zaman kita sekarang adalah zaman yang sangat membingungkan, yang
sudah di nubuatkan oleh Rasulullah sejak 14 abad yang lalu. Dari Abu Hurairah, dia berkata:
Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan, di
dalamnya orang yang berdusta dipercaya sedangkan orang yang jujur didustakan, orang yang
berkhianat diberi amanah sedangkan orang yang amanah dikhianati, dan di dalamnya juga
terdapat ar-Ruwaibidlah." Beliau ditanya, "Apa itu ar-Ruwaibidlah wahai Rasulullah?"
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yaitu orang bodoh yang berbicara (memberi
fatwa) dalam urusan manusia."  (HR. Ahmad No. 7571).

Membendung al-Ruwaibidlah adalah PR kita. Bagaimana meyakinkan masyarakat


bahwa seorang pendakwah itu seharusnya orang yang alim, bukan hanya pandai bicara. Salah
satunya solusinya adalah dengan dibuatkan lembaga khusus untuk melakukan filterisasi bagi
para pendakwah, tentunya lembaga ini diisi oleh orang yang kredibel dan tidak berat sebelah.
Dengan begitu, orang yang tidak punya kompetensi di bidangnya akan sungkan untuk maju
berdakwah karena merasa dirinya belum pantas dan masyarakat juga akan menjadi lebih
selektif.

Selain itu, sudah seyogyanya sebagai seorang akademisi dari pusat munculnya Islam,
yakni jazirah Arab, para pelajar yang ada di Timur Tengah memperhatikan masalah dakwah
ini, agar tidak ada lagi kesalahan-kesalahan fatal dalam penafsiran atau pemahaman teks-teks
agama. Kita sebagai pelajar di Timur Tengah tentunya sangat menyayangkan jika hal ini
terjadi. Titik permasalahannya bukan karena kita takut kehabisan ladang dakwah atau
disaingi. Akan tetapi, yang harus lebih kita khawatirkan adalah ketika seseorang berani
berbicara di luar bidangnya, di luar kemampuan dan kapasitasnya, berbicara tanpa ilmu, lalu
merubah mindset masyarakat luas, serta menyalah-nyalahkan amalan agama yang telah
diajarkan para guru, habaib, dan kiai kita. Ingatlah, bahwa ketika sebuah perkara diserahkan
pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya. Wallahu a'lam bi as-shawwab.

Anda mungkin juga menyukai