Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah : Analisis Kebijakan Pangan dan Gizi Lanjut

Dosen : Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc

ANALISIS KEBIJAKAN STUNTING


KAB. BANGGAI

DISUSUN

OLEH

K012201050
MUHAMMAD LULU RIGALU
TENRISILA

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
A. Latar Belakang

Stunting merupakan masalah kesehatan di dunia yang belum teratasi hingga


saat ini. Diperkirakan 22,2 % atau 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting
(UNICEF, WHO, World Bank .2018). prevalensi di kawasan Asia berjumlah 55 %
dan di kawasan Afrika 39 %, sementara sisanya tersebar di Amerika Utara, Amerika
Latin dan Oceania. Di kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting hingga tahun 2017
mencapai 25,7 %. Laporan UNICEF, WHO, & World Bank (2018) menunjukkan
prevalensi stunting pada tahun 2000 mencapai 32,6% dan telah berkurang menjadi
22,2 % pada tahun 2017. Di Indonesia, prevalensi stunting menurut Riskesdas (2013)
mencapai 37,2 % dan telah terjadi penurunan hingga 30,8 % Riskesdas (2018).
Namun angka tersebut jika dibandingkan dengan ambang batas prevalensi stunting
menurut WHO, masih berada pada kategori tinggi.

Global Nutrition Report 2016 Dikawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting


di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja juga menjelaskan
prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara. Dalam
laporan sebelumnya, Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang
mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi (TNP2K,
2018). Sedangkan menurut WHO Indonesia merupakan negara ketiga tertinggi rata-
rata prevalensi stunting tahun 2005-2017 setelah India dan Timor leste (Djide, 2021)

Indonesia saat ini tengah bermasalah dengan stunting. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskedas) 2013 menunjukkan prevalensi stunting mencapai 37,2%. Stunting
bukan perkara sepele. Hasil riset Bank Dunia menggambarkan kerugian akibat
stunting mencapai 3—11% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Dengan nilai
PDB 2015 sebesar Rp11.000 Triliun, kerugian ekonomi akibat stunting di Indonesia
diperkirakan mencapai Rp300-triliun—Rp1.210 triliun per tahun. Besarnya kerugian
yang ditanggung akibat stunting lantaran naiknya pengeluaran pemerintah terutama
jaminan kesehatan nasional yang berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti
jantung, stroke, diabetes atapun gagal ginjal. Ketika dewasa, anak yang menderita
stunting mudah mengalami kegemukan sehingga rentan terhadap serangan penyakit
tidak menular seperti jantung, stroke ataupun diabetes. Stunting menghambat potensi
transisi demografis Indonesia dimana rasio penduduk usia tidak bekerja terhadap
penduduk usia kerja menurun. Belum lagi ancaman pengurangan tingkat intelejensi
sebesar 5—11 poin. Stunting pun menjadi ancaman masyarakat Desa (Sandjojo,
2017)
Berdasarkan kerangka penyebab masalah gizi “The Conceptual Framework of
the Determinants of Child Undernutrition”5 dan “The Underlying Drivers of
Malnutrition”6, pencegahan stunting perlu dititikberatkan pada penanganan penyebab
masalah gizi yang langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung yaitu
masalah kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi. Sedangkan, penyebab tidak
langsung yaitu ketahanan pangan (akses pangan bergizi), lingkungan social
(pemberian makanan bayi dan anak, kebersihan, pendidikan, dan tempat kerja),
lingkungan kesehatan (akses pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan
pemukiman (akses air bersih, air minum, dan sarana sanitasi) (TNP2K, 2018).

Hasil Utama Riskesdas 2018 Terkait Status Gizi Balita/Baduta Prevalensi


Balita stunting turun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30.8% pada tahun 2018.
Prevalensi Baduta stunting juga mengalami penurunan dari 32.8% pada tahun 2013
menjadi 29,9% pada tahun 2018. Prevalensi Balita Gizi Buruk/Gizi Kurang dan
Kurus/Sangat Kurus juga cenderung mengalami penurunan pada 2013-2018.
Namun demikian tantangan percepatan penurunan stunting masih cukup besar:
1. Proporsi Berat Badan Lahir Rendah (< 2500 gram /BBLR) mengalami
kenaikan tipis dari 5,7% pada tahun 2013 menjadi 6.2% pada tahun 2018
2. Panjang badan lahir kurang dari 48 cm mengalami kenaikan dari 20,2% pada
2013 menjadi 22,7% di 2018.
3. Proporsi Imunisasi Dasar Lengkap pada anak usia 12 – 23 bulan mengalami
penurunan dari 59,2% pada tahun 2013 menjadi 57,9% di 2018. Sedangkan
proporsi anak yang tidak imunisasi meningkat dari 8,7% pada tahun 2013
menjadi 9,2% pada tahun 2018.
Percepatan penurunan stunting ke depan antara lain dapat dilakukan dengan
mengatasi masalah berikut:
1. Ibu hamil dan Balita yang belum mendapatkan Program Makanan Tambahan
(PMT) masih cukup tinggi –masing-masing sekitar 74,8% dan 59%.
2. Proporsi anemia pada Ibu Hamil mengalami kenaikan dari 37.1% pada tahun
2013 menjadi 48.9% pada tahun 2018.
Data hasil Riskesdas pada tahun 2007, 2010, 2013 dan 2018 menunjukkan
bahwa prevalensi Stunting di Sulawesi Tengah pada tahun 2007 yaitu sebesar 40,3%,
pada tahun 2010 yaitu sebesar 36,1% pada tahun 2013 yaitu sebesar 41,0% dan
terakhir pada tahun 2018 yaitu sebesar 32,5%. Sementara Data hasil Riskesdas pada
tahun 2007, 2010, 2013 dan 2018 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di
Kabupaten Banggai pada tahun 2007 sebesar 41,7%, pada tahun 2013 sebesar 35,3%
sedangkan pada Tahun 2018 sebesar 31,9 % (Riskesdas,2007,2010,2013,2018) dalam
(Gani, 2020).
B. Factor Pendorong Keberhasilan Program Pencegahan Stunting Di Kabupaten
Banggai
5 (Lima) Pilar Utama Penanganan Stunting (100 Kabupaten/Kota Prioritas
untuk Intervensi Anak Kerdil (TNP2K, 2018)
Pilar 1:
Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara. Pada pilar ini,
dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk mengarahkan K/L
terkait Intervensi stunting baik di pusat maupun daerah. Selain itu, diperlukan
juga adanya penetapan strategi dan kebijakan, serta target nasional maupun
daerah (baik provinsi maupun kab/kota) dan memanfaatkan Sekretariat
Sustainable Development Goals/SDGs dan Sekretariat TNP2K sebagai
lembaga koordinasi dan pengendalian program program terkait Intervensi
stunting.
Pilar 2:
Kampanye Nasional berfokus pada Peningkatan Pemahaman,
Perubahan Perilaku, Komitmen Politik dan Akuntabilitas. Berdasarkan
pengalaman dan bukti internasional terkait program program yang dapat
secara efektif mengurangi pervalensi stunting, salah satu strategi utama yang
perlu segera dilaksanakan adalah melalui kampanye secara nasional baik
melalui media massa, maupun melalui komunikasi kepada keluarga serta
advokasi secara berkelanjutan.
Pilar 3:
Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional,
Daerah, dan Masyarakat. Pilar ini bertujuan untuk memperkuat konvergensi,
koordinasi, dan konsolidasi, serta memperluas cakupan program yang
dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Di samping itu,
dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan program yang ada (Puskesmas,
Posyandu, PAUD, BPSPAM, PKH dll) terutama dalam memberikan
dukungan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan balita pada 1.000 HPK serta
pemberian insentif 34 dari kinerja program Intervensi stunting di wilayah
sasaran yang berhasil menurunkan angka stunting di wilayahnya. Terakhir,
pilar ini juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk mengarahkan pengeluaran
tingkat daerah ke intervensi prioritas Intervensi stunting.
Pilar 4:
Mendorong Kebijakan “Food Nutritional Security”. Pilar ini berfokus
untuk (1) mendorong kebijakan yang mastikan akses pangan bergizi,
khususnya di daerah dengan kasus stunting tinggi, (2) melaksanakan rencana
fortifikasi bio-energi, makanan dan pupuk yang komprehensif, (3)
pengurangan kontaminasi pangan, (4) melaksanakan program pemberian
makanan tambahan, (5) mengupayakan investasi melalui Kemitraan dengan
dunia usaha, Dana Desa, dan lain-lain dalam infrastruktur pasar pangan baik
di tingkat urban maupun rural (TNP2K, 2018)
Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi.
Pilar 5 (lima) bertujuan untuk meningkatkan pemantauan dan evaluasi
sebagai dasar untuk memastikan pemberian layanan yang bermutu,
peningkatan akuntabilitas, dan percepatan pembelajaran. Sistem pemantauan
dan evaluasi berbasis hasil dapat membantu pemerintah untuk membangun
basis pengetahuan yang kuat dan mendorong perubahan cara
menyelenggarakan program, peningkatan kinerja, akuntabilitas, transparansi,
pengetahuan dan mempercepat pembelajaran. Selain itu Pemantauan akan
memanfaatkan sistem pengumpulan dan pelaporan data yang telah ada,
terrmasuk data BPS, data Kementerian/Lembaga, sistem anggaran nasional
dan daerah, system perencanaan dan pemantauan elektronik pemerintah,
seperti KRISNA, E-Monev, OM-SPAN, dan SMART.
Intervensi : Keterlibatan berbagai sector dalam upaya penanganan stunting
1. Intervensi spesifik
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan terpadu tepat sasaran seperti
Ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan adalah: Promosi dan edukasi
pemberian ASI lanjut disertai MP-ASI yang sesuai, penanggulangan infeksi
kecacingan pada ibu dan anak, pemberian suplementasi zink pada anak,
Fortifikasi zat besi ke dalam makanan / suplementasi zat gizi mikro seperti
zat besi, pencegahan dan penatalaksanaan klinis malaria pada ibu dan anak,
pemberian imunisasi lengkap pada anak, pencegahan dan pengobatan diare
pada anak, implementasi prinsip rumah sakit ramah anak, implementasi
prinsip manajemen terpadu balita sakit/MTBS, suplementasi vitamin A pada
anak usia 6-59 bulan, penatalaksanaan malnutrisi akut parah pada anak,
pemantauan tumbuh kembang anak.
Sasaran Ibu Hamil intervensinya berupa: Pemberian makanan
tambahan untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, pemberian
suplementasi zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium,
penanggulangan infeksi kecacingan, pencegahan dan penatalaksanaan klinis
malaria, pembatasan konsumsi kafein selama hamil, pemberian
konseling/edukasi gizi, pencegahan, deteksi, tatalaksana klinis dan dukungan
gizi bagi ibu dengan HIV, suplementasi kalsium bagi ibu hamil
2. Intervensi Sensitif
Intervensi Gizi Sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum
dengan intervensi antara lain: Penyediaan akses pada air bersih, 31
penyediaan akses pada sarana sanitasi dan kebersihan pribadi, fortifikasi
bahan pangan misalnya dengan Vitamin A,D dan yodium, penyediaan akses
kepada layanan, kesehatan dan keluarga berencana (KB), pemberian Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN), pendidikan pengasuhan anak pada orang tua,
program Pendidikan Anak Usia Dini Universal, program pendidikan gizi
masyarakat, edukasi kesehatan seksual, reproduksi, dan gizi pada remaja
Pemberian bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, peningkatan
ketahanan pangan dan gizi, manajemen gizi dalam bencana, divertifikasi
pangan, pencegahan dan tatalaksana klinis penyakit, pelayanan kesehatan
jiwa bagi ibu hamil, pemberdayaan perempuan, upaya perlindungan anak.
(Gani, 2020)
Regulasi atau Kebijakan pemerintahan yang mendukung program.
 Peraturan Presiden No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi (Gernas PPG)
 Pencegahan stunting tercakup dalam RPJMN 2015-2019.
3. Keterlibatan berbagai sector yang mendukung pelaksanaan program secara
berkesinambungan.
4. Lingkungan social serta dukungan masyarakat.
C. Kekurangan Atau Kelemahan Yang Masih Teridenstifikasi Dari Program
Stunting Di Kabupaten Banggai dan Bagaimana Cara Mengatasinya.
Kendala Penyelenggaraan Percepatan Pencegahan Stunting :
a. Belum efektifnya program-program pencegahan stunting.
b. Belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan
sensitif di semua tingkatan- terkait dengan perencanaan dan penganggaran,
penyelenggaraan, dan pemantauan dan evaluasi.
c. Belum efektif dan efisiennya pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya
dan sumber dana.
d. Keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan program.
e. Masih minimnya advokasi, kampanye, dan diseminasi terkait
stunting, dan berbagai upaya pencegahannya.
Cara Mengatasinya:
a. menunjukkan pentingnya kampanye nasional untuk mendorong kesadaran
publik tentang stunting.
b. Kampanye media massa dan advokasi publik.
c. Mempromosikan komunikasi perubahan perilaku di tingkat komuniti.
d. Optimalisasi peran dan mobilisasi sumberdaya swasta, donor, masyarakat
madani, individu dan kelompok masyarakat.
D. Bagaimana peranan UNHAS dalam program Stunting di Kabupaten Banggai?
FKM Unhas Lakukan Pendampingan Posyandu Prakonsepsi di Kab. Banggai.
Universitas Hasanuddin memeberikan dukungan penelitian ilmiah yang berbasis bukti
(Evidence Based) yang bekerja sama dengan daerah banggai untuk menanggulangi
masalah gizi dan Kesehatan. Jadi jika ingin menyelamatkan 1000 HPK, maka
pencegahan harus dilakukan sejak tahap pra-konsepsi, itu inovasi yang dilakukan
unhas melalui penyampaian Prof Razak Thaha selaku ketua tim pkM. Jadi itu murni
aksi positif dan inovatif peranan unhas dalam membantu pencegahan stunting di
banggai.
E. Kesimpulan dan rekomendasi

Stunting merupakan masalah yang urgen dan segera harus ditangani,


karena dampak buruk yang ditimbulkan sangat serius dan meluas.

Upaya penurunan stunting hanya efektif dan efesien apabila dilakukan secara
konvergen dimulai dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat masyarakat atau
keluarga.

Anda mungkin juga menyukai