Anda di halaman 1dari 16

BAB III

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN HAMKA

A. Biografi Hamka
Hamka merupakan nama singkatan dari H. Abdul Malik Karim Amrullah.
Nama ini adalah sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 dan
mendapat tambahan haji. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah Sirah,
dalam Nagari Sungai Batang, ditepi Danau Maninjau, Sumatra Barat, pada tahun 17
Februari 1908 ( 14 Muharram 1326 ).1 Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang
bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama
Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di
Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, sementara ibunya,
yakni Siti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah
dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama
pengikut Tarekat Naqsyabandiyah. Buya Hamka dikaruniai 10 anak dari
perkawinannya dengan Siti Safiyah. Tujuh laki-laki dan tiga perempuan:
1. H. Zaki Hamka (W. Usia 59 tahun)
2. H. Rusydi Hamka
3. H. Fachri Hamka (W. Usia 70 tahun)
4. Hj. Azizah Hamka
5. H. Irfan Hamka
6. Prof. Dr. Hj. Aliyah Hamka, MM
7. Hj. Fathiyah Hamka
8. Hilmi Hamka
9. H. Afif Hamka
10. Shadiq Hamka.2
Hamka mengawali pendidikan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya,
ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah dari Minanjau ke Padang Panjang pada
1
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2011), hlm. 156
2
Irfan Hamka, Ayah, (Jakarta: Republikan Penerbit, 2013), hlm. xii

1
tahun 1914 M. Dan setahun kemudian, setelah Hamka mencapai tujuh tahun, dia
dimasukan ke sekolah desa pada tahun 1916 sekolah Diniyah Putra dan pada tahun
1918 ia belajar di Thawalib School. (Thawalib School adalah pengembangan
pendidikan yang ada di Surau Jembatan Besi. Ini terjadi setelah Syekh Abdul Karim
Amrullah kembali dari perlawatannya ke tanah jawa. Pada langkah pertama
perubahan itu, Thawalib School masih dalam pengajian surau, buku-buku yang
dipakai masih buku-buku lama. Kebaruan hanya dilihat dari sudut pembagian kelas
ke dalam tujuh kelas).3 Pagi hari ke Sekolah Desa, sore belajar di Sekolah Diniyah,
dan pada malam harinya berada di surau bersama teman-teman sebayanya.
Pada tahun 1924, Hamka berangkat menuju tanah Jawa. Kunjungannya ke
tanah Jawa itu mampu memberikan “Semangat baru” baginya dalam mempelajari
Islam. Dalam pencarian ilmu ditanah jawa, Hamka memulai dari kota Yogyakarta
yang merupakan kota awal berdirinya organisasi keislaman Muhammadiyah. Lewat
Ja‟far Amrullah yang merupakan pamannya, Hamka dapat berkesempatan untuk
mengikuti kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Syarikat
Islam.4 Setelah perkawinannya dengan Siti Rahma , dia mengaktifkan diri sebagai
pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang. Dalam kongres Muhammadiyah
ke-19 yang berlangsung di Bukit Tinggi pada tahun 1930, Hamka menjadi
pemrasaran dengan membawa makalah yang berjudul “ Agama Islam dan Adat
Minangkabau”. Pada Mukhtamar Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun
1931, lagi-lagi Hamka muncul dengan makalah yang berjudul,” Muhammadiyah di
Sumatera”. Setahun kemudian Hamka diutus ke Makasar menjadi muballigh atas
kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1933, Hamka menghadiri
Mukhtamar Muhammadiyah di Semarang dan pada tahun 1934, Hamka di angkat
menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah.
Pada tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini Hamka bersama M.
Yunan Nasution menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Pada tahun 1942, Jepang
mendarat di kota Medan, dan kehadiran Jepang ini tidak sedikit membawa perubahan,

3
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, op.cit., hlm. 157
4
Ibid, hlm. 157

2
majalah Panji Masyarakat diberangus. Bendera Merah Putih tidak boleh dinaikkan
lagi. Segala bentuk persyariatan dan perkumpulan dilarang. Semua rakyat harus turut
serta dalam membantu cita-cita memenangkan Perang Asia Timur Raya. Hamka aktif
dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Dia mengikuti pendirian
Muhammadiyah sejak 1925. Pada tahun 1928 sampai dengan 1950, dia mulai
mengetahui dan memimpin kegiatan organisasi, konferensi, dan kongres
Muhammadiyah di berbagai tempat seperti di Padang Panjang, Makasar, Sumatra
Barat, dan Yogyakarta. Pada tahun 1953 beliau di pilih sebagai penasihat pimpinan
pusat Muhammadiyah dan ketua umum Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 26 juli
1977.5
Hamka memperoleh kedudukan istimewa dari pemerintah Jepang. Sebagai
tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, dia diangkat sebagai anggota Syu
Sangi Kai, Dewan Perwakilan Rakyat, pada tahun 1944.6 Hamka juga pernah
menjabat sebagai ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) 7. Dengan berani
beliau mengeluarkan sebuah fatwa yang sampai saat ini masih menjadi bahan
percakapan, diskusi keagamaan, dan bahkan mendatangkan kekaguman, “ haram
bagi umat Islam merayakan Natal bersama”. Fatwa tersebut yang kemudian
menyebabkan beliau mengundurkan diri karena tidak sejalan dengan keinginan
Pemerintah.8 Ketika revolusi fisik terjadi, Hamka ikut bergerak dengan menjadi
pimpinan Front Pertahanan Nasional di Sumatra Barat serta Koman dan Badan
Pengawal Negeri dan Kota se-Sumatra Barat.Setelah Belanda angkat kaki, Hamka
memboyong keluarganya pindah ke Jakarta. Karena penanya yang tajam,
keberaniannya mengeluarkan pikiran, aktivitasnya dalam berbagai organisasi social
politik, dia mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, Kairo.
Bakat tulis menulis nampaknya telah dibawanya sejak beliau kecil, yang diwarisinya
dari ayahnya, yang selain tokoh ulama, juga penulis, terutama dalam majalah al-

5
Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 19
6
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, op. cit., hlm. 159
7
MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Organisasi Kemasyarakatan yang mewadahi
ulama, zu‟ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7
Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta.
8
Irfan Hamka, Ayah, op. cit., hlm. viii

3
Munir. Pada saat beliau berusia 17 tahun sekitar tahun 1925, beliau telah menerbitkan
bukunya yang pertama, khatibul ummah yang berarti khatib dan umat.9 Perhatian
Hamka kepada sejarah Islam adalah amat besar, sehingga sejak masa dalam belajar di
Sumatera Thawalib (1918-1924) di Padang Panjang dan Parabek, buku-buku sejarah
berbahasa melayu yang di keluarkan oleh Balai Pustaka dan bahasa Arab sangat
menarik hati Hamka. Kemudian tertumpahlah perhatian saya kepada sejarah Islam di
tanah air sendiri. Setelah saya menjadi mubaligh, kemana saja saya melewat menjadi
kesukaan saya mengorek sejarah setempat. Hal tersebut sudah saya sebutkan dalam
pendahuluan “Sejarah Ummat Islam IV”, cetakan I (1961). 10
Hamka ditangkap dan semua buku-bukunyapun di larang beredar, ia banyak
berkunjung ke luar negeri seperti Saudi Arabia dan Belanda, Al-Jazair, Maroko,
Turki dan Inggris dalam rangka memperluas wawasannya seperti wartawan dan
penulis.11Serangan yang berlangsung berbulan-bulan dengan bahasa yang sangat
kasar dan tidak pantas itu, kemudian meningkat menjadi fitnah terhadap pribadi
Hamka”. Bahkan, lewat tangan karikaturisnya, Bintang Timur membuat karikatur
yang menggambarkan orang-orang seperti Hamka dan H.B. Jassinrontok, jatuh
kecomberan, dan kehilangan mahkotanya satu demi satu.12 Hamka ditangkap karena
beliau dituduh terlibat dalam sebuah komplotan yang berencana membunuh Presiden
Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Beliau ditahan selama 2 tahun 4
bulan lamanya, beliau tidak pernah di adili dan tuduhan itu ternyata palsu. 13 Indikasi
lainnya, Hamka bergelar Datuk Indomo, gelar tersebut merupakan gelar pusaka yang
berasal dari Lawang,Agam, Sumatera Barat. Di Lawang gelar tersebut ada dalam
pasukan kami, Tanjung.14Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Namun, jasa dan
pengaruhnya masih terasa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam.15, Hamka

9
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan,(Bandung: Pustaka
Angkasa, 2003), hlm. 348
10
Hamka, Sejarah Umat Islam,(Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, 1981), hlm. 5
11
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, op. cit., hlm. 385
12
Nilandari, Ary, Memahat Kata, Memugar Dunia : 101 Kisah yang Menggugah Pikiran, op.
cit., hlm. 98-99
13
Irfan Hamka, Ayah, Op. Cit., hlm.xxiv
14
Ibid, hlm. 52.
15
Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, op. cit., hlm. 18

4
telah dikelilingi oleh istrinya Khadijah, 16beberapa teman dekat dan puteranya Afif
Amrullah, Hamka meninggal dunia pada usia 73 tahun.17 Beliau dikebumikan di TPU
Tanah Kusir dengan meninggalkan 10 orang anak-7 laki-laki dan 3 perempuan. dari
kesepuluh anak tersebut, saat ini jumlah cucu Hamka ada 31 orang dan cicit sebanyak
44 orang.18
B. Karya-karya Hamka
Hamka telah banyak menulis karya-karya dalam bentuk fiksi, sejarah, dan
biografi, doktrin Islam, etika, tasawuf, politik, adat Minangkabau dan tafsir. Yang
sudah dibukukan tercatat kurang lebih 118 buah, belum termasuk karangan-karangan
panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media masa dan disampaikan dalam
beberapa kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Dengan kemahiran bahasa Arabnya
yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur
Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zidan, Abbas al-Aqqad, Muastafa al-Manfaluti
dan Hussain Haikal. Beliau juga rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-
tokoh terkenal di Jakarta seperti H.O.S. Tjokrominoto, Raden Mas Surjopranoto, H.
Fachruddin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagas Hadikusuma sambil mengasah bakatnya
sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. 19
Berikut daftar karya Buya Hamka
1. Tafsir Al-Azhar (30 Juz)
2. Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
3. Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya),
Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
4. Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
5. Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
6. Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
7. Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.

16
istri ke-2 Hamka setelah meninggalnya siti Rahma. Siti Khadijah berasal dari Cirebon Jawa
Barat
17
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, op. cit., hlm. 161
18
Irfan Hamka, Ayah, op. cit., hlm. 291.
19
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, op. cit., hlm. 161

5
8. Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
9. Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
10. Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
11. Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
12. Majalah Semangat Islam, 1943.
13. Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
14. Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
15. Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
16. Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
17. Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
18. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak
diketahui),
19. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid,
1946.
20. Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
21. Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
22. Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
23. Pribadi, 1950 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
24. Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
25. Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
26. Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
27. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
28. K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
29. Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka
Islam, 1957.
30. Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1959.
31. Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
32. Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang
di Singapura oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun
1995 dan 1999).

6
33. 1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
34. Cemburu, Jakarta: Firma Tekad, 1962.
35. Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
36. Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
37. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965
(awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada orasi ilmiah
sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar
Mesir, pada 21 Januari 1958).
38. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
39. Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
40. Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
41. Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1968.
42. Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, Padang: Minang
Permai, 1969.
43. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1970.
44. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam
Indonesia, 1971.
45. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
46. Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
47. Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
48. Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
49. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
50. Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
51. Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
52. Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1976.

7
53. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1980.
54. Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
55. Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
56. Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
57. Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
58. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta:
Yayasan Idayu, 1983.
59. Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
60. Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
61. Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
62. Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
63. Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
64. Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
65. Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990.
66. Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
67. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
68. Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
69. Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
70. Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
71. Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
72. Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
73. Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun
1939).
74. Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
75. Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
76. Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
77. Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.

8
78. Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
79. Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
80. Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
81. Terusir, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
82. Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka,
1958.
83. Di Bawah Lindungan Ka'bah, cet. 7, Jakarta: Balai Pustaka, 1957.
84. Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
85. Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
86. Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
87. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, cet. 13, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
88. Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka
Nasional, 1929.
89. Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
90. Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
91. Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
92. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
93. Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
94. Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul
Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
95. Margaretta Gauthier (terjemahan karya Alexandre Dumas), cet. 7, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
Hamka juga memimpin majalah-majalah Islami di antaranya Majalah Pedoman
Masyarakat, pada tahun 1936-1942, Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1965, dan
juga memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953.20

C. Mengenal Tafsir al-Azhar


Tafsir al-Azhar adalah sebuah tafsir yang pada mulanya merupakan materi yang
di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang disampaikan oleh Hamka di masjid

20
Ibid, hlm. 166

9
Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak tahun 1959. Hamka pernah ditangkap oleh
penguasa Orde lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar.
Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu dengan percuma, Hamka isi dengan
membuat karya lanjutan dari tafsir al-Azhar. Karya lanjutan dari tafsir al-Azhar.
Karena kesehatan beliau harus dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan
Rawamangun, Jakarta. Dalam suasana perawatan, Hamka melanjutkan kembali
penulisan dari tafsir al-Azhar. Tak lama setelah itu Orde Lamapun tumbang
digantikan dengan Orde Baru, dan pada akhirnya di bawah pimpinan Suharto Hamka
dibebaskan. Dalam suasana bebas, Hamka kembali mengedit ulang tafsir al-Azhar.21

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Azhar


Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-Azhar,
diantaranya: Pertama, adanya semangat para pemuda di Indonesia dan di daerah-
daerah yang berbahasa Melayu yang sangat ingin mengetahui isi al-Qur‟an, padahal
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa Arab. 22 Semangat
mereka terhadap agama telah tumbuh, akan tetapi “Rumah telah kelihatan, bahwa
jalan ke sana tidak tahu”, untuk mereka inilah khusus pertama tafsir ini disusun.
Kedua, golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli dakwah. Mereka
ini, para muballigh, menghadapi bangsa yang sudah mulai cerdas dengan habisnya
buta huruf, keterangan-keterangan yang didasarkan pada agama, padahal tidak masuk
akal, sudah berani membantahnya. Padahal kalau mereka itu diberi keterangan al-
Qur‟an secara langsung dapatlah mereka lepas dari dahaga jiwa. Maka tafsir ini
merupakan suatu alat untuk menolong mereka ketika menyampaikan dakwah.23

2. Tempat Saat Menulis Tafsir al-Azhar


Sebelum Hamka memulai penulisan Tafsir al-Azhar, Hamka memulai dari
ceramah-ceramah yang disampaikan setelah shalat subuh yang dimulai sejak tahun

21
http://alqalam.fmipa.unp.ac.id/mengenal-tafsir-al-azhar-buya-hamka/. Diunduh
04September 2014
22
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, op. cit., hlm. 166
23
Tafsir al-Azhar, jilid 1, hlm. 4

10
1959 di Masjid al-Azhar yang membahas tafsir al-Qur‟an, dimuat secara teratur
dalam majalah Gema Islam sampai januari 1964. Demikianlah tanpa diduga
sebelumnya pada hari senin 12 Ramadhan 1383 H bertepatan dengan 27 januari 1964
M, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan ibu-ibu yang jumlahnya
kurang lebih 100 orang di Masjid al-Azhar, beliau ditangkap oleh penguasa Orde
Lama lalu dimasukan ke dalam tahanan. Sebagai tahanan politik, Hamka ditempatkan
dibeberapa tempat antara lain Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob
Megamendung, dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di waktu ditahan Hamka
mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis tafsir al-Azhar.24 Disebabkan
kesehatannya sempat menurun, Hamka pernah dipindahkan ke Rumah Sakit
Persahabatan, Rawamangun Jakarta. Selama perawatan, Hamka meneruskan
penulisan tafsirnya. Setelah jatuhnya Orde Lama dan kemudian muncul Orde Baru,
Hamka dibebaskan dari tuduhan. Pada tanggal 21 Januari 1966 Hamka kembali
menemukan kebebasannya setelah mendekam dalam penjara selama kurang lebih dua
tahun. Kesempatan inipun dipergunakan Hamka untuk memperbaiki serta
menyempurnakan Tafsir al-Azhar yang sudah pernah dia tulis di beberapa rumah
tahanan sebelumnya.25

3. Mengapa Dinamai Tafsir Al-Azhar

Kedatangan Hamka ke Mesir di waktu itu bertepatan pula dengan melawatnya


Presiden Sukarno ke sana, lantaran itu maka Duta Besar Mesir di Indonesia di waktu
itu, yaitu Sayyid Ali Fahmi Al-Amrousi sedang berada di Mesir juga. Dia mengetahui
benar bagaimana kedudukan saya dalam masyarakat Islam di Indonesia dan bahwa
saya adalah salah seorang anggota pimpinan Muhammadiyah dan Muhammadiyah
adalah gerakan Islam di Indonesia yang menempuh faham yang dipelopori oleh
Ustadzul Imam Syaikh Muhammad Abduh. Usul beliau-beliau itu saya terima, dan
judul yang dipilih buat diceramahkan ialah Pengaruh Faham Muhammad Abduh di
Indonesia dan Malaysia.

24
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, op. cit., hlm. 166
25
Ibid, hlm 167

11
Banyak Ulama dan sarjana yang datang menghadiri Muhadharah tersebut,
yang persediaannya sangat sederhana, karena tidak disengaja buat menjadi suatu
kuliah-umum sembutan atas suatu gelar kehormatan ilmiah. Tetapi setelah ceramah
itu berlangsung kira-kira 90 menit, sangatlah besar kesan yang ditinggalkannya dalam
hati para sarjana itu, terutama Prof. Dr. Osman Amin yang telah menulis beberapa
buku ilmu pengetahuan berkenaan dengan ajaran-ajaran Ustadzul Imam Syaikh
Muhammad Abduh, dan kekaguman betapa orang luar Mesir dapat mengenal ajaran
Muhammad Abduh, yang di Mesir sendiri hanya terbatas sekali yang mengenalnya. 26
Beberapa hari setelah mengadakan muhadharah itu, Hamkapun melanjutkan
perjalanan ke Saudi Arabia, memenuhi undangan Raja Saud. Saya terus ke Makkah,
Jeddah dan ziarah ke makam Rasulullah di Madinah sebagai tamu negara. Beberapa
hari di sana, datanglah kawat dari Riyadh, menyatakan bahwa Raja Saud berkenan
menerima saya di istana baginda di Riyadh sebagai tetamu baginda. Sedang saya
sebagai tetamu baginda itu, tiba-tiba datanglah kawat dari Mesir, dikirm dengan
perantaraan istana baginda, oleh Duta Besar Mesir di Indonesia, Sayyid Ali Fahmi al-
Amrousi menyatakan bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan
hendak memberi gelar ilmiah tertinggi dari Al-Azhar, yaitu Ustadziyah Fakhriyah,
yang sama artinya dengan Doctor Honoris Causa.
Dan bulan puasapun telah datang. Tetapi meskipun telah selesai belum juga
dibuka dengan resmi Ketua Panitia Pembangunan Mesjid Agung tersebut
Syamsurrijal (sekarang almarhum), bekas Wali Kota Jakarta Raya, menerangkan
bahwa akan diminta terlebih dahulu kesediaan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno
menggunting pita pembukaan. Setelah itu barulah mesjid boleh di- sembahyangi.
Tetapi saya mendesak, agar supaya sebelum dibuka dengan resmi, sambil menunggu
saat berkenannya Paduka Yang Mulia Presiden menggunting pita seyogianyalah
mesjid itu disembahyangi, supaya Tarawih bulan puasa diramaikan supaya shalat
jamaah lima waktu dimulai dan demikian juga Jum”at walaupun secara berkecil-
kecil. Tidak boleh terlalu lama mesjid itu kosong, sebab semangat mesjid ialah bila

26
http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir-2/mengapa-dinamai-tafsir-al-azhar/. Diunduh
04/09/2014

12
dia disembahyangi. Dari jamaah yang mulanya hanya 5 atau 6 orang, berangsurlah
dia ramai.27 Dan hanya beberapa bulan saja setelah dimulai, di tiap-tiap sehabis
selesai sembahyang subuh saya mulailah mentafsirkan al-Qur‟an beberapa ayat.
Setelah habis mentafsirkan itu di dalam masa kira-kira 45 minit setiap pagi, jamaah
pun pergilah ke tempat pekerjaan masing-masing. Dan Duta Besar telah
menyerahkan kepada saya di dalam satu upacara yang khidmat di Kedutaan Besar
R.P.A. ljazah yang amat penting di dalam sejarah hidup saya itu telah saya terima
dengan penuh keharuan. Saya kirimlah kepada beliau sepucuk surat terimakasih yang
sebesar- besarnya atas anugerah dan penghargaan itu. Apatah lagi dengan jelas
terpampang di dalamnya bahwa “ijazah” yang diberikan kepada saya itu ialah
“Raqam I”, yaitu sayalah orang yang mula-mula sekali beroleh gelar kehormatan itu
sejak Al-Azhar menciptakan peraturan itu. Tiba tiba datang pulalah sepucuk surat
dari Syaikh Mahmoud Syaltout, surat yang berbunyi sangat mengharukan hati saya.
Bismillahir-Rahmanir-Rahim
“Samahat as-Sayid Al-Hajj Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. Salamullahi
alaikum warahmatuhu wabarakatuhu, waba”du. Telah saya terima surat tuan
yang mulia, yang menyatakan bahwa tuan telah menerima dengan resmi dari
Duta Besar Republik Persatuan Arab di Indonesia gelar kehormatan Ustadziyah
Fakhriyah yang telah dikurniakan oleh Al-Azhar kepada tuan. Surat tuan itu
membayangkan betapa suci dan mulianya penghargaan tuan atas anugerah
kehormatan yang diberikannya itu. Sesungguhnya tatkala Al-Azhar memutuskan
hendak memberikan pengargaan itu, ialah karena dia telah mengetahui betapa
perjuangan tuan selama ini di dalam usaha menegakkan kesatuan kaum Muslimin
di Asia Timur, dan bagaimana pula tuan telah memancangkan tonggak-tonggak
untuk kekokohan Islam. Maka Al-Azhar sangatlah merasa berbahagia karena
telah meletakkan kepercayaannya itu ke atas diri tuan dan dianggapnyalah tuan
sebagai puteranya yang setia kepadanya dan kepada pokok-pokok pendirian
lslam, yang Al-Azhar telah berjuang selama ini untuk mengibarkan benderanya.
Moga-moga Allah memberikan taufiq kepada kami dan kepada tuan di dalam
bekerja bagi kemuliaan lslam dan kaum Muslimin.
Wassalamu “alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu.
Mahmoud Syaltout
(tanda tangan)
Syaikh Jami‟ Al-Azhar.
Rabiul Akhir, tahun 1380 Hijriyah 9 Oktober 1960
Sekian salinan surat beliau.

27
Irfan Hamka, Ayah, op. cit., hlm. 245.

13
Saya pun menjadi guru besar dari Pusroh (Pusat Pendidikan Rohani lslam
Angkatan Darat). Kalau begini halnya, niscaya “TafsirAl-Azhar” tidak akan selesai
dalam masa 20 tahun. Padahal umur bertambah tua juga. Ada beberapa teman
sejawat mendesak, selesaikanlah segera “Tafsir” itu. Saya tidak ucapkan kepada
mereka apa yang terasa dalam hati. Sebab jika hitung-hitung dari segi umur pada
waktu itu, yaitu akhir tahun1963, mungkin “Tafsir” ini tidak akan selesai sampai saya
meninggal.28
D. Karakteristik Penafsiran al-Azhar
1. Sumber dan Metode Penafsiran
Dalam sumber penafsiran ada dua sumber yang digunakan, yaitu bi al-ma’tsur
(Bi al-Ma‟tsur: Tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shahih secara
tertib yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain:
menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, atau dengan as-Sunah karena Sunah
merupakan penjelas kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat yang diterima dari para
sahabat sebab mereka mengetahui tentang kitabullah, atau dengan riwayat-riwayat
dari tabi‟in besar sebab mereka telah menerimanya dari para sahabat),29dan bi al-ra’yi
(Bi al-Ra‟yi: Tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya mufasir, hanya
berpegang pada pemahama sendiri dan menyimpulkan (istinbat) yang didasarkan
pada ra‟yu semata).30
Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar sendiri menggunakan sumber bi al-ra’yi
karena dalam hal menafsirkan, beliau mengemukakan pendapat-pendapat beliau
tentang tafsir ayat-ayat tersebut. Jika dilihat dari urutan suratnya beliau menggunakan
tartib mushafi, kemudian metodenya menggunakan metode Tahlili (Tahlili:
Penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an dari sekian banyak seginya
yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutan di
dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelas sebab nuzul, munasabah serta

28
http://buyahamka.org/bagian-sebelum-tafsir-2/mengapa-dinamai-tafsir-al-azhar/. Diunduh
04/09/2014
29
Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 483
30
. Ibid, hlm. 488

14
kandungan ayat-ayat itu sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir itu). 31
Ketika membahas ayat pertama surat al-Baqarah, yang berupa huruf-huruf yakni Alif
Lām Mîm, misalnya, ia katakan bahwa dalam al-Qur‟ān kita akan menemukan
beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf seperti: Kāf Hâ Yā ‘Aîn Shād, Alif
Lām Mîm Rā, Thâ Hādan semacamnya. Pandangan para mufasir tentang huruf-huruf
pembuka surat (fawâtih al-suwar) seperti itu, kata Hamka, terbagi kepada dua
golongan. Pertama, mereka yang memberikan arti sendiri bagi huruf-huruf tersebut.
Yang banyak memberikan arti bagi huruf-huruf itu adalah sahabat-mufasir yang
terkenal yakni „Abdullah bin „Abbas. Alif Lam Mim, menurut Ibnu „Abbas,
merupakan isyarat bagi tiga nama; Alif untuk nama Allah; Lam untuk nama Jibril, dan
Mim untuk nama Nabi Muhammad Saw. Demikian halnya huruf-huruf pembuka surat
lainnya, menurut Ibnu „Abbas ada maknanya sendiri. Kedua, pendapat yang
mengatakan bahwa huruf-huruf di pangkal surat itu adalah rahasia Allah, termasuk
ayat mutasyabihat yang kita baca dan percayai saja. Tuhanlah yang lebih tahu akan
artinya.32
2. Literatur Tafsir al-Azhar
Adapun literatur tafsir al-Azhar karya Hamka, adalah:
1. Tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha yang berdasarkan pada ajaran tafsir
gurunya Muhammad Abduh
2. Tafsir al-Maraghi karya Mustafa al-Maraghi
3. Tafsir al-Qasimi
4. Tafsir Fi Ẕ ilalil al-Qur’an karya Sayyid Qutuh
5. Tafsir al-Thabari karya Ibnu Jarir al-Thabari
6. Tafsir al-Razi karya Fakhruddin al-Razi
7. Sunan Abu Dawud
8. Sunan at-Tirmdzi
9. Muwaththa’ karya Imam Malik
10. Tafsir an-Nur karya M. Hasbi as-Shiddiqie

31
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an ( Jakarta: Lentera hati, 2004), hlm. 117
32
Tafsir al-Azhar, jilid I, hlm. 121

15
11. Tafsir DEPAG.33
3. Langkah Penafsiran
Langkah penafsiran dalam tafsir ini adalah pertama-tama mengemukakan
muqadimah dan pendahuluan pada setiap awal juz, yang isinya bisa dikatakan
merupakan resensi juz yang akan dibahas. Disamping itu juga, Hamka terkadang
mencari munasabah (kolerasi) antara juz yang sebelumnya dengan juz yang akan
dibahas.34 Selanjutnya, Hamka juga menyajikan beberapa ayat diawal pembahasan
secara tematik. Dia membentuk sekelompok ayat yang dianggap memiliki kesesuaian
tema untuk memudahkan penafsiran sekaligus memahami kandungannya. Sepertinya
hal ini memang sesuai dengan tujuan Hamka menyusun Tafsir al-Azharyang
ditujukan bagi masyarakat Indonesia agar lebih dekat dengan al-Qur‟an. Hamka
dengan terlebih dahulu menerjemahkan ayat tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar
lebih mudah dipahami. Dalam tafsir ini, Hamka juga menjauhkan diri dari berlarut-
larut dalam uraian mengenai pengertian kata, selain hal itu dianggap tidak terlalu
cocok untuk masyarakat Indonesia yang memang banyak yang tidak memahami
bahasa Arab, Hamka menilai pengertian tersebut telah tercakup dalam terjemahannya.
Walaupun demikian bukaan berarti Hamka sama sekali tidak pernah menjelaskan
pengertian sebuah kata dalam al-Qur‟an. Sesekali penafsiran atas sebuah kata akan
disajikan dalam tafsirnya.
Setelah menerjemahkan ayat, Hamka memulai penafsirannya terhadap ayat
tersebut dengan luas dan terkadang dikaitkan dengan kejadian pada zaman sekarang,
sehingga pembaca dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman sepanjang masa.35

33
Mafri Amri dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 170
34
Ibid, hlm. 171
35
Ibid, hlm. 171

16

Anda mungkin juga menyukai