Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Difteri adalah penyakit yang menjadi fenomena negatif. Sebuah


penyakit toksik akut dan sangat menular yang disebabkan
oleh corynebacterium diphteriae. Tanda yang umumnya ditemukan adalah
sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat menelan, pembengkakan
kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan terbentuknya sebuah
membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel, sulit bernapas
atau napas cepat, demam, dan menggigil.

Pada tahun 2011, dunia kesehatan dan masyarakat Indonesia


dikejutkan oleh adanya penyebaran penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur
(Jatim). Sebanyak 11 anak meninggal dunia dari 333 kasus difteri. Karena
itu, pemerintah Provinsi Jatim menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa)
penyakit difteri. Penetapan status KLB dilakukan mengingat kasus ini telah
tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota se-Jawa Timur. Begitupun pada
tahun 2012 dan tahun 2013, kasus difteri ini juga telah memakan banyak
korban utamanya pada anak-anak.

Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah secepatnya


dilakukan tindakan penanggulangan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada semua kasus difteri. Penting diperhatikan bahwa pencegahan
lebih baik dari pada mengobati, jadi kita harus selalu waspada dengan
kemungkinan terjadinya penularan.

Dalam hal ini, perawat berperan penting dalam memberikan


pengetahuan akan bahaya kasus difteri agar orang yang sehat dapat waspada
akan penularan difteri, dan pasien yang telah terjangkit difteri dapat segera

1
dirawat seperti dengan memberikan antitoksin, antibiotik atau dapat juga
dengan imunisasi serta harus mengisolasi di unit perawatan intensif karena
difteri dapat menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak
mendapatkan imunisasi penyakit ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan difteri ?
2. Bagaimana etiologi difteri ?
3. Bagaimana epidemiologi (penularan) difteri ?
4. Bagaimana patofisiologi difteri ?
5. Bagaimana manifestasi klinis difteri ?
6. Bagaimana penanganan pada klien dengan difteri ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan difteri ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi difteri
2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri
3. Mengetahui dan memahami epidemiologi (penularan) difteri
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri
5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri
6. Mengetahui dan memahami penanganan pada klien dengan difteri
7. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan difteri
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus
difteri.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Difteri

Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphteriae. Difteri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar
prinsip-prinsip mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. Penurunan penyebab
utama kematian anak di Barat pada awal abad ke-20 sampai menjadi kasis medic
yang jarang, tanda mata modern kerapuhan keberhasilan tersebut menekankan
perlunya pemakaian secara sungguh-sungguh prinsip-prinsip pemberantasan yang
sama pada zaman ketergantungan vaksin dan satu masyarakat global. Penyakit ini
dominan menyerang anak anak, biasanya bagian tubuh yang diserang adalah
tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran pernafasan bagian atas.
Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang
saluran pernafasan ini.

2.2 Etiologi Difteri

Spesies Corynebacterium adalah basil aerob, tidak berkapsul, tidak


membentuk spora, kebanyakan tidak bergerak, pleomorfik, gram-negatif. Tidak
bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasi dipermudah dengan media
tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organism
yang menyaingi, dan bila direduksi oleh pertumbuhan C.diphteriae membuat
koloni abu-abu hitam. Tiga biotip (yaitu mitis, gravis, dan intermedius), masing-
masing mempu menyebabkan difteri, dibedakan oleh morfologi koloni, hemolisis
dan reaksi fermentasinya. Bakteriofag lisogenik membawa gennya yang mengode
untuk produksi endotoksin yang memberikan kemungkinan penghasil-difteria
terhadap strain C.diphteriae, tetapi bakteriofag ini memberi protein esensial pada
bakteri. Pengamatan wabah difteri di Inggris dan Amerika Serikat dengan

3
menggunakan teknik molekuler memberi kesan bahwa C.diphteriae nontoksik asli
yang diberi bertoksin, menimbulkan penyakit setelah pemasukkan C.diphteriae
bertoksin tersebut. Toksiin difteri dapat diperagakan in vitro dengan teknik
imunopresipitin agar (uji Elek), suatu uji rekasi rantai polymerase pengamata,
atau dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmot (uji kematian). Strain
toksik tidak dapat dibedakan dengan uji tipe koloni, mikroskopi atau biokimia.
Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan
suhu 60oc selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es,
air, susu dan lender yang telah mengering.

2.3 Epidemiologi (Penularan)

Tidak seperti difteroid lain (bacteria korineform), yang berada dimana-


mana dalam alam, C.diphtiriae adalah penghuni tersendiri membrane mukosa dan
kulit manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes pernapasan
atau kontak langsung dengan sekeresi pernapasan individu bergejala atau eksudat
dari lesi kulit yang terinfeksi. Pengidap (carrier) pernapasan tidak bergejala
penting dalam penularan. Dimana difteri endemic, 3-5% individu sehat dapat
mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap sangat jarang jika difteri
jarang. Infeksi kulit dan pengidap kulit merupakan reservoir difteria diam-diam.
Ketahanan hidup dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan kurang
berarti secara epidemiologis. Penularan melalui susu yang terkontaminasi dan
pengurus makanan yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai.

Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung.
Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa
serta kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh
orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang
penderita kepada orang orang disekitarnya.

4
2.4 Pathofisiologi

Organisme C.diphteriae tidak bertoksin dan bertoksin menyebabkan


infeksi kulit dan mukosa dan beberapa kasus infeksi jauh sesudah bakteremia.
Organisme ini biasanya tetap pada lapisan superficial lesi kulit atau mukosa
pernapasan, menginduksi reaksi radang lokal. Virulensi utama organisme terletak
pada kemampuannya menghasilkan eksotoksin polipeptida 62-KD kuat, yang
menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Dalam
beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, koagulum organisme nekrotik
tebal, sel epitel, fibrin, leukosit, dan bentuk eritrosit berlanjut dan menjadi
pseudomembran melekat abu-abu coklat. Pengambilan sukar dan menampakkan
perdarahan edema submukosa. Paralisis palatum dan hipofaring merupakan
pengaruh toksin lokal awal. Penyerapan toksin dapat menyebabkan nekrosis
tubulus ginjal, trombositopenia, miokardiopati, dan demielinasi saraf. Karena dua
komplikasi terakhir dapat terjadi 2-10 minggu sesudah infeksi mukokutan,
mekanisme patofisiologi pada beberapa kasus mungkin diperantarai secara
imunologik.

2.5 Manifestasi Klinis

Sesudah sekitar masa inkubasi 2 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala


radang lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39℃ . Infeksi nares anterior (lebih
sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulensi serosanguinis dengan
pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares keluar dan bibir sebelah dalam
adalah khas. Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal
yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit
yang menderita disfagia, serak, dan nyeri kepala. Injeksi faring ringan disertai
dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas
secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior,
hipofaring dan daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran
limfonodi dapat menyebabkan gambaran “bull neck”. Tingakt perluasan lokal

5
berelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan
kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.

Membrane pelekat seperti kulit, meluas ke belakang daerah tenggorok,


relative tidak panas, dan disfagia membrane membedakan difteri dari faringitis
eksudat karena Streptococcus pyogenes dan virus Epstein-Barr. Angina Vincent,
flebitis infektif dan trombisis vena jugularis, dan mukositis pada penderita yang
mengalami kemoterapi kanker biasanya dibedakan oleh keadaan klinis. Infeks
laring, trakea, dan bronkus dapat merupakan perluasan primer atau sekunder dari
infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk radang tenggorokan (croup),
merupakan kunci. Perbedaan dari epiglottis bakteri laringotrakeitis virus berat,
dan trakeitis stafilokokus sebagian berhubungan relative kecil dengan tanda-tanda
dan gejala-gejala pada penderita dengan difteri dan terutama pada visualisasi
perlekatan pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.

Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema


jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan
nekrotik. Pembutan saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran
menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi obstruktif lebih lanjut dan
komplikasi toksik tidak dapat dihindarkan.

2.6 Penanganan

2.6.1 Pencegahan Difteri

Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk


memberikan kadar antitoksin protektif konstan dan untuk mengurangi
penghuni C. diphtheria merupakan satu satunya cara pengendalian yang
efektif. Walaupun imunisasi tidak menghalangi pengidap C. diphtheria
toksigenik saluran pernafasan atau kulit, imunisasi mengurangi
penyebaran jaringan local, mencengah komplikasi toksik,
menghilangkan penularan organisme, dan memberikan imunitas

6
kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi.
Kadar antitoksin serum 0,01 IU/mL biasanya diterima sebagai kadar
protektif minimum dan 0,1 IU/mL member kadar perlindungan tertentu.

2.6.2 Persiapan Pengobatan

Toksoid defteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid


toksin, kekuatannya dibekukan, dan diserap pada garam aluminium,
yang memperbesar imunogenisitas. Dua preparat toksoid defteri
dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu
pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric ( yaitu DTP,DT,DTaP)
mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri perdosis 0,5 mL; preparat
dewasa yaitu Td mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5
mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D)
digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun
karena imunogenisitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal.
Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk
seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih
rendah cukup imunogenik dan karena semakin tinggi kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenisitas pada umur yang semakin tinggi.

2.6.3 Perencanaan Pengobatan

Untuk anak umur 6 minggu sampai hari ulang tahunnya yang


ketujuh, beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri D. seri pertama
adalah dosis pada sekitar umur 2,4 dan 6 bulan. Dosis keempat adalah
bagian integral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah
dosis ketiga. Dosis booster diberikan pada umur 4-6 tahun ( kecuali pada
dosis primer keempat diberikan sesudah hari ulang tahunnya yang ke
empat). Untuk anak anak yang berumur 7 tahun atau lebi, gunakan tiga
dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin D. seri primer meliputi dua
doses yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah

7
dosis kedua. Satu satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid dan
defteri adalah riwayat reaksi hipersensitivasi neurologis berat sesudah
dosis sebelumnya. Untuk anak yang imunisasi pertusinya
terkontraindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan
DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis
vaksin yang mengandung difteri D 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk
mereka yang mulai pada sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga
dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri. Dengan booster yang diberikan
pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah hari
ulang tahun keempat.

Pengurangan lebih lanjut dalam jumlah kasus difteri dinegara


industry akan memerluka imunisasi booster universal seumur hidup.
Dosis booster 0,5 mL Td harus diberikan setiap 10 tahun sesudah dosis
terakhir (secara tepat diberikan pada kebanyakan umur 15 tahun).
Vaksinasi dengan toksoid difteri harus digunakan kapan pun tetanus
toksoid terindikasi untuk menyakinkan imunitas arteri berkelanjutan.

2.6.4 Terapi Antimikroba

Terapi antimikroba terindikasi untuk menghentikan produksi


toksin, mengobati infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan
organisme pada kontak. C. diphtheriae rentan terhadap barbagai in vitro,
termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampin dan tetrasiklin.
Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Terapi yang tepat
adalah eritromisin yang diberikan secara oral atau parental, penisilin G
Kristal aqua diberikan secara intramuskuler atau intravena atau penisilin
prokain diberikan secara intramuskuler. Terapi antibiotik bukan
pengganti terapi antitoksin. Terapi diberikan selama 14 hari atau 7-10
hari untuk penderita difteri kulit.

8
2.7 Asuhan Keperawatan

2.7.1 PENGKAJIAN

a. IDENTITAS

b. RIWAYAT KESEHATAN

- Riwayat Kesehatan Sekarang

Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari difteri

- Riwayat Kesehatan Dahulu

Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala
difteri yang masih akut

- Riwayat Kesehatan Keluarga

Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri

c. PEMERIKSAAN FISIK

Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala sampai
kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada
nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur
patofisiolog

Pemeriksaan fisik ROS

Ø B1 : Breathing (Respiratory System)

RR tak efektif (Sesak nafas), edema laring, obstruksi laring,


penumpukan sekret dihidung,

Ø B2 :Blood (Cardiovascular system)

Tachicardi, kelemahan otot jantung, sianosis.

Ø B3 :Brain (Nervous system)

Normal

Ø B4 :Bladder (Genitourinary system)

Normal

9
Ø B5 : Bowel (Gastrointestinal System)

Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

Ø B6 :Bone (Bone-Muscle-Integument)

Lemah pada lengan, turgor kulit

d. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam
kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di
dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak
mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang
mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkan
adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi
secara aktif.

e. POLA AKTIVITAS

1. Pola nutrisi dan metabolic : Disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu
makan berkurang (anoreksia) muntah dsb

2. Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri


dengan mencatat frekuensi sehari

3. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan
malas, lemah dan lesu

4.Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak
mau tidur

5. Kognitif & perseptual : Anak akan susah berkonsentrasi

6.Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep


dirinya akan masih dalam tahap perkembangan dan
anak akan tampak cemas karena penyakit yang diderita
atau kerna perspisahan

7.Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisasi

2.7.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sesak nafas

10
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang kurang).

4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit


(metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

2.7.3 INTERVENSI

1. Pola napas tidak efektif b.d. sesak nafas

Tujuan:

Pola pernafasan menjadi efektif setelah dilaksanakan tindakan perawatan dalam 1 x


30 menit

Kriteria hasil:

1. Respirasi 18 –24 x /menit

2. Tidak ada tanda –tanda sianosis

3. Pasien mengatakan sesak nafas berkurang / hilang

Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi kedalaman Kedalaman pernapasan bervariasi


pernapasan dan ekspansi dada tergantung derajat kegagalan napas

2. Auskultasi bunyi napas dan catat Bunyi napas menurun bila jalan napas
adanya bunyi napas tambahan terdapat gangguan
(obstruksi,perdarahan,kolaps)

3. Tinggikan kepala dan bantu Duduk tinggi memungkinkan ekspansi


mengubah posisi paru dan memudahkan pernapasan

4. Bantu pasien dalam napas dalam Dapat meningkatkan pernapasan karena


dan latihan batuk adanya obstruksi

5. Kolaborasi Memaksimalkan bernapas dan menurunkan


Berikan oksigen tambahan kerja napas

11
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas

Tujuan :

- Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang


normal dan tidak ada distres pernafasan.

Kriteria hasil :

- Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan

- Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi

Intervensi Rasional

Observasi 1. Takypnea, pernafasan dangkal,


1. Kaji frekuensi atau kedalaman dan gerakan dada tidak simetris
pernafasan dan gerakan dada sering terjadi karena
2. Auskultasi area paru, satat area ketidaknyamanan gerakan dinding
penurunan atau tidak ada aliran dada dan atau cairan paru
udara dan bunyi nafas 2. Penurunan aliran udara terjadi
adventisius, mis. Crackles, pada area konsolidasi dengan
mengi. cairan. Bunyi nafas bronchial
3. Bantu pasien latian nafas sering. dapat juga terjadi pada area
Tunjukan atau bantu pasien konsolidasi. Crackles, ronchi dan
mempelajari melakukan batuk, mengi terdengar pada inspirasi
misalnya menekan dada dan dan atau ekspirasi pada respon
batuk efektif sementara posisi teradap pengupulan cairan , secret
duduk tinggi. kental dan spasme jalan nafas atau
4. Berikan cairan sedikitnya 2500 obstruksi.
ml perhari(kecuali 3. Nafas dalam memudakan ekspansi
kontraindikasi). Tawarkan air maksimum paru-paru atau jalan
hangat daripada dingin . nafas lebih kecil. Batuk adalah
Kolaborasi mekanisme pembersiaan jalan
5. Bantu mengawasi efek nafas alami, membantu silia untuk
pengobatan nebulizer dan mempertahankan jalan nafas
fisioterapi lain, mis. Spirometer paten.
insentif, IPPB, tiupan botol, Penekanan menurunkan
perkusi, postural drainage. ketidaknyamanan dada dan posisi duduk
Lakukan tindakan diantara memungkinan upaya nafas lebih dalam
waktu makan dan batasi cairan dan lebih kuat.
bila mungkin. 4. Cairan (khususnya yang
Berikan obat sesuai indikasi mukolitik, hangat)memobilisasi dan
ekspektoran, bronchodilator, analgesic. mengluarkan secret. Memudahkan
pengenceran dan pembuangan

12
secret
5. Alat untuk menurunkan spasme
bronkus dengan mobilisasi secret.
Analgesic diberikan untuk
memperbaiki batuk dengan
menurunkan ketidaknyamanan
tetapi harus digunakan secara hati-
hati, karena dapat menurunkan
upaya batuk atau menekan
pernafasan.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang kurang).

Tujuan :

Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24jam kebutuhan nutrisi pasien


terpenuhi.

Kriteria hasil :

- Klien Tidak ada mual muntah

- Penambahan berat badan pasien

- Peningkatan nafsu makan

Intervensi Rasional

Intervensi : a. Rasional :Pilihan intervensi


a. Identifikasi faktor yang tergantung pada penyebab masalah
menimbulkan mual/ muntah. b. Rasional :Menghilangkan bahaya,
b. Berikan wadah tertutup untuk rasa, bau,dari lingkungan pasien dan
sputum dan buang sesering mungkin, dapat menurunkan mual
bantu kebersihan mulut. c. Rasional :Menurunkan efek mual
c. Jadwalkan pengobatan pernafasan yang berhubungan dengan pengobatan ini
sedikitnya 1 jam sebelum makan. d. Rasional :Bunyi usus mungkin
d. Auskultasi bunyi usus, observasi/ menurun bila proses infeksi berat,
palpasi distensi abdomen. distensi abdomen terjadi sebagai akibat
e. Berikan makan porsi kecil dan menelan udara dan menunjukkan
sering termasuk makanan kering atau pengaruh toksin bakteri pada saluran
makanan yang menarik untuk pasien. gastro intestinal

13
f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur e. Rasional :Tindakan ini dapat
berat badan dasar. meningkatkan masukan meskipun nafsu
makan mungkin lambat untuk kembali
f. Rasional :Adanya kondisi kronis
dapat menimbulkan malnutrisi,
rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau
lambatnya responterhadap terapi

4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit


(metabolisme meningkat, intake cairan menurun).

Tujuan :

Volume cairan pasien akan menjadi adekuat.

Kriteria Hasil :

Intake cairan meningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab. Intervensi

Intervensi Rasional

1. Timbang pasien 1. Rasional : Periksa tambahan atau


2. Mengukur intake dan output kehilangan cairan
cairan. 2. Rasional : Menetapkan data
3. Kaji turgor kulit. keseimbangan cairan
4. Observasi konsistensi sputum. 3. Rasional : Kulit tetap baik
5. Observasi konsentrasi urine. berkaitan dengan inadekuat cairan
6. Monitor hemoglobin dan interstitial
hematocrit. 4. Rasional : Sputum tebal
7. Observasi lidah dan mukosa menunjukkan kebutuhan cairan
membran. 5. Rasional : Urine terkonsentrasi
8. Bantu pasien mengidentifikasi mungkin menunjukkan
cara untuk mencegah kekurangan kekurangan cairan.
cairan. 6. Rasional : Peninggian mungkin
menunjukkan hemokonsentrasi
tepatnya kekurangan cairan.
7. Rasional Kekeringan
menunjukkan kekurangan cairan.
8. Rasional : Mencegah kambuh dan
melibatkan pasien dalam
perawatan

14
2.7.4 Evaluasi
• Anak tidak menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi
• Fungsi pernafasan anak membaik
• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya

. Pengkajian

- data objektif

-data subyektif

Analisis data:

Data WOC etiologi masalah


Do: Corynebacterium Bakteri Infeksi saluran
………………. diphteriae Corynebacterium pernapasan akibat
Ds: diphteriae paparan bakteri
…………….... Tersebar di udara Corynebacterium
diphteriae
Masuk ke sistem
pernapasan

Menempel pada
lapisan superficial
lesi kulit atau
mukosa pernapasan

Menginduksi reaksi
radang lokal

Bakteri
menghasilkan

15
eksotoksin
polipeptida 62-KD
kuat

Sintesis protein
terhambat

Terjadi nekrosis
jaringan lokal

Infeksi saluran
pernapasan

b. diagnosis keperawatan

c. intervensi

Diagnose Tu, tk, kh Intervensi Rasional

d. evaluasi

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Difteria adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium


diphteriae. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring,
tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan
menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.Difteri adalah penyakit infeksi
pertama yang ditaklukkan atas dasar prinsip-prinsip mikrobiologi dan kesehatan
masyarakat. Maka itulah perlu perhatian khusus terhadap penanggulangan kasus
difteri ini.

Peran perawat juga dibutuhkan dalam hal ini, yaitu memberikan penyuluhan
mengenai bahaya difteri serta memberikan cara terbaik untuk mencegah difteri, serta
memberikan perawatan pada klien yang telah terjangkit bakteri penyebab difteri
tersebut.

3.2 Saran

Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan


untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib
pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi.
Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun
sekali. Selain pencegahan dengan vaksinasi, masyarakat juga memperhatikan faktor-

17
faktor lain yang menyebabkan timbulnya penyakit diferi ini misalnya dengan
memperhatikan lingkungan, makanan, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Muscari, Mary E.2005. Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan


Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta
Suriadi, Skp. MSN & Rita Yuliani, Skp. M.Psi. (2010) ”Asuhan Keperawatan Pada
Anak” , Edisi 2. Jakarta

18

Anda mungkin juga menyukai