Asuhan Keperawatan Pada Klien Difteri
Asuhan Keperawatan Pada Klien Difteri
PENDAHULUAN
1
dirawat seperti dengan memberikan antitoksin, antibiotik atau dapat juga
dengan imunisasi serta harus mengisolasi di unit perawatan intensif karena
difteri dapat menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak
mendapatkan imunisasi penyakit ini.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi difteri
2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri
3. Mengetahui dan memahami epidemiologi (penularan) difteri
4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri
5. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri
6. Mengetahui dan memahami penanganan pada klien dengan difteri
7. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan difteri
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus
difteri.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
menggunakan teknik molekuler memberi kesan bahwa C.diphteriae nontoksik asli
yang diberi bertoksin, menimbulkan penyakit setelah pemasukkan C.diphteriae
bertoksin tersebut. Toksiin difteri dapat diperagakan in vitro dengan teknik
imunopresipitin agar (uji Elek), suatu uji rekasi rantai polymerase pengamata,
atau dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmot (uji kematian). Strain
toksik tidak dapat dibedakan dengan uji tipe koloni, mikroskopi atau biokimia.
Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan
suhu 60oc selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es,
air, susu dan lender yang telah mengering.
Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung.
Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin membawa
serta kuman kuman difteri. Melalui pernafasan kuman masuk ke dalam tubuh
orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang
penderita kepada orang orang disekitarnya.
4
2.4 Pathofisiologi
5
berelasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan
kematian karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.
2.6 Penanganan
6
kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi.
Kadar antitoksin serum 0,01 IU/mL biasanya diterima sebagai kadar
protektif minimum dan 0,1 IU/mL member kadar perlindungan tertentu.
7
dosis kedua. Satu satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid dan
defteri adalah riwayat reaksi hipersensitivasi neurologis berat sesudah
dosis sebelumnya. Untuk anak yang imunisasi pertusinya
terkontraindikasi digunakan DT atau Td. Mereka yang mulai dengan
DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalami lima dosis
vaksin yang mengandung difteri D 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk
mereka yang mulai pada sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga
dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri. Dengan booster yang diberikan
pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah hari
ulang tahun keempat.
8
2.7 Asuhan Keperawatan
2.7.1 PENGKAJIAN
a. IDENTITAS
b. RIWAYAT KESEHATAN
Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala
difteri yang masih akut
c. PEMERIKSAAN FISIK
Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala sampai
kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah . Kaji tanda-tanda yang terjadi pada
nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur
patofisiolog
Normal
Normal
9
Ø B5 : Bowel (Gastrointestinal System)
Ø B6 :Bone (Bone-Muscle-Integument)
d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam
kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di
dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak
mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang
mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkan
adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi
secara aktif.
e. POLA AKTIVITAS
1. Pola nutrisi dan metabolic : Disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakah nafsu
makan berkurang (anoreksia) muntah dsb
3. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akan
malas, lemah dan lesu
4.Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak
mau tidur
10
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang kurang).
2.7.3 INTERVENSI
Tujuan:
Kriteria hasil:
Intervensi Rasional
2. Auskultasi bunyi napas dan catat Bunyi napas menurun bila jalan napas
adanya bunyi napas tambahan terdapat gangguan
(obstruksi,perdarahan,kolaps)
11
2. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan obstruksi pada jalan nafas
Tujuan :
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
12
secret
5. Alat untuk menurunkan spasme
bronkus dengan mobilisasi secret.
Analgesic diberikan untuk
memperbaiki batuk dengan
menurunkan ketidaknyamanan
tetapi harus digunakan secara hati-
hati, karena dapat menurunkan
upaya batuk atau menekan
pernafasan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi
yang kurang).
Tujuan :
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
13
f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur e. Rasional :Tindakan ini dapat
berat badan dasar. meningkatkan masukan meskipun nafsu
makan mungkin lambat untuk kembali
f. Rasional :Adanya kondisi kronis
dapat menimbulkan malnutrisi,
rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau
lambatnya responterhadap terapi
Tujuan :
Kriteria Hasil :
Intake cairan meningkat. Kulit lembab. Membran mukosa oral lembab. Intervensi
Intervensi Rasional
14
2.7.4 Evaluasi
• Anak tidak menunjukan tanda dan gejala adanya komplikasi / infeksi
• Fungsi pernafasan anak membaik
• Tingkat aktifitas anak sesuai dengan usianya
. Pengkajian
- data objektif
-data subyektif
Analisis data:
Menempel pada
lapisan superficial
lesi kulit atau
mukosa pernapasan
Menginduksi reaksi
radang lokal
Bakteri
menghasilkan
15
eksotoksin
polipeptida 62-KD
kuat
Sintesis protein
terhambat
Terjadi nekrosis
jaringan lokal
Infeksi saluran
pernapasan
b. diagnosis keperawatan
c. intervensi
d. evaluasi
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Peran perawat juga dibutuhkan dalam hal ini, yaitu memberikan penyuluhan
mengenai bahaya difteri serta memberikan cara terbaik untuk mencegah difteri, serta
memberikan perawatan pada klien yang telah terjangkit bakteri penyebab difteri
tersebut.
3.2 Saran
17
faktor lain yang menyebabkan timbulnya penyakit diferi ini misalnya dengan
memperhatikan lingkungan, makanan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
18