Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH SPESIALITE DAN ALKES KONSTIPASI

INDAH SARASWATI I MADE ADI SUMANJAYA KADEK RUDY SUCIPTHA I MADE WIRA SUPUTRA I WAYAN ARYA SAPUTRA

(0608505025) (0608505026) (0608505027) (0608505036) (0608505075)

JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2009

I. DEFINISI Sembelit atau konstipasi adalah suatu gejala proses defekasi yang bermasalah dan dapat didefinisikan defekasi tidak lancar dan tidak teratur (kurang dari 2 kali seminggu), mengedan, dan defekasi keras dan tidak tuntas. Berdasarkan definisi ini, konstipasi dialami oleh lebih dari 20% penduduk. Pada umumnya konstipasi terdiri dari 2 tipe yaitu : Tipe transit lambat yaitu jarang timbul hasrat defekasi pada penderita. Tipe obstruktif yaitu penderita tidak berdefekasi dengan tuntas karena sebab-sebab penyakit atau gangguan anorektal organik/fungsional, misalnya penyumbatan jalannya faeces karena misalnya prolaps, yakni penjembulan selaput lendir dubur keluar. Pengeluaran faeces juga dapat dihambat secara paradoksal oleh kontraksi dan ukannya oleh relaksasi normal dari sfingter (otot melingkar) dubur pada saat mengedan (Tjay dan Rahardja, 2007). Banyak orang, terutama lansia, menganggap dirinya menderita sembelit bila tidak buang air beberapa hari atau paling tidak satu kali sehari. Mereka mulai menggunakan obat pencahar dan tidak jarang secara berlebihan. Sebetulnya keadaan demikian dapat dianggap masih cukup wajar karena ada orang yang buang air 2-3 kali sehari, tetapi ada pula yang hanya 3 kali seminggu (Tjay dan Rahardja, 2007). . II. PATOFISIOLOGI Konstipasi bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan gejala dari adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh. Pengobatan pada konstipasi harus diawali dengan usaha untuk menetapkan penyebabnya. Gangguan pada saluran pencernaan, gangguan metabolisme atau gangguan sistem endokrin dapat menjadi hal-hal yang terkait dengan timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya hasil dari diet rendah serat atau penggunaan obat-obat yang menyebabkan konstipasi seperti obat-obat golongan opiat. Di samping itu, hal-hal yang berawal dari gangguan psikis juga dipercaya menyebabkan konstipasi, penurunan kekuatan otot dinding abdomen dan kemungkinan penurunan aktifitas fisik. Bagaimana pun juga, frekuensi

pergerakan usus tidak berkurang pada usia produktif. Selain itu, penyakit penyakit yang dapat menyebabkan konstipasi, seperti kanker kolon dan diverticulitis, akan meningkat kemungkinannya seiring dengan bertambahnya umur (Dipiro et al, 2005). Penggunaan obat-obat yang menghambat fungsi neurologis dan muskular dari saluran pencernaan khususnya kolon dapat menyebabkan konstipasi. Sebagian besar kasus-kasus konstipasi oleh penggunan obat disebabkan oleh obat-obat golongan opiat, berbagai agen dengan fungsi antikolinergik dan antasid yang mengandung aluminium dan kalsium. Obatobat tersebut bergantung pada dosis menghambat fungsi usus dimana dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan konstipasi lebih sering. Opiat memberi efek pada seluruh segmen dari usus, namun lebih nyata pada kolon. Mekanisme umum dari opiat dalam menghasilkan konstipasi adalah dengan memperpanjang waktu transit pada usus dengan menyebabkan kontraksi yang tidak mendorong makanan. Mekanisme lain yang berkontribusi adalah dengan meningkatkan absorpsi elektrolit. Seluruh turunan opiat diasosiasikan menyebabkan konstipasi, namun tingkat penghambatan fungsi intestinalnya berbeda. Penggunaan opiat secara oral akan menyebabkan efek konstipasi lebih besar daripada penggunaan secara parenteral (Dipiro et al, 2005). Sedangkan obat-obat antikolinergik menghambat fungsi usus dengan aksi parasimpatolitik pada berbagai bagian dalam saluran pencernaan khususnya pada kolon dan rektum. Obat-obat antikolinegik ini sangat umum digunakan baik oleh pasien di rumah sakit maupun pasien rawat jalan. Suatu penelitian menunjukkan penggunaan amitriptyline, diphenhydramine dan thioridazine bertujuan untuk kebutuhan laksatif pada 800 perawatan pasien. Pada pasien dengan umur lebih dari 65 tahun, obat-obat antikolinergik, aspirin, furosemide, ni- troglycerin, dan amitriptyline dikorelasikan sebagi penyebab konstipasi (Dipiro et al, 2005). III. PRINSIP TERAPI A. Terapi Non Farmakologis In take Makanan berserat Minum Cukup

Olah raga teratur B. Terapi Farmakologis IV. KOMPOSISI SEDIAAN Penggolongan obat pencahar berdasarkan atas farmakologi dan sifat kimianya: 1. Bulk forming laksatif Bulk-forming agent terdiri dari polisakarida yang tidak diabsorbsi dan derivat selulosa.Agen ini mengembang di dalam air, membentuk suatu gel dapat melunakkan feses sehinggga meningkatkan massa feses dalam usus. Gerakan peristatik distilmulasi oleh peningkatan massa feses yang menurunkan waktu transit di usus. Dikemukakan pulan bahwa mikroflora usus memetabolsime polisakarida tersebut menjadi metabolit aktif yang osmotik. Metabolit tersebut dapat mengubah motilitas usus dan transpor elektrolit. Bulk-forming agent umumnya menghasilakan efek laksatif dalam 12 sampai 24 jam, namun untuk mendapatkan efek yang maksimal dibutuhkan waktu 2 3 hari (Herfindal and Gourlev, 2000). Kombinasi dari obat-obat bulk forming laksatif dengan laksansia kimia lainnya seperti senyawa antrakuinon tidak dianjurkan karena kegiatannya akan dihambat (Tjay dan Rahardja, 2007). Preparat natural (psyllium, methylcellulose) (Mc Evoy, 2002) Pencahar (Laksansia)

a.

Psyllium (Metamucil) Farmakologi: benih-benih ini diperoleh dari berbagai tumbuhan Plantago ovate yang mengandung hemiselulosa dan zat lendir (mucilago) Dalam jumlah besar dandapat membentuk suatu gel bila bersentuhan dengan air. Indikasi: obat ini terutama berguna untuk sembelit dengan tinja yang kering dan keras. Selain itu plantago digunakan pada`diare cair kronis untuk memadatkan tinja. ESO : reaksi alergi (rhinitis) (Tjay dan Rahardja, 2007)

KI : Dosis : > 12 th : maks 30 g per hari > 6 11 th : maks 15 g per hari KIE : penting sekali untuk minum banyak air sampai 3 liter per hari dan perbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan. (Herfindal and Gourlev, 2000)

b.

Metilselulosa (Tylose, Methocel) Farmakologi : didalam tubuh sama sekali tidak bereaksi. Efeknya tampak dalam waktu 24 jam. Indikasi : digunakan pada penanganan obesitas untuk menghilangkan perasaan lapar. ESO : berupa kembung (flatulensi) dan bila digunakan tanpa cukup air dapat menimbulkan obstruksi esophagus. KI : Dosis : 4dd 1-1,5 g dalam segelas air. KIE : penting sekali untuk minum banyak air sampai 3 liter per hari dan perbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan. (Tjay dan Rahardja, 2007)

2. Osmotic laxatives
a.

Gula atau garam yang tak terabsorbsi

Magnesium sulfat (Epsom Salt) Farmakologi: mekanisme kerjanya di dalam usus berdasarkan penarikan air (osmosis) dari bahan makanan karena dari dosis oral

tidak diserap. Akibatnya pembesaran volume usus dan meningkatnya peristaltic di usus halus dan usus besar, disanping melunakan tinja. Antara 15-30% dosis diserap oleh usus yang dapat mengakibatkan kadar magnesium darah terlampaui tinggi, khususnya bila fungsi ginjal kurag baik. Oleh karena itu, hendaknya jangan digunakan dalam jangka waktu yang lama. Mulai kerjanya setelah 1-3 jam. Daya kerjanya 2-4 jam. Boleh digunakan selama kehamilan; obat ini masuk ke dalam air susu ibu. Indikasi : untuk mengobati konstipasi akut. ESO: Dosis lebih besar dapat mengakibatkan muntah-muntah KI : tidak untuk ibu menyusui. Dosis : 15-30 g sekaligus di dalam segelas air hangat. KIE : diminum pada keadaan perut kosong, perbanyak makanan berserat. dan perbanyak konsumsi air. (Tjay dan Rahardja, 2007)

b.

Gliserin Farmakologi : gliserin meningkatkan tekanan osmotik dalam lumen usus yang menghasilkan retensi air dalam lumen dan melunakkan feses. Efek laksatif terjadi dam 15 sampai 30 menit. Indikasi : untuk mengobati konstipasi akut. ESO : Iritasi pada rektum dan hiperemia pada mukosa rektum. KI : Dosis : > 12 th : 3 g (supositoria) > 6 th : 2 3 g (supositoria) > 6 th : 1 1,7 g (supositoria)

KIE:obat dimasukkan melalui dubur/anus dan perbanyak konsumsi air. (Herfindal and Gourlev, 2000)

c.

Laktulosa (Duphalac) Farmakologi: di dalam usus halus, laktulosa tidak diresorpsi karena tidak terdapat enzim yang tepat untuk menghidrolisanya. Di dalam usus besar zat ini baru diuraikan dengan cepat oleh bakteri-bakteri tertentu atau laktobasillus dan menghasilkan asam laktat dan asam asetat. Asam-asam organik ini menahan air berdsarkan proses osmosis dengan efek stimulasi prisaltik, sehingga tinja menjadi lunak dan defikasi distimulasi. Efeknya baru tampak setelah 24-48 jam Indikasi: Kontipasi kronis, ensefalopati sistemik portal, keadaan prekoma hepatik dan koma hepatik. ESO: perut kembung banyak gas terutama selama hari-hari utama. Pada over dosis terjadi nyeri perut dan diare KI: diet rendah galaktosa dan galaktosemia. Dosis: permulaan 30 ml larutan 50% (pagi hari). Dosis pemeliharaan 15 ml. KIE : perbanyak konsumsi air dan makanan berserat. (Tjay dan Rahardja, 2007)

d.

Sorbitol (Microlax) Farmakologi : alkohol gula ini (C6H14O6) digunakan sebagai laksans secara oral. Resorpsinya dari usus lambat dan tidak menentu. Dalam hati sorbitol lambat laun diubah menjadi fruktosa dan untuk sebagian kecil langsung menjadi glukosa.

Indikasi : konstipasi : rektal dan sigmoid, kehamilan, fekaloma dan skibala. Persiapan pra-op (partus, ginekologi, pembedahan anus). Persiapan anaskopi dan rektoskopi. ESO : Pada dosis besar berupa diare dan flatulensi. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal KI : pada gangguan fungsi hati dan encok. Dosis : 30-50 g. KIE : perbanyak konsumsi air dan makanan berserat. (Tjay dan Rahardja, 2007)

3. Fecal lubricant :

Lubricant primer merupakan minyak oil. Mekanisme kerja dari fecal lubricant adalah melumasi feses dan menghalangi reabsorpsi air pada kolon (Herfindal and Gourlev, 2000).

Paraffinum liquidum (Agarol) Farmakologi : parafinum terdiri atas campuran senyawa hidrokarbon cair jenuh yang diperoleh dari minyak bumi. Zat ini tidak dicerna dalam saluran lambung-usus dan hanya bekerja sebagai zat pelicin bagi isi usus dan tinja. Sifatnya mengurangi penyerapan oleh tubuh dari zatzat gizi, antara lain: vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K). Indikasi : melunakkan tinja terutama setelah pembedahan rectal atau pada penyakit wasir ESO : iritasi sekitar dubur KI : penggunaan selama kehamilan tidak dianjurkan Dosis : 15-30 ml diberikan pada malam hari sebelum tidur

KIE : perbanyak konsumsi air, makanan berserat.dan vitamin A, D, E dan K. (Tjay dan Rahardja, 2007) 4. Fecal softener Fecal softener juga disebut emolien laksatif. Terdiri dari kalsium, kalium, dan garam natrium dari dioctyl sulfosuccinate. Fecal softener menupakan surfaktan anionik yang menurunkan tekanan permukaan dari feses in vitro. Dikemukakan pula bahwa agen ini secara in vivo menstimulasi sekresi air dan elektrolit ke dalam kolon. Proses melembutkan feses ini terjadi setelah 1 3 hari (Herfindal and Gourlev, 2000).

Natrium dokusinat (Klyx) Farmakologi : asam sulfonat yang berantai panjang (C21) ini, memiliki aktivitas permukaan (detergen), sehingga mempermudah pemasukan air ke dalam chymus dan melunakan tinja. Efeknya dimulai 1-3 hari setelah penggunaan peroral, secara rectal sangat cepat yaitu sesudah 5-12 menit Indikasi : melunakkan tinja ESO : efek samping jarang dan ringan antara lain gangguan lambung-usus, ruam kulit dan iritasi tenggorokan. (Tjay dan Rahardja, 2007) KI : pada pasien yang berada pada masa penyembuhan penyakit myocardial infarction, penderita perianal akut atau pasien setelah menjalani pembedahan rektal (Dipiro et al, 2005). Dosis : oral malam hari 50-360 mg, rectal 100 mg dalam suppositoria KIE : perbanyak minum air, dikonsumsi setelah makan dan sediaan suppositoria dimasukkan melalui dubur/anus (Tjay dan Rahardja, 2007).

5. Stimulant laxatives

Obat-obat ini disebut stimulan karena menstimulasi peristaltik dengan cara mengiritasi mukosa atau aktifitas pleksus saraf intramural yang mennyebabkan peningkatan motilitas (Herfindal and Gourlev, 2000).
a.

Tumbuhan

yang

mengandung

glikosida-antrakino

(casanthrol, cascara sagrada, danthron, senoside dan aloe) (Eucarbon). Farmakologi : laksansia ini juga dinamakan pencahar emodin dan baru menjadi aktif`setelah glikosida dihidrolisa dalam usus menjadi bentuk aglikonya. Efeknya tampak setelah 6 jam atau lebih, karena hidrolisa berlangsung lambat. Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi peristaltik usus besar (Tjay dan Rahardja, 2007). Indikasi : pencahar umum namun penggunaan secara penggunaannya sama dengan derivat antrakuinon (Dipiro et al, 2005). ESO : melanosis coli, akumulasi pigmen gelap terutama pada cecum dan rektum (Dipiro et al, 2005). KI : penggunaanya tidak dianjurkan selama laktasi, karena dapat mencapai air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis : Casanthrol : >12 thn: 30-90 mg 2-12 thn: 15-45 mg <2 thn: 7,5-22,5 mg Senoside : >12 thn: 12-75 mg 6-11 thn: 6-33 mg 2-6 thn: 3-12,5 mg KIE : hindari pengunaan bersamaan dengan obat-obat yang menginduksi kejang, perbanyak konsumsi makanan berserat. dan perbanyak minum air. (Herfindal and Gourlev, 2000)

b.

Bisakodil (Dulcolax) Farmakologi: bekerja langsung terhadap dinding usus besar (colon) dengan memperkuat peristaltiknya sehingga tinja menjadi lunak. Indikasi : sebagai pencahar secara umum, selain itu juga digunakan untuk mengosongkan usus besar sebelum pembedahan atau pemeriksaan dengan sinar rontgen (Tjay dan Rahardja, 2007). ESO : efek samping jarang terjadi dan berupa kejang-kejang perut; secara rectal obat ini dapat merangsang selaput lender rectum. Tidak boleh digunakan bersamaan dengan susu atau zat-zat yang bereaksi alkalis (antasida) karena bisa merusak lapisan enteric-coating dari tablet (Tjay dan Rahardja, 2007). KI : tidak boleh diberikan pada pasien yang menderita apendisitis, selama kehamilan dan menyusui (Dipiro et al, 2005). Perhatian : Obat ini dapat digunakan selama kehamilan, walaupun harus berhati-hati karena dapat menimbulkan kejang perut. Dosis : sebelum tidur 1-2 tablet salut dari 5 mg; suppositoria 10 mg (asetat) pada pagi hari. Sebagai klisma: larutan 10 mg/ 5 ml dalam potielinglikol. KIE : tidak boleh diminum dengan susu atau antasida, perbanyak konsumsi makanan berserat, dan perbanyak konsumsi air. (Tjay dan Rahardja, 2007)

c.

Oleum Rhicini (Minyak Castor dan Minyak Jarak). Farmakologi: Oleum Rhicini diperas dari biji pohon jarak (Rhicinus communis) dan mengandung trigliserida dari asam risinoleat, suatu asam lemak tak jenuh. Di dalam usus halus, sebagian zat ini diuraikan oleh enzim lipase dan menghasilkan asam risinoleat yang efek stimulasi terhadap usus halus. Setelah 2 8 jam timbul defekasi yang cair.

ESO : Berupa kolik, mual, dan muntah. KI : wanita hamil. Dosis : dosis dewasa 15 30 ml, anak-anak 4 15 ml. KIE : perbanyak minum air dan makanan berserat. (Tjay dan Rahardja, 2007)

6. PEMILIHAN PRODUK Pada umumnya pengobatan sembelit diarahkan pada penyebabnya, misalnya : perbaikan susunan diet sehari-hari, gerak badan yang cukup. Bila diperlukan penggunaan suatu obat pencahar, umumnya diberikan dengan dosis yang efektif yang serendah-rendahnya untuk jangka waktu yang singkat Konstipasi insidentil yang disebabkan oleh tinja keras sebaiknya ditangani dengan menggunakan suatu laksans dengan daya melunakan dalam bentuk supositoria, yakni gliserol atau bisakodil. Konstipasi kronis dapat diatasi dengan laksansia yang memperbesar isi usus (laktulosa, psyllium). Sebagai pilihan kedua dapat digunakan garam-garam anorganik khususnya garam magnesium seperti MgSO4 dan Mg-oksida. Obat ini paling aman digunakan selama waktu yang panjang. Jika obat ini tidak memberikan hasil yang diinginkan, zat-zat perangsang peristaltic dapat diberikan seperti bisakodil Konstipasi kehamilan sebaiknya ditangani dengan laktulosa, begitu pula sembelit pada lansia dan anak-anak (Tjay dan Rahardja, 2007)

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J. T. et al. 2005 Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Sixth Edition. USA: McGraw-Hill Companies. Herfindal, E. T., and D R. Gourlev. 2000. Textbook of Therapeutics: Drug and Disease Management Seventh Edition. Book 2. USA: Lippincott Williams and Wilkins.

Mc Evoy, Gerald K. 2002. AHFS Drug Book 4.American Society of Health System Pharmacist Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai