Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN


KONFLIK SUMBER DAYA ALAM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 11
1. Sevina Rahma Widyasari (19030654015)
2. Amirotul Khusnah (19030654016)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PRODI S1 PENDIDIKAN SAINS
2021
Kasus Pertambangan Timah Ilegal

Sumber Daya Alam merupakan segala sesuatu yang tersedia secara alami di bumi
dan digunakan dalam menunjang pemenuhan kebutuhan manusia. Sumber Daya Alam
terbagi menjadi 2, yakni Sumber Daya Alam hayati dan non hayati. Adapun contoh
sumber daya alam hayati seperti hewan dan tumbuhan, sedangkan sumber daya alam
non hayati seperti air, udara, tanah, matahari, dan hasil tambang. Sumber Daya Alam
hayati termasuk sumber daya yang terbaharukan, sedangkan non hayati merupakan
sumber daya tak terbaharukan. Tentu sumber daya tersebut menjadi bagian dari
kekayaan masing-masing Negara, sehingga hasil dari kegiatan pengelolaan tersebut
dapat mengisi kas pendapatan Negara.
Salah satu sektor yang menjadi penopang dalam pembangunan perekonomian
Negara ialah sektor pertambangan. Karena dapat dipastikan bahwa barang tambang
memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dalam usaha pertambangan terbagi menjadi 2
macam, yakni pertambangan mineral dan pertambangan batu bara. Hal tersebut
tercantum pada pasal 34 UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan
batubar, yang juga menerangkan bahwa pertambangan mineral terbagi menjadi empat
komoditas yakni : 1. Pertambangan mineral logam (seperti emas dan perak)
2. Pertambangan mineral non logam (seperti intn dn belerng)
3. Pertambangan radioaktif
4. Pertambangan batuan
Selain emas dan perak yang merupakan bentuk komponen abiotik serta salah satu
komoditas pertambangan mineral logam, terdapat sumber daya yang tak kalah nilainya
yaitu timah. Timah banyak digunakan sebagai campuran dari logam-logam tertentu,
karena memiliki sifat yang lentur (mudah dibentuk), serta termasuk bahan kimia yang
tahan terhadap karat. Pada umumnya timah memiliki warna putih, mengkilap (sekilas
seperti logam perak) yang banyak digunakan dalam dunia industri. Kini harga timah
mencapai 19.000 US per ton, hal ini diasumsikan oleh BRI Danareksa Sekuritas.
Berkaca pada kebutuhan dan nilai jual timah yang tinggi, maka semakin
berkembanglah usaha pertambangan timah di daerah-daerah tertentu. Mulai dari sektor
industri, hingga masyarakat setempat. Sejalan dengan adanya SK Menperindag nomor
144/MPP/4/1999 tanggal 22 April 1999 yang menyatakan bahwa, timah dikategorikan
sebagai barang bebas (tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai komoditas
strategis. Sehingga siapapun berhak melakukan penambangan timah (illegal) dan
memicu berbagai kasus akibat monopoli perdagangan bebas yang tidak terarah tersebut.
Salah satu daerah penghasil komoditas timah yang juga menjadi sasaran lokasi
penambangan timah illegal yaitu provinsi Bangka Belitung.
Dilansir dari Tempo.com pada 10 Maret 2021, menerangkan bahwa Kepala Desa
Cit, Kecamatan Riau, Kepulauan Bangka Belitung menjadi tersangka kasus
pertambangan timah illegal. Hal ini ditetapkan oleh penyidik Direktorat Jenderal
Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dimana tersangka juga melakukan pencegahan (menghalangi) operasi penindakan
maupun penyidikan tambang timah, yaitu dengan penolakan penyitaan alat berat
excavator dari area pertambangan. Sehingga sejumlah masyarakat ikut ditangkap oleh
pihak yang berwajib dan dijerat pasal dengan sanksi pidana sekitar 10 tahun penjara dan
sanksi administrative berupa denda senilai milyaran rupiah.
Kasus ini diduga berawal dari penangkapan Heris Sunandar sebagai pelaku
pertambangan illegal di kawasan hutan produksi mapur. adanya operasi Jaga Bumi
Balai Gakkum Sumatera. Yang kemudian berkembang Pada kawasan Mabruk, Kinari,
dan Pungguk Kecamatan Koba. Tepatnya di lokasi eks PT Koba Tin yang merupakan
cadangan Negara yang tidak diperkenankan untuk di eksplorasi, terutama untuk
penambang yang tidak memiliki izin usaha berupa IUP, IPR, atau IUPK. Selain itu
ketiga kawasan tersebut berpotensi mengalami kerusakan lingkungan dan bencana alam
seperti banjir dan tanah longsor.
Sebagai bentuk upaya penanggulangan kasus penambangan timah secara illegal
tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan
mineral dan batubara. Serta Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2014 tentang pertambangan
timah. Demi pemberantasan kasus yang merugikan berbagai sektor, baik sektor
keuangan Negara maupun kelestarian lingkungan Maka pemerintah harus menegakkan
hukum dan sanksi tegas bagi pelanggar, seperti sanksi pidana maupun sanksi
administratif. Hal tersebut ditunjang dengan peran satuan polisi untuk aktif melakukan
pengawasan, razia, bahkan penyitaan alat tambang yang dgunakan dalam kegiatan
illegal tersebut. Selain itu pemerintah dapat menetapkan jumlah perusahaan yang akan
mengeksplor timah dengan batas ketentuan yang telah dipertimbangkan berbagai pihak.
Serta pemanfaatan lahan yang lebih efektif seperti pembukaan lahan untuk hutan atau
perkebunan yang memungkinkan. Kemudian untuk masyarakat daerah setempat,
diharapkan mampu memainkan perannya sebagai masyarakat yang berakal, peduli akan
kelestarian lingkungan maupun keberlangsungan sumber daya alam yang tidak
terbaharukan seperti timah.
Kasus Pembakaran Lahan Untuk Kepentingan Ekspansi Perkebunan di Provinsi
Papua

Jakarta, 12 November 2020 – Kolaborasi investigasi inovatif Greenpeace International


dan Forensic Architecture mengungkap kegiatan Korindo, sebuah perusahaan
perkebunan milik konglomerat Indonesia-Korea yang telah membakar lahan untuk
kepentingan ekspansi perkebunan di provinsi Papua. Korindo memiliki pelanggan
perusahaan multinasional termasuk Siemens Gamesa Renewable Energy, grup ini masih
memegang sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisnis kayu meski
ditemukan pelanggaran standar organisasi terkait penebangan hutan yang luas.

Korindo memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar di Papua dan telah


menghancurkan sekitar 57.000 hektar hutan di provinsi tersebut sejak 2001, [1] sebuah
wilayah yang hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan. Greenpeace International
bekerja sama dengan Forensic Architecture – sebuah lembaga penelitian kolektif yang
berbasis di Goldsmiths, London University yang menggunakan analisis spasial untuk
merekonstruksi kasus perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM untuk menyelidiki
apakah penyebab kebakaran dapat diidentifikasi di konsesi kelapa sawit Korindo di
Papua.

Untuk menentukan apakah kebakaran tersebut disengaja atau tidak dengan


aktivitas masyarakat atau terkait perluasan perkebunan, Forensic Architecture
menggunakan citra satelit NASA yang mencakup kurun waktu lima tahun untuk
mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran yang terjadi di PT Dongin Prabhawa,
salah satu konsesi Korindo yang berlokasi di Merauke, Papua. Untuk memastikan
bahwa titik panas tersebut adalah api, Forensic Architecture menggunakan metode
analisis terkini untuk mengumpulkan data bersama dengan rekaman video dari survei
udara yang dilakukan oleh juru kampanye Greenpeace International pada tahun 2013.
Tim tersebut menemukan bahwa pola deforestasi dan kebakaran tersebut menunjukan
bahwa pembukaan lahan menggunakan api.

Samaneh Moafy, Peneliti Senior Forensic Architecture mengatakan: “Jika


kebakaran di konsesi Korindo terjadi secara alami, kerusakan lahannya tidak akan
teratur. Namun, setelah dilacak dari pergerakan deforestasi dan kebakaran dari waktu ke
waktu menunjukkan bahwa hal itu jelas terjadi secara berurutan dengan kebakaran yang
mengikuti arah pembukaan lahan dari barat ke timur dan terjadi secara besar-besaran di
dalam batas konsesi Korindo.”

Kiki Taufik, kepala kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara mengatakan:


“Pemerintah harus meminta pertanggungjawaban Korindo dan perusahaan perkebunan
lainnya atas kebakaran di lahan mereka dan kerusakan besar yang diakibatkannya
terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan di seluruh Indonesia. Namun
persoalannya, rekam jejak pemerintah dalam penegakan hukum lemah dan tidak
konsisten apalagi kini regulasi perlindungan lingkungan dilemahkan pasca disahkannya
UU Cipta Kerja yang pro-bisnis ketimbang aspek lingkungan.”
Pada tahun 2016, pelanggan utama minyak sawit Korindo – Bunge, Cargill, Louis
Dreyfus, Musim Mas dan Wilmar – berhenti membeli suplai dari grup ini setelah
sejumlah organisasi lingkungan membongkar keterlibatan Korindo terkait deforestasi
dan pelanggaran HAM. Kemudian, beberapa organisasi lingkungan menyurati
perusahaan Siemens salah satu pelanggan terbesar Korindo yang membeli menara angin
dari divisi energi angin Korindo, untuk meminta mereka menangguhkan dagang dengan
grup tersebut. Namun, Siemens tetap berdagang dengan Korindo.

Korindo tidak ragu membawa hal ini ke jalur hukum demi menghentikan masyarakat
dan media massa yang melanjutkan investigasi terhadap kegiatan Korindo. Forest
Stewardship Council (FSC) yang telah melakukan tiga investigasi terpisah terhadap
Korindo terkait praktik penggundulan hutan dan pelanggaran HAM, namun publikasi
ketiga kasus tersebut terbit dengan versi yang telah disunting setelah diancam akan
dibawa ke meja hijau.

“Pemerintah Indonesia memberikan wilayah berhutan kepada banyak perusahaan seperti


Korindo dan mengizinkan mereka beroperasi dengan impunitas. Sementara perusahaan-
perusahaan, para pembeli, dan sejumlah badan sertifikasi membantu mereka seolah-olah
terlihat beroperasi dengan prinsip keberlanjutan. Pemerintah harus segera mengambil
tindakan secara transparan dengan menginvestigasi bukti dari keterlibatan Korindo atas
pembakaran hutan. FSC harus mempublikasi laporan lengkap tanpa sensor yang
menunjukan bagaimana Korindo telah melanggar kebijakan asosiasi dan harus
secepatnya memutus kontrak dengan Korindo, seperti yang telah direkomendasikan oleh
panel pengaduan” kata Kiki.

Tahun 2020 telah banyak hutan Papua yang hilang secara signifikan dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Banyak dari kerusakan ini terjadi dibalik pengetatan kegiatan
di masa COVID-19. Larangan atau pembatasan bepergian telah menghambat
pengawasan terhadap pembukaan lahan ilegal serta penegakan hukum untuk mengatasi
pelanggaran di lapangan. Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan yang berada di
sektor perkebunan dapat bebas melakukan ekspansi meski pemerintah menerapkan
moratorium.

Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia

Laporan terbaru Greenpeace menunjukan area seluas delapan kali lebih besar dari Pulau
Bali telah terbakar di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun. Kurun waktu 2015-2019
sekitar 4.4 juta hektar lahan telah terbakar di Indonesia. Sekitar 789,600 hektar dari area
tersebut telah terjadi kebakaran berulang. Sebuah tinjauan studi menunjukkan kebakaran
yang berulang di Indonesia membahayakan kesehatan jutaan anak Indonesia dan
berdampak hingga menyebabkan gangguan pertumbuhan yang lebih lambat, skor tes
kognitif lebih rendah, serta ribuan kematian anak, bayi dan janin.

Ekspansi perkebunan merupakan akar masalah dari karhutla di Indonesia. Pada Juli
2015, kebakaran hebat terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Karhutla ini
menghasilkan asap yang membahayakan jutaan penduduk di wilayah Asia Tenggara.
Para peneliti dari Universitas Harvard dan Columbia memperkirakan asap karhutla 2015
di Indonesia telah menyebabkan sekitar 100.000 kematian dini. Bank Dunia
mengkalkulasi bencana ini menyebabkan kerugian Indonesia hingga mencapai Rp 221
triliun.

CATATAN

[1] Kurun tahun 2001-2019, total sekitar 57.000 hektar hutan telah dibuka untuk
menjadi lahan. Data ini berdasarkan CIFOR Papua Atlas.

[2] The Forest Stewardship Council (FSC), menemukan Korindo telah menghancurkan
lebih dari 30.000 hektar hutan dalam lima tahun, dengan itu korindo telah melanggar
sejumlah standar FSC, termasuk kegagalannya untuk melindungi area substansial dari
Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCV) di dalam area konsesi. Panel FSC juga
mengidentifikasi terjadinya pelanggaran terhadap hak masyarakat adat dan HAM.

[3] Sepanjang tahun ini, jumlah peringatan gangguan hutan (GLAD Alerts) tidak
menunjukan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya; sebaliknya, terdapat kenaikan
kecil yang menunjukan bahwa pembukaan hutan terus berjalan seperti biasa.

Uraian Mengenai Konflik Jika Dikaitkan Dengan Sumber Daya Alam

1. Macam : dalam kasus perluasan lahan ini termasuk dalam sumber daya alam non
hayati karena lahan/tanah merupakan sumber daya alam yang bukan berasal dari
makhluk hidup dan tidak menghasilkan pangan atau sandang bagi manusia.

Terbarukan, tidak terbarukan

2. Bentuk : bentuk dari perusakan sumber daya alam dalam kasus ini yaitu adanya
pembakaran hutan yang disengaja untuk pembukaan lahan kelapa sawit. Kegiatan
ini dilakukan oleh Korindo, sebuah perusahaan perkebunan milik konglomerat
Indonesia-Korea yang telah membakar lahan untuk kepentingan ekspansi
perkebunan di provinsi Papua.

Misal kebakaran hutan, SDA yg rusak hutan

3. Karakteristik : Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi


beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi
perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah
lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi,
mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat
siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer,
tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat
yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang
kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat
sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976).
Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas (i) komponen
struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan (ii) komponen fungsional
yang sering disebut kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya
merupakan sekelompok unsur-unsur lahan (complex attributes) yang
menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).

Dapat di daur ulang, tidak dapat di daur ulang

4. Tipe dan Kondisi : Sebagai suatu ekosistem alam, lahan pertanian mempunyai
komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Interaksi-
interaksi yang berlang sung di dalam ekosistem ini menimbulkan beberapa
proses kunci, seperti proses perkembangan tanah (tercermin dalam ting¬kat
kesesuaian lahan), proses erosi dan lim pasan permu¬kaan, proses produksi
tanaman dan ternak, dan proses-proses sosial-ekonomi . Proses perkembangan
tanah di alam terjadi secara terus menerus, dan dipengaruhi oleh banyak faktor
yang saling berinteraksi satu sama lain . Beberapa faktor yang sangat penting
adalah iklim, organisme, batuan induk, topografi, dan waktu. Interaksi faktor-
faktor ini menen¬tukan laju pelapukan batuan induk yang hasil-hasilnya akan
menyusun salah satu dari komponen-komponen tanah. Sifat- sifat komponen
tanah ini selanjutnya akan menentukan tipe tanah dan tingkat kesesuaiannya bagi
tanaman

Biotik dan Abiotik

Anda mungkin juga menyukai