Anda di halaman 1dari 55

7 DESEMBER 2021

Pendidikan Kewarganegaraan
Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia

BISMO AGUSTIO
[0201033162]
REGULER 33
PAGI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DEWANTARA


2021
Kata Pengantar

Pancasila sebagai ideologi negara sangat rentan bergeser menjadi ideologi penguasa.

Ketika Pancasila menjadi ideologi penguasa, keberadaannya pun berada di ujung tanduk

ketika sang penguasa kehilangan legitimasinya. Itulah yang terjadi dengan Pancasila Orde

Baru, Pancasila dijadikan doktrin sakral Orde Baru yang sibuk diwacanakan, dikutip, dan

dipaksa untuk dihapalkan tetapi tidak diamalkan. Padahal penguatan nilai-nilai pluralisme,

demokrasi, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila merupakan sebuah

keharusan untuk memelihara eksistensi masyarakat Indonesia yang beragam. Devaluasi

Pancasila itu perlu direspon dengan upaya serius dan sistematis untuk merevitalisasi

Pancasila. Sekolah sebagai agen transformasi sosial perlu mengambil peran terdepan dalam

upaya ini. Masalahnya, ketika wacana Pancasila terpinggirkan di panggung masyarakat,

pembelajaran Pancasila di sekolah pun makin terlupakan. Apalagi pendidikan Pancasila di

sekolah selama ini cenderung membosankan, dogmatis, dan sama sekali tidak kritis. Guru-

guru yang mengajar Pancasila pun dalam posisi marginal juga. Tidak heran bila pendidikan

Pancasila di sekolah maupun di perguruan tinggi dengan cepat. kehilangan gaungnya.

Bahkan, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi, murid dan mahasiswa

tidak lagi hafal, apalagi memiliki pemahaman mendalam mengenai pengertian yang

terkandung dalam sila-sila Pancasila. Harapan saya rangkuman ini dapat menjadi awal sebuah

gerakan yang besar untuk memperbarui pendidikan Pancasila, menjadikan kembali Pancasila

sebagai ideologi yang membumi, ideologi yang hidup dalam pergumulan sehari-hari

masyarakat menuju suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.

i
DAFTAR ISI

Pendahuluan..........................................................................................................................................iii
Konsep dan Teori..................................................................................................................................1
BAB I....................................................................................................................................................1
Apa Itu Pedagogi Kritis?...................................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................................................10
Literasi dan Literasi Kritis?.............................................................................................................10
BAB III................................................................................................................................................18
Belajar Dengan dan Melalui Seni....................................................................................................18
Penerapan Pembelajaraan Pancasila.................................................................................................23
Generasi Muda dan Identitas Jatidiri...............................................................................................23
Peran Pemuda dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila...............................................................33
Penguatan Nilai Etnik dan Nasionalisme.........................................................................................42
Kesimpulan..........................................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................50

i
Pendahuluan

Dunia pendidikan dituntut untuk membangun praksis pendidikan yang dapat

membekali murid dengan nilai-nilai dan budaya toleran, anti-kekerasan,keadilan, etika,

moralitas, dan demokrasi sesuai dengan kharakterisik multikultural yang melekat pada

masyarakat Indonesia. Dengan bekal itulah maka akan tercipta sikap hidup dan budaya

masyarakat yang adil, damai, toleran, dan bermoral. Bukankah selama ini sekolah-sekolah

juga sudah memberikan materi pelajaran tentang nilai-nilai keadilan, toleransi, saling

menghormati, kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan, etika, sopan santun dan lainnya?

Bukankah bahkan mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi terdapat

materi pelajaran Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), juga Pancasila dan

Kewarganegaraan (PKn)? Adakah yang salah di sekolah? Apakah materi pelajarannya terlalu

ringan atau terlalu berat, terlalu teoretis atau terlalu teknis, hingga menjadikan praksis

pembelajaran dirasa tidak ada manfaatnya dan tidak bermakna oleh para siswa? Apakah

metode pembelajarannya bermasalah, tidak tepat, atau membosankan, hingga menjadikan

praksis pembelajaran tidak menarik? Apakah media pembelajarannya kurang menarik,

konvensional, hingga tidak mampu membantu mengoptimalkan proses belajar? Jawaban dari

asumsi-asumsi pertanyaan tersebut dapat kita lihat sekilas dari praksis pembelajaran pada

mata pelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah-sekolah pada umumnya.

Pertama, praksis pembelajaran pendidikan agama dan Pancasila di banyak sekolah tidak jauh-

jauh dari aktivitas menghafal dan memahami materi secara tekstual saja. Kurikulum

pendidikan agama di sekolah-sekolah juga lebih banyak ditekankan pada pemahaman

konseptual saja, termasuk tidak banyak yang dikaitkan dengan konteks sosio-kultural di

masyarakat riil. Beberapa nilai-nilai agama yang dibelajarkan melalui praktik nyata di

masyarakat juga terlihat lebih banyak yang merupakan ritual-ritual agama saja, belum yang

betulbetul menyentuh realitas persoalan nilai-nilai dan budaya di masyarakat, sehingga ranah

i
“kebergunaannya” tidak bisa banyak diidentifikasi. Di sisi lain, dalam banyak hal ketika

hampir semua anak-anak sebenarnya telah mendapatkan pendidikan agama di keluarga dan

masyarakat tempat ia tinggal, maka posisi pendidikan agama di sekolah dapat dikatakan

sekadar sebagai sekadar formalitas untuk memenuhi tuntutan yang terdapat di kurikulum saja.

Metode pembelajarannya yang monoton menjadikan banyak siswa mengikutinya lebih karena

merasa sebagai formalitas dan kewajiban pemeluk agama. Merujuk pada penjelasan tersebut

upaya revitalisasi pendidikan Pancasila dengan menggunakan perspektif paradigmatik

pedagogi kritis dan terutama secara lebih operasional melalui literasi kritis amatlah relevan.

Tentu sebagai upaya awal untuk mengenalkan pedagogi kritis pada masyarakat, terutama

literasi kritis untuk para guru pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan belum dapat

mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan Oleh karena itu rangkuman ini difokuskan

untuk mengenalkan pendidikan Pancasila dengan menggunakan pendekatan literasi kritis

pada jenjang SD dan SMP. Harapannya tentu setelah ini dapat diperluas pada jenjang SMA

dan juga perguruan tinggi. Selain itu, karena literasi kritis sebagai sebuah pendekatan

pembelajaran kritis relatif belum banyak dipraktikkan di sekolah-sekolah, terutama untuk

membelajarkan nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila, maka terlebih dulu akan

dilaksanakan pelatihan pembelajaran menggunakan pendekatan literasi kritis. Di sinilah guru-

guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi sasaran utamanya.

i
Konsep dan Teori

BAB I

Apa Itu Pedagogi Kritis?

Semua yang pernah belajar di lembaga pendidikan guru, yang sering disebut sebagai

Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), memiliki pengetahuan bersama yang

sekaligus menjadi ciri mereka, yaitu: Pedagogi atau ilmu-ilmu kependidikan atau Studi

Kependidikan. Dengan kata lain, tidak satupun tamatan LPTK yang tidak mengenal

Pedagogi.Dalam disiplin ilmu atau bidang kajian tersebut terbentang berbagai ragam

pendekatan teoretis. Namun, jika disederhanakan, kita dapat memilah setidaknya menjadi 3

(tiga), yaitu pedagogi yang berlandaskan pada pendekatan psikologis, teknologis, dan

sosiologis. Mengamati apa yang terjadi di LPTK, pendekatan sosiologis hampir dapat

dikatakan tidak tersentuh. Kekosongan pendekatan sosiologis dapat diamati melalui wacana

yang diproduksi para guru dan calon guru, baik dalam percakapan maupun tulisan-tulisan

mereka. Di sisi lain, sebaliknya dapat dikatakan bahwa para calon guru dan guru begitu

didominasi oleh pendekatan psikologis. Menurut kami dominasi dari pendekatan psikologis

tersebut harus ditantang atau minimal dipertanyakan keberadannya. Salah satu pendekatan

sosiologis yang berkembang sejak dekade 1980-an adalah apa yang disebut “pedagogi kritis”

(critical pedagogy). Kita dapat mengatakan bahwa pedagogi kritis — sebagai pendekatan

pendidikan—adalah pendekatan yang mencoba melawan pendekatan pendidikan psikologis,

seperti pendekatan behavioristik yang digunakan oleh kebanyakan guru dalam kegiatan

mengajarnya. Pada bab ini uraian mengenai pedagogikritis sifatnya sekadar sebagai

pengantar, oleh karena itu diharapkan para guru dan calon guru selanjutnya dapat mencari

buku-buku sumber acuan tulisan ini untuk memahami lebih mendalam mengenai pedagogi

kritis sebagai dasar dalam memahami paradigma yang diacu oleh literasi kritis (critical

1
literacy) dalam bahasan selanjutnya. Perkembangan pedagogi kritis cukup menggembirakan,

ia hadir dalam berbagai jenis gagasan dan praksis pedagogi kritis di ranah ilmu-ilmu

kependidikan dan praksis pendidikan. Hal ini terlihat salah satunya dengan telah

diterbitkannya ratusan, bahkan ribuan artikel mengenai Pedagogi Kritis, termasuk yang

berbahasa Indonesia (Mansour Fakih, Roem Toepatimasang, dan Toto Rahardjo,2001).

Pendekatan pendidikan ini, dengan demikian, telah menjadi begitu kompleks. Oleh karena

itu, usaha merangkum pedagogi kritis dalam beberapa halaman adalah suatu kerja yang tidak

mungkin dan bahkan dapat dikatakan aneh. Kesulitan ini tentu tidak mudah dipecahkan. Apa

yang kami lakukan ini adalah mencoba membimbing para pembaca, khususnya para guru dan

calon guru, ke “pintu” pengantar untuk dapat memahami konsepsi dasar dari pedagogi kritis

saja. Jadi bab ini bukanlah bab penjelasan pedagogi kritis secara komprehensif tapi

penjelasan pedagogi kritis secara sepintas. Sekalipun begitu, kami mencoba berusaha

menjelaskannya dengan bahasa yang sesederhana mungkin. Bab ini akan diawali dengan

penguraian tokoh pedagogi kritis, yaitu Paulo Freire; kedua, perkembangan Pedagogi Kritis

di Indonesia; dan diakhiri dengan penjelasan singkat beberapa konsep penting Pedagogi

Kritis.

Siapa itu Paulo Freire? Pembahasan Pedagogi Kritis tidak bisa tidak kita harus

bersentuhan dengan tokoh utama pedagogi kritis bernama Paulo Freire, sekalipun bukan dia

yang menciptakan istilah atau nama pedagogi kritis. Namun melalui pemikirannya mengenai

pendidikan, khususnya melalui buku pertamanya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed

(1972), lahir konsep pemikiran dan praksis pedagogi kritis. Untuk itu tidak bisa tidak, kita,

para guru dan calon guru yang berhasrat mengenal pedagogi kritis harus mengenal dengan

cukup baik kehidupan Paulo Freire. Perkenalan kita dengan Freire dapat kita awali dengan

melihat sepintas jejak kehidupannya. Apa yang dialami Paulo Freire di masa sekolahnya

tampak tidak secerah yang kita bayangkan. Dia berangkat ke sekolah dengan perut

2
keroncongan dan yang menyedihkan, dia dinilai sebagai anak berkelainan mental. Apa yang

dapat kita catat dari uraian singkat kehidupan Paulo Freire adalah: kita sebagai guru tidak

bisa menyampingkan hubungan antara kelas sosial dan pengetahuan. Atau lebih jauh lagi,

kita tidak dapat mengabaikan hubungan keberhasilan pendidikan atau keberhasilan

persekolahan dengan kelas sosial.

Konsep-konsep dasar Pedagogi Kritis

Sebelum kita menguraikan konsep-konsep pedagogi kritis, kita perhatikan lebih

dahulu pengertian pedagogi kritis. Pedagogi kritis adalah pendekatan pendidikan yang

berusaha menolong murid untuk mempertanyakan dan menantang pendominasian, dan

kepercayaan dan praktik-praktik yang mendominasi mereka. Berikut di bawah ini diberikan

beberapa konsep kunci dalam memahami gagasan dasar dan praksis pedagogi kritis

Hegemoni

Para ahli pedagogi kritis menghasilkan konsep-konsepnya didasari atas pengamatan

mereka di sekolah. Sekolah bagi mereka, dengan memperhatikan apa yang dilakukan para

guru, murid, administrator, hanya menjalankan berbagai nilai yang dimiliki dan dijalankan

kelompok tertentu yang mendominasi. Mereka tidak lagi mempertanyakan nilai-nilai yang

diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, apa yang diajarkan di sekolah diterima sebagai

sesuatu yang masuk akal. Artinya apa yang diajarkan diterima begitu saja, tanpa

dipertanyakan kembali, hingga akhirnya menjelma menjadi ideologi yang cukup diyakini

tanpa dikritik.

Seperti kita ketahui, di masyarakat terdapat berbagai kelompok sosial yang berbeda

satu sama lain. Realitas menunjukkan bahwa kelompok yang didominasi relatif menerima

begitu saja tanpa perlawanan ide-ide, kepercayaankepercayaan yang berasal dari kelompok

3
dominan. Kepercayaankepercayaan, ide-ide atau ideologi kelompok dominan tersebut

disampaikan melalui kurikulum, peraturan-sekolah, buku-buku pelajaran, film-film,

nyanyian-nyanyian yang diberikan kepada anak murid di sekolah. Pendominasian tanpa

perlawanan ini disebut hegemoni. Sayangnya realitas sosial mengenai praktik dominasi dan

hegemoni ini tidak banyak dipahami dan disadari, oleh karena itu menjadi wajar jika

kelompok-kelompok sosial yang didominasi menerima begitu saja nilai-nilai dan

pengetahuan dari kelompok yang mendominasi, karena memang mereka tidak tahu bahwa

yang terjadi adalah praktik hegemoni yang membuat pengetahuan menjadi beku, tidak

berkembang, dan seringkali menutupi praktik diskriminasi, ketidakadilan, dan sejenisnya.

Dialog

Dialog adalah konsep kunci dalam pedagogi kritis. Bagi Freire, dialog adalah suatu

relasi horisontal yang penuh persahabatan antara dua individu yang dipenuhi cinta, harapan,

kepercayaan diri, dan juga penilaian kritis. Apa makna hubungan horizontal untuk guru dan

siswa? Kembali menurut Freire, posisi yang sejajar antara siswa dan guru di sekolah atau di

kelas membawa mereka ke sikap saling pengertian antara guru dan siswa. Saling pengertian

ini adalah unsur afektif utama dari pendidikan dialogis yang diusung oleh Freire. Makna lain

dari konsep dialog yang diusung Freire adalah adanya pengertian saling berbagi dan saling

memberi antara guru dan siswa yang berdialog. Dialog juga berkaitan erat dengan

komunikasi. Kedua konsep tersebut tidak saja merupakan konsep penting dalam praksis

pendidikan, tetapi juga menunjukkan bahwa kedua konsep tersebut selalu berjalan beriringan.

Dialog dan komunikasi tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Dalam pengertian inilah kita

dapat memahami ketika Freire mengatakan: dalam suasana dialoglah, manusia berkembang

Konsep dialog yang ditekankan para ahli pedagogik kritik tidak lain untuk

mempertentangkan dengan konsep anti-dialog dalam praksis pembelajaran dan pendidikan.

Hubungan antara guru dan murid dalam pendidikan yang berisi, sarat dengan dialog, tentu

4
berbeda dari hubungan antara guru dan murid yang “anti-dialog”. Sayangnya model

pendidikan yang antidialog sekarang masih dominan menguasai pola pikir orangorang yang

berada di sekolah. Apa ciri pendidikan anti-dialog? Dialog bercirikan di antaranya dalam

bentuk relasi horizontal, penuh dengan cinta, harapan antar manusia yang berkomunikasi,

sedangkan pendidikan anti-dialog bersifat, antara lain, relasi vertikal, tanpa cinta, kosong dari

nalar kritis. Fakta bahwa praksis pendidikan anti-dialog masih menyelimuti dunia pendidikan

sekarang ini, terutama pendidikan formal persekolahan (schooling), Freire mengajak para

guru untuk “melawan” praksis pendidikan anti-dialog melalui apa yang disebut sebagai

gagasan dan praksis “pedagogi komunikatif”, atau “pedagogi dialogis”, yaitu pedagogi yang

didasari atas konsep dialog.

Pemerdekaan

Mendidik, bagi pedagogi kritis, bukan pendidikan laisezfaire yang hanya menekankan

pada kebebasan sepenuhnya pada diri seseorang. Mendidik adalah menawarkan satu arah

kepada siswa, arah yang merupakan bagian dari kegiatan pendidikan, dan bukan satu-satunya

arah yang dipaksakan guru. Dan arah tersebut membentuk seseorang menjadi aktor sosial

yang berfungsi membebaskan diri dan membebaskan orang lain dari kungkungan kultur kelas

dominan. Dalam pengertian ini pemerdekaan ini sama sekali tidak bersifat individual, tetapi

sosial; pendidikan tidak ditujukan hanya untuk mencapai prestasi individu, lebih dari itu

ditujukan untuk memerdekakan diri individu, kelompok sosial, dan lingkungan dari

penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan sejenisnya. Dalam konteks ini, merujuk pada

Freire, pedagogi kritis, melalui pendidikan pemerdekaan, menekankan pendidikan yang

berporoskan pada revolusi kultural

5
Lontar Masalah

Jika kita perhatikan kegiatan di ruang kelas belajarmengajar suatu sekolah, dengan

cepat dan tanpa kesulitan, kita akan melihat sang guru begitu menguasai kelas. Sang guru

bisa dikatakan tidak saja menguasai ruang tetapi juga waktu untuk berbicara tak henti-

hentinya. Dia sibuk menyampaikan pengetahuan yang tertulis di buku ajar tanpa

memperhatikan keinginan murid-muridnya. Pengajaran satu arah ini, yang dalam bahasan

sebelumnya dapat disebut sebagai pengajaran anti-dialogis,masih saja menyelimuti ruang-

ruang kelas sekolah sampai sekarang. Pedagogi Kritis menyadari bahwa model pengajaran

tersebut tidak seharusnya menguasai sekolahsekolah. Lalu apa yang ditawarkan Pedagogi

Kritis? Para ahli pedagogi kritis mengusung pendidikan yang bertumpu pada pertanyaan-

pertanyaan yang dilahirkan secara alamiah oleh guru beserta murid-muridnya, yang dalam

konteks ini disebut sebagai pendidikan yang sarat dengan “lontarmasalah” (problem posing).

Di sini, guru tidak lagi melulu sebagai penyampai informasi, melainkan, merujuk pada

pendapat Ira Shor (1992), guru lebih sebagai sebagai “pelontar masalah” (teacher as problem-

poser) Sebagai “pelontar masalah”, seorang guru bisa memulai pelajaran tentang “kebaikan”

di awal pelajaran dengan pertanyaan-pertanyaan, “Apa yang dipahami oleh anak mengenai

pengertian ‘anak yang baik’?” Setelah memperoleh jawaban, sang guru dapat melanjukan

pertanyaan, “Bagaimana menjadi anak yang baik?”; “Anak yang baik menurut siapa ?” “Apa

yang dilakukan sekolah terhadap anak yang baik?”; “Apakah setiap anak yang baik

memperoleh perlakuan yang sama dari sekolah?” “Jika tidak, apa sebab?”; “Siapa yang

diuntungkan dengan definisi anak baik yang dibuat dan diajarkan di sekolah?” Dalam kelas

guru sebagai seorang “pelontar masalah” akan mengantar murid-muridnya menjadi “pelontar

masalah” juga. Paling tidak, kelas sang pelontar masalah akan membawa murid-muridnya

aktif dan berpikir kritis. Singkat kata, bersama guru “pelontar masalah” di dalam kelas akan

lahir praksis pembelajaran dan pendidikan dialogis.

6
Bahasa Kritis dan Bahasa Posibilitas

Bahasa kritis (language of critique) dan bahasa posibilitas (language of possibility)

merupakan dua konsep penting dalam Pedagogi Kritis. Bahkan dapat dikatakan pedagogi

kritis bertujuan mencampur atau mengelaborasi “bahasa kritis” dengan “bahasa posibilitas”

dalam praksis pendidikan (Giroux, 1988). Sebagai awal, konsep “bahasa kritis” dapat

dipahami sebagai daya baca, pemahaman, analisis, dan artikulasi secara kritis terhadap

realitas sosial masyarakat dan praksis pendidikan, hingga dapat melihat praktik-praktik

ketidakadilan, diskrmininasi, pembodohan dan lainnya di balik realitas sosial. Dengan kata

lain, tidak terjebak pada pandangan dan sikap yang menerima realitas sosial masyarakat dan

praksis pendidikan sebagai kondisi yang baik-baik saja, melainkan bergerak lebih lanjut

dengan melihatnya secara kritis. Selanjutnya, “bahasa posibilitas” dapat dipahami sebagai

daya imajinasi dalam melihat kemungkinan-kemungkinan (possibilities) bahwa sebenarnya

kita dapat membangun realitas sosial lain, yang berbeda dari yang sekarang ada, yang lebih

baik, lebih adil, mencerdaskan, memberdayakan, dan menyejahterakan. Realitas sosial

masyarakat dan praksis pendidikan sekarang yang dikendalikan oleh logika dan hasrat

kapitalisme bukanlah sesuatu yang tak dapat dirubah, selalu terdapat kemungkinan untuk

merubahnya menjadi lebih baik. Jadi, “bahasa kritis” adalah daya kritis dalam mengungkap

realitas sosial dan “bahasa posibilitas” adalah gambaran dan arah untuk melakukan tindakan

(action) riil perubahan atau transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Guru yang

“berbahasa kritis” artinya adalah guru yang dapat memahami realitas sosial dan masyarakat

secara kritis, guru yang mempertanyakan kerangka interpretasi yang telah ada dan dipilih,

termasuk penafsiran-penafsiran dan pemahaman mengenai pendidikan dan pengajaran.

Melalui “bahasa kritis” guru akan menyadari secara kritis keadaannya dan akan mencapai

kesadaran kritis. Bersama kesadaran kritis ini, guru akan memperkuat hasrat mengubah

7
keadaan. Dengan kata lain, kesadaran kritis mengantar guru ke “bahasa posibilitas”, yaitu

bahasa yang mengantar guru dan murid-murid berhasrat yang tinggi untuk menjelajahi

alternatifalternatif atau kemungkinan (posibilitas) baru, selain dari realitas sosial yang ada

sekarang ini. Bahasa posibilitas dengan demikian, mengikuti ungkapan Giroux, adalah bahasa

yang merujuk pada the language of the “not yet”’, yaitu bahasa yang meminta kita

menggunakan imajinasi dan memeliharanya dengan baik untuk memperlihatkan dengan kritis

apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi. Bahasa Kritis biasanya disebut juga “bahasa

keputusasaan”, karena itu dia harus ditemankan dengan bahasa posibilitas, bahasa harapan,

bahasa, yang menurut Freire, menerima utopia sebagai mimpi yang mungkin direalisasikan.

Disebut “bahasa keputusasaan” karena melihat realitas sosial sebagai fakta riil yang tak

terelakkan dan dirasa sulit untuk dirubah karena dominasi dan hegemoni yang begitu kuat,

sebagaimana yang kita lihat pada gagasan dan praksis pendidikan liberal dan bernuansa

kapitalis sekarang ini di Indonesia. Di sisi lain, bahasa posibilitas menjadi dasar argumentasi

bahwa dominasi dan hegemoni pendidikan liberal dan kapitalis sekarang ini bukanlah hal

yang sama sekali tidak bisa dirubah, imajinasi terciptanya praksis pendidikan yang

membebaskan dan transformatif tidak tertutup realitasinya.

Seperti yang dikemukakan di atas, bab ini hanya bertujuan hanya mengantar ke

“pintu” pemahaman dasar mengenai pedagogi kritis. Setelah membaca pengantar menuju ke

pintu Pedagogi Kritis ini, para pembaca dapat meneruskan perjalanannya untuk memasuki

pintu pedagogi kritis. Untuk mengakhiri uraian saya ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa

pedagogi kritis sebagai pendekatan,

seperti yang dirinci di atas, adalah pendekatan pendidikan yang diharapkan tidak saja

menghidupkan kelas dengan pertanyaan pertanyan kritis tetapi juga sekaligus membawa

harapan akan perubahan keadaan, yaitu keadaan yang memperlihatkan jarak yang jauh antara

apa yang ada dan terjadi di dalam pendidikan (riil) dengan yang seharusnya terjadi (ideal)

8
keadaan yang menunjukkan kesenjangan antara mereka yang berlebihan dan mereka yang

terkuras, seperti diungkapkan W.S. Rendra dalam puisinya “Sajak Sebatang Lisong”:

“dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya: kita ini dididik untuk memihak

yang mana? ilmu-ilmu diajarkan disini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat

penindasan?”

9
BAB II

Literasi dan Literasi Kritis?

Bagaimana pedagogi kritis dipraktekkan di dalam kelas? Literasi kritis (critical literacy)

merupakan salah bentuk penerapan pembelajaran dengan pendekatan pedagogi kritis. Untuk

memahami literasi kritis, kita harus memahami dulu apa itu literasi. Literasi pada dasarnya

adalah kemampuan berbahasa, yang terdiri dari empat unsur utama: mendengarkan atau

menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Jadi,

secara ringkas literasi kritis adalah literasi yang menggunakan perspektif pedagogi kritis.

Bagian ini akan membahas tentang persoalan literasi, konsep literasi kritis, dan bagaimana

mempraktekkan literasi kritis di dalam kelas. Kemampuan berbahasa pada dasarnya melekat

pada diri semua orang. Dalam kondisi normal, seorang bayi secara alamiah memiliki

kemampuan bahasa. Beberapa saat setelah dilahirkan, secara natural ia akan mengamati

gerak-gerik ibu dan ayahnya, mengamati situasi di sekelilingnya. Dengan cara itu pula secara

perlahan ia akan meniru gerakan bibir ibu dan orang-orang yang berada di dekatnya. Dari

bunyi-bunyian yang tidak jelas, ia kemudian bisa mengucapkan beberapa kata dan akhirnya

bisa membuat kalimat sederhana. Dengan mengamati, mendengarkan, mencoba

menggerakkan bibir, hingga mengeluarkan kata-kata. Begitulah seseorang bisa berbicara.

Tidak perlu sebuah usaha khusus yang dilakukan secara sistematis Berbeda dengan

kemampuan mendengarkan dan berbicara, kemampuan membaca dan menulis hanya bisa

diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus. Ini adalah kharakteristik yang membedakan

antara seorang terdidik dengan yang lainnya—yang “tidak terdidik”. Seseorang baru bisa

dikatakan terpelajar atau literate apabila ia menguasai empat unsur kemampuan berbahasa

sekaligus: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Tanpa memiliki kemampuan

membaca dan menulis, seseorang belum dapat disebut sebagai telah memiliki kharakter

sebagai seorang terdidik. Setinggi apapun sekolah yang diikuti atau ijazah yang diperolehnya,

1
apabila ia tidak memiliki kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis secara

bersamaan ia bukanlah seorang terdidik. Oleh karena itu kemampuan berbahasa atau literasi

harus menjadi jantung pembelajaran di sekolah. Di sinilah letak persoalannya. Sekolah tidak

menjadikan literasi sebagai hal yang penting. Murid tidak dilatih secara terus-menerus

mempertajam kemampuan berbahasanya, terutama dalam membaca dan menulis. Sehari-hari

anak hanya dihadapkan pada latihan soal. Membaca buku bukan menjadi menu sehari-hari di

sekolah, bahkan sekolah-sekolah yang memakai label rintisan berstandar nasional. Murid

hanya disodori buku-buku pelajaran. Padahal buku pelajaran tidak lain merupakan

pengetahuan yang disimplifikasi, atau disederhanakan, dan dipadatkan. Dalam era informasi

seperti sekarang, terjadi apa yang disebut ledakan informasi. Akibatnya, makin hari makin

banyak dan makin tebal buku-buku pelajaran yang harus dibawa anak. Anak kemudian

dijejali informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Seolah kita tidak peduli bahwa

kapasitas otak manusia terbatas. Pendididikan ala bank, dengan menjejalkan sebanyak-

banyaknya pengetahuan pada anak bukanlah pendidikan yang mencerdaskan. Padahal

pendidikan seharusnya memberikan kepada pancing kepada murid, bukan ikannya. Pancing

di sini tidak lain adalah kemampuan untuk mencari dan menyerap pengetahuan. Kemampuan

ini sebagian besar ditentukan oleh kemampuan baca. Kemampuan baca pada gilirannya

mempengaruhi kemampuan menulis. Tanpa memiliki kemampuan membaca, seseorang tidak

mungkin menguasai kemampuan menulis dengan baik. Sama juga dengan kemampuan

membaca, kemampuan menulis harus diasah terus-menerus. Sekolah memiliki tanggung

jawab utama dalam mengembangkan kemampuan ini Sebagai jantung pembelajaran di

sekolah, literasi bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa. Tanggung jawab utama

memang berada di pundak guru bahasa. Akan tetapi semua guru juga memiliki tanggung

jawab bersama mengembangkan kemampuan literasi murid-muridnya, termasuk guru sains,

matematika, atau olahraga. Guru hanya bisa melaksanakan kewajiban itu apabila guru itu

1
sendiri sadar bahwa secara terus-menerus ia harus mengembangkan kemampuan membaca

dan kemampuan menulisnya. Guru dan murid sama-sama pembelajar.

Kelompok Paedia

Persoalan literasi bukan hanya masalah di Indonesia. Di Amerika Serikat pun, literasi

masih menjadi problem. Masalah ini yang melatarbelakangi munculnya kelompok

pembaharuan pendidikan Paedia yang dipimpin oleh Mortimer Adler pada 1980-an. (lihat

Barzun, 2009) Salah satu ciri dari sekolah Paedia adalah menempatkan literasi sebagai hal

yang utama dalam proses pembelajaran, dari tingkat SD sampai SMA. Kelompok ini

membuat sebuah daftar bacaan untuk siswa kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA berdasarkan

kelompok umur. Daftar itu mencakup ratusan buku, yang terdiri dari buku fiksi dan nonfiksi.

Termasuk dalam daftar bacaan itu adalah buku-buku kumpulan puisi, drama, feature dan

biografi, serta filsafat. Kelompok Paedia membagi pembelajaran dalam tiga kolom (lihat

tabel). Pengajaran, ceramah, dan respon terhadap teks berada pada kolom pertama.

Tujuannya adalah menyerap pengetahuan. Pada kolom kedua, pembelajaran diarahkan pada

pengembangan keterampilan intelektual dan keterampilan belajar. Metode yang dipergunakan

adalah membaca, menulis, dan mendengarkan. Sedangkan pada tingkat tertinggi,

pembelajaran diarahkan untuk perluasan dan pendalaman ide dan nilai-nilai. Metode yang

digunakan adalah pertanyaan sokratik dan diskusi buku atau karya seni. Di Indonesia, metode

membaca dan menulis pun belum lazim dipraktekkan, apalagi diskusi-diskusi buku dan

pertanyaan-pertanyaan sokratik Di sekolah-sekolah kita, bahkan dalam pelajaran bahasa

Indonesia pun literasi bukan menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran. Apalagi

untuk bidang sains dan matematika. Terlalu dini anak-anak Indonesia dijuruskan dalam

bidang-bidang studi yang sangat spesifik dan kemudian dipaksa memakai kaca mata kuda.

Membaca buku tidak pernah disentuh dalam pembelajaran matematika, fisika, kimia, maupun

biologi di tingkat SMA. Padahal di pasar tersedia banyak buku menarik untuk pembelajaran

1
sains, seperti buku karya Alfred Russel Wallace, Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah

Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam yang diterbitkan Komunitas Bambu (2009) dan buku

karya Simon Winchester, Krakatoa: Ketika Dunia Meledak bisa menjadi bacaan yang sangat

mengesankan dan tidak akan dilupakan untuk anak-anak SMA.

Dengan membaca Krakatoa, anak akan memahami bahwa ilmu pengetahuan bukanlah

sebuah barang mati yang berdiri sendiri. Di sini tidak ada tembok yang memisahkan antara

ilmu alam dan ilmu sosial. Geologi, fisika, biologi, sejarah, politik, sastra, dan seni berpadu

menjadi sebuah karya ilmiah naratif yang mengagumkan. Mengajari anak membaca buku-

buku teks semacam ini memang memerlukan waktu, tenaga, selain juga kesabaran. Pada bab-

bab pertama anak perlu diajak membaca bersamasama dan diskusi. Setelah itu anak akan bisa

menyelesaikan bacaannya sendiri. Dan sekali anak lolos membaca buku-buku ini, ia akan

memiliki kemampuan membaca buku-buku lainnya. Kekuatan membaca anak dipastikan

akan luar biasa apabila proses ini dilakukan berulang kali. Di sinilah hakikat pendidikan

“memberikan kail, bukan pancingnya”

Literasi Kritis

Bagaimanapun literasi saja tidak mencukupi. Membangun pemahaman kritis

penggunaan bahasa secara kritis tanpa memperhatikan nilai-nilai sosial akan menghadapkan

risiko memberikan alat yang ampuh yang justru bisa dipergunakan untuk melawan keadilan

sosial (Doziers, Johnson, dan Rogers, 2006).

Literasi, sebagaimana dikemukakan Gramsci, merupakan pedang bermata dua. Ia

dapat dipergunakan untuk pemberdayaan diri sendiri atau pemberdayaan sosial. Sebaliknya ia

dapat pula menjadi alat untuk melanggengkan represi dan donimasi. Oleh karena itu, menurut

Henry Giroux, perlu disadari tentang perlunya menghadirkan sebuah pandangan radikal

literasi yang menggulirkan pentingnya menyebutkan dan mentransormasi ideologi maupun

1
kondisi sosial yang melemahkan peluang bentuk-bentuk komunitas dan kehidupan publik

yang diorganisasikan berdasarkan demokrasi kritis. Persoalan ini, menurut Giroux, bukan

hanya terkait dengan kelompok miskin dan minoritas saja tetapi juga problem yang dihadapi

kelas menengah dan atas yang ditarik dari kehidupan publik ke dalam dunia yang disapu oleh

privatisasi, pesimisme dan ketamakan (Giroux, 2005)

Literasi kritis secara ringkas dapat dipahami sebagai kemampuan membaca teks

secara aktif dan reflektif dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang

kekuasaan, ketidaksamaan atau kesenjangan, dan ketidakadilan dalam relasi manusia. Literasi

kritis cukup populer dipergunakan sebagai pendekatan pembelajaran bahasa seperti di

Australia dan Kanada akan tetapi literasi kritis di sini telah mengalami deideologisasi dengan

menanggalkan asumsi tentang terjadinya penyelahgunaan kekuasaan sebagai penyebab

ketidakadilan.

Teks dalam literasi kritis didefinisikan sebagai sebuah kendaraan bagi individu-

individu untuk berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan kode-kode dan

konvensikonvensi yang diterima suatu masyarakat. Oleh karena itu lagu, dialog, gambar,

film, internet, dan sebagainya juga dipandang sebagai teks.

Literasi kritis berkembang dari pedagogi kritis yang dipelopori oleh Paulo Freire yang

muncul dalam bukunya Pedagogi Kaum Tertindas (Pedagogy of the Opressed). Freire

menekankan urgensi menumbuhkan kesadaran sosial siswa dengan cara melakukan kritik

terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Proses

penyadaran ini tidak akan muncul dalam sistem pendidikan ala bank di mana siswa

diperlakukan seperti bejana kosong yang menunggu untuk diisi. Penyadaran tidak bisa

dilakukan ketika pendidikan dihinggapi “penyakit narasi” tetapi hanya bisa dilakukan apabila

siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruksikan kembali pengetahuan yang ia terima

1
berdasarkan pengalaman yang telah ia miliki. Sebagai konsekuensinya guru dan murid harus

berada dalam posisi yang sejajar. Guru adalah pengajar sekaligus pembelajar. Sebaliknya

murid selain pembelajar juga sekaligus merupakan pengajar. Interaksi dialogis, bukan

instruktif merupakan karakteristik dasar literasi kritis (Freire, 2005)

Freire berpendapat bahwa membaca tidak hanya terdiri dari aktivitas

menginterpretasikan kata-kata atau bahasa, tetapi didahului dan saling bersinggungan dengan

pengetahuan tentang dunia. Bahasa dan realitas, menurut Freire, saling terhubung sehingga

pemahaman yang dicapai dalam membaca kritis harus melihat keterkaitan antara teks dan

konteks. “Membaca dunia selalu diawali dengan membaca kata, dan seterusnya membaca

kata berarti membaca dunia,” kata Freire. Karena itu literasi merupakan gerakan dinamis

yang melibatkan persepsi kritis, interpretasi dan menuliskan kembali apa yang telah dibaca

(Freire dan Macedo, 2005).

Bagi kaum Frerian, literasi kritis merupakan cara untuk memberdayakan kelompok

tertindas melawan penindasan dan pemaksaan yang biasa dilakukan oleh korporasi atau

negara. Tujuan akhir literasi kritis adalah mengatasi atau menghapuskan ketimpangan sosial

dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul akibat penyalahgunaan kekuasaan melalui

pengujian, analisa, dan dekonstuksi teks. Dengan catatan, dekonstruksi dilakukan secara

proporsional sehingga tidak merusak bangunan teks itu sendiri.

Bagi kaum Frerian, literasi kritis merupakan cara untuk memberdayakan kelompok

tertindas melawan penindasan dan pemaksaan yang biasa dilakukan oleh korporasi atau

negara. Tujuan akhir literasi kritis adalah mengatasi atau menghapuskan ketimpangan sosial

dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul akibat penyalahgunaan kekuasaan melalui

pengujian, analisa, dan dekonstuksi teks. Dengan catatan, dekonstruksi dilakukan secara

proporsional sehingga tidak merusak bangunan teks itu sendiri.

1
Pendekatan literasi kritis mendorong siswa untuk mempertanyakan perbagai persoalan

terkait issu relasi kekuasaan yang muncul dalam kesenjangan sosial yang dilatarbelakangi

status sosial ekonomi, ras, kelas, gender, orientasi sosial, dan sebagainya. Menjadi “literate”

secara kritis berati menguasai kemampuan untuk membaca dan mengkritisi pesan-pesan

dalam teks untuk memahami dengan lebih baik pengetahuan siapa yang diuntungkan (Coffey,

2010). Teks sering diproduksi berdasarkan asumsi, prasangka, diskriminasi, atau agenda

tersembunyi penguasa politik atau bisnis. Agar siswa dapat menjadi pembaca kritis ia harus

mampu membaca secara reflektif, memberikan makna pada pesan yang disampaikan, bukan

sekedar mengamati kata-kata atau memahami isi bacaan

Pengajaran dan pembelajaran literasi kritis dibangun dengan melontarkan pertanyaan

kepada murid, mendorong murid mencari jawaban, dan melakukan aksi. (Johnson dan

Rogers, 2006). Membaca, kritik sosial, analisa sosial, dan aksi sosial merupakan alat untuk

mewujudkan sebuah tatanan yang berbeda dari yang ada saat ini. Melalui kritik sosial, kita

mulai mempertanyakan mengapa hal-hal seperti ini terjadi; melalui analisa sosial, kita mulai

melihat relasi yang lebih luas serta persoalan kekuasaan dan kontrol yang terjadi dalam

komunitas dan masyrakat kita; dan melalui aksi sosial kita bertindak berdasarkan kritik dan

analisis reflektif dalam rangka menempatkan diri kita dalam posisi yang berbeda (Vasquez,

2004).

Oleh karena literasi kritis mensyaratkan integrasi kegiatan membaca atau memahami

teks dengan pembelajaranyang bersifat dialogis di mana guru melontarkan pertanyaan-

pertanyaan untuk merangsang terjadinya diskusi dan pemikiran mendalam. Membaca

reflektif tidak hanya akan mendorong siswa untuk mengaitkan teks dengan pengalaman

pribadi maupun konteks sosial tetapi juga akan menghubungkan teks dengan dunia yang lebih

luas di luar sekolah. Dalam hal ini kepiawaian guru dalam melontarkan pertanyaanpertanyaan

untuk merangsang dialog yang menggugah emosi dan pemikiran yang mendalam

1
sebagaimana dalam kelas Sokratik menjadi sangat krusial. Dalam pembahasan karya sastra,

misalnya, jauh lebih penting dialog tentang bagaimana penilaian siswa tentang bacaan

tersebut, adegan mana yang lucu atau membuat sedih, siapa tokoh yang jahat dan baik, dan

pertanyaan-pertanyaan yang menggugah emosi, empati, dan perasaan simpati yang kuat

terhadap orang yang menderita atau korban daripada diskusi tentang unsur-unsur kritik sastra.

Dalam mendiskusikan teks, salah satu aspek yang penting adalah bagaimana teks tersebut

dapat menggugah kesadaran siswa untuk bertindak. Ini bisa dilakukan dengan melontarkan

pertanyaan-pertanyaan, seperti “Apa yang kamu lakukan seandainya kamu adalah si X?”

Kemudian guru dapat mengajak siswa untuk melihat situasi ketidakadilan di lingkungan

sekitar yang mirip dengan situasi dalam teks dan meminta siswa untuk memikirkan apa yang

bisa dirancang dan dilakukan oleh siswa untuk mengatasi persoalan itu. Bertolak dari inilah

aksi konkret bisa dilakukan, seperti membuat petisi, mengirim surat pembaca, menyurati

instansi-instansi yang dipandang harus bertanggung jawab terhadap situasi tersebut.

Dengan demikian literasi kritis terkait erat dengan aspek konatif, atau kemauan untuk

bertindak, yang esensial tetapi sering dilupakan dalam proses pendidikan. Aspek konatif ini

akan menginternaliasikan keharusan seseorang untuk ikut bertanggungjawab dan bersikap

terhadap situasi yang terjadi di lingkungan dan ikut mengambil bagian secara aktif dalam

proses perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih adil. Pembelajaran liteasi kritis akan

mengubah perspektif pendidikan dari semata-mata sebagai proses mempersiapkan anak

menjadi individu yang siap berkompetisi dalam pasar terbuka tetapi untuk mempersiapkan

pula siswa menjadi bagian dari warga negara yang berani memulai perubahan.

1
BAB III

Belajar Dengan dan Melalui Seni

kelas pedagogi kritis dan praktek pembelajaran literasi kritis sangat erat kaitannya

dengan seni (dan sastra). Karena pada dasarnya setiap manusia menyukai seni, pembelajaran

dengan dan melalui seni akan membuat kelas menjadi menarik dan menyenangkan, bukan

hanya bagi murid tetapi juga bagi gurunya. Dengan menggunakan karya sastra—seperti puisi,

cerpen, atau novel, misalnya—pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau sejarah bisa

lebih hidup, tidak membosankan seperti ketika murid harus berhadapan dengan teks buku

pelajaran yang kaku.

Mengajar dengan dan melalui seni juga akan membantu guru mengatasi kesulitan

membuat murid-muridnya kerasan di kelas. Tidak semua guru memiliki bakat alam mengajar

dengan ceramah yang memukau. Seni dalam pembelajaran bisa membantu guru untuk

menguatkan posisinya di dalam kelas. Mengajar dengan dan melalui seni akan membuat kita

bisa mengatasi keterbatasan personal dengan terciptanya kelas yang interaktif dan kreatif

Pembelajaran dengan dan melalui seni sedikit terkendala bila guru tidak mengenal

atau tidak menyukai seni. Apalagi seni tidak menjadi bagian penting dalam pendidikan guru

di Indonesia selama ini. Guru yang tidak suka puisi, misalnya, akan kesulitan

menyelenggarakn pembelajaran dengan menggunakan puisi. Dalam situasi ini maka langkah

pertama yang harus dilakukan guru adalah berusaha untuk menyukai seni, dengan mulai

membaca puisi, cerpen, atau karya sastra lainnya serta berbagai bentuk karya seni visual,

seperti foto, lukisan, film. Di dalam kelas, guru dan murid bisa sama-sama belajar untuk

menikmati seni. Guru harus memilih bahan ajar yang memang sesuai dengan karakter yang ia

sukai, misalnya; lagu, film, drama, ataupun tarian. Pada kenyataannya, produk seni yang

1
paling sering dijadikan sebagai media pembelajaran adalah musik, baik itu musik tradisional

ataupun modern.

Tetapi guru tetap harus berhati-hati apabila menggunakan seni sebagai alat

pembelajaran. Jangan sampai justru seni itu sendiri yang menjadi subyek pembahasan bukan

nilai-nilai pelajaran yang sedang dibahas. Misalnya, ketika seorang guru mengajarkan materi

sejarah dengan menggunakan lukisan, siswa justru cenderung membahas soal lukisan bukan

materi sejarahnya. Untuk menghindari hal ini, guru bisa melakukan dialog dengan siswanya.

Secara teknis ia memberikan pertanyaan-pertanyaan pada siswa mengenai lukisan itu yang

disesuaikan dengan konteks materi sejarah yang sedang mereka pelajari

Belajar Melalui Seni

Ada sedikitnya tiga hal yang bisa dijadikan alasan mengapa pembelajaran dengan dan

melalui seni perlu dilakukan. Pertama, seni memiliki daya tarik. Pada dasarnya, semua orang

termasuk guru pasti menyukai seni dalam berbagai bentuk. Kedua, seni merupakan cermin

kehidupan nyata yang multi-interpretasi. Ketiga, seni adalah media untuk mengekspresikan

gagasan dan emosi. Dari ketiga poin ini, poin yang paling penting adalah yang pertama, yakni

daya tarik. Daya tarik inilah yang akan membantu proses pembelajaran berjalan dengan lebih

efektif dan meningkatkan relasi guru dan murid ke level dialogis, bukan monologis. Seni dan

sastra erat menghubungkan seseorang dengan ide dan emosi. Sayangnya pembelajaran seni di

sekolahsekolah tidak dianggap penting. Pembelajaran seni dan sastra cenderung terpisah dari

kurikulum pokok dan hanya dianggap sebagai pengayaan atau pelengkap saja.

Seni pada dasarnya dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran lain, baik bidang

sosial ataupun sains. Kita perlu membedakan antara belajar tentang seni (about art) dan

belajar melalui seni (through art). Belajar tentang seni adalah belajar seni sebagai sebuah

disiplin atau mata pelajaran sebagaimana kita pahami secara tradisional. Belajar melalui seni

1
adalah menggunakan seni sebagai alat atau strategi pengajaran untuk membantu murid

memahami konten (isi) pembelajaran, bukan tentang seni itu sendiri

Belajar dengan seni berarti belajar sesuatu dengan menggunakan karya seni sebagai

sumber belajar. Sebagai contoh, kita bisa menggunakan lagu atau puisi untuk menambah

perbendaharaan kata murid-muridnya. Sedangkan belajar melalui seni, berarti murid

memproduksi sebuah karya seni– seperti lagu, puisi, atau drama—terkait dengan materi yang

tengah mereka pelajari. Karya seni ini dihasilkan murid setelah mereka memahami atau

mengeksplorasi subjek atau materi pembelajaran. Produknya bisa beragam, bisa drama, puisi,

lagu, dan hal-hal lainnya. Karya yang dihasilkan murid ini sekaligus bisa menjadi dasar

evaluasi atau penilian guru terhadap kemampuan siswa dalam memahami materi

pembelajaran.

Belajar melalui seni mengharuskan guru mengajak murid-muridnya menciptakan

karya seni. Murid bisa diminta menggambar, menulis puisi, bermain drama, membuat lagu

untuk mengungkapkan pemahaman mereka tentang materi pembelajaran. Mengajar melalui

seni akan membantu murid “mengalami” dan terlibat secara personal dalam narasi atau

konsep-konsep daripada sekedar membaca atau mendiskusikannya. Pendekatan ini sesuai

dengan pentingnya menggunakan cara pembelajaran yang beragam. Selain itu pembelajaran

melalui seni juga sangat sesuai latar belakang murid yang memiliki keragaman budaya dan

bahasa. Belajar dengan melalui seni akan meningkatkan keterampilan berpikir secara kritis

dan kreatif, dorongan untuk maju, keberanian mengambil risiko, kemampuan bekerja sama,

dan rasa percaya diri. Tentu saja dengan belajar seni akan meningkatkan pemahaman dan

apresiasi anak terhadap itu seni sendiri. Pergaulan dengan seni juga merupakan kharakteristik

seorang terdidik. Pembelajaran seni merupakan sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri,

yakni untuk mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan.

2
Seni dapat membantu anak mengalami dari dekat sehingga akan membuat mereka

memahami konsep dalam sains dan mata pelajaran lainnya secara mendalam. Seni memiliki

kekuatan untuk memotivasi dan melibatkan anak, termasuk bagi mereka yang tidak mampu

atau tidak ingin berpartisipasi penuh dalam pelajaran sekolah. Guru dan murid dapat

bersamasama menikmati pengajaran dan pembelajaran melalui seni. Pendekatan ini dapat

dipergunakan sebagai strategi pengajaran yang efektif meski sering diabaikan.

Pembelajaran dengan dan melalui seni sebaiknya samasama dipergunakan. Dalam hal

ini pembelajaran juga bisa dilakukan berkolaborasi dengan guru-guru seni dan bahasa. Hal

yang penting diingat, dalam pembelajaran dengan dan melalui seni ini, seni dipergunakan

sebagai media. Dengan demikian kita jangan terjebak meninggalkan tema pokok

pembelajaran, sehingga menjadi pelajaran seni atau kritik seni. Dalam hal ini guru memegang

peranan penting untuk menekankan konten ilmu pengetahuan yang diajarkan sehingga

terlepas dari tujuan pokok tema pembelajaran.

Oleh karena itu, dalam pembelajaran dengan seni, guru bisa menggunakan standar

kompetensi pembelajaran untuk membantu menyesuaikan bahan ajar apa yang cocok

digunakan dalam pembelajaran. Jangan sampai karya seni yang digunakan justru tidak ada

hubungannya dengan materi pokok yang diajarkan. Salah satu kunci berhasil tidaknya seni

dalam pembelajaran dengan seni adalah kemampuan guru dalam mengarahkan siswanya

dalam dialog tanya jawab. Guru harus berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa

memancing siswa untuk berimajinasi dan mengekplorasi pengetahuan yang ingin ia pahami.

Pertanyan itu bisa diawali dengan yang sederhana. Misalnya, apa pendapatmu tentang lukisan

itu? Apa menurutmu lukisan itu bagus? Apa yang menarik dengan lukisan itu? Jawaban yang

diberikan murid terus dikejar sehingga terjadi diskusi yang dapat mengantarkan siswa pada

poin utama pembahasan materi. Tentu saja diskusi harus mendalam dan argumentatif agar

tidak terjebak pada diskusi yang datar dan hanya pada permukaan saja. Ini berarti guru juga

2
harus berani memberikan pertanyaan, sebagaimana terjadi dalam kelas Sokratik. Metode

seperti ini bukan hal yang sulit untuk diterapkan, selama ini problemnya hanya pada

keberanian guru untuk mencoba.Tentu saja ini juga menuntut keluasan pengetahuan seorang

guru sehingga ia dapat memberikan arah dalam dialog dan diskusi. Bila sekali guru berhasil

mencoba, untuk seterusnya akan lebih mudah.

2
Penerapan Pembelajaraan Pancasila

Generasi Muda dan Identitas Jatidiri

Generasi muda merupakan masa peralihan dari remaja ke dewasa muda. Masa mudaadalah

masa transisi antara kanak-kanak dan dewasa, dan mereka relatif belum mencapai tahap

kematangan mental serta sosial sehingga harus menghadapi tekanan emosi, psikologi, dan

sosial yang saling bertentangan. Dengan segala potensi, kepribadian dan konflik yang ada

dalam dirinya, menjadikan generasi muda sebagai suatu jiwa yang khas dalam proses transisi

menuju manusia dewasa. Kecenderungan generasi muda sekarang dalam pola pikir, perilaku,

dan gaya hidup yang serba instan, hedonis, dan cenderung kehilangan identitas yang berakar

dari budayanya

Degradasi kualitas generasi muda Indonesia saat ini, memasuki taraf yang mengkhawatirkan,

yang ditandai dengan melemahnya identitas dan ketahanan budaya. Lemahnya ketahanan

budaya tersebut tercermin antara lain dari lemahnya kemampuan dalam menyikapi dinamika

perubahan sebagai akibat dari tuntutan zaman yang secara kental diwarnai oleh derasnya

serbuan budaya global. Kebudayaan nasional yang diharapkan mampu sebagai katalisator

dalam mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dan sekaligus sebagai filter terhadap

masuknya budaya global yang bersifat negatif ternyata belum mampu berfungsi sebagaimana

mestinya. Tanpa adanya sikap adaptifkritis, maka adopsi budaya negatif, antara lain: sikap

konsumtif, individualishedonis, akan lebih cepat prosesnya dibandingkan dengan adopsi

budaya positifproduktif

Krisis multidimensi yang berkepanjangan telah memberikan kontribusi terhadap semakin

melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan generasi muda, dan menguatnya sikap

ketergantungan, bahkan lebih jauh telah menyuburkan sikap apatis generasi muda terhadap

berbagai persoalan bangsanya. Generasi muda menjadi generasi yang cuek terhadap realitas

2
yang terjadi dalam masyarakat karena berpandangan bahwa bukan tugas dan kewajibannya

untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut.

Selain itu persoalan generasi muda adalah menipisnya semangat nasionalisme tersebut juga

sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman (pluralitas)

yang menjadi ciri khas obyektif bangsa Indonesia. Selain itu nasionalisme Indonesia dalam

kalangan generasi muda tergerus oleh arus globalisasi yang deras memenuhi segala dimensi

kehidupan generasi muda

Perilaku menyimpang seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran pelajar, kriminalitas,

dan lain-lain sangat akrab dengan generasi muda, bahkan mereka melakukannya dalam usia

yang relatif muda. Budaya urban mereka adaptasi dalam berbagai hal seperti gaya hidup dan

perilaku dalam berbusana, bergaul, nongkrong, musik, konsumsi, dan sebagai merasuk begitu

deras dalam kehidupan anak muda seharihari. Hal ini juga menjalar tidak hanya dalam

kehidupan anak muda di kota-kota besar, tetapi juga pelosok-pelosok desa. Perilaku dan gaya

hidup mereka mengimitasi dan menjalar dari berbagai kehidupan di dunia, tanpa mereka tahu

esensi dan makna dari apa yang mereka lakukan. Hal ini semua menunjukkan bahwa

Pancasila belum diinternalisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Untuk itu perlu dibangun karakter generasi muda yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang

memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat

dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, menjadi bangsa yang berkarakter

adalah keinginan kita semua. Soekarno selalu menggelorakan gerakan kesadaran untuk

membentuk “nation and character building”. Soekarno menyatakan bahwa tugas berat bangsa

Indonesiauntuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila

pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa

2
kuli. Generasi muda terseret oleh berbagai kehidupan modern yang hedonis, melupakan nilai-

nilai budaya bangsa yang berakar dari Pancasila:

1. Pengaruh globalisasi dunia terutama komunikasi dan informasi) Globalisasi dunia

membawa perubahan yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi positif

ataupun negatifnya. Pengaruh komunikasi dan informasi saat ini berperan utama

dalam membentuk sebagian besar tingkah laku dan kepribadian anak muda di

Indonesia. Gaya hidup dan perilaku anak muda yang hedonis terinspirasi dari televisi,

film, internet serta media komunikasi lainnya. Kejadian, kecenderungan gaya hidup di

belahan bumi lain, dengan pengaruh globalisasi membawa efek terinspirasinya anak

muda di belahan dunia lain untuk melakukan tindakan serupa

2. Degradasi kualitas moral Salah satu hal yang sangat memprihatinkan di kalangan

generasi muda adalah adanya kualitas moral, baik itu moral agama ataupun susila.

Semakin melunturnya norma dan nilai-nilai agama dan susila dalam masyarakat,

berubahnya persepsi dan kebiasaan tatanan kehidupan membawa kontribusi yang luar

biasa bagi penurunan kualitas moral. Bahkan dalam sebagian generasi muda

cenderung untuk melawan nilai dan arus dalam masyarakat. Idiom anti kemapanan

menjadi “trade mark” bagi sebagian anak muda untuk terlepas dari “kungkungan

nilai” dikarenakan degradasi kualitas moral dan terpengaruh dengan gaya hidup yang

hedonis

3. Lingkungan pergaulan Pergaulan, baik itu di lingkungan sekolah, kampus dan

masyarakat merupakan asosiasi yang efektif bagi generasi muda untuk menumbuhkan

gaya hidup yang hedonis. Dalam banyak kasus, kekerasan dilakukan oleh generasi

muda secara berkelompok dan karena itu kekerasan menjadi kekerasan kolektif yang

secara psikologis, seseorang menjadi lebih berani dan terbuka dalam melakukan

kekerasan

2
4. Sikap emosional dan egoistik Generasi muda identik dengan tingginya sikap

emosional dan egoistik. Mereka melakukan berbagai tindakan berdasarkan emosi dan

ego, tidak berdasarkan rasio, tanpa memikirkan dampak dan akibatnya. Hanya untuk

menunjukkan eksistensi dan ekspresi diri mereka kadang melakukan kekerasan.

Karakteristik generasi muda yang kurang memiliki akar budaya yang kuat dalam

kecenderungan perilaku dan gaya hidup anak muda dengan alasan sebagai berikut:

a. Memahami modernitas hanya dari kulit luarnya saja. tanpa memahami esensi

dan makna yang menjelma dalam otak, pola pikir, dan perilaku. Sehingga

mereka melakukan imitasi dan berlangsung dahsyat dengan deras arus

informasi dan komunikasi. Anggapan modern apabila mereka memiliki dan

berperilaku sesuai dengan tuntutan dalam proses imitasi tersebut. Dan perilaku

inilah yang menjadi gaya hidup mereka.

b. Bangga akan identitas fisik. Generasi muda bangga dengan identitas fisik yang

mereka miliki, dalam hal berpakaian (fashion), konsumsi (food), wajah (face),

fisik dan kesenangan (fun). Hal ini menjalar dalam berbagai hal dalam

kehidupan anak muda dan menjadi paradigma dan gaya hidup mereka. Mereka

bersaing untuk hidup secara konsumtif, tanpa memahami hakekat dan esensi

dari apa yang mereka lakukan. Mereka merasa bangga dengan apa yang

mereka miliki secara fisik, tanpa mengenal makna dan manfaat dari apa yang

mereka miliki

c. Menjadi generasi yang instan. Pada umumnya generasi muda sekarang

merupakan generasi yang instan dalam banyak. Mereka menyukai berbagai hal

yang instan tanpa harus ikut dalam proses di dalamnya. Mereka kurang

mengenal konsep perjuangan sehingga makna dari tujuan dan eksistensi

2
tersebut tidak mereka rasakan. Dari itulah mereka kurang memahami esensi

banyak hal yang mereka lakukan.

d. Mudah terpengaruh kebudayaan lain yang belum tentu sesuai dengan

karakteristiknya. Generasi muda sekarang ini cenderung tidak mempunyai

karakter dan kepribadian yang kuat. Mereka mudah terpengaruh dengan

kebudayaan lain yang berasal dari Barat, sebagai pemuas berbagai kebutuhan

hedonisnya, tanpa menyeleksi lebih lanjut apakah kebudayaan tersebut sesuai

dengan kepribadiaannya, bermakna atau bermanfaat untuk dirinya, tanpa

banyak berpikir sisi positif dan negatifnya

Fungsi dan Peran Pancasila dalam pembentukan Karakter dan Morallitas Generasi Muda

Menyiapkan generasi muda untuk mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa serta

menjauhkan mereka dari kontaminasi berbagai virus yang menggerogoti mentalitas bangsa

dan hal-hal negatif dari generasi muda. Untuk memfilter berbagai pengaruh negatif

globalisasi, dalam pendidikan perlu dikembangkan konsep dan implementasikan yang

didasarkan oleh nilai-nilai Pancasila dan agama. Pancasila harus mewarnai segala instrument

pendidikan dalam rangka menyiapkan generasi muda menjadi warga negara seperti yang

diharapkan masyarakat, bangsa, dan negara. Pancasila yang digali dari nilai-nilai budaya

bangsa menjadi nilai-nilai yang diinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan

demikian generasi muda memiliki ketahanan budaya yang dikembangkan dari Pancasila

untuk menghadapi berbagai tantangan global

Pancasila dapat menjadi filter segala sesuatu dari pengaruh negatif globalisasi. Selain itu,

dapat membangkitkan kesadaran kaum muda untuk memiliki moralitas dan mentalitas yang

positif, dengan berbagai hal yang harus dilakukan dalam lingkungan keluarga, lembaga

pendidikan, dan masyarakat. Mengarahkan dan menyadarkan generasi muda pada hal-hal dan

2
kegiatan yang positif. Pendidikan dengan Pancasila sebagai dasarnya menekankan pada nilai-

nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik.

Untuk itu Pancasila harus menjadi pandangan hidup generasi muda.Pandangan hidup

mengandung konsep dasar kehidupan yang dicita-citakan oleh bangsa, pikiranpikiran

terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik, yang

akan membawa hidup dan kehidupan bangsa pada tujuan bersama. Pancasila sebagai

pandangan hidup bangsa Indonesia telah mampu memapu mempersatukan bangsa Indonesia

yang pluralis dan multikultural serta memberikan petunjuk dalam mencapai kesejahteraan

dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur

tersebut merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri dan

diyakini sebenarnya Memberikan bekal pendidikan yang berlandaskan pada konsep iman dan

taqwa dan pembentukan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan susila. Dalam

dunia pendidikan sudah saatnya direnungkan kembali sistem pendidikan nasional kita yang

hanya menekankan pada pembentukan aspek kognitif, yang hanya mendidik manusia menjadi

pintar. Untuk itu dibutuhkan pendidikan dengan teknis dan kurikulum yang lebih berpihak

pada pembentukan moral dan akhlaq yang positif, yang salah satunya dikembangkan dengan

Pendidikan yang berlandaskan agama

Sebagaimana yang dinyatakan Tilaar, yang menjelaskan bahwa pendidikan merupakan

wahana yang paling wajar dalam menanamkan nilai-nilai keindonesian, dan sekolah adalah

tempat untuk mengembangkannya, terutama bagi remaja usia sekolah. Pendidikan nasional

mempunyaiimpact yang sangat besar dalam pembentukan jati diri bangsa Indonesia.

Karena itulah, Pancasila sebagai penguat dan identitas nasional Indonesia perlu segera

direkonstruksi kembali oleh pemuda untuk diinternalisasikan dalam sikap dan nilai-nilai

dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila saat ini belum dihayati secara benar oleh generasi

2
muda, hanya dipahami sebagai suatu instrument, simbol-simbol negara tanpa memahami

hakikat dan makna dari esensi Pancasila itu sendiri. Sehingga, Pancasila menjadi unsur-unsur

akal dan jiwa generasi muda yang konsisten dan konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga

tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu lainnya

Pancasila harus menjadi hal yang menggambarkan identitas generasi muda kita dengan

sebuah jati diri bangsa suatu bangsa yang tercermin dalam bentuk aktivitas dan pola tingkah

lakunya yang dapat dikenali orang atau bangsa lain. Bagi bangsa Indonesia, jati diri bangsa

dalam bentuk kepribadian nasional ini, telah disepakati sejak bangsa Indonesia menyatakan

kemerdekaannya. Kesepakatan kesepakatan itu, telah muncul lewat pernyataan pendiri

Negara dengan wujud pancasila, yang di dalamnya mengandung lima nilai-nilai dasar sebagai

gambaran kelakuan berpola bangsa Indonesia, yang erat dengan jiwa, moral dan kepribadian

bangsa

Pancasila tidak hanya diangkat sebagai dasar Negara namun juga menjadi pandangan hidup

bangsa. Rasa dan wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh cinta tanah air merupakan bagian

dari “ethico-mytical nucleus” dari suatu bangsa. Untuk itu pembudayaan dan internalisasi

nilai-nilai dasar tersebut perlu dilakukan secara terusmenerus dan konsekstual sesuai dengan

jiwa dan tantangan zamannya

Strategi Beradaptasi Budaya

Masalah operasionalisasi nilai-nilai dasar Pancasila ke dalam kehidupan praksis bermasyarat

dan bernegara bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2 – 3) menilai,

bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan mendasar dalam cara orang memahami dan

menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat sakral

dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakanakan sudah jelas betul dan pasti benar,

tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti ini membuat

2
berbagai konsep dan pengertian menjadi statis, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung

resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang

memiliki nilai yang permanen atau abadi.Operasionalisasi nilai Pancasila dituntut selalu

mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan penyerapan

nilai dari luar untuk memperkaya isi ideologi Pancasila.

dan pergaulan masyarakat dunia. Dalam konteks bernegara, operasionalisasi Pancasila tidak

bisa dilakukan secara langsung, melainkan melalui segala peraturan perundangan yangt

berlaku dalam kehidupan bernegara. Pelaksanaan dan kongkretisasi nilai Pancasila dalam

kehidupan bernegara tercermin pada seluruh bentuk perundangan, secara berjenjang dari

yang tertinggi kedudukan hukumnya sampai yang terendah, yaitu UUD 1945, Ketetapan

MPR, UndangUndang atau Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang,

Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan-Peraturan Pelaksana lainnya.

Seluruh peraturan perundangan tersebut harus terbuka terhadap amandemen atau judicial

review untuk disesuaikan dengan dinamika masyarakat.

Banyak orang mengkawatirkan bahwa derasnya arus modernisasi dan globalisasi bisa

melarutkan nilai-nilai tradisi dan identitas bangsa. Pengaruh budaya dan nilai-nilai asing

secara negatif menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kepribadian

dan identitasnya. Apabila bangsa Indonesia tidak tepat mengambil sikap dalam menghadapi

derasnya nilai-nilai asing yang masuk, maka kepribadian dan identitas bangsa memang bisa

tererosi atau mengalami pelarutan sehingga berakibat mengendornya kesetiaan terhadap

nilainilai Pancasila sebagai kepribadian dan identitas bangsa Indonesia. Pancasila akan

kehilangan kewibawaan dan relevansinya sebagai problem solver dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara (Mulyono, 2011: 5).

3
Sastrapratedja (1996: 8) bersikap optimistis dengan menyatakan bahwa ada indikasi

globalisasi tidak melemahkan negara kebangsaan tetapi justru memberi peluang untuk

memperkuat diri. Kerjasama internasional memungkinkan negara untuk memperjuangkan

kepentingan nasional, menjamin keamanan nasional dan mendapat keuntungan lebih besar.

Dalam sejarahnya kebudayaan Indonesia dalam berhadapan dengan berbagai kebudayaan

asing selalu mampu mengadakan “tawarmenawar” sehingga dapat terbentuk sintesis

kebudayaan baru. Bahkan Pancasila sendiri dapat dianggap sebagai hasil interaksi

kebudayaan Indonesia dengan pengaruh global, khusunya pengaruh kebudayaan politik

modern, seperti kebebasan, demokrasi, negara hukum, dan negara kebangsaan

Pada era globalisasi, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut terlibat dalam dialog dengan

bangsa-bangsa lain, namun bangsa Indonesia diharapkan tidak tenggelam dan hilang di

dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindarkan. Kalau bangsa Indonesia memahami

identitasnya sendiri sebagai bangsa dengan budaya yang hidup dan terus berkembang, maka

globalisasi tidak harus ditakuti sebagai ancaman bagi budaya bangsa Indonesia. Bangsa

Indonesia bahkan dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia dan ikut bermain dalam

interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan peradaban manusia seluruhnya.

Masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah mem”filter” atau menyaring tetapi mengolah

dalam interaksi yang dinamis, sehingga tercipta sesuatu yang baru. Budaya politik dan jati

diri bangsa adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena mereka bukan

kenyataan yang mandeg.

Menghadapi arus medernisasi dan globalisasi dewasa ini, peranan ideologi Pancasila dalam

mempersatukan bangsa Indonesia memang mendapatkan ujian. Pancasila dituntut mampu

mengadaptasi perkembangan kebudayaan global. Pancasila, melalui para penganutnya, harus

mampu melakukan “dialog antar budaya”, yaitu membiarkan budaya asing yang menglobal

berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi terus menerus, maka masing-masing

3
budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari

interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi dan sekaligis tercegahnya

penyeragaman universal (Besar, 1994: 35).

M.Habib Mustopo (1992: 12) berpandangan bahwa dalam menghadapi pertemuannya dengan

kebudayaankebudayaan asing, Pancasila harus mampu mengolah dan mengkreasi

kebudayaan asing yang masuk sehingga tercipta suasana yang baru dan segar. Dinamika

masyarakat memang menuntut perlunya nilai Pancasila terus menerus dikonstruksikan. Kalau

Pancasila memang bersifat adaptif, maka Pancasila akan memiliki ketahanan menghadapi

arus kuat globalisasi dan bahkan mampu berperan mengarahkan dinamika globalisasi kea rah

peradaban yang manusiawi. Pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamis

perlu didorong untuk menghadapi masa depan. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan

sebagai kemampuan untuk mencari alternatif bagi pemecahan masalah di berbagai bidang

kehidupan berbangsa dan bernegara.

3
Peran Pemuda dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila

Sebagai generasi penerus bangsa yang akan menjadi akar bangsa ini di masa mendatang

harus bisa mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan memiliki modal dasar sebagai

agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (agen pengawas sosial) dalam

masyarakat. Karena pemuda merupakan suatu potensi yang besar sebagai armada dalam

kemajuan bangsa. Peran pemuda sangat penting dalam membangun peradaban dan kemajuan

suatu bangsa.

Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh generasi muda dalam menanamkan nilai-nilai

Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah sebagai berikut.

1. Mewariskan nilai-nilai ideal Pancasila kepada generasi di bawahnya Menyiapkan warga

negara yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat, bangsa, dan negara. Peran ini dapat

dimainkan oleh generasi muda dengan membina generasi dibawahnya. Tugas besar pemuda

adalah mewariskan nilai-nilai ideal dalam hal ini Pancasila kepada generasi berikutnya. Nilai-

nilai ideal tersebut beberapa diantaranya adalah: gotong royong, musyawarah, nasionalisme,

demokrasi Pancasila, persatuan dan kesatuan, kerjasama, identitas jati diri, budaya, dan

sebagainya. Nilai-nilai yang diidealkan inilah kemudian diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya

Untuk itu generasi muda perlu belajar dari masyarakat secara langsung proses

pewarisan nilai-nilai tersebut. Dari itu terbentuk komitmen dan kesadaran terhadap nilainilai

sosial dan kemanusiaan, yang membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai

dengan nilai-nilai yang dikembangkan Pancasila yang kemudian diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari serta mewariskan ke generasi dibawahnya. Generasi muda perlu secara

khusus menyiapkan diri sebagai warga negara yang diharapkan sebagai jembatan untuk

mewariskan nilai-nilai dari generasi ke generasi berikutnya, membentuk warga negara seperti

3
yang diharapkan harus mampu memberikan kontribusi yang besar dalam menyiapkan

generasi selanjutnya dalam menghadapi tantangan global.

Dalam menghadapi tantangan global, peran pemuda dalam menanamkan nilai-nilai

Pancasila menjadi faktor yang menentukan dalam proses pewarisan nilai budaya bangsa.

Melalui proses pendidikan yang diperoleh mahasiswa dalam pendidikan, dapat ditransfer

secara nyata dalam masyarakat baik untuk generasi berikutnya ataupun masyarakat secara

keseluruhan

2. Membekali diri dengan pendidikan yang berlandaskan Pancasila Pendidikan dengan

Pancasila sebagai dasarnya menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara

yang baik dan patriotik. Berdasarkan hal tersebut perlunya generasi muda terlibat secara lebih

aktif melalui penguatan identitas Indonesia dan ketahanan budaya dalam konteks interaksi

dalam komunitas masyarakat dengan membentuk ikatan kolektivitas, rasa kebersamaan yang

melahirkan dan menumbuhkan identitas ke-Indonesia-an dan mewariskan nilai-nilai tersebut

kepada generasi selanjutnya. Dengan konsep seperti inilah menumbuhkan identitas ke-

Indonesia-an yang kuat dan membentuk ketahanan budaya sebagai benteng yang mendasari

pengaruh apapun dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk apapun dan menguatkan

nasionalisme Indonesia secara keseluruhan

Untuk itu dalam konteks pendidikan yang berlandaskan Pancasila perlu dilakukan kajian-

kajian dengan kompetensi generasi muda sebagai berikut:

a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan

lingkungannya

b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,

memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial

c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan

3
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam

masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, sebagaimana yang

terkristal dalam Pancasila, hendaknya dijadikan komitmen bangsa yang mencerminkan

identitas nasional.Dengan konsep seperti generasi muda tidak akan tercerabut dari akar

budayanya, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan merupakan modal utama dan sangat penting dalam menanamkan nilainilai

Indonesia dan nasionalisme Indonesia secara keseluruhan terutama dalam menyiapkan

generasi muda. Pendidikan terutama materi PKn, sejarah,dan sebagainya akan

memperkenalkan generasi kepada pengalaman kolektif dan masa lalu bangsanya. Pendidikan

juga membangkitkan kesadaran dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dalam

komunitas yang lebih besar, sehingga tumbuh kesadaran kolektif dalam memiliki

kebersamaan dalam sejarah. Proses pengenalan diri inilah yang merupakan titik awal dari

timbulnya rasa harga diri, kebersamaan, dan keterikatan (sense of solidarity), rasa

keterpautan, dan rasa memiliki (sense of belonging), kemudian rasa bangga (sense of pride)

terhadap bangsa dan tanah air sendiri.

Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penguatan konten lokal dalam pendidikan

adalah sebagai berikut:

1. Memasukkan dan mengkomparasikan kajian-kajian lokal baik dari perspektif

ekonomi, sejarah, sosial, budaya, geografi, dan sebagainya dalam materi pendidikan

global.

2. Melakukan analisis permasalahan dalam konten global dengan berangkat dari isu-isu

lokal, nasional, dan global.

3
3. Melakukan filter dengan budaya dan kearifan lokal dalam konten global, sehingga

dapat memperkuat ketahanan budaya dan identitas bangsa.

Memperkuat jati diri

sebagai sebuah bangsa Selain itu Pancasila sangat besar peranannya dalam

memperkuat jati diri bangsa. Jati diri bangsa merupakan sesuatu yang telah disepakati

bersama seperti cita-cita masa depan yang sama berdasrkan pengalaman sejarah, baik

pengalaman yang menggembirakan maupun yang pahit. Semuanya telah membentuk

solidaritas yang tinggi

sebagai suatu bangsa dan oleh sebab itu bertekad untuk memperbaiki masa depan

yang lebih baik. Di dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia harus terus menerus di

dalam proses pembinaannya. Pembinaan jati diri generasi muda dapat dilaksanakan melalui

jalur formal maupun informal.

Kelekatan dan tanah air saling menguatkan di dalam upaya untuk kembali ke akar

sendiri. Perlu mengakarkan diri kembali, agar melekatkan diri mereka sendiri pada keaslian

mereka yang murni, diri mereka yang otentik. Masyarakat pascamodern juga merupakan

masyarakat pasca-nasional, yang diiringi dengan melemahnya sentiment nasional dan

bertambahnya kekecewaan terhadap ideologi nasional, yang akan semakin menelan dan

mengikis budaya dan identitas nasional.Karena itulah, penguatan identitas perlu dilakukan

terutama generasi muda, baik itu melalui penguatan budaya dan sosial dengan jalur formal,

informal, dan nonformal.

Pendidikan mempunyai peran yang fundamental dalam memperkuat nasionalisme dan

jati diri bangsa di tengah berbagai persoalan internal dan eksternal bangsa Indonesia. Oleh

karena itu kita perlu penguatan budaya kepada dalam pendidikan untuk penguatan identitas

3
nasional. Di dalam jaringan inilah seperti yang ditekankan oleh Tilaar terbentuk perilaku dari

para anggotanya yang telah diikat oleh rasa persatuan dan rasa saling membutuhkan satu

dengan yang lain. Dalam konteks inilah solidaritas dan kolektivitas dibangun menjadi sebuah

pondasi yang kuat. Komunitas merupakan suatu ikatan yang sentimental yang mengikat para

anggotanya dalam kesatuan solidaritas, kebersamaan dan diikat oleh kohesi sosial sehingga

melahirkan the sense of belonging.

Semangat idealisme dari kelompok pemuda yang visioner tersebut menyebabkan

bangsa Indonesia dapat mengatasi masalah dan tantangan zamannya. Berkat kerja keras

mereka sebagai anak muda di zamannya nasionalisme Indonesia yang bersifat inklusif

emansipatoris dapat dibentuk. Walaupun pada mulanya mereka sangat dipengaruhi oleh

pemikiran etno nasionalisme, pada akhirnya mereka berhasil melebur dan memperjuangkan

nasionalisme Indonesia yang lebih inklusif, religius dan kerakyatan. Mereka tidak

membanggakan lagi elit tradisional yang berbasis pada keturunan.

Pembentukan karakter jujur

Sesuai dengan perkembangan pemuda/anak di lingkungan, keluarga, sekolah,

masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan

internasional. Berdasarkan silabus tersebut, maka Pendidikan Pancasila harus bisa membuat

siswa berperilaku jujur yakni perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang serta

menjaga sportivitas yang akan mewujudkan hubungan harmonis dengan Tuhan dan dirinya

sendiri (Herawan & Sudarsana, 2017)

Dari kompetensi inti dalam silabus tersebut, maka kompetensi dasarnya terdiri dari:

1. Menunjukkan sikap gotong royong sebagai bentuk penerapan nilai-nilai Pancasila dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara teori, semangat gotong royong ini termuat dalam

3
materi Integrasi Nasional, yakni penyatuan wilayah dan warga negara Indonesia dalam

bingkai Bhineka Tunggal Ika dari segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan

gangguan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan dalam praktiknya di kelas,

sikap gotong royong siswa terimplementasikan dalam bentuk menjaga kebersihan kelas,

maka disusunlah jadwal piket harian sehingga semua siswa mendapat giliran yang sama

dalam menjaga kebersihan kelas. Dengan kebiasaan piket ini, maka siswa akan bersikap jujur

jika kedapatan kelasnya dalam kondisi kotor.

2. Bersikap peduli terhadap penerapan ketentuan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang wilayah negara, warga negara dan penduduk,

agama dan kepercayaan, pertahanan dan keamanan. Secara teori, peduli terhadap konstutusi

terdapat pada materi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam materi tersebut, siswa diajarkan

mulai dari sejarah pembentukan Undang-Undang dasar sampai dengan amandemennya.

Sedangkan dalam praktiknya di sekolah, siswa diharuskan mentaati peraturan atau tata tertib

sekolah, seperti datang tepat waktu, memakai seragam yang sudah ditentukan sesuai harinya,

tidak berambut gondrong, dan lain-lain. Kepatuhan terhadap tata tertib sekolah

mencerminkan bahwa siswa sudah berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung

dalam pancasila.

3. Bersikap peduli terhadap lembaga-lembaga di sekolah sebagai cerminan dari lembaga-

lembaga negara. Secara teori, kompetensi dasar ini termuat dalam materi Lembaga Negara

dan fungsinya seperti badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Demikian juga dalam

praktiknya, siswa dituntut untuk mengetahui organigram sekolah atau struktur organisasinya

dimulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, staf tata usaha, dan tenaga

kependidikan lainnya. Tidak hanya sekedar mengetahui orangorangnya saja, akan tetapi harus

mengetahui tugas dan fungsi masing-masing jabatan tersebut.

3
4. Bersikap peduli terhadap hubungan pemerintah pusat dan daerah yang harmonis di daerah

setempat. Secara teori, hal ini terdapat pada materi otonomi daerah yang membahas kebijakan

pusat dalam hal ini pemerintah Indonesia, dan kebijakan daerah berupa peraturan gubernur

atau tingkatan di bawahnya. Secara praktik, siswa juga melaksanakan hal yang sama di dalam

kelasnya dengan pembentukan ketua kelas, wakilnya, sekretaris, bendahara, dan staf lainnya.

Dengan demikian siswa tidak hanya belajar teorinya saja tetapi dibarengi dengan praktik

langsung sehingga materi yang disampaikan guru dapat diterima dengan maksimal.

5. Menunjukkan sikap kerjasama dalam rangka mewujudkan komitmen integrasi nasional

dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Ini sama dengan kompetensi dasar pertama tentang sikap gotong royong sesuai

dengan nilai-nilai pancasila. Penerapan Bhineka Tunggal Ika di kelas terimplementasikan

dalam kegiatan sehari-hari siswa, contohnya dalam penentuan anggota kelompok dengan

tidak pilih-pilih berdasarkan jenis kelamin maupun kemampuan akademiknya. Pembagian

anggota kelompok dilaksanakan secara Random.

6. Bersikap responsif dan proaktif atas ancaman terhadap negara dan upaya penyelesaiannya

dibidang Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam bingkai

Bhinneka Tunggal Ika. Kompetensi dasar ini tersebar dibanyak materi seperti globalisasi,

Ham Asasi Manusia, maupun sistem hukum dan peradilan nasional. Semua materi ini

menuntut siswa untuk bersikap secara nyata tidak hanya mahir dalam bertutur kata.

7. Bertanggungjawab mengembangkan kesadaran akan pentingnya wawasan nusantara dalam

konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dari ketujuh kompetensi dasar tersebut, Pendidikan Pancasila tidak hanya soal

hapalan materi yang banyak, akan tetapi tetap memprioritaskan pada perilaku siswa agar

3
mempunyai keterampilan dan akhlak mulia. Keterampilan-keterampilan tersebut diberikan

kepada siswa dengan tujuan agar siswa mampu bersaing ditengah-tengah beratnya persaingan

dalam dunia kerja atau dalam kehidupan perkuliahan nantinya. Berdasarkan kompetensi dasar

tersebut terdapat juga tiga indikator dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila agar siswa

dapat memiliki karakter jujur, yakni melalui kegiatan gotong royong, sikap peduli, dan

responsif. Gotong royong berarti perilaku saling membantu dalam kebajikan. Petuah bersatu

teguh bercerai runtuh sangat relavan dalam pembelajaran ini. Dengan sikap gotong royong

maka segala hal perbedaan dapat dikesampingkan demi tercapainya tujuan bersama. Jika

gotong royong ini dibudayakan maka akan menghasilkan karakter jujur karena dalam gotong

royong tidak ada istilah bersaing, berkompetisi, atau menghalalkan segala macam cara

termasuk kebohongan demi tercapainya tujuan individu. Dalam gotong royong, rasa

kebersamaan sangat terasa sehingga potensi terjadinya konflik yang diakibatkan dari

ketidakjujuran dapat dihindarkan. Sikap peduli berarti ikut merasakan situasi kondisi orang

lain yang sedang ditimpa musibah.

Hal ini bisa diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan sosial seperti penggalangan dana

atau sekedar memberikan do’a untuk kesembuhan, keselamatan, dan kekuatan bagi korban

bencana alam. Kepedulian seseorang menggambarkan orang tersebut berhati bersih buah dari

kejujurannya. Responsif bermakna kepekaan terhadap situasi kondisi sekitar. Indikator ini

berarti respon yang cepat dalam usaha menyelesaikan permasalahan. Responsif juga akan

bermuara kepada karakter jujur karena responsif terjadi secara natural dan alamiah, sehingga

bukan perilaku yang dibuat-buat. Dengan demikian, karakter jujur dapat dibentuk melalui

Pendidikan Pancasila dan peran gurunya dalam memberi contoh. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Nurani pada tahun 2016 tentang penanaman perilaku jujur

melalui cerita yang menyatakan bahwa perilaku jujur dapat dibentuk melalui pemberian mata

pelajaran yang relavan dan secara khusus memeberikan pengaruhnya bagi siswa untuk

4
berperilaku jujur. Selain dengan pemberian mata pelajaran, perilaku jujur siswa juga dapat

dibentuk melalui keteladanan guru sebagai figur yang layak dicontoh baik perkataannya

maupun perbuatannya. Walaupun keteladan ini dianggap sebagai cara yang kuno dalam

pendidikan namun terbukti keteladan ini sangat efektif terhadap perubahan sikap dan perilaku

siswa di lingkungan sekolah (Aeni, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa pun

diperoleh informasi bahwa dengan belajar pendidikan pancasila, siswa tahu perilaku yang

sesuai dengan nilai pancasila dan mereka berusaha untuk mempraktikannya.

Demikian pula dengan karakter jujur, siswa berpendapat bahwa kebiasaan jujur

mereka semakin meningkat setelah belajar secara teori maupun praktik tentang pendidikan

pancasila. Selain pengaruh dari isi materinya, peran gurunya pun tidak dapat

dikesampingkan. Guru berhasil memberikan contoh yang baik sehingga karakter jujur siswa

dapat terbentuk

4
Penguatan Nilai Etnik dan Nasionalisme

Nilai-nilai etnik di Indonesia yang sangat majemuk bisa menghadapi modernitas globalisasi.

Generasi muda dapat mengakomodasi nilai-nilai tradisional tersebut agar menjadi kuat

perannya dan sebagai dasar dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sekarang dan di

masa yang akan datang. Untuk itulah generasi muda perlu mengembangkan nilai-nilai luhur

dalam etnik yang majemuk menjadi hal utama yang harus dikembangkan menjadi identitas

dan jati diri bangsa menjadi lebih kuat terhadap tantang modernitas dan globalisasi.

Generasi muda memegang peran penting bagaimana menjadi bangga dengan nilai etnik dan

nasionalismenya. Identitas akan memperkuat jati diri, dan jati diri akan menimbulkan

kebanggaan, dan dari kebanggaan inilah muncul percaya diri dan mampu menghadapi

berbagai hal dalam kaitannya dengan modernitas dan globalisasi dengan nilai-nilai bangsa

Indonesia sendiri.

Nilai-nilai etnik dengan segala kemajemukannya dapat menjadi sumber kekuatan bangsa

Indonesia, bukan sebaliknya menjadi kelemahan yang berpotensi memecah belah persatuan

dan kesatuan bangsa. Di persatuan dan kesatuan inilah seperti yang ditekankan oleh Tilaar

terbentuk perilaku dari para anggotanya yang telah diikat oleh rasa persatuan dan rasa saling

membutuhkan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah solidaritas dan kolektivitas

dibangun menjadi sebuah pondasi yang kuat. Komunitas merupakan suatu ikatan yang

sentimental yang mengikat para anggotanya dalam kesatuan solidaritas, kebersamaan dan

diikat oleh kohesi sosial sehingga melahirkan the sense of belonging. Pada akhirnya menjadi

kekuatan yang survive menghadapai modernitas dan globalisasi itu sendiri. Kelekatan dan

tanah air saling menguatkan di dalam upaya untuk kembali ke akar sendiri. Perlu

mengakarkan diri kembali, agar melekatkan diri mereka sendiri pada keaslian mereka yang

murni, diri mereka yang otentik

4
Pancasila sebagai dasarnya menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan nasionalisme

pada setiap siswa agar mempunyai ketahanan global. Rasa kebersamaan ini semestinya harus

dapat dirasakan pada setiap saat dan dimana saja. Sehingga rasa nasionalisme atau cinta tanah

air dapat kita wujudkan dan dapat masyarakat nikmati secara merata. Rasa kebersamaan ini

tidak hanya muncul saat terjadi bencana-bencana alam, keamanan negara diganggu oleh

negara lain, warga negara kita disiksa oleh warga negara negara lain, tetapi mestinya muncul

pada setiap saat dan tempat. Sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram karena pejabat

politik memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk membela rakyat agar menjadi maju.

Pemerintah juga memiliki rasa kebersamaan dalam menanggulangi kemiskinan,

pengangguran dan kebodohan yang masih banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia

rasa nasionalisme dalam bangsa Indonesia tersebut, dan tidak mengamalkan Pancasila dengan

baik dan benar. Sebagai bangsa yang baik harus dapat menentukan mana sesuatu yang baik

dan mana yang buruk. Dalam kata lain, tidak boleh melanggar nilai-nilai yang terdapat pada

Pancasila. Bangsa yang baik juga harus dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan

golongan, dengan kepentingan bersama yakni kepentingan bersama harus didahulukan.

Tetapi dalam keseharian, sikap mengutamakan kepentingan bersama sangat susah dan hampir

dikatakan mustahil untuk dihapuskan karena masalah pribadi, hubungan pertemanan, relasi,

dan hubungan darah merupakan hubungan yang erat dan bahkan dapat mengalahkan rasa

nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.

Pancasila yang sejak dahulu diciptakan sebagai dasar negara dan sudah sejak nenek moyang

kita digunakan sebagai pandangan hidup sudah seharusnya dijadikan pedoman bagi bangsa

Indonesia dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Demikian juga bagi

generasi muda, Pancasila yang mulai kehilangan pamornya di kalangan generasi muda

diharapkan akan muncul kembali kejayaannya jika generasi muda mulai sadar dan

memahami fungsi Pancasila serta melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

4
Semangat nasionalisme dan patriotism di kalangan generasi muda mulai menurun. Hal ini

bisa dilihat dari banyaknya generasi muda yang menganggap bahwa budaya barat lebih

modern dibanding dengan budaya sendiri. Generasi muda terutama di kalangan mahasiswa

pelajar, banyak mengekor budaya barat dari pada budaya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari cara

bersikap, berpakaian, berbicara sampai pola hidup yang cenderung meniru budaya asing dari

pada budayanya sendiri. Hal ini terjadi di hampir seluruh pelosok bukan hanya di klota-kota

besar akan tetapi sudah merambah ke pelosok-pelosok desa.

perlu disadari tentang perlunya menghadirkan sebuah pandangan radikal yang menggulirkan

pentingnya menyebutkan dan mentransormasi ideologi maupun kondisi sosial yang

memungkinkan peluang bentuk-bentuk komunitas dan kehidupan publik yang

diorganisasikan berdasarkan demokrasi. Selain itu nasionalisme Indonesia dalam generasi

muda tergerus oleh arus globalisasi yang deras memenuhi segala dimensi kehidupan generasi

muda. Perilaku seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran pelajar, kriminalitas, dan

lain-lain sangat akrab dengan generasi muda, bahkan mereka melakukannya dalam usia yang

relatif muda. Perilaku dan gaya hidup mereka mengimitasi dan menjalar dari berbagai

kehidupan di dunia, tanpa mereka tahu esensi dan makna dari apa yang mereka lakukan.

Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Oleh karena itu,

menjadi bangsa yang berkarakter adalah keinginan kita semua. Sebagai generasi penerus

bangsa yang akan menjadi akar bangsa di masa mendatang harus dapat mewujudkan cita-cita

dan tujuan nasional dengan memiliki modal dasar sebagai agent of change (agen perubahan)

dan agent of social control (agen pengawas sosial) dalam masyarakat. Karena pemuda

merupakan suatu potensi yang besar sebagai armada dalam kemajuan bangsa. Beberapa peran

yang dapat dilakukan oleh generasi muda dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah sebagai berikut. Mewariskan

nilai-nilai ideal Pancasila untuk generasi di bawahnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat,

4
bangsa, dan negara. Nilai-nilai yang diidealkan inilah kemudian kehidupan dari satu generasi

ke generasi berikutnya. Dari itu terbentuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial

dan kemanusiaan, yang membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan

nilai-nilai yang dikembangkan Pancasila yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari serta mewariskan ke generasi di bawahnya. Generasi muda perlu secara khusus

mempersiapkan diri sebagai warga negara yang diharapkan sebagai jembatan untuk

mewariskan nilai-nilai dari generasi ke generasi berikutnya, membentuk generasi berikutnya

seperti yang diharapkan harus mampu memberikan kontribusi yang besar dalam

mempersiapkan generasi selanjutnya dalam menghadapi tantangan global. Dalam

menghadapi tantangan global, peran pemuda dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila

menjadi faktor yang menentukan dalam proses pewarisan nilai budaya bangsa. Melalui proses

pendidikan yang diperoleh mahasiswa dalam pendidikan, dapat ditransfer secara nyata dalam

masyarakat baik untuk generasi berikutnya atau masyarakat secara keseluruhan. Membekali

diri dengan pendidikan yang berlandaskan Pancasila Pendidikan dengan Pancasila sebagai

dasar pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik. Nilai-nilai

etnik di Indonesia yang sangat majemuk bisa menghadapi modernitas globalisasi. Generasi

muda memegang peran penting bagaimana menjadi bangga dengan nilai etnik dan

nasionalismenya. Di persatuan dan kesatuan inilah yang ditekankan oleh Tilaar yang

terbentuk dari para anggotanya yang memiliki perilaku persatuan dan rasa saling

membutuhkan dengan yang lain. Dalam konteks solidaritas dan kolektivitas yang dibangun

menjadi sebuah fondasi yang kuat. Sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram karena

pejabat memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk membela rakyat agar menjadi maju.

Pemerintah juga memiliki rasa kebersamaan dalam menanggulangi kemiskinan, gerakan dan

kejahatan yang masih banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia. Sebagai bangsa yang baik

harus dapat menentukan sesuatu yang baik dan mana yang buruk. Dalam kata lain, tidak

4
boleh melanggar nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila. Pancasila yang sejak diciptakan

sebagai dasar negara dan sudah sejak nenek moyang kita digunakan sebagai pandangan hidup

yang seharusnya pedoman bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan

bermasyarakat. Semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan generasi muda mulai

menurun. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya generasi muda yang menganggap bahwa budaya

barat lebih modern dibandingkan dengan budaya itu sendiri. Akhir-akhir ini mulai banyak

bertanya atau mempertanyakan tentang wawasan kebangsaan generasi muda. Banyak

momentum yang dilakukan, mulai dari seminar, lokakarya sampai kongres Pancasila yang

sampai sekarang sudah dilaksanakan sebanyak 4 kali Pancasila dijadikan acuan para generasi

muda dalam tindakan bertindak dan bertutur kata yang sesuai dengan norma Pancasila. Juga

terjadinya bola-kerusuhan pertandingan sepak yang dilakukan oleh suporter masing-masing

kesebelasan yang merasa tidak puas akan kekalahannya. Melihat kasus-kasus di atas,

sebenarnya ada persamaan pokok permasalahan yang memicu semua kejadian tersebut, yaitu

pembelaan apa yang dicintai. Sedangkan tawuran-tawuran pelajar, warga dan sejenisnya juga

dipicu alasan membela apa yang mereka cintai. Seandainya rasa cinta tersebut benar maka

tidak akan terjadi-kerusuhan yang justru membuat keresahan pada masyarakat.

Akhir-akhir ini mulai banyak dibicarakan atau dipertanyakan tentang wawasan kebangsaan

generasi muda. Banyak momentum dilakukan, mulai dari seminar, lokakarya sampai kongres

Pancasila yang sampai sekarang sudah dilaksanakan sebanyak 4 kali (I ±IV). Semua

momentum tersebut selalu melibatkan generasi muda sebagi subyek pengembang nilai-nilai

Pancasila yang diharapkan dapat memberikan peran dan kontribusinya bukan hanya sekarang

tapi juga yang akan datang menjadi aktor dan pelaku dalam pembangunan nasiponal.

Pancasila dijadikan acuan para generasi muda dalam bersikap bertindak dan bertutur kata

yang sesuai dengan norma Pancasila. Seringkali kita mendengar demonstrasi-demonstrasi

yang anarkhis dilakukan mahasiswa mengatasnamakan perjuangan atas nama rakyat yang

4
ujung-ujungnya pengrusakan fasilitas-fasilitas pemerintah, membakar mobil dan lain-lain.

Juga terjadinya kerusuhan-kerusuhan pertandingan sepak bola yang dilakukan oleh suporter

masingmasing kesebelasan yang merasa tidak puas akan kekalahan timnya. Dan juga tawuran

pelajar masih juga terjadi di lingkungan masyarakat Indonesia.

Melihat kasus-kasus di atas, sebenarnya ada persamaan pokok permasalahan yang memicu

semua kejadian tersebut, yaitu pembelaan apa yang dicintai. Mahasiswa berdemontrasi

karena ingin mengubah tatanan yang salah atau ketidak setujuan akan suatu kebijakan yang

diemukaqkan oleh pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan rakyat, keadilan, dan lain-lain.

Mahasiswa ingin membela rakyat karena cinta pada bangsanya sendiri, sedangkan para

suporter olah raga rusuh dengan alasan ketidakadilan terhadap wasit, dan sebagainya,

sehingga timnya kalah, ini wujud cinta pada timnya, membela timnya yang diperlakukan

tidak adil oleh wasit. Sedangkan tawuran-tawuran pelajar, warga dan sejenisnya juga dipicu

alasan membela apa yang mereka cintai

Seandainya rasa cinta tersebut diungkapkan secara benar maka tidak akan terjadi kerusuhan-

kerusuhan yang justru membuat keresahan pada masyarakat. Rasa nasionalisme, cinta pada

tanah air juga harus diungkapkan secara benar, sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma yang

berlaku dalam masyarakat terutama norma Pancasila. Nasionalisme kita harus sesuai dengan

Pancasila sebagai Pandangan hidup dan dasar negara serta ideologi negara, sehingga wujud

nasionalisme kita bukan nasionalisme yangt sempit akan tetapi sebagai nasionalisme yang

luas. Cinta pada bangsa sendiri tapi masih menghargai bangsa lain. Kita tidak menolak

budaya asing akan tetapi juga tidak menerima secara membabi buta budaya asing. Semua

budaya yang masuk di negara kita harus biasa di saring dengan menggunakan nilai-nilai

Pancasila.

4
Kesimpulan

Semua yang pernah belajar di lembaga pendidikan guru, yang sering disebut sebagai

Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK), memiliki pengetahuan bersama yang

sekaligus menjadi ciri mereka, yaitu: Pedagogi atau ilmu-ilmu kependidikan atau Studi

Kependidikan Dalam disiplin ilmu atau bidang kajian tersebut terbentang berbagai macam

pendekatan teoretis. Pedagogi kritis adalah pendekatan pendidikan yang berusaha membantu

murid untuk mempertanyakan dan menantang pendominasi, dan kepercayaan dan praktik-

praktik yang mendominasi mereka. Sekolah bagi mereka, dengan memperhatikan apa yang

dilakukan para guru, murid, administrator, hanya menjalankan berbagai nilai yang dimiliki

dan dijalankan oleh kelompok tertentu yang mendominasi. Mereka tidak lagi

mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Seperti kita ketahui, di masyarakat

terdapat berbagai kelompok sosial yang berbeda satu sama lain. Mendidik, bagi pedagogi

kritis, bukan pendidikan laisezfaire yang hanya pada kebebasan sepenuhnya pada diri

seseorang. Bahkan dapat dikatakan pedagogi kritis bertujuan mencampur atau mengelaborasi

“bahasa kritis” dengan “bahasa posibilitas” dalam praksis pendidikan (Giroux, 1988). Dengan

kata lain, tidak terjebak pada pandangan dan sikap yang menerima realitas sosial masyarakat

dan praksis pendidikan sebagai kondisi yang baik-baik saja, melainkan bergerak lebih lanjut

dengan melihatnya secara kritis, Tidak semua guru memiliki bakat alam mengajar dengan

ceramah yang memukau. Pembelajaran dengan dan melalui seni sedikit terkendala bila guru

tidak mengenal atau tidak menyukai seni. Degradasi kualitas generasi muda Indonesia saat

ini, memasuki taraf yang mengkhawatirkan, yang ditandai dengan melemahnya identitas dan

ketahanan budaya. Krisis multidimensi yang berkepanjangan telah memberikan kontribusi

terhadap semakin melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan generasi muda, dan

sikap sikapnya, Selain itu masalah generasi muda adalah menipisnya semangat nasionalisme

tersebut juga sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman

4
(pluralitas) yang menjadi ciri khas objektif bangsa Indonesia. Selain itu nasionalisme

Indonesia dalam generasi muda tergerus oleh arus globalisasi yang deras memenuhi segala

dimensi kehidupan generasi muda. Perilaku dan gaya hidup mereka mengimitasi dan

menjalar dari berbagai kehidupan di dunia Karena pemuda merupakan suatu potensi yang

besar sebagai armada dalam kemajuan bangsa. Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh

generasi muda dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara Mewariskan nilai-nilai ideal Pancasila untuk generasi di bawahnya,

sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa, dan negara. Nilai-nilai yang diidealkan inilah

kemudian kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. membentuk generasi

berikutnya seperti yang diharapkan harus mampu memberikan kontribusi yang besar dalam

mempersiapkan generasi selanjutnya dalam menghadapi tantangan global. Dalam

menghadapi tantangan global, peran pemuda dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila

menjadi faktor yang menentukan dalam proses pewarisan nilai budaya bangsa. Melalui proses

pendidikan yang diperoleh mahasiswa dalam pendidikan, dapat ditransfer secara nyata dalam

masyarakat baik untuk generasi berikutnya atau masyarakat secara keseluruhan. Membekali

diri dengan pendidikan yang berlandaskan Pancasila Pendidikan dengan Pancasila sebagai

dasar pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik. Nilai-nilai

etnik di Indonesia yang sangat majemuk bisa menghadapi modernitas globalisasi. Generasi

muda memegang peran penting bagaimana menjadi bangga dengan nilai etnik dan

nasionalismenya.

4
DAFTAR PUSTAKA

Elisken, S. (2015). Peranan Pancasila Dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasionalisme Generasi Muda

Di Era Global. Humanika, 3(2), 54–67. http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf

Mulyono, M. (2016). Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa

Dan Bernegara. Humanika, 23(2), 40. https://doi.org/10.14710/humanika.v23i2.13644

Rusdiyani, E. (2015). Pembentukan Karakter dan Moralitas bagi Generasi Muda yang Berpedoman

pada Nilai-nilai Pancasila serta Kearifan Lokal. Seminar Nasional, 33–46.

Wisudo, B., Subkhan, E., Paat, L. F., Paat, J. P., Haryanto, Y., & Jiwa, V. D. (2012). Pancasila yang

Mencerdaskan. Pancasila Yang Mencerdaskan, 1–61.

Anda mungkin juga menyukai