(PKN) PANCASILA - Bismo Agustio - 0201033162 - Reguler 33 Pagi
(PKN) PANCASILA - Bismo Agustio - 0201033162 - Reguler 33 Pagi
Pendidikan Kewarganegaraan
Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia
BISMO AGUSTIO
[0201033162]
REGULER 33
PAGI
Pancasila sebagai ideologi negara sangat rentan bergeser menjadi ideologi penguasa.
Ketika Pancasila menjadi ideologi penguasa, keberadaannya pun berada di ujung tanduk
ketika sang penguasa kehilangan legitimasinya. Itulah yang terjadi dengan Pancasila Orde
Baru, Pancasila dijadikan doktrin sakral Orde Baru yang sibuk diwacanakan, dikutip, dan
dipaksa untuk dihapalkan tetapi tidak diamalkan. Padahal penguatan nilai-nilai pluralisme,
demokrasi, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila merupakan sebuah
Pancasila itu perlu direspon dengan upaya serius dan sistematis untuk merevitalisasi
Pancasila. Sekolah sebagai agen transformasi sosial perlu mengambil peran terdepan dalam
sekolah selama ini cenderung membosankan, dogmatis, dan sama sekali tidak kritis. Guru-
guru yang mengajar Pancasila pun dalam posisi marginal juga. Tidak heran bila pendidikan
Bahkan, dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi, murid dan mahasiswa
tidak lagi hafal, apalagi memiliki pemahaman mendalam mengenai pengertian yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila. Harapan saya rangkuman ini dapat menjadi awal sebuah
gerakan yang besar untuk memperbarui pendidikan Pancasila, menjadikan kembali Pancasila
sebagai ideologi yang membumi, ideologi yang hidup dalam pergumulan sehari-hari
i
DAFTAR ISI
Pendahuluan..........................................................................................................................................iii
Konsep dan Teori..................................................................................................................................1
BAB I....................................................................................................................................................1
Apa Itu Pedagogi Kritis?...................................................................................................................1
BAB II.................................................................................................................................................10
Literasi dan Literasi Kritis?.............................................................................................................10
BAB III................................................................................................................................................18
Belajar Dengan dan Melalui Seni....................................................................................................18
Penerapan Pembelajaraan Pancasila.................................................................................................23
Generasi Muda dan Identitas Jatidiri...............................................................................................23
Peran Pemuda dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila...............................................................33
Penguatan Nilai Etnik dan Nasionalisme.........................................................................................42
Kesimpulan..........................................................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................50
i
Pendahuluan
moralitas, dan demokrasi sesuai dengan kharakterisik multikultural yang melekat pada
masyarakat Indonesia. Dengan bekal itulah maka akan tercipta sikap hidup dan budaya
masyarakat yang adil, damai, toleran, dan bermoral. Bukankah selama ini sekolah-sekolah
juga sudah memberikan materi pelajaran tentang nilai-nilai keadilan, toleransi, saling
Bukankah bahkan mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi terdapat
materi pelajaran Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), juga Pancasila dan
Kewarganegaraan (PKn)? Adakah yang salah di sekolah? Apakah materi pelajarannya terlalu
ringan atau terlalu berat, terlalu teoretis atau terlalu teknis, hingga menjadikan praksis
pembelajaran dirasa tidak ada manfaatnya dan tidak bermakna oleh para siswa? Apakah
konvensional, hingga tidak mampu membantu mengoptimalkan proses belajar? Jawaban dari
asumsi-asumsi pertanyaan tersebut dapat kita lihat sekilas dari praksis pembelajaran pada
Pertama, praksis pembelajaran pendidikan agama dan Pancasila di banyak sekolah tidak jauh-
jauh dari aktivitas menghafal dan memahami materi secara tekstual saja. Kurikulum
konseptual saja, termasuk tidak banyak yang dikaitkan dengan konteks sosio-kultural di
masyarakat riil. Beberapa nilai-nilai agama yang dibelajarkan melalui praktik nyata di
masyarakat juga terlihat lebih banyak yang merupakan ritual-ritual agama saja, belum yang
betulbetul menyentuh realitas persoalan nilai-nilai dan budaya di masyarakat, sehingga ranah
i
“kebergunaannya” tidak bisa banyak diidentifikasi. Di sisi lain, dalam banyak hal ketika
hampir semua anak-anak sebenarnya telah mendapatkan pendidikan agama di keluarga dan
masyarakat tempat ia tinggal, maka posisi pendidikan agama di sekolah dapat dikatakan
sekadar sebagai sekadar formalitas untuk memenuhi tuntutan yang terdapat di kurikulum saja.
Metode pembelajarannya yang monoton menjadikan banyak siswa mengikutinya lebih karena
merasa sebagai formalitas dan kewajiban pemeluk agama. Merujuk pada penjelasan tersebut
pedagogi kritis dan terutama secara lebih operasional melalui literasi kritis amatlah relevan.
Tentu sebagai upaya awal untuk mengenalkan pedagogi kritis pada masyarakat, terutama
literasi kritis untuk para guru pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan belum dapat
mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan Oleh karena itu rangkuman ini difokuskan
pada jenjang SD dan SMP. Harapannya tentu setelah ini dapat diperluas pada jenjang SMA
dan juga perguruan tinggi. Selain itu, karena literasi kritis sebagai sebuah pendekatan
membelajarkan nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila, maka terlebih dulu akan
i
Konsep dan Teori
BAB I
Semua yang pernah belajar di lembaga pendidikan guru, yang sering disebut sebagai
sekaligus menjadi ciri mereka, yaitu: Pedagogi atau ilmu-ilmu kependidikan atau Studi
Kependidikan. Dengan kata lain, tidak satupun tamatan LPTK yang tidak mengenal
Pedagogi.Dalam disiplin ilmu atau bidang kajian tersebut terbentang berbagai ragam
pendekatan teoretis. Namun, jika disederhanakan, kita dapat memilah setidaknya menjadi 3
(tiga), yaitu pedagogi yang berlandaskan pada pendekatan psikologis, teknologis, dan
sosiologis. Mengamati apa yang terjadi di LPTK, pendekatan sosiologis hampir dapat
dikatakan tidak tersentuh. Kekosongan pendekatan sosiologis dapat diamati melalui wacana
yang diproduksi para guru dan calon guru, baik dalam percakapan maupun tulisan-tulisan
mereka. Di sisi lain, sebaliknya dapat dikatakan bahwa para calon guru dan guru begitu
didominasi oleh pendekatan psikologis. Menurut kami dominasi dari pendekatan psikologis
tersebut harus ditantang atau minimal dipertanyakan keberadannya. Salah satu pendekatan
sosiologis yang berkembang sejak dekade 1980-an adalah apa yang disebut “pedagogi kritis”
(critical pedagogy). Kita dapat mengatakan bahwa pedagogi kritis — sebagai pendekatan
seperti pendekatan behavioristik yang digunakan oleh kebanyakan guru dalam kegiatan
mengajarnya. Pada bab ini uraian mengenai pedagogikritis sifatnya sekadar sebagai
pengantar, oleh karena itu diharapkan para guru dan calon guru selanjutnya dapat mencari
buku-buku sumber acuan tulisan ini untuk memahami lebih mendalam mengenai pedagogi
kritis sebagai dasar dalam memahami paradigma yang diacu oleh literasi kritis (critical
1
literacy) dalam bahasan selanjutnya. Perkembangan pedagogi kritis cukup menggembirakan,
ia hadir dalam berbagai jenis gagasan dan praksis pedagogi kritis di ranah ilmu-ilmu
kependidikan dan praksis pendidikan. Hal ini terlihat salah satunya dengan telah
diterbitkannya ratusan, bahkan ribuan artikel mengenai Pedagogi Kritis, termasuk yang
Pendekatan pendidikan ini, dengan demikian, telah menjadi begitu kompleks. Oleh karena
itu, usaha merangkum pedagogi kritis dalam beberapa halaman adalah suatu kerja yang tidak
mungkin dan bahkan dapat dikatakan aneh. Kesulitan ini tentu tidak mudah dipecahkan. Apa
yang kami lakukan ini adalah mencoba membimbing para pembaca, khususnya para guru dan
calon guru, ke “pintu” pengantar untuk dapat memahami konsepsi dasar dari pedagogi kritis
saja. Jadi bab ini bukanlah bab penjelasan pedagogi kritis secara komprehensif tapi
penjelasan pedagogi kritis secara sepintas. Sekalipun begitu, kami mencoba berusaha
menjelaskannya dengan bahasa yang sesederhana mungkin. Bab ini akan diawali dengan
penguraian tokoh pedagogi kritis, yaitu Paulo Freire; kedua, perkembangan Pedagogi Kritis
di Indonesia; dan diakhiri dengan penjelasan singkat beberapa konsep penting Pedagogi
Kritis.
Siapa itu Paulo Freire? Pembahasan Pedagogi Kritis tidak bisa tidak kita harus
bersentuhan dengan tokoh utama pedagogi kritis bernama Paulo Freire, sekalipun bukan dia
yang menciptakan istilah atau nama pedagogi kritis. Namun melalui pemikirannya mengenai
pendidikan, khususnya melalui buku pertamanya yang berjudul Pedagogy of the Oppressed
(1972), lahir konsep pemikiran dan praksis pedagogi kritis. Untuk itu tidak bisa tidak, kita,
para guru dan calon guru yang berhasrat mengenal pedagogi kritis harus mengenal dengan
cukup baik kehidupan Paulo Freire. Perkenalan kita dengan Freire dapat kita awali dengan
melihat sepintas jejak kehidupannya. Apa yang dialami Paulo Freire di masa sekolahnya
tampak tidak secerah yang kita bayangkan. Dia berangkat ke sekolah dengan perut
2
keroncongan dan yang menyedihkan, dia dinilai sebagai anak berkelainan mental. Apa yang
dapat kita catat dari uraian singkat kehidupan Paulo Freire adalah: kita sebagai guru tidak
bisa menyampingkan hubungan antara kelas sosial dan pengetahuan. Atau lebih jauh lagi,
dahulu pengertian pedagogi kritis. Pedagogi kritis adalah pendekatan pendidikan yang
kepercayaan dan praktik-praktik yang mendominasi mereka. Berikut di bawah ini diberikan
beberapa konsep kunci dalam memahami gagasan dasar dan praksis pedagogi kritis
Hegemoni
mereka di sekolah. Sekolah bagi mereka, dengan memperhatikan apa yang dilakukan para
guru, murid, administrator, hanya menjalankan berbagai nilai yang dimiliki dan dijalankan
kelompok tertentu yang mendominasi. Mereka tidak lagi mempertanyakan nilai-nilai yang
diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, apa yang diajarkan di sekolah diterima sebagai
sesuatu yang masuk akal. Artinya apa yang diajarkan diterima begitu saja, tanpa
dipertanyakan kembali, hingga akhirnya menjelma menjadi ideologi yang cukup diyakini
tanpa dikritik.
Seperti kita ketahui, di masyarakat terdapat berbagai kelompok sosial yang berbeda
satu sama lain. Realitas menunjukkan bahwa kelompok yang didominasi relatif menerima
begitu saja tanpa perlawanan ide-ide, kepercayaankepercayaan yang berasal dari kelompok
3
dominan. Kepercayaankepercayaan, ide-ide atau ideologi kelompok dominan tersebut
perlawanan ini disebut hegemoni. Sayangnya realitas sosial mengenai praktik dominasi dan
hegemoni ini tidak banyak dipahami dan disadari, oleh karena itu menjadi wajar jika
pengetahuan dari kelompok yang mendominasi, karena memang mereka tidak tahu bahwa
yang terjadi adalah praktik hegemoni yang membuat pengetahuan menjadi beku, tidak
Dialog
Dialog adalah konsep kunci dalam pedagogi kritis. Bagi Freire, dialog adalah suatu
relasi horisontal yang penuh persahabatan antara dua individu yang dipenuhi cinta, harapan,
kepercayaan diri, dan juga penilaian kritis. Apa makna hubungan horizontal untuk guru dan
siswa? Kembali menurut Freire, posisi yang sejajar antara siswa dan guru di sekolah atau di
kelas membawa mereka ke sikap saling pengertian antara guru dan siswa. Saling pengertian
ini adalah unsur afektif utama dari pendidikan dialogis yang diusung oleh Freire. Makna lain
dari konsep dialog yang diusung Freire adalah adanya pengertian saling berbagi dan saling
memberi antara guru dan siswa yang berdialog. Dialog juga berkaitan erat dengan
komunikasi. Kedua konsep tersebut tidak saja merupakan konsep penting dalam praksis
pendidikan, tetapi juga menunjukkan bahwa kedua konsep tersebut selalu berjalan beriringan.
Dialog dan komunikasi tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Dalam pengertian inilah kita
dapat memahami ketika Freire mengatakan: dalam suasana dialoglah, manusia berkembang
Konsep dialog yang ditekankan para ahli pedagogik kritik tidak lain untuk
Hubungan antara guru dan murid dalam pendidikan yang berisi, sarat dengan dialog, tentu
4
berbeda dari hubungan antara guru dan murid yang “anti-dialog”. Sayangnya model
pendidikan yang antidialog sekarang masih dominan menguasai pola pikir orangorang yang
berada di sekolah. Apa ciri pendidikan anti-dialog? Dialog bercirikan di antaranya dalam
bentuk relasi horizontal, penuh dengan cinta, harapan antar manusia yang berkomunikasi,
sedangkan pendidikan anti-dialog bersifat, antara lain, relasi vertikal, tanpa cinta, kosong dari
nalar kritis. Fakta bahwa praksis pendidikan anti-dialog masih menyelimuti dunia pendidikan
sekarang ini, terutama pendidikan formal persekolahan (schooling), Freire mengajak para
guru untuk “melawan” praksis pendidikan anti-dialog melalui apa yang disebut sebagai
gagasan dan praksis “pedagogi komunikatif”, atau “pedagogi dialogis”, yaitu pedagogi yang
Pemerdekaan
Mendidik, bagi pedagogi kritis, bukan pendidikan laisezfaire yang hanya menekankan
pada kebebasan sepenuhnya pada diri seseorang. Mendidik adalah menawarkan satu arah
kepada siswa, arah yang merupakan bagian dari kegiatan pendidikan, dan bukan satu-satunya
arah yang dipaksakan guru. Dan arah tersebut membentuk seseorang menjadi aktor sosial
yang berfungsi membebaskan diri dan membebaskan orang lain dari kungkungan kultur kelas
dominan. Dalam pengertian ini pemerdekaan ini sama sekali tidak bersifat individual, tetapi
sosial; pendidikan tidak ditujukan hanya untuk mencapai prestasi individu, lebih dari itu
ditujukan untuk memerdekakan diri individu, kelompok sosial, dan lingkungan dari
penindasan, ketidakadilan, diskriminasi, dan sejenisnya. Dalam konteks ini, merujuk pada
5
Lontar Masalah
Jika kita perhatikan kegiatan di ruang kelas belajarmengajar suatu sekolah, dengan
cepat dan tanpa kesulitan, kita akan melihat sang guru begitu menguasai kelas. Sang guru
bisa dikatakan tidak saja menguasai ruang tetapi juga waktu untuk berbicara tak henti-
hentinya. Dia sibuk menyampaikan pengetahuan yang tertulis di buku ajar tanpa
memperhatikan keinginan murid-muridnya. Pengajaran satu arah ini, yang dalam bahasan
ruang kelas sekolah sampai sekarang. Pedagogi Kritis menyadari bahwa model pengajaran
tersebut tidak seharusnya menguasai sekolahsekolah. Lalu apa yang ditawarkan Pedagogi
Kritis? Para ahli pedagogi kritis mengusung pendidikan yang bertumpu pada pertanyaan-
pertanyaan yang dilahirkan secara alamiah oleh guru beserta murid-muridnya, yang dalam
konteks ini disebut sebagai pendidikan yang sarat dengan “lontarmasalah” (problem posing).
Di sini, guru tidak lagi melulu sebagai penyampai informasi, melainkan, merujuk pada
pendapat Ira Shor (1992), guru lebih sebagai sebagai “pelontar masalah” (teacher as problem-
poser) Sebagai “pelontar masalah”, seorang guru bisa memulai pelajaran tentang “kebaikan”
di awal pelajaran dengan pertanyaan-pertanyaan, “Apa yang dipahami oleh anak mengenai
pengertian ‘anak yang baik’?” Setelah memperoleh jawaban, sang guru dapat melanjukan
pertanyaan, “Bagaimana menjadi anak yang baik?”; “Anak yang baik menurut siapa ?” “Apa
yang dilakukan sekolah terhadap anak yang baik?”; “Apakah setiap anak yang baik
memperoleh perlakuan yang sama dari sekolah?” “Jika tidak, apa sebab?”; “Siapa yang
diuntungkan dengan definisi anak baik yang dibuat dan diajarkan di sekolah?” Dalam kelas
guru sebagai seorang “pelontar masalah” akan mengantar murid-muridnya menjadi “pelontar
masalah” juga. Paling tidak, kelas sang pelontar masalah akan membawa murid-muridnya
aktif dan berpikir kritis. Singkat kata, bersama guru “pelontar masalah” di dalam kelas akan
6
Bahasa Kritis dan Bahasa Posibilitas
merupakan dua konsep penting dalam Pedagogi Kritis. Bahkan dapat dikatakan pedagogi
kritis bertujuan mencampur atau mengelaborasi “bahasa kritis” dengan “bahasa posibilitas”
dalam praksis pendidikan (Giroux, 1988). Sebagai awal, konsep “bahasa kritis” dapat
dipahami sebagai daya baca, pemahaman, analisis, dan artikulasi secara kritis terhadap
realitas sosial masyarakat dan praksis pendidikan, hingga dapat melihat praktik-praktik
ketidakadilan, diskrmininasi, pembodohan dan lainnya di balik realitas sosial. Dengan kata
lain, tidak terjebak pada pandangan dan sikap yang menerima realitas sosial masyarakat dan
praksis pendidikan sebagai kondisi yang baik-baik saja, melainkan bergerak lebih lanjut
dengan melihatnya secara kritis. Selanjutnya, “bahasa posibilitas” dapat dipahami sebagai
kita dapat membangun realitas sosial lain, yang berbeda dari yang sekarang ada, yang lebih
masyarakat dan praksis pendidikan sekarang yang dikendalikan oleh logika dan hasrat
kapitalisme bukanlah sesuatu yang tak dapat dirubah, selalu terdapat kemungkinan untuk
merubahnya menjadi lebih baik. Jadi, “bahasa kritis” adalah daya kritis dalam mengungkap
realitas sosial dan “bahasa posibilitas” adalah gambaran dan arah untuk melakukan tindakan
(action) riil perubahan atau transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Guru yang
“berbahasa kritis” artinya adalah guru yang dapat memahami realitas sosial dan masyarakat
secara kritis, guru yang mempertanyakan kerangka interpretasi yang telah ada dan dipilih,
Melalui “bahasa kritis” guru akan menyadari secara kritis keadaannya dan akan mencapai
kesadaran kritis. Bersama kesadaran kritis ini, guru akan memperkuat hasrat mengubah
7
keadaan. Dengan kata lain, kesadaran kritis mengantar guru ke “bahasa posibilitas”, yaitu
bahasa yang mengantar guru dan murid-murid berhasrat yang tinggi untuk menjelajahi
alternatifalternatif atau kemungkinan (posibilitas) baru, selain dari realitas sosial yang ada
sekarang ini. Bahasa posibilitas dengan demikian, mengikuti ungkapan Giroux, adalah bahasa
yang merujuk pada the language of the “not yet”’, yaitu bahasa yang meminta kita
menggunakan imajinasi dan memeliharanya dengan baik untuk memperlihatkan dengan kritis
apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi. Bahasa Kritis biasanya disebut juga “bahasa
keputusasaan”, karena itu dia harus ditemankan dengan bahasa posibilitas, bahasa harapan,
bahasa, yang menurut Freire, menerima utopia sebagai mimpi yang mungkin direalisasikan.
Disebut “bahasa keputusasaan” karena melihat realitas sosial sebagai fakta riil yang tak
terelakkan dan dirasa sulit untuk dirubah karena dominasi dan hegemoni yang begitu kuat,
sebagaimana yang kita lihat pada gagasan dan praksis pendidikan liberal dan bernuansa
kapitalis sekarang ini di Indonesia. Di sisi lain, bahasa posibilitas menjadi dasar argumentasi
bahwa dominasi dan hegemoni pendidikan liberal dan kapitalis sekarang ini bukanlah hal
yang sama sekali tidak bisa dirubah, imajinasi terciptanya praksis pendidikan yang
Seperti yang dikemukakan di atas, bab ini hanya bertujuan hanya mengantar ke
“pintu” pemahaman dasar mengenai pedagogi kritis. Setelah membaca pengantar menuju ke
pintu Pedagogi Kritis ini, para pembaca dapat meneruskan perjalanannya untuk memasuki
pintu pedagogi kritis. Untuk mengakhiri uraian saya ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa
seperti yang dirinci di atas, adalah pendekatan pendidikan yang diharapkan tidak saja
menghidupkan kelas dengan pertanyaan pertanyan kritis tetapi juga sekaligus membawa
harapan akan perubahan keadaan, yaitu keadaan yang memperlihatkan jarak yang jauh antara
apa yang ada dan terjadi di dalam pendidikan (riil) dengan yang seharusnya terjadi (ideal)
8
keadaan yang menunjukkan kesenjangan antara mereka yang berlebihan dan mereka yang
terkuras, seperti diungkapkan W.S. Rendra dalam puisinya “Sajak Sebatang Lisong”:
“dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya: kita ini dididik untuk memihak
yang mana? ilmu-ilmu diajarkan disini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat
penindasan?”
9
BAB II
Bagaimana pedagogi kritis dipraktekkan di dalam kelas? Literasi kritis (critical literacy)
merupakan salah bentuk penerapan pembelajaran dengan pendekatan pedagogi kritis. Untuk
memahami literasi kritis, kita harus memahami dulu apa itu literasi. Literasi pada dasarnya
adalah kemampuan berbahasa, yang terdiri dari empat unsur utama: mendengarkan atau
menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Jadi,
secara ringkas literasi kritis adalah literasi yang menggunakan perspektif pedagogi kritis.
Bagian ini akan membahas tentang persoalan literasi, konsep literasi kritis, dan bagaimana
mempraktekkan literasi kritis di dalam kelas. Kemampuan berbahasa pada dasarnya melekat
pada diri semua orang. Dalam kondisi normal, seorang bayi secara alamiah memiliki
kemampuan bahasa. Beberapa saat setelah dilahirkan, secara natural ia akan mengamati
gerak-gerik ibu dan ayahnya, mengamati situasi di sekelilingnya. Dengan cara itu pula secara
perlahan ia akan meniru gerakan bibir ibu dan orang-orang yang berada di dekatnya. Dari
bunyi-bunyian yang tidak jelas, ia kemudian bisa mengucapkan beberapa kata dan akhirnya
Tidak perlu sebuah usaha khusus yang dilakukan secara sistematis Berbeda dengan
kemampuan mendengarkan dan berbicara, kemampuan membaca dan menulis hanya bisa
diperoleh dengan mempelajarinya secara khusus. Ini adalah kharakteristik yang membedakan
antara seorang terdidik dengan yang lainnya—yang “tidak terdidik”. Seseorang baru bisa
dikatakan terpelajar atau literate apabila ia menguasai empat unsur kemampuan berbahasa
membaca dan menulis, seseorang belum dapat disebut sebagai telah memiliki kharakter
sebagai seorang terdidik. Setinggi apapun sekolah yang diikuti atau ijazah yang diperolehnya,
1
apabila ia tidak memiliki kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis secara
bersamaan ia bukanlah seorang terdidik. Oleh karena itu kemampuan berbahasa atau literasi
harus menjadi jantung pembelajaran di sekolah. Di sinilah letak persoalannya. Sekolah tidak
menjadikan literasi sebagai hal yang penting. Murid tidak dilatih secara terus-menerus
anak hanya dihadapkan pada latihan soal. Membaca buku bukan menjadi menu sehari-hari di
sekolah, bahkan sekolah-sekolah yang memakai label rintisan berstandar nasional. Murid
hanya disodori buku-buku pelajaran. Padahal buku pelajaran tidak lain merupakan
pengetahuan yang disimplifikasi, atau disederhanakan, dan dipadatkan. Dalam era informasi
seperti sekarang, terjadi apa yang disebut ledakan informasi. Akibatnya, makin hari makin
banyak dan makin tebal buku-buku pelajaran yang harus dibawa anak. Anak kemudian
dijejali informasi dan pengetahuan sebanyak-banyaknya. Seolah kita tidak peduli bahwa
kapasitas otak manusia terbatas. Pendididikan ala bank, dengan menjejalkan sebanyak-
pendidikan seharusnya memberikan kepada pancing kepada murid, bukan ikannya. Pancing
di sini tidak lain adalah kemampuan untuk mencari dan menyerap pengetahuan. Kemampuan
ini sebagian besar ditentukan oleh kemampuan baca. Kemampuan baca pada gilirannya
mungkin menguasai kemampuan menulis dengan baik. Sama juga dengan kemampuan
sekolah, literasi bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa. Tanggung jawab utama
memang berada di pundak guru bahasa. Akan tetapi semua guru juga memiliki tanggung
matematika, atau olahraga. Guru hanya bisa melaksanakan kewajiban itu apabila guru itu
1
sendiri sadar bahwa secara terus-menerus ia harus mengembangkan kemampuan membaca
Kelompok Paedia
Persoalan literasi bukan hanya masalah di Indonesia. Di Amerika Serikat pun, literasi
pembaharuan pendidikan Paedia yang dipimpin oleh Mortimer Adler pada 1980-an. (lihat
Barzun, 2009) Salah satu ciri dari sekolah Paedia adalah menempatkan literasi sebagai hal
yang utama dalam proses pembelajaran, dari tingkat SD sampai SMA. Kelompok ini
membuat sebuah daftar bacaan untuk siswa kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA berdasarkan
kelompok umur. Daftar itu mencakup ratusan buku, yang terdiri dari buku fiksi dan nonfiksi.
Termasuk dalam daftar bacaan itu adalah buku-buku kumpulan puisi, drama, feature dan
biografi, serta filsafat. Kelompok Paedia membagi pembelajaran dalam tiga kolom (lihat
tabel). Pengajaran, ceramah, dan respon terhadap teks berada pada kolom pertama.
Tujuannya adalah menyerap pengetahuan. Pada kolom kedua, pembelajaran diarahkan pada
pembelajaran diarahkan untuk perluasan dan pendalaman ide dan nilai-nilai. Metode yang
digunakan adalah pertanyaan sokratik dan diskusi buku atau karya seni. Di Indonesia, metode
membaca dan menulis pun belum lazim dipraktekkan, apalagi diskusi-diskusi buku dan
Indonesia pun literasi bukan menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran. Apalagi
untuk bidang sains dan matematika. Terlalu dini anak-anak Indonesia dijuruskan dalam
bidang-bidang studi yang sangat spesifik dan kemudian dipaksa memakai kaca mata kuda.
Membaca buku tidak pernah disentuh dalam pembelajaran matematika, fisika, kimia, maupun
biologi di tingkat SMA. Padahal di pasar tersedia banyak buku menarik untuk pembelajaran
1
sains, seperti buku karya Alfred Russel Wallace, Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah
Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam yang diterbitkan Komunitas Bambu (2009) dan buku
karya Simon Winchester, Krakatoa: Ketika Dunia Meledak bisa menjadi bacaan yang sangat
Dengan membaca Krakatoa, anak akan memahami bahwa ilmu pengetahuan bukanlah
sebuah barang mati yang berdiri sendiri. Di sini tidak ada tembok yang memisahkan antara
ilmu alam dan ilmu sosial. Geologi, fisika, biologi, sejarah, politik, sastra, dan seni berpadu
menjadi sebuah karya ilmiah naratif yang mengagumkan. Mengajari anak membaca buku-
buku teks semacam ini memang memerlukan waktu, tenaga, selain juga kesabaran. Pada bab-
bab pertama anak perlu diajak membaca bersamasama dan diskusi. Setelah itu anak akan bisa
menyelesaikan bacaannya sendiri. Dan sekali anak lolos membaca buku-buku ini, ia akan
akan luar biasa apabila proses ini dilakukan berulang kali. Di sinilah hakikat pendidikan
Literasi Kritis
penggunaan bahasa secara kritis tanpa memperhatikan nilai-nilai sosial akan menghadapkan
risiko memberikan alat yang ampuh yang justru bisa dipergunakan untuk melawan keadilan
dapat dipergunakan untuk pemberdayaan diri sendiri atau pemberdayaan sosial. Sebaliknya ia
dapat pula menjadi alat untuk melanggengkan represi dan donimasi. Oleh karena itu, menurut
Henry Giroux, perlu disadari tentang perlunya menghadirkan sebuah pandangan radikal
1
kondisi sosial yang melemahkan peluang bentuk-bentuk komunitas dan kehidupan publik
yang diorganisasikan berdasarkan demokrasi kritis. Persoalan ini, menurut Giroux, bukan
hanya terkait dengan kelompok miskin dan minoritas saja tetapi juga problem yang dihadapi
kelas menengah dan atas yang ditarik dari kehidupan publik ke dalam dunia yang disapu oleh
Literasi kritis secara ringkas dapat dipahami sebagai kemampuan membaca teks
secara aktif dan reflektif dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang
kekuasaan, ketidaksamaan atau kesenjangan, dan ketidakadilan dalam relasi manusia. Literasi
Australia dan Kanada akan tetapi literasi kritis di sini telah mengalami deideologisasi dengan
ketidakadilan.
Teks dalam literasi kritis didefinisikan sebagai sebuah kendaraan bagi individu-
individu untuk berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan kode-kode dan
konvensikonvensi yang diterima suatu masyarakat. Oleh karena itu lagu, dialog, gambar,
Literasi kritis berkembang dari pedagogi kritis yang dipelopori oleh Paulo Freire yang
muncul dalam bukunya Pedagogi Kaum Tertindas (Pedagogy of the Opressed). Freire
menekankan urgensi menumbuhkan kesadaran sosial siswa dengan cara melakukan kritik
terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Proses
penyadaran ini tidak akan muncul dalam sistem pendidikan ala bank di mana siswa
diperlakukan seperti bejana kosong yang menunggu untuk diisi. Penyadaran tidak bisa
dilakukan ketika pendidikan dihinggapi “penyakit narasi” tetapi hanya bisa dilakukan apabila
1
berdasarkan pengalaman yang telah ia miliki. Sebagai konsekuensinya guru dan murid harus
berada dalam posisi yang sejajar. Guru adalah pengajar sekaligus pembelajar. Sebaliknya
murid selain pembelajar juga sekaligus merupakan pengajar. Interaksi dialogis, bukan
menginterpretasikan kata-kata atau bahasa, tetapi didahului dan saling bersinggungan dengan
pengetahuan tentang dunia. Bahasa dan realitas, menurut Freire, saling terhubung sehingga
pemahaman yang dicapai dalam membaca kritis harus melihat keterkaitan antara teks dan
konteks. “Membaca dunia selalu diawali dengan membaca kata, dan seterusnya membaca
kata berarti membaca dunia,” kata Freire. Karena itu literasi merupakan gerakan dinamis
yang melibatkan persepsi kritis, interpretasi dan menuliskan kembali apa yang telah dibaca
Bagi kaum Frerian, literasi kritis merupakan cara untuk memberdayakan kelompok
tertindas melawan penindasan dan pemaksaan yang biasa dilakukan oleh korporasi atau
negara. Tujuan akhir literasi kritis adalah mengatasi atau menghapuskan ketimpangan sosial
dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul akibat penyalahgunaan kekuasaan melalui
pengujian, analisa, dan dekonstuksi teks. Dengan catatan, dekonstruksi dilakukan secara
Bagi kaum Frerian, literasi kritis merupakan cara untuk memberdayakan kelompok
tertindas melawan penindasan dan pemaksaan yang biasa dilakukan oleh korporasi atau
negara. Tujuan akhir literasi kritis adalah mengatasi atau menghapuskan ketimpangan sosial
dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul akibat penyalahgunaan kekuasaan melalui
pengujian, analisa, dan dekonstuksi teks. Dengan catatan, dekonstruksi dilakukan secara
1
Pendekatan literasi kritis mendorong siswa untuk mempertanyakan perbagai persoalan
terkait issu relasi kekuasaan yang muncul dalam kesenjangan sosial yang dilatarbelakangi
status sosial ekonomi, ras, kelas, gender, orientasi sosial, dan sebagainya. Menjadi “literate”
secara kritis berati menguasai kemampuan untuk membaca dan mengkritisi pesan-pesan
dalam teks untuk memahami dengan lebih baik pengetahuan siapa yang diuntungkan (Coffey,
2010). Teks sering diproduksi berdasarkan asumsi, prasangka, diskriminasi, atau agenda
tersembunyi penguasa politik atau bisnis. Agar siswa dapat menjadi pembaca kritis ia harus
mampu membaca secara reflektif, memberikan makna pada pesan yang disampaikan, bukan
kepada murid, mendorong murid mencari jawaban, dan melakukan aksi. (Johnson dan
Rogers, 2006). Membaca, kritik sosial, analisa sosial, dan aksi sosial merupakan alat untuk
mewujudkan sebuah tatanan yang berbeda dari yang ada saat ini. Melalui kritik sosial, kita
mulai mempertanyakan mengapa hal-hal seperti ini terjadi; melalui analisa sosial, kita mulai
melihat relasi yang lebih luas serta persoalan kekuasaan dan kontrol yang terjadi dalam
komunitas dan masyrakat kita; dan melalui aksi sosial kita bertindak berdasarkan kritik dan
analisis reflektif dalam rangka menempatkan diri kita dalam posisi yang berbeda (Vasquez,
2004).
Oleh karena literasi kritis mensyaratkan integrasi kegiatan membaca atau memahami
reflektif tidak hanya akan mendorong siswa untuk mengaitkan teks dengan pengalaman
pribadi maupun konteks sosial tetapi juga akan menghubungkan teks dengan dunia yang lebih
luas di luar sekolah. Dalam hal ini kepiawaian guru dalam melontarkan pertanyaanpertanyaan
untuk merangsang dialog yang menggugah emosi dan pemikiran yang mendalam
1
sebagaimana dalam kelas Sokratik menjadi sangat krusial. Dalam pembahasan karya sastra,
misalnya, jauh lebih penting dialog tentang bagaimana penilaian siswa tentang bacaan
tersebut, adegan mana yang lucu atau membuat sedih, siapa tokoh yang jahat dan baik, dan
pertanyaan-pertanyaan yang menggugah emosi, empati, dan perasaan simpati yang kuat
terhadap orang yang menderita atau korban daripada diskusi tentang unsur-unsur kritik sastra.
Dalam mendiskusikan teks, salah satu aspek yang penting adalah bagaimana teks tersebut
dapat menggugah kesadaran siswa untuk bertindak. Ini bisa dilakukan dengan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan, seperti “Apa yang kamu lakukan seandainya kamu adalah si X?”
Kemudian guru dapat mengajak siswa untuk melihat situasi ketidakadilan di lingkungan
sekitar yang mirip dengan situasi dalam teks dan meminta siswa untuk memikirkan apa yang
bisa dirancang dan dilakukan oleh siswa untuk mengatasi persoalan itu. Bertolak dari inilah
aksi konkret bisa dilakukan, seperti membuat petisi, mengirim surat pembaca, menyurati
Dengan demikian literasi kritis terkait erat dengan aspek konatif, atau kemauan untuk
bertindak, yang esensial tetapi sering dilupakan dalam proses pendidikan. Aspek konatif ini
terhadap situasi yang terjadi di lingkungan dan ikut mengambil bagian secara aktif dalam
proses perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih adil. Pembelajaran liteasi kritis akan
menjadi individu yang siap berkompetisi dalam pasar terbuka tetapi untuk mempersiapkan
pula siswa menjadi bagian dari warga negara yang berani memulai perubahan.
1
BAB III
kelas pedagogi kritis dan praktek pembelajaran literasi kritis sangat erat kaitannya
dengan seni (dan sastra). Karena pada dasarnya setiap manusia menyukai seni, pembelajaran
dengan dan melalui seni akan membuat kelas menjadi menarik dan menyenangkan, bukan
hanya bagi murid tetapi juga bagi gurunya. Dengan menggunakan karya sastra—seperti puisi,
cerpen, atau novel, misalnya—pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) atau sejarah bisa
lebih hidup, tidak membosankan seperti ketika murid harus berhadapan dengan teks buku
Mengajar dengan dan melalui seni juga akan membantu guru mengatasi kesulitan
membuat murid-muridnya kerasan di kelas. Tidak semua guru memiliki bakat alam mengajar
dengan ceramah yang memukau. Seni dalam pembelajaran bisa membantu guru untuk
menguatkan posisinya di dalam kelas. Mengajar dengan dan melalui seni akan membuat kita
bisa mengatasi keterbatasan personal dengan terciptanya kelas yang interaktif dan kreatif
Pembelajaran dengan dan melalui seni sedikit terkendala bila guru tidak mengenal
atau tidak menyukai seni. Apalagi seni tidak menjadi bagian penting dalam pendidikan guru
di Indonesia selama ini. Guru yang tidak suka puisi, misalnya, akan kesulitan
menyelenggarakn pembelajaran dengan menggunakan puisi. Dalam situasi ini maka langkah
pertama yang harus dilakukan guru adalah berusaha untuk menyukai seni, dengan mulai
membaca puisi, cerpen, atau karya sastra lainnya serta berbagai bentuk karya seni visual,
seperti foto, lukisan, film. Di dalam kelas, guru dan murid bisa sama-sama belajar untuk
menikmati seni. Guru harus memilih bahan ajar yang memang sesuai dengan karakter yang ia
sukai, misalnya; lagu, film, drama, ataupun tarian. Pada kenyataannya, produk seni yang
1
paling sering dijadikan sebagai media pembelajaran adalah musik, baik itu musik tradisional
ataupun modern.
Tetapi guru tetap harus berhati-hati apabila menggunakan seni sebagai alat
pembelajaran. Jangan sampai justru seni itu sendiri yang menjadi subyek pembahasan bukan
nilai-nilai pelajaran yang sedang dibahas. Misalnya, ketika seorang guru mengajarkan materi
sejarah dengan menggunakan lukisan, siswa justru cenderung membahas soal lukisan bukan
materi sejarahnya. Untuk menghindari hal ini, guru bisa melakukan dialog dengan siswanya.
Secara teknis ia memberikan pertanyaan-pertanyaan pada siswa mengenai lukisan itu yang
Ada sedikitnya tiga hal yang bisa dijadikan alasan mengapa pembelajaran dengan dan
melalui seni perlu dilakukan. Pertama, seni memiliki daya tarik. Pada dasarnya, semua orang
termasuk guru pasti menyukai seni dalam berbagai bentuk. Kedua, seni merupakan cermin
kehidupan nyata yang multi-interpretasi. Ketiga, seni adalah media untuk mengekspresikan
gagasan dan emosi. Dari ketiga poin ini, poin yang paling penting adalah yang pertama, yakni
daya tarik. Daya tarik inilah yang akan membantu proses pembelajaran berjalan dengan lebih
efektif dan meningkatkan relasi guru dan murid ke level dialogis, bukan monologis. Seni dan
sastra erat menghubungkan seseorang dengan ide dan emosi. Sayangnya pembelajaran seni di
sekolahsekolah tidak dianggap penting. Pembelajaran seni dan sastra cenderung terpisah dari
kurikulum pokok dan hanya dianggap sebagai pengayaan atau pelengkap saja.
Seni pada dasarnya dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran lain, baik bidang
sosial ataupun sains. Kita perlu membedakan antara belajar tentang seni (about art) dan
belajar melalui seni (through art). Belajar tentang seni adalah belajar seni sebagai sebuah
disiplin atau mata pelajaran sebagaimana kita pahami secara tradisional. Belajar melalui seni
1
adalah menggunakan seni sebagai alat atau strategi pengajaran untuk membantu murid
Belajar dengan seni berarti belajar sesuatu dengan menggunakan karya seni sebagai
sumber belajar. Sebagai contoh, kita bisa menggunakan lagu atau puisi untuk menambah
memproduksi sebuah karya seni– seperti lagu, puisi, atau drama—terkait dengan materi yang
tengah mereka pelajari. Karya seni ini dihasilkan murid setelah mereka memahami atau
mengeksplorasi subjek atau materi pembelajaran. Produknya bisa beragam, bisa drama, puisi,
lagu, dan hal-hal lainnya. Karya yang dihasilkan murid ini sekaligus bisa menjadi dasar
evaluasi atau penilian guru terhadap kemampuan siswa dalam memahami materi
pembelajaran.
karya seni. Murid bisa diminta menggambar, menulis puisi, bermain drama, membuat lagu
seni akan membantu murid “mengalami” dan terlibat secara personal dalam narasi atau
dengan pentingnya menggunakan cara pembelajaran yang beragam. Selain itu pembelajaran
melalui seni juga sangat sesuai latar belakang murid yang memiliki keragaman budaya dan
bahasa. Belajar dengan melalui seni akan meningkatkan keterampilan berpikir secara kritis
dan kreatif, dorongan untuk maju, keberanian mengambil risiko, kemampuan bekerja sama,
dan rasa percaya diri. Tentu saja dengan belajar seni akan meningkatkan pemahaman dan
apresiasi anak terhadap itu seni sendiri. Pergaulan dengan seni juga merupakan kharakteristik
seorang terdidik. Pembelajaran seni merupakan sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri,
2
Seni dapat membantu anak mengalami dari dekat sehingga akan membuat mereka
memahami konsep dalam sains dan mata pelajaran lainnya secara mendalam. Seni memiliki
kekuatan untuk memotivasi dan melibatkan anak, termasuk bagi mereka yang tidak mampu
atau tidak ingin berpartisipasi penuh dalam pelajaran sekolah. Guru dan murid dapat
bersamasama menikmati pengajaran dan pembelajaran melalui seni. Pendekatan ini dapat
Pembelajaran dengan dan melalui seni sebaiknya samasama dipergunakan. Dalam hal
ini pembelajaran juga bisa dilakukan berkolaborasi dengan guru-guru seni dan bahasa. Hal
yang penting diingat, dalam pembelajaran dengan dan melalui seni ini, seni dipergunakan
sebagai media. Dengan demikian kita jangan terjebak meninggalkan tema pokok
pembelajaran, sehingga menjadi pelajaran seni atau kritik seni. Dalam hal ini guru memegang
peranan penting untuk menekankan konten ilmu pengetahuan yang diajarkan sehingga
Oleh karena itu, dalam pembelajaran dengan seni, guru bisa menggunakan standar
kompetensi pembelajaran untuk membantu menyesuaikan bahan ajar apa yang cocok
digunakan dalam pembelajaran. Jangan sampai karya seni yang digunakan justru tidak ada
hubungannya dengan materi pokok yang diajarkan. Salah satu kunci berhasil tidaknya seni
dalam pembelajaran dengan seni adalah kemampuan guru dalam mengarahkan siswanya
dalam dialog tanya jawab. Guru harus berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa
memancing siswa untuk berimajinasi dan mengekplorasi pengetahuan yang ingin ia pahami.
Pertanyan itu bisa diawali dengan yang sederhana. Misalnya, apa pendapatmu tentang lukisan
itu? Apa menurutmu lukisan itu bagus? Apa yang menarik dengan lukisan itu? Jawaban yang
diberikan murid terus dikejar sehingga terjadi diskusi yang dapat mengantarkan siswa pada
poin utama pembahasan materi. Tentu saja diskusi harus mendalam dan argumentatif agar
tidak terjebak pada diskusi yang datar dan hanya pada permukaan saja. Ini berarti guru juga
2
harus berani memberikan pertanyaan, sebagaimana terjadi dalam kelas Sokratik. Metode
seperti ini bukan hal yang sulit untuk diterapkan, selama ini problemnya hanya pada
keberanian guru untuk mencoba.Tentu saja ini juga menuntut keluasan pengetahuan seorang
guru sehingga ia dapat memberikan arah dalam dialog dan diskusi. Bila sekali guru berhasil
2
Penerapan Pembelajaraan Pancasila
Generasi muda merupakan masa peralihan dari remaja ke dewasa muda. Masa mudaadalah
masa transisi antara kanak-kanak dan dewasa, dan mereka relatif belum mencapai tahap
kematangan mental serta sosial sehingga harus menghadapi tekanan emosi, psikologi, dan
sosial yang saling bertentangan. Dengan segala potensi, kepribadian dan konflik yang ada
dalam dirinya, menjadikan generasi muda sebagai suatu jiwa yang khas dalam proses transisi
menuju manusia dewasa. Kecenderungan generasi muda sekarang dalam pola pikir, perilaku,
dan gaya hidup yang serba instan, hedonis, dan cenderung kehilangan identitas yang berakar
dari budayanya
Degradasi kualitas generasi muda Indonesia saat ini, memasuki taraf yang mengkhawatirkan,
yang ditandai dengan melemahnya identitas dan ketahanan budaya. Lemahnya ketahanan
budaya tersebut tercermin antara lain dari lemahnya kemampuan dalam menyikapi dinamika
perubahan sebagai akibat dari tuntutan zaman yang secara kental diwarnai oleh derasnya
serbuan budaya global. Kebudayaan nasional yang diharapkan mampu sebagai katalisator
dalam mengadopsi nilai-nilai universal yang luhur dan sekaligus sebagai filter terhadap
masuknya budaya global yang bersifat negatif ternyata belum mampu berfungsi sebagaimana
mestinya. Tanpa adanya sikap adaptifkritis, maka adopsi budaya negatif, antara lain: sikap
budaya positifproduktif
melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan generasi muda, dan menguatnya sikap
ketergantungan, bahkan lebih jauh telah menyuburkan sikap apatis generasi muda terhadap
berbagai persoalan bangsanya. Generasi muda menjadi generasi yang cuek terhadap realitas
2
yang terjadi dalam masyarakat karena berpandangan bahwa bukan tugas dan kewajibannya
Selain itu persoalan generasi muda adalah menipisnya semangat nasionalisme tersebut juga
sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman (pluralitas)
yang menjadi ciri khas obyektif bangsa Indonesia. Selain itu nasionalisme Indonesia dalam
kalangan generasi muda tergerus oleh arus globalisasi yang deras memenuhi segala dimensi
Perilaku menyimpang seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran pelajar, kriminalitas,
dan lain-lain sangat akrab dengan generasi muda, bahkan mereka melakukannya dalam usia
yang relatif muda. Budaya urban mereka adaptasi dalam berbagai hal seperti gaya hidup dan
perilaku dalam berbusana, bergaul, nongkrong, musik, konsumsi, dan sebagai merasuk begitu
deras dalam kehidupan anak muda seharihari. Hal ini juga menjalar tidak hanya dalam
kehidupan anak muda di kota-kota besar, tetapi juga pelosok-pelosok desa. Perilaku dan gaya
hidup mereka mengimitasi dan menjalar dari berbagai kehidupan di dunia, tanpa mereka tahu
esensi dan makna dari apa yang mereka lakukan. Hal ini semua menunjukkan bahwa
Untuk itu perlu dibangun karakter generasi muda yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Hanya bangsa yang
memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat
dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, menjadi bangsa yang berkarakter
adalah keinginan kita semua. Soekarno selalu menggelorakan gerakan kesadaran untuk
membentuk “nation and character building”. Soekarno menyatakan bahwa tugas berat bangsa
pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
2
kuli. Generasi muda terseret oleh berbagai kehidupan modern yang hedonis, melupakan nilai-
membawa perubahan yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat, baik dari sisi positif
ataupun negatifnya. Pengaruh komunikasi dan informasi saat ini berperan utama
dalam membentuk sebagian besar tingkah laku dan kepribadian anak muda di
Indonesia. Gaya hidup dan perilaku anak muda yang hedonis terinspirasi dari televisi,
film, internet serta media komunikasi lainnya. Kejadian, kecenderungan gaya hidup di
belahan bumi lain, dengan pengaruh globalisasi membawa efek terinspirasinya anak
2. Degradasi kualitas moral Salah satu hal yang sangat memprihatinkan di kalangan
generasi muda adalah adanya kualitas moral, baik itu moral agama ataupun susila.
Semakin melunturnya norma dan nilai-nilai agama dan susila dalam masyarakat,
berubahnya persepsi dan kebiasaan tatanan kehidupan membawa kontribusi yang luar
biasa bagi penurunan kualitas moral. Bahkan dalam sebagian generasi muda
cenderung untuk melawan nilai dan arus dalam masyarakat. Idiom anti kemapanan
menjadi “trade mark” bagi sebagian anak muda untuk terlepas dari “kungkungan
nilai” dikarenakan degradasi kualitas moral dan terpengaruh dengan gaya hidup yang
hedonis
masyarakat merupakan asosiasi yang efektif bagi generasi muda untuk menumbuhkan
gaya hidup yang hedonis. Dalam banyak kasus, kekerasan dilakukan oleh generasi
muda secara berkelompok dan karena itu kekerasan menjadi kekerasan kolektif yang
secara psikologis, seseorang menjadi lebih berani dan terbuka dalam melakukan
kekerasan
2
4. Sikap emosional dan egoistik Generasi muda identik dengan tingginya sikap
emosional dan egoistik. Mereka melakukan berbagai tindakan berdasarkan emosi dan
ego, tidak berdasarkan rasio, tanpa memikirkan dampak dan akibatnya. Hanya untuk
Karakteristik generasi muda yang kurang memiliki akar budaya yang kuat dalam
kecenderungan perilaku dan gaya hidup anak muda dengan alasan sebagai berikut:
a. Memahami modernitas hanya dari kulit luarnya saja. tanpa memahami esensi
dan makna yang menjelma dalam otak, pola pikir, dan perilaku. Sehingga
berperilaku sesuai dengan tuntutan dalam proses imitasi tersebut. Dan perilaku
b. Bangga akan identitas fisik. Generasi muda bangga dengan identitas fisik yang
mereka miliki, dalam hal berpakaian (fashion), konsumsi (food), wajah (face),
fisik dan kesenangan (fun). Hal ini menjalar dalam berbagai hal dalam
kehidupan anak muda dan menjadi paradigma dan gaya hidup mereka. Mereka
bersaing untuk hidup secara konsumtif, tanpa memahami hakekat dan esensi
dari apa yang mereka lakukan. Mereka merasa bangga dengan apa yang
mereka miliki secara fisik, tanpa mengenal makna dan manfaat dari apa yang
mereka miliki
merupakan generasi yang instan dalam banyak. Mereka menyukai berbagai hal
yang instan tanpa harus ikut dalam proses di dalamnya. Mereka kurang
2
tersebut tidak mereka rasakan. Dari itulah mereka kurang memahami esensi
kebudayaan lain yang berasal dari Barat, sebagai pemuas berbagai kebutuhan
Fungsi dan Peran Pancasila dalam pembentukan Karakter dan Morallitas Generasi Muda
Menyiapkan generasi muda untuk mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa serta
menjauhkan mereka dari kontaminasi berbagai virus yang menggerogoti mentalitas bangsa
dan hal-hal negatif dari generasi muda. Untuk memfilter berbagai pengaruh negatif
didasarkan oleh nilai-nilai Pancasila dan agama. Pancasila harus mewarnai segala instrument
pendidikan dalam rangka menyiapkan generasi muda menjadi warga negara seperti yang
diharapkan masyarakat, bangsa, dan negara. Pancasila yang digali dari nilai-nilai budaya
demikian generasi muda memiliki ketahanan budaya yang dikembangkan dari Pancasila
Pancasila dapat menjadi filter segala sesuatu dari pengaruh negatif globalisasi. Selain itu,
dapat membangkitkan kesadaran kaum muda untuk memiliki moralitas dan mentalitas yang
positif, dengan berbagai hal yang harus dilakukan dalam lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan, dan masyarakat. Mengarahkan dan menyadarkan generasi muda pada hal-hal dan
2
kegiatan yang positif. Pendidikan dengan Pancasila sebagai dasarnya menekankan pada nilai-
Untuk itu Pancasila harus menjadi pandangan hidup generasi muda.Pandangan hidup
terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik, yang
akan membawa hidup dan kehidupan bangsa pada tujuan bersama. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia telah mampu memapu mempersatukan bangsa Indonesia
yang pluralis dan multikultural serta memberikan petunjuk dalam mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan lahir dan batin dalam masyarakat. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur
tersebut merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri dan
diyakini sebenarnya Memberikan bekal pendidikan yang berlandaskan pada konsep iman dan
taqwa dan pembentukan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan susila. Dalam
dunia pendidikan sudah saatnya direnungkan kembali sistem pendidikan nasional kita yang
hanya menekankan pada pembentukan aspek kognitif, yang hanya mendidik manusia menjadi
pintar. Untuk itu dibutuhkan pendidikan dengan teknis dan kurikulum yang lebih berpihak
pada pembentukan moral dan akhlaq yang positif, yang salah satunya dikembangkan dengan
wahana yang paling wajar dalam menanamkan nilai-nilai keindonesian, dan sekolah adalah
tempat untuk mengembangkannya, terutama bagi remaja usia sekolah. Pendidikan nasional
mempunyaiimpact yang sangat besar dalam pembentukan jati diri bangsa Indonesia.
Karena itulah, Pancasila sebagai penguat dan identitas nasional Indonesia perlu segera
direkonstruksi kembali oleh pemuda untuk diinternalisasikan dalam sikap dan nilai-nilai
dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila saat ini belum dihayati secara benar oleh generasi
2
muda, hanya dipahami sebagai suatu instrument, simbol-simbol negara tanpa memahami
hakikat dan makna dari esensi Pancasila itu sendiri. Sehingga, Pancasila menjadi unsur-unsur
akal dan jiwa generasi muda yang konsisten dan konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga
tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu lainnya
Pancasila harus menjadi hal yang menggambarkan identitas generasi muda kita dengan
sebuah jati diri bangsa suatu bangsa yang tercermin dalam bentuk aktivitas dan pola tingkah
lakunya yang dapat dikenali orang atau bangsa lain. Bagi bangsa Indonesia, jati diri bangsa
dalam bentuk kepribadian nasional ini, telah disepakati sejak bangsa Indonesia menyatakan
Negara dengan wujud pancasila, yang di dalamnya mengandung lima nilai-nilai dasar sebagai
gambaran kelakuan berpola bangsa Indonesia, yang erat dengan jiwa, moral dan kepribadian
bangsa
Pancasila tidak hanya diangkat sebagai dasar Negara namun juga menjadi pandangan hidup
bangsa. Rasa dan wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh cinta tanah air merupakan bagian
dari “ethico-mytical nucleus” dari suatu bangsa. Untuk itu pembudayaan dan internalisasi
nilai-nilai dasar tersebut perlu dilakukan secara terusmenerus dan konsekstual sesuai dengan
dan bernegara bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2 – 3) menilai,
bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan mendasar dalam cara orang memahami dan
menghayati Negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat sakral
dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakanakan sudah jelas betul dan pasti benar,
tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti ini membuat
2
berbagai konsep dan pengertian menjadi statis, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung
resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang
memiliki nilai yang permanen atau abadi.Operasionalisasi nilai Pancasila dituntut selalu
mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan penyerapan
dan pergaulan masyarakat dunia. Dalam konteks bernegara, operasionalisasi Pancasila tidak
bisa dilakukan secara langsung, melainkan melalui segala peraturan perundangan yangt
berlaku dalam kehidupan bernegara. Pelaksanaan dan kongkretisasi nilai Pancasila dalam
kehidupan bernegara tercermin pada seluruh bentuk perundangan, secara berjenjang dari
yang tertinggi kedudukan hukumnya sampai yang terendah, yaitu UUD 1945, Ketetapan
Seluruh peraturan perundangan tersebut harus terbuka terhadap amandemen atau judicial
Banyak orang mengkawatirkan bahwa derasnya arus modernisasi dan globalisasi bisa
melarutkan nilai-nilai tradisi dan identitas bangsa. Pengaruh budaya dan nilai-nilai asing
secara negatif menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan kepribadian
dan identitasnya. Apabila bangsa Indonesia tidak tepat mengambil sikap dalam menghadapi
derasnya nilai-nilai asing yang masuk, maka kepribadian dan identitas bangsa memang bisa
nilainilai Pancasila sebagai kepribadian dan identitas bangsa Indonesia. Pancasila akan
kehilangan kewibawaan dan relevansinya sebagai problem solver dalam kehidupan berbangsa
3
Sastrapratedja (1996: 8) bersikap optimistis dengan menyatakan bahwa ada indikasi
globalisasi tidak melemahkan negara kebangsaan tetapi justru memberi peluang untuk
kepentingan nasional, menjamin keamanan nasional dan mendapat keuntungan lebih besar.
kebudayaan baru. Bahkan Pancasila sendiri dapat dianggap sebagai hasil interaksi
Pada era globalisasi, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut terlibat dalam dialog dengan
bangsa-bangsa lain, namun bangsa Indonesia diharapkan tidak tenggelam dan hilang di
dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindarkan. Kalau bangsa Indonesia memahami
identitasnya sendiri sebagai bangsa dengan budaya yang hidup dan terus berkembang, maka
globalisasi tidak harus ditakuti sebagai ancaman bagi budaya bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia bahkan dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia dan ikut bermain dalam
Masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah mem”filter” atau menyaring tetapi mengolah
dalam interaksi yang dinamis, sehingga tercipta sesuatu yang baru. Budaya politik dan jati
diri bangsa adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena mereka bukan
Menghadapi arus medernisasi dan globalisasi dewasa ini, peranan ideologi Pancasila dalam
mampu melakukan “dialog antar budaya”, yaitu membiarkan budaya asing yang menglobal
berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi terus menerus, maka masing-masing
3
budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari
M.Habib Mustopo (1992: 12) berpandangan bahwa dalam menghadapi pertemuannya dengan
kebudayaan asing yang masuk sehingga tercipta suasana yang baru dan segar. Dinamika
masyarakat memang menuntut perlunya nilai Pancasila terus menerus dikonstruksikan. Kalau
Pancasila memang bersifat adaptif, maka Pancasila akan memiliki ketahanan menghadapi
arus kuat globalisasi dan bahkan mampu berperan mengarahkan dinamika globalisasi kea rah
peradaban yang manusiawi. Pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamis
perlu didorong untuk menghadapi masa depan. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mencari alternatif bagi pemecahan masalah di berbagai bidang
3
Peran Pemuda dalam Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila
Sebagai generasi penerus bangsa yang akan menjadi akar bangsa ini di masa mendatang
harus bisa mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional dengan memiliki modal dasar sebagai
agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (agen pengawas sosial) dalam
masyarakat. Karena pemuda merupakan suatu potensi yang besar sebagai armada dalam
kemajuan bangsa. Peran pemuda sangat penting dalam membangun peradaban dan kemajuan
suatu bangsa.
Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh generasi muda dalam menanamkan nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah sebagai berikut.
negara yang baik sesuai dengan tuntutan masyarakat, bangsa, dan negara. Peran ini dapat
dimainkan oleh generasi muda dengan membina generasi dibawahnya. Tugas besar pemuda
adalah mewariskan nilai-nilai ideal dalam hal ini Pancasila kepada generasi berikutnya. Nilai-
nilai ideal tersebut beberapa diantaranya adalah: gotong royong, musyawarah, nasionalisme,
demokrasi Pancasila, persatuan dan kesatuan, kerjasama, identitas jati diri, budaya, dan
sebagainya. Nilai-nilai yang diidealkan inilah kemudian diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya
Untuk itu generasi muda perlu belajar dari masyarakat secara langsung proses
pewarisan nilai-nilai tersebut. Dari itu terbentuk komitmen dan kesadaran terhadap nilainilai
sosial dan kemanusiaan, yang membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai
kehidupan sehari-hari serta mewariskan ke generasi dibawahnya. Generasi muda perlu secara
khusus menyiapkan diri sebagai warga negara yang diharapkan sebagai jembatan untuk
mewariskan nilai-nilai dari generasi ke generasi berikutnya, membentuk warga negara seperti
3
yang diharapkan harus mampu memberikan kontribusi yang besar dalam menyiapkan
Pancasila menjadi faktor yang menentukan dalam proses pewarisan nilai budaya bangsa.
Melalui proses pendidikan yang diperoleh mahasiswa dalam pendidikan, dapat ditransfer
secara nyata dalam masyarakat baik untuk generasi berikutnya ataupun masyarakat secara
keseluruhan
Pancasila sebagai dasarnya menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara
yang baik dan patriotik. Berdasarkan hal tersebut perlunya generasi muda terlibat secara lebih
aktif melalui penguatan identitas Indonesia dan ketahanan budaya dalam konteks interaksi
dalam komunitas masyarakat dengan membentuk ikatan kolektivitas, rasa kebersamaan yang
kepada generasi selanjutnya. Dengan konsep seperti inilah menumbuhkan identitas ke-
Indonesia-an yang kuat dan membentuk ketahanan budaya sebagai benteng yang mendasari
pengaruh apapun dari dampak negatif globalisasi dalam bentuk apapun dan menguatkan
Untuk itu dalam konteks pendidikan yang berlandaskan Pancasila perlu dilakukan kajian-
lingkungannya
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
3
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
Pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, sebagaimana yang
identitas nasional.Dengan konsep seperti generasi muda tidak akan tercerabut dari akar
budayanya, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan merupakan modal utama dan sangat penting dalam menanamkan nilainilai
memperkenalkan generasi kepada pengalaman kolektif dan masa lalu bangsanya. Pendidikan
komunitas yang lebih besar, sehingga tumbuh kesadaran kolektif dalam memiliki
kebersamaan dalam sejarah. Proses pengenalan diri inilah yang merupakan titik awal dari
timbulnya rasa harga diri, kebersamaan, dan keterikatan (sense of solidarity), rasa
keterpautan, dan rasa memiliki (sense of belonging), kemudian rasa bangga (sense of pride)
Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penguatan konten lokal dalam pendidikan
ekonomi, sejarah, sosial, budaya, geografi, dan sebagainya dalam materi pendidikan
global.
2. Melakukan analisis permasalahan dalam konten global dengan berangkat dari isu-isu
3
3. Melakukan filter dengan budaya dan kearifan lokal dalam konten global, sehingga
sebagai sebuah bangsa Selain itu Pancasila sangat besar peranannya dalam
memperkuat jati diri bangsa. Jati diri bangsa merupakan sesuatu yang telah disepakati
bersama seperti cita-cita masa depan yang sama berdasrkan pengalaman sejarah, baik
sebagai suatu bangsa dan oleh sebab itu bertekad untuk memperbaiki masa depan
yang lebih baik. Di dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia harus terus menerus di
dalam proses pembinaannya. Pembinaan jati diri generasi muda dapat dilaksanakan melalui
Kelekatan dan tanah air saling menguatkan di dalam upaya untuk kembali ke akar
sendiri. Perlu mengakarkan diri kembali, agar melekatkan diri mereka sendiri pada keaslian
mereka yang murni, diri mereka yang otentik. Masyarakat pascamodern juga merupakan
bertambahnya kekecewaan terhadap ideologi nasional, yang akan semakin menelan dan
mengikis budaya dan identitas nasional.Karena itulah, penguatan identitas perlu dilakukan
terutama generasi muda, baik itu melalui penguatan budaya dan sosial dengan jalur formal,
jati diri bangsa di tengah berbagai persoalan internal dan eksternal bangsa Indonesia. Oleh
karena itu kita perlu penguatan budaya kepada dalam pendidikan untuk penguatan identitas
3
nasional. Di dalam jaringan inilah seperti yang ditekankan oleh Tilaar terbentuk perilaku dari
para anggotanya yang telah diikat oleh rasa persatuan dan rasa saling membutuhkan satu
dengan yang lain. Dalam konteks inilah solidaritas dan kolektivitas dibangun menjadi sebuah
pondasi yang kuat. Komunitas merupakan suatu ikatan yang sentimental yang mengikat para
anggotanya dalam kesatuan solidaritas, kebersamaan dan diikat oleh kohesi sosial sehingga
bangsa Indonesia dapat mengatasi masalah dan tantangan zamannya. Berkat kerja keras
mereka sebagai anak muda di zamannya nasionalisme Indonesia yang bersifat inklusif
emansipatoris dapat dibentuk. Walaupun pada mulanya mereka sangat dipengaruhi oleh
pemikiran etno nasionalisme, pada akhirnya mereka berhasil melebur dan memperjuangkan
nasionalisme Indonesia yang lebih inklusif, religius dan kerakyatan. Mereka tidak
masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, kawasan regional, dan kawasan
internasional. Berdasarkan silabus tersebut, maka Pendidikan Pancasila harus bisa membuat
siswa berperilaku jujur yakni perilaku yang tidak suka berbohong dan berbuat curang serta
menjaga sportivitas yang akan mewujudkan hubungan harmonis dengan Tuhan dan dirinya
Dari kompetensi inti dalam silabus tersebut, maka kompetensi dasarnya terdiri dari:
1. Menunjukkan sikap gotong royong sebagai bentuk penerapan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara teori, semangat gotong royong ini termuat dalam
3
materi Integrasi Nasional, yakni penyatuan wilayah dan warga negara Indonesia dalam
bingkai Bhineka Tunggal Ika dari segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan
gangguan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan dalam praktiknya di kelas,
sikap gotong royong siswa terimplementasikan dalam bentuk menjaga kebersihan kelas,
maka disusunlah jadwal piket harian sehingga semua siswa mendapat giliran yang sama
dalam menjaga kebersihan kelas. Dengan kebiasaan piket ini, maka siswa akan bersikap jujur
Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang wilayah negara, warga negara dan penduduk,
agama dan kepercayaan, pertahanan dan keamanan. Secara teori, peduli terhadap konstutusi
terdapat pada materi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam materi tersebut, siswa diajarkan
Sedangkan dalam praktiknya di sekolah, siswa diharuskan mentaati peraturan atau tata tertib
sekolah, seperti datang tepat waktu, memakai seragam yang sudah ditentukan sesuai harinya,
tidak berambut gondrong, dan lain-lain. Kepatuhan terhadap tata tertib sekolah
mencerminkan bahwa siswa sudah berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila.
lembaga negara. Secara teori, kompetensi dasar ini termuat dalam materi Lembaga Negara
dan fungsinya seperti badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Demikian juga dalam
praktiknya, siswa dituntut untuk mengetahui organigram sekolah atau struktur organisasinya
dimulai dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, staf tata usaha, dan tenaga
kependidikan lainnya. Tidak hanya sekedar mengetahui orangorangnya saja, akan tetapi harus
3
4. Bersikap peduli terhadap hubungan pemerintah pusat dan daerah yang harmonis di daerah
setempat. Secara teori, hal ini terdapat pada materi otonomi daerah yang membahas kebijakan
pusat dalam hal ini pemerintah Indonesia, dan kebijakan daerah berupa peraturan gubernur
atau tingkatan di bawahnya. Secara praktik, siswa juga melaksanakan hal yang sama di dalam
kelasnya dengan pembentukan ketua kelas, wakilnya, sekretaris, bendahara, dan staf lainnya.
Dengan demikian siswa tidak hanya belajar teorinya saja tetapi dibarengi dengan praktik
langsung sehingga materi yang disampaikan guru dapat diterima dengan maksimal.
Ini sama dengan kompetensi dasar pertama tentang sikap gotong royong sesuai
dalam kegiatan sehari-hari siswa, contohnya dalam penentuan anggota kelompok dengan
6. Bersikap responsif dan proaktif atas ancaman terhadap negara dan upaya penyelesaiannya
dibidang Ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam bingkai
Bhinneka Tunggal Ika. Kompetensi dasar ini tersebar dibanyak materi seperti globalisasi,
Ham Asasi Manusia, maupun sistem hukum dan peradilan nasional. Semua materi ini
menuntut siswa untuk bersikap secara nyata tidak hanya mahir dalam bertutur kata.
Dari ketujuh kompetensi dasar tersebut, Pendidikan Pancasila tidak hanya soal
hapalan materi yang banyak, akan tetapi tetap memprioritaskan pada perilaku siswa agar
3
mempunyai keterampilan dan akhlak mulia. Keterampilan-keterampilan tersebut diberikan
kepada siswa dengan tujuan agar siswa mampu bersaing ditengah-tengah beratnya persaingan
dalam dunia kerja atau dalam kehidupan perkuliahan nantinya. Berdasarkan kompetensi dasar
tersebut terdapat juga tiga indikator dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila agar siswa
dapat memiliki karakter jujur, yakni melalui kegiatan gotong royong, sikap peduli, dan
responsif. Gotong royong berarti perilaku saling membantu dalam kebajikan. Petuah bersatu
teguh bercerai runtuh sangat relavan dalam pembelajaran ini. Dengan sikap gotong royong
maka segala hal perbedaan dapat dikesampingkan demi tercapainya tujuan bersama. Jika
gotong royong ini dibudayakan maka akan menghasilkan karakter jujur karena dalam gotong
royong tidak ada istilah bersaing, berkompetisi, atau menghalalkan segala macam cara
termasuk kebohongan demi tercapainya tujuan individu. Dalam gotong royong, rasa
kebersamaan sangat terasa sehingga potensi terjadinya konflik yang diakibatkan dari
ketidakjujuran dapat dihindarkan. Sikap peduli berarti ikut merasakan situasi kondisi orang
Hal ini bisa diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan sosial seperti penggalangan dana
atau sekedar memberikan do’a untuk kesembuhan, keselamatan, dan kekuatan bagi korban
bencana alam. Kepedulian seseorang menggambarkan orang tersebut berhati bersih buah dari
kejujurannya. Responsif bermakna kepekaan terhadap situasi kondisi sekitar. Indikator ini
berarti respon yang cepat dalam usaha menyelesaikan permasalahan. Responsif juga akan
bermuara kepada karakter jujur karena responsif terjadi secara natural dan alamiah, sehingga
bukan perilaku yang dibuat-buat. Dengan demikian, karakter jujur dapat dibentuk melalui
Pendidikan Pancasila dan peran gurunya dalam memberi contoh. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Nurani pada tahun 2016 tentang penanaman perilaku jujur
melalui cerita yang menyatakan bahwa perilaku jujur dapat dibentuk melalui pemberian mata
pelajaran yang relavan dan secara khusus memeberikan pengaruhnya bagi siswa untuk
4
berperilaku jujur. Selain dengan pemberian mata pelajaran, perilaku jujur siswa juga dapat
dibentuk melalui keteladanan guru sebagai figur yang layak dicontoh baik perkataannya
maupun perbuatannya. Walaupun keteladan ini dianggap sebagai cara yang kuno dalam
pendidikan namun terbukti keteladan ini sangat efektif terhadap perubahan sikap dan perilaku
siswa di lingkungan sekolah (Aeni, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa pun
diperoleh informasi bahwa dengan belajar pendidikan pancasila, siswa tahu perilaku yang
Demikian pula dengan karakter jujur, siswa berpendapat bahwa kebiasaan jujur
mereka semakin meningkat setelah belajar secara teori maupun praktik tentang pendidikan
pancasila. Selain pengaruh dari isi materinya, peran gurunya pun tidak dapat
dikesampingkan. Guru berhasil memberikan contoh yang baik sehingga karakter jujur siswa
dapat terbentuk
4
Penguatan Nilai Etnik dan Nasionalisme
Nilai-nilai etnik di Indonesia yang sangat majemuk bisa menghadapi modernitas globalisasi.
Generasi muda dapat mengakomodasi nilai-nilai tradisional tersebut agar menjadi kuat
perannya dan sebagai dasar dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sekarang dan di
masa yang akan datang. Untuk itulah generasi muda perlu mengembangkan nilai-nilai luhur
dalam etnik yang majemuk menjadi hal utama yang harus dikembangkan menjadi identitas
dan jati diri bangsa menjadi lebih kuat terhadap tantang modernitas dan globalisasi.
Generasi muda memegang peran penting bagaimana menjadi bangga dengan nilai etnik dan
nasionalismenya. Identitas akan memperkuat jati diri, dan jati diri akan menimbulkan
kebanggaan, dan dari kebanggaan inilah muncul percaya diri dan mampu menghadapi
berbagai hal dalam kaitannya dengan modernitas dan globalisasi dengan nilai-nilai bangsa
Indonesia sendiri.
Nilai-nilai etnik dengan segala kemajemukannya dapat menjadi sumber kekuatan bangsa
Indonesia, bukan sebaliknya menjadi kelemahan yang berpotensi memecah belah persatuan
dan kesatuan bangsa. Di persatuan dan kesatuan inilah seperti yang ditekankan oleh Tilaar
terbentuk perilaku dari para anggotanya yang telah diikat oleh rasa persatuan dan rasa saling
membutuhkan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah solidaritas dan kolektivitas
dibangun menjadi sebuah pondasi yang kuat. Komunitas merupakan suatu ikatan yang
sentimental yang mengikat para anggotanya dalam kesatuan solidaritas, kebersamaan dan
diikat oleh kohesi sosial sehingga melahirkan the sense of belonging. Pada akhirnya menjadi
kekuatan yang survive menghadapai modernitas dan globalisasi itu sendiri. Kelekatan dan
tanah air saling menguatkan di dalam upaya untuk kembali ke akar sendiri. Perlu
mengakarkan diri kembali, agar melekatkan diri mereka sendiri pada keaslian mereka yang
4
Pancasila sebagai dasarnya menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan nasionalisme
pada setiap siswa agar mempunyai ketahanan global. Rasa kebersamaan ini semestinya harus
dapat dirasakan pada setiap saat dan dimana saja. Sehingga rasa nasionalisme atau cinta tanah
air dapat kita wujudkan dan dapat masyarakat nikmati secara merata. Rasa kebersamaan ini
tidak hanya muncul saat terjadi bencana-bencana alam, keamanan negara diganggu oleh
negara lain, warga negara kita disiksa oleh warga negara negara lain, tetapi mestinya muncul
pada setiap saat dan tempat. Sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram karena pejabat
politik memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk membela rakyat agar menjadi maju.
pengangguran dan kebodohan yang masih banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia
rasa nasionalisme dalam bangsa Indonesia tersebut, dan tidak mengamalkan Pancasila dengan
baik dan benar. Sebagai bangsa yang baik harus dapat menentukan mana sesuatu yang baik
dan mana yang buruk. Dalam kata lain, tidak boleh melanggar nilai-nilai yang terdapat pada
Pancasila. Bangsa yang baik juga harus dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan
Tetapi dalam keseharian, sikap mengutamakan kepentingan bersama sangat susah dan hampir
dikatakan mustahil untuk dihapuskan karena masalah pribadi, hubungan pertemanan, relasi,
dan hubungan darah merupakan hubungan yang erat dan bahkan dapat mengalahkan rasa
Pancasila yang sejak dahulu diciptakan sebagai dasar negara dan sudah sejak nenek moyang
kita digunakan sebagai pandangan hidup sudah seharusnya dijadikan pedoman bagi bangsa
Indonesia dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Demikian juga bagi
generasi muda, Pancasila yang mulai kehilangan pamornya di kalangan generasi muda
diharapkan akan muncul kembali kejayaannya jika generasi muda mulai sadar dan
4
Semangat nasionalisme dan patriotism di kalangan generasi muda mulai menurun. Hal ini
bisa dilihat dari banyaknya generasi muda yang menganggap bahwa budaya barat lebih
modern dibanding dengan budaya sendiri. Generasi muda terutama di kalangan mahasiswa
pelajar, banyak mengekor budaya barat dari pada budaya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari cara
bersikap, berpakaian, berbicara sampai pola hidup yang cenderung meniru budaya asing dari
pada budayanya sendiri. Hal ini terjadi di hampir seluruh pelosok bukan hanya di klota-kota
perlu disadari tentang perlunya menghadirkan sebuah pandangan radikal yang menggulirkan
muda tergerus oleh arus globalisasi yang deras memenuhi segala dimensi kehidupan generasi
muda. Perilaku seperti penggunaan narkoba, seks bebas, tawuran pelajar, kriminalitas, dan
lain-lain sangat akrab dengan generasi muda, bahkan mereka melakukannya dalam usia yang
relatif muda. Perilaku dan gaya hidup mereka mengimitasi dan menjalar dari berbagai
kehidupan di dunia, tanpa mereka tahu esensi dan makna dari apa yang mereka lakukan.
Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki. Oleh karena itu,
menjadi bangsa yang berkarakter adalah keinginan kita semua. Sebagai generasi penerus
bangsa yang akan menjadi akar bangsa di masa mendatang harus dapat mewujudkan cita-cita
dan tujuan nasional dengan memiliki modal dasar sebagai agent of change (agen perubahan)
dan agent of social control (agen pengawas sosial) dalam masyarakat. Karena pemuda
merupakan suatu potensi yang besar sebagai armada dalam kemajuan bangsa. Beberapa peran
yang dapat dilakukan oleh generasi muda dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam
nilai-nilai ideal Pancasila untuk generasi di bawahnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
4
bangsa, dan negara. Nilai-nilai yang diidealkan inilah kemudian kehidupan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Dari itu terbentuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial
dan kemanusiaan, yang membentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan
sehari-hari serta mewariskan ke generasi di bawahnya. Generasi muda perlu secara khusus
mempersiapkan diri sebagai warga negara yang diharapkan sebagai jembatan untuk
seperti yang diharapkan harus mampu memberikan kontribusi yang besar dalam
menjadi faktor yang menentukan dalam proses pewarisan nilai budaya bangsa. Melalui proses
pendidikan yang diperoleh mahasiswa dalam pendidikan, dapat ditransfer secara nyata dalam
masyarakat baik untuk generasi berikutnya atau masyarakat secara keseluruhan. Membekali
diri dengan pendidikan yang berlandaskan Pancasila Pendidikan dengan Pancasila sebagai
dasar pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik. Nilai-nilai
etnik di Indonesia yang sangat majemuk bisa menghadapi modernitas globalisasi. Generasi
muda memegang peran penting bagaimana menjadi bangga dengan nilai etnik dan
nasionalismenya. Di persatuan dan kesatuan inilah yang ditekankan oleh Tilaar yang
terbentuk dari para anggotanya yang memiliki perilaku persatuan dan rasa saling
membutuhkan dengan yang lain. Dalam konteks solidaritas dan kolektivitas yang dibangun
menjadi sebuah fondasi yang kuat. Sehingga masyarakat menjadi aman dan tentram karena
pejabat memiliki rasa solidaritas yang tinggi untuk membela rakyat agar menjadi maju.
Pemerintah juga memiliki rasa kebersamaan dalam menanggulangi kemiskinan, gerakan dan
kejahatan yang masih banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia. Sebagai bangsa yang baik
harus dapat menentukan sesuatu yang baik dan mana yang buruk. Dalam kata lain, tidak
4
boleh melanggar nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila. Pancasila yang sejak diciptakan
sebagai dasar negara dan sudah sejak nenek moyang kita digunakan sebagai pandangan hidup
yang seharusnya pedoman bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan
menurun. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya generasi muda yang menganggap bahwa budaya
barat lebih modern dibandingkan dengan budaya itu sendiri. Akhir-akhir ini mulai banyak
momentum yang dilakukan, mulai dari seminar, lokakarya sampai kongres Pancasila yang
sampai sekarang sudah dilaksanakan sebanyak 4 kali Pancasila dijadikan acuan para generasi
muda dalam tindakan bertindak dan bertutur kata yang sesuai dengan norma Pancasila. Juga
kesebelasan yang merasa tidak puas akan kekalahannya. Melihat kasus-kasus di atas,
sebenarnya ada persamaan pokok permasalahan yang memicu semua kejadian tersebut, yaitu
pembelaan apa yang dicintai. Sedangkan tawuran-tawuran pelajar, warga dan sejenisnya juga
dipicu alasan membela apa yang mereka cintai. Seandainya rasa cinta tersebut benar maka
Akhir-akhir ini mulai banyak dibicarakan atau dipertanyakan tentang wawasan kebangsaan
generasi muda. Banyak momentum dilakukan, mulai dari seminar, lokakarya sampai kongres
Pancasila yang sampai sekarang sudah dilaksanakan sebanyak 4 kali (I ±IV). Semua
momentum tersebut selalu melibatkan generasi muda sebagi subyek pengembang nilai-nilai
Pancasila yang diharapkan dapat memberikan peran dan kontribusinya bukan hanya sekarang
tapi juga yang akan datang menjadi aktor dan pelaku dalam pembangunan nasiponal.
Pancasila dijadikan acuan para generasi muda dalam bersikap bertindak dan bertutur kata
yang anarkhis dilakukan mahasiswa mengatasnamakan perjuangan atas nama rakyat yang
4
ujung-ujungnya pengrusakan fasilitas-fasilitas pemerintah, membakar mobil dan lain-lain.
Juga terjadinya kerusuhan-kerusuhan pertandingan sepak bola yang dilakukan oleh suporter
masingmasing kesebelasan yang merasa tidak puas akan kekalahan timnya. Dan juga tawuran
Melihat kasus-kasus di atas, sebenarnya ada persamaan pokok permasalahan yang memicu
semua kejadian tersebut, yaitu pembelaan apa yang dicintai. Mahasiswa berdemontrasi
karena ingin mengubah tatanan yang salah atau ketidak setujuan akan suatu kebijakan yang
diemukaqkan oleh pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan rakyat, keadilan, dan lain-lain.
Mahasiswa ingin membela rakyat karena cinta pada bangsanya sendiri, sedangkan para
suporter olah raga rusuh dengan alasan ketidakadilan terhadap wasit, dan sebagainya,
sehingga timnya kalah, ini wujud cinta pada timnya, membela timnya yang diperlakukan
tidak adil oleh wasit. Sedangkan tawuran-tawuran pelajar, warga dan sejenisnya juga dipicu
Seandainya rasa cinta tersebut diungkapkan secara benar maka tidak akan terjadi kerusuhan-
kerusuhan yang justru membuat keresahan pada masyarakat. Rasa nasionalisme, cinta pada
tanah air juga harus diungkapkan secara benar, sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma yang
berlaku dalam masyarakat terutama norma Pancasila. Nasionalisme kita harus sesuai dengan
Pancasila sebagai Pandangan hidup dan dasar negara serta ideologi negara, sehingga wujud
nasionalisme kita bukan nasionalisme yangt sempit akan tetapi sebagai nasionalisme yang
luas. Cinta pada bangsa sendiri tapi masih menghargai bangsa lain. Kita tidak menolak
budaya asing akan tetapi juga tidak menerima secara membabi buta budaya asing. Semua
budaya yang masuk di negara kita harus biasa di saring dengan menggunakan nilai-nilai
Pancasila.
4
Kesimpulan
Semua yang pernah belajar di lembaga pendidikan guru, yang sering disebut sebagai
sekaligus menjadi ciri mereka, yaitu: Pedagogi atau ilmu-ilmu kependidikan atau Studi
Kependidikan Dalam disiplin ilmu atau bidang kajian tersebut terbentang berbagai macam
pendekatan teoretis. Pedagogi kritis adalah pendekatan pendidikan yang berusaha membantu
murid untuk mempertanyakan dan menantang pendominasi, dan kepercayaan dan praktik-
praktik yang mendominasi mereka. Sekolah bagi mereka, dengan memperhatikan apa yang
dilakukan para guru, murid, administrator, hanya menjalankan berbagai nilai yang dimiliki
dan dijalankan oleh kelompok tertentu yang mendominasi. Mereka tidak lagi
terdapat berbagai kelompok sosial yang berbeda satu sama lain. Mendidik, bagi pedagogi
kritis, bukan pendidikan laisezfaire yang hanya pada kebebasan sepenuhnya pada diri
seseorang. Bahkan dapat dikatakan pedagogi kritis bertujuan mencampur atau mengelaborasi
“bahasa kritis” dengan “bahasa posibilitas” dalam praksis pendidikan (Giroux, 1988). Dengan
kata lain, tidak terjebak pada pandangan dan sikap yang menerima realitas sosial masyarakat
dan praksis pendidikan sebagai kondisi yang baik-baik saja, melainkan bergerak lebih lanjut
dengan melihatnya secara kritis, Tidak semua guru memiliki bakat alam mengajar dengan
ceramah yang memukau. Pembelajaran dengan dan melalui seni sedikit terkendala bila guru
tidak mengenal atau tidak menyukai seni. Degradasi kualitas generasi muda Indonesia saat
ini, memasuki taraf yang mengkhawatirkan, yang ditandai dengan melemahnya identitas dan
terhadap semakin melemahnya rasa kepercayaan diri dan kebanggaan generasi muda, dan
sikap sikapnya, Selain itu masalah generasi muda adalah menipisnya semangat nasionalisme
tersebut juga sebagai akibat dari lemahnya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman
4
(pluralitas) yang menjadi ciri khas objektif bangsa Indonesia. Selain itu nasionalisme
Indonesia dalam generasi muda tergerus oleh arus globalisasi yang deras memenuhi segala
dimensi kehidupan generasi muda. Perilaku dan gaya hidup mereka mengimitasi dan
menjalar dari berbagai kehidupan di dunia Karena pemuda merupakan suatu potensi yang
besar sebagai armada dalam kemajuan bangsa. Beberapa peran yang dapat dilakukan oleh
berbangsa, dan bernegara Mewariskan nilai-nilai ideal Pancasila untuk generasi di bawahnya,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa, dan negara. Nilai-nilai yang diidealkan inilah
berikutnya seperti yang diharapkan harus mampu memberikan kontribusi yang besar dalam
menjadi faktor yang menentukan dalam proses pewarisan nilai budaya bangsa. Melalui proses
pendidikan yang diperoleh mahasiswa dalam pendidikan, dapat ditransfer secara nyata dalam
masyarakat baik untuk generasi berikutnya atau masyarakat secara keseluruhan. Membekali
diri dengan pendidikan yang berlandaskan Pancasila Pendidikan dengan Pancasila sebagai
dasar pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik. Nilai-nilai
etnik di Indonesia yang sangat majemuk bisa menghadapi modernitas globalisasi. Generasi
muda memegang peran penting bagaimana menjadi bangga dengan nilai etnik dan
nasionalismenya.
4
DAFTAR PUSTAKA
Elisken, S. (2015). Peranan Pancasila Dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasionalisme Generasi Muda
Mulyono, M. (2016). Pancasila Sebagai Orthodoksi Dan Orthopraksis Dalam Kehidupan Berbangsa
Rusdiyani, E. (2015). Pembentukan Karakter dan Moralitas bagi Generasi Muda yang Berpedoman
Wisudo, B., Subkhan, E., Paat, L. F., Paat, J. P., Haryanto, Y., & Jiwa, V. D. (2012). Pancasila yang