Anda di halaman 1dari 28

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan karunia-Nyalah, sehingga buku yang berjudul Some Fantastic Short Story ini dapat
diselesaikan dengan baik. Buku ini ditujukan sebagai perwujudan kenangan dari perjalanan
pahit dan manisnya menuntut ilmu di sekolah tercinta.

Buku ini berisikan kumpulan karya sastra dalam wujud cerita pendek yang ceritanya
diangkat dari kehidupan di sekolah baik dari diri sendiri maupun teman-taman sekolah, yang
merupakan hasil tulisan dari murid Bapak/Ibu Guru tercinta yang bernama Tika Febriani
duduk di kelas XII Perbankan Syari’ah Lembaga Pendidikan Terpadu Nurul Ilmi Tahun
Ajaran 2023/2024. Kiranya buku ini dapat menjadi sebuah sumber inspirasi dan penambah
wawasan bagi pembacanya.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karenanya
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh
pihak yang turut berperan dalam pebulisan, penyusunan, hingga penerbitan buku ini dari awal
sampai akhir.

Banyuasin, 20 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

Bian......................................................................................................................................1

Ta’tsirul Ummi....................................................................................................................10

Perbedaan Bukan Perpecahan..............................................................................................11

Pelukan Dalam Mimpi.........................................................................................................18

Ibuku Inspirasiku.................................................................................................................22

iii
BIAN

Semilir angin berhembus kencang, nyiur melambai-lambai beriringan dengan suara


ombak yang bekejar-kejaran. Bisikan raja klana sangatlah mendramatisasi suasana pagi hari
di Desa Tanjung Labu, desa kecil di pesisir pantai. Biasanya, setiap insan yang hendak
menjalani aktivitas akan terhasut dengan suasana seperti ini. Mereka akan melanjutkan
mimpinya yang panjang. Namun tidak dengan seorang gadis yang kini sibuk dengan
setumpuk pakaian siap cuci. Tak peduli dengan awan yang sedikit menghitam, udara yang
dingin, serta bercak-bercak merah di kulitnya akibat gigitan nyamuk. Gadis itu bernama
Bianty, ia sedang sibuk melaksanakan rutinitas paginya yaitu mencuci pakaian.Persediaan air
bersih yang kurang memadai menuntut Bian untuk bolak-balik menuju sumur dan
mengangkut air berliter-liter. Mungkin, hal inilah yang membuat fisik Bian semakin kekar.
Padahal usia antusias menolong pekerjaan orang tuanya. Ia mampu dan antusias menolong
pekerjaan orang tuanya.

“Bian, Emak dan Abah berangkat dulu, jaga Rusmin dan jangan biarkan dia tidur sepanjang
hari,” teriak Emak dari dalam rumah. Bian bergegas masuk ke dalam rumah dan cium tangan
Emak.

“Tolong jemur ikan asin di bawah meja makan itu ya Nak, doakan Emak dan Abah dapat
ikan banyak hari ini supaya besok kita bisa makan enak,” ucap Emak.

“Iya Mak, hati-hati ya Mak,” Bian melambaikan tangan kepada Emak yang mulai menyusul
Abah. Bian melihat Abah sedang menyalakan mesin perahu. Memang, profesi Emak dan
Abah Bian adalah nelayan. Hal tersebut menyesuaikan dengan mata pencaharian yang
dominan di desa. Setiap keluarga di desa itu pasti berprofesi sebagai nelayan. Terkadang, jika
memikirkan berlabuh di laut lepas beserta ombak yang menerjang membuat Bian bergidik
ngeri. Namun, di sisi lain Bian merasa bangga dengan perjuangan kedua orang tuanya.

Akhir pekan tidak mempengaruhi seorang Bian untuk bersantai-santai. Justru, Bian
merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan hari-hari lainnya. Setelah
mencuci, Bian akan melanjutkan pekerjaan rumah yang lain. Bian menhembuskan nafas lega
saat ia memeras pakaian yang terakhir. Tugas menjemur akan Bian serahkan kepada Rusmin
yang kini sedang tertidur pulas.Dan sekarang Bian akan membangunkan Rusmin teringat
pesan Emak untuk tidak membiarkan Rusmin tidur sepanjang hari. Bian masuk ke kamar dan
memandangi Rusmin yang tengah meringkuk dalam selimut.

Bian bertanya–tanya dalam hati, jika difikirkan matang–matang, Ia dan Rusmin lahir
dari rahim yang sama, aliran darah yang sama, berlindung di tempat yang sama walaupun 1
tahun jarak usia keduanya. Mereka juga sama-sama duduk di kelas akhir tingkat menengah
pertama dikarenakan mendaftar sekolah di waktu yang sama. Tetapi, mengapa Bian sangat
bertolak belakang dengan Rusmin? Rusmin yang rupawan bak kembang desa, Rusmin yang
cerdas terkadang membuat Bian merendah diri di hadapan orang-orang.Bian yang selalu
dicemooah teman-teman sekelasnya dikarenakan fisiknya yang tidak sesuai dengan adik
kandungnya sendiri, Bian yang dituduh sebagai kakak angkat Rusmin hanya bisa bersabar
dengan takdirnya. Bahkan Bian merasa 70% kasih sayang Emak dan Abah tercurah untuk
Rusmin seorang.Bagi Bian, kondisi Rusmin yang dimanja oleh Emak dan Abah membuat diri
Rusmin menjadi anak yang congkak. Ia bahkan tidak menghormati Bian sebagai kakak
kandungnya. Ia suka membentak Bian, menyuruh–nyuruh Bian, bahkan selalu membanding–
bandingkan kelebihannya dengan Bian. Ingin rasanya Bian mengadu kepada Emak dan Abah,
tapi pastilah Rusmin yang akan mendapat pembelaan. Namun Bian tidak pernah ambil pusing
atas masalah itu. Toh, selagi Emak dan Abah masih menyekolahkan dan memberi makannya,
Bian tidak akan menyerah.

“Rusmin, Rusmin ayo bangun hari sudah siang,” Bian menepuk pelan pipi Rusmin dan
membuat Rusmin menggeliat layaknya cacing kepanasan.

“Ayo bangun, kita sarapan dulu setelah itu tolong jemurkan pakaian yang sudah ku cuci,
“ucap Bian.

“Iya iya, jangan mengoceh terus ah! “ kata Rusmi. Ia pun bangkit dari kasur dengan
mengentak-entakkan kaki.

Kemudian Bian menyusul langkahnya menuju dapur. Dilihatnya di meja makan


Rusmin sedang sarapan. Secepat kilat Rusmi menghabiskan sarapannya tanpa sisa.

“Rusmin pakiannya sudah bisa dijemur sekarang, takutnya tidak kering jika ditunda, “ ucap
Bian seraya membereskan piring.

“Eh kak! Aku ini enggak pikun. Udah merintah, jangan banyak omong. Aku lagi pusing nih,
“ entak rusmi dengan wajah yang ditekuk. Rusmin bergegas mengambil ember berisi pakian

2
bersih dan menjemurnya secara sembarangan. Bian menggelengkan kepalanya, ia sudah
terbiasa dengan perlakuan rusmi yang semena-mena kepadanya. Mau tidak mau, sikap
dewasanya sebagai seorang kakak harus selau ia terapkan.

“Kak, pakiannya sudah aku jemur. Aku mau ke rumah Dinar dulu, “ ucap Rusmin

“Rusmi, bantu kakak menjemur ikan asin dulu. Kakak tidak sanggup jika menjemur
sendirian, “ ujar Bian lembut.

“Enggak usah manja kak, urusan aku lebih penting. Sudah aku pergi dulu, “ Rusmin
melangkah keluar rumah, tak memperdulikan Bian yang memanggilnya berulang kali. Ingin
rasanya Bian menangis saat itu. Hatinya serasa teriris melihat sikap adiknya itu. Bian
memandang punggung Rusmi yang semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. Pandangannya
kemudian tertuju pada pemandangan indah laut pasang dihadapannya. Entah mengapa
perasaannya yang membuncah tadi hilang seketika. Pemandangan pantai itu seolah–olah
menjadi penenang bagi Bian di kala terpuruk.

“Bian?” Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunan Bian. Bian menoleh, ternyata itu
adalah Kinan sepupunya yang tinggal disebelah rumahnya.

“Kinan, ada apa?“ kata Bian

“Ini dari ibuku, lauk untukmu dan rusmi,” Kinan menyodorkan piring plastik berisi ikan pari
balado.

“Alhamdulillah, kebetulan kami tidak punya lauk untuk siang dan malam nanti. Bilang ke
bibi terima kasih, “ Bian menerima piring itu dari tangan Kinan.

“Iya Bian, ngomong-ngomong, kamu kelihatannya sedang bersedih. Ada apa Bian?” tanya
Kinan penasaran.

“Tidak, aku baik –baik saja. Oh ya Kinan, apakah kamu mau membantuku? “Tanya Bian
dengan mata berbinar-binar.

“Membantu apa? Memangnya Rusmi tidak ada?” Kinan balik bertanya.

“Rusmin pergi kerumah Dinar. Emak menyuruhku menjemur ikan asin, sedangkan masih
banyak pekerjaan rumah yang harus aku selesaikan. Mau tidak kamu yang menjemurnya? “
pinta Bian. Kinan mengangguk seraya tersenyum.

3
“Okey. Mana ikannya?” Tanya Kinan. Bian bergegas pergi kedapur untuk mengambil
nampan kemudian menyerahkannya kepada Kinan.

“Terima kasih Kinan, aku masuk dulu ya. Cucian piring menumpuk,“ kata Bian dan disambut
senyuman simpul dari Kinan.Bian bersyukur dalam hatinya ternyata masih ada orang yang
perduli padanya. Seandainya ia memiliki adik seperti Kinan, pasti dia akan selalu bahagia,
namu itu hanya khayalan Bian semata.

Semburat jingga terlukis dilangit dengan eloknya. Tak terasa hari mulai beranjak
petang. Bian telah menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Meski kelelahan, Bian tetap merasa
bahagia karena ia merasa telah mengurangi beban pekerjaan emaknya. Satu hal yang sedang
ia khawatirkan bahwasannya Rusmi belum juga kembali. Padahal ia keluar semenjak pagi
tadi dan sekarang sudah hamper magrib. Bian takut nanti jikalau Emak dan Abah sudah
pulang sedangkan Rusmin tidak ada di rumah, pastilah dia akan menjadi sasarannya. Untuk
itu, Bian berniat untuk mencari Rusmi saat ini.

“Assalamu’alaikum,“ ucap seorang dari luar Bian terhenyak, itu adalah Emak dan Abah.

Rasa takut menyelimuti Bian, tidak biasanya Emak dan Abah kembali secepat ini.
Biasanya setelah isya’ baru Emak dan Abah pulang, tapi kali ini tidak. Dengan
memberanikan diri Bian membuka pintu rumah. Dilihatnya wajah lelah Emak dan Abah
kemudian ia segera menyalimi tangan keduanya.

“Mana Rusmin?” tanya Abah seraya berjalan masuk kerumah

“Aa.. anu, Ru.. Rusmi, “ Bian menjawab dengan terbata–bata

“Jawab bian! kemana Rusmin!” nada bicara Abah mulai meninggi. Lidah Bian terasa kelu,
keringatnya mengucur deras. Ia sangat takut akan kemarahan Abah.

“Maafkan Bian Bah, Rusmin tidak kembali dari pagi bah, itu gara –gara Bian mengajaknya
menjemur ikan asin bah,” Bian menangis tersedu-sedu. Plak plak !! satu tamparan mendarat
diwajah Bian. Abah sangat tersulut emosi sampai tega menamparnya.

“ Cari Rusmin! Sebelum ia ketemu, jangan kembali kamu!” ujar Abah.

“Emak tidak menyangka Bian, setega ini kamu dengan Rusmin. Itu adikmu nak, adik
kandungmu” emak yang sedari tadi diam mulai angkat bicara.

4
“Tidak mak, Bian tidak bersalah. Bian hanya mengajak Rusmi untuk,” omongan Bian
terpotong.

“Jangan membantah Bian!” bentak Abah yang membuat tangis Bian semakin kencang.

“Assalamu’alaikum, Emak, Abah, “ ucap Rusmi yang baru pulang. Wajahnya tampak ceria
seolah tidak terjadi apa-apa.

“Masyaallah Rusmi, dari mana saja kamu nak?” Tanya emak yang segera menghamburkan
pelukannya kepada Rusmi.

“Dari rumah Dian mak, kami bermain sepanjang hari. Lihat Ma, Bah, kukuku baguskan jika
diwarnai seperti ini?” ucap Rusmi sumringah seraya memperlihatkan kuku-kukunya yang
diwarnai daun pacar air.

“Kami sangat khawatir Nak, kami kira kamu pergi kemana,” Abah tersenyum lembut sembari
nemepuk pelan kepala Rusmi. Kemudian Emak dan Abah mengajak Rusmin keruang tamu
untuk berbincang bincang, sementara Bian diacuhkan saja.

Hati Bian sangat sakit tetapi dia hanya bisa menangis. Gara–gara Rusmin ia mendapatkan
tamparan dan bentakan seorang Abah. Karena ulah Rusmi, ia bagaikan anak tiri di rumah ini.

“Emak, Abah, maafkan Bian,” gumam Bian pelan. Ia segera masuk kekamar dan
menelungkupkan wajahnya dibantal. Ingin rasanya Bian menangis sejadi-jadinya namun itu
hanya membuat hatinya semakin rapuh. Bian harus kuat, ia harus selalu menghormati kedua
orang tuanya walau terkadang ia merasa tidak diadili. Emak dan Abah tetap menjadi salah
satu cara Bian untuk menguatkan diri.

“Kak Bian,” suara lirih Rusmin tertangkap indra pendengaran Bian.

“Ada apa?” Bian menoleh menatap Rusmi.

“Dipanggil Emak dan Abah di ruang tamu sekarang,” ucapnya.

Mendengar itu Bian segera beranjak menuju ruang tamu. Ia pun duduk disebelah
rusmi tepatnya di depan Abah.

“Bian, minta maaflah pada Rusmin atas kesalahanmu,” kata Abah.

5
Bian terkejut bukan main. Mengapa harus ia yang minta maaf bukannya itu kesalahan
Rusmin? Tapi untuk memperkecil masalah, Bian mengulurkan tangannya kepada Rusmi.
Rusmin pun menyambut uluran tangan Bian.

“Jadi begini, anak –anakku sekalian,“Abah memulai pembicaraan.

“Kondisi ekonomi keluarga kita yang rendah ini tidak akan cukup untuk membiayai seluruh
keperluan kalian terutama dalam hal pendidikan. Beberapa bulan ini tangkapan ikan emak
dan Abah menurun drastis, air laut pasang, gelombang tinggi, bahkan angina kencang. Untuk
itu, dikarenakan kamu sudah duduk dikelas akhir, hanya salah satu dari kalianlah yang akan
emak dan abah sekolahkan, “ ucap Abah.

“ Maksud Abah?” Bian kebingungan dengan pernyataan abah.

“Abah tidak sanggup jika harus menyekolahkan kamu berdua sekaligus. Jadi Emak dan Abah
memutuskan untuk memilih salah satu diantara kalian yang layak melanjutkan kejenjang
menengah atas. Dan kalian berdua harus bersaing saat Ujian Nasional nanti. Nilai yang paling
besar diantara kalian berdualah yang akan disekolahkan, “ucap Abah.

“Jika hanya satu yang terpilih, bagaimana nasib yang satunya lagi bah? “ tanya Rusmin.

“Mungkin dia akan membantu emak dan abah bekerja,” jawab Emak.

Bian terdiam. Bagaimana jika ia yang tidak terpilih? Bagaimana jika ia yang tidak
disekolahkan? Pertanyaan itu seolah-olah menghantui pikiran Bian.

“Baiklah kalau begitu. Semuanya ada ditangan kalian, berusalah jika masih ingin sekolah.
Jangan berleha-leha, “ ujar Abah

“sekarang, masuklah kekamar dan belajar. Sebentar lagi kalian akan melaksanakan UN,“ kata
Emak

Rusmi dan Bian bergegas menuju kamar mereka. Bian semakin tidak percaya diri.
Apalagi jika dibandingkan Rusmi yang selalu mendapat peringkat 1 dikelasnya. Bian hanya
bisa memasrahkan semua kepada Allah.

“Kak, kamu yakin bakalan terpilih? “ tanya Rusmin.

“Aku tidak yakin. Tapi jikalau Allah berkehendak, apapun yang mustahil pasti akan terjadi.”
Ucap Bian tersenyum

6
“Insya Allah aku akan membuktikannya. Walaupun menurutmu mustahil, aku akan terus
berusaha,” Bian menguatkan dirinya.

“Kita liat saja nanti,” Rusmin tersenyum puas.

Bian sedang dihantui persaan tidak enak sekarang. Bagaimana jika yang dikatakan
Rusmin itu benar? Bian sangat takut. Ia masih ingin sekolah, ia memiliki cita-cita yang harus
dicapainya. Ia tak ingin putus sekolah, ia ingin membanggakan Emak dan Abah dengan
kesuksesannya.

“Seminggu lagi UN, aku harus belajar dengan giat, harus! “ gumam Bian.

Hari demi hari berlalu, tak terasa hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Rusmi dan Bian
akan menjalani ujian nasional. Hari inilah penentu nasib antara mereka. Bian berharap
banyak atas usaha belajarnya selama ini. Walaupun tidak maksimal, setidaknya Bian
memiliki bekal untuk menjalani ujian.

“Selamat ujian ya kak, “Rusmin tersenyum penuh kemenangan. Bian melihat seperti ada
ejekan disenyumnya. Bian tak menghiraukan, ia tetap focus pada buku bahasa indonesianya.
Jam menunjukkan pukul 10:15, saatnya peserta UN sesi 2 untuk masuk keruangan. Bian
meyakinkan dirinya ia bisa untuk melaksanakan ujian ini.

“Aku harus bisa, aku tidak ingin putus sekolah,” tekad Bian.

Bian mengerjakan soal-soal dengan penuh khidmat. Ia membaca soal dengan sangat
teliti tanpa terlewatkan sedikitpun. Lantunan istighfar selalu keluar dari bibirnya setiap
mengerjakan soal yang sulit. Bian benar-benar antusias saat ini.Tak terasa, keempat mata
pelajaran UN telah tuntas dilewati Rusmi dan Bian. Mereka tak menyangka secepat itu waktu
berlalu. Sekarang, mereka hanya tinggal menunggu hasilnya. Bian menjadi rahasia Allah
segalanya, entak itu Bian ataupun Rusmi yang akan melanjutkan sekolahnya.

“Aku sudah tak sabar lagi menunggu hasilnya, kata Rusmin.

“Sabar Rusmi, tidak perlu terburu-buru,” tukas Bian lembut.

“Kakak pasti takut terkalahkan olehku, “ ucap Rusmin.

“Tidak perlu takut padamu Rusmin, tidak ada untungnya,“ sahut Bian

“Haha, siap –siap kecewa ya kak,” kata Rusmin.

7
Bian mengepalkan tangannya, ia sangat keki mendengar ucapan Rusmi, ingin rasanya
ia melabrak dan menampar Rusmi. Berulang kali ia beristighfar sampai akhirnya Emak
menyuruhnya untuk pergi keruang tamu.

“Bian, Rusmin. Emak dan Abah mendapat kabar dari Wali kelas kalian tentang hasil ujian
kemarin, “ ucap Emak

Bian menelan ludah, ia merasa tak sanggup untuk mendengar hasil ujiannya. Dengan berani
Bian bertanya kepada Emak

“Bagaimana Mak? Rusmi atau Bian yang layak melanjutkan sekolah?“ tanya Bian

“Dengan bangga emak ucapkan kepada Rusmi karena berhasil meraih nilai UN tertinggi di
sekolah,” jawab Emak seraya memeluk dan mencium kening Rusmi.

Bian shock bukan main, usahanya selama ini sia –sia. Jantungnya berdegup kencang,
keringatnya mengucur deras. Tak terasa, air mata jatuh dipelupuk matanya.

“Ja- jadi M- mak, Bian a –kan be- berhenti sekolah?” ucap Bian dengan bibirnya yang
gemetar.

“Tentu Bian, cukup Rusmi saja yang melanjutkan cita –citanya. Kamu harus bisa mengerti
kondisi Emak dan Abah sekarang,” ujar Emak.

“Tidak Mak, Bian ingin sekolah Mak. Emak jahat!” ucap Bian. Seraya berlari keluar rumah.
Ia menangis sejadi –jadinya. Pasir pantai pun berterbangan diudara akibat lemparan Bian. Ia
sangat kecewa dan mengutuk dirinya sendiri. Sangat tak terbayangkan betapa pilunya hati
Bian saat melihat Rusmi mengenakan seragam abu–abu sedangkan dirinya hanya berpakian
lusuh. Keinginan Bian hanya satu, ia hanya ingin mencapai cita –citanya. Bian berteriak
sekencang –kencangnya disaksikan oleh keindahan pantai. Ingin rasanya Bian mengasingkan
diri dari dunia ini, menjauh dari kehidupan Emak, Abah dan Rusmi. Pikirannya sangat kacau
sekarang, air matanya terus mengucur tanpa henti.

“Dik?” panggil seseorang dari belakangnya

Bian menoleh seraya menghapus air matanya, seorang perempuan cantik yang
mengenakan jilbab berjalan menghampiri dan duduk disebelahnya.

8
“Kamu kenapa? Dari tadi kakak melihat kamu menangis. Apa yang terjadi?” Tanya
perempuan itu lembut.

Bian menggeleng, ia tidak akan membocorkan masalah pribadinya pada orang yang
tidak dikenal.

“Hmm, oke. Perkenalkan nama kakak Fatimah Az-Zahra, cukup panggil kak Faza. Rumah
kakak digang sawo dek, kakak anak-nya Pak Ali yang punya pabrik ikan asin,”ucapnya.
“Kamu bolehkok cerita tentang masalahmu sekarang kepada kakak. Insya Allah akan kakak
kasih solusi,” lanjutnya lagi.

Bian akhirnya tersenyum. Kemudian ia segera menceritakan masalahnya kepada Kak


Faza. Kak Faza mendengarkan cerita Bian dengan seksama. Sesekali ia mengangguk
mendengarkannya.

“Keinginan Bian hanya satu Kak. Bian hanya ingin sekolah dan meneruskan cita –cita Bian,”
Bian kembali menitikkan air mata.

“Oh jadi itu masalahnya. Bian, kakak salut dengan keinginan Bian itu. Disaat niat Bian ingin
sekolah, tetapi ada hambatan seperti ini. Kakak tidak ingin cita –cita yang sudah Bian susun
kandas begitu saja. Untuk itu, apakah boleh jika kakak ingin menyekolahkan Bian?” ucap kak
Faza.

Bian terkejut bukan main “yang bener kak?” Bian masih tidak percaya.

“Iya Bian. Bian berhak untuk sekolah dan meneruskan cita –cita Bian. Tapi Bian harus
berjanji pada kakak untuk selalu bersungguh –sungguh dalam belajar,” kata kak faza seraya
tersenyum.

“Terima kasih kak Faza. Apa perlu kak, Bian bekerja dipabrik pak Ali untuk balas budi
Bian?” Tanya Bian.

“Tentu tidak Bian. Kakak tidak perlu balas budi Bian karena kakak ikhlas melakukannya.
Tetapi kalau Bian mau, Bian boleh kok membantu membungkus produknya,” jawab kak Faza

“Ia kak, Bian pasti mau,” tukas Bian

“Baiklah, besok dating ya kerumah Kak Faza. Kita daftarkan nama Bian di SMAN 1 Tanjung
Labu,” kata Kak Faza

9
Bian tersenyum dan secara spontan ia memeluk tubuh Kak Faza.

“Oke, sekarang Bian pulang dan minta restu kepada Emak dan Abah, ya,” ucap Kak Faza

Bian pun segera pulang kerumah dengan perasaan senang. Ia pun menceritakan kebaikan Kak
Faza kepada Emak dan Abah.Emak dan Abah juga senang karena kedua anaknya
melanjutkan sekolah walaupun kondisi ekonomi mereka tidak mendukung. Yang diharapkan
mereka hanyalah kebahagiaan kedua anaknya.Esoknya, Bian dan Kak Faza pergi mendaftar
sekolah. Setelah itu mereka membeli seluruh perlengkapan sekolah Bian dari mulai seragam,
sepatu, buku, tas dan lain –lain. Bian sangat senang karena keinginannya untuk sekolah dapat
tercapai. Ia berjanji kepada Kak Faza untuk selalu bersungguh-sungguh.Takdir dan ketetapan
Allah memang telah diatur untuk hamba–hamba-Nya. Kesabaran dan keikhlasan merupakan
kunci utama untuk mengharap Ridho-Nya. Inilah, Bian. Kesabarannya membawa ia menuju
kebahagiaan.

10
TA’TSIRUL UMMI

Kala itu waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB, teriknya panas matahari
menghangatkan jalanan, lantunan dari seorang muadzin pun memancar merdu dengan
cengkokan yang menjadikan hati menjadi senduh, lonceng sekolah pun menunjukan
bunyinya yang menandakan kegiatan sekolah telah usai.

Seiring dengan berjalannya waktu, kulihat salah satu teman sekolah sekaligus
selorong sedang berjalan sendiri menuju rumahnya dengan raut wajah yang sedih. Sebut saja
namanya Syaqi, aku paham betul dengan dia, kejadian kemarin pasti membuat hatinya
sangat terluka.

Syaqi, sesuai dengan namanya yang diambil dari bahasa arab yang berarti nakal.
Begitu juga dengan perangainya, baik dari sikap maupun ucapanya itu sesuai dengan arti
namanya. Dia dikenal sebagai siswa yang sering bolos, memintai uang temannya dan juga
sering mencuri. Syaqi termasuk anak yang kurang kasih sayang dari seorang Ayah. Karena
ketika berumur 10 tahun orang tuanya mengalami perceraian akibat ayahnya sering
melakukan perselingkuhan terhadap wanita lain. Setelah itu ia tinggal dengan ibunya.
Hingga pada saat itu juga ia merasa tidak ada yang ditakuti lagi dirumah karena ayahnya
telah berpisah dengannya. Namun semua itu mendadak berubah karena ketika Syauqi sampai
kerumah rumah nya terlihat sepi seperti ada yang berbeda.

Ia pun merasa bingung, seketika itu juga Syauqi meniti jalan kesuluruh kamar. Hingga
sampai dikamar mandi ia melihat sosok ibunya terkapar dilantai kamar mandi dalam keadaan
tidak sadarkan diri.Seketika itu juga Syaqi langsung menggendong ibunya ke kamar. Ia pun
segera mengambil minyak kayu putih untuk menggosokan ke ibunya dengan harapan ibunya
sadar.

Lima menit pun berlalu , menandakan ibunya tetap dalam kondisi yang sama .Karena
merasa cemas ia pun mendatangi rumah teman akrabnya yang berkelang satu rumah, yang
bernama Hasan.

“ Sannnnn, Hasann !!! “ panggilnya dengan nada yang meninggi seraya mengetuk rumahnya.

11
Mendengar suara itu, Hasan yang sedang makan pun meninggalkan makanannya
begitu saja demi menemui temannya yang memanggil namanya dengan nada yang berbeda.

“ Kamu kenapa qi manggil namaku dengan ker..... “ belum sempat ngomong dengan
sempurna ucapan hasa pu dipotong oleh Syaqi.

“ Ibu aku san, tidak sadarkan diri karena tadi aku menemuinya di kamar mandi dalam
keadaan tidak sadarkan diri “ ucap Syaqi dengan cemas.

“Kalau gitu kamu duluan ke rumah kamu ,nanti aku pergi bareng ibu ku”ucapku

“ Oke, jangan lama-lama ! “ jawabnnya

Setelah itu, aku pun dengan cepat menemui ibu aku yang sedang berdoa karena
selesai dari sholat Zuhur.

“UMI ! Tadi Syaqi kesini bilang bahwa ia menemukan ibunya dalam keadaan tidak sadarkan
di dalam kamar mandi” ucapku dengan cepat kepada ibu ku

“Kalau gitu kita harus segera datang kerumah Syaqi, Umi takut ibunya Syaqi kenapa-
kenapa”Jawab umi

Tidak sampai satu menit kami pun datang kerumah Syaqi

“Qi, gimana ibumu ? sudah siuman ?” Tanya aku

“Belum San” Jawabnya

“ Sini tante cek “ ucap ibuku

Setelah dicek ternyata ibu dari teman ku ini dinyatakan meninggal karena tidak ada
lagi denut nadi padanya. Dengan berat hati ibuku mengatakan.

“Qi, sebelumnya tante minta maaf, ibu kamu telah dipanggil oleh tuhan” ucap ibuku dengan
mata yang memerah.

Mendengar hal itu, hati Syaqi sangat sedih, dia ingat betapa banyaknya dosa yang ia
lakukan kepada ibunya . Aku sebagai teman dekatnya sangat bisa merasakan apa yang

12
dirasakan oleh teman ku ini. Akan tetapi dibalik semua itun ada hikmah dari tuhan kepada
Syaqi. Setelah itu Syaqi pun berubah drastis , segala tingkah lakunya yang selama ini sangat
buruk hanya menjadi cerita lama darinya .

13
PERBEDAAN BUKAN PERPECAHAN

Nabila adalah seorang gadis yang berasal dari salah satu kecamatan di Bangka
Belitung. Ia merupakan salah satu anggota keluarga berada di kecamatan tersebut. Ia
memiliki wajah yang cantik, kulit yang putih, serta postur tubuh yang menarik. Ia merupakan
blasteran China dan Indonesia, wajar saja jika dia memiliki ciri ciri fisik yang berbeda dari
masyarakat lainnya. Namun, terdapat hubungan timbal balik antara Nabila dan keluarganya,
ia dan orang tuanya menganut agama islam, sedangkan nenek dan kakeknya menganut agama
buddha dan tentu saja seringkali terjadi perbedaan argumen diantara mereka. Walaupun
banyak perbedaan yang ada pada keluarga nabila dan keluarga nenek kakeknya, membuat
Nabila tidak mau ambil pusing dalam hal tersebut. Nabila menerapkan sikap toleransi atau
menghargai perbedaan yang ada pada keluarga nya. Sehingga, hal ini tidak menjadi masalah
besar bagi Nabila.

Awal mula perbedaan agama dari keluarga Nabila ini terjadi saatNabila berumur 3
tahun,orang tuanya merupakan penganut agama buddha sama seperti nenek dan kakeknya.
Kedua orang tuanya pun tertarik masuk islam dikarenakan sering melihat kajian kajian dari
dr.Zakir Naik yang sangat mengagumkan. Orang tua Nabila pun sering mencari tahu tentang
keislaman sehingga diberikan kemantapan hati dan akhirnya mereka pun menganut agama
islam. Awalnya, nenek dan kakek Nabila sangat menentang hal tersebut, bahkan sampai tidak
menegur kedua orang tua Nabila sampai berbulan bulan. Namun pada akhirnya, nenek dan
kakek Nabila pun menerima hal itu walaupun masih disertai rasa jengkel akan keputusan
anak anak nya dalam menganut agama islam.

“Nabila, ayo segera bereskan barangmu, kita mau kerumah nenek dan kakek besok untuk
menghadiri acara imlek”. Ucap ibu Nabila

“Serius bu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana asyiknya acara imlek itu” jawab
Nabila

“Makanya, bereskan barang barang mu agar kita juga bisa cepat pergi kesana” kata ibu.

Nabila mengangguk spontan dan segera membereskan barang barangnya. Ia sangat


senang karena diberikan kesempatan untuk menghadiri hari raya imlek tahun ini. Walaupun

14
perbedaan agama yang dianut oleh kedua orang tua dan nenek nya, keluarga Nabila tetap
menjunjung tinggi toleransi. Contohnya saja dalam hari raya imlek yang seharusnya
dilaksanakan oleh penganut agama buddha, keluarga Nabila tetap ikut serta dalam
perayaannya.

Ayah Nabila yang merupakan seorang pendakwah, kebingungan melihat anak dan
istrinya sibuk membereskan barang barang. Ayah Nabila sebenarnya setuju setuju saja
dengan kemauan istrinya untuk bertoleransi dalam setiap perayaan yang dilaksanakan oleh
kakek neneknya. Namun, terkadang ayah Nabila masih berpegang teguh pada pendiriannya
untuk tidak ikut serta dalam perayaan tersebut karena hal itu dilarang oleh agama islam dan
jikalau kita ikut serta dalam perayaan tersebut, maka sama saja dengan kita menganut agama
tersebut. Sehingga, sering terjadi adu argumen antara ayah Nabila dan ibu nya.

“Yah, nanti besok kita mau kerumah nenek dan kakek lho. Kata ibu, besok adalah hari raya
imlek, Nabila jadi nggak sabar mau dapat angpao dari kakek dan nenek.” Ucap Nabila
kegirangan.

“Kapan ayah menyetujui bahwa kita akan pergi kesana merayakannya?” Tanya ayah
mendelik tajam.

Raut wajah Nabila berubah, semangat nya yang berkobar kobar untuk pergi kerumah
nenek kakeknya seketika berubah. Ia baru ingat bahwa pasti akan ada peristiwa adu argumen
dari ayah dan ibunya setiap akan pergi kerumah nenek dan kakek. Walaupun ujung ujungnya
ayah akan menyetujui kemauan ibu untuk pergi kerumah orang tuanya.

“Tapi yah,, kakek dan nenek kan sudah menunggu kedatangan kita. Walaupun nantinya kita
tidak ikut serta dalam perayaan itu, tapi Nabila ingin bertemu kakek dan nenek yah, Nabila
rindu mereka,” ujar Nabila dengan mata berkaca kaca.

“Iya yah, Nabila rindu sama kakek nenek nya. Lagian kan kita kesana hanya menjalin
silaturahmi sjaa, bukan ikut merayakan. Kalau kitamemutuskan tali silaturahmi, lebih berdosa
yah. Apalagi ini adalah orang tua ku, dan juga mertua mu,” kata ibu Nabila

“Yasudah kalau seperti itu, tetapi ingat ya, jangan terlalu berlebihan nantinya. Tujuan kita
hanya untuk menjalin tali silaturahmi, tidak lebih. Ingat ya!,” seru ayah.

15
Nabila pun tersenyum puas, lalu memeluk ayah dan ibunya secara serentak. Dia sudah
tidak sabar untuk bertemu kakek dan neneknya.Setelah barang barangnya beres, Nabila
puntertidur lelap.

Keesokan harinya, Nabila bangun pada jam 05:00 subuh. Ia pun melaksanakan
kewajibannya sebagai umat muslim yaitu sholat subuh. Setelah sholat subuh, ia bergegas
mandi dan bersiap siap untuk berangkat. Ayah dan ibu pun terlihat sudah siap dan sedang
sarapan, ia pun turun ke lantai bawah dan sarapan terlebih dahulu. Setelah semua siap,
barulah mereka berangkat ke rumah nenek dan kakek menggunakan mobil. Perjalanan yang
ditempuh selama 2 jam lebih dan Nabila sangat menikmati perjalanan itu. 2 jam pun telah
berlalu, Nabila dan kedua orang tua nya pun sampai dirumah nenek dan kakek. Nenek dan
kakek sangat antusias menyambut kedatangan mereka, dilihatnya juga disana saudara saudara
dari sebelah ibunya sudah berkumpul dan menyantap hidangan imlek. Tidak ada hidangan
yang dilarang oleh agama islam disitu, semuanya halal karena nenek dan kakek sangat
menghargai Nabila dan kedua orangtua nya.Para sepupu Nabila pun sangat antusias
menyambut kedatangan mereka. Mereka memakai baju merah khas buddha yang biasanya
digunakan sebagai kostum imlek. Nabila melepas rindu dengan memeluk dan bercengkrama
bersama para sepupu nya.

“Nabila, cucu ku sekarang sudah besar. Lihatlah, betapa cantiknya dirimu,” puji nenek seraya
tersenyum lembut.

“Terima kasih nek, nenek juga cantik,” kata Nabila. Perkataan Nabila tersebut membuat
nenek dan kakek tertawa seraya menunjukkan gigi mereka yang tidak sempurna lagi.

Nabila melanjutkan bercengkrama bersama sepupunya. Pandangannya tertuju kepada ibunya


yang sedang berlutut dihadapan nenek dan kakek, dilihat dari raut wajah nenek, sepertinya
beliau sedang marah. Nabila pun mendekat, dan benar saja ternyata nenek dan kakek sedang
memarahi ibu.

“Suamimu itu memang tidak tahu diri, inilah alasan ku melarang kamu untuk menganut
agama yang berbeda dengan kami. Pastinya kamu akan dilarang olehnya melakukan banyak
hal, bahkan kamu juga sudah sangat jarang mengunjungi kami yang notabenenya adalah
orang tua kandung kamu,” maki kakek kepada ibu

“Maafkan aku pak, tapi suamiku masih mengizinkan aku untuk menjalin silaturahmi,
walaupun terdapat perbedaan argumen diantara kami, aku minta maaf pak,” kata ibu

16
“Sudah berkali kali aku mengingatkan kamu untuk lebih selektif dalam memilih pasangan
hidup. Bahkan untuk bersilaturahmi dan menemui kami pun, kamu dibuat bingung olehnya,”
sahut nenek dengan wajah cemberut.

Nabila yang mendengar hal itu sontak terkejut dan ingin menangis. Ia kira, nenek dan
kakeknya menerima dengan baik perbedaan yang terjadi diantara keluarganya. Ternyata
tidak, justru perbedaan keyakinan inilah yang membuat ibunya seringkali menangis secara
diam diam. Perbedaan keyakinan inilah yang membuat hubungan sosial antara ayahnya dan
nenek kakeknya renggang. Nabila hanya terdiam, ia juga tidak berhak untuk mencampuri
urusan keluarganya. Ia hanya berharap semoga nenek dan kakeknya memiliki rasa toleransi
akan perbedaan yang dimiliki oleh keluarganya. Pandangan Nabila tertuju kepada ayahnya
yang sedang berdzikir menggunakan tasbih digital ditengah tengah keluarga Nabila yang
sedang bercengkrama. Ayah nya tidak tergoda sedikitpun dengan keadaan sekitar dan tetap
fokus pada kegiatan berdzikirnya. Nabila merasa kagum kepada ayah nya, karena ditengah
tengah ketaatannya sebagai seorang muslim, ia tetap menjujung tinggi toleransi, walaupun
nenek dan kakek tidak menyukai nya.

“Nabila, kesini anak, nenek mau kasih angpao spesial buat Nabila,” sahut nenek.

Seketika lamunan Nabila buyar, ia pun dengan girang menuju kursi tempat nenek
duduk dan menerima angpao berisi uang didalamnya. Nabila sangat senang, ia pun
mengucapkan terima kasih kepada neneknya. Dari sini Nabila belajar, bahwa perbedaan
sebenarnya tidak menjadi tolak ukur dalam menjalin silaturahmi. Perbedaan yang terjadi
diantara keluarganya dan keluarga nenek kakeknya, membuat Nabila sadar bahwa rasa
toleransi merupakan pilar penting untuk menjalin kehidupan penuh kesejahteraan dan
kedamaian. Walaupun seringkali terjadi adu argumen antara nenek, kakek, ibu, dan ayah
Nabila, mereka tetaplah terikat dalam

sebuah keluarga. Nabila sangat mencintai perbedaan yang ada didalam keluarganya, lebih
dari apapun.

17
PELUKAN DALAM MIMPI

Dengan langkah pelan tanpa semangat, aku keluar dari kantor. Cuaca sepertinya juga
berpihak pada suasana hatiku. Langit yang biasanya biru, sekarang tertutup awan hitam yang
cukup pekat. Mungkin awan memberi tanda supaya aku bergegas untuk pulang.Angin bertiup
lumayan kencang. Helai rambutku sudah mulai terbang, sehingga membuat rambut yang baru
saja aku sisir menjadi berantakan. Sesekali tanganku mengatur kembali, tapi lagi-lagi angin
berulahKulitku mulai terasa dingin. Memang angin yang terus berhembus awalnya terasa
sejuk. Tapi lama kelamaan justru terasa menusuk hingga tulang. Tanganku mulai menarik
kerah jaket warna merah. Semula memang agak terbuka karena tadi aku sedikit terburu-buru.
Dengan spontan jaket semakin aku rapatkan. Lumayanlah untuk menghangatkan badan.

Aku menengok arah kanan kiri, sebelum aku menyeberang. Beberapa sepeda motor
melaju di depanku. Ada yang perlahan, ada pula yang cukup cepat. Maklumlah mereka
kebanyakan adalah mahasiswa satu perguruan tinggi yang ada di dekat kantorku. Jiwa muda
mereka tampak begitu jelas, dari cara mereka mengendarai sepeda motor. Kadang juga aku
melihat mereka tertawa bersama, seolah larut dalam pembicaraan mereka. Agak bergegas aku
menyeberangi jalanan yang cukup padat itu, karena gerimis mulai. turun. Aku segera
memasukkan beberapa tas bawaan ke dalam mobil. Memang sengaja aku membawa pulang
beberapa berkas pekerjaan yang harus terselesaikan. Beberapa hari ini cukup banyak berkas
yang bertumpuk di meja kerjaku. Entah kenapa akhir-akhir ini pikiran dan perasaanku sering
tidak menentu. Banyak hal yang harus aku hadapi. Bekerja di dunia jasa, tentu saja
menuntutku harus selalu tampil senyum untuk melayani orang-orang yang menjadi rekanan.
Tentu saja berbaga karakter yang tidak semuanya sama, dan tidak semuanya sepert yang aku
mau, kadang membuatku lelah.

Belum lagi masalah-masalah di keluarga besar yang kadang membuat aku jenuh.
Terlahir sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara, dimana semua sudah berkeluarga tentu saja
kompleks masalahnya. Tidak jarang sebagai anak bungsu, aku harus lebih banyak mendengar
5 orang kakak yang masing-masing mempunyai kepribadian yang berbeda. Aku mencoba
menjadi pendengar yang baik jika ada yang bercerita tentang masalah. Kadang juga aku harus
mendengar gesekan-gesekan kecil di antara mereka.

18
Aku berusaha bersikap netral untuk tidak memihak siapapun. Karena sedikit saja ada
komentar yang kurang pas, bisa saja justru menjadi pemicu yang memperuncing suasana.
Tidak jarang justru aku yang menjadi peredam suasana. Aku tidak mau kedekatan 6 orang
kakak beradik ini menjadi berkurang hanya karena perselisihan yang sebenarnya hanya
karena kurang berkomunikasi. Apalagi semua pasti sudah berat dengan beban masing-masing
keluarga. Gesekan-gesekan itu mulai muncul beberapa saat setelah Bapak menghadap Tuhan.
Sebagai single parent, Bapak cukup bijaksana mendampingi kami, yang boleh dikatakan
semua memiliki pribadi yang keras. Kami terbiasa hidup dengan didikan yang keras, boleh
dibilang tidak pernah ada waktu untuk bermain. Kehidupanyang sangat keras, membuat kami
tidak pernah berpikir sedikitpun bagaimana caranya harus mendengar satu sama lain.
Mungkin ini salah satu penyebab munculnya beda pendapat yang berujung pada
gesekan.Akupun menyusuri jalan yang tiap hari aku lewati. Ibarat kata harus menyetir dengan
mata tertutuppun, aku sudah hafal kapan aku harus belok kanan, kapan juga aku harus
menggerakkan setir mobil ke arah kiri. Sesekali klakson mobil harus aku bunyikan saat harus
mendahului pengemudi lain.

Tidak perlu butuh lama untuk sampai ke rumah. Sekitar 10 menit saja aku sudah bisa
membuka pintu rumah, tempat yang paling nyaman untuk pulang. Ternyata rumah sepi.
Suami dan anak- anakku yang sudah bekerja belum pulang. Mereka pasti juga masih sibuk
dengan urusan mereka masing-masing.Memang tidak seperti biasanya aku pulang lebih awal.
Rasa lelah fisik dan pikiran sangat terasa. Dalam rebahanku di kamar yang nyaman,
pikiranku mulai melayang. Kesendirian dengan beban pikiran dengan mudah membuatku
berandai-andai.

Muncul pertanyaan dalam hati. Pertanyaan yang mungkin lebih terkesan protes
kepada Sang Pencipta kehidupan.

"Tuhan, kenapa Kau ambil Ibuku, saat aku baru merasakan belaiannya selama 2 tahun saja?"
tanyaku. "Kenapa Kau biarkan 50 tahun aku hidup tanpa merasakan kasih sayang nyata dari
seorang Ibu?" protesku lagi. Bukan waktu yang pendek dan mudah untuk menjalani hidup
tanpa campur tangan seorang ibu. Ketimpangan selalu ada meskipun di dalam hidup yang
serba berkecukupan. Ternyata harta sebesar apapun tidak bisa menggantikannya.

19
Aku ingin seperti teman-temanku yang lain. Diantar dan dijemput saat sekolah oleh
Ibunya. Rambut tersisir rapi oleh tangan Ibunya. Mengadu seluruh masalah mereka kepada
Ibunya. Dekapan lembut saat merasa lelah. Dan masih banyak lagi yang tidak pernah aku
rasakan.Air mulai mengalir di sudut mataku, seolah mengalirkan semua beban hati keluar.
Kuusap pelan dengan punggung tangan, yang aku sendiri sudah tidak berpikir apakah bersih
atau tidak. Karena saat masuk rumah, entah kenapa aku merasa malas untuk mencuci tangan.

"Rasanya aku ingin memutar kembali dunia ", kataku.

"Untuk apa?" jawab perempuan yang ada di sebelahku.. "Aku ingin mengulang kehidupanku.
Aku akan minta Ibuku untuk hidup lebih lama. Biar aku bisa banyak belajar tentang
bagaimana caranya kuat menghadapi hidup ", ungkapku samb terus menangis. "Kamu tidak
perlu belajar. Karena semua yang kamu lakukan itu adalah cermin dari apa yang sudah
dilakukan oleh Ibumu " jawabnya.

Aku terus mengusap pipi yang basah karena air yang terus mengalir. Ada sedikit rasa
jengkel kenapa tidak menanggapi ceritaku dengan jawaban yang seperti aku mau. Aku
berharap dia akan mendukung supaya bisa memutar kembali kehidupan. Tangan sebelah
kirinya mulai mendekapku. Sesekali menepuk bahuku, mungkin supaya aku bisa lebih
tenang. "Kalau kamu mau tahu, kamu adalah anak yang paling mirip dengan Ibumu",
ucapnya sambil mengusap rambutku. "Ibumu adalah sosok perempuan yang tidak pernah bisa
diam. Semua pekerjaan selalu dikerjakan sendiri. Hampir seluruh kegiatan diikuti, sehingga
24 jam sehari terasa kurang. Ibumu selalu belajar dari kehidupan sekelilingnya. Sehingga
sangat paham bagaimana harus menghadapi masalah dan bagaimana harus bersikap saat
bertemu dengan banyak orang", ungkapnya dengan nada yang begitu tenang.

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Jawabku sedikit ketus. Aku merasa orang yang duduk di
sebelahku ini sudah menyampaikan pendapatnya dengan agak berlebihan.

Dekapannya terasa semakin erat. Sebuah pelukan yang belum pernah aku rasakan.
Kehangatan sangat terasa di pundakku. Dekapan atau pelukan seperti inilah yang selalu aku
rindukan. Hanya sebuah jawaban pendek yang aku dengar:" Karena aku adalah Ibumu ".

Aku tersentak, dan terbangun dari tidur. Entah karena jawaban itu, atau karena suara
petir yang cukup keras dan diikuti dengan hujan deras.

20
Aku hanya bisa termenung, dan mencerna apa arti mimpi itu. Hanya satu yang bisa
aku yakini, Ibu selalu ada di sampingku. Ibuku yang sudah membuat aku bisa menjadi seperti
sekarang ini. Dan mimpi itu membuat ku semakin yakin untuk terus tegak berdiri
menyongsong hari-hari bersama suami dan anak-anak.

21
IBUKU INSPIRASIKU

Subuh menyelimuti sekitar rumah, suara adzan berkumandang syahdu ditengah


keheningan, rumah ku memang dekat dengan masjid, sekitar 200 meter. Aku bersiap-siap
hendak berangkat memenuhi panggilan ilahi. Setelah memasang mukena, aku bergegas
membuka pintu dan tidak lupa menguncinya. Baru beberapa langkah, dari dinding tembok
dapur, aku melihat lampu dapur menyala, dan nampak asap keluar dari sela-sela genting
dapur. Aroma asap kayu terasa khas menusuk indra penciuman ku. Rupanya ibu ku sudah
siap-siap hendak masak nasi. Karena memang sudah kebiasaan ibuku masak nasi di tungku
tradisional berbahan bakar kayu. Aku bergegas menuju masjid, karena kuatir ketinggalan
sholat jamaah. Ini adalah gambaran aktivitas ibu ku saat subuh, memasak nasi saat subuh
menjelang, selesai tanak, nasi ditinggal sampai api mati dengan sendirinya, dan nasi sudah
dalam keadaan masak. Sambil menunggu nasi masak, ibu ku melaksanakan sholat subuh dan
lanjut mengaji sampai menjelang matahari terbit.

Ibu ku bernama Aswani, sosok wanita desa sederhana yang menjalani hidup sebagai
seorang ibu rumah tangga mendampingi Bapak ku, laki-laki sederhana berprofesi sebagai
petani. Sekarang mereka menjalani masa tuanya, karena faktor usia yang sudah tidak
memungkinkan untuk melakukan aktivitas berat. Apalagi Bapak ku sudah kehilangan
penglihatan, akibat glukoma yang mengakibatkan saraf di matanya rusak. Ibu ku yang
mengurus kebutuhan Bapak dengan sabar. Menyediakan kebutuhan makan dan minum,
bersyukur Bapak masih bisa mandiri untuk mandi.

Sekarang kondisi orangtua ku sudah lanjut usia, aku berusaha untuk memenuhi semua
kebutuhan mereka agar mereka bisa menikmati masa tua dengan tenang dan bahagia. Setelah
dulu mereka bekerja keras untuk menjadikan aku orang yang sukses. Semua pengorbanan
telah diberikan, keringat, air mata, materi untuk bisa menyekolahkan aku agar bisa sampai ke
perguruan tinggi. Sekarang waktunya aku yang menjaga mereka, membahagiakan mereka
semampu yang aku bisa lakukan. Kesuksesan yang aku raih adalah buah dari doa orang tua,
terutama ridho seorang ibu. Ibu ku adalah wanita sholehah, rajin beribadah, melakukan sholat
lima waktu dan sholat malam dengan istiqomah. Karena itu ibu ku selalu cerewet untuk
urusan ibadah, tidak boleh diabaikan. Dari ibu ku aku belajar bahwa jika ingin hidup sukses
rajin-rajinlah beribadah dan berdoa. Tapi bukan hal ibadah saja, ibu ku juga sosok wanita ulet
dan pintar mencari peluang Peluang untuk menambah penghasilan, membantu Bapak untuk

22
sekedar membeli lauk sederhana. Hal apapun bisa menghasilkan uang bagi ibu ku. Saat masih
aktif ke sawah, ibu ku rajin menanam sayur-sayuran di pematang sawah. Cabe rawit,
singkong, kacang panjang, dan jenis kacang-kacangan lainnya. Sayuran ini lumayan untuk
digunakan sendiri dan untuk dijual atau dibagi-bagikan. Meski kadang hasilnya tidak
seberapa, tapi saat hasil jerih payahnya bisa menghasilkan uang, ada kebahagiaan yang
nampak memancar dari wajah ibu. Selain di sawah, ibu juga memanfaatkan pekarangan
rumah untuk ditanami sayuran. Walaupun yang menikmati adalah tetangga yang biasanya
dengan ikhlas ibu membagi-baginya. Memang ibu memiliki jiwa dermawan dan welas asih.
Walaupun sikap welas asihnya kadang malah dimanfaatkan oleh orang lain dan merugikan
ibu ku sendiri. Pernah pada suatu hari, ibu kehilangan seekor kambing jantan yang besar,
karena dicuri oleh orang yang menumpang berteduh. Saat itu suasana hujan, ada dua orang
laki- laki yang minta ijin berteduh di teras, tanpa berfikir panjang, ibu langsung menyambut
dengan ramah karena kasihan. Kemudian dua orang laki-laki tak dikenal itu disuguhi
minuman hangat. Tidak hanya itu, karena rasa welas asihnya, dengan menggunakan payung,
ibu pergi ke warung untuk membelikan tamu tak dikenal itu camilan. Tapi saat ibu ku
kembali, dua orang tersebut telah pergi bersama satu kambing jantan milik ibu. Dengan panik
ibu mencari kesana kemari, tapi apa daya, dua orang itu berhasil kabur mengambil kambing
ibu ku. Tapi ibu ku tidak pernah jera, karena memang sudah karakter ibu yang sifatnya tidak
tega melihat orang lain susah dan berkeluh kesah kepadanya. Uang pinjaman yang tidak
pernah dikembalikan, atau dimanfaatkan orang untuk mencarikan pinjaman hutang. Itu semua
dilakukan tanpa sepengetahuan aku, karena ibu tahu jika aku tahu, pasti aku tidak akan
setuju. Tetapi jika sudah merasa menyesal karena merasa dirugikan barulah ibu bercerita
kepada ku. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memberitahu agar jangan sampai terulang
lagi. Belum tentu kebaikan yang kita lakukan dihargai oleh orang lain.

Ibu ku adalah orang yang menjadi panutan bagi ku. Beliau yang selalu berdoa setiap
saat, siang dan malam, untuk kesuksesan anak-anaknya. Semua upaya dilakukan agar anak-
anaknya bisa meraih kehidupan yang lebih baik dari orangtuanya. Nilai kepatuhan kepada
agama dan kerja keras dalam hidup, semua ada disosok ibu. ibu ku adalah penganut adat
orang-orang dulu yang sangat menghargai warisan leluhur. Salah satu usaha ibu ku agar
anak- anaknya sukses, dengan melakukan ritual selamatan setiap weton atau hari kelahiran.
Beliau menyiapkan satu nampan yang isinya nasi dengan telur ayam kampung, jajanan pasar,
kopi dan air, kemudian ibu ku ngaji dan nanti isi nampan itu akan disedekahkan kepada

23
tetangga. Hal ini diyakini oleh ibu ku, bahwa nanti ini akan menjadi jalan kemudahan dalam
pendidikan ku dan karir ku.

Sekarang aku juga menerapkan hal yang sama terhadap anak-anak ku, berusaha untuk
mendidik anak-anak ku agar mempunyal dasar keimanan yang kuat. Menanamkan rasa cinta
kasih dan welas asih terhadap sesama. Mengabdikan diri untuk sepenuhnya memperhatikan
pendidikan anak, agar bisa mencapai kesuksesan seperti ibu ku mendidik ku. Aku berharap
bisa membahagiakan ibu ku, memenuhi semua kebutuhannya di masa tuanya. Berharap agar
ibu selalu dalam keadaan sehat walafiat, lahir dan batin, karena harapan ku agar ibu terus
mendampingi ku, menyirami kehidupan ku dengan doa-doanya. Senantiasa ridha kepada ku,
karena ridha ibu adalah ridha Allah SWT.

24
25

Anda mungkin juga menyukai