Anda di halaman 1dari 13

i

MAKALAH HUKUM PIDANA


TENTANG
“ STRAFBAAT FEIT ATAU TINDAK PIDANA”

Disusun oleh :

HENDRO TRIONO ( 18 0005 )

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


Tahun Ajaran 2018/2019
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Hukum Pidana
yang berjudul “ Strafbaar Feit atau Tindak Pidana “ tepat pada waktunya.
Makalah yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Tindakan Pidana(Strafbaar
Feit). Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber baik dari buku
maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan
pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak
kekurangan. Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau
kritik yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.

Mataram, November 2015

Penyusun
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
A Latar Belakang......................................................................................... 1
B Rumusan Masalah................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 2
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................ 3
A Cara Merumuskan Perbuatan Pidana..................................................... 3
B Jenis-jenis Tindak Pidana....................................................................... 5
C Subjek Tindak Pidana............................................................................. 6
BAB IV PENUTUP............................................................................................... 8
A Kesimpulan.............................................................................................. 8
B Saran........................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 10
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan
hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.
Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan
adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam
ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan
dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang  baik modus maupun
skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan
sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan
berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif
tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok.
Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai
berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum
pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam
diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut
determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara merumuskan
perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.

B.  Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana?


2. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ?
3. Siapa saja subjek tindak pidana ?
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Defenisi Tindak Pidana ( Strafbaar Feit )


1
Istilah “Tindak Pidana” adalah dimaksudkan dengan terjemahan dalam bahasa
Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.
Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah “tindak pidana”,
juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam
peraturan tertulis.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai
istilah “tindak pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971
tentang pemberatasan tindak pidana korupsi.
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para serjana
hokum pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat
perbedaan, disamping adanya perbedaan.
Suatu perumusan (defenisi) yang terlahir dan menurut hemat penulis adalah
merupakan yang terbaik untuk dijadikan pegangan, adalah apa yang dikemukakan oleh
Prof. Muljatno S.H. (beliau memakai istilah “perbuatan pidana”), yang merumuskan :
“ perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dilarang dan diancam dengan pidana
barang siapa yang melanggar larangan tersebut “
Selanjutnya beliau mengatakan : menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-
perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hokum. Perbuatan-
perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau
menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik
dan adil.
Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno menerangkan bahwa strafbaar feit
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum,
yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggungjawab. sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan
orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum,
yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakuklan dengan kesalahan. (Moeljatno, 2000,
Azas-Azas Hukum Pidana, cetakan ke enam, PT Rineka Cipta, Jakarta

BAB III
1
K Wantjik Saleh, SH. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Ghalia Indonesia, Tahun 1961, Cetakan ke-4
Halaman 9-10
3

PEMBAHASAN 

A.     Cara Merumuskan Perbuatan Pidana

Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana
dirumuskan didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana
kepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai
oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang
diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran. 2[1]
Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya,
tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidak terdapat
ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih
lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana. 3[2]
Dalam buku II dan III KUHP Indonesia terdapat berbagai cara atau teknik perumusan
perbuatan pidana (delik), yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang dilarang atau
yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barangsiapa yang melanggarnya atau tidak
menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang
dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai
oleh pembentuk delik agar ia dapat dipidana.
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana :
1.      Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan, ialah:
a.       Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaram Pidana
Cara pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini diguanakan
terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk pokok/standard, dengan
mencantumkan unsur-unsur objektif maupun unsur subyektif, misalnya pasal: 338
(pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipuan), 406
(perusakan).
Dalam hal tindak pidana yang tidak masuk dalam kelompok bentuk standard diatas,
juga ada tindak pidana lainnya yang dirumuskan secara sempurna demikian dengan kualifikasi
tertentu, misalnya 108 (pemberontakan).

2[1]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 55-

56.

3[2]
Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: PT. Kencana, 2006), hal. 31.
4

b.      Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualitatif Dan Mencantumkan Ancaman
Pidana
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana dalam
KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsur-unsur pokok tanpa menyebut kualitatif, dalam
praktek kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi tertentu, misalnya terhadap
tindak pidana pada pasal 242 di beri kualifikasi sumpah palsu, stellionat (305), penghasutan
(160), laporan palsu (220), membuang anak (305), pembunuhan anak (341), penggelapan
oleh pegawai negri (415).4[4]
c.       Mencantumkan Kaulifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya
dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan ini dapat dianggap sebagai perkecualian.
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini dilatarbelakangi oleh
semua ratio tertentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351). Pasal 351 (1) dirumuskan
dengan sangat singkat yakni, penganiayaan (mishandeling)
2.      Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
Dari sudut titik beratnya larangan maka dapat diberikan pula antara merumuskan
dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana
materiil).
a.       Dengan Cara Formil
perbuatan pidana yang dirumuskan secara formil disebut dengan tindak pidana formil
(formeel delict). Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas
perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan dalam
rumusan itu adalah melakukan perbuatan yang melawan hukum tertentu. Apabila dengan
selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai dilakukan,
maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan
yang melawan hukum tersebut.5[5]
b.      Dengan Cara Materiil
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tindakan pidana
materiil (materieel delict). Perumusan perbuatan pidana dengan cara materiil maksudnya ialah
perbuatan pidana yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang ditimbulkan dari

4[4]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002)h. 112-114

5[5]
K Wantjik Saleh, SH. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Ghalia Indonesia, Tahun 1961,
Cetakan ke-4 Halaman 15
5

perbuatan pidana tersebut, sedangkan wujud dari perbuatan pidananya tidak menjadi
persoalan. Dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.
3.      Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan
Yang Lebih Ringan
a.       Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan perbuatan pidana
antara bentuk standar (bentuk pokok) dengan bentuk yang diperberat dan bentuk yang lebih
ringan, juga cara merumuskannya dapat dibedakan antara merumuskan perbuatan pidana
dalam bentuk pokok dan dalam bentuk yeng diperberat dan atau yeng lebih ringan.
Dalam hal bentuk pokok pembentukan UU selalu merumuskan secara sempurna,
yaitu dengan mencantumkan semua unsur-unsurnya secara lengkap. Dengan demikian
rumusan bentuk pokok ini adalah merupakan pengertian yuridis dari tindak pidana itu.
b.      Perumusan Dalam Bentuk Yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalm bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari perbuatan pidana yang
bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau dirumuskan kembali,
melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364, 373, 379) atau kualifikasi bentuk
pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan
diperingan atau diperberatnya perbuatan pidana itu.

B.      Jenis-Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:


1.      Menurut sistem KUHP
Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi
tiga jenis peristiwa pidana yaitu,
a.       Kejahatan (crims)
b.      Perbuatan buruk (delict)
c.       Pelanggaran (contravenrions)
Menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dalam dua jenis saja yaitu
“misdrijf” ( kejahatan) dan “overtreding” (pelanggaran). KUHP tidak memberikan ketentuan
syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dan pelanggaran. KUHP hanya menentukan
semua yang terdapat dalam buku II adalah kejahatan, sedangkan semua yang terdapat dalam
buku III adalah pelangaran.6[9]
2.      Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)

6[9]
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana (Jakarta: PT.

Pradnya Paramita, 2007)h. 41


6

3.      Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja ( doleus
delicten) dan tindak pidana tidak sengaja ( culpose delicten)7[10]

4.      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana
terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus.8[11]
5.      Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana
khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang
sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu
7.      Dilihat dari sudut subjek hukumnya: Dapat dibedakan antara tindak pidana communia
(delicta communia) yang dapat dilakukan siapa saja dan tindak (pidana propia) dapat
dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu.9[12]
Jika dilihat dari sudut subjek hukumnya, tindak pidana itu dapat dibedakan antara
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang ( delictacommunia ) dan tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu (d elicta propria).
9.      Berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan: Maka dapat dibedakan antara
tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) tindak pidana yang diperberat
(gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)

C.      Subjek Tindak Pidana

Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana


bersifat pribadi. Artinya, barangsiapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung
jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. 10[15]
Selanjutnya, dalam pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan ( deelneming). Konsep
penyertaan ini berarti ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau
melakukan tindak pidana. Menjadi persoalan, siapa dan bagaimana konsep pertanggung
jawaban pidana, dalam hukum pidana kualifikasi pelaku (subjek) tindak pidana diatur dalam
Pasal 55-56 KUHP.
7[10]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002)h. 123

8[11]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I. h. 126

9[12]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, h. 127

10[15]
Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian II (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007) h. 16
7

Dalam KUHP terdapat lima bentuk yang merupakan subjek tindak pidana, yaitu sebagai
berikut.
1.      Mereka yang melakukan (dader). Satu orang atau lebih yang melakukan tindak pidana.
2.      Menyuruh melakukan (doen plegen). Dalam bentuk menyuruh-melakukan, penyuruh tidak
melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) orang lain.
3.      Mereka yang turut serta (medeplegen). Adalah seseorang yang mempunyai niat sama
dengan niat orang lain, sehingga mereka sama-sama mempunyai kepentingan dan turut
melakukan tindak pidana yang diinginkan.
4.      Penggerakan (uitlokking). Penggerakan atau dikenal juga sebagai Uitlokking unsur
perbuatan melakukan orang lain melakukan perbuatan dengan cara memberikan/ menjanjikan
sesuatu, dengan ancaman kekerasan, penyesatan menyalahgunakan martababat dan
kekuasaan beserta pemberian kesempatan.
5.      Pembantuan (medeplichtigheid). Pada pembantuan pihak yang melakukan membantu
mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu. 11[16]
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah
perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke
personen).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah “Tindak Pidana” adalah dimaksudkan dengan terjemahan dalam bahasa
Indonesia untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaar Feit” atau “Delict”.

11[16]
R. Soesilo, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal

Demi Pasal( Bogor : Politea, 1991) h. 73-75


8

Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, disamping istilah “tindak pidana”, juga
telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam
peraturan tertulis.
Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah
“tindak pidana”, seperti juga ternyata dalam undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang
pemberatasan tindak pidana korupsi.
Perumusan atau defenisi tindak pidana telah banyak diciptakan oleh para serjana
hokum pidana. Tentu diantaranya yang banyak itu, satu dengan yang lainnya terdapat
perbedaan, disamping adanya perbedaan.
Suatu perumusan (defenisi) yang terlahir dan menurut hemat penulis adalah
merupakan yang terbaik untuk dijadikan pegangan, adalah apa yang dikemukakan oleh
Prof. Muljatno S.H. (beliau memakai istilah “perbuatan pidana”), yang merumuskan :
“ perbuatan yang oleh aturan hokum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang
siapa yang melanggar larangan tersebut “
Dalam KUHP terdapat 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak
pidana :
1.      Dari Sudut Cara Pencantuman Unsur-Unsur Dan Kualifikasi Tindak Pidana
2.      Dari Sudut Titik Beratnya Larangan
3.      Dari Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk Yang Lebih Berat Dan
Yang Lebih Ringan
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1.      Menurut sistem KUHP
2.      Menurut cara merumuskannya: Tindak pidana dibedakan anatara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
3.      Berdasarkan bentuk kesalahannya: Dibedakan antara tindak pidana sengaja ( doleus
delicten) dan tindak pidana tidak sengaja ( culpose delicten)12[10]

4.      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya: Maka dapat dibedakan antara tindak pidana
terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus.13[11]

12[10]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002)h. 123

13[11]
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I. h. 126
9

5.      Berdasarkan sumbernya: Dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana
khusus
Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang
sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu

B. Saran
 Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat
yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada
sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar
10

DAFTAR PUSTAKA

Saleh Wantjik, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Jakarta 1977.


Chazawi Adami, Tindak Pidana ( Kesopanan), PT Raja Grafindo Persada,Jakarta. 2005
Dirdjosisworo Soedjono, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya CV, Bandung, 1984.
Djoko Prakoso, Kejahataan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, PT Bina
Aksara, Jakarta, 1987.

http://www.academia.edu/5473437/pengertian_dan_ruang_lingkup_hukum_pidana( diunduh
pada senin, 30 November 2015, pukul 04.35 wita )

Anda mungkin juga menyukai