Anda di halaman 1dari 19

Kisah Dewi Anggraini (Panjang)

RESI DRUNA MEMILIKI MURID BERNAMA PRABU PALGUNADI

Resi Druna di Padepokan Sokalima dihadap putranya, yaitu Bambang Aswatama bersama
para cantrik dan jejanggan. Hadir pula dalam pertemuan itu, seorang wanita cantik bernama
Dewi Angraeni yang merupakan istri Prabu Palgunadi, yaitu murid Resi Druna yang menjadi
raja di Negeri Paranggelung. Dewi Angraeni awal mulanya ikut menemani Prabu Palgunadi
yang berkunjung ke Padepokan Sokalima untuk mendapat pelajaran baru dari Resi Druna.
Namun, karena ada suatu masalah penting di Kerajaan Paranggelung, Prabu Palgunadi
terpaksa mohon pamit pulang lebih dulu dan menitipkan istrinya kepada Resi Druna untuk
sementara waktu.

Resi Druna : “Dewi Anggraini ada apa dengan kau?, mengapa kau seperti banyak pikiran?”.

Dewi Anggraini : “Jujur saja saya sangat rindu terhadap Prabu Palgunadi tetapi dia selalu
banyak urusan hingga sedikit waktu yang dia luangkan untuk saya”.

Resi Druna : “Ya sudah maklumi saja, suamimu adalah seorang raja jika bukan dia yang
menyelesaikan masalah di Paranggelung lalu siapa lagi?”.

Resi Druna : “Suamimu itu pekerja keras, belasan tahun yang lalu Prabu Dretarastra
menugaskanku untuk menjadi guru ilmu perang bagi para Pandawa dan Kurawa yang saat
itu masih remaja. Diantara murid-muridku, Arjuna adalah yang paling berbakat dalam
memanah, bahkan dia bisa memanah dengan tepat meskipun dalam suasana yang gelap.
Lalu pada suatu hari anjing piaraan milik Raden Suyudana diserang orang. Mulut anjing itu
disumpal dengan tujuh batang anak panah, tetapi si anjing tidak terluka sama sekali. Aku
dan murid-muridku penasaran, siapa yang bisa memanah sehebat itu, dan kami pun
menelusuri jejak anjing itu dan menemukan seorang remaja sedang berlatih panah di
hadapan patung yang mirip denganku”.

Resi Druna : “Remaja itu bernama Raden Ekalaya, putra Prabu Hiranyadanu dari kerajaan
Paranggelung lalu ia bercerita bahwa beberapa waktu yang lalu ia mendengar kabar bahwa
di kerajaan Hastina, tepatnya di padepokan Sokalima ada seorang guru sakti bernama Resi
Druna. Ia mengatakan bahwa sangat ingin sekali belajar ilmu memanah kepadaku. Namun ia
hanya mengintai dari jauh dan melihatku menolak seoranh pemuda bernama Radeya. Saat
itu aku berkata bahwa Prabu Dretarastra telah menugaskanku untuk menjadi guru para
Pandawa dan Kurawa saja, tidak boleh menerima murid lain, kecuali putranya yang bernama
Bambang Aswatama. Suamimu berkata bahwa saat mendengar aku berkata seperti itu dia
langsung berkecil hati dan tidak berani menemuiku. Lalu ia membuat patung yang mirip
denganku yang terbuat dari tanah liat. Setiap pagi suamimu bersemedidan menghormat
dihadapan patung itu. Ia memperlakukan pating itu seperti aku dia sangat menghormati
patung tersebut. Setelah berbulan-bulan ia mendapat kepandaian memanah yang luar
biasa, hingga suatu pagi saat sedang berlatih, tiba tiba muncul anjing milik Raden Suyudana
yang menggonggong hendak menyerang dirinya. Raden Ekalaya pun menembakkan panah
tujuh kali yang semuanya tepat menyumpal mulut ai anjing tanpa melukainya sedikit pun”.

Resi Druna : “Pada saat itu aku ingin sekali menjadikannya sebagai muridku tetapi aku ingat
bahwa Prabu Dretarastra melarangky menerima murid selain Pandawa, Kurawa dan
Bambang Aswatama. Selain itu aku juga sudah berjanji untuk menjadikan Raden Arjuna
sebagai pemanah terbaik didunia. Lalu aku berkata bahwa meskipun hanya belajar kepada
patung yang mirip denganku, namun itu sama artinya engkau telah belajar langsung
kepadaku. Oleh sebab itu, aku berhak meminta bayaran darimu karena engkau sudah
seperti muridku. Dan yang aku minta pada saat itu adalah ibu jari tangan kanannya dan
suamimu langsung memotongnya untukku. Pada saati itu Raden Arjuna sadar bahwa aku
lebih mengasihi Raden Ekalaya dibanding dirinya. Aku meminta ibu jarinya agar kemampuan
memanahnya sedikit menurun tetapi Raden Arjuna melarangku dan memintaku untuk
memberinya pusaka sebagai ganti ibu jarinya. Pusaka itu berupa cincin yang bernama
Sesotya Manik Ampal yang ia pakai saat ini. Lalu sebelum berpisah aku mempersaudarakan
Raden Arjuna dan Raden Ekalaya. Karen Arjuna memiliki julukan Raden Palguna maka Raden
Ekalaya kuberi nama julukan Raden Palgunadi, dan kujadikan sebagai adik daei Arjuna”.

Dewi Anggraini : “Oh jadi seperti itu awal mula Raden Palgunadi menjadi muridmu”.

Resi Druna : “Iya seperti itu lah awal mula pertemuanku dengan suamimu itu”.

DEWI ANGRAENI MOHON PAMIT PULANG KE PARANGGELUNG

Dewi Angraeni terkesan mendengar kisah masa lalu Prabu Palgunadi dan kini ia baru tahu
mengapa suaminya itu hanya memiliki sembilan jari. Selama ini Prabu Palgunadi tidak
pernah bercerita bahwa ibu jari kanannya telah dipotong sebagai pembayaran untuk Resi
Druna. Sikap kesatria Prabu Palgunadi ini membuat Dewi Angraeni semakin cinta
kepadanya. Karena perasaan rindu tidak tertahan lagi, Dewi Angraeni pun mohon pamit
ingin menyusul suaminya pulang ke Kerajaan Paranggelung.

Dewi Anggraini : “Ya sudah aku ingin menyusul suamiku ke Paranggelung saja”.

Resi Druna : “Mengapa terburu-buru, suamimu hanya menyelesaikan masalah, mungkin


sebentar lagi dia sudah datang”.

Dewi Anggraini : “Aku sudah sangat merindukannya”.

Resi Druna : “Ya sudahlah jika memang engkau tidak bisa menahan rasa rindumu itu,
silahkan dewi”.

Resi Druna : “Aswatama, kemarilah”.

Aswatama : “Ada apa ayah?”.

Resi Druna : “Antar Dewi Anggraini ke Paranggelung, dia tidak akan kubiarkan pulang
sendirian”.

Aswatama : “Baik Ayahandaku”.

Akhirnya mereka pun berangkat menuju Paranggelung.

PATIH SANGKUNI MENEMUI RESI DRUNA

Setelah Dewi Angraeni dan Bambang Aswatama pergi, tiba-tiba datang dua orang tamu dari
Kerajaan Hastina, yaitu Patih Sangkuni dan Arya Dursasana. Kedatangan mereka adalah
untuk menyampaikan teguran Prabu Duryudana terhadap Resi Druna yang sudah beberapa
waktu ini tidak datang menghadap ke istana.
Sangkuni : “Heii Resi Druna, sudah berapa lama engkau tidak datang menghadap Prabu
Duryudana di istana”.

Resi Druna : “Aku sangat sibuk mengajarkan berbagai macam ilmu perang kepada Prabu
Palgunadi raja Paranggelung”.

Sangkuni : “Hmm, aku sudah mendengar soal itu bukankah Prabu Palgunadi itu adalah
Raden Ekalaya yang pada saat remajanya mendapat ilmu memanah hanya dengan memuja
patung yang mirip denganmu”.

Resi Druna : “Benar Patih Sangkuni”.

Sangkuni : “Kau masih ingat kan dengan perjanjian bahwa Prabu Dretarastra mengizinkan
Padepokan Sokalima menerima murid dari luar Kerajaan Hastina, tetapi dengan syarat
murid itu harus menjadi sekutu para Kurawa”.

Resi Druna : “Aku selalu mengingatnya Patih”.

Resi Druna : “Prabu Palgunadi juga telah bersumpah setia akan selalu tunduk terhadap
perintah Prabu Duryudana”.

Sangkuni : “Hm... baiklah kerja bagus”.

Sangkuni : “Prabu Duryudana juga mempunyai niat untuk menjadikan Prabu Palgunadi
sebagai panglima perang kedua di kerajaan Hastina, berdampingan dengan Adipati Karna.
Pada saat itu aku mengusulkan hal itu karena menurutku Prabu Palgunadi lebih hebat dari
Adipati Karna. Apalagi ia sudah mengetahui bahwa para Pandawa adalah adik-adiknya
sendiri. Aku khawatir jangan-jangan suatu saat nanti ia membelot untuk bergabung dengan
musuh di kerajaan Amarta. Prabu Duryudana menerima usulanku. Oleh karena itu aku dan
Dursasana datang kemari. Selain itu kehadiran kami juga ingin menjemput Prabu Palgunadi
agar bersama sama hadir di kerajaan Hastina”.

Resi Druna : “Sudah terlambat Patih, Prabu Palgunadi kini sudah oulang ke kerajaan
Paranggelung. Bahkan permaisurinya yang bernama Dewi Anggraini juga telah menyusul
dengan diantar Bambang Aswatama”.
Sangkuni : “Tidak ada kata terlambat bagiku”.

Sangkuni : Ehmm, ada Dewi Anggraini juga. Aku bisa dengan mudah mengadu domba Prabu
Palgunadi dengan Raden Arjuna, ahahaha batin sangkuni.

Setelah berpikir demikian, ia lantas mohon pamit pergi meninggalkan Padepokan Sokalima
bersama seluruh rombongannya.

BAMBANG ASWATAMA MERAYU DEWI ANGRAENI

Dalam perjalanan pulangnya, Dewi Angraeni mengendarai kereta dengan dikawal sedikit
prajurit, sedangkan Bambang Aswatama menunggang kuda di depannya. Ketika mereka
melewati jalanan sepi, tiba-tiba Bambang Aswatama menghadang dan menghentikan laju
kereta. Ia lalu turun dari kuda dan langsung menyelinap masuk ke dalam kereta untuk
menemui Dewi Angraeni.

Dewi Anggraini : “Lancang sekali kau Aswatama, dasar kurang ajar! Apa yang kau lakukan!”.

Aswatama : “Jujur saja selama ini aku diam diam memendam rasa padamu Dewi Anggraini”.

Aswatama : “Tinggalkan saja Suamimu itu, hahaha memang diriku bukan raja tak seperti
suamimu, tetapi aku punya tanah yang sangat luas”.

Aswatama : “Dulu para Pandawa telah memenangkan perang melawan Praabu Drupada dan
Arya Gandamana. Akibatnya, kerajaan Pancala pun jatuh ke tangan Resi Druna dan
kemudian dibagi menjadi dua bagian. Wilayah Pancala senehalh selatan dikembalikan
kepada Prabu Drupada sekeluarga, sedangkan wilayah Pancala sebelah utara diserahkan
kepadaku”.

Aswatama : “Sudah jelas kan, hartaku melebihi suamimu itu walaupun aku bukanlah
seorang raja”.
Dewi Anggraini : “Aswatama! Bicara apa kau ini, sudah cukup. Aku tidak akan mau
meninggalkan suamiku”.

Dewi Angraeni sama sekali tidak tertarik mendengar rayuan Bambang Aswatama. Ia pun
turun dari kereta dan berteriak minta tolong. Akan tetapi, Bambang Aswatama dengan
cekatan membunuh kusir kereta dan seluruh prajurit pengawal Dewi Angraeni yang
jumlahnya tidak banyak.

DEWI ANGRAENI BERTEMU RADEN ARJUNA

Dewi Angraeni yang berlari kencang akhirnya bertemu Raden Arjuna yang sedang berkelana
dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.

Raden Arjuna : “teman-teman, lihatlah siapa itu?”.

Raden Arjuna : “Mengapa dia berlari seperti dikejar binatang buas?”.

Semar : “Kita datangi saja”.

Tidak lama kemudian datang Patih Sangkuni, Bambang Aswatama, dan para Kurawa
mengejar. Mereka meminta agar Dewi Angraeni diserahkan.

Sangkuni : “Heii Arjuna serahkan Dewi Anggraini pada kita”.

Sangkuni : “Hmm engkau bukanlah siapa siapanya”.

Mendengar itu, sikap kesatria Raden Arjuna pun bangkit. Ia menantang apabila mereka ingin
merebut Dewi Angraeni, maka harus bisa membunuhnya terlebih dahulu.
Arjuna : “Dengar Sangkuni, kau tidak akan bisa mengambil Dewi Anggraini dari kami, jika kau
ingin mengambilnya lewati dulu aku”.

Sangkuni : “Ahahahaha berani beraninya kau Arjuna!”.

Sangkuni : “Serang dia!”.

Mendengar tantangan tersebut, para Kurawa maju menyerang Raden Arjuna. Pertempuran
sengit pun terjadi di antara mereka. Meskipun seorang diri, namun Raden Arjuna tetap tidak
teralahkan, karena ia memang murid terbaik Resi Druna. Sementara itu, Patih Sangkuni
mendapatkan akal bahwa pertempuran ini tidak perlu dilanjutkan. Ia merasa Dewi Angraeni
sudah jatuh ke tangan Raden Arjuna dan sebentar lagi suaminya pasti murka. Setelah
berpikir demikian, ia pun segera memerintahkan para Kurawa untuk mundur, tidak perlu
lagi mengeroyok Raden Arjuna.

Sangkuni : “Para Kurawa... sudah cukup”.

Sangkuni : “Waktunya kita pergi dari sini”.

Demikianlah, orang-orang Hastina itu telah mundur. Namun, Patih Sangkuni lalu mengajak
Arya Dursasana dan Bambang Aswatama untuk memutar jalan dan kemudian pergi menuju
Kerajaan Paranggelung untuk menghasut Prabu Palgunadi.

RADEN ARJUNA JATUH CINTA KEPADA DEWI ANGRAENI

Dewi Angraeni merasa lega melihat para pengejar telah pergi. Ia segera berterima kasih
kepada Raden Arjuna dan juga memperkenalkan diri kepadanya. Raden Arjuna terkejut saat
mengetahui ternyata Dewi Angraeni adalah istri Prabu Palgunadi yang merupakan adik
angkatnya.

Dewi Anggraini : “Terimakasih banyak Raden, aku adalah Dewi Anggraini istri Prabu
Palgunadi”.
Arjuna : “Apaa..?”.

Arjuna : “Kau adalah istri dari adik angkatku?”.

Dewi Anggraini : “Benar Raden Arjuna”.

Dewi Anggraini : “Sekali lagi terimakasih Raden”.

Arjuna : “Santai saja, kau juga adik iparku”.

Dewi Anggraini : “Raden saya pamit dulu untuk pulang menuju kerajaan Paranggelung”.

Raden Arjuna : “Daripada engkau pulang sendirian, aku bersedia untuk mengantarmu
sampai ke kerajaan Paranggelung”.

Dewi Anggraini : “Baiklah Raden”.

Begitulah, mereka lalu berjalan bersama-sama. Dalam perjalanan itu, diam-diam Raden
Arjuna mengamati dan memuji kecantikan Dewi Angraeni. Meskipun Raden Arjuna telah
memiliki beberapa istri, namun kecantikan Dewi Angraeni sangat khas dan tidak ada
duanya.

Raden Arjuna : “Adik angkatku sangat beruntung bisa mendapat istri secantik dirimu”.

Raden Arjuna : “Andai saja kita bertemu lebih cepat, sebelum kau menikah dengan adikku,
tentu akulah yang menjadi suamimu sekarang Dewi Anggraini”.

Dewi Anggraini : Memang jika dilihat Raden Arjuna lebih tampan dan gagah jika
dibandingkan dengan Prabu Palgunadi, ah tetapi aku sangat mencintai Prabu Palgunadi,
tidak mungkin aku menghianatinya. Dalam batin Dewi Anggraini
Kyai Semar : “Gareng, Petruk, Bagong, kalian harus menjadi laki-laki yang selalu menjaga
norma. Sesungguhnya wajar apabila laki-laki menyukai perempuan. Akan tetapi, yang wajib
diingat adalah apabila si perempuan sudah memiliki suami, maka jangan pernah
menginginkannya. Jika diteruskan, itu iatilahnya disebut merusak pagar hayu”.

Kyai Semar : “Lebih baik mencari yang masih perawan atau sudah janda, daripada
mengganggu istri orang lain”.

Raden Arjuna paham dirinya sedang disindir. Maka, ia pun tidak berani lagi memuji Dewi
Angraeni dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Paranggelung.

PATIH SANGKUNI MENGHASUT PRABU PALGUNADI

Sementara itu, Patih Sangkuni ditemani Arya Dursasana dan Bambang Aswatama
meninggalkan para Kurawa lainnya untuk bergerak cepat mendahului Dewi Angraeni
menuju Kerajaan Paranggelung. Sesampainya di sana, mereka segera menemui Prabu
Palgunadi. Bambang Aswatama yang saling kenal dengan Prabu Palgunadi segera
memperkenalkan kedua rekannya. Mengetahui bahwa Patih Sangkuni dan Arya Dursasana
adalah orang-orang dekat Prabu Duryudana, Prabu Palgunadi pun menyembah hormat
kepada mereka.

Prabu Palgunadi : “Selamat datang Patih Sangkuni dan Arya Dursasana”. (sambil menunduk)

Prabu Palgunadi : “Silahkan masuk Patih”.

Patih Sangkuni : “Kedatanganku kesini adalah untuk menyampaikan keputusan Prabu


Duryudana yang mengangkatmu sebagai panglima pernag kerajaan Hastina, berdampingan
dengan Adipati Karna. Jadi bukan sekadar menjadi sekutu biasa”.

Prabu Palgunadi : “Sebelumnya terimakasih banyak Patih Sangkuni telah memberi saya
informasi tentang itu, dan terimakasih atas kemurahan hati Prabu Duryudana”.
Patih Sangkuni : “Sebaiknya Prabu Palgunadi jangan senang dulu, karena ditengah jalan tadi
kami melihat Dewi Anggraini digoda oleh Raden Arjuna”.

Prabu Palgunadi : “Apaa..? Arjuna..?”.

Prabu Palgunadi : “Sial berani beraninya dia menggoda istriku!”.

Prabu Palgunadi : “Patih, bisa diceritakan bagaimana kronologisnya secara rinci”.

Patih Sangkuni :”Aswatama, ceritakan kejadian tadi”.

Aswatama : “Saya tadi ditugaskan oleh ayahanda untuk mengawal kepulangan Dewi
Anggraini yang ingin menyusul Prabu Palgunadi. Namun, ditengah jalan kami bertemu
Raden Arjuna. Seperti yang Prabu ketahui Raden Arjuna bersifat mata keranjang. Lalu Raden
Arjuna menggoda Dewi Anggraini”.

Aswatama : “Saya sudah berusaha untuk melindungi Dewi Anggraini tetapi kalah dan
terdesak Prabu...”.

Aswatama : “Kemudian muncul pula Patih Sukarma beserta para prajurit Paranggelung yang
engkau tugasi untuk menjemput pulang Dewi Anggraini. Namun, tanpa ampun Raden Arjuna
menumpas habis mereka semua Prabu..”.

Prabu Palgunadi : “Arjunaa...! lihat saja kau akan kubunuh kau Arjuna!”.

Patih Sangkuni : Ahahaha mudah sekali engkau untuk dihasut wahai Prabu Palgunadi,
dalam batin Sangkuni.

Aswatama : “Lalu Raden Arjuna menarik tangan Dewi Anggraini dan membawanya kabur
Prabu..”.
Aswatama : “Saya mencoba mengejarnya tetapi Raden Arjuna jauh lebih sakti Prabu..,
akhirnya kami bertemu Patih Sangkuni dan Arya Dursasana yang sedang dalam perjalanan
menuju Kerajaan Paranggelung”.

Prabu Palgunadi : “TIDAK BISA DIBIARKAN!”.

Prabu Palgunadi : “Aku akan benar benar membunuh Arjuna sialan itu!”.

Patih Sangkuni : “Didunia ini hanya ada dua orang pemanah sakti yang bisa membunuh
Raden Arjuna, yaitu Adipati Karna dan Prabu Palgunadi. Jujur saja aku sudah tidak percaya
kepada Adipati Karna karena dia dan Raden Arjuna sama-sama putra Dewi Kunti, hanya
berlainan Ayah”.

Patih Sangkuni : “Oleh sebab itu aku menaruh kepercayaan yang besar kepadamu Prabu..,
apabila Raden Arjuna bisa dibunuh, maka kedudukanmu di mata Prabu Duryudana akan
melebihi Adipati Karna”.

Prabu Palgunadi : “Aku tidak peduli soal kedudukan, itu hanya omong kosong bagiku”.

Prabu Palgunadi : “Aku hanya ingin istriku kembali!”.

Dengan segera ia pun berangkat mencari keberadaan Raden Arjuna dan Dewi Angraeni.
Patih Sangkuni senang berhasil mengadu domba mereka. Ia pun mengajak Arya Dursasana
dan Bambang Aswatama untuk menyaksikan bagaimana Sang Panengah Pandawa menemui
ajal.

PERTARUNGAN RADEN PALGUNA DAN PRABU PALGUNADI

Prabu Palgunadi tidak perlu jauh-jauh mencari karena Raden Arjuna dan Dewi Angraeni
ternyata sudah memasuki wilayah Kerajaan Paranggelung. Ia langsung melabrak Raden
Arjuna sebagai laki-laki hidung belang yang suka merayu istri orang, bahkan terhadap istri
saudara sendiri.
Prabu Palgunadi : “Hei Arjuna sialan!”.

Prabu Palgunadi : “Berani beraninya kau menggoda istriku, sungguh biadab!”.

Raden Arjuna marah, namun berusaha menahan diri. Dewi Angraeni heran melihat
suaminya tiba-tiba bersikap kasar seperti itu. Ia pun berusaha menyabarkan Prabu Palgunadi
dan menjelaskan bahwa ini semua hanya salah paham.

Dewi Anggraini : “Ini tidak seperti yang kau lihat suamiku!, ini hanya salah paham”.

Prabu Palgunadi tersinggung melihat istrinya membela musuh.

Prabu Palgunadi : “Arjuna..! kau juga telah membunuh Patih Sukarma dan ini berarti
menghina kehormatan Paranggelung!”.

Dewi Anggraini : “Suamiku.. ada apa dengan engkau, sesungguhnya yang membunuh Patih
Sukarma bukan Raden Arjuna, tetap Bambang Aswatama dan para Kurawa. Bahkan, Raden
Arjuna justru berjasa besar telah menolongku dari tangan orang-orang jahat itu”.

Prabu Palgunadi tidak percaya karena dirinya telah diangkat Prabu Duryudana sebagai
panglima perang Kerajaan Hastina, sehingga tidak mungkin para Kurawa membunuh Patih
Sukarma.

Prabu Palgunadi : “Omong kosong apa ini, tidak mungkin! Apalagi Aswatama adalah orang
yang sopan dan pendiam, sehingga tidak mungkin dia bersikap seperti itu”.

Prabu Palgunadi : “Apakah kau telah terhasut oleh Arjuna wahai Dewi Anggraini?”. (dengan
amarah)

Raden Arjuna : “Hentikan Palgunadi, tidak seharusnya engkau seperti itu terhadap istrimu!”.

Raden Arjuna : “Jujur saja, aku memang mengagumi kecantikan Dewi Anggraini. Tapi aku
masih sadar bahwa ia adalah istrimu!, dan itu berarti ia juga termasuk adik iparku”.
Prabu Palgunadi : “Sialan.. Siapa yang akan percaya dengan omong kosongmu itu Arjuna!”.

Prabu Palgunadi yang sudah dibutakan oleh amarah sama sekali tidak percaya. Kejadian ini
membuat kenangan masa lalunya bangkit, yaitu saat ia harus memotong ibu jari tangan
sendiri gara-gara Resi Druna pilih kasih lebih menyayangi Raden Arjuna. Maka, hari itu Prabu
Palgunadi pun menantang Raden Arjuna bertanding untuk membuktikan siapa di antara
mereka yang merupakan murid terbaik Padepokan Sokalima.

Prabu Palgunadi : “Sudah jangan banyak omong Arjuna, mari kita buktikan juga siapa yang
terbaik di Padepokan Sokalima..!”.

Raden Arjuna sebenarnya enggan menghadapi saudara sendiri. Namun, sebagai kesatria ia
merasa tidak pantas jika menolak tantangan. Maka, ia pun menerima tantangan tersebut.

Raden Arjuna : “Huhh.. Baiklah mari kita buktikan sekarang!”.

Keduanya lalu bertanding. Mereka sama-sama sakti dan terampil. Patih Sangkuni, Arya
Dursasana, dan Bambang Aswatama mengintai dari kejauhan dan berharap Prabu Palgunadi
berhasil membunuh Raden Palguna (Arjuna).

Setelah bertarung adu keris tanpa ada yang menang ataupun kalah, Raden Arjuna dan Prabu
Palgunadi ganti bertanding saling memanah. Sungguh indah dan menengangkan
pertarungan di antara mereka. Keduanya saling melepas panah ke arah lawan. Entah berapa
kali panah mereka saling bertabrakan di udara. Raden Arjuna sangat heran mengapa Prabu
Palgunadi yang hanya berjari sembilan mampu memanah dengan sangat jitu dan dahsyat.
Karena lengah memikirkan kehebatan musuh, tanpa sadar ia pun terluka. Sebatang anak
panah Prabu Palgunadi menyerempet di pundaknya.

Raden Arjuna : “ahh.. Sialan, pundakku!”.

Begitu lawannya terluka, Prabu Palgunadi semakin gencar menyerang. Ia melepaskan panah
bertubi-tubi kepada Raden Arjuna. Kali ini Raden Arjuna tidak dapat menghindar lagi dan
pasti mati di tangan adik seperguruannya itu. Namun, tiba-tiba muncul sesosok bayangan
hitam berkelebat menyambar tubuhnya dan membawa ia pergi meninggalkan tempat
pertandingan

PRABU KRESNA MENYARANKAN RADEN ARJUNA AGAR MELENYAPKAN PRABU


PALGUNADI

Bayangan hitam yang menyambar tubuh Raden Arjuna dan membawanya kabur itu ternyata
kakak ipar sendiri, yaitu Prabu Kresna. Setelah keduanya jauh meninggalkan Kerajaan
Paranggelung, Raden Arjuna pun mengucapkan terima kasih, tetapi sebenarnya ia lebih suka
mati secara kesatria daripada melarikan diri secara pengecut

Raden Arjuna : “Ternyata engkau Prabu Kresna”.

Raden Arjuna : “Mengapa kau selamatkan aku, lebih baik aku mati secara kesatria daripada
melarikan diri secara pengecut”. (sambil kesakitan)

Prabu Kresna : “Jika engkau mati melawan Prabu Palgunadi, engkau bukan mati secara
kesatria tetapi mati konyol sebagai lorban fitnah Patih Sangkuni”.

Prabu Kresna : “Aku mendapat firasat buruk menimpamu Arjuna. Akhirnya aku memutuskan
untuk berangkat ke Amarta untuk menemuimmu. Namun, engkau tidak ada disana. Prabu
Puntadewa mengatakan bahwa, Raden Arjuna saat ini sedang menuju Padepokan Sokalima
untuk berlatih bersama Prabu Palgunadi. Aku berangkat, tetapi hatiku berbisik agar aku
pergi ke Paranggelung saja. Ternyata aku datang tepat waktu. Syukurlah”.

Raden Arjuna : “Aku sungguh tidak mengira bahwa Patih Sangkuni ternyata ada dibalik ini
semua”.

Prabu Kresna : “Prabu Palgunadi itu sifatnya gegabah dan mudah dihasut. Apabila dibiarkan
hidup, maka di kemudian hari akan kembali dihasut oleh Patih Sangkuni. Orang sakti yang
ceroboh seperti dia harus dilenyapkan daripada kelak mendatangkan masalah”.
Raden Arjuna : “Aku masih ragu, tetapi kalau dipikir pikir orang sakti seperti itu sulit
dikalahkan, jika kelak dapat dihasit lagi dia akan merepotkan”.

Prabu Kresna : “Lebih baik engkau meminta petunjuk kepada Resi Druna, dialah yang telah
membuat Prabu Palgunadi menjadi sedemikina hebatnya”.

Raden Arjuna paham dan segera melesat pergi menggunakan Aji Seipi Angin menuju
Padepokan Sokalima.

RESI DRUNA MENGORBANKAN NYAWA PRABU PALGUNADI

Dalam waktu singkat, Raden Arjuna telah sampai di hadapan Resi Druna. Ia datang dengan
menghunus keris dan meminta sang guru agar menusuk dadanya menggunakan senjata
tersebut.

Raden Arjuna : “Lebih baik aku mati daripada kalah di tangan adik seperguruanku sendiri”.

Raden Arjuna : “Hidupku sungguh mengecewakan karena harus memiliki guru yang tidak
adil, bagaimana mungkin seorang Palgunadi yang berjari sembilan dapat mengalahkanku
yang berjari utuh”.

Resi Druna : “Ada apa denganmu wahai muridku, mengapa engkau saling serang?”.

Raden Arjuna : “Berawal dari aku menolong Dewi Anggraini yang dikejar-kejar oleh Sangkuni
dan Aswatama, disana aku masih bisa menahan lalu para Kurawa dan Aswatama pergi
meninggalkanku begitu saja. Akhirnya aku mengnatar Dewi Anggraini untuk pulang ke
Paranggelung. Setibamya disana, Palgunadi sudah dihasut oleh Sangkuni, aku telah difitnah
menggoda istrinya. Lalu dengan terpaksa aku bertarung melawan Palgunadi.

Resi Druna tertegun mendengarnya.


Resi Druna : “Di dunia ini ada dua orang yang paling kusayangi, yaitu Bambang Aswtaama
dan engkau Arjuna. Kepadamu memang aku bersikap tegas, sehingga engkau berhasil
menjadi lemanah terbik. Tetapi tidak dengan Bambang Aswatama, aku justru banyak
memanjakannya sehingga ia menjadi pemuda yang kurang ajar, apalagi sekarang ia banyak
bergaul dengan para Kurawa”.

Resi Druna : “Karena kasih sayangku kepadamu sangatlah besar wahai Arjuna, maka aku
inhlas jika harus kehilangan murid bernama Prabu Palgunadi. Engkau dan Palgunadi sama-
sama telah mendapat pusaka dariku. Engkau telah aku beri Panah Sangkali, sedangkan
Palgunadi Memperoleh cincin Mustika Ampal”.

Resi Druna : “Cincin itulah yang membuat Palgunadi tetap terampil dalam memanah
meskipun jarinya tinggal sembilan. Maka, jika ingin menang, aku sarankan engkau agar
menggunakan Panah Sangkali untuk memotong jari Palgunadi yang menggunakan cincin
tersebut”.

Raden Arjuna berterima kasih atas petunjuk Resi Druna dan segera mohon pamit kembali ke
Kerajaan Paranggelung. Resi Druna merasa hatinya tidak tenang. Ia pun segera menyusul
kepergian muridnya tersebut.

KEMATIAN PRABU PALGUNADI

Raden Arjuna yang mengerahkan Aji Seipi Angin dalam waktu singkat sudah kembali ke
hadapan Prabu Palgunadi. Ia pun menantang adik seperguruannya itu kembali bertarung.

Raden Arjuna : “Ayo kembali bertarung Palgunadi!”.

Prabu Palgunadi : “Ahahaha silahkan maju jika kau ingin mati”.

Kali ini gerakan Raden Arjuna sungguh cepat dan Panah Sangkali meluncur dahsyat
menerjang tangan lawan.
Prabu Palgunadi sama sekali tidak mengira tangan kanannya menjadi sasaran panah lawan.
Karena tidak sempat menghindar, jari kelingkingnya yang mengenakan Cincin Mustika
Ampal pun putus terkena Panah Sangkali. Seketika Prabu Palgunadi merasa lemas dan ia
pun jatuh di tanah. Hal ini karena ia dulu telah bersumpah untuk merawat dan menjaga
cincin pusaka pemberian Resi Druna bagaikan nyawa. Kini cincin itu telah terpisah dari
tubuhnya, membuat ia merasa terguncang dan jantungnya berhenti. Akhirnya Prabu
Palgunadi pun meninggal dunia.

Raden Arjuna terkejut, begitu pula Patih Sangkuni dan yang lain. Dewi Angraeni menangis
dan memeluk jasad suaminya.

Dewi Anggraini : “Suamiku..!!”.

Dewi Anggraini : “Jangan tinggalkan aku.. bangunlah, bangunlah!”. (sambil bercucuran air
mata)

Tidak lama kemudian Resi Druna datang pula dan ia sangat terkejut melihat Prabu
Palgunadi telah tewas. Tanpa banyak bicara, ia lalu memungut potongan jari kelingking
muridnya itu di tanah. Ia berusaha melepaskan Cincin Mustika Ampal namun cincin tersebut
seolah sudah menyatu dengan jari kelingking. Resi Druna lalu menempelkan kelingking
bercincin itu ke tangan Raden Arjuna sambil kemudian membaca mantra. Sungguh ajaib, jari
sekaligus cincin pusaka tersebut langsung menyatu dengan tangan Raden Arjuna, berjajar
bersama jari-jari yang lain. Maka, mulai saat ini Raden Arjuna pun memiliki jari tangan
berjumlah sebelas, sekaligus mewarisi Cincin Mustika Ampal

DEWI ANGRAENI BUNUH DIRI

Patih Sangkuni merasa kecewa pada hasil akhir pertandingan ini. Ia pun mengajak Arya
Dursasana dan Bambang Aswatama pulang ke Kerajaan Hastina.

Patih Sangkuni : “Sialan..! kenapa bisa ia mati, tidak masuk akal!”.

Patih Sangkuni : “Para Kurawa mari kita pulang saja”.


Resi Druna pikirannya kalut karena telah berbuat tidak adil pada Prabu Palgunadi. Ketika
hendak melangkah pulang menuju Padepokan Sokalima, tiba-tiba terdengar suara arwah
Prabu Palgunadi bergema di angkasa, yang mengatakan bahwa Resi Druna seorang guru
yang pilih kasih, mengorbankan murid yang satu karena lebih menyayangi murid yang lain.
Roh Prabu Palgunadi berkata kelak Resi Druna akan mendapat karma, yaitu mati di tangan
muridnya sendiri; seorang murid yang lahir dari api kebencian orang tuanya. Saat itulah roh
Prabu Palgunadi akan datang untuk menjemput kematian Resi Druna.

Resi Druna ngeri mendengarnya. Ia pun berlari pulang menuju Sokalima sambil
mengucapkan sebutannya berkali-kali (kelak murid yang membunuh Resi Druna adalah
Raden Drestajumena, putra Prabu Drupada).

Sementara itu, Dewi Angraeni yang juga mendengar suara roh suaminya segera memanggil-
manggil minta diajak serta ke alam baka.

Dewi Anggraini : “Suamiku.. bawa aku ke alam baka, aku ingin menemuimu”.

Raden Arjuna : “Sudah Dewi Anggraini, engkau tidak bisa memaksakan keinginanmu itu “.

Raden Arjuna : “Ikut saja denganku pulang menuju Kesatrian Madukara dan menetap di
sana bersama Dewi Sumbadra, Dewi Srikandi dan yang lainnya”.

Dewi Anggraini : “Tidak Raden, meskipun Prabu Palgunadi bersikap kasar terhadapku, aku
yakin bahwa ia hanya salah paham akibat mendengar fitnah dari Patih Sangkuni yang jahat”.
(sambil menangis)

Raden Arjuna : “Sudah lah tidak akan bisa bertemu lagi dengan Palgunadi”.

Raden Arjuna : “Aku berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu, aku berjanji akan
selalu menyayangimu sepanjang masa Dewi Anggraini”.

Dewi Anggraini : “Tidak.. tidakk.. aku pasti bisa bertemu dengan suamiku”.
Ia pun mengucapkan selamat tinggal pada Raden Arjuna lalu mengambil keris milik Prabu
Palgunadi yang terselip di pinggang, dan kemudian menusuk dadanya sendiri. Darah pun
menyembur keluar dan Dewi Angraeni roboh terkulai di atas jasad sang suami.

Raden Arjuna sangat terkejut dan menyesal tidak sempat mencegah hal itu. Kini Dewi
Angraeni telah meninggal dunia karena bunuh diri di hadapannya. Ia pun menangis dan
membaca mantra untuk menyempurnakan jasad suami-istri tersebut. Seketika muncul
seberkas api yang langsung membakar habis jasad Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni
tanpa sisa.

Tidak lama kemudian Prabu Kresna dan para panakawan pun datang. Mereka lalu mengajak
Raden Arjuna bersama-sama pulang ke Kerajaan Amarta. Namun, Raden Arjuna menolak. Ia
memilih pergi berkelana untuk melakukan tapa ngrame, yang mana pahalanya akan
dipersembahkan untuk arwah Prabu Palgunadi dan Dewi Angraeni di alam baka. Prabu
Kresna pun merestui jika memang itu yang menjadi keinginan Raden Arjuna, dan semoga
adik iparnya itu mendapatkan keberhasilan.

Anda mungkin juga menyukai