Anda di halaman 1dari 10

“KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA ISLAM”

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama

Dosen Pengampu :
Moh. Danial Farafish, S.Hum., S.H., M.Ag.

Disusun oleh :
Putra Yudha Purnama
NPM :
2274201009

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SUNAN GIRI
Jl. Joyo Raharjo No. 240, Merjosari, Kota Malang, Jawa Timur 65144
2023

A. Pendahuluan
Perkataan Tuhan merupakan terjemahan dari kalimat Rab (‫)رب‬dalam bahasa Arab
yang merujuk pada  interpretasi ulama terhadap S. al-Jatsiyat:23 dan al-Qashas : 38 yang di
dalam-Nya termaktum kalimat Ilah (‫)اله‬ (Tuhan).
Menurut Ibn Taimiyah definisi dari kalimat Ilah (‫)اله‬ dalam Al-Qur’an tersebut adalah
yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri
dihadapanNya, dan mengharapkanNya, kepadaNya tempat berserah ketika dalam
kesusahan, berdo’alah dan bertawakal kepadaNya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dari-Nya dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat dan terpaut
kepadaNya.
Tuhan disebut Allah dan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa,
Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi
semesta alam. Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan
Maha Kuasa (tauhid).
Iman kepada Allah SWT merupakan konsep dasar seseorang meyakini, mempercayai
tentang keberadaan Tuhan sang Pencipta alam semesta. Hal ini merupakan pondasi dasar
keberagamaan seseorang sehingga itu setiap mahasiswa perlu memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang hal ini.
Makalah ini membahas tentang hakikat Tuhan, pembuktian wujud Tuhan dengan
konsep ilmiah serta konsep keimanan dan ketakwaan dan implementasinya dalam kehidupan
modern. Materi ini sangat dibutuhkan oleh mahasiswa sebagai dasar pelaksaan aktivitas
sehari-hari baik dalam profesi mereka juga aktivitas lainnya sehingga keimanan ini menjadi
filter terhadap zaman globalisasi.

B. Pembahasan
● Siapakah Tuhan itu ?
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan
secara luas. Tercakup di dalam-Nya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan
dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti
akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Perkataan yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur`an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS
al-Jatsiyah ayat 23 :
َ َ‫ضلَّهُ هَّللا ُ َعلَى ِع ْل ٍم َو َختَ َم َعلَى َس ْم ِع ِه َوقَ ْلبِ ِه َو َج َع َل َعلَى ب‬
            ‫ص ِر ِه ِغ َشا َوةً فَ َم ْن‬ َ ‫َأفَ َرَأيْتَ َم ِن اتَّ َخ َذ ِإلَهَهُ هَ َواهُ َوَأ‬
                                                                                                 َ‫يَ ْه ِدي ِه ِم ْن بَ ْع ِد هَّللا ِ َأفَال تَ َذ َّكرُون‬
Artinya :  Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya[1384] dan Allah Telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan
memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?.

Dalam surat Al-Qashash ayat 38, perkataan Illah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri :
‫ ُع‬vvِ‫صرْ حًا لَّ َعلِّي َأطَّل‬ ُ ‫ال فِرْ عَوْ نُ يَا َأيُّهَا ْال َمُأَل َما َعلِ ْم‬
َ ‫ت لَ ُكم ِّم ْن ِإلَ ٍه َغي ِْري فََأوْ قِ ْد لِي يَا هَا َمانُ َعلَى الطِّي ِن فَاجْ َعل لِّي‬ َ َ‫َوق‬
‫ِإلَى ِإلَ ِه ُمو َسى‬
vَ ِ‫﴾وَِإنِّي َأَلظُنُّهُ ِمنَ ْال َكا ِذب‬
                                                                                    ٣٨﴿ ‫ين‬
“Dan Fir’aun berkata : wahai para pembesar aku tidak menyangka bahwa kalian
masih mempunyai ilah selain diriku“.
Contoh ayat di atas tersebut menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengundang
berbagai arti benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir’aun
atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan Illah juga dalam bentuk tunggal (mufrad
ilaahun, ganda (mutsanna ilaahaini) dan banyak (jama‟aalihatun).
Menurut Ibnu Taimiyah Al-Ilah adalah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati,
tunduk kepada-Nya merendahkan diri dihadapanNya, takut dan mengharapkannya,
kepadanya umat tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal
kepada-Nya dan menimbulkan ketenangan disaat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.

● Sejarah pemikiran manusia tentang tuhan


1. Pemikiran barat
Konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang  didasarkan atas
hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriyah maupun batiniyah, baik yang bersifat
pemikiran rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal dengan
Teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat
sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian disusul oleh EB Taylor, Robertson Smith,
Luboock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut evolusionisme
adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut ajaran ini manusia jaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada
benda. Setiap mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada
yang berpengaruh negatif. Kekuatan ada pada pengaruh tersebut dengan nama yang berbeda-
beda, seperti mana (Malaysia), dan tuah (melayu), dan sakti (India) yakni kekuatan gaib.
Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh
karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera,
tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
b. Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap
benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai
sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap
sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negatif
dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai
dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain
kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan
bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi
masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh
karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai
kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun
manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu
bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.
Deisme adalah kepercayaan bahwa dengan pengetahuan, akal dan pikiran, seseorang
bisa menentukan bahwa Tuhan adalah nyata. Beberapa deis menanggap bahwa Tuhan tidak
mencampuri urusan manusia dan mengubah hukum-hukum alam semesta.
Panteisme atau pantheisme (Yunani: πάν ( 'pan' ) = semua dan θεός ( 'theos' ) =
Tuhan) secara harafiah artinya adalah "Tuhan adalah Semuanya" dan "Semua adalah Tuhan”.
Mereka cenderung tidak percaya dengan Dewa.
Teisme Agnostis adalah pandangan filosofis yang mencakup baik teisme dan
agnostisisme. Penganut teisme agnostik mempercayai keberadaan setidaknya satu Tuhan,
namun menganggap bahwa dasar dari kepercayaan ini merupakan sesuatu yang pada
dasarnya tidak memungkinkan untuk dipahami atau diketahui secara pasti.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max
Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan
mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat
mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan
bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah
monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf,
1993:26-27).

2. Pemikiran Umat Islam


Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa konsepsi ke-
esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan konsepsi Tauhid.
a. Konsepsi Aqidah.
                        Dalam kamus Al-Munawir secara etimologis, aqidah berakar dari
kata 'aqada-ya'qidu-aqdan'aqidatan yang berarti simpul, ikatan perjanjian dan kokoh. Setelah
terbentuk menjadi ‘aqidah yang berarti keyakinan relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah
adalah keyakinan itu tersimpul kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung
perjanjian.
                        Secara terminologis terdapat beberapa definisi aqidah antara lain:
Menurut Hasan al-Bana dalam kitab majmu’ah ar-rasa,il ‘Aqaid (bentuk jamak dari aqidah)
adalah beberapa perkara wajib diyakini kebenarannya oleh hati dan mendatangkan
ketenteraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-
raguan.
b. Konsepsi Tauhid
            Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah sebagai
suatu keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan aqidah tauhid yang
merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam.Islam datang disaat kemusyrikan sedang
merajalela di segala penjuru dunia. Tak ada yang menyembah Allah kecuali segelintir umat
manusia dari golongan Hunafa, (pengikut nabi Ibrahim as) dan sisa-sisa penganut ahli kitab
yang selamat dari pengaruh tahayul animisme maupun paganisme yang telah menodai
agama Allah. Sebagai contoh bangsa arab jahiliyah telah tenggelam jauh ke dalam
paganisme, sehingga Ka’bah yang dibangun untuk peribadatan kepada Allah telah
dikelilingi oleh 360 berhala dan bahkan setiap rumah penduduk makkah ditemukan berhala
sesembahan penghuninya.
Tauhid sebagai inti sari Islam adalah esensi peradaban Islam dan esensi tersebut
adalah pengesaan Tuhan, tindakan yang mengesakan Allah sebagai yang Esa, pencipta
yang mutlak dan penguasa segala yang ada. Keterangan ini merupakan bukti, tak dapat
diragukan lagi bahwa Islam, kebudayaan dan peradaban memiliki suatu esensi
pengetahuan yaitu tauhid.
Surat Al-Ikhlas adalah surat ke-112 dalam Al-Qur’an, diturunkan setelah surat An
Naas. Surat ini dinamakan Al Ikhlas karena di dalamnya berisi pengajaran tentang tauhid.
Surat ini tergolong surat Makkiyah, terdiri atas 4 ayat. Meski tergolong surat pendek dan
hanya 4 ayat, namun surat ini memiliki keistimewaan yang begitu besar hingga mampu
mengguncang langit dan bumi. Al-Ikhlas berarti “Memurnikan Keesaan Allah”. Dan
bahasan pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah dan menolak segala bentuk
penyekutuan terhadap-Nya.
Artinya:
1) Katakanlah : Dia-lah Allah, Yang Maha Esa
2) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4) Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia

/Ayat pertama/menjelaskan bahwa Allah merupakan Tuhan Yang Maha Esa.


Maknanya bahwa Allah itu Esa dalam keagungan dan kebesarannya, tidak ada yang serupa
dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena hanya Allah-lah Tuhan pencipta alam
semesta.
/Ayat kedua/: Allah adalah /khalik/ (pencipta) alam semesta ini. Manusia adalah
makhluk ciptaan Allah. Selain manusia yang termasuk makhluk seperti malaikat, jin, hewan
dan tumbuhan. Di hadapan Allah, semua makhluk itu lemah. Oleh karena itu hanya kepada
Allah semua makhluk meminta perlindungan. Allah sebagai pencipta tidak membutuhkan
siapapun. Allah justru sebagai tempat meminta segala sesuatu. Dia-lah tempat bersandar dan
bergantung dalam segala kebutuhan. Dia-lah yang paling tinggi kekuasaan-Nya. Allah tidak
butuh makan dan minum. Dia tetap kekal setelah para makhluk-Nya binasa.
/Ayat ketiga/: Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan atau dilahirkan. Mengakui
bahwa Allah mempunyai anak dan diperanakkan adalah musyrik dan merupakan dosa besar.
Semua makhluk yang diciptakan Allah akan mati. Allah bukanlah makhluk, jadi Allah tidak
akan pernah mati. Allah akan tetap hidup selama-lamanya. Kalimat ( ‫ ْد‬vَ‫)ولَ ْم يُول‬
َ maksudnya
adalah tidak disekutui. Demikian karena orang-orang musyrik Arab mengatakan bahwa
Malaikat adalah anak perempuan Allah . Kaum Yahudi mengatakan bahwa ’Uzair adalah
anak Allah. Sedangkan Nashoro mengatakan bahwa Al Masih (Isa, pen) adalah anak Allah.
Dalam ayat ini, Allah meniadakan itu semua.” (Zadul Masiir)
/Ayat keempat/: Manusia merupakan makhluk hebat, yang telah dianugerahi akal
pikiran. Dengan akal pikirannya manusia dapat membuat pesawat, kapal selam, telepon,
komputer, laptop dan lainnya. Manusia juga dapat menjelajahi ruang angkasa, mengolah
tanah menjadi sumber kehidupan, dan menjinakkan binatang buas. Tetapi, sepandai-
pandainya manusia dia tidak dapat menciptakan matahari, bumi, bintang, bulan bahkan
dirinya sendiri. Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Allah juga menciptakan
manusia, tidak ada satu pun makhluk yang dapat menyamai-Nya. Maksudnya adalah tidak
ada seorang pun sama dalam setiap sifat-sifat Allah. Jadi Allah meniadakan dari diri-Nya
memiliki anak atau dilahirkan hingga memiliki orang tua. Juga Allah meniadakan adanya
yang semisal dengan-Nya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan makna ayat
ini : ”dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” yaitu tidak ada yang serupa (setara)
dengan Allah dalam nama, sifat, dan perbuatan.
1. Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari kata Rabb, dari sisi bahasa berarti tuan dan pemilik. Dikatakan
Rabb ad-Dar berarti tuan rumah Secara etimologi yaitu menumbuhkan, mengembangkan,
sedangkan secara terminologi berarti keyakinan bahwa Allah SWT. Adalah Tuhan Pencipta
semua makhluk dan alam semesta.
2. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah artinya mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib
disembah dan tidak ada tuhan lain selain Dia. Pengakuan dan keyakinan bahwa Allah SWT
adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah yang direalisasikan dalam bentuk ibadah.
3. Tauhid Asma’ Wa sifat
Tauhid Asma’ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya,
sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Maka barang siapa
yang mengingkari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya atau menamai Allah dan menyifati-
Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya atau menakwilkan dari maknanya yang
benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan
Rasulnya.

Allah Ta’ala berfirman


“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (Q.S. Asy-Syuura : 11)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala turun ke
langit dunia pada setiap malam” (Mutafaqqun ‘Alaih). Di sini turunnya Allah tidak sama
dengan turunnya makhluk-Nya, namun turunnya Allah sesuai dengan kebesaran dan
keagungan dzat Allah. Sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Sifat Dzatiyah
Sifat Dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini berpisah
dengan dzat-Nya. Seperti berilmu, kuasa atau mampu, mendengar, bijaksana, melihat, dll.
b. Sifat Fi’liyah
Sifat Fi’liyah adalah sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti bersemayam di
atas ‘Arasy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir malam, dan datang pada Hari
Kiamat.
Tauhid asma’ wa sifat ini juga berpengaruh dalam bermuamalah dengan Allah. Di
bawah ini contoh-contohnya :
Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifat-Nya, juga mengetahui arti dan maksudnya
secara benar maka yang demikian itu akan memperkenalkannya dengan Rabbnya beserta
keagungan-Nya. Sehingga ia tunduk, patuh, dan khusyu’ kepada-Nya, takut dan
mengharapkan-Nya, serta bertawassul kepada-Nya.
Jika ia mengetahui jika Rabbnya sangat dahsyat azab-Nya maka hal itu akan
membuatnya merasa diawasi Allah, takut, dan menjauhi maksiat terhadap-Nya.
Jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Pengampun, Penyayang, dan Bijaksana maka
hal itu akan membawanya kepada taubat dan istighfar, juga membuatnya bersangka baik
kepada Rabbnya dan tidak akan berputus asa dari rahmat-Nya. Manusia akan mencari apa
yang ada di sisi-Nya dan akan berbuat baik kepada sesamanya.
4.Tauhid Ubudiyah
Suatu keyakinan bahwa Allah SWT, merupakan Tuhan yang patut disembah, ditaati,
dipuja dan diagungkan. menghambakan diri dengan keikhlasan tanpa disertai penyimpangan
dan penyesatan. Sehingga beliau juga menyebutkan mengenai perincian dari hakikat tauhid
bahwa, “ tidaklah disebut bertauhid hingga mengakui bahwa tiada tuhan selain Allah. Dan
juga mengakui bahwa dialah ilah yang sesungguhnya bagi hamba. Lalu menyerukan
peribadatan hanya kepada Allah tanpa disertai penyelewengan.
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara
garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi
dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran
yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan
pendekatan antara konstektual dengan tekstual sehingga lahir aliran yang bersifat antara
liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu
ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah  yang merupakan kaum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan
pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang
islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi
mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu
sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah
yang bercorak rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan
dengan kaum Islam ortodoks.Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah,
sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak
dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal
itu yang menyebabkan manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah
 Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat
Islam periode masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan
dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja di
antara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia
keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini,
umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan Al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa
dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih
dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah
aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

C.  Analisa
 Melalui makalah yang kami buat muncullah analisa yang bisa kami dapatkan yaitu,
1. Proses perkembangan pemikiran tentang tuhan menurut evolusionisme adalah; Dinamisme,
Animisme, Politeisme, Henotoisme, Monoteisme .
2. Perkataan Tuhan merupakan terjemahan dari kalimat Rab (‫)رب‬dalam bahasa Arab yang
merujuk pada  interpretasi ulama terhadap S. al-Jatsiyat:23 dan al-Qashas : 38 yang di
dalamnya termaktum kalimat Ilah (‫)اله‬ (Tuhan)
3. Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan
secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan
mendatangkan bahaya atau kerugian.
4. Sehubungan pemikiran Umat Islam terhadap Tuhan melibatkan beberapa konsepsi ke-
esaan Tuhan, diantaranya konsepsi Aqidah dan konsepsi Tauhid.         
5. Q.S Al-Ikhlas merupakan pembuktian akan keesaan Allah SWT. Tauhid mempunyai
beberapa macam, ada tauhid uluhiyah, tauhid ubudiyah, dan tauhid rububiyah.
6. Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu
Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara
garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya.

D. Penutupan
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kemudian yang dimaksud
konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil
pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Allah sebagai wujud yang tidak terbatas maka hakikat
dirinya tidak akan pernah dicapai namun pemahaman tentang-Nya dapat dijangkau sehingga
kita mengenal-Nya dengan pengenalan yang secara umum dapat diperoleh melalui jejak dan
tanda-tanda yang tak terhingga.
 Konsep Ketuhanan dapat diartikan sebagai kecintaan, pemujaan atau sesuatu yang
dianggap penting oleh manusia terhadap sesuatu hal (baik abstrak maupun
konkret).Keimanan tidak hanya diucapkan lewat bibir, tapi juga harus diyakini dalam hati,
dan dibuktikan lewat perbuatan. Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama seseorang
dalam memeluk sesuatu agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk
melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau
dengan kata lain iman dapat membentuk orang jadi bertakwa.

Anda mungkin juga menyukai