Anda di halaman 1dari 6
PARIWISATA, UJIAN BAGI KEBUDAYAAN BALI Ts dapat dipungkiri bahwa pariwisata mempunyai andil besar dalam laju pesat pertumbuhan ekonomi Bali dewasa ini, dan terutama lagi dalam pembenahan fisik yang semakin betkembang di pulau terscbut. Dampak pariwisata bagi masyarakat dan kebudayaan Bali senantiasa menjadi topik para pengamat, yang dengan cemas mempertanyakan: “Mampukah kebudayaan Bali bertahan di tengah gencamya arus pariwisata?” Tanggapan atas perta- yan ini cenderung lugas, bahkan tak jarang dilebih-lebihkan. Ada angeapan bahwa pariwisata merusak kebudayaan Bali dengan menjadikannya sekedar komoditas perdagangan, sementara ada pula yang beranggapan sebaliknya bahwa masyarakat Bali mampu melindungi warisan budaya mereka terhadap ancaman pariwisata. Konon Bali sudah rasak atau nyaris... pada dasarnya tidak lagi seperti dulu, Tradisi luhur yang mengangkat nama Bali di mata dunia sepertinya sudah disalahgunakan, bahkan diubah sckadar untuk kebutuhan pariwisata. Kreati- vitas seni masyarakat Bali scolah-olah tinggal kenangan belaka, sementara berbagai upacara keagamaan berubah menjadi tontonan komersial belaka. Pada dasarnya masyarakat Bali dinilai haus uang schingga apa pun diperda- gangkan, dengan kata lain ang telah mengalahkan kebudayaan Bali, Sejauh ini Pulau Dewata memang belum sepenubnya dibanjiti oleh rombongan wisatawan yang haus akan eksotisme, tetapi dapat dipastikan hal itu tak akan berlangsung lama lagi. Justru angeapan seperti inilah yang dipergunakan sebagai dalih bagi beberapa biro perjalanan untuk menjual secara gencar pariwisata Bali: “Bergegaslah ke Bali, siapa tahu tahun depan sudah terlambat.” Gambaran seperti itu termuat misalnya dalam sebuah tulisan yang terbit awal tahun 1980-an di sebuah majalah pariwisata, dengan kalimat pembuka sebagai berikut: “Bali telah kehilangan nyawanya, Pulau indah yang sarat dengan sepuluh-ribuan pura serta ribuan upacara adat pulau ini kini sudah 144 Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata tercemar mengidap penyakit gawat, yaitu perdagangan, dan virus pembawa bencananya bernama pariwisata internasional” (Froment 1981: 75)". Beberapa pengamat yang menganggap diri lebih memahami Bali berupaya menggarisbawahi bahwa peringatan seperti ita sudah sering dilontarkan sejak dulu, Seperti telah dipaparkan di atas, sejak tahun 1920-an ketika rombongan pertama pelancong dan seniman bara saja menemukan keindahan Pulau Bali, sudah ada sejumlah buku perjalanan yang mencoba memberikan peringatan kepada para pembaca mengenai ancaman nyata kehancuran Bali Seusai Perang Dunia II dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di antara sejumlah kecil wisatawan yang berkunjung ke Bali ada kekhawatiran sehubungan dengan munculnya semangat nasionalis di kalangan penguasa baru Indonesia: “Seiring dengan waktu, jiwa Hindu yang lahir di Bali sepuluh abad yang lala semakin hari semakin sulit bertahan, dan mulai kehilangan ciri khasnya. Maka bergegaslah menikmatinya dari dekat sebelum pengaruh Indonesia modem menghancurkannya” (Durtain 1956: 21)?. Begitu Orde Baru muncul, upaya gigih pemerintah Indonesia untuk mengembangkan pariwisata Bali juga ditafsirkan sebagai gaung terakhir kebudayaan Bali. Karena itulah di sebuah majalah pariwisata yang terbit tahun 1970-an dapat disimak peringatan berikut: “Bali masih pada titik nol pencemaran pariwisata. Meskipun demikian, perlu adanya peringatan karena sesungguhnya momok pariwisata sudah muncul dan siap untuk menghancurkan keajaiban sebuah kebudaysan temmurni yang pemah ada di dunia” (Millau 1974: 106). | “Bali perd son ame. Lille merveilleuse et lusuriante aux 10,000 temples et aux mille fétes est polluée. Elle est atteinte d'une maladie pernicieuse: le mercanti- lisme, Et le virus fautf s'appelle le tourisme international”. 2 “Cette anachronique survivance de lime hindoue dil y a dix siécles est a instant de perdre ses traits exceptionnels. Hatons-nous, tandis quill en est temps encore, de la contempler de tout prés, avant qu'elle ne céde & la contagion de l'Indonésie moderne”. 3 “Bali n'est encore qu’a I'an zéro de la pollution. Pourtant, il me semble indis- pensable de lancer un cri dlalarme car, en vérité, la gangrene est deja la, préte a dévorer édifice merveilleux d'une des civilisations les plus pures du monde”. Pariwisata, Ujian Bagi Kebudayaan Bali 145 Dan kini, setelah bandar udara Denpasar dikembangkan, sebagai upaya untuk menampung bertambahaya arus wisatawan, dan hotel-hotel mewah bermunculan di antara persawahan Bali, para pengecam pun menemukan lebih banyak alasan untuk melontarkan kekhawatiran mezeka, seperti yang termuat dalam sebuah buku panduan wisata berikut ini: “Sampai batas mana pulau ini dapat menampung pariwisata? Harus berapa banyak lagi kemacetan, toko-toko cindera mata? Harus berapa banyak lagi Kuta di Bali? Berapa banyak lagi pesawat udara? Kenyamannya, pariwisata terus-menerus dikembangkan, jalan-jalan diperlebar, jumlah hotel terus bertambah, penerbangan langsung ke Bali semakin meningkat. Perdagangan telah menyusup ke segala aspek kehidupan Bali... Nyata sckarang bahwa sistem sosial-keagamaan Bali yang luar biasa rumitnya itu sedang berada di ambang kehancuran sebagai dampak pariwisata” (Dalton 1990: 35-36) Meskipun demikian, agar para pembaca tidak enggan berkunjung ke Bali, penulis tersebut segera menambahkan: “Jika Anda keluar dari jalur komersial Sanur dan Kuta, masih ada ratusan desa asli Bali seperti yang digambarkan oleh Covarrubias dalam bukunya pada tahun 1930-an” (Dalton 1990: 38)5. Dengan demikian, di mata setiap generasi baru pengunjung, Bali senantiasa menunda saat kehancurannya seperti yang sering diperingatkan oleh para pengamat, Tetapi justra karena terlalu sering dilontarkan, peringatan tersebut bukan hanya menjadi tidak mempan, tetapi bahkan memberi kesan seakan- akan kebudayaan Bali semakin kebal tethadap pariwisata, Karena kekhawa- titan mengenai kehancuran kebudayaan Bali tak juga terbukti, sementara segala peringatan sccara gigih terus dikumandangkan, maka muncul angga- pan bahwa kebudayaan Bali pastilah lebih tangguh daripada yang tampak pada pengamatan sckilas atas perubahan-perubahan yang dialaminya sejak awal kedatangan wisatawan di pulau itu. Dan semua sepakat bahwa masya- “How much more tourism can the island take? How much more traffic? How low many more jets? The answer is that it never stops, the roads are widened, the hotels multiply, the direct flights increase. Commercialism has crept into every aspect of Balinese life... It is now clear that the unbelievably complex social and religious fabric of the Balinese is at last breaking down under the tourist onslaught” 5 “If you get away from the commercial strips of Sanur and Kura, there are still literally hundreds of villages which haven't changed since Covarrubias's book was written in the 1930s”. many more craft shops? How many more Kutas? 146 Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata rakat Bali dinilai mampu secara selektif meresap pengaruh luar yang cocok bagi mereka tanpa harus mengorbankan citi khas identitas mereka’. Berdasarkan alasan tersebut, banyak pengamat beranggapan bahwa masyarakat Bali ternyata mampu beradaptasi terhadap serangan para wisatawan, seperti mercka dulu pernah beradaptasi dalam beberapa situasi berbeda, dengan memanfaatkan daya tarik tradisi kebudayaan mereka tanpa harus mengorbankan nilai-nilai luhur mereka demi uang semata, Kutipan berikut ini mencerminkan pendapat tersebut: “Apakah pesona budaya luhur yang mempersona para pengunjung awal telah Iuntur akibat derasnya arus wisatawan akhic-akhir ini? Dengan warung hamburger, disko dan Kentucky Fried Chicken-nya, apakah Bali telah menjadi korban penyeragaman dunia modern? Jawaban singkat dan pastiatas pertanyaan itu adalah: sama sckali tidak! Telah ribuan tahun masyarakat Bali mengalami penyerbuan dari luar, dan setiap kali mereka menghadapinya dengan memperkuatjati diri mereka. Struktur masyarakat Bali begia kuat dan Iuwes untuk dikalahkan begitu saja dengan uang” (Elegant 1987: 9). Bagaimana menanggapi pernyataan yang saling bertentangan tersebut? Perlu dicatat bahwa meskipun jawabannya senantiasa bertentangan, ada yang optimis dan ada pula yang cenderung pesimis, sebenarnya pertanyaannya serupa, yakni bagaimana kebudayaan Bali mampu bertahan terhadap dampak pariwisata. Padahal sebetulnya pertanyaan ini tidak netral. Terlepas 6 ‘Tak Jama setelah tiba di Bali pada tahun 1936, Margaret Mead juga memper- lihatkan pendapat yang sama dalam surat pertamanya yang dikirim dati Bali “Selama ribuan tahun pengaruh asing, Bali agaknya telah belajar bagaimana memanfaatkan atau sebaliknya menolak pengaruh-pengaruh tersebut. Mereka sudah terbiasa dengan kaum bangsawan asing, di samping juga terbiasa dengan gelombang pengaruh Hindu, Buddha, dan sebagainya, mereka membiarkan yang asing itu terus berlalu di atas kepala mereka” (Mead 1977: 161) (“Bali seems to have learned through a couple of thousand years of foreign influences just how to use and how to ignore those influences. Accustomed to an alien aristocracy, accustomed to successive waves of Hinduism, Buddhism, and so on, they let what is alien flow over their heads”) “Has the tidal wave of tourism sweeping over the East Indies washed away the idyllic culture that enchanted earlier visitors? With its hamburger joints, discotheques and Kentucky Fried Chicken outlets, has Bali succumbed to the gritty homogenization of the modern world? The short—and definitive—answer is: By no means! Beset by invaders for milleniums, the Balinese are responding to the latest incursion, as they have to past incursions, by becoming even more like themselves. The fabric of Balinese society is too strong and too flexible to be rent by easy money”, Pariwisata, Ujian Bagi Kebudayaan Bali 147 dari kekhawatiran yang melandasinya, harus disadari bahwa pertanyaan itu muncul atas dasar praduga tertentu yang, apabila kurang hati-hati, akan memunculkan pandangan tertentu atas pariwisata serta dampaknya, yakni bahwa pariwisata merupakan suatu dilema. Kebethasilan Bali scbagai dactah tujuan wisata dimungkinkan oleh minat para wisatawan untuk dapat menikmati secara langsung serangkaian peristiwa eksotis dalam kebudayaan Bali, sedangkan cara yang ditempuh untuk memperdagangkan peristiwa- peristiwa tersebut mengandung tisiko untuk merusaknya (Francillon 1990). Pendek kata, pariwisata hidup dari kebudayaan Bali, tetapi pariwisata jugalah yang mampu menghancurkannya’, Schubungan dengan dilema ini, beberapa instansi pengelola pariwisata Bali berupaya mengembangkan pariwisata sambil membatasi akibat negatifnya. Langkah kewaspadaan seperti ini, seperti kita ingat, juga pemah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam melaksanakan kebijaksanaan_ kepari- wisataan. Keputusan untuk melestarikan Bali sebagai “museum hidup” meru- pakan promosi terbaik bagi pariwisata, tetapi melindung! warisan kebudayaan guna menghadapi serangan fatal modemitas, perlu dilakukan segera dengan mengontrol secara ketat kedatangan wisatawan di Bali. ‘Sekitar empat puluh tahun kemudian, para konsultan perumus Rencana Induk Pengembangan Paciwisata Bali juga menghadapi dilema serupa: bagai- mana membangun pariwisata Bali guna menunjang pemasukan devisa pemerintah Indonesia, tanpa harus merusak daya tuik utama patiwisatanya, yakni kebudayaan Bali? Seperti para pendahulunya, mereka juga mencoba ® Harus dicatat bahwa keputusan membuka Bali untuk pariwisata internasional pada akhir tahun 60-an ditangeapi juga oleh sejumlah pengamat sebagai suatu dilema. Salah satu contohnya adalah artikel yang ditulis oleh Howard Taubman, “The Isle of the Gods Faces an Earthly Dilemma”, yang dimulai dengan per- tanyaan: “Apakah keberhasilan pariwisata akan merusak sudut dunia yang jauh ini, yang senantiasa disebut sebagai Pulau Dewata?” (Taubman 1968: 55). (“Will success spoil this remote corner of the globe, which likes to call itself the Isle of the Gods?”). Dua dasawarsa kemudian, wartawan Pico Iyer mengangkat masalah pariwisata Bali dengan istilah-istilah serupa: “Begitu mendengar kata Bali, dua hal langsung muncul dalam benak: pariwisata dan sorga. Keduanya merupakan citi yang melekat pada pulau ini, dan keduanya bertentangan satu sama lainnya. Sebab sorga menarik wisatawan, tetapi bersamaan dengan itu wisatawan juga meng- gerogoti orga... Begitu sorga terakhir ditemukan secepat kilat sudah dibanjiei orang, sehingga tak lama kemudian hanya menjadi sorga yang hilang” (Iyer 1988: 30). (“Say Bali, and two things come to mind: tourism and paradise. Both are inalienable features of the island, and also incompatible. For as fast as paradises seduce tourists, tourists reduce paradises.. Hardly has a last paradise been discovered than everyone converges on it so fast that it quickly becomes a paradise lost”). 148 Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata mengatasi masalah ini dengan melindungi masyarakat Bali dati sentuhan wisa- tawan Meskipun demikian, agaknya mereka tidak begitu yakin bahwa perlindungan yang mereka terapkan akan membuahkan hasil, Mereka menya- dari bahwa: “Sebenarnya keuntungan ekonomi hanya akan dinikmati oleh seke- lompok kecil masyarakat, schingga tidak akan mampu mengimbangi \cangan-guncangan sosial yang muncul dari kebijaksanaan tersebut”. (SCETO 1971: jil. 1, hlm. 179. Kesimpulan pesimis ini tidak dihiraukan olch para abli Bank Dunia yang meninjau kembali Rencana Induk; mereka menulis: “Dengan asumsi bahwa akibat negatif mampu dikendalikan, diharapkan bahwa akibat-akibat positif—berupa peningkatan kesempatan kerja, pendapatan dan devisa—akan mengimbanginya dan pada akhimya menghasilkan suatu dampak yang, secara global dinilai positi”. (IBRD/IDA 1974: 25)!°. Adapun studi baru-baru tentang sumbangan pariwisata terhadap perckonomian Bali, seperti yang dikemukakan olch dua ckonom Bali dalam sebuah buku tentang pembangunan daerah di Indonesia, secara hati-hati para penulis menghindari masalah di atas dengan dalih bahwa masalah tersebut di luar wewenang para ahli ekonomi: “Penelitian kami tidak mencakup hingga ke pertanyaan apakah kerugian sosial-budaya pariwisata di Bali melebihi keuntungan ekonominya” (Jayasuriya & Nehen 1989: 347)!" Hal yang perlu dicatat dalam argumentasi di atas bukanlah bahwa penilaian para konsultan Bank Dunia dan SCETO bertolak belakang satu sama lain, tetapi keduanya sepaham dengan para ahli ckonomi Bali untuk menilai bahwa dampak pariwisata terhadap masyarakat Bali diukur berdasarkan pertanyaan apakah keuntungan ekonominya seimbang dengan ongkos “The actual economic benefits of the operation will go to too small a minority to compensate for the social nuisances caused by the project” "© “Assuming that the negative effects can be controlled, it is expected that the positive effects—in terms of increased employment, incomes and foreign exchange earnings—will result in an overall impact which, on balance, is desirable” “And whether the alleged negative socio-cultural effects of tourism are out- weighed by its economic benefits is 2 question beyond the scope of this chapter”

Anda mungkin juga menyukai