Anda di halaman 1dari 16

DEFINISI WORLDVIEW

Mata Kuliah,
Worldview Islam

Pengampu,
Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A.Ed., M.Phil.

Oleh,
Harits Mu’tasyim

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR
1442/2021
DEFINISI WORLDVIEW

Pendahuluan

Tidak berlebihan jika dikatakan Barat sedang menghegemoni dunia dengan


ideologi sekuler-kapitalisnya. Beragam ilmu pengetahuan beserta produknya yang
ada sekarang ini kebanyakan adalah buah pemikiran ilmuwan Barat, murni maupun
modifikasi. Dengan merujuk kepada teori worldview yang diberikan oleh
Alparslan; maka segala aktivitas manusia berasal dari worldviewnya, termasuk
aktivitas keilmuan.1 Di sisi lain, Islam sebagai sebuah peradaban tentunya memiliki
ciri khas (identitas) yang berbeda dengan Barat. Segala dimensi kehidupan umat
Islam sejatinya berporos pada iman, islam dan ihsan yang sangat holistik. Namun
yang terjadi adalah peleburan identitas yang disebut oleh Samuel Huntington
sebagai clash of civilization.2 Oleh karena itu, studi antara Barat dan Islam secara
compare contrast memerlukan pendekatan yang seimbang sehingga kajian
perbandingan bisa dilakukan. Menjadi tidak seimbang manakala Islam hanya
dimaknai sebagai ritual dan dogma, sedangkan Barat hanya dipahami secara
geografis. Jika demikian adanya, maka Islam tidak lebih sama dengan ritual-ritual
yang ada pada agama lainnya dan Barat hanya berarti wilayah kontinental dengan
batas teritorialnya. Dengan memposisikan Barat dan Islam sebagai peradaban yang
secara filosofis basisnya adalah worldview, kiranya merupakan upaya tepat dalam
studi komparasi antara Barat dan Islam. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya
adalah makna Barat tidak hanya dibatasi oleh wilayah geografis dan teritorial.
Begitupula Islam yang tidak hanya dimaknai sebagai agama dan dogma dalam arti
sempit. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa worldview adalah sesuatu yang
sifatnya sangat esensial dalam kehidupan manusia. Semua lini kehidupan berupa
pendidikan, politik, ekonomi, perilaku merupakan proyeksi dari worldview yang

1
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of Islamic Philosophy, Al-Shajarah, Journal
of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol.1. No. 1&2, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996), hlm. 6
2
Lihat Samuel P. Huntingto, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (New
York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996), hlm. 21

1
tertanam pada suatu peradaban. Semua perilaku manusia secara sadar atau tidak
sadar, berakar dari apa yang diyakininya, dan tentu juga berbasis pada worldview
yang dimilikinya. 3 Kajian mengenai teori worldview ini sangat penting karena
terjadi peleburan identitas suatu bangsa, sehingga ciri suatu bangsa tidak lagi dapat
diukur dengan adat, nilai-nilai sosial, maupun gaya hidup. Oleh karena itu, tolak
ukur yang dapat mengatasi peleburan identitas tersebut adalah worldview.

Makalah ini mencoba menjelaskan definisi pandangan hidup. Oleh karena


itu, sistematika pembahasan dalam tulisan ini akan diawali dengan pengertian,
proses muncul, elemen, karakteristik worldview baik Barat maupun oleh Islam
secara vis a vis.

Makna Etimologi Worldview

Asal kata worldview adalah ‘weltanschauung’, ‘weltanzincht’ yang


keduanya merupakan bahasa Jerman yang pertama kali digunakan oleh Immanuel
Kant. Kata tersebut kemudian dipopulerkan oleh kalangan idealis Jerman, dan
selanjutnya dikembangkan oleh William Dilthey, 4 hingga menjadi bahasa teknis
dalam berbagai disiplin pengetahuan di beragam wilayah 5 . Rusia misalnya,
menggunakan kata ‘mirovozzrenie’ sebagai padanan dari ‘weltanschauung’. Dalam
bahasa Inggris, disebutlah kata ‘worldview’ yang terdiri dari dua kata; world yang
berarti dunia, serta view yang berarti pandangan. Jika diterjemahkan secara letterlijk
dalam bahasa Indonesia, akan didapati beberapa padanan kata yakni; pandangan
dunia, pandangan alam, pandangan hidup, fisafat hidup dan filosofi.

3
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of..... hlm. 6
4
Dilthey menggunakan kata tersebut untuk menjelaskan “susunan kepercayaan yang melandasi
dan membentuk pemikiran dan tindakan manusia.” Lihat James W. Sire, Naming the Elephant
(USA; Inter Varsity Press, 2004), hlm. 23-25
5
David Keith Naugle, A History and Theory of the Concept of Weltanschauung, Disertasi (Ann
Arbor; UMI, 1998)

2
Makna Terminologi Worldview

Ditegaskan dalam tulisan Abdelaziz Berghout bahwa “worldview is a term


and concept” 6 yang jika diterjemahkan, worldview adalah kata dan konsep
sekaligus. Dengan kata lain, worldview merupakan kata yang sudah terinjeksi di
dalamnya sebuah konsep yang digunakan sebagai cara pandang manusia terhadap
dunia. Oleh karena itu, beberapa definisi worldview akan dipaparkan untuk
menemukan medan makna yang dimilikinya. Di antara para sarjana yang
mendefinisikan worldview adalah James H. Olthuis, Wilhem Dilthey, Nietzsche,
Thomas F. Wall, James Sire, Ludwig W, dan Michel Foucault, Ninian Smart dan
Alparslan. Worldview menurut James H. Olthuis adalah;

“... a framework or set of fundamental beliefs through which we view


the world and our calling and future in it. This vision need not be
fully articulated; it may be so internalized that it goes largely
unquestioned; it may not be explicitly developed into a systematic
conception of life; it may not be theoretically deepened into a
philosophy; it may not even be codified into creedal form; it may be
greatly refined through cultural historical development.
Nevertheless, this vision is a channel for the ultimate beliefs which
give direction and meaning to life. It is the integrative and
interpretative framework by which order and disorder are judged; it
is the standard by which reality is managed and pursued; it is the set
of hinges on which all our everyday thinking and doing turns.”7

Dalam definsi tersebut Olthuis memiliki pandangan bahwa worldview adalah cara
pandang yang apriori, tidak dibentuk, dihasilkan oleh perjalanan kultural, bisa

6
Abdelaziz Berghout, dalam Chapter 2; Western Worldview; Historical Development and
Definition of a Concept; hlm. 35
7
James H. Olthuis, On Worldviews, in Stained Class; Worldviews and Social Science, ed Paul A.
Marshall, Sander Griffoen and Richard Mouw (Lanham, Md; University Press of America, 1989),
hlm. 29

3
memberikan makna hidup dan merupakan poros seseorang berpikir dan bertindak.
Sedangkan pengertian worldview menurut Wilhem Dilthey,

“a set of mental categories arising from deeply lived experience


which essentially determines how a person understands, feels and
responds in action to what he or she perceives of the surrounding
world and the riddles it presents.”8

worldview adalah pengalaman yang menentukan bagaimana manusia melihat


dunia. Kata kunci dari pemikiran Dilthey mengenai worldview adalah pengalaman,
artinya basis cara pandang seseorang terhadap realitas dunia adalah pengalaman,
karena dengan pengalaman tersebut ia bisa menentukan bagaiamana sikapnya
terhadap realitas tersebut. Tidak jauh beda dengan pendapat Dilthey, Nietzsche
berpendapat;

“worldviews are cultural entities which people in a given


geographical location and historical context are dependent upon,
subordinate to and products of...”9

Terjemah bebasnya worldview adalah entitas kultur yang tercipta dalam diri
manusia (pengalaman) berdasarkan konteks geografis, historis, dan
kepentingannya. Kurang lebih definisi Nietzsche mengenai worldview ada
samanya dengan Dilthey tadi, karena basis worldview adalah entitas kultur yang
berasal dari pengalaman. Pandangan Nietzche mengenai worldview kiranya
menjadikan manusia sebagai pencipta worldview. Sementara worldview menurut
Thomas F. Wall adalah;

“an integrated system of basic beliefs about the nature of yourself,


reality, and the meaning of existence.”10

8
James W. Sire, Naming the Elephant; Worldview as A Concept, hal. 27
9
Friedrich Nietzsche, On Truth and Lie in an Extra-Moral Sense in The Portable Nietzsche trans,
Walter Kaufmann (New York; Viking. James W. Sire, Naming the Elephant; Worldview as A
Concept, hlm. 28
10
Thomas F Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern Introduction,
Wadsworth (Australia; Thomson Learning, 2001) hlm. 532

4
sistem kepercayaan dasar yang integral tentang hakikat diri kita, realitas, dan
tentang makna eksistensi. Lebih lanjut lagi, James Sire mendefinisikan worldview
dalam bukunya sebagai;

“commitment, a fundamental orientation of the heart that can be


expressed as a story or in a set of presuppositions and assumptions
which may be true, partially true or entirely false which we hold
consciously or subconsciously, consistently or inconsistently about
the basic constitution of reality, and that provides the foundation on
which we live and move and have our being.”11

Menurutnya worldview adalah komitmen atau kecenderungan hati sebagai asumsi


dasar. Definisi tersebut menitikberatkan asumsi, konsekuensinya adalah sesuatu
yang dinisbatkan kepada asumsi kebenarannya tidak menentu. Berbeda dengan
James W. Sire, seorang tokoh postmodern bernama Ludwig Wittgensteins
berpendapat demikian;

“A worldview is a way of thinking about reality that rejects the


notion that one can have ‘knowledge’ of objective reality (that is,
know any truth about any non linguistic reality) and thus limits
knowable reality to the language one finds useful in getting what one
wants.”12

Menurutnya, worldview tidak lain adalah bahasa. Bahkan, Ludwig mengatakan


“No view of either ontology (what is) or epistemology (how one can know); he has
only a hermeneutic (how one can understand and use language)”13. Bisa dipahami
bahwa baginya worldview adalah menggunakan bahasa untuk mengetahui realitas.
Bahkan secara eksplisit ia mengingkari realitas ontologis dan realitas
epistemologis. Ludwig hanya menyakini bahwa semua realitas yang tidak diketahui

11
James W Sire, Naming the Elephant.... hlm. 30
12
James W Sire, Naming the Elephant.... hlm. 30
13
James W Sire, Naming the Elephant.... hlm. 29-30

5
kebenarannya harus dikembalikan ke bahasa. Jika Ludwig menolak epistemologi,
Michel Foucault justru menerima epistemologi sebagai padanan untuk worldview;

“Episteme may be suspected of being something like a world-view,


a slice of history common to all branches of knowledge, which
imposes on each one the same norms and postulates, a general stage
of reason, a certain structure of thought that all men of a particular
period cannot escape –a great body legislation written once and for
all by some autonomous hand.”14

Lebih lanjut lagi ia memberikan definisi bahwa worldview adalah realitas yang
ditelaah melalui pendekatan sejarah, ini kiranya mirip dengan aliran historisisme.
Berbeda dengan sebelumnya, Ninian Smart berpendapat bahwa agama itulah
worldview; “A religion is after all, a worldview” 15 . Dalam tulisan tersebut
disebutkan bahwa Smart mengutip definisi agama dari Clifford Greetz berikut;

“a system of belief which acts to establish powerful, pervasive, and


long-lasting moods and motivations in men...” 16

Dengan demikian, jika worldview adalah agama maka worldview adalah sistem
kepercayaan yang bertindak untuk membangun, menguatkan, dan membentuk
suasana hati dan motivasi bagi seorang individu. Mengutip penjelasan Prof. Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, worldview menurut Ninian Smart adalah kepercayaan,
perasaan, dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai
motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. 17 Lebih luas dari lagi,
worldview menurut Prof. Alparslan adalah;

14
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York;
Random House, 1972) hlm. 15
15
Michael P. Levine; Ninian Smart on The Philosophy of Worldviews. Sophia Vol. 36 No. 1 1997
hlm. 18
16
Michael P. Levine; Ninian Smart ..... hlm. 13
17
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Tsaqofah, Vol. 9 No. 1. hlm.
18

6
“the foundation of all human conduct, including scientific and
technological activities. Every human activity is ultimately traceable
to its worldview, and as such it is reducible to that worldview” 18

Alparslan berpendapat bahwa worldview adalah asas bagi setiap perilaku manusia,
termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktivitas manusia akhirnya
dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu, maka aktivitas
seseorang adalah proyeksi dari pandangan hidupnya.

Dari definisi terminologis tersebut kiranya bisa diberikan analisa bahwa


James H. Olthuis mendefinisikan worldview sebagai cara pandang, Wilhem
Dilthey, Nietzsche, Foucault mendefinisikannya sebagai pengalaman, Ludwig W
mendefinisikannya sebagai bahasa, James Sire mendefinisikannya sebagai asumsi
dasar, Thomas F. Wall mendefinisikannya sebagai kepercayaan, Ninian Smart
memaknainya sebagai agama dan Alparslan sebagai asas perilaku. Setidaknya
terdapat satu kesimpulan dari definisi-definisi tersebut, bahwa worldview adalah
identitas yang membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain.

Makna Worldview Islam

Penambahan kata ‘Islam’ sebagai kata sifat yang dinisbatkan kepada


worldview justru mempunyai nilai tambah. Definisi tersebut bisa diperoleh secara
eksplisit dari beberapa tokoh, di antaranya; al-Mawdudi, Atif al-Zayn, Sayyid Qutb,
Naquib Al-Attas. al-Mawdudi memilih terma Islami Nazariyat atau Islamic Vision
sebagai padanan dari worldview Islam. Lebih lanjut lagi, al-Mawdudi menjelaskan
bahwa pandangan hidup Islam dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahadah) yang
berimplikasi pada seluruh kegiatan manusia. 19 Demikian karena syahadah adalah
kesaksian atas keesaan Tuhan yang mendorong manusia untuk melaksanakan
kesaksian tersebut dalam kehidupannya.

18
Alparslan Acikgence, The Framework for A History of..... hlm. 6
19
Abu al-A’la Mawdûdî, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967), hlm. 14

7
Tidak jauh berbeda dengan al-Mawdudui, Atif al-Zayn mengartikan
worldview sebagai al-Mabda’ al-Islami atau Islamic Principle yang berarti aqidah
fikriyyah atau kepercayaan rasional yang berdasarkan pada akal. Sebab setiap
muslim wajib beriman kepada hakikat wujud Allah, kenabian, al-Qur’an yang tidak
bisa dipungkiri secara logis.

Sementara itu, Sayyid Qutb memilih terma at-Tashawwur al-Islamiy atau


Islamic Vision yang berarti akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam
pikiran dan hati setiap muslim yang memberi gambaran khusus tentang wujud dan
apa yang ada dibalik itu.

Sejalan dengan apa yang dipaparkan Sayyid Qutb, Naquib al-Attas


mendefinisikan worldview Islam dengan ru’yatu al-Islam lil-wujud yang berarti
pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati dan
yang menjelaskan wujud.

Lahirnya Worldview

Alparslan Acikgenc, sebagaimana dikutip oleh Hamid Fahmy Zarkasyi


menyebutkan bahwa terdapat dua jenis worldview.20 Pertama, Natural Worldview,
Natural worldview adalah cara pandang yang muncul secara alamiah dari suatu
komunitas, sebagaimana worldview yang nampak pada suku-suku dan kelompok
masyarakat tradisional. Kedua, Transparen Worldview, yang terbagi menjadi
Scientific Worldview dan Quasi Scientific Worldview. Scientific Worldview
adalah worldview yang lahir dari komunitas ilmiah, bersifat empiris dan rasionalis.
Sedangkan Quasi Scientific adalah worldview yang semi sains, demikian karena
Islam memang tidak lahir dari komunitas ilmiah, melainkan dari wahyu yang
kemudian dilanjutkan oleh para sahabat yang disebut sebagai komunitas ilmiah.
Antara worldview Barat dan Islam memiliki kesamaan, yakni berjenis worldview

20
Kholid Muslih, et. al., Worldview Islam; Pembahasan tentang Konsep-Konsep Penting dalam
Islam, (Ponorogo; UNIDA Press, 2018) hlm. 6-7

8
transparen. Meski demikian antara keduanya tetap memiliki perbedaan yang jelas
(secara definitif akan dijelaskan di sub bab elemen worldview).

Elemen Worldview

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, antara worldview Islam dengan


worldview selainnya tentulah berbeda. Perbedaan tersebut didasari oleh
karakteristik yang berbasis elemen. Menurut Thomas F. Wall, pandangan hidup
ditentukan oleh enam hal, yakni; Tuhan, Ilmu, Realitas, Diri, Etika dan
Masyarakat. 21 Merujuk kembali ke definisi worldview olehnya; “an integrated
system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of
existence.” 22 . Sehingga keenam elemen tersebut berkaitan satu sama lain.
Kepercayaan individu terhadap satu elemen berkaitan dengan elemen lainnya, ada
atau tidak adanya Tuhan akan mempengaruhi pandangan hidup seseorang terhadap
ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat. Sementara Ninian Smart menyebutkan
enam elemen pandangan hidup; doktrin, mitologi, etika, ritus, pengalaman, dan
kemasyarakatan.23 Keseluruh elemen yang disebutkan oleh Ninian Smart tersebut
bermuara kepada agama dan kepercayaan, hal ini karena Ninian Smart melihat
worldview dalam konteks agama.

Kerja ilmiah yang dilakukan oleh Thomas F. Wall dan Ninian Smart dalam
merumuskan elemen worldview kiranya berguna sebagai upaya mencari pokok atau
standar yang bisa digunakan untuk komparasi antara satu worldview dengan
worldview lainnya. Walaupun Ninian Smart mendefinisikan agama sebagai
worldview, justru ia tidak menyebutkan Tuhan sebagai salah satu elemen
worldview. Kiranya ia dipengaruhi oleh persepsi agama di Barat. Sementara
Thomas, meski terlihat lebih komprehensif dan lebih filosofis dari Ninian, tetap saja
elemen-elemen tersebut tidak selengkap elemen-elemen dalam worldview Islam.

21
Thomas F. Wall, Thinking...., 16
22
Thomas F Wall, Thinking Critically ....., 532
23
Ninian Smart, Worldview...., 8-9

9
Atif al-Zayn menyebutkan tiga karakteristik worldview Islam, yakni;
berasal dari wahyu Allah, berdasarkan konsep dien yang tidak terpisah dari Negara,
dan kesatuan antara spritiual dan material. 24 Sayyid Qutb menyebutkan tujuh
karakteristik worldview dalam bukunya khasaish al-tashawwur al-islamiy,
rabbaniyah (berasal Allah), tsabat (konsisten), syumul (universal), tawazun
(seimbang), ijabiy (melihat positif), waqi’iyyah (aplikatif), dan tauhid (esa). Sayyid
Qutb lebih menekankan bahwa karakteristik tersebut merupakan karakter yang
bukan ciptaan manusia melainkan berasal dari Allah langusng. 25 Sementara itu,
Naquib al-Attas menyebutkan bahwa worldview Islam memiliki elemen yang
sangat banyak dan saling berhubungan satu sama lain –kiranya ini mirip dengan
Thomas yang menyatakan integrasi antar elemen. Di antara elemen yang paling
utama tersebut ialah; Tuhan, Wahyu, Penciptaan, Manusia, Ilmu, Agama,
Kebebasan, Nilai, dan Kebahagiaan.26

Dari elemen-elemen yang disebut oleh ketiga cendikiawan muslim tadi -


meskipun berbeda- namun mempunyai satu kesamaan, yakni pusat dari worldview
Islam adalah aqidah. Elemen maupun karakteristik yang dipaparkan oleh ketiga
tokoh tadi terdapat perbedaan yang dapat dilihat dari penekanannya. Atif al-Zayn
dan Sayyid Qutb menekankan asal atau sumber worldview, sementara al-Attas
menekankan aspek konseptual dan praktis.

Worldview sebagai Paradigma

Sebagaimana disebutkan dalam definisi worldview secara umum, bahwa


worldview merupakan motor perubahan, dan asas segala aktivitas termasuk
aktivitas ilmiah. Dengan demikian, worldview menempati posisi sebagai paradigma

24
Arif al-Zayn, al-Islam..., 11-12
25
Sayyid Qutb, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwamatuhu (Cairo; al-Babi al-
Halabi, 1962), 45
26
S.M.N. al-Attas, The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress, dalam Sharifah Shifa al-
Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on
Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur
Agustus, 1-5, 1994, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 29.

10
jika dilihat dari konteks filsafat sains. Ketika membahas paradigma atau paradigm
atau wacana atau discourse dalam kajian Filsafat Ilmu; tokoh yang paling tersohor
adalah Thomas Kuhn dan Imre Lakatos. Baik Kuhn maupun Lakatos, keduanya
memberikan posisi worldview sebagai paradigma sebagai asas yang menyediakan
nilai, standar, dan metodologi untuk semua aktivitas ilmiah hingga bisa
menghasilkan teori-teori. Jika worldview diposisikan sebagai asas (hardcore dalam
bahasa Lakatos) maka konsekuensinya adalah worldview haruslah bersifat
permanen. Sementara lapisan-lapisan diluarnya yang meliputi (metodologi dan
teori) bersifat bisa dirubah. Dalam hal ini, worldview Islam tentulah permanen
karena berasaskan aqidah, tetapi metode dan hasil dari aktivitas ilmiah yang
berdasarkan worldview Islam bersifat lentur karena bisa berubah. Sederhananya,
(Islam) menempati hardcore/worldview sementara Ekonomi Islam menempati
(teori/series of theory). Sehingga Islam itu permanen/holistik dan Ekonomi Islam
bersifat changable.

Worldview dan Realitas

Pandangan hidup seseorang akan menentukan bagaiamana ia melihat


sebuah realitas. Maka, cukup menarik untuk membandingkan antara pandangan
hidup Islam dan Barat dalam melihat sebuah realitas. Di sini akan dipaparkan secara
singkat tentang jenis realitas dan bagaimana sebuah worldview berinteraksi dengan
realitas tersebut. Mengutip penejasan Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam kelas,
beliau menyampaikan ada 3 jenis realitas, yakni realitas ontologis, realitas
epistemologis, realitas aksiologis.

Pertama, Realitas Ontologis adalah kebenaran tentang hakikat (apa)


sesuatu. Dalam worldview Islam, realitas ontologisnya ada dua; tertulis (al-Qur’an)
dan tidak tertulis (alam semesta). Di sisi lain, Barat hanya melihat realitas yang
berwujud dan nampak secara fisik (rasionalis-empiris). Maka, bagi Barat hal-hal
semacam makhluk ghaib, Tuhan, surga-neraka bukanlah realitas.

11
Kedua, Realitas Epistemologis adalah kebenaran tentang sumber sebuah
ilmu. Dalam Islam terdapat dua sumber epistemologis; apriori dan aposteriori.
Apriori adalah pengetahuan yang didapat tanpa pengalaman empiris (laduni),
sementara Aposteriori adalah pengetahuan yang didapat dengan pengalaman
empiris (belajar, research). Barat hanya mempercayai pengetahuan Aposteriori.
Sementara itu, Islam mengintegrasikan antara apriori dan aposteriori, dengan
bahasa lain; integrasi antara intelektual dan spiritual.

Ketiga, Realitas Aksiologis adalah kebenaran tentang tujuan atau maksud


dari sesuatu. Seorang muslim haruslah meyakini adanya sesuatu di balik sesuatu.
Antara uang hasil bekerja dengan hasil mencuri tentu secara kasat mata tidak ada
bedanya. Worldview Barat hanya melihat realitas yang nampak, sementara Islam
melihat realitas yang nampak dan yang tidak nampak secara bersamaan sebagai
upaya menentukan halal-haram, baik-buruk sesuatu sebagai tujuan yang lebih
penting.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, kiranya dapat ditarik beberapa kesimpulan;


Pertama, worldview merupakan kepercayaan yang integral yang meliputi pikiran
dan perasaan dan merupakan asas perilaku dan berfikir. Selain itu, worldview
menempati posisi hardcore –dalam filsafat sains- yang bersifat permanen dan tidak
bisa dirubah. Oleh karena itu, setiap worldview memiliki karakter dan metodenya
masing-masing. Worldview juga merupakan identitas yang membedakan antara
suatu cara pandang hidup dengan yang lainnya.

Kedua, terdapat dua jenis worldview berdasarkan proses kelahirannya.


Alami dan transparen. Worldview Islam dan Barat keduanya sama-sama worldview
transparen, namun worldview Islam merupakan quasi saintifik (semi ilmiah, berasal
dari wahyu Allah) dan worldview Barat adalah worldview saintifik (lahir dari
komunitas ilmiah).

12
Ketiga, worldview Islam memiliki elemen yang lebih kompleks dan
komprehensif dari pada worldview Barat. Di antaranya adalah; konsep Tuhan,
wahyu, penciptaan, manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebahagiaan.
Kesemua elemen tadi berkaitan satu dengan yang lain sekaligus pada satu hal, yakni
aqidah.

Keempat, seluruh worldview selain Islam, baik yang berlandaskan budaya,


agama, maupun peradaban dipengaruhi oleh akal, yang sifatnya terbatas. Sementara
itu, worldview Islam yang sumbernya merupakan wahyu dari Allah merupakan
penanda dan pengarah keterbatasan akal tadi. Dengan demikian, selain worldview
Islam mengandung kekurangan dan memungkinkan terjadinya benturan dengan
worldview sebagaimana benturan peradaban –clash of civilization. Karena
worldview merupakan kumpulan dari elemen yang sifatnya integral, maka
perubahan di satu elemen saja akan berdampak pada perilaku yang merupakan
proyeksi dari cara pandangnya.

13
Daftar Pustaka

Acikgence, Alparslan. 1996. The Framework for A History of Islamic Philosophy,


Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought
and Civilization, Vol.1. No. 1&2, (Kuala Lumpur: ISTAC)
al-Attas, S.M.N., 1996. The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress,
dalam Sharifah Shifa al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of
Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the
Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala
Lumpur Agustus, 1-5, 1994, (Kuala Lumpur: ISTAC)
Al-Mawdûdî, Abu al-A’la. 1967. The Process of Islamic Revolution, (Lahore)
Berghout, Abdelaziz. Chapter 2; Western Worldview; Historical Development and
Definition of a Concept;
Foucault, Michel. 1972. The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan
Smith (New York; Random House)
Huntington, Samuel P., 1996. The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, (New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book)
Levine, Michael P. 1997. Ninian Smart on The Philosophy of Worldviews. Sophia
Vol. 36 No. 1
Muslih, Mohammad Kholid. et. al. 2018. Worldview Islam; Pembahasan tentang
Konsep-Konsep Penting dalam Islam. (Ponorogo; UNIDA Press)
Naugle, David Keith, 1998. A History and Theory of the Concept of
Weltanschauung, Disertasi (Ann Arbor; UMI)
Nietzsche, Friedrich. On Truth and Lie in an Extra-Moral Sense in The Portable
Nietzsche.
Olthuis, James H., 1989. On Worldviews, in Stained Class; Worldviews and Social
Science, ed Paul A. Marshall, Sander Griffoen and Richard Mouw
(Lanham, Md; University Press of America)
Qutb, Sayyid. 1962. Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy wa Muqawwamatuhu
(Cairo; al-Babi al-Halabi)
Sire, James W., Naming the Elephant; Worldview as A Concept

1
Wall, Thomas F. 2001. Thinking Critically About Philosophical Problem, A
Modern Introduction, Wadsworth (Australia; Thomson Learning)
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2013. Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Tsaqofah,
Vol. 9 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai