Anda di halaman 1dari 7

1.

IDENTIFIKASI

Kebudayaan penduduk Irian Jaya tidak merupakan suatu kesatuan, tapi menunjukkan aneka
warna yang besar. Umunya dibedakan antara kebudayaan dari penduduk daerah Cendrawasih,
penduduk pulau-pulau dan pantai teluk Cendrawasih, penduduk rawa-rawa didaerah Pantai
Utara, penduduk pegunungan Jaya Wijaya, penduduk daerah sungai dan rawa-rawa dibagian
selatan, dan penduduk daerah di bagian selatan. Kecuali ada berbagai daerah kebudayaan yang
berbeda di Papua Nugini. Kebudayaan di daerah tersebut tidak hanya menunjukkan banyak
perbedaan pada unsur yang terlihat seperti lahir, teknologi, dasar mata pencaharian hidup dan
kesenian, tapi juga unsur yang bersifat lebih mendalam seperti sistem kemasyarakatan.

Lebih lagi gejala aneka warna itu dipandang dari sudut bahasa, hal itu akan lebih menonjol. Ada
bahasa Irian yang termasuk bahasa Melanesia (1), tapi disamping itu ada bahasa yang termasuk
suatu keluarga yang lain, ia adalah keluarga bahasa Irian. Keluarga bahasa Irian ini dibagi
menjadi beberapa keluarga khusus, yang satu dengan lain tak bersangkutan sama sekali. Tiap
keluarga ada sub-keluarganya, dan tiap sub keluarga terdiri dari bahasa yang konkrit yang
seringkali amat banyak jumlahnya. Terutama Irian Jaya bagian Teluk Cendrawasih dan Daerah
Pantai Utara, terkenal karena gejala kelompok bahasa yang kecil. Di daerah tersebut ada bahasa
yang diucapkan oleh 100 orang misalnya, bahkan ada bahasa yang lebih kecil lagi.

Gejala aneka warna extreme dari kebudayaan di Irian dapat dikembalikan jauh ke zaman
prehistori, waktu bangsa-bangsa dari daerah yang satu dengan lain berbeda, datang menduduki
pulau untuk tetap tinggal terpisah satu sama lain sampai sekarang, karena isolasi geografis.
Karena itu orang yang tinggal di Irian bagian selatan seperti orang Mimika, Asmat, atau orang
Marindanim, pada dasarnya sangat berbeda dengan orang Moni atau Dani di Pegunungan Jaya
Wijaya, atau dengan orang Biak atau Waropen di Teluk Cendrawasih, dan sangat berbeda pula
dari orang Tor atau Bgu di daerah Pantai Utara.

Bab ini dikhususkan untuk kebudayaan dari penduduk Daerah Pantai Utara seperti yang
tergambar pada peta 4. Kebudayaan itu sudah menunjukkan suatu variasi antara kebudayaan dari
penduduk pedalaman di daerah hulu sungai dan kebudayaan dari penduduk di daerah hilir dan
muara sungai. Gejala aneka warna bahasa kecil di daerah Pantai Utara bersifat menyolok, maka
penduduk hulu atau hilir sungai terpecah kedalam kelompok kecil terdiri dari 50 sampai 200
orang masing-masing dilembah sungainya sendiri dengan bahasa khususnya sendiri.

Sungai di Pantai Utara Irian Jaya yang kecil-kecil bersumber dari bukit yang muncul sekitar 20
sampai 30 kilometer ke pedalaman, sedangkan sungai yang besar seperti Tor, Biri, Wiruwai, dan
lainnya bersumber di pegunungan Gautier, Foya, Karamor, dan Bonggo. Daerah belakang jalur
pantai pasir tersebut sampai di daerah mulainya bukit merupakan daerah rawa-rawa yang luas,
tertutup oleh hutan sagu dan nibung, sedangkan di daerah bukit terus ke selatan hutan rimba
tropic yang padat.
Sebagian dari penduduk desa pantai itu mulanya berasal dari daerah pegunungan di pedalaman.
Banyak diantara mereka turun kepantai sejak lebih dari tiga perempat abad lalu; banyak yang
beru turun ke pantai sejak satu dua angkatan yang lalu, banyak pula yang baru sampai di pantai
beberapa tahun saja. Gerak migrasi penduduk kea rah hilir singai ini ialah suatu proses yang
sampai saat ini masih berlangsung secara terus menerus. Arah perpindahan dari kelompok kecil
seperti orang Mander, Bonerif, Biyu, Daranto, Segar, barabora, Waf, dan lainnya mengikuti arah
aliran sungai.

Mengenai penduduk di hulu sungai pedalaman, ada beberapa karangan ilmiah yang mendalam
dan teliti, tetapi penduduk di hilir sungai di tepi pantai, kecuali beberapa laporan turne dari
beberapa pegawai Pemerintah Belanda, sepanjang pengetahuan belum pernah ada pelukis
mendalam yang bersifat ilmiah. Penduduk hilir sungai tinggal di 2 desa kecil yang hampir
semuanya terletak rapi dijalur pantai pasir. Sebelum tahun 1920, desa-desa terletak rapi di tengah
rawa-rawa dibelakang jalur pasir. Waktu itu orang hidup di rumah besar diatas tiang, tapi sekitar
tahun 1920 mereka dipaksa oleh Pemerintah Belanda untuk pindah ke depan dekat laut untuk
keperluan kesehatan, dan agar mereka mudah berpatroli. Ke-24 desa itu digolongkan ke tujuh
kelompok, dengan panduduk yang masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Ini contoh gejala
bahasa kecil diatas. Ke tujuh bahasa itu termasuk keluarga bahasa Melanesia.

2. ANGKA-ANGKA DAN FAKTA-FAKTA DEMOGRAFIS

Diantara ke-24 desa Penduduk Pantai Utara, ada desa kecil dengan penduduk 40 orang, tapi ada
yang agak besar dengan penduduk 300 orang. Seluruh penduduk tahun 1964 adalah 4553 orang,
jika jumlah itu dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun-tahun yang lalu dengan zaman
sebelum Perang Dunia II, maka tampak jumlah penduduk tidak bertambah, tapi justru berkurang.
Ditinjau dari sudut keadaan desa di daerah pantai Utara, itu diterangkan dengan gejala urbanisasi
ke kota, kecuali di Irian Jaya pada umumnya angka kelahiran di desa daerah Pantai Utara
memang rendah.

3. BENTUK DESA DAN POLA PERKAMPUNGAN

Desa di Daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah diatas tiang yang tersusun rapi
dikedua tepi dari jalan tengah. Bangunan pusat dari desa adalah gereja, yang merangkap menjadi
tempat pertemuan umum. Kemudian ada sekolah desa dan rumah pos, rumah yang biasa dipakai
bermalam bagi patroli-patroli polisi dan pegawai pemerintah yang sedang turne, dan juga sebagai
tempat bermalam bagi orang dari desa lain yang sedang berjalan. Rumah pos desa dibangun atas
instruksi pemerintah sejak lama.

Rumah di desa daerah Pantai Utara merupakan suatu bangunan persegi panjang, diatas tiang-
tiang, dengan tinggi seluruhnya 4,50 Meter, berukuran empat meter lebar, lima meter panjang,
dan tiga meter tinggi, di dalamnya satu, dua ruangan atau lebih; ruangan untuk tempat duduk
keluarga merangkap dapur, dan satu-dua ruangan tidur. Walau demikian, banyak rumah-rumah
yang hanya terdiri dari satu ruangan tempat semua penghuninya tinggal bersama. Rangka rumah
dibuat dari balok yang diikat satu sama lain dengan tali rotan; dinding-dinding terdiri dari
tangkai kering lurus panjang dari daun sagu yang disusun sejajar rapi, dan diikat tali rotan.
Dinding itu biasanya disebut Ambon-nya, dinding gaba-gaba. Lantai terdiri dari strip panjang
dari kulit pohon bakau, yang tersusun rapi, masih sering bercelah, cukup lebar menjebloskan
kaki. Di dapur lantai berlubang satu meter persegi, untuk tempat perapian, yang merupakan suatu
panggung kecil berukuran hampir satu meter persegi, hampir sebesar lubang lantai dapur, kira-
kira 20 sentimeter lebih rendah dari lantai, ditutup dengan pasir. Api dinyalakan diatas pasir
panggung kecil dan wadah masakan digantung dari atap dengan kawat. Atap rumah terdiri dari
satu rangka balok dan dahan kayu bakau yang lebih kecil dituutp dengan jerami atau lipatan daun
kelapa yang disusun berlapis tebal, diikat dengan tali rotan pada kerangka atap. Kadang rumah
diberi jendela kadang tidak, untuk masuk ke rumah dari pintu ada tangga, yang diletakkan
sebagai tanda bahwa para penghuni tidak ada dirumah. Penempatan rumah baru menurut adat
istiadat desa Pantai Utara umumnya membutuhkan pesta besar bernama nuanyadedka, dengan
adanya unsur penukaran pemberian antara kaum kerabat isteri si penghuni, yang menolongnya
dalam proses pembangunan rumah, dengan kaum kerabatnya yang justru menjadi tamu di
upacara itu.

4. MATA PENCAHARIAN HIDUP

Mata pencaharian yang terpenting dari orang Bgu adalah meramu sagu (pom). Hutan sagu yang
ada pada tiga sampai lima kilometer jauhnya dari desa, terbagi kedalam wilayah dengan batas
yang tak tegas, yang menjadi hak kelompok kekerabatan tertentu. Dulu kelompok kekerabatan
unilineal yang menduduki suatu wilayah tertentu memiliki konsepsi yang tegas mengenai batas
hutan sagunya, setelah kelompok itu pindah dan tinggal tercampur di desa baru di tepi pantai,
maka lambat laun orang lupa batas hutan sagu kelompok secara tegas dan apa yang menjadi
pegangan orang hanyalah hutan dimana ia sendiri hendak mengambil sagu. Walaupun orang di
daerah Pantai Utara memiliki hak untuk mengambil sagu di suatu wilayah sagu khusus yang
diwariskan ayahnya, namun ia berhak juga mengambil sagu di wilayah saudara pria ibunya
(wausu).

Ia juga boleh mengambil sagu di wilayah isterinya, karena dalam banyak aktivitet kehidupan
biasanya bekerja sama dengan ipar-iparnya (kweisu). Ketika mencari sagu bekerja sama dengan
ipar artinya mengundang si kweisu untuk bersama-sama memukul sagu di wilayah sendiri atau
meminta ipar membantu memukul sagu diwilayahnya. Seorang dengan iparnya menebang pohon
sagu berumur 8 sampai 12 tahun, setelah tumbang pohon dikuliti dan terasnya dipukul dengan
sebuah alat yang dalam bahasa Bgu disebut tongkiya. Kemudian serat teras diberikan pada kedua
istri dari pemukul untuk dicuci tepungnya kemudian diremas supaya bersih. Tepung sagu basah
yang telah dicuci dan diremas dengan alat peremas sagu (kaemrun). Kemudian tepung sagu
basah diangkat dengan karung atau wadah yang terbuat dari dauh nibung. Sagu biasanya
dimakan sebagai bubur atau juga roti bakar dengan lauk pauk, daging, ikan, binatang kerang,
kadang sayur mayur. Ada juga roti terbuat dari tepung sagu yang dicampur dengan kelapa parut
yang dibakar.
Di daerah pedalaman hulu sungai, seperti daerah hulu Tor, pekerjaan mencari sagu merupakan
pekerjaan wanita, dan menurut orang disana laki-laki tidak layak ikut campur dalam urusan sagu.
Dari rangkaian gigi anjing yang disebut kdarf , ikat pinggang dari manik disebut bitem, tali kulit
kayu yang disebut weimoki. Krae sering ditambah dengan uang karena jumlah nilai itu terlampau
tinggi di daerah Pantai Utara Irian Jaya. Ada juga orang dalam hal mengumpulkan harta mas
kawin , suka memberi bantuannya , ialah saudara laki laki ibu , karena untuk mengumpulkan itu
biasanya dilakukan beberapa waktu yang lama sesudah upacara perkawinan dengan upacara
yang khusus.

Upacara perkawinan gereja di desa Pantai Utara untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1937,
pada tahun itu tidak kurang dari 23 suami istri dikawinkan diantaranya ada yang telah kawin
menurut adat sejak 20 tahun yang lalu. Berbeda dengan upacara pemandian , upacara perkawinan
gereja tidak dirayakan. Pengantin baru selayaknya mendirikan rumah tangga baru dengan
membangun rumah yang baru. Dan ada beberapa keluarga yamg tinggal berpindah pindah untuk
suatu jangka waktu dirumah orang tua suami , untuk jangka waktu lain dirumah orang tua istri.
Walaupun suatu keluarga batih baru itu hidup dalam rumah orang tua , seringkali dalam suatu
ruang yang sama namun dalam aktivitas sehari hari keluarga batih itu adalah kesatuan tersendiri
yang berkepribadian. Dalam aktivitas suami istri mereka bisa mencari ikan ,berkebun, dan
mencari sagu.

Kedudukan wanita dalam masyarakat penduduk Pantai Utara tidak tampak rendah , baik dalam
pergaulan social maupun dalam hal kewajibannya. Keluarga batih bersifat monogami dan adapun
beberapa contohnya perkawinan yang bersifat poligini. Pandangan umumnya poligini itu hal
yang tidak baik, tetapi dulu poligini lebih banyak dilakukan karena levirate atau kalu istri
dianggap tidak bisa mendapat anak.

5. HIDUP BERKOMUNTI DAN PIMPINAN DESA

Desa di daerah Panati Utara dengan umumnya menunjukkan suatu kehidupan berkomuniti yang
penuh kelesuan dan sifat apatis yang amat menyedihkan. Tampak adanya usaha bersama yang
konstruktif untuk membuat hal yang baru. Di instruksikan oleh pemerintah dengan maksud agar
penduduk kerja untuk kepentingan umum artinya untuk memperbaiki desanya.

Di desa desa yang mempunyai suatu kooperasi yang berjalan baik yang tampak rapi jalan dan
perkarangan rumahnya , yang pada hari kerja memang memperlihatkan aktivitas orang bekerja
biasanya terbukti ada pimpinan organisasi atau tokoh orang luar atau orang asing. Kehidupan
komuniti di desa pantai di Distrik Pantai Utara itu adalah penyakit tak ada kepemimpinan,
sebabnya masyarakat desa itu dengan satu dua terkecuali pada umumnya tidak bisa menyediakan
tokoh pimpinan sendiri.

Salah satu sebab yang sering diajukan sebagai alasan dari tak adanya tenaga pimpinan atau
tenaga yang sudi mengaktifkan kehidupan masyarakat didesa pantai tersebut adalah gejala
migrasi secara musim ke kota Jayapura. Pada tahun 1954 kira kira telah membuat keadaan
penduduk dibeberapa desa itu sungguh amat parah. Pada tahun 1920 mereka dipaksa pindah ke
tepi pantai jalur pasir. Tokoh yang bertugas untuk melaksanakan dan memimpin upacara
keagamaan yang bersangkutan dengan pemeliharaan benda suci disebut dmartemtua atau dmar.
Penduduk desa Teluk Jayapura dan desa di daerah Danau Sentani ada desa baru di tepi pantai
orang di beri suatu system pimpinan baru , yang modelnya dari masyarakat desa. Masyarakat
pedesaan mengenal tokoh ahli mengenai tanah atau ondowafi tugasnya adalah mengawasi
pembukaan tanah ulayat oleh para penggarap , menyaksikan transaksi tanah atau hutan sagu dan
sebagainya. Ondowafi adalah ahli yang dianggap tahu akan adat asli , korano adalah orang yang
bertugas meneruskan perintah dan intruksi dari pemerintah. Tokoh ondowafi itu di dalamnya ada
kehidupan komuniti desa di Pantai Utara dan tidak ada artinya.

Biasanya kepimpinannya tidak berakara ke dalam system social yang asli dan kewibawaannya di
antara penduduk sedikit atau tidak sama sekali. Korano dibantu oleh beberapa pejabat yang
secara resmi dari kelompok pamong desa. Di pedesaan Irian Jaya terutama bagian utara jiwa
gotong royong dan kerja bakti itu tidak ada. Menurut analisa seorang ahli Bernama M. Mead
contohnya tentang masyarakat dari Irian ialah suku bangsa Arapesh di daerah sungai Sepik di
Irian Timur bagian utara dan suku bangsa Manus di pulau New Ireland sebelah timurlauat Irian
yang disimpulkan berjiwa individualis

Aktivitas kehidupan komuniti orang penduduk desa Pantai Utara tidak banyak dijiwai gotong
royong adalah karena sifat dari masyarakatnya dan struktur dari hubungan sosialnya memang
dasarnya tidak amat membutuhkan aktivitas gotong royong dan tolong menolong. Tolong
menolong dalam kehidupan social seperti membangun rumah , membuat perahu lesung bahkan
mempersiapkan pesta dan tolong menolong dilakukan dalam batas hubungan kekerabatan yang
tertentu. Umumnya jiwa dan perasaan yang ada di belakang ada gift exchange itu adalah rasa
bersaing dan wajib balas bukannya rasa menolong atau rela memberi.

6. RELIGI

Secara resmi penduduk Pantai Utara beragama Kristen dan berasal dari religi asli. Jiwa orang
mati melepakan diri dari tubuh dan menjadi roh dalam waktu yang berangsur. Proses itu masih
berada di sekitar rumah tempat tinggalnya. Itu sebabnya keluarga si wafat diasingkan dalam
rumah supaya tidak menulari masyarakat dengan suasana kewafatan. Orang Bgu juga percaya
kepada suatu jiwa kedua yang mereka sebut tnikenya. Kecuali roh asal dari orang yang
meninggal alam sekitar tempat tinggal manusia di diami oleh berbagai macam roh yang dapat
kedudukan khusus dalam dunia hantu dari orang Bgu. Kehidupan penduduk Pantai Utara roh itu
rupanya tidak ada artinya sedikitpun.
Tentang kepercayaan suangi yang dibawa oleh orang Ambon dan yang dalam Bahasa Bgu
disebut nap, tetapi kepercayan tersebut rupanya tidak ada efeknya sama sekali dalam kehdiupan
social maupun kehidupan kerohaniannya. Dalam kehidupan masyarakat penduduk desa Pantai
Utara tidak ada upacara keagamaan besar yang memakan banyak biaya , tenaga dan
mengembangkan secar aluas hubungan antar kelompok. Sebagai rutinitas mingguan penduduk
mengunjungi gereja , tiap minggu berkumpul kira kira 40 orang , mereka mendengarkan acara
yang di pimpin oleh guru agama. Acara tiap minggu hampir sama perbendaharaan bahan doa dan
khotbah dari guru yang didikannya tidak tinggi, tentunya amat terbatas. Dimulai dari kata
pembukaan yang tiap minggu kata demi kata sama , kemudian nyanyian bersama , kemudian doa
, nyanyian lagi, keduanya dalam Bahasa Indonesia , sesudah itu khotbah singkat , sesudah itu
nyanyian bersama lagi dan akhirnya doa penutup dalam bahasa.

Mengobservasi pengunjung gereja yang tiap hari minggu sering berganti orangnya , dan melihat
suatu partisipasi yang tanpa emosi sama sekali . Orang mendengarkan khotbah , ikut nyanyi ,
ikut doa tetapi semuanya dilakukan seolah seperti pekerjaan rutin.

Anda mungkin juga menyukai