Anda di halaman 1dari 3

A.A.

Yewangoe

Riwayat Hidup
Yewangoe dilahirkan dari suami-istri Lakimbaba dan Kuba Yowi, namun sejak usia 7 bulan, menurut
kebiasaan di daerahnya, ia sudah diasuh oleh orang tua angkatnya, yaitu Pdt. S.M. Yewangoe yang melayani
sebagai seorang pendeta di kampungnya, dan istrinya, Leda Kaka.
Kehidupan Pdt. Yewangoe ini sangat sederhana karena gaji pendeta di desa sangat kecil. Karna itu, ayah
angkatnya juga harus mencari nafkahnya sebagai seorang petani. Sebagai seorang anak tani, Yewangoe
terbiasa hidup menggembalakan kerbau bersama teman-temannya. Hidup di tengah keluarga pendeta ternyata
meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada dirinya. Dalam benaknya muncul keinginan untuk juga
menjadi seorang pendeta. Harapannya ini ternyata cocok dengan harapan ayah angkatnya, sehingga ia pun
didorong untuk mengembangkan karier itu. Karenanya Yewangoe pun tertarik untul belajar teologi, meskipun
saat itu ia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang studi teologi.
Demikianlah Yewangoe menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat Masehi di
Mamboru (1951-1957), yang dilanjutkannya dengan pendidikan menengahnya di sebuah
sekolah Kristen di Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat. Setelah tamat dari SMA pada 1963, ia pun
meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT
Jakarta).

Menjadi mahasiswa
Yewangoe berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal hewan. Setibanya di ibu kota, ia sangat terkejut
menyaksikan perbedaan yang sangat besar dengan kampung halamannya.
Studinya di STT Jakarta tidak berjalan mudah, apalagi ia harus belajar bahasa Ibrani, bahasa Yunani,
dan bahasa Inggris. Yewangoe mengaku ia bukanlah seorang mahasiswa yang sangat rajin belajar. Meskipun
dari sekitar 40 orang mahasiswa yang masuk bersamanya ke sekolah itu hanya 8 orang saja yang lulus,
Yewangoe bersyukur karena ia banyak tertolong karena ia sering belajar bersama dengan teman-temannya
di GMKI.
Mengajar teologi
Pada 1969, Yewangoe menyelesaikan studinya di STT Jakarta, lalu kembali ke Waingapu, Sumba dan
melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Sumba (GKS). Pada 1971, ia dipanggil untuk menjadi dosen untuk
mata kuliah Teologi Sistematika di Akademi Theologia Kupang (kini telah menjadi Universitas Kristen Artha
Wacana) karena pendeta yang seharusnya mengajar di akademi itu mengundurkan diri.
Setahun kemudian, pada 1972, ia mendapat kepercayaan untuk menjadi rektor di sekolah itu untuk masa
jabatan empat tahun, meskipun saat itu usianya baru 27 tahun.

Studi lanjut
Setelah menyelesaikan satu periode masa jabatannya sebagai rektor, Yewangoe dikirim ke Belanda untuk
memperdalam studi teologinya di Universitas Vrije. Pada 1979 ia berhasil meraih gelar doktorandus teologi
dan kembali lagi Kupang. Sementara itu, Akademi Theologia Kupang telah dikembangkan menjadi Sekolah
Tinggi Teologi, dan Yewangoe pun kembali memperoleh kepercayaan untuk menjabat sebagai rektornya untuk
periode 1980-1984.
Setelah periode jabatannya sebagai rektor selesai, ia kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya di
universitas yang sama. Pada 1987 ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Theologia Crucis in
Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming Poverty and Multifaceted Religiosity in
Asia Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh penerbit BPK Gunung Mulia dalam bahasa Indonesia.

Kembali menjadi rektor


Sekembalinya dari Belanda, Sekolah Tinggi Teologi (STT) Kupang sudah berubah menjadi Universitas
Kristen Artha Wacana. Yewangoe kembali mendapatkan kepercayaan sebagai rektor untuk dua periode (1990-
1998). Setelah masa jabatannya habis, ia tetap mengajar sebagai salah seorang dosen di Fakultas Teologi.

Menjadi Ketua Umum PGI


Pada 2001, Yewangoe pindah ke Jakarta dan menjadi dosen Teologi Sistematika di STT Jakarta, sambil
menjalankan tugasnya sebagai salah seorang ketua PGI untuk periode 2000-2004. Pada Sidang Raya XIV PGI
pada 2004 di Caringin, Bogor, Yewangoe terpilih sebagai Ketua Umum organisasi gereja-gereja Protestan
Indonesia itu untuk periode 2004-2009.[2]
Sebelumnya, ia sudah dipilih sebagai Ketua PGI untuk periode 1994-1999, dan menjadi anggota Majelis
Pekerja Harian (MPH) pada periode 1989-1994.Yewangoe juga dikenal sebagai seorang penulis yang cukup
produktif. Tulisan-tulisannya banyak muncul di suratkabar Suara Pembaruan.

Kehidupan Pribadi
Andreas Anangguru Yewangoe menikah dengan Petronella Lejloh, dan mempunyai dua orang anak yang
sudah dewasa: Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru (lahir 1972) dan Anna Theodore Yewangoe
(lahir 1980).

Karya
Berikut ini adalah daftar dari sebagian karya tulis Yewangoe:

 Agama dan Kerukunan (2002)


 Lea (2002)
 Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (2002)
 Pengantar Sejarah Dogma Kristen (2001)
 "Theologia Crucis" di Asia: Pandangan Kristen Asia tentang Penderitaan (1987)
 Pendamaian (1983)

Jabatan lain
Jabatan-jabatan lain yang pernah dipegang oleh Yewangoe antara lain adalah:

 Anggota Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI (1989-1994)


 Penasihat Reformed Ecumenical Council (1992-1996)
 Pengurus Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) (1980-1984)
 Wakil Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Kristen di Indonesia (1996-2001)
 Pengurus International Reformed Theological Institutions (IRTI), Leiden
 Pengurus International Association for Promoting Christian Higher Education (IAPCHE), Michigan, AS
 Moderator kelompok Keesaan, Teologi dan Misi dari Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), Hongkong
 Penasihat Sinode Gereja Kristen Sumba
 Anggota Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor

Anda mungkin juga menyukai