Anda di halaman 1dari 6

HOTEL RESORT TOYA BUNGKAH KINTAMANI: KONSEP POLA TATA RUANG

PERMUKIMAN MASYARAKAT TRADISIONAL

OLEH

PROGRAM STUDI MAGISTER KAJIAN PARIWISATA


FAKULTAS PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2022
HOTEL RESORT TOYA BUNGKAH KINTAMANI: KONSEP POLA TATA RUANG
PERMUKIMAN MASYARAKAT TRADISIONAL

Abstract

The tourism potential of Toyabungkah, which is located in Bangli Regency, has not been fully
realized due to the lack of adequate visitor accommodation. Since Toyabungkah is located in a
mountainous area on the shores of Lake Batur, it has the potential to be developed as a tourist
attraction. Resort hotels are needed as accommodation to support the development of tourist
attractions in Toyabungkah. However, because Toyabungkah is a Special Tourist Attraction area
and is located in the Tourism Effective Zone, which has development regulations that highlight
the notion of local culture and are based on Balinese culture, the planning is limited by local
regulations. To overcome this challenge, the resort hotel in Toya Bungkah can construct its
spatial pattern around the concept of a typical Balinese household or residential spatial pattern.
Keywords: typical Balinese settlement spatial plan, resort hotel

Abstrak

Potensi wisata Toyabungkah yang terletak di Kabupaten Bangli belum bisa sepenuhnya terwujud
karena minimnya akomodasi pengunjung yang memadai. Karena Toyabungkah terletak di
kawasan pegunungan di tepi Danau Batur, sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek
wisata. Diperlukan resort hotel sebagai akomodasi untuk mendukung pengembangan objek
wisata di Toyabungkah. Namun karena Toyabungkah merupakan kawasan Daya Tarik Wisata
Khusus dan terletak di Zona Efektif Pariwisata, yang memiliki peraturan pembangunan yang
menonjolkan pengertian budaya lokal dan berbasis budaya Bali, maka perencanaannya dibatasi
oleh peraturan daerah. Untuk mengatasi tantangan ini, hotel resor di Toya Bungkah dapat
mengkonstruksi pola tata ruangnya di sekitar konsep pola tata ruang rumah tangga atau
permukiman khas Bali.
Kata Kunci: rencana tata ruang pemukiman khas Bali, hotel resor
BAB I
PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN
Kintamani merupakan objek wisata populer di Kabupaten Bangli, dengan
pemandangan Kaldera Batur yang terkenal di kalangan wisatawan mancanegara.
Kintamani memiliki potensi wisata pemandian air panas di Toyabungkah, selain
lingkungan yang sangat indah, namun potensi tersebut belum dapat terealisasi karena
lambatnya pertumbuhan pariwisata di daerah tersebut (Wijaya, 2010). Toyabungkah
sebenarnya berpotensi menjadi objek wisata karena lokasinya yang berbukit, lingkungan
yang sejuk, serta pemandangan Danau dan Gunung Batur yang spektakuler. Untuk
mengatasi masalah ini, sangat penting untuk menciptakan fasilitas akomodasi yang akan
membantu perkembangannya, seperti akomodasi wisata hotel resor.
Karena menurut Gee (1988), resort adalah suatu tempat terencana yang tidak
hanya untuk menginap tetapi juga untuk relaksasi dan rekreasi, pengembangan
akomodasi berupa resort hotel dapat membantu kawasan Toyabungkah menjadi salah
satu tujuan wisata utama. Hotel resor juga merupakan tempat tinggal sementara bagi
seseorang yang tinggal di luar tempat tinggalnya, dengan tujuan antara lain mendapatkan
kesegaran jasmani dan rohani, serta keinginan untuk mempelajari sesuatu yang dapat
dikaitkan dengan kegiatan olahraga, kesehatan, konvensi, keagamaan, dan kebutuhan
bisnis lainnya (Direktorat Jenderal Pariwisata, 1988).
Namun karena adanya peraturan daerah yang membatasi niat untuk memperluas
fasilitas akomodasi di kawasan Kintamani, pembangunan hotel resor di Toyabungkah
mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan karena Kintamani merupakan Daya Tarik
Wisata Khusus (DTWK) di Kabupaten Bangli, dan Toyabungkah merupakan bagian dari
Zona Efektif Pariwisata (ZEP) yang memuat aturan pengembangan akomodasi wisata
yang mengutamakan budaya lokal dan berbasis pada kearifan lokal. budaya Bali.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP), pembangunan di Bali harus memasukkan konsep tata ruang
tradisional yang menjadi landasan perencanaan dan pembangunan wilayah. Pengertian
Bhuana Agung dan Bhuana Alit, Konsep Tri Hita Karana, Konsep Tri Angga, Konsep Tri
Loka, Konsep Tri Mandala, Konsep Nawa Sanga/Asta Dala - Pola Sanga Mandala, dan
konsep Akasa dan Pertiwi termasuk di antara nilai-nilai tradisional. Selanjutnya di Pulau
Bali, penataan ruang dan zonasi wilayah sangat ditentukan oleh orientasi tradisional yang
ditetapkan oleh tiga (tiga) sumbu: sumbu religi, sumbu bumi, dan sumbu kosmos.
Penelitian analitik terhadap pola tata ruang tradisional di Bali, khususnya pola tata
ruang permukiman tradisional yang dapat diimplementasikan dalam perencanaan wilayah
pada hotel resor, diperlukan dalam rangka mengimplementasikan rencana tata ruang
tersebut. Dalam hal ini, konsep permukiman tradisional Bali digunakan untuk
pembangunan resort hotel di Toyabungkah, dimana konsep tersebut mencakup aspek
kehidupan sosial hingga pola kawasan pemukiman (Dwijendra 2003). Konsep ini juga
dapat digunakan untuk memandu pembangunan hotel resor di bagian lain provinsi Bali.

2. Bahan dan Metode


a. Penataan Ruang Tradisional Bali yang Mengubah Nilai Tradisional
Perda Provinsi Bali menyebutkan bahwa nilai-nilai tradisional masyarakat
Bali (kearifan lokal) diterapkan pada setiap wilayah perencanaan tata ruang, yang
dapat dimodifikasi dalam perencanaannya sebagai berikut:
i. Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos)
ii. Konsep Tri Hita Karana, yang terdiri dari tiga penyebab utama:
Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
iii. Konsep Tri Angga (tiga strata manusia): Utama Angga, Madya Angga,
dan Nista Angga.
iv. Konsep Tri Loka - Pola Tri Mandala (sistem nilai zonasi), yang meliputi:
1. Alam Atas (Swahloka) - Utama Mandala;
2. Alam Tengah (Bhuahaloka) - Madya Mandala; dan
3. Alam Bawah (Bhuahaloka) - Nista Mandala
v. Pola Nawa Sanga/Asta Dala - Sanga Mandala, yang terdiri dari:
1. Delapan arah mata angin dan satu sumbu pusat
2. Konsep Nawa Sanga menghasilkan sembilan zona berbeda.
vi. Konsep Akasa dan Pertiwi, yang mengacu pada ikatan antara langit dan
bumi.
Masyarakat Bali merancang penataan ruang dan zonasi wilayah di pulau Bali
dengan orientasi tradisional, yang didasari oleh tiga sumbu (Budihardjo, 1991).
i. Sumbu Religius adalah orientasi yang didasarkan pada jalur terbit dan
terbenamnya matahari. Nilai Utama di arah Timur/Kangin, nilai Nista di
arah Barat/Kauh, dan nilai Madya di tengah.
ii. Sumbu bumi dan hubungannya dengan gunung dan laut. Nilai Utama
untuk arah gunung/Kaja, nilai Nista untuk arah laut/Kelod, dan Madya
untuk arah tengah.
iii. Terdapat hierarki atas-bawah pada Sumbu Kosmos, yang
menghubungkan Sumbu Religius dengan Sumbu Bumi. Ia memiliki tiga
tingkatan nilai: atas (Utama), tengah (Madya), dan bawah (Nista).
Rancangan Sanga Mandala yang membagi ruang menjadi 9 (sembilan) buah,
dihasilkan oleh sumbu Kosmos, yang tercipta dengan menggabungkan sumbu Agama
dan Bumi (Adhika, dalam Dwijendra 2003).

b. Konsep Permukiman Tradisional Bali


Konsep pemukiman tradisional Bali digunakan dalam berbagai cara, namun
ada empat karakteristik berbeda yang dapat diidentifikasi (Dwijendra, 2003):
i. Aspek sosial, berkaitan dengan struktur sosial desa/banjar adat, yang
mengandung sifat-sifat seperti legitimasi dan ciri desa atau banjar adat.
ii. Dari segi orientasi kosmologis, unsur simbolik meliputi arah suci
(kaja-kangin) dan Sanga Mandala atau Tri Mandala.
iii. Ciri morfologi, kegiatan permukiman tradisional dapat dibagi menjadi
tiga kategori: inti (fasilitas banjar/candi), terbangun (permukiman),
dan periferal (belum terbangun).
iv. Arah kosmologis (Sanga Mandala) direpresentasikan dalam tata ruang,
yang terikat pada aspek fungsional. Besaran permukiman ditentukan
oleh letak utilitas dan jaringan jalan yang menghasilkan pola simpang
jalan (Catus Patha), serta pola linier dan kombinasi.
Dalam skala rumah tangga, ada tiga (tiga) pola ruang tradisional Bali yang
dapat digunakan, sebagai berikut (Dwijendra, 2003):
i. Perpotongan sumbu kaja-kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-
kauh (timur-barat) membentuk pola persimpangan jalan (Catus Patha).
ii. Pola linier; konsep Sanga Mandala kurang relevan dalam pola ini.
Sumbu kaja-kelod (utara-selatan) dan kangin-kauh (timur-barat)
mendominasi orientasi kosmologis (timur-barat). Perumahan di daerah
perbukitan Bali cenderung berdesain linier. Terasering digunakan
untuk mengatasi kemiringan topografi.
iii. Pola kombinasi menggabungkan pola simpang (Catus patha) dan pola
linier. Tata letak sumbu perumahan adalah interseksi, tetapi metode
penempatan elemen bangunan adalah linier.

Anda mungkin juga menyukai