Anda di halaman 1dari 4

Oleh: KH.

Salahuddin Wahid

Hubungan antara Islam dan politik di Indonesia


mengalami dinamika dari waktu ke waktu. Yang
pertama, bersifat pertentangan, yaitu
pertentangan dasar negara Islam melawan dasar
negara Pancasila. Dalam kurun waktu yang amat
pendek, yaitu antara 1-22 Juni 1945, diperoleh
kompromi, yakni Piagam Jakarta, yang sila
pertamanya ialah “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Piagam Jakarta ini ditolak lagi pada
17 Agustus tahun 1945. Lalu hasil kompromi
akhirnya ialah sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan yang Maha Esa” diterima dan
termaktub di dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang diresmikan pada 18 agustus
1945.

Yang kedua, bersifat pertentangan, pada


1956-1959 di dalam persidangan itu,
pertentangan dasar negara Islam sekali lagi
melawan dasar negara Pancasila. Dalam
pemungutan suara tidak ada yang bisa mencapai
dua per tiga, sehingga terancam mengalami
jalan buntu. Krisis berakhir dengan keluarnya
Dekrit Presiden 5 Juni 59, yang menyatakan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945
untuk menganti Undang-Undang Sementara
tahun 1950 yang saat itu diberlakukan.

Kemudian yang ketiga, dalam pemilu tahun 1971,


NU sebagai partai terkuat di luar Golkar
mengalami tekanan dan hambatan dalam
kampanye, karena partai NU masih
mempersoalkan negara berdasar Islam. Yang
keempat pembahasan RUU Perkawinan tahun
1973, yang merupakan pembahasan RUU
terheboh dalam sejarah Indonesia, di mana
utusan pemuda dan mahasiswa Islam menyerbu
ruangan sidang DPR. RUU ini akhirnya menjadi
undang-undang pertama, yang mempunyai pasal
yang mengandung ketentuan syariat Islam yang
khusus. Partai yang menolak undang-undang ini
adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Yang kelima, NU menerima pancasila secara


resmi di dalam muktamar NU 1984. Tindakan ini
diikuti oleh hampir semua umat Islam di
Indonesia. Yang tidak menerima hanya, yang
saya ingat hanya HMI MPO dan GPII kalau saya
tidak keliru. NU dan banyak ormas Islam
memerlukan hampir 40 tahun untuk mengubah
sikap dari menolak pancasila menuju sikap
menerima pancasila. Jadi 33 tahun yang lalu, NU
dan ormas Islam menjadi mualaf pancasila.

Majalah Tebuireng

Pada tahun 1985 NU dan ormas Islam menjadi


mualaf pancasila. Setelah ormas-ormas Islam
menerima pancasila, ternyata masih terjadi
penolakan terhadap RUU Peradilan Agama pada
tahun 1989 oleh Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Selain itu, juga terjadi penolakan terhadap
keberadaan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
(Dirjen Pendis) yang terjadi di dalam
pembahasan RUU Sisdiknas tahun 2003.
Penolakan ini dilakukan oleh tokoh pendidikan
non-Muslim dan PDI Perjuangan. Bahkan saat ini,
ada tokoh PDI Perjuangan yang meminta supaya
pendidikan Agama dihilangkan dari sekolah
negeri. Pendapat tokoh ini tidak pernah dibantah
oleh PDI Perjuangan.

Amalan-Amalan Sunah di Bulan Syawal


Hal Ini menunjukkan bahwa walaupun kita telah
sama-sama menerima pancasila, masih terdapat
perbedaan dalam menafsirkan pancasila. Kita
sama-sama menerima pancasila, tetapi ada
perbedaan dalam menafsirkan pencasila.
Perbedaan penafsiran seperti ini masih akan
terjadi di masa mendatang seperti masalah yang
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, seperti
LGBT.

Saya menafsirkan bahwa politisasi agama


adalah penggunaan ajaran agama, dalam ajaran
Islam yaitu ada Al Quran dan Hadis, untuk tujuan
politik. Politisasi di Indonesia telah berjalan sejak
awal kemerdekaan. Dampak negatif maupun
positif telah kita ketahui. Dampak negatifnya
seperti yang kita lihat tekait Pilgub DKI 2017.
Lalu, apakah semua penggunaan ajaran agama
untuk politik itu negatif dan karena itu harus
dilarang?

Mari kita lihat apa yang terjadi di dalam


perjalanan sejarah Republik Indonesia. Resolusi
jihad adalah politisasi agama yang pertama dan
jelas-jelas diperlukan untuk dapat
mempertahankan keberadaan NKRI dalam
perang melawan tentara sekutu. Saat itu,
semangat keindonesiaan belum merasuk ke
dalam jiwa warga, masih di bawah semangat
jihad untuk membela agama

Anda mungkin juga menyukai