Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH SEMINAR ISU GLOBAL

Violence by Intimate Partner

Disusun Oleh :

1. Endaryani J410211171
2. Jenita Berlian N J410211122
3. Sifa Mutia Rakhmadini J410211121
4. Khalid Abdurrahim J410201215

Dosen Pengampu :

Annisa Catur Wijayanti, S.KM., M.Epid.

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021/2022

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kekerasan Pasangan Intim atau sering disebut sebagai Kekerasan Dalam
Rumah Tangga merupakan salah satu masalah kesehatan yang signifikan. Data
terbaru yang di himpun oleh Centers for Disasters Control (CDC) dari National
Intimate Partner and Sexual Violence Survey (NISVS) tahun 2011 menunjukkan
lebih dari 10 juta wanita dan pria di Amerika Serikat mengalami kekerasan fisik
setiap tahun oleh pasangan mereka. Selanjutnya, 1 dari 5 wanita dan sekitar 1
dari 7 pria mengalami kekerasan fisik yang sangat parah yang dilakukan oleh
pasangan intim mereka. data dari NISVS juga menunjukkan bahwa hampir 1
dari 11 wanita mengalami kekerasan sexual berupa pemerkosaan oleh
pasangan mereka dan sekitar 9,2% wanita dan 2,5% pria mengalami
penguntitan oleh pasangan intim mereka.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh pasangan terhadap
pasangannya akan memberikan dampak baik langsung maupun tidak langsung
dan memiliki konsekuensi seumur hidup. Sejumlah penelitian menunjukkan,
kekerasan dalam rumah tangga selain membawa dampak cedera dan kematian
juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental dan fisik yang bersifat
akut dan kronis. Terdapat sejumlah faktor perilaku yang mungkin berperan
dalam hubungan antara Kekerasan Pasangan Intim dan hasil kesehatan yang
merugikan. Korban kekerasan tidak jarang akan melampiaskan emosinya ke
arah perilaku tidak sehat lain seperti merokok, pecandu minuman keras dan lain
sebagainya (CDC, 2015)
Beberapa studi ilmiah membuktikan bahwa melalui beberapa langkah
strategis kejadian kekerasan dalam rumah tangga dapat dicegah. Penyusunan
makalah ini salah satu tujuannya adalah untuk memberikan informasi terkait
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) termasuk langkah-langkah
pencegahan dan pengendaliannya sehingga diharapkan dapat memberikan
manfaat bagi pembacanya dalam upaya mengurangi kejadian Kekerasan dalam
rumah tangga.

1
B. TUJUAN

Adapun tujuan penyusunan paper Violence by Intimate Partner adalah:


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Violence by Intimate Partner
2. Mengetahui jenis-jeis Violence by Intimate Partner
3. Mengetahui unsur-unsur penyebab Violence by Intimate Partner
4. Mengetahui cara pencegahan Violence by Intimate Partner
5. Mengetahui alur pelaporan Violence by Intimate Partner

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Violence by Intimate Partner


Violence by Intimate Partner atau kekerasan pasangan intim adalah salah
satu bentuk yang paling umum kekerasan terhadap perempuan dan mencakup
fisik, seksual, danpelecehan emosional dan perilaku pengendalian oleh
pasangan intim. Kekerasan pasangan intim terjadi di semua pengaturan dan di
antara semua kelompok sosial ekonomi, agama dan budaya. Beban global yang
luar biasa ditanggung oleh wanita.Meskipun wanita bisa melakukan kekerasan
dalam hubungan dengan pria, sering kali dalam membela diri,dan kekerasan
terkadang terjadi dalam kemitraan sesama jenis, yang paling umumpelaku
kekerasan terhadap perempuan adalah pasangan intim laki-laki ataumantan
pasangan. Sebaliknya, pria jauh lebih mungkin mengalami tindakan
kekerasanoleh orang asing atau kenalan daripada oleh seseorang yang dekat
dengan mereka (WHO. 2012).
Kekerasan pasangan intim terjadi dalam ranah personal maupun keluarga.
Kekerasan dalam ranah keluarga yang biasa kita sebut dengan kekerasan
dalam rumah tangga merupakan salah satu masalah yang bersifal global yang
berdampak luas terhadap kesehatan. Kekerasan terjadi akibat kesenjangan
kekuasaan. Pemegang kuasa mempunyai peluang untuk melakukan kekerasan
kepada yang lemah. Di lingkup rumah tangga, perempuan dan anak sering kali
menjadi kelompok yang lemah sehingga kerap kali terjadi kekerasan pada
kelompok ini. Meskipun demikian, kejadian KDRT tidak disebabkan oleh faktor
yang tunggal, melainkan multi faktor. Terdapat keterkaitan yang kuat antara
faktor individu, hubungan, lingkungan maupun masyarakat yang merupakan
penyebab terjadinya KDRT. Hal ini dapat digambarkan melalui contoh kasus
sebagai berikut. Riwayat masa kecil yang sering menyaksikan kekerasan dan
diperburuk dengan faktor kemiskinan dapat mempengaruhi kesehatan mental
seseorang sehingga hal ini dapat berpengaruh dalam hubungan rumah tangga
yang memicu terjadinya KDRT. Kekerasan tersebut bukan hanya yang
berbentuk fisik, tetapi juga kekerasan psikis, sosial ekonomi dan seksual yang
sering kali luput dari perhatian. Bagaikan fenomena gunung es dimana jumlah

3
kasus yang terlapor tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya jauh lebih
banyak. Pada tahun 2000, kematian akibat kekerasan di dunia mencapai 1,6
jiwa dengan angka kematian mencapai 28,8 per 100.000 jiwa. Adapun 49,1%
disebabkan karena bunuh diri dan 31,3% akibat pembunuhan. Kematian akibat
kekerasan terjadi di negara-negara berkembang mencapai dua kali lipat dari
negara maju (Riskesdas 2007). Dalam laporan Komnas Perempuan jumlah
kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat pesat dalam
kurun waktu 10 tahun terakhir. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan
pada tahun 2010 sebanyak 105.103 dan pada tahun kasus 2009 mencapai
143.586 orang. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu 54.425
(2008), 25.522 (2007) dan 22.512 (2006). Menurut bentuk kekerasan yang
dialami pada tahun 2009, yang terbanyak yaitu KDRT (95%), diikuti dengan
kekerasan komunitas (5%) dan kekerasan berkaitan dengan peran negara (1%).
Dalam KDRT, kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang
mendominasi (48,68%), diikuti dengan kekerasan psikis (48,28%), kekerasan
ekonomi (1,83%) dan kekerasan fisik (1,21%).
Sejak awal tahun 1980an, ilmu kesehatan masyarakat telah menaruh
perhatian terhadap permasalahan kekerasan. Penelitian dan kajian telah
dilakukan untuk memahami akar permasalahan kekerasan dan cara mencegah
serta mengurangi kejadian kekerasan. Riskesdas tahun 2007, menunjukkan
bahwa data nasional prevalensi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
kekerasan antara lain gangguan mental emosional pada umur ≥15 tahun
sebesar 11,6%, kebiasaan minum alkohol sebesar 4,6%, dan penduduk usia
>10 tahun yang merokok setiap hari sebesar 24%. Faktor-faktor yang menjadi
akar terjadinya kejadian KDRT ini, baik yang berasal dari kebiasaan, sikap,
kondisi budaya maupun interpretasi agama, sebenarnya dapat dimodifikasi.
Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat akan menimbulkan kerugian yang besar bagi
Negara, sehingga setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga
berarti investasi bagi pembangunan Negara. Pada pasal 158 disebutkan bahwa

4
upaya yang dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan
untuk berperilaku sehat dan mencegah terjadinya kekerasan khususnya dalam
rumah tangga beserta akibat yang ditimbulkannya.

B. Jenis-jenis Violence by Intimate Partner


Sebelumnya telah dijelaskan, kekerasan terjadi akibat kesenjangan
kekuasaan. Pemegang kuasa mempunyai peluang untuk melakukan kekerasan
kepada yang lemah. Perempuan dan anak sering kali menjadi kelompok yang
lemah sehingga kerap kali terjadi kekerasan pada kelompok ini.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan terhadap istri (KTI),
kekerasan dalam pacaran (KdP), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP),
kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) dan kekerasan mantan
pacar (KMP), kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga, dan ranah
personal lainnya.
Berdasarkan Grafik 8
menunjukkan bahwa jumlah
kekerasan tertinggi di ranah
KDRT/relasi personal sama
seperti tahun sebelumnnya yaitu
KTI yang mencapai 3.221 kasus
atau 50% dari keseluruhan kasus
di ranah KDRT/RP, disusul dengan
KDP berjumlah 1.309 kasus atau
20 %, disusul dengan KTAP
dengan 954 kasus atau 15%.
Sisanya adalah 401 kasus (6%) KMP, 127 kasus (2%) KMS dan 457 kasus (7%)
adalah bentuk kekerasan lain di ranah personal. Tingginya KTI ini menunjukkan
konsistensi laporan tertinggi dibanding jenis KDRT lainnya meskipun di masa
pandemi.
Ketiga kasus pada grafik selalu menempati kasus tertinggi selama lima tahun
terakhir, hal ini bisa dilihat dari grafik berikut:

5
Secara umum tahun 2020, ketiga jenis kekerasan mengalami penurunan
jumlah. Namun penurunan jenis KDP tidak drastis seperti dua bentuk kekerasan
lainnya yaitu KTI dan KTAP. Hal ini tidak lepas dari Pandemi Covid 19, dimana
mobilitas isteri dan anak perempuan terbatas sehingga kesulitan mengakses
lembaga layanan selain mengalami penutupan, juga sistemnya berubah menjadi
layanan online. Sedangkan kenaikan pada KDP ini sejalan dengan naiknya
kasus KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) yang umumnya dilakukan
dalam relasi pacaran.
Grafik di samping
menunjukkan bentuk
kekerasan terhadap
perempuan dalam relasi
personal/privat. Bentuk
kekerasan terbanyak
adalah fisik (31% atau
2.025 kasus) disusul
kekerasan seksual
(30%/1.938 kasus).
Selanjutnya kekerasan
psikis yang mencapai 1792 kasus atau 28% dan terakhir kekerasan ekonomi
yang mencapai 680 kasus atau 10%. Pola ini sama seperti pola tahun
sebelumnya. Kekerasan seksual secara konsisten masih menjadi terbanyak

6
kedua yang dilaporkan dan memperlihatkan bahwa rumah dan relasi pribadi
belummenjadi tempat yang aman bagi perempuan.

C. Faktor penyebab Violence by Intimate Partner


Menurut WHO, faktor risiko tindak kekerasan adalah sebagaimana
digambarkan pada gambar berikut:

Faktor risiko sebagai penyebab potensial KDRT (melalui survei dan penapisan/
skrining):
1. Faktori ndividu
a. Penelantaran anak
b. Pengalaman kekerasan di masa lalu
c. Penyimpangan psikologis atau personal
d. Penyalahgunaan alkohol dan NAPZA
2. Faktor risiko keluarga
a. Pola pengasuhan yang buruk
b. Konflik keluarga
c. Kekerasan oleh pasangan
d. Rendahnya status sosial ekonomi
e. Keterlibatan orang lain dalam masalah kekerasan

7
3. Faktor risiko komunitas
a. Kemiskinan
b. Kriminalitas tinggi
c. Banyaknya pengangguran
d. Mobilitas penduduk yang tinggi
e. Perdagangan obat terlarang
f. Lemahnya kebijakan institusi
g. Kurangnya sarana pelayanan korban
h. Faktor situasional
4. Faktor risiko lingkungan social
a. Perubahan lingkungan sosial yang cepat
b. Kesenjangan ekonomi
c. Kesenjangan gender
d. Kemiskinan
e. Lemahnya jejaring ekonomi
f. Lemahnya penegakan hokum
g. Budaya yang mendukung kekerasan
h. Tingginya penggunaan senjata api illegal
i. Masa konflik – post konflik

D. Pencegahan Violence by Intimate Partner


Pengendalian KDRT meliputi upaya promotif dan preventif.
1. PROMOTIF
Upaya promotif terhadap tindak KDRT dilakukan dengan
memberdayakan masyarakat melalui sosialisasi untuk meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang KDRT, dampak dan pengendaliannya
termasuk cara-cara pencegahannya di dan oleh berbagai lapisan dan tingkat
masyarakat. Materi sosialisasi terdiri dari seluruh peraturan.perundang-
undangan, kebijakan dan program, serta mekanisme dan fasilitas
pencegahan tindak KDRT di Indonesia. Sosialisasi dilakukan dengan
memanfaatkan kesempatan yang tersedia dan menggunakan berbagai
saluran yang memungkinkan.

8
2. PREVENTIF
Upaya preventif terdiri dari kegiatan deteksi dini tindak KDRT yang
potensial terjadi di masyarakat melalui kegiatan surveilans,
penapisan/skrining dan pemantauan melalui survei, serta pengkajian
laporan-laporan dan pencatatan yang berasal dari berbagai pihak
masyarakat seperti RT/RW dan Polisi. Faktor risiko yang potensial
menyebabkan terjadinya tindak KDRT seperti pengangguran, kemiskinan,
konsumsi alkohol NAPZA, lingkungan pemukiman kumuh, tinggal di
perumahan liar, penduduk tidak tetap, sikap dan perilaku emosional, pola
pengasuhan, dan lain-lain. Faktor risiko ini diperlukan untuk pemetaan
potensi masalah di suatu wilayah. Pengetahuan tentang faktor risiko ini dpat
digunakan untuk mengembangkan instrumen deteksi dini baik berupa
surveilans maupun penapisan. Sumber data lain untuk mengembangkan
instrumen deteksi dini juga dapat berasal dari pencatatan kasus di fasilitas
kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit), Kepolisian Wilayah, Kantor
Kelurahan, dan Kantor Urusan Agama. Disamping deteksi dini, upaya
preventif dapat diperluas dengan kegiatan penanganan segera/sementara
kasus/korban tindak KDRT sebelum diteruskan ke tahap penanganan
berikutnya yaitu pelayanan komprehensif sesuai Standar Pelayanan Minimal
(SPM). Bentuknya antara lain pengamanan sementara bagi korban,
konseling/wawancara,pencatatan dan pelaporan dan mempersiapkan
rujukan dan mengupayakan pendampingan sampai korban mendapatkan
penanganan selanjutnya.

E. Dasar Hukum
1. Nasional
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 27
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.b
c. Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Deskriminasi Terhadap
Wanita (Lembaran Negara Th. 1984 No. 29, Tambahan Lembaran
Negara 3277)

9
d. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Lembaran Negara Th 1999 No
165, Tambahan Lembaran Negara No. 3886)
e. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
f. UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
g. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
h. UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
i. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
j. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
k. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Kota
l. Keputusan Presiden RI No. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan
m. Instruksi Presiden RI No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional
n. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan No. 1 tahun 2007
tentang Forum Koordinasi Penyelenggaraan Kerjasama Pencegahan
dan Penanganan KDRT
o. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak No. 1 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
p. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
No. 6 Tahun 2011 tentang Pencegahan dan pencegahan kekerasan
terhadap anak di lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.
2. Internasional
a. Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against
Women (CEDAW) yang diratifikasi dengan Undang Undang No. 7 tahun
1984
b. Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
tahun 1989 (Rekomendasi Umum 12 Bidang ke-8)

10
c. Rekomendasi Umum No. 19 Sidang II tahun 1992 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
d. Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia tahun 1993, yang
dirapatkan oleh Sidang Umum PBB dengan Resolusi No. 45/155,
Desember 1990
e. Resolusi Mejelis Umum PBBNP 48/104 Th. 1993 yang mengutuk setiap
bentuk kekerasan terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun
masyarakat atau oleh Negara
f. Konferensi Kependudukan ICPD Cairo 1994
g. Konferensi Dunia IV tentang Perempuan di Beijing 1995
h. Optional Protocol Conferencetanggal 28 Februari 2000
i. Millenium Development Goalstahun 2000

F. Alur pelaporan Violence by Intimate Partner


Wadah kegiatan pengendalian KDRT ini dinamakan Tim Pengendalian
Tindak KDRT Masyarakat (TP-TKM). Walaupun kegiatan berpusat di tingkat
kelurahan, kegiatan tim ini dikoordinasikan di tingkat kecamatan. Koordinatornya
adalah Camat dengan Wakil adalah Kepala Satuan Polisi di tingkat Kecamatan,
dan Sekretarisnya adalah Kepala Puskesmas. TP-TKM beroperasi di tingkat
Kelurahan/Desa, dengan diketuai oleh Lurah/Kepala Desa dengan wakil adalah
Polisi yang bertugas di desa (Mantri Polisi) dan tokoh agama setempat serta
sekeretarisnya adalah ketua RW. Anggota TPTKM di tingkat desa terdiri dari
Ketua RT, Bidan Desa, Koordinator PKK, Koordinator Kader Kesehatan dan
lainlain sesuai dengan situasi setempat.

11
sumber :Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Pengendalian tindak KDRT berpusat di tingkat kelurahan (desa). Pusat


pengendalian dilakukan di Kantor Kelurahan dengan menerima laporan atau
pengaduan dari korban, anggota keluarga korban, tetangga korban, dan warga
masyarakat lain yang menyaksikan, baik secara langsung maupun melalui
aparat atau petugas yang bekerja di tingkat kelurahan atau desa seperti kader,
bidan desa, tenaga kesehatan yang ada di desa (mantri dan perawat) dan
petugas Linmas atau satpam. Tingkatan selanjutnya diatas korban dan aparat
tersebut adalah Polisi, Ketua RT/RW,tokoh agama/adat setempat yang
selanjutnya dapat membawa korban ke Kantor Kelurahan/Kepala Desa,
Kantor/Pos Polisi Desa dan selanjutnya ke Puskesmas atau Rumah Sakit.
Korban dapat juga datang atau dibawa langsung ke Kantor Kelurahan, Kantor
Polisi Desa, Puskesmas dan Rumah Sakit sesuai dengan keadaan dan
kebutuhannya.

12
sumber :Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

13
BAB III
SIMPULAN

Violence by Intimate Partner atau kekerasan pasangan intim adalah salah satu
bentuk yang paling umum kekerasan terhadap perempuan dan mencakup fisik, seksual,
danpelecehan emosional dan perilaku pengendalian oleh pasangan intim. Kekerasan
pasangan intim terjadi di semua pengaturan dan di antara semua kelompok sosial ekonomi,
agama dan budaya.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan terhadap istri (KTI), kekerasan
dalam pacaran (KdP), kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP), kekerasan yang
dilakukan olehmantansuami (KMS) dan kekerasan mantan pacar (KMP), kekerasan yang
terjadi pada pekerja rumah tangga, dan ranah personal lainnya.
Kekerasan terhadap istri, di tahun 2020 dan tahun sebelumnya menunjukkan jumlah
kekerasan tertinggi di ranah KDRT yakni menapai 3.221 kasus atau 50% dari keseluruhan
kasus di ranah KDRT. Adapun bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah KDRT terbagi
menjadi empat bentuk, yakni fisik, seksual, psikis dan ekonomi dan bentuk kekerasan fisik
menjadi bentuk kekerasan terbanyak yang sering dialami di ranah KDRT, sedangkan
kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan terbanyak kedua yang sering dialami di ranah
KDRT. Hal ini membuktikan bahwa rumah dan relasi pribadi belum bisa menjadi tempat
yang aman bagi perempan di rumah tangga.
Faktor penyebab/faktor risiko terjadinya tindak kekerasan menurut WHO dibagi
menjadi empat faktor utama yakni individu, keluarga, komunitas dan lingkungan sosial.
Pengalaman kekerasan di masa lalu dan penyimpangan psikologis atau personal merupakan
hal yang dapat memicu penyebab KDRT yang berasal dari faktor individu, sedangkan pola
pengasuhan yang buruk dalam keluarga dan rendahnya status sosial ekonomi keluarga
merupakan ccontoh penyebab KDRT yang berasal dari faktor keluarga. Faktor penyebab
KDRT tang berasal dari komunitas contohnya karena kriminalitas yang tinggi, banyaknya
pengangguran dan kurangnya sarana pelayanan korban. Dan, Faktor penyebab KDRT yang
berasal dari lingkungan sosial dapat disebabkan karena kesenjangan ekonom, perubahan
lingkungan sosial d an adanya budaya yang mendukung kekerasan.
Pencegahan dan pengendalian KDRT meliputi upaya promotif dan preventif. Upaya
promotif dilakukan dengan memberdayakan masyarakat melali sosialisasi untuk

14
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang KDRT, dampak dan pengendaliannya
di dan oleh barbagai lapisan dan tingkat masyarakat. Upaya preventif sendiri dapat
dilakukan melalui kegiatan deteksi dini tindak KDRT yang potensial terjadi di masyarakat
melalui kegiatan surveilans, penapisan/skrining dan pemantauan melalui survei, serta
pengkajian laporan-laporan dan pencatatan yang berasal dari berbagai pihak masyarakat
seperti RT/RW dan Polisi

DAFTAR PUSTAKA

Beirding, J. Mattew et al. 2015. Intimate Partners Violance Surveillans Uniform


Definitons and Recommended Data Elements: Versions 2. CDC: Atlanta

Kementrian Kesehatan. 2012. Pedoman Pengendalian Kekerasan Dalam Rumah


Tangga. http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/2016/10/Pedoman-Pengendalian-
Kekerasan-dalam-Rumah-Tangga.pdf

15
Komnas Perempuan. 2021. Perempuan dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan
kekerasan Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak dan Keterbatasan
Penanganan di tengah Covid-19. CATAHU 2021: Catatan Tahunan Kekerasan
Terhadap Perempuan tahun 2020. https://komnasperempuan.go.id/siaran-
pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-
maret-2021

WHO. Violence By Intimate Partners Chapter 4.


https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/77432/WHO_RHR_12.36_eng.
pdf

16

Anda mungkin juga menyukai