Anda di halaman 1dari 23

EKONOMI KELEMBAGAAN (EKI416)

TEORI PERUBAHAN KELEMBAGAAN


Dosen Pengampu : Dr.Ni Nyoman Reni Suasih,S.IP.,M.Si

Oleh:
Kelompok 5

1. Pande Putu Selvi Ari (2107511080/21)


2. Putu Sindy Riananda Puteri (2107511081/22)
3. Ni Komang Riza Fitria Dewi (2107511085/23)
4. Christin Anastasya Melati Br Nainggolan (2107511086/24)
5. David Christian Hanjaya (2107511116/25)
6. Ni Luh Gede Sumas Windari (2107511130/26)

PROGRAM STUDI SARJANA EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunianya yang memberikan kesehatan dan kesempatan bagi kami sehingga dapat
menyelesaikan paper ini dengan tepat waktu.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ni Nyoman Reni
Suasih,S.IP.,M.Si selaku dosen pengajar mata kuliah ini dan telah memberikan arahan dalam
penyelesaian paper ini. Paper ini disusun dengan harapan memberikan wawasan dan
pengetahuan dalam pembelajaran “Teori Perubahan Kelembagaan”.
Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan dan juga kritik yang membangun agar nanti
paper ini bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kami berharap paper ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membaca. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.

Jimbaran, 29 April 2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 2

1.2. Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 3

2.1. Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen ......................... 3

2.2. Perubahan Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan ......................... 5

2.3 Alat Ukur Dan Variabel Perubahan Kelembagaan ............................. 8

2.4 Organisasi, Pembelajaran Dan Perubahan Kelembagaan ................. 13

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 18

3.2 Saran............................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan adalah sebuah fenomena alami kehidupan manusia dan organisasi di
dunia. Demikian alaminya, sehingga kadang manusia bersikap biasa, meremehkan dan
bahkan membiarkan perubahan terjadi. Meskipun berbilang musim dan tahun, bahkan
dasawarsa, ada manusia dan lembaga yang tetap jumud, karena tidak dikelola dan
dilakukan perubahan disengaja, diniatkan, terprogram dengan baik walaupun jumlah
kelompok ini tak banyak. Jumlah yang banyak adalah lembaga yang melakukan perubahan,
dan dalam skala yang lebih kecil adalah perubahan terprogram (planned change) dan
kemudian berimbas menjadi adaptif dan berhasil, sesuatu yang dapat menjamin kemajuan
dan bahkan keberlanjutan organisasi. Ungkapan Darwin tentang survival of the fittest dan
Blancard mengenai the key to successful leadership is influence not authority di antara
argumen pentingnya perubahan kelembagaan atau change. Berusaha mempertahankan diri
agar tetap hidup dan bertahan dalam kondisi lingkungan yang selalu berubah merupakan
persoalan yang tidak mudah, karena lingkungan sangat sulit untuk diprediksi dengan masa
diskontinuitas, sehingga mengharuskan sebuah organisasi untuk bergerak cepat dengan
adanya perubahan yang fundamental pada suatu lingkungan bisnis yang kompleks dan
turbulen, oleh karena itu setiap organisasi harus siap melakukan perubahan.
Secara umum perubahan merupakan suatu cara mengarahkan atau memimpin
organisasi untuk melakukan sesuatu yang berbeda dan bersifat menyeluruh dengan
menggunakan cara atau sistem yang lebih efisien sehingga organisasi dapat bertahan serta
berkembang searah dengan perkembangan lingkungannya. Melalui perubahan organisasi,
maka perubahan kinerja organisasi menjadi semakin jelas, mengikat antara apa yang
dilakukan dan hasilnya, lebih banyak energi, komitmen, dan semangat yang akan
dihasilkan selama proses perubahan. Passmore dan Kotler mengemukakan delapan langkah
perubahan terutama ditujukan pada level strategi yaitu : pertama menciptakan suasana yang
mendesak, kedua membentuk koalisi untuk mengarahkan proses perubahan, k etiga
menciptakan visi, keempat mengkomunikasikan visi, kelima mendelegasikan wewenang
pada orang-orang untuk menjalankan visi, keenam merencanakan dan menciptakan
keberhasilan kecil, ketujuh mengkonsolidasikan perbaikan untuk menghasilkan lebih
banyak perubahan, melembagakan pendekatan baru, dan kedelapan melembagakan
pendekatan-pendekatan baru.Patut disadari bahwa kelembagaan tidaklah statis, namun

1
dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Di luar
itu, sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh masa.
Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau
kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama,
perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan
kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan
dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/ konfigurasi) pelaku ekonomi.
Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk memengaruhi atau mengatur
kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai
instrumen untuk mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di
dalamnya). Dari dua spektrum tersebut, bisa diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama
pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan seperangkat
teori yang diperlukan sebagai pemandu proses perubahan kelembagaan. Berubahnya nilai-
nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan paper ini yakni,
1.2.1 Bagaimana perubahan kelembagaan dan transformasi permanen?
1.2.2 Bagaimana perubahan kelembagaan dan kelompok kepentingan?
1.2.3 Apa alat ukur dan variabel perubahan kelembagaan?
1.2.4 Bagaimana organisasi, pembelajaran dan perubahan kelembagaan?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan paper ini yakni,
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami mengenai perubahan kelembagaan dan
transformasi permanen
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami mengenai perubahan kelembagaan dan
kelompok kepentingan
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami alat ukur dan variabel perubahan kelembagaan
1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami mengenai organisasi, pembelajaran dan
perubahan kelembagaan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Kelembagaan dan Transformasi Permanen


Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di
dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan
tersebut biasanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum
di dalam kelembagaan yang saling berhubungan, sementara pada waktu yang bersamaan
terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang
kompleks. Perbedaan tersebut bisa berarti juga memperluas mata rantai saling
ketergantungan yang menuntut adanya integrasi. Dalam posisi ini, perbedaan dan integrasi
merupakan proses pelengkap/complementary process (Manig, 1991:17). Perubahan
kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian dari
pembangunan. Oleh karena itu, tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah
untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar dari perbaikan
pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan
baru, misalnya keadilan sosial (Manig, 1992:5).
Dengan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai
proses terus-menerus yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas interaksi (ekonomi)
antarpelakunya. Ini menunjukkan bahwa proses transformasi permanen merupakan bagian
penting dari perubahan kelembagaan. Basis utama dari transformasi permanen adalah
kesadaran bahwa aspek-aspek sosial terus berkembang sebagai respons dari perubahan
pada bidang-bidang lainnya, seperti ekonomi, budaya, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Namun, pada sisi lain, rekayasa sosial (social engineering) juga sangat mungkin dilakukan
sebagai cara untuk mengubah struktur ekonomi, politik, hukum, dan budaya agar berjalan
ke arah yang diharapkan. Rekayasa sosial inilah yang juga bisa menjadi sumber perubahan
kelembagaan, dalam konteks perubahan pola interaksi ekonomi antarpelakunya.
Dengan begitu, apabila perubahan kelembagaan dianggap sebagai proses
transformasi permanen, maka perubahan kelembagaan dapat menjadi faktor pengaruh
utama terhadap perubahan struktur dalam sistem sosial tertentu, bagaimanapun tingkat
kecepatan atau sumber perubahan itu sendiri. Pada aras ini, perubahan kelembagaan
diandaikan mempunyai kekuatan yang aktif (besar) dalam mempengaruhi aspek -aspek
kehidupan sosial, hukum, ekonomi, politik, dan lain-lain. Jika dipadatkan, pernyataan

3
berikut ini membawahi lima proposisi yang mendefinisikan karakteristik dasar dari
perubahan kelembagaan (North, 1995:23):
1 Interaksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus di dalam
setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi, merupakan
kunci terjadinya perubahan kelembagaan.
2 Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan
pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuan diperlukan
oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang
kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan.
3 Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang
dianggap memiliki pertukaran maksimum (maximum pay-off).
4 Persepsi berasal dari konstruksi/bangunan mental para pemain/pelaku (mental
constructs of the players).
5 Cakupan ekonomi, komplementaritas, dan eksternalitas jaringan matriks
kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki
jalur ketergantungan (path dependent).
Proposisi di atas sesungguhnya berdiri di atas keyakinan umum bahwa perubahan
kelembagaan sesungguhnya terjadi karena munculnya masalah kelangkaan dan perilaku
individu yang sulit untuk ditebak. Kelangkaan di sini tidak sekadar persoalan keterbatasan
sumber daya (ekonomi) yang tersedia, namun juga keterbatasan aturan main (rules of the
game) yang mengakibatkan pelaku ekonomi tidak memiliki akses untuk melakukan
transaksi secara sepadan. Sedangkan menyangkut perilaku individu yang sulit dikontrol,
masalah yang mengemuka adalah perilaku oportunisme. Oportunisme menjadi pintu
pembuka yang memungkinkan terjadinya perubahan kelembagaan, karena jika hal itu
tidak dilakukan akan terdapat pihak lain yang dirugikan. Namun, di sudut lain,
oportunisme juga bisa berlaku sebaliknya: memaksakan terjadinya perubahan
kelembagaan agar terdapat ruang untuk memetik keuntungan yang lebih besar (secara
ilegal). Hal ini dapat berlangsung bila kekuatan antarpelaku ekonomi bersifat asimetris.
Perubahan kelembagaan bisa pula muncul dari perubahan tuntutan pemilih
(demands of constituents) atau perubahan kekuasaan pemasok kelembagaan (suppliers of
institutions), yaitu aktor pemerintah. Misalnya, jika perubahan teknologi mendorong
kepada peningkatan nilai lahan, bisa ditebak bila tekanan para pemilik lahan terhadap
politisi akan semakin besar untuk mendefinisikan hak-hak atas tanah secara lebih tepat
guna mencegah kehilangan/pemborosan sewa (dissipation of rents). Alternatifnya,

4
perubahan kelembagaan dapat muncul dari perubahan sisi penawaran. Akibat dari hasil
pemilihan baru tersebut (new election), politisi bisa kehilangan kekuatan politik
berhadapan dengan kelompok lain, di mana hal itu juga dapat menyebabkan perubahan
dalam struktur kelembagaan; atau politisi yang telah mewakili beberapa pemilih dapat
memunculkan insentif yang berbeda sebagai hasil dari perubahan tuntutan pemilihnya
(Alston dan Ferrie, 1996:304-305).
Selanjutnya, North percaya terdapat dua faktor utama sebagai cara untuk
memahami dinamika perubahan kelembagaan (Hira dan Hira, 2000:273). Pertama,
perubahan kelembagaan sebagai hubungan simbiotik (symbiotic relationship) antara
kelembagaan dan organisasi yang mengelilingi di sekitar struktur insentif yang disediakan
oleh kelembagaan. Kedua, perubahan kelembagaan sebagai proses umpan balik (feedback
process) di mana individu merasa dan bereaksi terhadap perubahan berbagai kesempatan.
Dengan kata lain, hubungan yang pertama menegaskan bahwa organisasi bersikap optimis
untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Sedangkan berkaitan dengan rintangan
kedua, North merujuk kepada kebutuhan terhadap adanya transparansi dan akuntabilitas
dana dalam rangka mengurangi biaya informasi pemilih (reducing the information costs
of the voter).
2.2 Perubahan Kelembagaan dan Kelompok Kepentingan
Proses perubahan kelembagaan tersebut seperti perubahan harga relatif mendorong
satu atau kedua pihak mengadakan pertukaran, Apakah politik atau ekonomi, untuk
menunjukkan bahwa satu atau kedua belah pihak dapat bekerja lebih baik dengan
kesepakatan atau kontrak yang telah diperbarui. Tentu saja terdapat usaha-usaha yang
harus dilakukan untuk menegosiasikan kembali kontrak tersebut. Tetapi, karena kontrak
disusun dalam peraturan yang hierarkis, renegosiasi tidak mungkin dilakukan tanpa
adanya restrukturisasi peraturan yang lebih tinggi atau menyimpang dari beberapa norma
perilaku. Dalam kasus ini, pihak yang ingin memperbaiki posisi tawarnya bisa berusaha
memberikan sumber dayanya untuk mendorong restrukturisasi peraturan pada level yang
lebih tinggi. Dalam dalam kasus norma perilaku (norm of behavior), perubahan harga
relatif atau perubahan selera (change in tastes) akan mendorong ke erosi secara perlahan
menuju ke perubahan norma yang berbeda. Dalam selang waktu tertentu peraturan itu bisa
diubah atau diabaikan, bahkan tidak ditegakkan. Begitu pula adat atau tradisi bisa secara
perlahan terkikis dan diganti dengan yang lain. Pada titik ini, tersedia dua cara yang
berbeda untuk menganalisis perubahan kelembagaan yaitu:

5
• Pendekatan pertama, yaitu melihat perubahan kelembagaan hanya dari aspek biaya dan
manfaat dan meyakini bahwa kekuatan motif seperti perubahan harga relatif dalam
jangka panjang dapat membangun kelembagaan yang lebih efisien. Pendekatan ini
biasa disebut sebagai "teori naif" dari perubahan kelembagaan menurut Eggerston
(1990). Teori Naif memfokuskan pada hasil perubahan kelembagaan dan menyatakan
bahwa kelembagaan yang efisien bisa muncul secara otomatis walaupun semu .
• Pendekatan kedua, yaitu memandang perubahan kelembagaan sebagai hasil dari
perjuangan antara kelompok-kelompok kepentingan, yang kemudian populer Disebut
sebagai "teori kelompok kepentingan" dari perubahan kelembagaan. Teori kelompok
kepentingan menekankan kepada proses yang mendorong ke arah perubahan
kelembagaan tersebut. Dalam posisi ini Teori Naif dan Teori Kelompok kepentingan
tidak memiliki kaitan, Karena perjuangan antara kelompok kepentingan untuk
perubahan kelembagaan tersebut bisa mendorong kepada penciptaan kelembagaan
yang efisien. Namun, teori kelompok kepentingan juga peduli dengan pertanyaan
mengapa kelembagaan yang tidak efisien itu terjadi. Oleh karena kelembagaan yang
tidak efisien seringkali bersinggungan dengan hambatan aspek -aspek sosial ekonomi
pembangunan, maka teori kelompok kepentingan dirasakan lebih tepat digunakan
untuk memahami proses perubahan kelembagaan.
Sementara itu Hira (2000) menjelaskan perubahan kelembagaan dari perspektif
yang berbeda. Pertama, perubahan kelembagaan terjadi sebagai reaksi dari faktor ekonomi
baru yang biasanya direfleksikan dengan adanya perubahan harga relatif dan selera.
Kedua, wirausahawan baik organisasi maupun individu mengeksploitasi seluruh potensi
yang terdapat dalam sebuah sistem kelembagaan, yang ujung-ujungnya akan
menghasilkan perubahan yang inovatif. Kelembagaan dapat berubah lewat salah satu dari
dua cara yang dijelaskan. Ada Aras ini, partisipan transaksi dapat mengubah secara hukum
melalui formalisasi penulisan kembali peraturan, mengkomunikasikan perubahan kepada
mereka yang dipengaruhi, dan mengawasi serta menegakkan perilaku yang bertentangan
dengan aturan baru yang telah diciptakan atau disepakati. Alternatif lainnya, peraturan
dapat mengubah secara de facto dengan jalan menghentikan pengawasan dan penegakan
aturan yang ada atau dengan memberikan interpretasi baru atas aturan yang telah ada lewat
cara yang lebih liberal. Beberapa ahli ekonomi berargumentasi bahwa kelembagaan yang
eksis dalam perekonomian dan masyarakat adalah efisien karena kelembagaan ini
merupakan pencapaian potensial atau kompetisi nyata di antara alternatif kesepakatan-
kesepakatan kelembagaan. Dalam konteks ini tuntutan efektif terdapat perubahan

6
kelembagaan pada dasarnya digunakan untuk mengubah atau menurunkan biaya transaksi.
Perubahan kelembagaan yang dipicu secara pribadi akan terjadi jika biaya transaksi
marginal berubah dan kelembagaan yang baru lebih efisien daripada kelembagaan yang
lama. Namun Adapun kesimpulan menurut ahli Ahrens (2000) bisa menyesatkan karena
tiga alasan yaitu:
1 Karena masalah penunggang gelap atau free riders perubahan kelembagaan tidak
perlu terjadi meskipun terdapat tuntutan bagi berlangsungnya perubahan
kelembagaan.
2 Sekalipun kelompok-kelompok dari individu secara sukarela menyetujui terhadap
kesepakatan kelembagaan yang baru menghasilkan keuntungan bersih di mana
diharapkan laba tersebut bisa positif untuk masing-masing individu tetap saja
kesepakatan itu tidak akan meningkatkan keuntungan sosial.
3 Interpretasi terhadap perubahan kelembagaan yang efisien mengabaikan industri
kekuasaan di dalam ekonomi. Jika misalnya, pelaku atau kelompok individu cukup
berkuasa dalam melakukan perubahan kelembagaan kepada pihak yang lain maka
hal itu bisa terjadi dengan menempatkan pelaku yang lain dalam kondisi yang lebih
buruk. Oleh karena itu, proses perubahan kelembagaan tidak bisa secara langsung
tetapi melalui proses yang rumit, meskipun aturan-aturan formal bisa mengubah
kelembagaan secara cepat lewat keputusan politik dan pengadilan. Di mana
pertukaran yang saling meniadakan atau trade off mungkin akan muncul antara
biaya dan waktu transformasi kelembagaan (Zhang, 2000).
Menurut Davis/North (1971) dan Bromley (1989), ada 4 hal yang meliputi individu atau
kelompok yang berusaha mengubah kesepakatan kelembagaan atau lingkungan-
kelembagaan, bisa dipertimbangkan sebagai sumber perubahan seperti:
1 Perubahan harga relatif dalam jangka panjang bisa mendorong ke peningkatan
aktivitas ekonomi tertentu atau membuat aktivitas ekonomi baru .
2 Kesempatan teknologi baru bisa menciptakan pendapatan yang potensial yang
hanya dapat ditangkap jika kelembagaan ekonomi yang sedang berjalan dapat
diubah.
3 Kesempatan dalam mencari rente atau rent seeking dapat memicu kelompok
kepentingan melakukan perubahan kelembagaan guna menyesuaikan sewa dan
redistribusi pendapatan sesuai keinginannya.
4 Perubahan dalam sikap kolektif, bisa juga menyebabkan perubahan kelembagaan.

7
Sisi lain, adapun ahli yaitu Scotr (2000), mengidentifikasi empat fase atau model di mana
perubahan kelembagaan telah terjadi dalam konteks historis, diantaranya :
1 Perubahan spontan dan tidak berlanjut oleh revolusi dan penaklukan.
2 Perubahan spontan dan incremental dari pemanfaatan tradisi dan perilaku umum.
3 Perubahan incremental oleh proses pengadilan dan evolusi undang-undang umum.
4 Perubahan instrumental yang dilakukan oleh imperialis birokrasi, atau politik .
Model perubahan kelembagaan dapat dideskripsikan sebagai proses interaksi antara dua
entitas yaitu wirausahawan ekonomi dan wirausahawan politik. Dua faktor yang dapat
dipetakan sebagai penyebab perubahan kelembagaan, yaitu :
1 Permintaan dari perilaku (demand of constituents) misalnya tenaga kerja dalam
perusahaan.
2 Penawaran dari lembaga yang memiliki otoritas spesifik (supply from a specific
authority) seperti perubahan undang-undang oleh pemerintah.
Dengan demikian hasil-hasil perubahan kelembagaan merupakan output dari konfrontasi
antara koalisi aktor-aktor yang mempromosikan aturan baru dengan kelompok yang
mengusung kemapanan. Williamsom (2000) mendeskripsikan adanya hierarki dalam level
kelembagaan yang bisa direntang dari mulai keterlekatan sosial atau kelembagaan
informal seperti budaya dan konvensi sampai kesepakatan bilateral diantara perusahaan.
Di samping itu terdapat juga dua tipe perubahan kelembagaan, yaitu :
1 Perubahan kelembagaan terinduksi, yaitu perubahan kelembagaan jenis ini
merujuk kepada modifikasi atau penggantian kesepakatan kelembagaan yang telah
ada atau menambahkan atau menggabungkan kesepakatan kelembagaan baru yang
dieksekusi, diorganisasi, dan diinisiasi secara sukarela oleh individu atau
kelompok untuk menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang bisa memberikan
keuntungan.
2 Perubahan kelembagaan dipaksakan, yaitu perubahan kelembagaan tipe ini
dimaksud sama dengan seperti tipe sebelumnya namun dieksekusi dan diinisiasi
oleh tata pemerintahan atau hukum.
Jadi, tipe perubahan kelembagaan ini hanya dibedakan oleh prosesnya yang dilakukan
secara sukarela atau dipaksa oleh otoritas yang lebih kuat.
2.3 Alat Ukur dan Variabel Perubahan Kelembagaan
Seperti yang telah dipaparkan di muka, perubahan kelembagaan diperlukan
mengingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan sendirinya
menciptakan dasar-dasar kelembagaan. Dalam fase ini mungkin saja ketiadaan

8
kelembagaan formal akan ditutupi dengan keberadaan kelembagaan informal, tetapi tentu
saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang (Diehl, 1998:51). Juga, dalam
konteks perubahan kelembagaan (formal) ini, diperlukan alat ukur dan variabel-variabel
yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis
kelembagaan yang dibutuhkan. Pada negara yang sedang melakukan proses transisi atau
reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur
keberhasilan kinerja perekonomian. Pada level makro ekonomi; setidaknya ada lima isu
penting yang sering ditelaah, yakni:
1 Kontrol terhadap inflasi
2 Pengurangan defisit anggaran
3 Stabilisasi nilai tukar mata uang
4 Intensitas perdagangan internasional
5 Peningkatan investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
Sedangkan pada level mikro isu yang dibahas adalah:
1 Liberalisasi harga
2 Privatisasi
3 Pengembangan pasar modal
4 Penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan
5 Mempromosikan kompetisi

Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi tersebut bisa diterima
mengingat negara itu hendak memindahkan pengelolaan ekonomi dari serba negara (state-
guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direclion) Negara-negara yang menganut
perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada level makro dicirikan dengan angka
inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi yang terpenting sehingga
seringkali mengalami defsit anggaran yang besar, nilai tukar mata uang domestik yang
tidak stabil, dan perdagangan lebih ditujukan pada pasar domestik. Sedangkan pada level
mikro kebijakan harga cenderung dipatok oleh pemerintah, perusahaan dimiliki oleh
negara, iklim pasar sangat monopolistis akibat intervensi negara, dan tiadanya jaminan
terhadap hak kepemilikan individu. Karakteristik semacam inilah yang menyebabkan
negara-negara yang menggunakan perencanaan terpusat kdbe perekonomiannya tidak
efisien (Yustika, 2002:277-278). Dalam posisi seperti itu, setiap proses reformasi/transisi
ekonomi cenderung mengubah secara drastis penampilan (features) kebijakan ekonomi

9
yang diintroduksi oleh negara, yakni dengan memberikan kesempatan kepada 'pasar' untuk
memegang kendali kegiatan ekonomi.

Tabel 2.1
Target Ekonomi, Tindakan, Dan Kelembagaan Pada Beberapa Level

Aspek/Level Makro Mikro Meso

Target Stabilitas Efisiensi Inovasi

Variabel kunci Uang, nilai tukar Harga Pengetahuan

Tindakan Manajemen Pilihan individu Interaksi


negara

Kelembagaan Bank sentral, Hak Infrastruktur, sistem


formal kewenangan kepemilikan, pendidikan, asosiasi
anggaran negara aturan keluar dan perdagangan
masuk pasar

kelembagaan Reputasi, Tata kelola Sikap terhadap risiko,


informal konsensus sosial perusahaan, faktor mobilitas, perilaku
terhadap cara perilaku rasional menabung
pandang perilaku individu

Sumber: Yustika, P. E. (2012). Ekonomi Kelembagaan . Sumatera: Erlangga.


Seperti yang terlihat pada Tabel 2.1 untuk bisa mencapai fokus perubahan pada
masa transisi dibuatlah target, variabel kunci, tindakan pada berbagai level, dan jenis
kelembagaan yang dibutuhkan, sehingga sekaligus variabel-variabel tersebut bisa
digunakan sebagai parameter. Khusus mengenai perubahan kelembagaan formal, tampak
bahwa pada level makro harus terdapat peraturan yang tegas berkenaan dengan fungsi dan
kewenangan bank sentral serta pemberdayaan anggaran negara untuk mendukung kegiatan
perekonomian. Sedang pada level mikro, perubahan kelembagaan formal yang dibutuhkan
adalah hukum mengenai hak kepemilikan sehingga terdapat kepastian berusaha serta
pedoman ke luar dan masuk bagi individu-individu yang bertransaksi di pasar. Tentu saja
target dari perubahan kelembagaan mikro ini adalah mencoba menurunkan biaya transaksi.
Tidak berhenti sampai di sini, perubahan kelembagaan informal juga barus dikreasikan

10
sehingga, baik secara makro maupun mikro, turut mendukung tujuan perubahan
kelembagan formal. Seperti yang terlihat, masalah reputasi, konsensus sosial, perilaku
individu, dan sikap terhadap risiko menjadi perhatian penting dari perubahan kelembagaan
informal ini (Diehl, 1998:51).
Di luar itu, tidak dapat disangkal bila proses reformasi/transisi ekonomi sarat
dengan rintangan-rintangan politik yang seringkali tidak ramah. Setidaknya ada tiga
palang/rintangan politik (political barriers) yang kerap terjadi untuk menelikung
perjalanan reformasi ekonomi (Haggard dan Kaufman, 1995:156 - 157):
1 Kebijakan reformasi ekonomi yang menyentuh barang-barang publik (public
goods) selalu menimbulkan masalah penunggang gelap (free rider), sehingga pada
titik ini akan sangat mungkin bagi timbulnya tindakan kolektif (collective action).
Jika penunggang gelap reformasi tersebut mendapatkan keuntungan yang berlebih,
maka reformasi ekonomi berpotensi mengalami kegagalan.
2 Dalam pandangan model distributif (distributive model) kebijakan reformasi
diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang (the winners) dan sekaligus
akan dilawan oleh kelompok pecundang (the losers), sehingga hasil dari reformasi
ekonomi akan sangat tergantung dari kekuatan politik di antara koalisi pemenang.
3 Masalah klasik dari reformasi ekonomi adalah biaya reformasi biasanya
terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu, tetapi Keuntungannya menyebar
kepada banyak kelompok sehingga keberhasilannya sangat tergantung kepada
seberapa kuat perlawanan dari kelompok yang palıng terkena dampak reformasi
tersebut.
Dalam level meso dan mikro, perubahan kelembagaan juga bisa didekati melalui
penciptaan pranata faktor-faktor produksi berhadapan dengan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah
kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah, dan ten aga kerja.
Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih banyak
menguntungkan pemilik tenaga kerja, sementara pada zaman feodal keuntungan itu
banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada zaman kapitalis saat ini pemegang polis atas
profit terbesar adalah pemilik modal (Hayami, 1997:14). Persoalannya adalah ketika
inovasi produksi terjadi, pembagian keuntungan atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa
jatuh secara proporsional kepada masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang
pranata kelembagaan faktor-faktor produksi tidak mendukung bal itu. Dalam konteks ini,
Marx berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksí)

11
selalu tidak diikuti dengan penataan superstruktur (faktor faktor produksi), di mana hal itu
berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini. Kasus yang terjadi pada zaman
kapitalisme sekarang barangkali merupakan contoh yang cukup gamblang untuk
dijelaskan. Setiap unit produks selalu memakai faktor produksi modal, tanah, dan tenaga
kerja. Faktor produksi tersebut dialokasikan dengan bersandarkan hitungan-hitungan
ekonomis, sehingga setiap pemanfaatannya harus dipastikan bisa menghasilkan laba yang
terbesar. Tetapi dalam sistem kapitalis ini pemegang otoritas terbesar adalah pemilik
modal, sehingga ia bebas untuk menentukan pembagian keuntungan. Dalam kejadian ini,
upah tenaga kerja dan sewa tanah merupakan biaya tetap (fixed cost) yang relatif tidak
bergantıng pada tingkat profit yang diperoleh perusahaan. Sebaliknya, laba bagi pemilik
modal adalah pendapatan variabel (variable revenue), di mana besarnya perolehan
pendapatan sangat tergantung dengan jumlah keuntungan (Yustika, 2003:52). Dalam
kasus ini, apabila secara tiba-tiba perusahaan tersebut memperoleh laba yang berlipat
seluruh peningkatan itu akan jatuh hanya kepada pemilik modal, sedangkan upah tenaga
kerja dan sewa lahan memperoleh bagian seperti sedia kala. Inilah kasus yang
mengantarkan Marx pada kesimpulan bahwa selamanya "superstruktur" tidak akan pernah
modal bisa mengikuti perubahan infrastruktur.
Dengan pengertian tersebut, cukup mudah mengeja ulang sebuah kebutuhan
terciptanya hubungan antara proses produksi dan perubahan kelembagaan. Dalam catatan
yang singkat, perkembangan ekonomi yang pesat dengan ukuran-ukuran kuantitatif seperti
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, tidak akan memiliki arti apa-apa jika
tidak diimbangi dengan adanya perubahan kelembagaan yang kongruen. Pada level mikro
(perusahaan), peningkatan laba yang diperoleh tidak akan memiliki implikasi
kesejahteraan bagi pekerja. Oleh mengikuti perubahan infrastruktur. karena itu, dalam
kasus tersebut perubahan kelembagaan merupakan syarat terpenting agar kegiatan
ekonomi di perusahaan tetap bertahan. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan
adalah dengan jalan menciptakan dan memperkuat serikat pekerja sehingga mempunyai
posisi tawar yang sepadan dengan pemilik modal. Model ini ditempuh di negara -negara
kapitalis sebagai cara menerobos kebekuan hubungan antara kelompok pekerja dan
pemodal. Dengan posisi tawar yang relatif setara, kemungkinan bagi terjadinya perubahan
kelembagaan lebih mungkin tercipta karena di antara mereka akan terus berlangsung
proses negosiasi untuk mengkompromikan masing-masing kepentingannya.
Pada akhirnya, perubahan kelembagaan juga menyangkut aspek informal yang
bersumber dari reputasi, kredibilitas, dan konsensus. Kegiatan ekonomi yang semakin

12
modern dan kompleks, ternyata juga memunculkan fungsionalisme struktural (structural
functionalism) untuk mengikuti perkembangan kegiatan ekonomi. Misalnya, dalam
masyarakat modern (di mana kompleksitas ekonomi terjadi) sifat hubungan antar individu
lebih banyak ditentukan oleh variabel spesifisitas (specificity), pencapaian (achievement),
dan universalisme (universalism) sebagai lawan dari diffusiness, ascription, dan
particularism (Jaffee, 1998:85). Penjelasannya spesifisitas berarti pembagian kerja
ditentukan oleh kemampuan/keterampilan spesifik yang dipunyai oleh individu,
berlawanàn dengan pandangan ekonomi tradisional yang mengandaikan setiap individu
menguasai segala hal. Kemudian orientasi pencapaian dimaksudkan bahwa individu
memperoleh posisi/karir karena prestasi dan keterampilan yang dipunyai, bukan oleh
sebab hubungan keluarga, ras, dan kategori askriptif lainnya. Sementara itu, universalisme
bererti semua individu atau anggota organisasi bertindak berdasarkan regulasi dan aturan
main yang sama, di mana semua ini diberlakukan tanpa kecuali. Variabel-variabel itulah
yang bisa didesain sebagai sumber informal dari perubahan kelembagaan, seiring dengan
perkembangan ekonomi yang menghendaki adanya efisiensi. Jika proses tersebut
berlangsung dengan lancar, maka perubahan kelembagaan yang berbasis nilai-nilai
informal tersebut akan menopang bagi pencapaian kinerja perekonomian yang lebih baik.
2.4 Organisasi, Pembelajaran dan Perubahan Kelembagaan
Dalam konteks ekonomi, perubahan kelembagaan selalu dikaitkan dengan atribut
keuntungan yang bakal dinikmati oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Dengan d iktum
ini, perubahan kelembagaan memiliki keuntungan bagi masyarakat hanya jika biaya-biaya
yang muncul akibat perlindungan hak-hak (protection of right) lebih kecil ketimbang
penerimaan (gains) dari alokasi sumber daya yang lebih baik. Apabila biaya yang muncul
terlalu tinggi, mungkin diperlukan langkah untuk mendesain kelembagaan non pasar
(nonmarket institutions) dalam rangka mencapai alokasi sumber daya yang lebih efisien
(Hayami dan Ruttan, 1985:103). Tentu saja salah satu kelembagaan non pasar datang dari
pemerintah negara (state). Dalam posisi ini pemerintah mengintroduksi kebijakan yang
bisa memengaruhi aktivitas ekonomi. Pada kasus di sektor pertanian, misalnya, persoalan
yang umum dijumpai adalah keengganan petani untuk mengambil risiko (ruk averse)
apabila dihadapkan dengan penggunaan/perubahan teknologi. Pemerintah dapat
memengaruhi atau mengubah sikap tersebut dengan mengeluarkan kebijakan, misalnya,
penjaminan risiko (risk guarantee) sehingga petani mau mengambil kesempatan untuk
mengadopsi teknologi baru. Bila jalur ini berhasil, maka proses perubahan kelembagaan
akan terjadi.

13
Namun, seperti yang bisa diprediksi, upaya yang dilakukan pemerintah untuk
memandu proses perubahan kelembagaan tersebut tidaklah tanpa biaya (gratis). Sebabnya,
setiap penawaran atas inovasi kelembagaan (institutional innovations) membutuhkan
sumber daya politik yung besar (substantial political resources) yang dilakukan oleh
wirausahawan politik dan innovator. Dengan begitu, tentu bermanfaat untuk memikirkan
bahwa skema penawaran inovasi kelembagaan tersebut ditentukan oleh skedal biaya
marjinal (marginal cost Achedule) yang bertemu dengan wirausahawan politik yang
bertanggung jawab mendesain kelembagaan baru dan menyelesaikan konflik yang
mungkin dari kelompok-kelompok kepentingan. Intinya, satu lini dengan proporsi di atas,
inovasi kelembagaan akan ditawarkan jika hasil yang diekspektasi (expected return) dari
inovasi tersebut melebihi biaya marjinal dari mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan
untuk mengintroduksi proses inovasi itu. Perlu juga diingat bahwa keuntungan privat
(private return) kepada wirausahawan politik berbeda dengan laba sosial (social return),
sehingga inovasi kelembaga tidak akan ditawarkan pada level yang secara sosial optimal
(socially optima level) [Hayami dan Ruttan, 1985:107]. Pada titik inilah, setiap perubahan
kelembagaan memerlukan pengorganisasian sebagai instrumen untuk me mandu dan
menghitung kemanfaatan dan kerugian (advantage and disadvantage) perubahan
kelembagaan.
Dalam praktiknya, kegiatan transaksi ekonomi selalu memakai satu diantara dua
instrumen berikut: pasar (market) atau organisasi (organization). Menurut Coase, pasar
dan organisasi merupakan dua tipe ideal koordinasi dalam proses transaksi pertukaran
(exchange transactions). Pasar yang ideal (ideal market) dikarakteristikkan oleh fakta
bahwa hukum harga (prices act) sebagai kecukupan statistik (sufficient statistics) bagi
sumber pengambilan kep individu Sebaliknya, organisasi yang ideal (ideal organization)
dicirikan sebagai keseluruhan bentuk koordinasi transaksi yang tidak mengunakan
instrumen harga untuk mengomunikasikan informasi di antara pelaku pelaku -pelaku
transaksi. Walaupun begitu, dalam operasionalisasinya, tentu pemisahan di antara dua
model koordinasi tersebut tidak besifat hitam dan putih. Dalam banyak kasus sebagian
besar pasar juga terorganisasi (organized). Sementara itu, kebanyakan organisasi juga
memakai harga (seperti harga transfer) untuk mengomunikasikan informasi di dalam
organisasi (Douma dan Schreuder, 2002:11) Bagan dibawah ini akan mengilustrasikan
model koordinasi tersebut, dengan meletakkan informasi sebagai variabel yang harus
dikoordinasikan dalam kegiatan atau transaksi ekonomi.

14
Bagan 2.1
Tipe Ideal Koordinasi: Pasar dan Organisasi

Pembangunan
Tenaga Kerja

Spesialisasi

Koordinasi

Pasar Informasi Organisasi

Sumber: Yustika, P. E. (2012). Ekonomi Kelembagaan.


Sumatera: Erlangga.
Dalam konteks perubahan kelembagaan, koordinasi tersebut juga bisa
menggunakan kelembagaan pasar dan organisasi. Sebagai salah satu instrumen model
kelembagaan, pasar akan menuntun proses perubahan kelembagaan berdasarkan
kepentingan (ekonomi) spontan dari masing-masing pelakunya. Di sini yang bekerja
adalah sistem insentif yang akan diperoleh setiap pelaku sehingga mereka bereaksi apabila
terdapat ruang mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan organisasi akan
memandu proses perubahan kelembagaan berbasiskan kesamaan tuju an dari individu-
individu yang tergabung di dalamnya. Sebelum individu bergerak, terlebih dulu harus telah
tercapai kesepakatan yang diterima oleh seluruh anggota organisasi. Organisasi kartel
merupakan contoh paling baik untuk mendeskripsikan koordinasi d engan memakai
organisati tersebut. Walaupun terdapat celah untuk mendapatkan laba yang lebih besar
dengan jalan keluar dari kesepakatan, biasanya setiap anggota kartel enggan mencederai

15
mufakat yang sudah dicapai (meskipun terdapat cukup banyak kasus anggo ta organisasi
ingkar dari kesepakatan). Jadi, perubahan kelembagaan yang mendasarkan kepada
koordinasi organisasi dipastikan akan berjalan lebih rumit (tetapi bukan berarti inefisien)
karena harus menunggu proses kesepakatan di dalam organisasi.
Di samping itu, koordinasi dengan basis organisasi juga membutuhkan hal lain
yang penting dalam proses perubahan kelembagaan, yakni pembelajaran (learning).
Penjelasannya, seperti yang telah dikemukakan di atas, organisasi didesain sebagai sebuah
institusi/lembaga untuk mencapai tujuan dari para penciptanya. Organisasi tersebut
diciptakan bukan sekadar sebagai f ungsi dari rintangan-rintangan kelembagaan
(institutional constrains), tetapi juga halangan balangan lainnya (misalnya teknologi,
pendapatan, dan preferensi). Interaksi antara hambatan kelembagaan dan rintangan lainnya
itu berpotensi untuk mencapa maksimalisasi kesejahteraan bagi para wirausahawannya,
baik wirausahawan politik maupun ekonomi (political and economic entrepreneurs).
Sebagai upaya mengatasi rintangan rintangan itulah dibutuhkan pencarian pengetahua
(knowledge) yang terus menerus. Bagi North (1990.73-76), insentif untuk mendapatkan
pengetahuan itu tidak hanya dipengaruhi oleh struktur penghargaan (reward) dan hukuman
(punishment) yang memiliki nilai material (monetary) namun juga akibat tolerasi
masyarakat terhadap pembangunan pengalaman itu sendiri. Artinya, pengetahuan
dipahami sebagai upaya pembelajaran yang bermanfaat bagi pengembangan organisasi.
Pada titik ini, terdapat hubungan dua arah (two-way relationship) antara persepsi dan
pengetahuan akan membangun persepsi manusia terhadap dunia nyata dan sebaliknya
personal akan memicu usaha pencarian terhadap pengetahuan.
Dalam konteks organisasi, proses pembelajaran dan pencarian akan memicu
perubahan interaksi yang selama ini sudah berjalan secara rutin. Dengan tingkat
keterampilan yang bertambah, menjadikan pola interaksi berubah sesuai dengan persepsi
baru yang dimiliki. Misalnya, kegiatan proses produk yang menghendaki perubahan telah
tidak mungkin akan diadopsi bila pengetahuan dan persepsi dari anggota organisasi tidak
menyadari pentingnya keberadaan teknologi. Namun, apabila proses pembelajaran dan
pencarian pengetahuan tersebut telah terbentuk, maka kesanggupan menerima eksistensi
teknologi menjadi lebih mudah dilakukan. Kasus ini sangat relevan diterapkan pada
masyarakat petani dan pelaku ekonomi tradisional lainnya, yang akibat tidak terjadi proses
pembelajaran dan peningkatan pengetahuan menjadikan mereka sebagai sebuah komunitas
yang paling kaku menerima perubahan kelembagaan, khususnya dalam hal adopasi
teknologi. Jadi, sebetulnya, tanpa disadari peningkatan pengetahuan bisa menjadi sumber

16
terbesar bagi munculnya perubahan kelembagaan, khususnya apabila diterapkan dalam
kegiatan transaksi yang dikoordinasi oleh organisasi.
Jadi, perubahan kelembagaan di atas bisa dipetakan dalam dua tahapan berikut:
peningkatan pendapatan (increasing return) dan pasar tidak sempurna (imperfect market)
yang mengakibatkan tingginya biaya transaksi (North, 1990:95). Dalam kasus ekspektasi
terhadap peningkatan pendapatan, perubahan kelembagaan akan dikerjakan, baik secara
spontan maupun tersistematisasi, karena manfaat yang diterima lebih besar dibandingkan
biaya yang dikeluarkan. Sebaliknya, bila ekspektasi perubahan kelembagaan akan
menimbulkan kerugian yang lebih besar, maka kemungkinan perubahan itu tidak akan
diambil. Sedangkan dalam kasus pasar tidak sempurna, misalnya informasi yang asimetris
maupun monopoli, perubahan kelembagaan bereaksi terhadap aktivitas transaksi yang
tidak efisien. Perubahan kelembagaan tersebut bisa dikerjakan lewat koordinasi pasar
maupun organisasi. Jika koordinasi pasar yang terjadi, maka berlaku hukum exit and entry
(keluar dan masuk). Artinya, jika pelaku di pasar masih merasa bisa bertahan dalam pasar
yang tidak sempurna, maka mereka akan merekonstruksi pola interaksi baru yang bisa
memperbaiki beberapa aspek, misalnya, informasi. Sebaliknya, bila pasar dianggap tidak
bisa berubah, maka mereka akan keluar. Sementara itu, apabila koordinasi dilakukan lewat
organisasi, maka bisa terjadi perubahan kelembagaan dituntut kepada lembaga yang
memiliki otoritas pemerintah (demand of constituents) untuk menyempurnakan pasar
(misalnya dengan perbuatan undang-undang antimonopoli). Selain itu, koordinasi
organisasi juga bisa dikerjakan melalui penguatan kapasitas pengetahuan dan informasi
yang dapat menekan pasar untuk bekerja secara sempurna. Dengan pemahaman inilah bisa
diketahui bahwa perubahan kelembagaan merupakan hal yang niscaya, namun memiliki
derajat kerumitan yang sangat kompleks.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Perubahan kelembagaan bisa pula muncul dari perubahan tuntutan pemilih
(demands of constituents) atau perubahan kekuasaan pemasok kelembagaan
(suppliers of institutions), yaitu aktor pemerintah. Misalnya, jika perubahan
teknologi mendorong kepada peningkatan nilai lahan, bisa ditebak bila tekanan
para pemilik lahan terhadap politisi akan semakin besar untuk mendefinisikan
hak-hak atas tanah secara lebih tepat guna mencegah kehilangan/pemborosan
sewa (dissipation of rents).
2. Teori kelompok kepentingan menekankan kepada proses yang mendorong ke
arah perubahan kelembagaan tersebut. Dalam posisi ini Teori Naif dan Teori
Kelompok kepentingan tidak memiliki kaitan, Karena perjuangan antara
kelompok kepentingan untuk perubahan kelembagaan tersebut bisa mendorong
kepada penciptaan kelembagaan yang efisien. Namun, teori kelompok
kepentingan juga peduli dengan pertanyaan mengapa kelembagaan yang tidak
efisien itu terjadi. Oleh karena kelembagaan yang tidak efisien seringkali
bersinggungan dengan hambatan aspek-aspek sosial ekonomi pembangunan,
maka teori kelompok kepentingan dirasakan lebih tepat digunakan untuk
memahami proses perubahan kelembagaan.
3. Pada akhirnya, perubahan kelembagaan juga menyangkut aspek informal yang
bersumber dari reputasi, kredibilitas, dan konsensus. Kegiatan ekonomi yang
semakin modern dan kompleks, ternyata juga memunculkan fungsionalisme
struktural (structural functionalism) untuk mengikuti perkembangan kegiatan
ekonomi.
4. Dalam konteks organisasi, proses pembelajaran dan pencarian akan memicu
perubahan interaksi yang selama ini sudah berjalan secara rutin. Dengan
tingkat keterampilan yang bertambah, menjadikan pola interaksi berubah
sesuai dengan persepsi baru yang dimiliki. Misalnya, kegiatan proses produk
yang menghendaki perubahan telah tidak mungkin akan diadopsi bila
pengetahuan dan persepsi dari anggota organisasi tidak menyadari pentingnya
keberadaan teknologi.

18
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan pada penyusunan paper ini adalah:
1. Bagi mahasiswa, diharapkan melalui penulisan paper ini dapat memberi
wawasan dan menyempurnakan kembali pokok bahasan paper ini sehingga
nantinya dapat memperluas topik yang dibahas dalam paper ini.
2. Bagi Masyarakat Umum, diharapkan dapat memberi informasi dan wawasan
sebagai pembaca makalah ini. Selain itu, masyarakat juga dapat memahami dan
menambah wawasan serta pengetahuan terkait teori perubahan ekonomi
kelembagaan.

19
DAFTAR PUSTAKA

C.North, D. (2012). Institutions, Institutional, Change And Economics Perfomance .


Washington: Cambrigde University Press.
Jaya, W. K. (2021). Ekonomi Kelembagaan Dan Desentralisasi . Yogyakarta : Gajah Mada
University Perss.
M.Shirley, C. M. (2008). Handbook Of New Institutional Economics. France: Springer.
Saskara, I. A. (2018). Mengenal Ekonomi Kelembagaan . Denpasar: ESBE.
Yustika, P. E. (2012). Ekonomi Kelembagaan . Sumatera: Erlangga.

20

Anda mungkin juga menyukai