Silakan analisis kedudukan peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam Pasal 8 dalam hierarki peraturan perundang-undangan yg diatur
dalam pasal 7
Urgensi Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 dalam rangka penataan Hirarki
Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Jika kita lihat ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 12 Tahun 2011 pada dasarnya tergambar dengan jelas bahwasannya jenis peraturan perundang- undangan yang ada di luar ketentuan Pasal 7 ayat (1) masih diakui keberadaannya dan masih mengikat secara hukum. Lebih jelasnya Pasal 8 ayat (1) tersebut berbunyi: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (2) di Tegaskan bahwa : “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukummengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang - undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
Pada prinsipnya jika di telaah dengan ketentuan sebelumnya, isi
Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sama dengan isi Pasal 7 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi ternyata Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, juga tidak menetukan secara pasti apa saja materi muatan dari berbagai jenis peraturan tersebut, serta bagaimana penjenjangan atau hirarki dari peraturan-peraturan tersebut dan bagaimana kedudukan dari peraturan-peraturan tersebut terhadap peraturan yang telah ditetapkan penjenjangannya dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Dampak dari ketidak pastian materi muatan dan penjenjangan/hirarki dari peraturan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) tersebut maka menyebabkan semakin beragamnya Peraturan perundang-undangan yang di bentuk oleh Menteri, badan, Lembaga, atau komisi yang mana tidak jarang peraturan perundang-undangan tersebut sesungguhnya tidak terlalu dibutuhkan bahkan akan Memperlambat pelayanan kepada masyarakat. Hal ini juga yang Menjadi penyebab semakin banyaknya peraturan perundang - undangan yang ada yang menyebabkan obesitas regulasi di berbagai bidang, sebagai contoh dapat kita lihat dalam bidang perizinan misalnya : Saat Pemerintah menggelontorkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid 13, banyak harapan yang muncul dimana kebijakan tersebut akan memangkas perizinan pembangunan perumahan dari 33 menjadi 11. Direktur Perencanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko Heri Purwanto, mengatakan, semangat PKE ke-13 adalah memangkas perizinan, yakni dari 33 menjadi 11 tahapan. Lalu, dari sisi waktu dipangkas dari 769 hingga 981 hari menjadi 44 hari, dan tentu saja hal ini dari segi biaya akan terpangkas sekitar 70%,”.
Keragaman peraturan perundang-undangan yang lahir akibat ketentuan
Pasal 8 tersebut juga menyebabkan Pemerintah membentuk komite khusus yang akan memilah sekitar 2.700 peraturan, untuk kemudian dihapuskan, sehubungan dengan temuan banyaknya tumpang tindih regulasi yang malah menghambat perekonomian, Sofyan Djalil pada saat masih menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas mengatakan bahwa terdapat 2.700 peraturan yang malah membebani ekonomi yang harus deregulasi. Temuan 2.700 peraturan tersebut mayoritas peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat, termasuk peraturan yang dikeluarkan internal Kementerian/Lembaga, seperti Peraturan Menteri (Permen) terkait.
Penyebab obesitas regulasi juga dikarenakan terlalu luasnya Pasal 8 ayat
(1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menggolongkan peraturan lembaga tertentu yang sebenarnya tidak memenuhi kuafikasi peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari jenis peraturan perundang-undangan, karena tidak semua jenis peraturan yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan. Keberadaan Pasal 8 ayat (1) telah memberikan pemahaman baru bahwa semua peraturan seperti peraturan MPR, peraturan DPR, Peraturan DPD, peraturan MA, peraturan MK masuk kategori peraturan perundang-undangan sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan ewenangan. Padahal tidak semua lembaga tersebut dapat membuat eraturan yang mengikat ke luar. Keberadaan Peraturan MA, Peraturan MK itu tidak boleh bersifat perundang-undangan artinya tidak boleh mengikat keluar, karena dalam sistem negara yang berdasarkan hukum lyarat yang pertama adalah pengadilan itu tidak boleh membuat peraturan yang bersifat umum dan mengatur keluar, Keberadaan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh kekuasaan yudikatif seperti peraturan Mahkamah Agung juga menimbulkan potensi kesewenang-wenangan dan melanggar prinsip supremasi konstitusi mengingat peraturan tersebut tidak dapat menjadi objek pengujian di pengadilan. Dalam hal ini misalnya : Tentu tidak mungkin MA akan mengadili permohonan judicial review pengujian Peraturan Mahkamah Agung yang di bentuknya sendiri, karena apabila diajukan judicial Review oleh warga negara terkait dengan peraturan tersebut maka yang akan berwenang menguji adalah MA sendiri karena pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU adalah wewenang MA dntuk mengadilinya.