Anda di halaman 1dari 3

OPINI

Fatwa Jihad Mengusir Para Penjajah


Oleh: Alaek Mukhyiddin
“Tidak ada satu pun yang dapat diperbuat untuk meredakan perlawanan para ulama
kecuali ditumpas sampai habis.”
Snouck Hurgronje
Pernyataan sarjana barat sekaligus penasihat Belanda tersebut, menjelaskan secara
tidak langsung pada kita, bahwa perjuangan santri dan ulama tidak perlu dipertanyakan lagi.
Namun realitanya masih sedikit santri dan ulama yang memangku gelar pahlawan. Bahkan
cenderung aneh di telinga kebanyakan orang kalau sosok dengan baju taqwa dan sarung
sederhana itu bisa berkontribusi besar untuk kemerdekaan negara. Hal itu karena di sd atau
sekolahan-sekolahan yang lain kita hanya dicekoki tentang usaha bangsawan, tokoh
nasionalis dan tentara untuk kemerdekaan Indonesia. Tidak ada nama santri atau ulama sama
sekali. Toh, kalaupun ada, mungkin hanya sebagai pemanis saja. Oleh sebab itu, kita tidak
perlu kaget kalau dalam pertempuran 10 November di Surabaya, fatwa jihad Kiai Hasyim
Asy’ari kalah pamor dengan pidato Bung Tomo yang berapi-api.
Kalau mau jujur, mungkin tanpa jasa dari para ulama yang dawuhnya lebih didengar
dari pemimpin perjuangan mana-pun, terasa mustahil kemerdekaan akan segera diraih dan
mendapat dukungan dari banyak kalangan. Pelosok desa tidak akan mengenal Bung Karno
karena dahulu tidak ada televisi sehingga sulit untuk mengenali. Tidak seperti sekarang yang
ada kejadian sedikit saja, masyarakat ujung jawa sudah mengetahuinya. Meskipun itu hanya
urusan sepele seperti KDRT. Di sinilah peran ulama dan santri yang cukup signifikan.
Mereka menjadi corong bagi tokoh nasionalis di berbagai desa dan kalangan bawah. Dengan
pengaruhnya yang besar mereka mengeluarkan fatwa Jihad untuk bahu membahu mengusir
penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Di pesantren Sidogiri sendiri, ada Kiai Abdul
Jalil bin Fadhil yang gugur bersama belasan muridnya. Jasad beliau dibuang ke sungai yang
pada akhirnya membuat sepanjang aliran air semerbak wangi oleh darahnya.
Ternyata, jauh sebelum dirayakannya seratus tahun Kerajaan Protestan Belanda pada
1913 M, muncul perang suci di Aceh pada awal abad ke-17 yang dipelopori oleh para guru
agama. Perang tersebut mirip dengan perang suci yang diarahkan oleh Gereja Protestan di
abad ke-11. Bedanya Perang Salib dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 M
dalam sidang Konsili Clermont, sedangkan Perang Suci Aceh digaungkan oleh Syaikh Abbas
Ibnu Muhammad di dalam kitabnya Tadhkirat ar-Radhikin pada tahun 1873 M. Sebagaimana
Paus Urbanus II yang menyerukan angkat senjata melawan Turki Seljuk, Syaikh Abbas
mengeluarkan resolusi untuk jihad memerangi wilayah Aceh yang dikuasai oleh Belanda.
Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan bahwa Aceh merupakan Dar al-Islam, kecuali
daerah yang diperintah oleh Belanda maka menjadi Dar al-Harb. Jihad merupakan kewajiban
fardu ain bagi umat Islam termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan
tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar al-Islam. Efeknya tentu luar biasa sehingga
ketika Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah pada Januari 1904, Rakyat Aceh tetap
OPINI

solid melawan serdadu Belanda. Tentunya yang melanjutkan estafet jihad tersebut adalah
para ulama Aceh yang terus berlanjut hingga tahun 1942 M.
Mungkin perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro (pangeran sekaligus
ulama) hanya bertahan lima tahun (1825-1830), tapi surat-surat berisi fatwa jihad yang beliau
tulis untuk kemudian disebar luaskan pada tokoh, bangsawan serta ulama, dapat
memercikkan semangat jihad yang baru. Sehingga kemudian memicu pemberontakan petani
di Banten, lahirnya tokoh Karismatik Kiai Zaenal Mustofa yang memimpin perlawanan
Rakyat Singaparna dan banyak peristiwa lainnya juga yang dipicu oleh fatwa jihad dari
beliau.
Pengaruh para ulama yang kerap disebut pendeta Islam itu diakui oleh tokoh penjajah
sekelas Thomas S. Raffles (Letnan Gubernur EIC yang memerintah pada 1811-1816 M).
Thomas berkata:
“ Karena mereka begitu dihormati maka tidak sulit bagi mereka untuk menghasut
rakyat agar memberontak. Mereka juga menjadi alat paling bahaya bagi para tokoh nasionalis
yang menentang Kolonial. Pendeta Islam itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif
dalam setiap pemberontakan.”
Fatwa Jihad bukan sekadar seruan atau serupa selebaran pasukan sekutu saat
mengetahui perwira tinggi mereka tewas, tetapi lebih menentukan arah kemerdekaan bangsa
ini. Bahkan jauh lebih menentukan daripada bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di
Kota Hiroshima dan Nagasaki. Fatwa jihad telah menjadi kartu truf perlawanan. Oleh karena
itu meletuslah ledakan dahsyat seperti Perang Paderi, Perang Aceh, Perang 10 November dan
banyak peristiwa lainnya yang sama menegangkannya dengan apa yang dialami Rakyat
Jepang, saat setelah kekaisarannya menyerang diam-diam Angkatan Laut Amerika Serikat di
Pearl Harbor.
Fatwa Jihad yang lain juga hadir di Surabaya karena pada 25 Oktober 1945 sudah
bercokol tentara Belanda dan sekutu di Surabaya yang ingin menjadikan Indonesia sebagai
kue untuk dibagi-bagikan. Untungnya tiga hari sebelum itu Kiai Hasyim Asy’ari sudah
mengultimatum:
“Orang yang mati membela tanah air dari serangan penjajah adalah mati syahid.”
Singkat, padat dan jelas, tetapi bisa menimbulkan euforia yang mirip dengan pasukan muslim
di bawah komando Thariq bin Ziyad saat menaklukkan Andalusia.
Sehingga saat para santri dan ulama tahu tentang pendaratan penjajah, maka ribuan
santri ber-sukacita ke Surabaya dengan dipimpin Kiai Wahab Hasbulloh, Kiai Masykur dan
Kiai Machrus Ali Lirboyo. Akhirnya terjadilah pertempuran hebat yang membuat
terbunuhnya Brigjen A.W.S Mallby. Hal itu membuat Jenderal Eric Carden Robert
mengultimatum agar supaya Rakyat Surabaya meletakkan senjatanya. Di sinilah pidato Bung
Tomo yang fenomenal itu ikut berperan.
Kemudian datang gelombang pasukan santri dan ulama berikutnya, guna
menyongsong pertempuran 10 November yang berdarah. Pasukan santri tersebut dipimpin
Kiai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, serta Kiai Subchi dari Parakan Wonosobo yang
OPINI

terkenal dengan kelompok jihad Bambu Runcing Parakan. Mereka sama gagahnya dengan
aksi Puputan Margarana yang dilakukan oleh pasukan Ciungwanara-nya I Gusti Ngurah Rai
pada 19 November 1946. Jadi, tidak bisa dimungkiri, kalau semangat religius Islami dapat
mengubah jalannya peperangan. Meskipun semua itu harus dibayar mahal dengan lautan api
dan banjir darah.
Dari uraian pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa relasi santri dan
ulama memiliki prestasi tinggi karena dapat membuat semua elemen kalangan bernaung di
bawah panji fatwa jihad. Sebagai azimat bangsa, Fatwa Jihad mampu membuat rakyat, santri,
ulama dan tentara bahu-membahu mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Oleh karena itu, mungkin fatwa-fatwa jihad telah membekas dalam sejarah, namun
efeknya masih bisa kita rasakan hingga kini, sehingga negara ini menjadi Baldatun
Thayyibatun Warabbun Ghofur, Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo.

Anda mungkin juga menyukai