Anda di halaman 1dari 13

Usulan Tesis

PERBANDINGAN KORTISOL SERUM PASIEN PASCA KRANIOROMI


YANG MENDAPAT FENTANIL KONTINYU DAN DEXMEDETOMIDIN
KONTINYU SEBAGAI ANALGETIK PASCA OPERASI

HALAMAN JUDUL

Nama: ........, dr.


NIM:

Pembimbing:

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR SINGAKATAN vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.3.1 Tujuan umum 6
1.3.2 Tujuan khusus 6
1.4 Manfaat Penelitian 7
1.4.1 Manfaat Bidang Akademik 7
1.4.2 Manfaat Bidang Pelayanan 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 KRANITOMI 8
2.1.1 Definisi 8
2.1.2 Epidemiologi 9
2.1.3 Prosedur anastesi 9
2.2 Nyeri Pasca Operasi 18
2.2.1 Definisi 18
2.2.2 Jenis analgetik pasca operasi 19
2.2.3 Kadar Kortisol pasca operasi 20
2.3 Perbandingan kadar kortisol pasca operasi pada Fentanil konitnyu vs
Dexmedetomidin Kontinyu 18
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL 31
3.1 Kerangka Konsep 31
3.2 Narasi Kerangka Konsep 32
BAB 4 METODE PENELITIAN................................................................................34
4.1 Rancangan Penelitian 34
4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 34
4.3 Penelusuran Literatur 35
4.4 Telaah Kualitas Jurnal...............................................................................36
4.5 Metode Pengumpulan data.........................................................................37
4.6 Analisis Data 37
4.7 Definisi Operasional 38
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................40

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. 13
Gambar 2.2 15
Gambar 2.3 16
Gambar 3.1 31
Gambar 4.1 36

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.110
Tabel 2.2 12
Tabel 2.3. 16
Tabel 4.1 34
Tabel 4.2 38

iv
DAFTAR SINGKATAN

v
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembedahan dapat emicu respon inflamai dan mengeluarkan berbagai

mediator dalam cairan plasma seperti interleukin. Cedera kepala akut secra

signifikan memberi dampak pada sekresi hormon. Sistem aksis hipotalamus-

pituitari-adrenokorteks dapat teraktivasi akibat adanya cedera kepala, yakni

meningkatkan kadar kortisol dalam darah. Respon hormonal lainnya juga terjadi

seperti peningkatan horman GH. Perubahan hormonal tersebut dapat terjadi

selama periode rehabilitasi yang akan menentukan prognosis pasien kedepannya

(Klimek et al., 2009; Li et al., 2010). Disfungsi sumbu hipotalamus-hipofisis-

adrenal (HPA) adalah salah satu komplikasi dari kraniotomi transsphenoidal

(TSC) yang terdokumentasi dengan baik pada lesi sellar (Jackanich et al., 2020).

Rangsangan bedah memprovokasi respon stres neuroendokrin dengan

mengaktifkan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan sistem saraf

simpatik, yang akan meningkatkan hormon adrenokortikotropik serum (ACTH),

kortisol, dan kadar katekolamin serum secara signifikan. Respon stres

neuroendokrin dipengaruhi oleh berbagai factor dan semakin rumit jika terdapat :

1) tumor hipofisis dapat mempengaruhi fungsi aksis HPA secara langsung dengan

mengeluarkan hormon hipofisis dan secara tidak langsung dengan menekan

kelenjar dan batang akibat efek massa; 2) manipulasi bedah langsung kelenjar

hipofisis serta relokasi kelenjar intraoperatif karena dekompresi massa; 3) steroid

yang diberikan sebelum operasi dapat mempengaruhi respons stres melalui

1
2

mekanisme umpan balik negative (Rio, Nicoara and Swaminathan, 2017; Lee et

al., 2021).

Telah diketahui bahwa kortisol plasma meningkat sehubungan dengan

operasi bedah umum. Emosi negatif sebelum pembedahan, perdarahan, dan

stimulasi nyeri selama pembedahan dapat menyebabkan respons stres

neuroendokrin, yang mengakibatkan peningkatan kadar kortisol darah. Selain itu,

peningkatan respons stres dikaitkan dengan peningkatan aktivitas aksis

hipotalamus-korteks dan peningkatan pelepasan glukokortikoid. Penggunaan agen

anestesi yang tepat dapat mengurangi kemungkinan reaksi stres pada pasien yang

menjalani operasi, sehingga mengurangi sekresi kortisol dan membantu

mempertahankan homeostasis (Guo et al., 2021).

Dalam hasil studi oleh Borg et al., konsentrasi kortisol serum sekitar 3,5-

7,5 µg/dl 30 menit setelah induksi anestesi dan sekitar 16,3-23,6 µg/dl setelah

manipulasi intrasellar pada pasien dengan ACTH yang cukup tanpa pemberian

steroid pra operasi, sedangkan konsentrasi kortisol serum sekitar 18,1–45,3 µg/dl

30 menit setelah induksi anestesi dan sekitar 19,9–39,9 µg/dl setelah manipulasi

intrasellar pada pasien dengan penggantian steroid. Demikian pula, penelitian ini

menunjukkan bahwa kadar kortisol serum secara signifikan lebih tinggi pada

pasien dengan pemberian steroid pra operasi selama seluruh periode pembedahan.

Konsentrasi kortisol serum nadir adalah 2,2 µg/dl pada kelompok yang induksi

anestesi. Namun, konsentrasi kortisol serum meningkat masing-masing menjadi

4,3, 5,6, dan 9,5 µg/dl setelah insisi dura, setelah pengangkatan tumor, dan pada

akhir operasi (Lee et al., 2021).


3

Fentanyl berikatan secara selektif dengan reseptor μ di sistem saraf pusat

dan perifer sehingga efek sampingnya minimal dan tidak memiliki metabolit aktif.

Sebagai analgesia pasca operasi, efek Fentanyl hanya berlangsung selama 30-45

menit, membutuhkan pemberian terus menerus untuk mempertahankan kadar

efektif dalam plasma. Konsentrasi efektif fentanil plasma untuk nyeri pasca

operasi adalah 0,63 ng/ml (dalam kisaran 0,23 hingga 1,18 ng/ml). Penggunaan

alat infus kontinyu sekali pakai dengan pompa elastomerik infuser sekali pakai

merupakan alternatif penyediaan infus fentanil yang lebih sederhana dan murah

dibandingkan dengan pompa suntik (Putro and Nasihun, 2017)

Presseau et al menemukan adanya peningkatan kadar kortisol saliva akibat

stimulasi nyeri pada penelitian tentang kontribusi respon stres akut terhadap

perbedaan persepsi nyeri individu dan aktivitas otak yang berhubungan dengan

nyeri pada individu sehat dan penderita nyeri kronis (Vachon-Presseau et al.,

2013). Pada penelitian oleh Putra et al, kadar kortisol ditemukan normal pada 6

jam pasca operasi dengan nilai rata-rata 15,053 ± 8,644 ug/dl pada kelompok

morfin dan 12,162 ± 8,623 µg/dl pada kelompok fentanil, menunjukkan efektifitas

morfin intratekal. dan infus berkelanjutan dari fentanil yang menghambat stimulan

nyeri pasca operasi yang mengaktifkan sistem saraf simpatik dan merangsang

sekresi kortisol (Putro and Nasihun, 2017).

Dexmedetomidine adalah agonis reseptor α2-adrenergik baru yang sangat

selektif yang telah terbukti secara signifikan mengurangi kejadian efek samping

pada pasien. Efek dexmedetomidine bergantung pada dosis dalam hal analgesia

perantara, aktivitas antisimpatis, sedasi, dan pengurangan efek samping.

perkembangan stres pada pasien. Dapat menstabilkan hemodinamik pasien, dan


4

dalam proses menstabilkan sistem pernapasan pasien, juga dapat dikombinasikan

dengan efek anestesi umum lainnya, obat penenang, dan analgesik untuk

mengurangi dosis propofol dan fentanyl digunakan selama operasi (Guo et al.,

2021).

Dexmedetomidine banyak digunakan selama periode perioperatif untuk

memberikan efek sedatif, anti-kecemasan, analgesik, dan antisimpatis.

Dibandingkan dengan obat penenang lainnya, dexmedetomidine memiliki

keuntungan mengurangi depresi pernapasan, efek yang lebih kecil pada fungsi

sistem saraf, dan mempertahankan patensi jalan napas. dan refleks saluran napas

selama terjaga. Dalam penelitian Gue et al, kadar norepinefrin dan epinefrin

serum lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine dibandingkan dengan

kelompok lain, dan efek dexmedetomidine pada kadar kortisol serum mirip

dengan propofol (Guo et al., 2021).

Berdasarkan teori tersebut diatas, pentingnya dilakukan penelitian lanjutan

mengenai kadar kortisol pasien pasca kraniotomi yang diberikan fentanil kontinyu

dibandingkan dexmedetomidine kontinyu agar dapat diketahui jenis analgesik

yang lebih efektif untuk prognosis pasien yang lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan kortisol serum pasien pasca kranioromi yang

mendapat fentanil kontinyu dan dexmedetomidin kontinyu sebagai analgetik

pasca operasi?

1.3 Tujuan Penelitian


5

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui kadar kortisol serum pasien pasca kranioromi yang

mendapat fentanil kontinyu dan dexmedetomidin kontinyu sebagai

analgetik pasca operasi.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui rerata kadar kortisol serum pasien pasca kranioromi

yang mendapat fentanil kontinyu sebagai analgetik pasca operasi

2. Mengetahui rerata kadar kortisol serum pasien pasca kranioromi

yang mendapat dexmedetomidin kontinyu sebagai analgetik pasca

operasi

3. Mengetahui rerata pasien yang menjalani kraniotomi di RS Haji

Adam Malik Medan

4. Mengetahui rerata kadar kortisol serum pasien yang menjalani

kraniotomi di RS Haji Adam Malik Medan

5. Mengetahui efektivitas analgesik pasca operasi (fentanil vs

dexmedetomidine) terhadap penurunan kadar kortisol serum pasca

kraniotomi

6. Mengetahui karakteristik pasien yang menjalani kraniotomi di RS

Haji Adam Malik

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bidang Akademik

Sebagai tambahan referensi keilmuan mengenai variabel dan luaran

(outcome) pasien pasca kranitomi seperti prevalensi, mortalitas,


6

morbiditas, dan kualitas hidup, yang berkaitan dengan perubahan kadar

kortisol serum setelah penggunaan analgesik fentanil maupun

dexmedetomidine kontinyu.

1.4.2 Manfaat Bidang Pelayanan

1 Sebagai acuan dalam membuat standard pelayanan pasien pasca

kraniotomi dan meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara

efektif dan efisien.

2 Dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan baik sehingga dapat

mencegah terjadinya efek samping lebih lanjut dan mengurangi

angka mortalitas dan mortalitas, serta meningkatkan kualitas hidup

pasien pasca craniotomi.


DAFTAR PUSTAKA

Guo, Q. et al. (2021) ‘Effects of different sedatives/analgesics on stress responses


in patients undergoing craniotomy and bone flap decompression’, Journal of
International Medical Research, 49(12), p. 030006052110627. doi:
10.1177/03000605211062789.
Jackanich, A. et al. (2020) ‘Clinical utility of routine postoperative morning
cortisol monitoring in detecting new hypothalamic-pituitary-adrenal axis
insufficiency following endoscopic transsphenoidal surgery for sellar lesions’,
Journal of Neurosurgery, 132(4), pp. 1054–1058. doi:
10.3171/2018.11.JNS182521.
Klimek, M. et al. (2009) ‘Inflammatory Profile of Awake Function-Controlled
Craniotomy and Craniotomy under General Anesthesia’, Mediators of
Inflammation, 2009, pp. 1–8. doi: 10.1155/2009/670480.
Lee, H.-C. et al. (2021) ‘Comparison of intraoperative cortisol levels after
preoperative hydrocortisone administration versus placebo in patients without
adrenal insufficiency undergoing endoscopic transsphenoidal removal of
nonfunctioning pituitary adenomas: a double-blind rando’, Journal of
Neurosurgery, 134(2), pp. 526–534. doi: 10.3171/2019.11.JNS192381.
Li, Z.-M. et al. (2010) ‘Relationship between Plasma Cortisol Levels and Stress
Ulcer following Acute and Severe Head Injury’, Medical Principles and Practice,
19(1), pp. 17–21. doi: 10.1159/000252829.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) et al. (2020) Definisi Kasus dan
Derajat Penyakit, Pedoman Tatalaksana COVID-19.
Putro, P. W. Y. and Nasihun, T. (2017) ‘Comparison in Efficacy between
Fentanyl Continuous Infusion and Intrathecal Morphine for Pain After Caesarean
Section Management’, Sains Medika, 8(2), pp. 83–87.
Rio, J. M. Del, Nicoara, A. and Swaminathan, M. (2017) ‘Neuroendocrine stress
response: implications for cardiac surgery-associated acute kidney injury’,
Romanian Journal of Anaesthesia and Intensive Care, 24(1). doi:
10.21454/rjaic.7518.241.hav.
Vachon-Presseau, E. et al. (2013) ‘Acute Stress Contributes to Individual

7
8

Differences in Pain and Pain-Related Brain Activity in Healthy and Chronic Pain
Patients’, Journal of Neuroscience, 33(16), pp. 6826–6833. doi:
10.1523/JNEUROSCI.4584-12.2013.

Anda mungkin juga menyukai