Yes 52:13-53:12; Ibr 4:14-16.5:7-9; Yoh 18:1-19:42 Pada tri hari paska kedua, Jumat Agung, kita memperingati penderitaan dan wafat Yesus. Dalam peristiwa ini, kita melihat kasih Allah yang paling dalam bagi kita. Kasih Allah itu tidak dinyatakan dengan hanya mengutus Putera-Nya yang solider dan senasib dengan manusia. Kristus telah mengosongkan diri-Nya dan menjadi hamba, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (cfr. Flp 2:7-9). Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Menurut tradisi masyarakat Timur Tengah, hukuman salib dikenakan pada penjahat kelas berat. Pada masa Yesus, orang yang disalibkan adalah pembrontak dan penghianat bangsa. Pemerintah Romawi menerapkan hukuman salib terhadap orang yang berusaha melawan pemerintah. Salib adalah simbol kejahatan dan dosa berat. Orang Yahudi meyakini bahwa salib adalah tanda orang yang terbuang dan dikutuk oleh Allah. Karena itu mati di salib adalah suatu kematian yang paling hina. Yesus wafat di salib bukan karena dosa-Nya, tetapi karena persekongkolan jahat manusia. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat- Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia, kita dibenarkan oleh Allah (2Kor 5:21). Yesus memikul dosa dan pelanggaran manusia. Yesus menyerahkan nyawa di salib sebagai tanda kasih sejati. Wafat-Nya di salib hina justru memberikan kehidupan. Yesus mengalami nasib biji gandum yang harus jatuh ke tanah dan mati supaya menghasilkan buah dalam kelimpahan. Ia bagaikan ular yang ditinggikan oleh Musa di padang gurun dan mereka yang memandang dan percaya tidak akan mati. Bagi orang Yahudi, Kristus yang mati di salib adalah suatu batu sandungan dan untuk oang bukan Yahudi adalah suatu kebodohan. Tetapi untuk orang yang dipanggil, Kristus adalah kekuatan dan hikmat Allah (1Kor 1:23-25). Di sini wafat Yesus di salib memberi makna yang baru. Penebusan dan Kerajaan Allah hanya dapat ditegakkan dengan kematian Yesus. Salib menjadi jalan menuju kehidupan. Kepada para murid-Nya Yesus sudah berpesan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mt 16:24) Bagi para murid, memanggul salib adalah suatu syarat mutlak yang tidak boleh dihindari. Yesus sudah lebih dulu membawa salib di mana dipakukan seluruh dosa dan pelanggaran kita. Pada hari Jumat Agung, ditinggikan di salib seorang Raja, raja yang penuh kasih. Pada salib itu kita hanya memandang satu kata: Kasih. Yesus wafat demi kepentingan kita. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebusi dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah domba yang tak bernoda dan tak bercacat (1 Ptr 1:18-20). Seorang pria selalu mengeluh kepada Tuhan bahwa salib yang dipikulnya terlalu berat. Tuhan membawa pria itu ke toko di mana ada banyak salib dengan aneka ukuran. Tuhan berkata, “Lihat-lihat dulu! Kalau kamu temukan salib yang kamu sukai, ambillah!”. Pria itu lalu meletakkan salibnya sendiri di dinding. Dia berkata dalam hati, “Sekaranglah kesempatan satu-satunya dalam hidupku dan sudah lama kunantikan. Jika memang saya mesti memikul salib, maka akan saya pilih salib yang tidak terlalu berat, salib yang cocok untuk saya.” Pria itu mencoba salib-salib itu untuk menemukan yang cocok baginya. Salib yang satu terlalu panjang, sehingga terseret di tanah. Salib yang satu terlalu pendek, sehingga ia tersandung. Salib yang lain terlalu ringan, sehingga terbawa oleh angin, salib yang lainnya terlalu berat, sehingga mulai melukai tubuhnya. Pria itu hampir putus asa. Ketika melihat satu salib tersandar di dinding, dia mencobanya, membawanya berjalan sedikit dan menghadap Tuhan dengan tersenyum sambil berkata, “Inilah salib itu. Inilah yang sudah lama saya cari.” Kemudian pria itu keluar dari toko bersama dengan Tuhan. Tuhan menoleh kepadanya dan dengan senyum berkata, “Saya senang bahwa kamu menyukai salib itu. Itulah salib yang tadinya kamu bawa masuk ke toko.” Tuhan tahu kesanggupan kita. Ia tidak memberi salib yang melampaui kesanggupan kita. Kita juga kerap menangis, sedih, susah karena beratnya beban salib yang kita pikul. Kita mohon kepada Tuhan supaya beban salib itu disingkirkan dari diri kita. Seperti Yesus, kita minta tolong: “Ya Bapa, jikalau mungkin, biarlah piala ini berlalu daripada-Ku”. Tetapi Yesus tidak berhenti dengan permohonan. Yesus sampai pada kepasrahan diri, “Tetapi bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Doa Yesus nampaknya tidak diperdulikan Allah. Piala yang pahit itu mesti Dia minum. Di atas salib, Yesus merasa sepi dan sendirian, “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku.” Seruan Yesus melambangkan seruan dan teriakan kita manusia yang merindukan peneguhan dan kekuatan. Tetapi Ia tidak berhenti dengan seruan seakan putus asa. Yesus berkata, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan Roh-Ku.” Yesus tahu bahwa Bapa- Nya akan memelihara dan menjaga-Nya. Alam maut tidak akan menguasai- Nya. Yesus tahu wafat-Nya bukan kesia-siaan melainkan demi penebusan manusia. Kematian yang berbuah karena diberi demi orang lain. Yesus telah memilih melangkah ke Yerusalem, menapaki jalan salib menuju Kalvari, jalan menuju kemuliaan. Salib adalah syarat mutlak bagi kebangkitan. Salib mengisyaratkan kerelaan berkurban. Di tengah maraknya egoisme dan mentalitas akuisme, siapa yang masih berjuang untuk keadilan dan nasib orang kecil. Masih adakah tangan yang meringankan penderitaan sesama. Paulus menandaskan bahwa mereka yang menjadi milik Kristus mesti menyalibkan daging dan segala kenikmatannya (Gal 5,24). Zaman kita membutuhkan Simon dari Kirene, tetapi mesti dengan kerelaan dan bukan dengan terpaksa. Kita, untuk menjadi murid Kristus yang sejati, mesti memanggul salib kita dengan sukarela. Sebab memanggul salib adalah tanda kemuridan yang sejati.