Anda di halaman 1dari 15

Dasrimin, H. (2021).

Aliran-Aliran dalam
Filsafat Ilmu.
Aliran-Aliran dalam Filsafat Ilmu

Henderikus Dasrimin Pascasarjana,


Universitas Negeri Malang Email:
dasrimino.carm@gmail.com

Pendahuluan
Berpikir merupakan hakikat adanya sebagai manusia, maka setiap saat seorang berpikir.
Melalui berpikir kita dapat memiliki banyak pengetahuan tentang realitas hidup ini. Apa yang ada
dalam pikiran kita tidak pernah akan terwujud tanpa adanya simbol yang bisa mengungkapkannya
agar dapat dimengerti oleh manusia lain. Demikian kata atau bahasa menjadi penting sebagai sarana
komunikasi antarmanusia. Di sini kita dapat memahami filsafat sebagai suatu cara berpikir yang
radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir yang mengupas segala sesuatu secara mendalam.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat memiliki objek yang sama
yakni tentang segala sesuatu yang dapat diketahui. Perbedaan terletak dalam tujuan yakni filsafat
terarah kepada totalitas sedangkan ilmu-ilmu menyelidiki bagian-bagian tertentu dari totalitas sesuai
dengan maksud dan tujuan ilmu bersangkutan.
Dalam kaitan antara filsafat dan ilmu kita dapat mengatakan bahwa setiap ilmu memiliki objek
tersendiri dan metode pendekatan yang khusus sesuai dengan ciri ilmu dan tujuan yang mau dicapai
ilmu bersangkutan. Karena objek ilmu itu amat beragam sesuai dengan keragaman ilmu-ilmu maka
sistematisasi dan pendekatannya pun amat berbeda. Justru karena itu ilmu yang satu selalu berbeda
dari ilmu yang lain. Maka dalam paper ini akan dijelaskan tentang berbagai macam aliran dari filsafat
ilmu.

Aliran-aliran Filsafat Ilmu


1. Materialisme
Paham atau aliran ini menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang lain, selain materi atau
alam dan dunia fisik. Kehadiran aliran ini mendapat pertentangan yang keras dan hebat dari berbagai
agama di mana-mana. Pertentangan ini terjadi karena pada abad ke-19 paham tersebut tidak mengakui
adanya Tuhan (ateis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Tokoh-tokoh aliran ini adalah
Anaximenes, Thales, Anaximandros, Demokritos, Lamettrie, Thomas Hobbes, Spencer, Feuerbach,
dan Karl Marx (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).
1
Ideologi Jerman dimulai dengan Marx dan Engels mendaftar 'premis nyata' dari metode
materialis historis mereka. Premis pertama bukanlah non-metafisika politis yang tendensius. Ini tidak

2
membedakan 'materi' dengan 'roh' tetapi hanya menegaskan keberadaan 'individu nyata, aktivitas
mereka, dan kondisi material kehidupan mereka, baik yang mereka temukan sudah ada maupun yang
dihasilkan oleh aktivitas mereka' adalah presuposisi material dari semua hal lain yang dilakukan
manusia. Perhatikan bahwa mereka tidak membantah bahwa makna dari segala sesuatu yang
dilakukan manusia dapat dijelaskan dengan mengacu pada kondisi material produksi, hanya bahwa
kondisi material itu harus dipenuhi jika diperlukan, menjadi manusia yang mampu melakukan hal lain.
Implikasi pertama adalah bahwa masyarakat adalah produk yang muncul dari kerja manusia
yang bekerja di dalam dan di alam. Tanpa alam, tidak akan ada masyarakat manusia. Sekalipun
beberapa aspek sentral kehidupan manusia dibangun secara sosial, setiap konstruksi mensyaratkan
materi, dan alam melengkapi materi dasar (termasuk tubuh kita, yang telah berevolusi dari unsur-
unsur tak hidup). Oleh karena itu, ada dasar yang sama bahkan pada bentuk-bentuk organisasi dan
kepercayaan sosial manusia yang sangat berbeda: kebutuhan untuk memelihara hubungan yang
menopang kehidupan dengan alam. John McMurtry menyebut hubungan ini sebagai 'landasan
kehidupan nilai' untuk menekankan peran dasarnya yang mutlak dalam semua budaya manusia
(Noonan, 2020).

2. Dualisme atau Realisme


Dualisme merupakan aliran atau mazhab yang memandang alam ini terdiri atas dua jenis
hakikat yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Kedua jenis hakikat itu masing-masing bebas berdiri
sendiri, sama asasi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam
(Mahbub,
2018; Wilardjo, 2019). Dualisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari
dan mengetahui (dalam diri manusia) dan di realita di luar manusia. (Mesiono, 2018). Para filsuf dari
alitan dualisme atau realisme ini antara lain adalah Plato, Descartes, Aristoteles, Fechner, Leukippos,
Arnold Gealinex, Anaxagoras, Hc. Daugall dan A. Schopenhauer (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).
Doktrin khusus daru Energies Müller menyiratkan kesimpulan skeptis bahwa pengalaman
indrawi kita tidak mengungkapkan sifat penyebabnya, juga tidak memberi kita akses langsung ke
properti dasar di dunia. Dia memperoleh kesimpulan ini dari hasil empiris yang tidak terbantahkan dan
tiga prinsip metodologis. Karena prinsip-prinsip ini telah diabadikan dalam ilmu persepsi
kontemporer, yang mendasari studi tentang neurofisiologi, psikologi, dan psikofisika persepsi.
Kesimpulan skeptis ini tetap menjadi bagian tegas dari pandangan dunia naturalistik.
Meski demikian, naturalis tidak menjadi keraguan global. Müller, Helmholtz, dan orang lain
yang merefleksikan pandangan ini memilih untuk merangkul realisme struktural epistemologi, yang
berpandangan bahwa hubungan struktural antara sifat persepsi sederhana dapat menyampaikan

3
pengetahuan tentang fitur struktural di dunia. Eksplorasi aktif menghasilkan pola dalam pengalaman
indrawi kita yang dapat mendasari pengalaman kita di dunia (Isaac, 2020).

4
3. Empirisme
Aliran ini ingin mencari dasar yang kokoh bagi pengetahuan yang benar. Kita juga mengenal
empirisme radikal yang berpendapat bahwa semua pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman
inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak dalam pengalaman inderawi dianggap bukan pengetahuan.
Pengetahuan rasional yang murni atau pengetahuan empiris yang murni tidak mungkin ada tanpa
kehadiran yang lain. Seorang empiris tidak mungkin mengklaim suatu pengetahuan tanpa suatu asumsi
dasar yang mendahuluinya dan ini dapat ditemukan dalam akal budi atau pikiran manusia. Justru akal
budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh melalui pengalaman.
Ada beberapa hal yang patut kita catat mengenai pandangan empirisme ini, yaitu: 1). Persepsi
sampai batas tertentu tidak dapat diragukan terutama pada apa yang ‘terberikan’. Di sini persepsi
bebas dari kemungkinan salah atau keliru. Sesuatu yang terberi harus diterima sebagai nyata dan tidak
dapat diragukan. Yang keliru adalah daya nalar dalam menangkap/ menentukan apa yang ditangkap
oleh indera kita. 2). Kaum empirisme tidak bermaksud menyangkal pengetahuan a priori seperti ilmu
ukur dan matematika. Mereka mengakui bahwa ada pengetahuan tertentu yang tidak dapat diperoleh
melalui pengalaman inderawi. 3). Karena penekanan pada pengalaman dan pengamatan, kelompok ini
lebih mengutamakan metode induktif. Ini sungguh memacu perkembangan ilmu pengetahuan modern
yang mendasarkan diri pada observasi dan penelitian empiris. 4). Dalam dunia ilmu tidak ada
kebenaran mutlak. Alam dan dunia ini perlu dan terus menerus dikaji dan diteliti. Dunia merupakan
teka teki yang harus dijawab. Semua kepastian harus dicek berdasarkan data dan bukan pertama-tama
berdasarkan akal budi (Losee, 2013). Tokoh-tokoh aliran ini antara lain, Thomas Hobbes, John Locke,
Francis Bacon, David Hume, Herbert Spencer, George Berkeley, dan Roger Bacon (Mahbub, 2018;
Wilardjo,
2019).

4. Rasionalisme
Aliran rasionalisme berpendapat bahwa hanya semata-mata dengan akal, seseorang bisa sampai
pada kebenaran yang sejati (Mardlatillah, 2013). Dengan kata lain, rasionalisme adalah aliran berpikir
yang berpendapat bahwa pengetahuan yang benar mengandalkan akal dan ini menjadi dasar
pengetahuan ilmiah. Mereka memandang pengetahuan yang diperoleh melalui indera bukan dalam arti
menolak nilai pengalaman dan melihat pengalaman melulu sebagai perangsang bagi akal atau pikiran.
Beberapa pokok penting sebagai esensi ajaran rasionalisme adalah: 1). Penganut rasionalisme
lebih mengandalkan geometri yang memiliki aksioma-aksioma umum, dan terlepas dari pengamatan.
Cara-cara kerja ilmu matematik mau diterapkan pada cara-cara kerja ilmu-ilmu lain. Ide-ide bawaan
tertentu lebih diandalkan daripada apa yang diperoleh melalui pengalaman. 2). Mereka meremehkan

5
peran pengalaman atau pengamatan inderawi. Panca indera dikatakan bisa menipu dan oleh karena itu
mereka lebih dominan menggunakan metode deduksi ketimbang induksi yang biasa digunakan dalam

6
ilmu-ilmu empiris. 3). Semua pengetahuan karena itu bersifat a priori yang terutama mengandalkan
silogisme. Mereka mendeduksikan pengetahuan partikular dari yang universal yang merupakan
bawaan manusia. Pengetahuan itu sudah dimiliki sebelum atau mendahului pengalaman (Musdiani,
2011). Beberapa tokoh dari aliran ini adalah Rene Descartes, B. De Spinoza, Nicholas Malerbranche,
G.W. Leibniz, Christian Wolff, dan Blaise Pascal (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).

5. Positivisme
Aliran positivisme selalu berpangkal pada apa yang telah diketahui, yang faktual dan positip.
Semua yang diketahui secara positip adalah semua gejala atau sesuatu yang tampak. Karena itu
mereka menolak metafisika. Yang paling penting adalah pengetahuan tentang kenyataan dan
menyelidiki hubungan-hubungan antar kenyataan untuk bisa memprediksi apa yang akan terjadi di
kemudian hari, dan bukannya mempelajari hakikat atau makna dari semua kenyataan itu. Tokoh utama
positivisme adalah August Comte. Ia membagi perkembangan pemikiran manusia dalam tiga tahap
atau zaman, yaitu zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau positip.
Zaman metafisika dilihat sebagai suatu perwujudan perubahan dari zaman teologis. Kekuatan
adikodrati diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak dengan pengada lahiriah, yang disatukan
dalam sesuatu yang bersifat umum yang disebut kosmos atau alam, yang dilihat sebagai pengasal dari
segala sesuatu yang ada. Zaman positip adalah zaman di mana orang berpendirian untuk tidak lagi
mengenal atau mengetahui yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisis. Ia tidak memiliki
interese untuk mencari tahu dan percaya akan sesuatu yang disebut hakikat dunia yang
melatarbelakangi segala sesuatu (Sari, 2020).

6. Kritisisme
Pertentangan antara rasionalisme dan empirisme hendak diselesaikan oleh Immanuel Kant
yang kemudian dikenal dengan aliran Kritisisme (Mardlatillah, 2013). Menurut Kant bahwa hanya
satu dunia yaitu dunia yang kita alami. Dalam akal budi setiap manusia sudah memiliki kondisi-
kondisi atau faktor- faktor penting yang dapat menentukan bagaimana kita menangkap dunia di sekitar
kita. Menurutnya, dalam akal manusia sudah ada kategori, bentuk atau forma yang memungkinkan
kita menangkap benda- benda sebagaimana adanya. Karena itu, sebenarnya ada dua unsur penting
yang melahirkan pengalaman pengetahuan manusia yakni a) kondisi eksternal manusia menyangkut
benda-benda yang tidak bisa kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera-indera kita, dan
b) kondisi yang ada dalam diri manusia.
Kant membedakan tiga macam pengetahuan yakni, pertama, pengetahuan analitis, di mana
predikat sudah termuat dalam subjek atau predikat diketahui melalui suatu analisis subjek. Kedua,
adalah pengetahuan sintetis a posteriori, dalam mana predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan

4
pengalaman inderawi. Dan ketiga, pengetahuan sintetis a priori yang menegaskan bahwa akal budi dan
pengalaman inderawi dibutuhkan secara serempak. Menurut Kant, setiap orang dianugerahi
kemampuan untuk mengetahui tentang sesuatu. Dari kemampuannya itu, ia mempunyai cara tersendiri
dalam mengamati sesuatu dalam dunia ini. Untuk bisa menangkap sesuatu sudah diandaikan bahwa
kita memiliki konsep/pemahaman tertentu. Juga tidak benar bahwa sejak kelahiran seorang manusia
sudah memiliki pengetahuan a priori dalam benaknya, melainkan semua itu hanya diperoleh melalui
pengalaman dan pengajaran dari orang lain (Baiti, 2016).

7. Idealisme
Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik,
buruk, benar, salah, cantik, jelek secara fundamental selalu tetap dari generasi yang satu ke generasi
yang lainnya. Selain itu, nilai ada atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan
berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai
kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan
senang tak senang mengenai nilai tersebut (Mesiono, 2018).
Idealisme absolut Hegel telah terbukti menjadi salah satu posisi filosofis paling kontroversial
untuk dicirikan. Kategori esensi yang paling abstrak adalah apa yang Hegel sebut sebagai determinasi
refleksi, yaitu identitas, perbedaan, dan dasar. Melanjutkan analisisnya tentang penentuan esensi,
Hegel kemudian membahas pengertian subsistensi, hubungan dan keseluruhan dan bagian-bagiannya
dan sampai pada penentuan esensi dari "dalam" dan luar: fungsi "dalam" sebagai dasar penampilan
dan menentang eksternalitas refleksi-ke-lainnya. Pada kenyataannya, tidak ada perbedaan antara tanah
dan keberadaan, antara keberadaan dan esensi: aktualitas adalah apa adanya, keberadaannya adalah
esensinya, esensi keberadaannya. Hegel menetapkan untuk menunjukkan deskripsi akhir dari
kebenaran
- yaitu konsep - menciptakan, merusak, menggabungkan, dan meningkatkan definisi kebenaran yang
relevan lainnya. Untuk mencapai ini, Hegel membagi deskripsi Logika tentang kebenaran metafisik
menjadi tiga bagian: Being, Essence, dan Concept (Stein, 2019). Tokoh-tokoh aliran ini adalah Plato,
Immanuel Kant, B. Spinoza, Liebniz, J. Fichte, F. Schelling, Berkeley, dan G. Hegel (Mahbub, 2018;
Wilardjo, 2019).

8. Renaissance
Renaissance sebenarnya merupakan aliran yang menghidupkan kembali rasionalisme Yunani.
Orientasi pemikiran di abad ini terasa lebih bersifat teosentris daripada bersifat filosofis yang asli.
Situasi periode ini justru berbeda dengan abad pertengahan yang memiliki semangat kebebasan.
Semangat kebebasan inilah yang pernah terjadi di zaman sebelumnya tetapi hilang akibat sistem

5
teokrasi yang membelenggu dan memberangus kebebasan. Namun justru semangat ini lahir
kembali atau

6
dihidupkan kembali pada masa yang dikenal dengan renaissance ini. Tokoh pemikir era ini adalah
Dante Alighieri dari Italia. Dante merupakan tokoh kritis yang berani menentang minoritas Gereja
pada saat itu (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).
Sebagai periode sejarah Barat sejarawan menempatkan Renaisans antara 1300 dan 1600.
Meskipun saat ini beberapa menantang gagasan bahwa ada periode sejarah Barat yang cukup khas
untuk mendapatkan gelar itu, selama rentang waktu itulah fenomena yang dikenal sebagai humanisme
muncul dan berkembang pesat, pertama di Italia dan kemudian di daerah lain di Eropa setelah sekitar
1500. Kaum humanis Renaisans melakukan lebih dari sekadar meletakkan dasar bagi kritik tekstual
yang berkembang lebih jauh pada abad kesembilan belas dan dua puluh menjadi fenomena yang
begitu kita kenal sekarang (O’Malley, 2019).

9. Eksistensialisme
Fokus dari eksistensialisme ada pada pengalaman-pengalaman setiap pribadi atau individu.
Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, pengalaman subjektif manusia dan
tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat atau realitas
manusia (Mesiono, 2018). Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Jean Paul Sartre, Immanuel Kant, Karl
Jaspers, S. Kierkegaard Friedrich Nietzsche, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Ren LeSenne dan M.
Merleau Ponty (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).
Di Eropa, eksistensialisme menjadi terkenal setelah Perang Dunia II, karena benua itu
mengalami periode pemulihan yang lama. Eksistensialisme tentu saja merupakan rangkaian filsafat
yang satunya pemikirannya mengemukakan bahwa kehadiran manusia di dunia ini merupakan suatu
keterlemparan; bahwa manusia ada sebelum ada esensi dan tidak bisa tidak menciptakan atau
membangun esensi dan makna. Pilihan dan kemungkinan tidak terbatas dan implikasinya adalah
tanggung jawab individu yang tak terhindarkan. Salah satu tantangan yang dihadapi individu adalah
menjalani kehidupan otentik dalam ketidakpedulian sehari-hari. MacMillanet, berpendapat bahwa
pekerjaan merupakan konteks yang cocok untuk mengeksplorasi semua itu (Vandekerckhove, 2020).

10. Fenomenologi
Edmund Husserl yang dianggap sebagai “bapak fenomenologi” dan salah seorang filosof
paling berpengaruh abad ke-20, mencari hakikat realitas dengan memperhatikan apa yang nyata-nyata
menampakan diri dalam kesadaran (“fenomen”). Pendekatan itu kemudian dikritisi oleh Emanuel
Levinas. Yang dikritiknya pada Husserl adalah bahwa analisis fenomenologis berhenti terlalu cepat
sehingga tidak berhasil mengangkat struktur realitas vang sebenarnya. Husserl berhenti pada struktur
kesadaran. Karena itu, Husserl terperangkap dalam kerangka subjek objek. Objek hanya ada sebagai
objek tetapi sebuah subjek yang menangkapnya, dan sebaliknya. Mempertanyakan bagaimana objek

6
itu pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Oleh karena itu filsafat Husserl
dicurigai

7
tidak secukupnya menghindari idealisme, yakni paham yang meyangkal bahwa ada realitas di luar
kesadaran manusia. Kerangka Husserl inilah yang nantinya dikritik Levinas (Bakti Fatwa Anbiya,
2020). Tokoh-tokoh dari aliran ini adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Max Scheller, Hartman,
Maurice Merleau Ponty, Jean Paul Sartre, dan Soren Kierkegaard (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).

11. Pragmatisme

Pragmatisme muncul sebagai aliran filosofis di Amerika Serikat pada pertengahan abad
kesembilan belas, sebagai tanggapan atas iklim 'metafisik' pada waktu itu yang disibukkan dengan
pemahaman dan pembenaran bagaimana pikiran bisa mewakili, menggambarkan dan mencerminkan
realitas. Pragmatisme menolak argumen lama yang disarankan oleh filsuf rasionalis dan empiris.
Sebaliknya aliran ini berpendapat bahwa, pemikiran yang diusulkan harus dilihat sebagai sebuah
produk interaksi organisme dengan lingkungan, pada dasarnya sebagai tindakan. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa aliran pragmatis berpendapat bahwa semua kebenaran harus dibuktikan secara nyata
dalam tindakan praktis (Buch & Elkjaer, 2020). Apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar
hanya jika memiliki kegunaannya secara praktis. Tokoh-tokoh aliran ini adalah William James, John
Dewey, Charles Sanders Peirce dan F.C.S. Schiller. (Mahbub, 2018; Wilardjo, 2019).

12. Progresivisme

Sumber utama dari aliran progressivisme adalah eksperimentalisme pragmatis John Dewey.
John Dewey adalah pendukung utamanya. Baginya, masyarakat demokratis paling kondusif untuk
menerapkan metode keilmuan dan menciptakan komunitas demokrasi yang saling berbagi. Aliran ini
berpendapat bahwa pengetahuan sebagai kehidupan, percaya pada perubahan dan menolak segala
macam stabilitas dan fakta absolut. Progresif mengakui bahwa pencapaian masyarakat demokratis
bergantung pada dogmatisme dan kemutlakan yang menantang. Pengetahuan harus berorientasi pada
pertanyaan eksperimental, pertanyaan dan ide-ide yang menantang (Kooli et al., 2019).

Penutup

Filsafat ilmu berkembang dari mazhab atau aliran yang satu ke mazhab atau yang lainnya. Hal
ini dapat terjadi karena filsafat ilmu sendiri merupakan bagian dari filsafat yang juga memiliki
beragam mazhab atau alirannya. Gagasan yang dicetuskan oleh para filsuf, menjadi suatu aliran
pemikiran atau paham yang mempunyai pengikut sendiri-sendiri. Dalam perkembangannya, suatu
aliran dapat dibantah oleh pemikir lain sehingga mencetuskan suatu aliran atau mazhab baru. Hal ini
dapat dimaklumi karena filsafat ilmu juga lahir dari hasil pemikiran manusia yang tidak pernah
berakhir.
8
Daftar Pustaka
Baiti, R. (2016). Pemikiran Manusia Dalam Aliran – Aliran Filsafat. Jurnal Wardah, 16(1), 85–93.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/warda/article/view/361/319
Bakti Fatwa Anbiya. (2020). Filsafat Progresivisme dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai General Education di Indonesia. Civic Culture, 4(301–311), 301–311.
Buch, A., & Elkjaer, B. (2020). Pragmatism and Practice Theory: Convergences or Collisions.
Caderno de Administração, 27(2), 1–17. https://doi.org/10.4025/cadadm.v27i2.52244
Isaac, A. M. C. (2020). Realism without tears II. Studies in History and Philosophy of Science Part A,
79(August 2018), 15–29. https://doi.org/10.1016/j.shpsa.2019.01.003
Kooli, C., Zidi, C., & Jamrah, A. (2019). The Philosophy of Education in the Sultanate of Oman:
Between Perennialism and Progressivism. American Journal of Education and Learning, 4(1),
36–49. https://doi.org/10.20448/804.4.1.36.49
Losee, J. (2013). A Historical Introduction to the Philosophy of Science. In Oxford University Press
(Vol. 8, Issue 1). https://doi.org/10.2307/1573195
Mahbub. (2018). Aliran-Aliran Dalam Filsafat Ilmu. Institute Agama Islam Negeri Madura,
December. https://www.researchgate.net/publication/329518878%250
Mardlatillah, A. S. dan A. (2013). Pengetahuan Epistimologi Dalam Aliran Filsafat Ilmu Berdasarkan
Para Filosof Dunia. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Mesiono. (2018). Esensi Pendidikan Presfektif Analisis Filsafat Pendidikan. Jurnal Pendidikan:
Ittihad, Vol. II, N(2), 2580–5541. http://ejournal-ittihad.alittihadiyahsumut.or.id
Musdiani. (2011). Aliran-Aliran dalam Filsafat. Jurnal Visipena, Volume II., 10–16.
https://visipena.stkipgetsempena.ac.id/?journal
Noonan, J. (2020). Historical materialism as mediation between the physical and the meaningful.
Philosophy and Social Criticism, 1–17. https://doi.org/10.1177/0191453720919917
O’Malley, J. W. (2019). Theology before the Reformation: Renaissance Humanism and Vatican II.
Theological Studies, 80(2), 256–270. https://doi.org/10.1177/0040563919836245
Sari, D. A. (2020). Kedudukan Epistemologi Dalam Filsafat Barat. Jaqfi: Jurnal Aqidah Dan Filsafat
Islam, 5(1), 35–52. https://doi.org/10.15575/jaqfi.v5i1.5685
Stein, S. (2019). Absolute Idealism. In A Companion to Nineteenth-Century Philosophy.
https://doi.org/10.1002/9781119210054.ch3
Vandekerckhove, W. (2020). COVID, Existentialism and Crisis Philosophy. Philosophy of
Management, 19(2), 127–132. https://doi.org/10.1007/s40926-020-00140-2
Wilardjo, S. B. (2019). ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ILMU. Value Added, 7(2), 1–16.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/vadded/article/view/699

9
Glosarium:
Dualisme : aliran atau paham yang memandang alam ini terdiri atas dua jenis hakikat yakni
hakikat materi dan hakikat rohani.
Eksternalisasi : suatu pencurahan kedirian manusia yang terus menerus ke dalam dunia, baik dalam
aktivitas fisik maupun mentalnya.
Empiris : berdasarkan pengalaman inderawi.
Empirisme : adalah aliran filsafat yang berpandangan bahwa pengalaman inderawi merupakan
sumber utama untuk pengetahuan.
Epistemologi : merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang kemungkinan manusia
mengusahakan pengetahuan.
Essensi : inti dari realitas
Estetika : cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan.
Etika : filsafat moral, cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia, dilihat baik-
jahatnya berdasar kodratnya sebagai manusia.
Fenomenologis: aliran yang mencari hakikat realitas dengan memperhatikan apa yang nyata-
nyata menampakkan diri dalam kesadaran atau fenomen.
Filsafat ilmu : pembahasan secara filosofis terhadap ilmu pengetahuan, dalam rangka memperoleh
pemahaman secara rasional, obyektif, menyeluruh dan mendalam.
Hakikat : inti sari atau hal yang pokok.
Hakiki : pokok, inti.
Hipotesis : sesuatu keterangan yang bersifat sementara atau untuk keperluan pengujian dan
pangkal penyelididkan lebih lanjut sampai diperoleh kepastian dengan pembuktian.
Idealisme : aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah
Ilmiah : memiliki ciri-ciri yang selaras dengan kaidah-kaidah keilmuan.
Induktif : penalaran dari rumusan yang khusus ke dalam kesimpulan yang lebih bersifat umum.
Irasional : tidak menggunakan kaidah berpikir yang rasional, untuk menghindari ketersesatan
dalam mengusahakan kebenaran.
Kebenaran : kualitas dari kegiatan berpikir serta hasilnya dengan segala ungkapannya, yang berupa
kecocokan hubungan antara yang diterangkan dan yang menerangkan dalam suatu
proposisi atau pernyataan.
Kritis : usaha pemikiran dengan menyadari arah tujuannya, yaitu mencari kejelasan dan
kebenaran.
Logika : merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan
mana yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan kita sah.
Logis : usaha pemikiran yang didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran, agar tidak tersesat,

10
tetapi berpikir lurus untuk sampai pada kejelasan dan kebenaran.
Materialisme : Paham atau aliran ini menganggap bahwa di dunia ini tidak ada yang lain, selain
materi atau alam dan dunia fisik.
Pengetahuan aposteriori: pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman (inderawi) terhadap
realitas atau terhadap fakta.
Pengetahuan apriori: pengetahuan yang diperoleh langsung dari akal budi (berdasarkan penalaran akal
budi), tanpa perlu adanya pengalaman/ pengamatan Inderawi terlebih dahulu.
Positivisme : aliran yang selalu berpangkal pada apa yang telah diketahui, yang faktual dan positif.
Pragmatisme : aliran yang menyatakan bahwa apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar
hanya jika memiliki kegunaannya secara praktis.
Radikal : secara mendalam untuk menemukan akar (radix) seluruh kenyataan. Rasional :
berdasarkan penalaran akal-budi.
Rasional : kegiatan pemikiran yang dilakukan secara optimal, yaitu diusahakan secara kritis
(terarah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang benar), logis (mematuhi
kaidah-kaidah berpikir yang lurus), serta sistematis (menyusun hasilnya dalam
kerangka pemikiran yang konsisten dan koheren antar bagianbagiannya).
Rasionalisme : adalah aliran yang berpandangan bahwa akal budi merupakan sumber utama untuk
pengetahuan.
Sistematis : adanya satu-kesatuan pemikiran, dan tidak adanya pertentangan antara bagian satu
dengan lainnya.

11

Anda mungkin juga menyukai