Anda di halaman 1dari 2

Review Jurnal Kata Majemuk oleh Aulia Destya Putri

Jurnal : Kata Majemuk Bahasa Indonesia : Suatu Kajian Linguistik Tranformasional


Generatif

Seringkali kita mendengar atau mengetahui kalimat majemuk namun jarang mendengar
kata majemuk, padahal suatu ujaran/tulisan dapat menjadi sebuah kalimat utuh hingga
kompleks apabila terdapat susunan kata sehingga dengan kata lain, suatu kalimat dapat
dikatakan menjadi kalimat majemuk apabila terdiri dari susunan kata majemuk. Kata
majemuk merupakan pembentukan kata berdasarkan proses morfologis yang diakui juga
oleh aliran tatabahasa transformative generative. Suatu kata dapat menjadi sebuah kata
majemuk apabila melalui proses pemajemukan, yakni proses pembentukan kata(leksem)
baru dengan menggabungkan dua kata atau lebih. Menurut O’ Grady dan Dobrovolsky
(dalam Ba’dudu dan Herman, 2005:30) mengungkapkan jika pemajemukan merupakan
proses pembuatan kata-kata baru yang dihasilkan dari penggabungan dua kata atau lebih
(dengan atau tanpa afiks). Namun, adanya pemajemukan ini dalam perkembangannya
masyarakat seringkali mencampuradukan atau memadupadankan kata sesuka hatinya
dan tidak sesuai dengan kaidah sehingga terjadi kerancuan, sehingga perlu untuk
mempelajari juga bagaimana mengidentifikasi sebuah kata majemuk. Menurut Baeur,
cara umum untuk pengklasifikasi kata majemuk ialah dengan melihat struktur fungsi
kata tersebut dalam suatu kalimat (nomina majemuk, verba majemuk, adjektiva
majemuk, dan adverbia majemuk).
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita mengenal kata majemuk melalui telaah
perkembangan penggunaan kata mejemuk dalam bahasa Indonesia. Secara historis, kata
majemuk pertama kali digunakan oleh Koewatin Sastragonda dan berjalannya waktu
penggunaan istilah ini juga digunakan oleh para ahli bahasa lain seperti Ramlan, J.S
Ba’dudu, dan Gorys Keraf. Namun terdapat juga linguis yang tidak menerima konsep
ini, seperti Fokker dan Parera. Menurut Fokker, dalam bahasa Indonesia hanya terdapat
bentuk tetap(kelompok kata yang dipakai berkali-kali sehingga menimbulkan
penyekatan sintaksis). Sedangkan menurut Parera, konsep majemuk yang
pembuktiannya lebih condong terhadap pemaknaan ketimbang structural dan adanya
kontradiksi terkait definisi “kata majemuk” yang menggabungkan dua kata namun
memiliki satu makna.
Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat para linguis lain yang terus meneliti
penggunaan kata majemuk dari tahun ke tahuun hingga sekarang. Pandangan tersebut
bermula dari penelitian Koewatin terkait kata-kata bahasa melayu dan sansekerta yang
dibangun dari dua perkataan dengan salah satunya menjadi keterangan bagi lainya serta
membedakan kata majemuk dengan kata bersusun. Lalu pendapat ini disempurnakan
oleh C. A. Mees terkait penggunaan istilah “persenyawaan” yakni dengan
menggabungkan dua kata yang memunculkana suatu pengertian baru(tidak menjadi
perwakilan atas kata lain) sehingga keduanya sedikit kehilangan makna atas dirinya
namun disaat bersamaan memiliki makna baru apabila bersama. Sedangkan menurut S.
T. Alisjahbana menerapkan ciri pengulangan terhadap kata majemuk harus ditulis
semua apabila terdapat pengulangan. Dan yang terakhir oleh J.S Ba’dudu dan Keraf
yang mengungkapkan ciri – ciri kata majemuk yang lebih kompleks dan terperinci yang
kita kenal sekarang dan disempurnakan oleh tim Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Seperti yang telah dijelaskan di awal, pembahasan ini mengacu pada permasalahan
penggunaan kata majemuk yang tidak sesuai dan menumbulkan kerancuan sehingga
diperlukan mengidentifikasi kata tersebut dengan melihat ciri fungsi kata tersebut
berdasarkan ciri – ciri yang telah dikemukakan oleh para linguis di atas. Berdasarkan
hal tersebut, cara penanda perbedaan kata majemuk dengan kata lain atau frasa dapat di
analisis berdasarkan :
A. Ciri arti
B. Ciri kontruksi morfologis
C. Ciri Kontruksi sintaksis
D. Ketaktersisipan
E. Ketakterluasan
F. Ketakterbalikan

Anda mungkin juga menyukai