Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH


MATA KULIAH USHUL FIQH

DOSEN PENGAMPU:
NUR CAHAYA NASUTION, MA

DI SUSUN OLEH:
NABELA PUTRI NANDA: 2113000061

PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI
2022
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang telah menganugerahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya, karena hanya dengan karunianya makalah yang berjudul
“Kaidah-kaidah Fiqih” ini dapat selesai tanpa hambatan yang berarti. Shalawat
dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. utusan dan
manusia pilihan-Nya yang mengantarkan umat manusia minadzdzulumati ilan-
nuur, yakni addinul Islam (dari zaman kegelapan menuju zaman yang bercahaya,
yakni agama Islam).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Nur Cahaya Nasution, MA sebagai dosen pembimbing mata kuliah
Ushul Fiqih.
2. Rekan-rekan yang memberikan saran-sarannya dan semangat pada
pemakalah agar dapat menyusun makalah ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan
dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 18 November 2022

Penulis

ii
Daftar Isi
Kata Pengantar. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
Daftar Isi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .1
B. Rumusan Masalah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
C. Tujuan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah Fiqih. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .2
B. Sejarah Ringkas Kaidah-kaidah Fiqih. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
1. Fase Pertama. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
2. Fase Kedua. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3
3. Fase Ketiga. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .4
C. Beberapa Kaidah Fiqih. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
1. Segala Urusan Tergantung pada Tujuannya. . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2. Keyakinan Tidak Dapat Dihapus dengan Keraguan. . . . . . . . . . . . 6
3. Kesukaran Itu Menarik Kemudahan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
4. Kemudharatan Itu harus Dilenyapkan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
5. Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan sebagai Hukum. . . . . . . . . . . . . . 10
D. Manfaat Mengetahui Kaidah-kaidah Fiqih. . . . . . . . . . . . . . . . . . .11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
B. Kritik dan Saran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .12
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari
ajaran Islam. Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan
dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan
tentang ilmu ini menjadi sangat penting. Apalagi untuk mengetahui hukum-
hukum atau peraturan yang digunakan dalam kehidupan manusia di dunia
khususnya bagi umat Islam sendiri.
Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun makalah ini
sendiri, akan membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang
perlu mendapatkan perhatian untuk memecahkan suatu masalah.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan kaidah-kaidah fiqih ?
b. Apa saja kaidah-kaidah fiqih itu ?
c. Apa dasar-dasar pengambilan kaidah-kaidah fiqih tersebut ?
d. Apa manfaat mengetahui kaidah-kaidah fiqih ?
C. Tujuan
a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai kaidah-kaidah
fiqih.
b. Membantu pelajar mengerti dan memahami macam-macam kaidah-
kaidah fiqih secara umum.
c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kaidah Fiqih
Secara etimologi, arti kaidah adalah asas (dasar) yang menjadi dasar
berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan dasar sesuatu atau fondasinya
(pokoknya).
Adapun menurut istilah atau terminologi, ulama ushul membuat
beberapa definisi, antara lain:
1. Dalam kitab At-Ta‟rifat
Artinya: “Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-
bagiannya.
2. Dalam kitab Syarah Jamu‟ al-Jawami‟
Artinya: “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan
pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.
3. Dalam kitab At-Talwih „ala at-Taudih
Artinya: “Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya,
dan bisa diketahui hukumnya”.
4. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair
Artinya: “Ketentuan yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya
serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut”.
5. Dalam kitab Syarh Mukhtashor al-Raudah fi Ushul Fiqih
Artinya: “Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya
melalui penalaran”.

Jadi kaidah fiqih adalah kaidah umum yang meliputi seluruh cabang
masalah-masalah fiqih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum
setiap peristiwa fiqhiyah baik yang telah ditunjuk oleh nash maupun yang
belum ada nashnya sama sekali.1 Dan penggalian hukumnya bisa dilakukan

1
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

2
dengan menyamakan sebuah kasus yang telah ada hukumnya dalam fiqih
dengan kasus yang belum ada2.

B. Sejarah Ringkas Kaidah-kaidah Fiqih (Qawa’idul Fiqih)


Tinjauan terhadap sejarah perkembangan dan penyusunan qawa‟idul
fiqihiyah dapat dibagi menjadi tiga fase:
1. Fase Pertama
Fase pertama ini merupakan fase kemunculan dan berdirinya
kaidah fiqih yang dimulai dari zaman Rasulullah hingga akhir abad III
H atau IX M.3 Jika kaidah fiqih didefinisikan sebagai ketentuan hukum
yang dapat mencakup berbagai masalah furu‟, maka banyak hadits yang
dapat dikategorikan sebagai kaidah fiqih. Misalnya dalam beberapa
hadits berikut ini:
a. “Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang
sedikitnya juga haram”
b. “Bukti yang dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang
inkar (tergugat)”
c. “Tidak madharat dan tidak memadharatkan”
2. Fase Kedua
Fase kedua ini dimulai pada abad 4 H atau 10 M sampai lahir
kompilasi hukum Islam pada masa Turki Utsmani pada abad 13 H atau
19 M. Pada masa ini, kitab-kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing
madzhab fiqih memiliki kitab pegangan tertentu. Ketika itu, tampaknya
para ulama merasa puas dengan kitab fiqih yang ada dan melimpah
ruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.
Masa keemasan dari pembukuan kaidah-kaidah fiqih terjadi pada
abad 8 H. Pada abad ini banyak lahir kitab kaidah, terutama di kalangan
ulama Syafi‟iyah. Kaidah-kaidah fiqih tersebut kemudian
disempurnakan secara sistematis pada abad 9 H. Hal ini terlihat jelas
dari kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya Ibnu Mulaqqin (723-804

2
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih (Surabaya: Pena Salsabila, 2013)
3
Prof. Dr. Rachmat Syafe‟I, M.A, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

3
H/1323-1402 M) atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-Hishal (752-
829 H/1351-1425 M). Dan akhirnya, puncak keemasan pembukuan
kaidah fiqih terjadi pada abad 10 H yang ditandai oleh lahirnya kitab al-
Ashbah An-Nazhair karya Jalal Ad-Din Ay-Suyuthi yang merupakan
kitab kaidah fiqih terbaik.4
Penulisan kaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi
dari kalangan ulama Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama menulis
kaidah fiqih dengan cara mengutip dan menghimpun kaidah-kaidah
yang terdapat pada kitab-kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain
itu, merekapun melakukannya dengan jalan mencantumkan kaidah-
kaidah fiqih daam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari illat dan
men-tarjih suatu pendapat. Sebagai contoh, ketika Al-Juwaini (w. 478
H/1085 M) menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung pada
kemampuan seseorang, ia mencantumkan kaidah yang artinya “Sesuatu
yang bisa dilakukan tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat
dilakukan” yang selanjutnya berkembang dan berubah menjadi
“Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit
dilakukan”.
3. Fase Ketiga
Fase ini dimulai dengan kelahiran Majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah
(Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Utsmani) Kompilasi ini pada
dasarnya merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman Sultan „Abd
Al-Aziz Khan Al-Utsmani yang ditetapkan pada tanggal 26 Sya‟ban
1292 H atau 28 September 1875 M. Ia merupakan ensiklopedi fiqih
Islam dalam bidang mu‟amalah dan hukum acara dengan bahasa
perundang-undangan. Di antara kaidah fiqih adalah:
a. Pasal 12
“Ashal dalam suatu perkataan adalah makna hakikat”.
b. Pasal 13

4
Ibid

4
“Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan
makna eksplisit”.
c. Pasal 14
“Tidak dibenarkan berijtihad ketika ada nash (qath‟i)”.
C. Beberapa Kaidah Fiqih
Ada lima kaidah fiqih yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi
dasar dan prinsip umum dari seluruh materi fiqih. Kelima kaidah itu adalah:
1. Segala Urusan Tergantung pada Tujuannya

ِ َ‫ْاْلُ ٍُ ْ٘ ُر ِت ََق‬
‫اص ِذَٕا‬
“Setiap perkara itu menurut maksudnya”

Niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria


yang menjadikan nilai dan status hukum yang dilakukannya. Apakah nilai
dari perbuatan itu sebagai amal syari‟at atau perbuatan kebiasaan dan
apakah status hukumnya jika sebagai amal syari‟at wajib atau sunnah atau
lainnya. Itulah sebabnya, kaidah ini bisa diterapkan hampir pada seluruh
masalah fiqhiyah. Dalam kaidah ini, ulama menetapkan bahwa niat
merupakan rukun (bagian yang tak terpisahkan) dan tanpa adanya niat, suatu
perbuatan tidak sah. Landasan dari kaidah ini adalah beberapa ayat Al-
Qur‟an, misalnya:

Surah Al-Bayyinah (98) ayat 5:

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan
yang demikian itulah agama yang lurus”.

5
Surah Ali Imran (3) ayat 145:

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)
kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang bersyukur”.

Ada juga hadits Nabi SAW., tentang hal ini misalnya:

ّٛ٘‫اخ ٗإَّا ىنو اٍزئ ٍا‬ْٞ‫إَّا األعَاه تاى‬


Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan
sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.

2. Keyakinan Tidak Dapat Dihapus dengan Keraguan

َّ ‫ُزَ ا ُه ِتا ى‬ٝ ‫ ُِْ ْل‬ٞ‫َ ِق‬ٞ‫اَ ْى‬


‫ش ِّل‬
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Yang dimaksud yakin adalah
ْ َّْ‫ ُِْ ُٕ َ٘ ٍَا َماَُ ثَا ِتتًا ِتا ى‬ٞ‫َ ِق‬ٞ‫اَ ْى‬
‫ ُو‬ْٞ ‫ظ ِز َٗاىذَّ ِى‬
“Sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.
Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah

َ َ‫عذَ ٍِ ِٔ ٍَ َع ت‬
ِٙٗ ‫ضا‬ َ َٗ ‫خ‬ ِ ْ٘ ُ‫َِْ اىثث‬ٞ‫شل ُٕ َ٘ ٍَا َماَُ ٍُتَ َز ِدّدًا َت‬ َّ ‫ْاى‬
َٚ‫عي‬َ ‫ْحِ اَ َح ِذ ِٕ ََا‬ٞ‫اء د َُُْٗ تَ ْز ِج‬
ِ ‫ط‬ َ ‫ب َٗ ْاى َخ‬ َّ ‫ اى‬ْٚ َ‫ط َزف‬
ِ ‫ص َ٘ا‬ َ
‫األ َخ َِز‬

6
“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam
ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya.”
Contoh apabila ada bukti kuitansi seseorang berhutang, kemudian
timbul perselisihan tentang sudah membayar menurut yang berhutang dan
belum membayar menurut yang mengutangkan, maka yang dipegang
perkataannya adalah dari yang berhutang karena memiliki kuitansi
tersebut. Atau seseorang ragu-ragu berapa raka‟at yang ia lakukan dalam
shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang
paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang
diragu-ragukan.
3. Kesukaran Itu Menarik Kemudahan

َ ََ ‫ْاى‬
ُ ‫شقَّحُ تَ ْج ِي‬
‫ض ُِز‬ْٞ َّ ‫ة اىت‬
“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Dalam kaidah ini, memberikan keringanan pelaksanaan aturan-aturan
syari‟ah dalam keadaan khusus. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal
dengan istilah rukhsah. Rukhsah merupakan jalan agar syari‟at Islam dapat
dilakukan kapan saja dan dimana saja. Yaitu dengan memberi kelonggaran
atau keringanan dalam menjumpai suatu kesukaran dan kesempitan5. Hal
itu antara lain dikarenakan kemampuan seorang mukallaf itu terbatas.
Contohnya, orang yang sedang bepergian jauh dibolehkan mengqashar
atau menjamak shalat, dan boleh berbuka puasa apabila sedang mengalami
kesulitan misalnya sakit atau bepergian jauh. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang
berhubungan dengan kaidah ini antara lain:

Surah Al-Baqarah ayat 185:

ُ‫ا‬ِ َ‫ ۚ َٗ ْاىفُ ْزق‬َٙ‫َْاخ ٍَِِ ْاى ُٖذ‬ِّٞ ‫اس َٗ َت‬ِ َّْ‫ ِىي‬ًٙ‫ ِٔ ْاىقُ ْزآ ُُ ُٕذ‬ِٞ‫ أ ُ ّْ ِز َه ف‬ِٛ‫ضاَُ اىَّذ‬ َ ٍَ ‫ش ْٖ ُز َر‬
َ
ۚ ً‫َّا‬َٝ‫صفَز فَ ِعذَّج ٍِ ِْ خ ََزأُأ‬ َ ْٗ َ ‫ضا أ‬
َ َٚ‫عي‬ ً ٝ‫ص َُْٔ َٗ ٍَ ِْ َماَُ ِر‬ ُ َٞ ‫ش ْٖ َز ۚفَ ْي‬ َّ ‫ش ِٖذَ ٍِ ْْ ُن ٌُ اى‬
َ ِْ ََ َ‫ف‬
5
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)

7
ٌْ ‫ ٍَا َٕذَا ُم‬َٚ‫عي‬ َ َّ ‫ذُ ِت ُن ٌُ ْاىعُض َْز َٗ ِىت ُ ْن َِيُ٘ا ْاى ِعذَّج َ َٗ ِىت ُ َن ِّث ُزٗا‬ٝ‫ُض َْز َٗ َْل ِر‬ٞ‫ّللاُ ِت ُن ٌُ ْاى‬
َ ‫ّللا‬ َّ ُ‫ذ‬ٝ‫ ُِز‬ٝ
َُٗ‫َٗ َى َعيَّ ُن ٌْ ت َ ْش ُن ُز‬
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur”.

Surah Al-Hajj ayat 78:

Artinya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan.”
Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:

َّ ‫فَحُ اى‬ْٞ ِْ‫ هللاِ ْاى َح‬َٚ‫ ِِْ اِى‬ّٝ‫ُ ْضز ا َ َحة اى ِذ‬ٝ ُِْ ّٝ‫اى ِذ‬
)ٙ‫ض َْ َححُ (رٗآ اىثخار‬
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama
yang benar dan mudah”. (HR Bukhori).

4. Kemudharatan Itu harus Dilenyapkan

‫ُزَ ا ُه‬ٝ ‫ار‬


ُ ‫اىض ََّز‬
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”

8
Kaidah ini mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta
pengaruh dari kemudharatan tersebut6. Dengan kata lain, kaidah ini
menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu atau yang dapat mendatangkan
kerugian itu tidak dibolehkan oleh agama Islam. Contohnya seperti
memakan makanan yang haram dalam keterpaksaan karena tak ada
makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Kaidah ini
berdasarkan pada beberapa ayat Al-Qur‟an antara lain:
Surah Al A‟raf ayat 56:

Artinya: “dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan di bumi.”


Surah Al Qoshosh ayat 77:

‫ا َٗأ َ ْحض ِِْ َم ََا‬َٞ ّْ ‫ َث َل ٍَِِ اىذ‬ٞ‫َص‬ َ ْْ َ ‫ ِخ َزج َ َٗ َْل ت‬ٟ‫َّار ْا‬
ِ ّ‫ش‬ َّ ‫اك‬
َ ‫ّللاُ اىذ‬ َ َ ‫ ََا آت‬ٞ‫َٗا ْتتَغِ ِف‬
َِِٝ‫ُ ِحة ْاى َُ ْف ِضذ‬ٝ ‫ّللاَ َْل‬ َ َ‫ َْل َٗ َْل تَثْغِ ْاىف‬َٞ‫ّللاُ ِإى‬
ِ ‫ ْاأل َ ْر‬ِٜ‫ضادَ ف‬
َّ َُّ ‫ض ِإ‬ َ ‫أ َ ْح‬
َّ َِ‫ض‬

Artinya: “sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang


membuat kerusakan.”
Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:

‫ار‬ ِ َ‫ض َز َر َْٗل‬


َ ‫ض َز‬ َ َ‫ْل‬
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat
kerusakan pada orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

5. Adat Kebiasaan Itu Ditetapkan sebagai Hukum

‫اَ ْى َعادَ ج ُ ٍُ ْح َن ََح‬


“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

6
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih

9
Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam
istilah hukum sering disebut sebagai „urf atau „adah. Walaupun sebagian
ulama juga ada yang membedakan keduanya. Namun, menurut jumhur
ulama, suatu „adah bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur‟an maupun as-
Sunah.
b. Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal
yang sejahtera.
c. Tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
d. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh
dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
Contoh dari kaidah ini antara lain:
a. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena
tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan („adah)
maka ulama membolehkan.
b. Orang-orang mengajarkan Al-Qur‟an dibolehkan menerima gaji,
hal itu antara lain agar Al-Qur‟an tetap eksis di kalangan umat
Islam.
Dasar nash kaidah ini adalah:
Firman Allah SWT. pada surah Al A‟raf ayat 199:

“dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma‟ruf serta


berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS. Al A‟raf: 199)
Sabda Nabi SAW:
“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula di sisi Allah.”
(HR. Ahmad)
Inilah macam kaidah fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka
jalan untuk memahami kaidah-kaidah lainnya. Oleh karena kaidah fiqih ini
berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan
secara luas, diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-

10
masalah yang bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, atau juga
masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
Jadi, apabila kita sederhanakan, proses pembentukan kaidah fiqih dapat
digambarkan dengan skema sebagai berikut:

D. Manfaat Mengetahui Kaidah Fiqih


Beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dengan mengetahui kaidah-
kaidah fiqih ini antara lain:
a. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih, kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqih.
b. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqih, akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
c. Dengan kaidah fiqih akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqih
dalam waktu dan tempat yang berbeda serta untuk keadaan yang berbeda.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan warisan
ulama terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di
atas. Ia berupa hasil perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh
karena itu dapat dijadikan solusi alternatif karena dapat dijadikan landasan
dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam
masyarakat secara benar, adil, dan arif. Hal ini perlu karena perubahan
waktu, tempat dan adat kebiasaan masyarakat dapat mengakibatkan
pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.
Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat, akan
timbul kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para
peminat kajian hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum
Islam dan pencapaian kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku
individu, dan masyarakat berdasarkan syari‟at Islam.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah ini kami buat. Kami sadar makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang
akan datang. Dan sebagai umat Islam hendaknya kita juga ikut andil dalam
mengetahui kaidah-kaidah fiqih untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan
menggunakannya untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul di
sekitar kita.

12
Daftar Pustaka
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media
Syafe‟I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka
Setia
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih
The Noble Al-Qur‟an
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013. Surabaya: Pena
Salsabila

Anda mungkin juga menyukai