HENDRA
HENDRA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar mempunyai pengertian yag sangat umum dan luas, boleh kita katakan bahwa sepanjang
kehidupan seseorang selalu mengalami proses belajar. Dari berbagai macam pengalaman yang
diperoleh seseorang bisa mengembangkan dan merubah cara dan gaya berfikir dan
mengerjakan suatu pekerjaan. Dari berbagai macam pengalaman itu pula, seseorang bisa
mendapatkan dan membentuk pengetahuan, pengertian dan nilai nilai, sikap sikap tertentu dan
gambaran tentang dunia sekitar dan lingkungannya serta keduduknnya dalam lingkungan
tersebut.
Belajar dianggap sebagai proses perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan
yang sering dilakukan, oleh karena itu belajar bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan.
Belajar merupakan proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan
munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental tersebut muncul karena adanya interaksi
individu dengan lingkungan hidup yang ada disekitarnya. Proses belajar merupakan kegiatan
mental yang tidak bisa kita lihat. Kita hanya bisa melihat adanya tanda tanda perubahan
perilaku yang tampak dari orang yang melakukan kegiatan belajar tersebut.
Banyak teori yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku. Dalam suatu
pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori belajar. Setiap aliran teori belajar
tersebut memiliki pandangan sendiri-sendiri tentang belajar. Pandangan-pandangan itu
umumnya berbeda satu sama lain dengan alasan-alasan tersendiri.
Dalam makalah ini penulis memfokuskan pembahasannya terhadap salah satu Teori belajar
saja, yaitu Teori belajar Humanistik. Teori Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap
individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan
kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.
Munculnya teori belajar humanistik ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan pendidikan
humanistik yang memfokuskan diri pada hasil afektif, belajar tentang bagaimana belajar dan
belajar untuk meningkatkan kreativitas dan potensi manusia. Teori belajar Humanistik sifatnya
lebih abstrak dan lebih mendekati bidang filsafat, teori keperibadian, dan psikoterapi dari pada
bidang kajian psikologi belajar.Teori ini sangat mementingkan isi yang dipelajari dibanding
proses belajar itu sendiri. Adapun yang termasuk golongan aliran humanistik adalah David
Kolb, Honey, Mumford, Hubermas, Bloom dan Krathwohl
Mereka berpendapat bahwa tujuan utama pendidik adalah membantu siswa mengembangkan
dirinya yaitu membantu individu untuk mengenal dirinya sendiri sebagai manusia yang unik
dan membantu mewujudkan potensi mereka. Penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus
sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Belajar Menurut Teori Belajar Humanistik
Aktifitas Belajar Menurut Oemar Hamalik, adalah “suatu proses perubahan tingkah laku
individu melalui interaksi dengan lingkungannya”.[1] Sedangkan menurut Thursan
Hakim,“Belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan
tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti
peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir,
dan lain-lain kemampuan”.[2]
Dari definisi di atas, dapat digaris bawahi bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah
laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya suatu kualitas dan kuantitas
kemampuan orang itu dalam berbagai bidang. Jika di dalam suatu proses belajar seseorang
tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan
orang tersebut belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami
“kegagalan” di dalam proses belajar.
Menurut Teori humanistik, Proses Belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan
memanusiakan manusia[3]. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat
laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.
Teori Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini
melihat kejadian yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang
positif. Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif. Misalnya kemampuan dalam ketrampilan membangun dan
menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, kepercayaan, penerimaan, kesadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal dan pengetahuan interpersonal lainnya.
Jadi intinya adalah meningkatkan kualitas keterampilan interpersonal dalam kehidupan sehari
– hari. Selain menitikberatkan pada interpersonal, para pendidik juga membuat pembelajaran
yang membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi,
mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan dan berfantasi. Pendekatan ini mengedepankan
pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai sebagai hal yang
mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi.
Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakteristik yang sangat kuat dan nampak dari para
pendidik beraliran humanistik. Karena berfikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan
pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu potensi terbesar manusia.[4] Dari
perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan yang lebih responsif
terhadap kebutuhan kasih sayang (affektive) siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang
berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral.[5]
Jika kita bandingkan antara aliran behaviorist dan humanist, keduanya mempunyai pandangan
yang berbeda dalam melihat masalah perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh orang yang
belajar. Para behaviorist mengatakan bahwa manusia adalah sebagai makhluk reaktif yang
memberikan responnya terhadap lingkungannya. Pengalaman masa lampau dan
pemeliharaannya akan membentuk perilaku mereka. Sedangkan Humanist mengatakan bahwa
setiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri, mereka bebas memilih kwalitas hidup
mereka dan tidak terikat oleh lingkungannya.[6]
Teori Humanistik adalah teori yang bersumber dari asumsi ajaran humanisme. Model
pembelajaran menurut teori ini merupakan model belajar yang dikemas dalam pendidikan
kemanusiaan dari pada pendidikan tentang yang khusus untuk profesi tertentu. Oleh karena itu,
kecenderungan yang berada di luar diri peserta didik tidak menjadi perhatian dari teori ini.
Teori Humanistik tidak boleh memksakan kehendak kepada anak. Sejalan dengan kreteria
tersebut Knight memberikan ciri utama teori humanistik dengan pernyataan “ Educational
humanism has placed even more stress on the uniqueness of individual child”[7]. Teori
Humanistik lebih menekankan keunikan individu. Orientasi yang tidak sesuai dengan potensi
anak tidak menjadi sasaran teori humanistik.
Pengembangan potensi ditujukan pada ciri utama manusia, berupa kemampuan diberi motivasi
guna mencapai tujuan belajar. Teori ini dalam pandangan Maslow memberikan tekanan yang
lebih besar pada pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi
manusiawi, memahami diri dan orang lain serta berhubungan dengan mereka, mencapai
pemuasan atas kebutuhan kebutuhan dasar manusia, tumbuh kearah aktualisasi diri. Teori ini
akan berusaha mengajak seseorang menjadi pribadi yang sebaik baiknya sesuai
kemampuannya.[8]
Meskipun demikian, Jika kita lihat tujuan yang di capai dari teori Humanistik, teori ini
merupakan teori belajar yang sangat Eklektik.[9] Dalam artian eklektisme yang dibawah oleh
teori humanistik ini bukanlah suatu sistem yang membiarkan unsur unsur tersebut dalam
keadaan sebagaimana aslinya. Teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk
memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri
orang yang belajar, secara optimal.
B. Pandangan David Kolb
Teori ini dikembangkan oleh David Kolb pada sekitar awal tahun 1980-an. Dalam
teorinya, Kolb mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui
transformasi pengalaman. Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan
mentransformasi pengalaman.
Experiential Learninng Theory kemudian menjadi dasar model pembelajaran
experiential learning yang menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam
proses belajar. Pengalaman kemudian mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Kolb
merupakan seorang ahli penganut aliran humanistik. Kolb membagi tahap tahap belajar
menjadi 4 yaitu, Tahap pengalaman Konkrit, Tahap pengalaman aktif dan reflektif, Tahap
konseptualisai, dan Tahap eksperimentasi aktif.
1. Tahap pengamalan konkrit (Concrete Experience)
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat
mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya.[10] Peserta didik akan
bisa melihat, merasakan, menceritakan suatu peristiwa tersebut sesuai dengan yang dialaminya.
Namun ia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa yang dialaminya tersebut.
Ia tidak bisa menjelaskan kenapa peristiwa tersebut bisa terjadi.
2. Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)
Pada tahap ini sudah ada observasi terhadap peristiwa yang dialami, mencari jawaban,
melaksanakan refleksi, mengembangkan pertanyaan- pertanyaan bagaimana peristiwa terjadi,
dan mengapa terjadi. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban terhadap peristiwa yang
dialaminya. Ia mulai melakukan sebuah refleksi pada peristiwa yang di alaminya dengan
mengembangkan pertanyaan tertanyaan terhadap peristiwa yang dialaminya[11]
3. Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)
Pada tahap ini seseorang sudah berupaya membuat sebuah abstraksi, mengembangkan suatu
teori, konsep, prosedur tentang sesuatu yang sedang menjadi objek perhatian. Berfikir induktif
banyak dilakukan untyk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai
peristiwa yang dialaminya.[12]
4. Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)
Pada tahap ini sudah ada upaya melakukan eksperimen secara aktif, dan mampu
mengaplikasikan konsep, teori ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan
untuk mempraktekkan dan menguji teori teori serta konsep konsep dilapangan. Siswa sudah
mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika
misalnya, siswa tidak hanya memahami “ asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu
memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui
sebelumnya.[13]
F. Aplikasi dan Implikasi dari Penerapan Teori Belajar Humanistik dalam Pembelajaran
Teori Humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi
dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah langkah
yang lebih konkret. Semua tujuan pendidikan di arahkan pada terbentuknya manusia yang
ideal, manusia yang di cita - citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri.
Maka sangat perlu diperhatikan perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya
serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar
perlu diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara
ketat, sebagaimana tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat
diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman belajar yang dipilih untuk
siswa mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam
Snelbecker, 1974). Hal ini tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar
bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri.[25]
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah
belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks
manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori
humanistic ini masih sukar untuk diterjemahkan kedalam langkah-langkah pembelajaran yang
praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini sangat besar. Ide-ide, konsep-konsep
tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami
hakekat kejiwaan manusia.
Dalam prakteknya teori humanistic ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam
proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang
langkah - langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistic, namun paling tidak dapat
dirumuskan langkah -langkah pembelajaran sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
2. Menentukan materi pembelajaran
3. Mengidentifikasikan kemampuan awal siswa
4. Mengidentifikasi topic-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secar aktif melibatkan
diri dalam atau mengalami dalam belajar
5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran
6. Membimbing siswa belajar secara aktif
7. Membimbing siswa untuk memahami hakekat makna dari pengalaman belajarnya
8. Membimbing siswa membuat konseptual pengalaman belajarnya
9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar[26]
Adapun Prinsip- prinsip belajar humanistic menurut Rogers adalah sebagai berikut
:
1. Manusia mempunyai belajar alami
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempuyai relevansi
dengan maksud tertentu
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan bila ancaman itu kecil
5. Belajar yang bermakna diperolaeh jika siswa melakukannya
6. Belajar lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
7. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang mendalam
8. Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri
9. Belajar sosial adalah belaja[27]
BAB III
Kesimpulan
Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar
dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata
lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung
bersifat elektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistik diantaranya adalah :
1. Kolb, dengan konsepnya tentang empat tahap belajar, yaitu pengalaman konkret,
pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif.
2. Honey dan Mumford, menggolongkan siswa menjadi 4, yaitu aktifis, reflektor, teoris, dan
pragmatis.
3. Hubermas, membedakan 3 macam atau tipe belajar, yaitu belajar teknis, belajar praktis,
dan belajar emansipatoris.
4. Bloom dan Krathwohl, dengan 3 kawasan tujuan belajar, yaitu kognitif, psikomotor, dan
efektf.
Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung mendorong siswa untuk
berfikir induktif. Teori ini juga amat mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa
secara aktif dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA
- B. Uno, Dr. Hamzah Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara.
- Budiningsih, Asri, Belajar dan pembelajaran, Jakarta; PT Rineka Cipta, 2005.
- Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Grasindo, 2002.
- Dr. Iskandar,M.Pd . Psikologi pendidikan ,Cipayung : Gaung persada (GP) Press,2009.
- Frank G. Goble, Madzab ke-tiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, terj. A.
Supratinya, Yogyakarta;Kanisius, 1997.
- Hakim,Thursan, Belajar secara Efektif, Solo: Niaga Swadaya, , 2007.
- Hamalik,Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
- Mahmud, Drs. M. Dimyati., Psikologi Pendidikan,Yogyakarta : BPFE – Yogyakarta, 1990.
- Sanjaya , Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta,
Kencana, 2008.
- Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya; Karya Abditama, 1994.
- Trianto, M.Pd, Mendesain Model pembelajaran Inovativ progresive, Jakarta, Kencana, 2010.