Anda di halaman 1dari 6

No.

1 pendidikan

‫أخبرنا أبو المغيرة حدثنا األوزاعي حدثني هارون بن رئاب عن‬


‫ اغد عالما ً أو‬:‫عبد هللا بن مسعود أنه كان يقول رسول ہللا ﷺ‬
‫ وال تعد فيما بين ذلك فإن ما بين‬،‫ أو لجبا‬$ً‫متعلما ً أو مستمعا‬
‫ وإن المالئكة تبسط أجنحتها للرجل غدا يبتغى‬، ‫ذلك جاهل‬

‫"العلم من الرضا بما يصنع‬C. TerjemahBersumber dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW
pernah bersabda, ”Jadilah kamu seorang yang Alim atau seorang Pendidik atau Pendengar atau
Pencinta (Ilmu; Ulama) dan janganlah kamu tidak menjadi seorang di antara kesemuanya sebagai
seorang yang bodoh, karena sesungguhnya malaikat senantiasa membentangkan sayapnya untuk
seorang yang menuntut ilmu.”D. Kandungan Hadis1. Pengertian Guru dan PeranannyaPendidik atau
Guru dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta
didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).28 Pendidik berarti juga orang dewasa yang
bertanggung jawab member pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat
kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT.
dan mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang
mandiri.29Pendidik pertama dan utama adalah orang tua sendiri. Mereka berdua yang bertanggung
jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat
tergantung kepada pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya.

- Hadits tentang manusia dan potensi pendidikannya

‫ ُك ُّل َم ْولُ ْو ٍد ي ُْولَ ُد َعلَى ْالف ِْط َر ِة َفا َ َب َواهُ ُي َهوِّ َدا ِن ِه اَ ْو ُي َنص َِّر ِن ِه اَ ْو‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ َقا َل َرس ُْو ُل‬: ‫َعنْ اَ ِبىْ ه َُري َْر َة َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َقا َل‬
َ ‫هللا‬
) ‫ارى َومُسْ لِ ْم‬ ْ
ِ ‫ُي َمجِّ َس ِن ِه ( َر َواهُ الب َُخ‬
Dari Abu Hurairah R.A, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
suci, ayah dan ibunyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori dan
Muslim)Di dalam hadits ini menceritakan bahwa seorang anak itu di lahirkan dalam keadaan suci,
tergantung dari orang tuanya anak tersebut mau dijadikan seperti apa, jadi pelajaran yang bisa kita
ambil dalam hadits ini adalah kita sebagai orang tua harus benar-benar dalam mendidik anak, karena
anak adalah amanat dari Allah SWT jadi amanah yang telah diberikan dari Allah harus kita jaga dan
rawat dengan hati-hati agar bisa mendapatkan pahalah dari Allah.

- Hadits tentang keutamaan orang yang mengamalkan ilmu

)‫ ْال َعالِ ُم َي ْن َتفِ ُع ِبع ِْل ِم ِه َخ ْي ٌر مِنْ اَ ْلفِ َع ِاب ٍد ( َر َواهُ ال َّد ْيلَ ِم‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ َقا َل َرس ُْو ُل‬: ‫َعنْ َعلِيٍّ َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َقا َل‬
َ ‫هللا‬
Dari Ali R.A ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Orang-orang yang berilmu kemudian dia
memanfaatkan ilmu tersebut (bagi orang lain) akan lebih baik dari seribu orang yang beribadah atau
ahli ibadah. (H.R Ad-Dailami)Di dalam hadits ini menceritakan bahwa orang yang mempunyai ilmu
dan kemudian memanfaatkan ilmunya orang tersebut lebih baik dari seribu orang yang ahli ibadah.

+ Tentang ibadah

*"Anjuran Meringankan Shalat Bagi Imam"*


ِّ‫ْن َأ ِبي َق َتا َد َة َعنْ َأ ِبي ِه َعنْ ال َّن ِبي‬ ٍ ‫َأ ْخ َب َر َنا س َُو ْي ُد بْنُ َنصْ ٍر َقا َل َح َّد َث َنا َع ْب ُد هَّللا ِ َعنْ اَأْل ْو َزاعِ يِّ َقا َل َح َّد َثنِي َيحْ َيى بْنُ َأ ِبي َكث‬
ِ ‫ِير َعنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ب‬
)‫ (رواه النسائي‬. ‫ش َّق َعلَى ُأ ِّم ِه‬ َ ‫صاَل ِة َفَأسْ َم ُع ُب َكا َء الص َِّبيِّ َفُأو ِج ُز فِي‬
ُ ‫صاَل تِي َك َرا ِه َي َة َأنْ َأ‬ َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل ِإ ِّني َأَلقُو ُم فِي ال‬ َ
Artinya:

_Dari Abdullah bin Abu Qatadah dari bapaknya, dari Nabi Shallallahu 'alihi wasallam bersabda: "Aku
sedang berdiri saat shalat, lalu kudengar tangis anak kecil, maka aku pendekkan shalatku karena aku
tidak suka memberatkan (menyusahkan) ibunya."_ (HR. An-Nasa'i)

*Pelajaran yang terdapat pada hadits di atas :*

1. Islam merupakan agama yang sempurna yang sangat menghargai status sosial bagi pemeluknya,
begitu juga dalam masalah ibadah. Dalam realita yang ada Rasulullah SAW. dalam mengemban
amanahnya tidak menuntut umatnya untuk beribadah secara sempurna, bahkan Rasulullah sendiri
yang mengajarkannya, seperti halnya saat beliau menjadi Imam.

2. Menurut Imam Al-Sindi dalam kitab _Syarh Sunan al-Nasa'i_ berpendapat bahwa sudah sangat
jelas Rasulullah SAW meringankan bacaannya dalam shalat tatkala beliau mendengar tangisan anak
kecil, beliau juga menambahkan bahwa Rasullullah juga pernah memanjangkan bacaannya saat
shalat agar para jamaah tidak masbuq dan mengetahui bilangan shalat.

3. Dalam segi hukum hadits tersebut menerangkan bahwa para kaum hawa saat zaman Rasulullah
SAW berjama'ah di Masjid karena hal tersebut sangat dianjurkan. Sehingga bagi para wanita, tidak
ada alasan bagi mereka untuk tidak berjama'ah di Masjid, sedangkan kalau hanya sekedar shalat
sunnah beliau tidak menganjurkan untuk shalat di masjid.

-*"Cara Mudah Mensyukuri Nikmat"*

ْ َ‫ظر ُْوا ِإلَى َمنْ ه َُو َف ْو َق ُك ْم َفه َُو َأجْ َد ُر َأنْ ال‬ ُ ‫ظر ُْوا ِإلَى َمنْ َأسْ َف َل ِم ْن ُك ْم َوالَ َت ْن‬
ُ ‫ ا ُ ْن‬:‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫عن َأ ِبي ه َُري َْر َة َقا َل َقا َل َرس ُْو ُل‬
َ ‫هللا‬
)‫ (رواه مسلم‬.”‫او َي َة “ َعلَ ْي ُك ْم‬ ‫َأ‬ ِ ‫َت ْز َدر ُْوا نِعْ َم َة‬
ِ ‫هللا َقا َل ب ُْو ُم َع‬

Artinya :

_Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: ”Pandanglah orang yang berada di
bawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih baik membuat kalian tidak
mengkufuri nikmat Allah." Abu mu’awiyah berkata: "atas diri kalian.”_ [HR. Muslim]

*Pelajaran yang terdapat pada hadits di atas :*

1. Dengan memiliki sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah
dunia, seseorang akan merealisasikan syukur kepada Allah dengan sebenarnya.
2. Jika seseorang selalu melihat orang yang berada di atasnya (dalam masalah harta dan dunia),
maka dia pasti akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada dirinya dan dia selalu merasa
kurang, bahkan ingin mendapatkan yang lebih dari orang lain.

3. Cara mengobati penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di
bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melakukan semcam ini, seseorang akan ridho
dan bersyukur, juga rasa tamaknya (rakusnya terhadap harta dan dunia) akan berkurang.

4. Jika seseorang sering memandang orang yang berada di atasnya, dia akan selalu mengingkari dan
tidak puas terhadap nikmat Allah yang diberikan padanya. Namun, jika dia mengalihkan
pandangannya kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur atas
nikmat-nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.

5. Dalam masalah agama, cara pandangnya harus berkebalikan dengan masalah materi dan dunia.
Hendaklah seseorang dalam masalah agama dan ibadah untuk bekal di akhirat kelak harus selalu
memandang orang yang berada di atasnya. Haruslah seseorang memandang bahwa amalan sholeh
yang dia lakukan masih sedikit dan masih kalah jauhnya dibanding para Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan
orang-orang sholeh. Para salafush sholeh yang sangat bersemangat sekali dalam kebaikan, dalam
amalan shalat, puasa, sedekah, membaca Al Qur’an, menuntut ilmu dan amalan lainnya.

6. Haruslah setiap orang memiliki cara pandang semacam ini dalam masalah agama, ketaatan,
pendekatan dirinya kepada Allah SWT., juga dalam meraih pahala dan surga. Sikap yang benar,
hendaklah seseorang berusaha melakukan kebaikan sebagaimana yang sudau dilakukan oleh
salafush sholeh. Inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.

- *"Keutamaan Istighfar"*

َ ‫ َمنْ لَ ِز َم االِسْ ت ِْغ َف‬: -‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


‫ار َج َع َل هللاُ لَ ُه مِنْ ُك ِّل َه ٍّم َف َرجً ا‬ َ - ‫ َقا َل رسول هللا‬: ‫ قا َل‬-‫ َرضِ ي هللاُ َع ْنهُما‬- ‫ّاس‬
ٍ ‫عن عبْد هللا بن َعب‬
)‫ (رواه أبو داود‬. ُ‫ْث الَ َيحْ َتسِ ب‬ ُ ‫ْق َم ْخ َرجً ا َو َر َز َق ُه مِنْ َحي‬ ٍ ‫ي‬ ‫ض‬َ ‫ل‬
ِّ ُ
‫ك‬ ْ‫ِن‬
‫م‬ ‫و‬َ

Artinya :

_Dari Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma–, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Barangsiapa senantiasa beristighfar, niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya
kelapangan dan untuk setiap kesempitannya jalan keluar, dan akan diberi-Nya rezeki dari arah yang
tiada disangka-sangka.”_ (HR. Abu Daud)

*Pelajaran yang terdapat pada hadits di atas :*

1. Istighfar artinya permohonan ampunan.  Maghfirah artinya pengampunan, yaitu dihapuskan-Nya


dosa dan dirahasiakan-Nya. Begitulah kata Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah. Maka
seseorang yang mengucapkan: " ‫( " استغفر هللا‬Astaghfirullah) : aku memohon pengampunan kepada
Allah, dia seperti yang mengucapkan kalimat "‫( " اللهم اغفر لى‬Allahummaghfir lii)": Wahai Allah!
Ampunilah aku.
2. Walaupun Rasulullah ‫ﷺ‬  seorang makhluk yang telah diampuni dosa-dosa yang lalu dan yang
akan datang, beliau masih memperbanyak Istighfar. Karena Istighfar salah satu dari antara ibadah-
ibadah utama. Sebab dengan banyak membaca Istighfar Allah semakin senang kepada hamba-Nya. 

3. Ibnu Rajab Al Hanbali ‫رحمه هللا‬ juga berkata: Istighfar seutuhnya yang dapat membuahi
pengampunan Allah adalah istighfar yang disertai dengan ketekadan hati untuk tidak mengulang
kembali perbuatan dosa.

4. Menurut Ibnu Rajab; yang paling utama membaca Istighfar, hendaklah dimulai dengan pujian
kepada Allah, lalu mengakui dosa yang telah dia lakukan. Setelah itu baru memohon ampun kepada
Allah.

5. Beberapa faedah membaca istighfar antara lain:

(1) Diampuni dosa-dosanya, sebesar apapun dosa yang dilakukan maka yakinlah bahwa Allah SWT.
Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat, dan yakinlah bahwa pengampunan Allah masih lebih
besar daripada dosa yang diperbuat oleh manusia.

(2) Hati menjadi bersih dan bening bagaikan cermin yang selalu dibersihkah pada setiap waktu
sehingga mengkilat lagi, demikian pula hati.

(3) Istighfar membersihkan bekas-bekas kemaksiatan dalam jiwa dan hati. 

(4) Kemaksiatan meninggalkan noda hitam dan kotoran di dalam hati setiap orang yang
melakukannya. Setelah beristighfar, noda dan kotoran itu hilang, lalu hati menjadi bening kembali
seperti cermin mengkilat. 

(5) Bagi yang berulang kali melakukan kemaksiatan, maka noda hati bertambah, sebanyak maksiat
yang dilakukan.

No. 2 dhoif tentang pendidikan

- ‫ْق َخ ْي ٌر م َِن َك ِثي ِْر ْال َع ْق ِل‬


ِ ‫َقلِ ْي ُل ال َّت ْوفِي‬

Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/31]

Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya.
[Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil Hadîtsin Nabawi hlm. 46]

Ada sebagian orang mengatakan, “Meskipun maudhû’ (palsu) atau dhaîf, bukankah itu tetap
merupakan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Ucapan seperti ini menunjukkan orang
yang melontarkannya belum memahami ilmu mustholah hadits dan belum menyadari bahaya dan
ancaman besar akibat membuat atau ikut menyebarkan hadits palsu. Selain itu, kalau para ulama
ahli hadits sudah menghukumi sebuah hadits sebagai hadits yang maudhû’ itu artinya berdasarkan
penelitian mereka “hadits” itu bukan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh
dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga tidak bisa dijadikan sebagai
landasan dalam beramal. Barangsiapa berani menisbatkan hadits maudhû’ kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah berdusta atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan terkena ancaman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

- HADITS 2: Tanggung Jawab Orang Tua Di Dalam Mendidik Anak

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau
bersabda :

‫هل َبي ِت ِه َوه َُو‬ ِ ‫اع َع َلى َأ‬


ٍ ‫اع َوه َُو َمسُئو ٌل َعنْ َرعِ َّي ِت ِه َوالرَّ ُج ُل َر‬
ٍ ‫س َر‬ ِ ‫اع َو ُكلُّ ُكم َمسُئو ٌل َعنْ َرعِ َّي ِت ِه َفا ْاَأل مِي ُر الّذِي َع َلى ال َّنا‬
ٍ ‫أالَ ُكلُّ ُكم َر‬
‫اع َو‬ ُ ُّ ُ َ ْ ٌ ‫ُئ‬ َ ُ ْ ٌ ٌ ‫ُئ‬ َ َ ٌ ُ ‫َأ‬
ِ ‫َمسُئو ٌل َع ْن ُه ْم َوال َمر ة َراعِ َية َعلى َبي‬
ٍ ‫ال َس ِّي ِد ِه َوه َُو َمس ول َعن ُه أال فكلكم َر‬ ِ ‫اع َعلى َم‬
ٍ ‫العبد َر‬َ ‫ِي َمس و لة َعن ُه ْم َو‬ َ ‫ت َبعلِ َها َو َو ل ِد ِه َوه‬
‫َف ُكل ُكم َمسُئو ٌل َعنْ َرعِ َّي ِت ِه‬ ُّ

Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan
akan dimintai pertanggung-jawabannya atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin
bagi keluarganya dan dimintai pertanggungjawabannya atas mereka. Seorang wanita juga pemimpin
atas rumah dan anak suaminya dan dia dimintai petanggungjawaban atasnya. Seorang hamba
sahaya juga pemimpin atas harta majikannya dan dia dimintai pertanggungjawabannya atasnya.
Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya
atas yang dipimpinnya”.[6]

Faidah Hadits :

Seorang bapak memiliki tanggung jawab yang besar di dalam mendidik anak-anaknya.

Seorang ibu juga memiliki tanggung jawab yang besar di dalam mendidik anak-anaknya.

Keduanya ( yaitu bapak dan ibu ) akan ditanya di hari kiamat tentang yang dipimpinya.

Seorang murobbi ( pendidik/guru) memiliki tanggung jawab yang di dalam mendidik anak didiknya.

Sesungguhnya pendidikan itu adalah tanggung jawab yang besar.

Tanggung jawab orang tua terhadap anaknya tidak hanya sebatas urusan makan dan pakaian saja,
namun lebih penting lagi dari itu, yaitu pendidikan.

+ Dhoif ibadah

‫الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه‬

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al
Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana
perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah.
Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur
untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas,
atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa
dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai
kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

- ‫ال تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء هللا تعالى ولكن قولوا شهر رمضان‬

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah
dengan ‘Bulan Ramadhan.'”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal
(4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini
dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An
Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani
dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama
karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Anda mungkin juga menyukai