H1 - Kelainan Sistem Urinary Hipospadia
H1 - Kelainan Sistem Urinary Hipospadia
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Ajar Keperawatan Anak II
Disusun oleh :
FAKULTAS KEPERAWATAN
2019/2020
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
2.1 Definisi...............................................................................................................6
2.2 Etiologi...............................................................................................................6
2.3 Patofisiologi.......................................................................................................9
2.4 Klasifikasi........................................................................................................11
2.5 Manifestasi Klinik............................................................................................13
2.6 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................14
2.7 Komplikasi.......................................................................................................14
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................................14
2.9 Asuhan Keperawatan.......................................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................19
3.1 Kesimpulan......................................................................................................19
Daftar Pustaka......................................................................................................20
i
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi hipospadia
2. Untuk mengetahui etiologi hipospadia
3. Untuk mengetahui patofisiologi hipospadia
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis hipospadia
i
5. Untuk menetahui perawatan hipospadia
6. Untuk mengetahui pengobatan hipospadia
7. Untuk mengetahui komplikasi hipospadia
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipospadia
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan hipospadia
i
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
pada anak laki-laki, ditandai dengan posisi anatomi pembukaan saluran kemih di
bagian ventral atau bagian anterior penis, biasanya disertai lengkung penis yang
tidak normal dan ukurannya lebih pendek daripada laki-laki normal. Letaknya
bervariasi sepanjang bagian ventral dari penis atau di perineum sebagai akibat
sebagai suatu kondisi hipospadia yang disertai dengan letak muara uretra eksterna
diantara proximal penis sampai dengan di perbatasan penis dan skrotum dan
mempunyai chordee (Saleem et al, 2012; Arnaud et al, 2011, Hadidi 2004,
2.2 Etiologi
Penyebab dari hipospadia sampai saat ini belum bisa ditentukan secara
spesifik. Shih dan Graham, 2014; Van der zanden et al, 2012dan Shekhar Yadav,
2011 berpendapat terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam terjadinya kelainan
hipospadia ini, yaitu faktor endokrin, genetik dan lingkungan. Hipospadia bisa
terjadi karena salah satu faktor tersebut maupun kombinasi dari ketiga faktor
tersebut.
Penyebab hipospadia yang paling potensial adalah dari faktor endokrin karena
i
interaksinya dengan testosteron dan 5-dihydrotestosteron (DHT). Konversi
Response Elements (AREs) pada DNA yang telah membentuk suatu ikatan
hipospadia dan salah satunya adalah ayahnya maka risiko terjadi lahirnya anak
didapatkan 8,5 kali lebih sering pada kembar monozigot. Mayoritas mutasi yang
multifaktorial.Kandidat gen yang jelas untuk hipospadia adalah gen yang terlibat
lebih dari 60 gen yang terlibatperkembangan genital. Gen tersebut adalah WT1
(Wilms Tumor 1), SF1 (NR5A1 atauFaktor steroidogenik 1) dan FSHR (Follicle
i
gen yang bertanggung jawab untuk bagian selanjutnya dari perkembangan.Yang
terpenting adalah gen reseptor androgen (AR) dan gen untuk enzim dalamproses
lahir rendah (BBLR), bayi prematur, usia ibu saat hamil dan riwayat hipertensi
kejadian hipospadia. Bayi dengan berat badan lahir rendah dapat menjadi penanda
bahwa telah terjadi hambatan pertumbuhan janin karena plasenta ibu kurang
hipospadia 4,17 kali lebih tinggi. Carmichael dkk melaporkan seorang ibu yang
hamil pada usia di atas 35 tahun memiliki risiko aliran darah plasenta yang tidak
Sementara itu, North melaporkan bahwa pada ibu hamil yang hanya mengonsumsi
sayuran hijau saja atau sedang menjalani pola makan vegetarian, dapat terjadi
i
vegetarian memberikan pengaruh terhadap kejadian hipospadia 4,6 kali lipat
dibandingkan dengan ibu hamil yang menjalani diet normal.Hal ini disebabkan
kontaminan atau bahan yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-
Eropa dan ibu yang mempunyai riwayat pekerjaan dengan paparan pestisida
mempunyai risiko yang lebih besar melahirkan anak dengan kelainan hipospadia.
Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian lain yang menunjukkan bahwa ibu
dengan riwayat konsumsi sayuran organik tidak mempunyai anak dengan kelainan
2.3 Patofisiologi
genetalia eksterna laki-laki karena pengaruh dari sintesis testosteron oleh testis
fetus. Sintesis testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel
i
Leydig tersebut dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin).
Testosteron diubah menjadi bentuk yang lebih poten oleh enzim 5-reduktase tipe
jaringan genital. Salah satu tanda pertama dari maskulanisasi adalah menjauhnya
jarak antara anus dengan genital diikuti dengan pemanjangan dari phallus,
endodermal uretra ini dimulai dari arah proksimal ke distal dan berakhir pada
ventral dari mesenkim perineal midline sepanjang uretral plate pada saat
umumnya terhenti saat mendekati coronal groove dari glans. Penghentian ini
kehamilan delapan minggu, lipatan preputial muncul di kedua sisi batang penis
uretra,
i
lipatan preputial tidak bisa melingkar di sisi ventral. Konsekuensinya
berlebihan pada dorsum. Raphe median dari phallus juga berkembang secara tidak
raphe zig-zag yang berakhir dan terbagi menjadi duacabang, satu pada setiap sisi
distal menuju "dog ears" atau sudut dari preputium yang terbelah. Area segitiga
antara dua cabang yang tidak memiliki fasia Buck dan jaringan
yang diamati pada saat ereksi terjadi pada banyak pasien dengan hipospadia,
namun lebih sering terjadi danlebih berat pada pasien dengan hipospadia tipe
proksimal. Pada kasus yang lebih proksimal, kelengkungan penis disebabkan oleh
pada pasien dengan hipospadia distal lebih banyak disebabkan oleh kurangnya
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi anatomi dari hipospadia sudah berkembang dari tahun 1938
sampai sekarang. Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk mengidentifikasi letak
dari meatus uretra eksterna dan mendokumentasikan profil dari hipospadia tiap-
tiap pasien sehingga para ahli bedah urologi pediatri yang melakukan operasi
keuntungan dan kerugian dari beberapa teknik yang digunakan. Tipe hipospadia
i
adalah tipe glanular dari keseluruhan kasus, sedangkan di RSUP Sanglah yang
paling sering adalah tipe penoskrotal (33,3%). Semakin proksimal letak meatus,
semakin besar kemungkinan muncul chordee (Hadidi, 2004; Duarsa dan Nugroho,
2016).
meatus yaitu distal (glandular, coronal dan distal penis) atau proksimal (proksimal
penis, peno skrotal, skrotal atau perineal), klasifikasi yang didasarkan atas letak
muara uretra akan sangat mudah untuk diketahui dan memudahkan komunikasi
semakin dekat posisi uretra tidak memberikan perkiraan tingkat keparahan untuk
membantu dalam koreksi bedah. Saat ini klasifikasi telah dideskripsikan dengan
ventral dan hubungan terhadap tulang pubis. Beberapa keadaan struktur anatomi
penting lain
i
yang dapat mengintervensi kesuksesan koreksi bedah dan penampilan akhir dari alat
kelamin dapat diperhitungkan dalam klasifikasi seperti panjang penis, ukuran glans
a. Hipospadia ringan
Hipospadia distal terisolasi (glandular, coronal atau penile) tanpa adanya chordae,
mikropenis atau anomali skrotal. Indikasi untuk koreksi pada tipe ini hanya
didasarkan atas alassan kosmetik, sehingga koreksi bedah hanya dilakukan jika
b. Hipospadia berat
Hipospadia tipe skrotal dan perineal atau tipe apapun dengan chordae, mikropenis
dan anomali skrotal. Indikasi untuk koreksi pada kasus ini adalah ditujukan untuk
masalah fungsional. Pada kasus ini terdapat angka komplikasi yang tinggi, akan
c. Redo Hipospadia
Indikasi operasi pada kasus ini adalah untuk meminimalisir beban setelah
menjalani operasi
i
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dilakukan dengan dengan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir atau
bayi. Karena kelainan lain dapat menyertai hipospadia, dianjurkan pemeriksaan yang
menyeluruh, termasuk pemeriksaan kromososm (Corwin, 2009).
1. Rontgen
2. USG sistem kemih kelamin
3. BNO – IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan kongenital
ginjal
4. Kultur urine (Anak-hipospadia)
2.7 Komplikasi
Komplikasi dari hipospadia antara lain :
1. Dapat terjadi disfungsi ejakulasi pada pria dewasa. Apabila chordee nya parah, maka
penetrasi selama berhubungan intim tidak dapat dilakukan (Corwin, 2009)
2. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri seksual tertentu) (Ramali, Ahmad & K.
St. Pamoentjak, 2005)
3. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
4. Kesukaran saat berhubungan saat, bila tidak segera dioperasi saat dewasa (Anak-
hipospadia)
Komplikasi pascaoperasi yang terjadi :
1. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi,
juga terbentuknya hematom/ kumpulan darah di bawah kulit, yang biasanya dicegah
dengan balutan ditekan selama 2 sampai 3 hari pascaoperasi
2. Striktur, pada proksimal anastomis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari
anastomis
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka
kejadian yang dapat diterima adalah 5-10%
5. Residual chordee /rekuren chrodee, akibat dari chordee yang tidak sempurna, dimana
tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan scar yang berlebihan
di ventral penis walaupun sangat jarang
6. Divertikulum (kantung abnormal yang menonjol ke luar dari saluran atau alat
berongga) (Ramali, Ahmad & K. St. Pamoentjak, 2005), terjadi pada pembentukan
neouretra yang terlalu lebar atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi
yang dilanjut
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah merekomendasikan
penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal
i
sehingga aliran kencing arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal
(Anak-hipospadia).
1. Koreksi bedah mungkin perlu dilakukan sebelum usia anak 1 atau 2 tahun. Sirkumsisi
harus dihindari pada bayi baru lahir agar kulup dapat dapat digunakan untuk
perbaikan dimasa mendatang (Corwin, 2009).
2. Informasikan orang tua bahwa pengenalan lebih dini adalah penting sehingga
sirkumsisi dapat dihindari, kulit prepusium digunakan untuk bedah perbaikan
(Muscari, 2005).
3. Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang umumnya terdiri dari :
Operasi hipospadia satu tahap (One stage urethroplasty) adalah teknik operasi sederhana
yang sering digunakan, terutama untuk hipospadia tipe distal. Tipe distal inimeatusnya letak
anterior atau yang middle. Meskipun sering hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan
yang berat. Sehingga banyak dokter lebih memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe
hipospadia proksimal yang disertai dengan kelainan yang lebih berat, maka one stage
urethroplasty nyaris dapat dilakukan. Tipe annghipospadia proksimal seringkali di ikuti
dengan kelainan-kelainan yang berat seperti chordee yang berat, globuler glands yang
bengkok ke arah ventral (bawah) dengan dorsal : skin hood dan propenil bifid scrotum.
Intinya tipe hipospadia yang letak lubang air seninya lebih ke arah proksimal (jauh dari
tempat semestinya) biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di scrotum
2.9 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian fokus
1. Kaji biodata pasien
2. Kaji riwayat masa lalu : antenatal, natal
3. Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil
4. Kaji keluhan utama
5. Kaji skala nyeri (post op.)
6. Pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi kelainan letak meatus uretra
b. Palpasi adanya distensi kandung kemih
B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Diagnosa pasien pre operasi :
1) Managemen regimen terapeutik tidak efektif b.d pola perawatan keluarga
2) Perubahan eliminasi (retensi urine) b.d obstruksi mekanik
3) Kecemasan b.d akan dilakukan tindakan operasi
2. Diagnosa pasien post operasi :
1) Kesiapan dalam peningkatan managemen regimen terapeutik b.d petunjuk aktifitas
adekuat
2) Nyeri b.d prosedur post operasi
3) Resiko tinggi infeksi b.d invasi kateter
i
4) Perubahan eliminasi urine b.d trauma operasi
3. Intervensi
1. Managemen regimen terapeutik tidak efektif b.d pola perawatan keluarga
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
managemen regimen terapeutik kembali efektif
2) Intervensi
1. Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga
2. Diskusikan kekuatan keluarga sebagai pendukung
3. Kaji pengaruh budaya keluarga
4. Monitor situasi keluarga
5. Ajarkan perawatan dirumah tentang terapi pasien
6. Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga
7. Dukung keluarga dalam merencanakan dan melakukan terapi pasien dan perubahan
gaya hidup
8. Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan keluarga dalam menjaga status
kesehatan
2. Perubahan eliminasi (retensi urine) b.d obstruksi mekanik
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24jam diharapkan retensi
berkurang.
2) Intervensi
1. Melakukan pencapaian komperehensif jalan urine berfokus kepada inkotenensia
2. Menjaga privasi untuk eliminasi
3. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
4. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan bladder (10 menit)
5. Menyediakan perlak di kasur
6. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
7. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
8. Monitor intake dan output
9. Monitor distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
10. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan
3. Kecemasan b.d akan dilakukan tindakan operasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cemas
berkurang atau hilang
2) Intervensi
i
1. Ciptakan suasana yang tenang
2. Sediakan informasi dengan memperlihatkan diagnosa, tindakan dan prognosa
dampingi pasien untuk menciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan
3. Dengarkan dengan penuh perhatian
4. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
5. Ciptakan hubungan saling percaya
6. Identifikasi perubahan tingkat kecemasan
7. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan
4. Kesiapan dalam peningkatan management regimen terapeutik b.d petunjuk aktifitas
adekuat
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kesiapan
meningkatkan regimen terapeutik baik
2) Intervensi
1. Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu
2. Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi
3. Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat
4. Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh pada
keluarga
5. Buat jadwal aktifitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi
6. Ajarkan jadwal keluarga untuk menjaga dan selalu mengawasi perkembangan status
kesehtana keluarga
5. Nyeri akut b.d prosedur post operasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri
berkurang atau hilang
2) Intervensi
1. Kaji secara komperehensif mengenai lokasi, karakterisktik, durasi, frekuensi, kualitas,
intesitas dan faktor pencetus
2. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Ajarkan teknik relaksasi
4. Bantu pasien dan keluarga untuk mengontrol nyeri
5. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)
6. TTV
7. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat
8. Beri pasien posisi nyaman
6. Resiko tinggi infeksi b.d invasi kateter
i
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadi infeksi
2) Intervensi
1. Catat karakteristik luka, drainase
2. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril
3. Bersihkan lingkungan dengan benar
4. Monitor peningkatan granulasi, sel darah putih
5. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi
6. Ajarkan pada pasien dan keluarga cara prosedur perawatan luka
7. Perubahan eliminasi urine (retensi) b.d trauma operasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan retensi
urine berkurang
2) Intervensi
1. Monitor intake dan output
2. Monitor distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
i
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipospadia adalah kelainan letak uretra dan merupakan kelainan bawaan pada
anak laki-laki, ditandai dengan posisi anatomi pembukaan saluran kemih di bagian
ventral atau bagian anterior penis, biasanya disertai lengkung penis yang tidak normal
dan ukurannya lebih pendek daripada laki-laki normal. Penyebab dari hipospadia
sampai saat ini belum bisa ditentukan secara spesifik. Shih dan Graham, 2014; Van
der zanden et al, 2012dan Shekhar Yadav, 2011 berpendapat terdapat beberapa faktor
yang terlibat dalam terjadinya kelainan hipospadia ini, yaitu faktor endokrin, genetik
dan lingkungan. Hipospadia bisa terjadi karena salah satu faktor tersebut maupun
i
Daftar Pustaka
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku : Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Heffiner, L. J. (2005). At a Glans Sistem Reproduksi Ed. 2. Boston: EMS.
Muscari, M. E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed. 3 hal : 357. Jakarta :
EGC.
Nanda. (2010). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ramali, Ahmad & K. St. Pamoentjak. (2005). Kamus Kedokteran. Jakarta: Djambatan.
Schwartz, S. I. (2000). Intisari Prinsip - prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. (2007). Obat - Obat Penting. Jakarta: EMK Gramedia.