Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KELAINAN SISTEM URINARY HIPOSPADIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Ajar Keperawatan Anak II

Dosen pembimbing : Denni Fransiska, S.,Kp., M.Kep

Disusun oleh :

Aldi Rizki Fauzy 191FK03100


Wilda Hanifah 191FK03105
Priska Wulandari 191FK03106
Kafita Dwi Maudina 191FK03107

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

2019/2020
Kata Pengantar

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Bandung, Desember 2020

i
Daftar Isi

Kata Pengantar......................................................................................................2
Daftar Isi.................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
2.1 Definisi...............................................................................................................6
2.2 Etiologi...............................................................................................................6
2.3 Patofisiologi.......................................................................................................9
2.4 Klasifikasi........................................................................................................11
2.5 Manifestasi Klinik............................................................................................13
2.6  Pemeriksaan Penunjang..................................................................................14
2.7 Komplikasi.......................................................................................................14
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................................14
2.9 Asuhan Keperawatan.......................................................................................15
BAB III PENUTUP..............................................................................................19
3.1 Kesimpulan......................................................................................................19
Daftar Pustaka......................................................................................................20

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak di
ventral penis dan proksimal dari ujung penis. Hipospadia berkorelasi dengan genetik yang
diturunkan dari keluarga yang diestimasi sekitar 57-77%. Studi mengenai karakteristik
pasien diperlukan dalam mengidentifikasisuatu penyakit sehingga dapat dilakukannya
diagnosis klinis secara tepat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik pasien
hipospadia di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015-2018. Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan rancangan observasional deskriptif retrospektif. Tidak
ada prosedur tindak lanjut atau follow up. Studi ini merupakan studi deskriptif. Data
diabil dari data rekam medis Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung serta status khusus
dari bagian Urologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pasien dengan diagnosis
hipospadia tahun 2015 - 2018, kemudian dilakukan rekapitulasi data yang meliputi usia,
jenis hipospadia, ada tidaknya kordee, ada tidaknya kelainan lain, terapi, dan komplikasi
pasca operasi. Pada penelitian ini dari 147 pasien yang terdiagnosis hipospadia
didapatkan 107 pasien mengalami hipospadia distal dan 40 pasien mengalami hipospadia
proximal. Hasil ini selaras dengan penemuan Ducket dkk, yang menyatakan hampir 70%
pasien hipospadia merupakan hipospadia glanular atau berlokasi di bagian distal penis.20
Kejadian ini berkaitan dengan proses embriologi penis. Dari sejumlah 147 pasien
penderita hypospadia, diketahui bahwa hipospadia distal lebih mendominasi apabila
dibandingkan dengan hypospadia proximal. Selain itu pada penelitian ini diektahui
penderita hipospadia 100% mengalami kordee dan mengalami kelainan lain seperti
makropenis,retraktil penis, dan UDT. Adanya kejadian kordee yang mencapai 100%
harus dipelajari dan dikaji lebih lanjut untuk mencegah insidensi meningkat dan
memperburuk kondisi penderita.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi hipospadia?
2. Bagaimana etiologi hipospadia?
3. Bagaimana patofisiologi hipospadia?
4. Apa manifestasi klinis hipospadia?
5. Bagaimana perawatan hipospadia?
6. Bagaimana pengobatan hipospadia?
7. Apa komplikasi hipospadia?
8. Apa pemeriksaan penunjang hipospadia
9. Bagaimana Asuhan keperawatan dari hipospadia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi hipospadia
2. Untuk mengetahui etiologi hipospadia
3. Untuk mengetahui patofisiologi hipospadia
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis hipospadia

i
5. Untuk menetahui perawatan hipospadia
6. Untuk mengetahui pengobatan hipospadia
7. Untuk mengetahui komplikasi hipospadia
8. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipospadia
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan hipospadia

i
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Hipospadia adalah kelainan letak uretra dan merupakan kelainan bawaan

pada anak laki-laki, ditandai dengan posisi anatomi pembukaan saluran kemih di

bagian ventral atau bagian anterior penis, biasanya disertai lengkung penis yang

tidak normal dan ukurannya lebih pendek daripada laki-laki normal. Letaknya

bervariasi sepanjang bagian ventral dari penis atau di perineum sebagai akibat

gagalnya penyatuan dari lempeng uretra, hipospadia berat didefinisikan sebagai

sebagai suatu kondisi hipospadia yang disertai dengan letak muara uretra eksterna

diantara proximal penis sampai dengan di perbatasan penis dan skrotum dan

mempunyai chordee (Saleem et al, 2012; Arnaud et al, 2011, Hadidi 2004,

Örtqvist L et al,2016; Keays and Sunit, 2017).

2.2 Etiologi

Penyebab dari hipospadia sampai saat ini belum bisa ditentukan secara

spesifik. Shih dan Graham, 2014; Van der zanden et al, 2012dan Shekhar Yadav,

2011 berpendapat terdapat beberapa faktor yang terlibat dalam terjadinya kelainan

hipospadia ini, yaitu faktor endokrin, genetik dan lingkungan. Hipospadia bisa

terjadi karena salah satu faktor tersebut maupun kombinasi dari ketiga faktor

tersebut.

1). Faktor Endokrin

Penyebab hipospadia yang paling potensial adalah dari faktor endokrin karena

pembentukan uretra pada laki-laki sangat dipengaruhi oleh androgen sehingga

sangat memungkinkan penjelasan dari penyebab hipospadia adalah dari

abnormalitas dari metabolisme androgen.Androgen Receptor (AR) bertempat di

kromosom Xq12 dan berperan penting pembentukan genetalia laki-laki melalui

i
interaksinya dengan testosteron dan 5-dihydrotestosteron (DHT). Konversi

testosteron menjadi DHT dikatalisasi oleh enzim 5-reduktase. AR

mempengaruhi ekspresi androgen dalam regulasi gen yang penting dalam

perkembangan fenotip seksual laki-laki dengan cara mengenali Androgen

Response Elements (AREs) pada DNA yang telah membentuk suatu ikatan

dengan testosteron atau DHT di dalam sitoplasma. Mutasi AR dapat

mempengaruhi fungsi reseptor yang berakibat tingkat kepekaan atau sensitivitas

androgen berkurang secara parsial maupun komplit (Örtqvist L et al,2016;

Adamovic dan Nordenskjold, 2012).

2). Faktor Genetik

Insiden pasien hipospadia pada pasien yang mempunyai ayah yang

menderita hipospadia adalah sebanyak 7%.Insiden pasien hipospadia yang tidak

mempunyai riwayat saudara kandung maupun keluarga yang menderita

hipospadia adalah sebanyak 12%.Jika dalam satu keluarga terdapat 2 penderita

hipospadia dan salah satunya adalah ayahnya maka risiko terjadi lahirnya anak

yang menderita hipospadia meningkat menjadi 26%. Insiden hipospadia

didapatkan 8,5 kali lebih sering pada kembar monozigot. Mayoritas mutasi yang

teridentifikasi ditemukan pada individudengan hipospadia proksimal, hal ini

menunjukkan bahwa hipospadia proksimal memiliki lebih banyaketiologi

monogenik atau poligenik sedangkan hipospadia distal lebih merupakan etiologi

multifaktorial.Kandidat gen yang jelas untuk hipospadia adalah gen yang terlibat

dalam pengembangangenitalia eksternal laki-laki, dan mutasi ditemukan pada

lebih dari 60 gen yang terlibatperkembangan genital. Gen tersebut adalah WT1

(Wilms Tumor 1), SF1 (NR5A1 atauFaktor steroidogenik 1) dan FSHR (Follicle

Stimulating Hormone Receptor) yangterlibat dalam pengembangan genitalia

internal dan LHCGR (Luteinizing Hormon Reseptor Choriogonadotropin), sebuah

i
gen yang bertanggung jawab untuk bagian selanjutnya dari perkembangan.Yang

terpenting adalah gen reseptor androgen (AR) dan gen untuk enzim dalamproses

mengubah kolesterol menjadi testosteron

(misalnya 17β-HSD (17 beta steroid dehidrogenase) dan testosteron terhadap

dihidrotestosteron (DHT), SRD5A2 (5-alfa reduktase) (Örtqvist L et al,2016;

Duarsa dan Nugroho, 2016).

3). Faktor Lingkungan

Beberapa penelitian melaporkan hubungan hipospadia dengan bayi berat

lahir rendah (BBLR), bayi prematur, usia ibu saat hamil dan riwayat hipertensi

pada ibu.Hubungan kejadian hipospadia dengan BBLR dan prematuritas, dari

analisis univariat BBLR dan prematuritas, memberikan pengaruh terhadap

kejadian hipospadia. Bayi dengan berat badan lahir rendah dapat menjadi penanda

bahwa telah terjadi hambatan pertumbuhan janin karena plasenta ibu kurang

dalam memberikan nutrisi dan berkurangnya pula produksi hCG sehingga

memengaruhi sintesis androgen.Usia ibu saat hamil memiliki keterkaitan kejadian

dengan hipospadia, usia ibu di atas 35 tahun cenderung akan mengakibatkan

hipospadia 4,17 kali lebih tinggi. Carmichael dkk melaporkan seorang ibu yang

hamil pada usia di atas 35 tahun memiliki risiko aliran darah plasenta yang tidak

baik dikarenakan kekakuan pembuluh darah. Dengan demikian, asupan nutrisi ke

janin terganggu sehingga mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan proses

metabolisme janin. Diet vegetarian yang dilakukan selama masa kehamilan,

menunjukkan hasil statistik yang tidak berhubungan dengan kejadian hipospadia.

Sementara itu, North melaporkan bahwa pada ibu hamil yang hanya mengonsumsi

sayuran hijau saja atau sedang menjalani pola makan vegetarian, dapat terjadi

penurunan vitamin B 12, choline, methionine yang akan memengaruhi sintesis

estrogen dengan pembentukan efek phytoestrogen. North mendapatkan bahwa diet

i
vegetarian memberikan pengaruh terhadap kejadian hipospadia 4,6 kali lipat

dibandingkan dengan ibu hamil yang menjalani diet normal.Hal ini disebabkan

fungsi plasenta yang terganggu mengakibatkan regulasi hormonal dan penyediaan

nutrisi pada janin terganggu sehingga memengaruhi pembentukan saluran uretra.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian

hipospadia dengan paparan lingkungan yang berhubungan dengan bahan kimiawi,

yaitu pestisida, zat kimia dapat mempengaruhi perkembangan dan maturasi

seksual dan fungsi reproduksi janin (ShekharYadav, 2011). Pestisida adalah

kontaminan atau bahan yang sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-

hari.Paparan pestisida terhadap ibu yang sedang mengandung dapat berakibat

terjadinya kelainan seperti malformasi urogenital, memburuknya kualitas sperma

dan kanker payudara.Terdapat penelitian yang menunjukkan peningkatan insiden

hipospadia pada keluarga yang tinggal di dekat tempat pembuangan limbah di

Eropa dan ibu yang mempunyai riwayat pekerjaan dengan paparan pestisida

mempunyai risiko yang lebih besar melahirkan anak dengan kelainan hipospadia.

Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian lain yang menunjukkan bahwa ibu

dengan riwayat konsumsi sayuran organik tidak mempunyai anak dengan kelainan

hipospadia (Örtqvist L et al,2016; Shekhar Yadav, 2011).

2.3 Patofisiologi

Sekitar minggu ke-6 gestasi, tuberkulum genital berkembang ke arah

anterior menuju ke arah sinus urogenital.Pada minggu ke-8 terjadi maskulanisasi

genetalia eksterna laki-laki karena pengaruh dari sintesis testosteron oleh testis

fetus. Sintesis testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel

i
Leydig tersebut dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin).

Testosteron diubah menjadi bentuk yang lebih poten oleh enzim 5-reduktase tipe

II menjadi dihidrotestosteron. Untuk dihidrotestosteron menjadi lebih efektif,

dihidrotestosteron harus berikatan dengan reseptor androgen yang berada di

jaringan genital. Salah satu tanda pertama dari maskulanisasi adalah menjauhnya

jarak antara anus dengan genital diikuti dengan pemanjangan dari phallus,

pembentukan uretra dan pembentukan preputium.Uretra dibentuk dari gabungan

tepi medial lipatan endodermal uretra.Peristiwa penggabungan tepi medial lipatan

endodermal uretra ini dimulai dari arah proksimal ke distal dan berakhir pada

akhir trimester pertama.Tepi ektodermal uretra bergabung menjadi

preputium.Kegagalan menyatunya lipatan endodermal uretra ini yang memicu

terjadinya hipospadia (Örtqvist L et al,2016; Kalfa et al, 2013).

Terhentinya perkembangan kanalisasi menyebabkan abnormalitas cakupan

ventral dari mesenkim perineal midline sepanjang uretral plate pada saat

kanalisasi, menghasilkan pembukaan uretral ektopik. Pembukaan uretral

umumnya terhenti saat mendekati coronal groove dari glans. Penghentian ini

terjadi selama minggu 14 dan 15 massa perkembangan. Semakin lambat

penghentian terjadi maka semakin distal hipospadia terjadi (Örtqvist L et al,2016).

Penghentian dini perkembangan menghentikan fusi dari lipatan luar genital

menghasilkan dua hemiskrotal.Kulit prepusium yang terbelah atau abnormal juga

merupakan konsekuensi dari penghentian perkembangan uretra. Pada usia

kehamilan delapan minggu, lipatan preputial muncul di kedua sisi batang penis

dan bergabung pada dorsum penis. Karena tidak lengkapnya perkembangan

uretra,

i
lipatan preputial tidak bisa melingkar di sisi ventral. Konsekuensinya

adalahpreputiumtidak terdapat pada sisi ventral, danjaringan preputial yang

berlebihan pada dorsum. Raphe median dari phallus juga berkembang secara tidak

normal. Kekurangan pertumbuhan mesenkimal dapat menyebabkan rangkaian

raphe zig-zag yang berakhir dan terbagi menjadi duacabang, satu pada setiap sisi

distal menuju "dog ears" atau sudut dari preputium yang terbelah. Area segitiga

antara dua cabang yang tidak memiliki fasia Buck dan jaringan

subkutan,merupakan aspek penting selama operasi. Kelengkungan penis abnormal

yang diamati pada saat ereksi terjadi pada banyak pasien dengan hipospadia,

namun lebih sering terjadi danlebih berat pada pasien dengan hipospadia tipe

proksimal. Pada kasus yang lebih proksimal, kelengkungan penis disebabkan oleh

apoptosis plat uretra / korpus spongiosum karena tidak adanyastimulasi

androgenik menghasilkan lengkungan pada corpus cavernosa. Jaringan fibrosa,

yang dipotong selama koreksi kelengkungan, disebut chordee.Kelengkungan penis

pada pasien dengan hipospadia distal lebih banyak disebabkan oleh kurangnya

panjang kulit atau pertumbuhan periurethral (Örtqvist L et al,2016).

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi anatomi dari hipospadia sudah berkembang dari tahun 1938

sampai sekarang. Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk mengidentifikasi letak

dari meatus uretra eksterna dan mendokumentasikan profil dari hipospadia tiap-

tiap pasien sehingga para ahli bedah urologi pediatri yang melakukan operasi

koreksi hipospadia ini dapat melakukan evaluasi serta membandingkan

keuntungan dan kerugian dari beberapa teknik yang digunakan. Tipe hipospadia

yang paling sering

i
adalah tipe glanular dari keseluruhan kasus, sedangkan di RSUP Sanglah yang

paling sering adalah tipe penoskrotal (33,3%). Semakin proksimal letak meatus,

semakin besar kemungkinan muncul chordee (Hadidi, 2004; Duarsa dan Nugroho,

2016).

Gambar 2.2.Klasifikasi hipospadia berdasarkan lokasi meatus uretra


eksterna (dikutip dari Hadidi, 2004).

Secara tradisional hipospadi dulunya diklasifikasikan berdasarkan posisi

meatus yaitu distal (glandular, coronal dan distal penis) atau proksimal (proksimal

penis, peno skrotal, skrotal atau perineal), klasifikasi yang didasarkan atas letak

muara uretra akan sangat mudah untuk diketahui dan memudahkan komunikasi

antara dokter yang tidak terlatih untuk koreksi hipospadia. Bagaimanapun

semakin dekat posisi uretra tidak memberikan perkiraan tingkat keparahan untuk

membantu dalam koreksi bedah. Saat ini klasifikasi telah dideskripsikan dengan

menyertakan tingkat pembagian corpus spongiosum, curvatura penis, hipoplasia

ventral dan hubungan terhadap tulang pubis. Beberapa keadaan struktur anatomi

penting lain

i
yang dapat mengintervensi kesuksesan koreksi bedah dan penampilan akhir dari alat

kelamin dapat diperhitungkan dalam klasifikasi seperti panjang penis, ukuran glans

dan kualitas dari lempeng uretra (Springer, 2017)

Klasifikasi simpel berdasarkan tingkat keparahan dan rasio cost benefit

untuk pasien adalah (Springer, 2017)

a. Hipospadia ringan

Hipospadia distal terisolasi (glandular, coronal atau penile) tanpa adanya chordae,

mikropenis atau anomali skrotal. Indikasi untuk koreksi pada tipe ini hanya

didasarkan atas alassan kosmetik, sehingga koreksi bedah hanya dilakukan jika

angka komplikasi yang sangat rendah dapat dijamin

b. Hipospadia berat

Hipospadia tipe skrotal dan perineal atau tipe apapun dengan chordae, mikropenis

dan anomali skrotal. Indikasi untuk koreksi pada kasus ini adalah ditujukan untuk

masalah fungsional. Pada kasus ini terdapat angka komplikasi yang tinggi, akan

tetapi manfaat untuk pasien yang menjalani operasi adalah baik.

c. Redo Hipospadia

Indikasi operasi pada kasus ini adalah untuk meminimalisir beban setelah

menjalani operasi

2.5 Manifestasi Klinik


Gambaran klinis Hipospadia   :
1. Kesulitan atau ketidakmampuan berkemih secara adekuat dengan posisi berdiri
2. Chordee (melengkungnya penis) dapat menyertai hipospadia
3. Hernia inguinalis (testis tidak turun) dapat menyertai hipospadia (Corwin, 2009).
4. Lokasi meatus urine yang tidak tepat dapat terlihat pada saat lahir (Muscari, 2005).

i
2.6  Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dilakukan dengan dengan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir atau
bayi. Karena kelainan lain dapat menyertai hipospadia, dianjurkan pemeriksaan yang
menyeluruh, termasuk pemeriksaan kromososm (Corwin, 2009).
1. Rontgen
2. USG sistem kemih kelamin
3. BNO – IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan kongenital
ginjal
4. Kultur urine (Anak-hipospadia)
2.7 Komplikasi
Komplikasi dari hipospadia antara lain :
1. Dapat terjadi disfungsi ejakulasi pada pria dewasa. Apabila chordee nya parah, maka
penetrasi selama berhubungan intim tidak dapat dilakukan (Corwin, 2009)
2. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri seksual tertentu) (Ramali, Ahmad & K.
St. Pamoentjak, 2005)
3. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
4. Kesukaran saat berhubungan saat, bila tidak segera dioperasi saat dewasa (Anak-
hipospadia)
Komplikasi pascaoperasi yang terjadi :
1. Edema / pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat bervariasi,
juga terbentuknya hematom/ kumpulan darah di bawah kulit, yang biasanya dicegah
dengan balutan ditekan selama 2 sampai 3 hari pascaoperasi
2. Striktur, pada proksimal anastomis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi dari
anastomis
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini angka
kejadian yang dapat diterima adalah 5-10%
5. Residual chordee /rekuren chrodee, akibat dari chordee yang tidak sempurna, dimana
tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan scar yang berlebihan
di ventral penis walaupun sangat jarang
6. Divertikulum (kantung abnormal yang menonjol ke luar dari saluran atau alat
berongga) (Ramali, Ahmad & K. St. Pamoentjak, 2005), terjadi pada pembentukan
neouretra yang terlalu lebar atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi
yang dilanjut
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan bedah hipospadia adalah merekomendasikan
penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal

i
sehingga aliran kencing arahnya ke depan dan dapat melakukan coitus dengan normal
(Anak-hipospadia).
1. Koreksi bedah mungkin perlu dilakukan sebelum usia anak 1 atau 2 tahun. Sirkumsisi
harus dihindari pada bayi baru lahir agar kulup dapat dapat digunakan untuk
perbaikan dimasa mendatang (Corwin, 2009).
2. Informasikan orang tua bahwa pengenalan lebih dini adalah penting sehingga
sirkumsisi dapat dihindari, kulit prepusium digunakan untuk bedah perbaikan
(Muscari, 2005).
3. Dikenal banyak teknik operasi hipospadia yang umumnya terdiri dari :
Operasi hipospadia satu tahap (One stage urethroplasty) adalah teknik operasi sederhana
yang sering digunakan, terutama untuk hipospadia tipe distal. Tipe distal inimeatusnya letak
anterior atau yang middle. Meskipun sering hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan
yang berat. Sehingga banyak dokter lebih memilih untuk melakukan 2 tahap. Untuk tipe
hipospadia proksimal yang disertai dengan kelainan yang lebih berat, maka one stage
urethroplasty nyaris dapat dilakukan. Tipe annghipospadia proksimal seringkali di ikuti
dengan kelainan-kelainan yang berat seperti chordee yang berat, globuler glands yang
bengkok ke arah ventral (bawah) dengan dorsal : skin hood dan propenil bifid scrotum.
Intinya tipe hipospadia yang letak lubang air seninya lebih ke arah proksimal (jauh dari
tempat semestinya) biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di scrotum
2.9 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian fokus
1. Kaji biodata pasien
2. Kaji riwayat masa lalu : antenatal, natal
3. Kaji riwayat pengobatan ibu waktu hamil
4. Kaji keluhan utama
5. Kaji skala nyeri (post op.)
6. Pemeriksaan fisik :
a. Inspeksi kelainan letak meatus uretra
b. Palpasi adanya distensi kandung kemih
B. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Diagnosa pasien pre operasi :
1) Managemen regimen terapeutik tidak efektif b.d pola perawatan keluarga
2) Perubahan eliminasi (retensi urine) b.d obstruksi mekanik
3) Kecemasan b.d akan dilakukan tindakan operasi
2. Diagnosa pasien post operasi :
1) Kesiapan dalam peningkatan managemen regimen terapeutik b.d petunjuk aktifitas
adekuat
2) Nyeri b.d prosedur post operasi
3) Resiko tinggi infeksi b.d invasi kateter

i
4) Perubahan eliminasi urine b.d trauma operasi
3. Intervensi
1. Managemen regimen terapeutik tidak efektif b.d pola perawatan keluarga
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
managemen regimen terapeutik kembali efektif
2) Intervensi
1. Jadilah pendengar yang baik untuk anggota keluarga
2. Diskusikan kekuatan keluarga sebagai pendukung
3. Kaji pengaruh budaya keluarga
4. Monitor situasi keluarga
5. Ajarkan perawatan dirumah tentang terapi pasien
6. Kaji efek kebiasaan pasien untuk keluarga
7. Dukung keluarga dalam merencanakan dan melakukan terapi pasien dan perubahan
gaya hidup
8. Identifikasi perlindungan yang dapat digunakan keluarga dalam menjaga status
kesehatan
2. Perubahan eliminasi (retensi urine) b.d obstruksi mekanik
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24jam diharapkan retensi
berkurang.
2) Intervensi
1. Melakukan pencapaian komperehensif jalan urine berfokus kepada inkotenensia
2. Menjaga privasi untuk eliminasi
3. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
4. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan bladder (10 menit)
5. Menyediakan perlak di kasur
6. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
7. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
8. Monitor intake dan output
9. Monitor distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi
10. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan
3. Kecemasan b.d akan dilakukan tindakan operasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cemas
berkurang atau hilang
2) Intervensi

i
1. Ciptakan suasana yang tenang
2. Sediakan informasi dengan memperlihatkan diagnosa, tindakan dan prognosa
dampingi pasien untuk menciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan
3. Dengarkan dengan penuh perhatian
4. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
5. Ciptakan hubungan saling percaya
6. Identifikasi perubahan tingkat kecemasan
7. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan
4. Kesiapan dalam peningkatan management regimen terapeutik b.d petunjuk aktifitas
adekuat
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kesiapan
meningkatkan regimen terapeutik baik
2) Intervensi
1. Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu
2. Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi
3. Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat
4. Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana pengaruh pada
keluarga
5. Buat jadwal aktifitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi
6. Ajarkan jadwal keluarga untuk menjaga dan selalu mengawasi perkembangan status
kesehtana keluarga
5. Nyeri akut b.d prosedur post operasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri
berkurang atau hilang
2) Intervensi
1. Kaji secara komperehensif mengenai lokasi, karakterisktik, durasi, frekuensi, kualitas,
intesitas dan faktor pencetus
2. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Ajarkan teknik relaksasi
4. Bantu pasien dan keluarga untuk mengontrol nyeri
5. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)
6. TTV
7. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat
8. Beri pasien posisi nyaman
6. Resiko tinggi infeksi b.d invasi kateter

i
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama3 x 24 jam diharapkan tidak
terjadi infeksi
2) Intervensi
1. Catat karakteristik luka, drainase
2. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril
3. Bersihkan lingkungan dengan benar
4. Monitor peningkatan granulasi, sel darah putih
5. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi
6. Ajarkan pada pasien dan keluarga cara prosedur perawatan luka
7. Perubahan eliminasi urine (retensi) b.d trauma operasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan retensi
urine berkurang
2) Intervensi
1. Monitor intake dan output
2. Monitor distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi

i
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hipospadia adalah kelainan letak uretra dan merupakan kelainan bawaan pada

anak laki-laki, ditandai dengan posisi anatomi pembukaan saluran kemih di bagian

ventral atau bagian anterior penis, biasanya disertai lengkung penis yang tidak normal

dan ukurannya lebih pendek daripada laki-laki normal. Penyebab dari hipospadia

sampai saat ini belum bisa ditentukan secara spesifik. Shih dan Graham, 2014; Van

der zanden et al, 2012dan Shekhar Yadav, 2011 berpendapat terdapat beberapa faktor

yang terlibat dalam terjadinya kelainan hipospadia ini, yaitu faktor endokrin, genetik

dan lingkungan. Hipospadia bisa terjadi karena salah satu faktor tersebut maupun

kombinasi dari ketiga faktor tersebut.

i
Daftar Pustaka
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku : Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Heffiner, L. J. (2005). At a Glans Sistem Reproduksi Ed. 2. Boston: EMS.
Muscari, M. E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed. 3 hal : 357. Jakarta :
EGC.
Nanda. (2010). Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ramali, Ahmad & K. St. Pamoentjak. (2005). Kamus Kedokteran. Jakarta: Djambatan.
Schwartz, S. I. (2000). Intisari Prinsip - prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. (2007). Obat - Obat Penting. Jakarta: EMK Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai