KONFLIK DI AFRIKA-WPS Office
KONFLIK DI AFRIKA-WPS Office
SUGIANSYAH
KECAMATAN PANYIPATAN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Tugas Sejarah ini
dengan baik dan tepat waktu.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun Makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan
guna kesempurnaan makalah ini.
Sugiansyah
ii
DAFTAR ISI
COVER.................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Afrika memang negeri yang tak pernah sepi dari derita konflik etnik dan
perang antarsuku. Mereka berasal dari negara-negara Burundi, Pantai Gading,
Guinea, Kongo, Somalia, Sudan, Chad, dan Uganda. Masyarakat Afrika umumnya
heterogen dan terdiri atas berbagai suku-etnik dan bahasa yang sangat beragam.
Tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa sebagian besar negara bagian Afrika Tengah
rawan konflik melihat keadaan sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, dan politik
yang tidak baik dan berpotensi melahirkan konflik di negeri tersebut. Tetapi
situasi rawan konflik itu tidak diimbangi dengan sarana keamanan yang cukup.
Jadi, pemerintah di sana harus bekerja keras jika ingin menyelesaikan
permasalahan tersebut. Negara-negara di Afrika Tengah sampai saat ini masih
rawan konflik. Hal ini disebabkan karena kondisi dan keadaan ekonomi, sosial,
budaya, dan politik yang tidak stabil dan belum kondusif seperti di Rwanda,
Burundi, Uganda, dan Kongo.
B. Rumusan Masalah
iv
5. Bagaimana Perjanjian Untuk Menciptakan Perdamaian Konflik Di
Afrika?
6. Bagaimana jalannya Pemilu di Republik Demokratik Kongo?
C. Tujuan
v
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemilahan Garis Batas Negara yang Tidak Melihat Logika Etnis dan
Perbedaan Suku
Kasus Rwanda-Burundi yang hingga saat ini tetap menjadi
persoalan yang tidak terselesaikan merupakan contoh dari fenomena
tersebut. Dampaknya adalah konflik antaretnis yang sangat sukar untuk
diselesaikan, walaupun telah ikut campurnya kekuatan asing seperti
tentara PBB serta memicu semangat irredentisme dan separatisme.
Pemilihan garis batas yang menimbulkan konflik ini dahulunya dibuat
oleh para penjajah untuk mengadu domba sesama bangsa Afrika.
vi
3. Perbedaan Kesempatan Politik
Kedatangan penjajah Barat di Afrika yang berniat mengambil harta
kekayaan alam Afrika tidak memikirkan lagi kaidah atau etika balas budi
terhadap tanah jajahan. Berkaitan dengan politik devide et impera
tersebut di atas, kaum penjajah membeda-bedakan kesempatan atau hak-
hak yang menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan. Contohnya
penjajah Belgia memberikan kemudahan kepada suku minoritas Tutsi
daripada mayoritas Hutu dalam bidang pendidikan, kemiliteran, dan hak-
hak politik, sehingga sampai saat ini pun masih berlangsung pertikaian
antara suku Hutu dan Tutsi. Padahal, jika kita tilik ke belakang, sebelum
tahun kedatangan Belgia di tahun 1916, kedua suku tersebut hidup damai
berdampingan.
6. Kemiskinan
yang melanda Afrika menurut ilmuwan/politikus Barat adalah
kemiskinan yang struktural. Di samping budaya Afrika yang mendukung
demikian, sejarah Afrika sebagai negara terjajah juga turut memengaruhi
kemiskinan Afrika, terlebih sekarang keberadaan Afrika sebagai negara
dunia ketiga yang terbelit hutang-hutang luar negeri serta pembiayaan
negara yang seringkali dilanda konflik Kondisi geografis Afrika yang
dominan gurun pasir dan hutan perawan yang sangat luas, menyebabkan
Afrika membutuhkan suplai pangan yang sangat besar. Kemiskinan yang
melanda Afrika sudah sangat parah sehingga menimbulkan. problem-
problem baru yang kompleks seperti masalah pengungsi yang
menyeberang batas: negara karena kelaparan. Hal ini tentu membuat
negara tetangga juga ditimpa masalah masalah seperti suplai pangan,
pengadaan kamp pengungsi, pemulangan pengungsi. stabilitas kawasan
dan sebagainya.
Perang Kongo pertama berlangsung tahun 1996-1997 yang melibatkan milisi Hutu
Rwanda (UNITA) dari Zaire melawan Uganda, Rwanda, Burundi, dan Angola.
Perang diawali dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok etnis
Banyamulenge. Mereka melakukan serangan ke wilayah Zaire Timur (Lamera)
tanggal 4 Oktober 1996. Pemerintah Mobutu (Zaire) bereaksi dan mendeportasi
besar-besaran etnis Banyamulenge.
ix
Di dalam negeri Zaire, sejak dekade 1990-an muncul pemberontakan akibat
menyusul ambruknya ekonomi Zaire akibat maraknya korupsi di tubuh
pemerintahan dan berhentinya dukungan dari Amerika Serikat terhadap rez im
Mobutu usai tumbangnya Uni Soviet. Kelompok-kelompok pemberontak dan
masyarakat sipil setempat. Akibatnya, sering salah sasaran dalam penggerebekan.
Sehingga keadaan kembali genting.
Akibat keadaan Zaire yang kacau, PBB turun tangan mengirimkan pasukan
multinasional. Mendengar berita tersebut, AFDL segera melakukan serangan ke
kompleks pengungsi Hutu di Kimbumba. Tujuannya mengarahkan pengungsi
kembali ke Rwanda tanpa melukainya dan mencegah campur tangan asing.
Hilangnya kompleks pengungsian tersebut menyebabkan PBB mengurungkan
niatnya untuk mengirim pasukan multinasional.
x
C. Perang Kongo Periode Kedua
Atas semua kritikan itu, Kabila mulai mengusir pasukan asing dan mengurangi
pejabat dari luar Kongo. Namun, tindakannya membuat sekutunya tersinggung. Di
sisi lain, pulangnya pasukan asing ke negara masing-masing menimbulkan
pertikaian etnis lagi di Kongo. Muncul pertempuran antara etnis Tutsi melawan
Hutu. Kondisi tersebut direspons Rwanda, Uganda, dan Burundi kembali ke
Kongo membantu Tutsi. Mereka membentuk Rally for Congolese Democracy
(RCD) tanggal 2 Agustus 1998. Uganda membentuk Mouvement pour la
Liberation du Congo (MLC; Gerakan Pembebasan Kongo), Kabila melawannya
dengan membentuk milisi baru "Mai-Mai" dan meminta bantuan milisi etnis Hutu.
UNITA bergabung dengan kelompok penentang Kabila. Hal ini membuat Angola
marah dan memihak Kabila. Konflik juga menyeret anggota Komunitas
Pembangunan Afrika Selatan (Southern African Development Country/SADC)
karena Kongo anggotanya. Selain Angola, negara anggota SADC yang membantu
Kongo adalah Namibia, Zimbabwe, Chad, Libia, dan Sudan. Di balik dukungan
itu, bantuan pasukan juga ada maksudnya. Namibia dan Zimbabwe, misalnya
bermaksud "mengamankan lahan yang kaya mineral dan logam mulia di Kongo.
Chad menerjunkan pasukan atas tekanan Prancis (bekas penjajahnya). Amerika
Serikat dan Jepang juga memberikan dukungan kepada Kabila untuk
mempertahankan pemerintahannya, tetapi enggan mengirimkan bantuan pasukan.
Datangnya pasukan multinasional Afrika ke Republik Demokrasi Kongo (RDK)
memulai babak baru dimulainya "Perang Dunia Versi Afrika".
Namun, hasil ini tidak dapat bertahan lama karena pemberontak dan pemerintah
Kongo merasa dilangkahi karena tidak diundang dalam perundingan. Memasuki
tahun 1999, pihak pemberontak (RCD) mengalami perpecahan. RCD terbelah
menjadi beberapa faksi, yaitu RCD-Authentique, RCD-Goma, RCD-Congo, RCD-
National, RCD-Originel, RCD-Kisangani, dan RCD-Wamba,
RCD-Movement for Liberation, dan berbagai faksi lainnya. Uganda dan Rwanda
pun saling bersengketa. Perpecahan ini sebenarnya sudah lama, tetapi meletus
ketika Uganda diundang oleh Presiden Libia Moammar Ghaddafi untuk berunding
dengan Kabila di Sirte, Libia. Kabila dan Uganda menyepakati penandatanganan
perjanjian gencatan senjata pada 18 April 1999.
Selama proses gencatan senjata ini ternyata muncul beberapa insiden kecil dari
para prajurit yang tidak setuju dengan adanya perjanjian di Lusaka tersebut.
Pertempuran antarsesama ini dimanfaatkan oleh Kabila dengan mengatakan
bahwa Republik Demokratik Kongo sudah berhasil membangun kembali kekuatan
dan siap untuk mengusir Uganda dan Rwanda dari wilayahnya. Perjanjian
gencatan senjata pun tidak berarti apa-apa karena pasukan pemberontak dan
pasukan RDK kembali bertempur. Adapun Uganda dan Rwanda justru saling
bertempur sendiri dan tidak membantu pasukan pemberontak.
xii
Di tengah kebuntuan menciptakan perdamaian, pada tanggal 16 Januari 2001,
terjadi penembakan terhadap Kabila yang akhirnya merenggut nyawanya setelah
ia sempat dirawat selama 2 hari. Dampak dari kematian Kabila ternyata berhasil
menyelesaikan sengketa yang berlarut-larut. Parlemen Kongo sepakat secara bulat
suara menunjuk Joseph Kabila (anak Kabila) sebagai pengganti ayahnya.
Kepemimpinan J. Kabila ini memberikan harapan baru bagi Kongo karena dia
dikenal sangat lunak, pernah belajar di Barat, dan bisa berbahasa Inggris sehingga
memudahkan negosiasi.
Kondisi RDK berangsur-angsur menjadi normal, pasukan PBB menarik diri dari
RDK diikuti oleh Rwanda dan Uganda yang juga mulai menarik pasukannya ke
perbatasan RDK. Konflik mulai berhenti karena J. Kabila cukup lunak dalam
mengambil kebijakan dan cenderung cinta damai.
Untuk menjaga agar keadaan tetap aman dan damai maka pemerintahan J. Kabila
melakukan perjanjian-perjanjian dengan berbagai pihak. Pada tanggal 19 April
2002, diadakan perundingan di sebuah kasino mewah di Afrika Selatan "Sun
City".
xiii
Pada tanggal 30 Juli 2002, J. Kabila kembali membuat perjanjian perdamaian
dengan Rwanda. Perjanjian diadakan di Pretoria, Afrika Selatan dan diberi nama
"Pretoria Accord". Dalam perjanjian ini, Rwanda berkewajiban untuk menarik
mundur 20.000 pasukannya yang masih ada di RDK. Sebaliknya, Rwanda
menuntut pemerintah J. Kabila untuk membubarkan pasukan milisi Hutu
(Interahamwe) dan menyerahkannya kepada Rwanda karena mereka dianggap
terlibat dalam genosida di negaranya pada tahun 1994. Perundingan yang
berlangsung selama lima han itu akhimya selesai dengan persetujuan kedua isu
tersebut. Rwanda menepati janjinya dengan menarik pasukannya dari RDK secara
berangsur-angsur hingga selesai tanggal 5 Oktober 2002, J. Kabila kemudian
mengadakan perjanjian perdamaian dengan Uganda di Luanda, Hasilnya Uganda
bersedia menarik pasukannya Rwanda Perjanjian diadakan di Pretoria, Afrika
Selatan dan diberi nama "Pretoria Accord Dalam perjanjian ini, Rwanda
berkewajiban untuk menarik mundur 20.000 pasukannya yang masih ada di RDK.
Sebaliknya, Rwanda menuntut pemerintah J. Kabila untuk membubarkan pasukan
milisi Hutu (Interahamwe) dan menyerahkannya kepada Rwanda karena mereka
dianggap terlibat dalam genosida di negaranya pada tahun 1994 Perundingan yang
berlangsung selama lima hari itu akhirnya selesai dengan persetujuan kedua isu
tersebut. Rwanda menepati janjinya dengan menarik pasukannya dari RDK secara
berangsur-angsur hingga selesai tanggal 5 Oktober 2002.
xv
BAB III
KESIMPULAN
Beberapa faktor yang menyebabkan negara negara di Afrika Tengah masih rawan
konflik adalah pemilahan garis batas negara yang tidak melihat logika etnis dan
perbedaan suku, politik defide et Impera yang dilakukan penjajah, perbedaan
kesempatan politik, lemahnya legitimasi politik penguasa, negara negara Afrika
rawan campur tangan asing, Kemiskinan dan korupsi dan Kleptokrasi.
Perang Kongo pertama berlangsung tahun 1996-1997 yang melibatkan milisi Hutu
Rwanda (UNITA) dari Zaire melawan Uganda, Rwanda, Burundi, dan Angola.
Perang diawali dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok etnis
Banyamulenge. Mereka melakukan serangan ke wilayah Zaire Timur (Lamera)
tanggal 4 Oktober 1996. Pemerintah Mobutu (Zaire) bereaksi dan mendeportasi
besar-besaran etnis Banyamulenge.
Perang Kongo Periode Kedua dimulai ketika Laurent Desire Kabila membentuk
pemerintahan koalisi menggantikan pemerintahan Mobutu. Nama Zaire diubah
menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK). Kabila kurang mendapat simpati
dari rakyatnya karena pasukan asing yang membantunya masih di Kongo. Kritikan
lain adalah sikap Kabila yang mudah diintervensi oleh para sekutunya. Hal ini
xvi
dapat terlihat dari adanya warga asing (Rwanda) yang menduduki pos-pos penting
dalam pemerintahannya.
xvii