Anda di halaman 1dari 17

KONFLIK AFRIKA

SUGIANSYAH

MADRASAH ALIYAH SULLAMUL ULUM

KECAMATAN PANYIPATAN

KABUPATEN TANAH LAUT

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Tugas Sejarah ini
dengan baik dan tepat waktu.

Tugas ini saya buat untuk memberikan penjelasan Tentang "Konflik Di


Afrika".Semoga Makalah yang saya buat ini dapat membantu menambah
wawasan kita menjadi lebih luas lagi.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun Makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan
guna kesempurnaan makalah ini.

Atas perhatian dan waktunya, saya sampaikan terima kasih.

Panyipatan, 16 September 2022

Sugiansyah
ii
DAFTAR ISI

COVER.................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah........................................................................1


B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................3

a. Faktor yang menyebabkan negara-negara di Afrika Tengah masih rawan


konflik atau berpotensi melahirkan konflik....................................5
b. Jalannya Perang Kongo Pertama...............................................................8
c. Jalannya Perang Kongo Periode Kedua..................................................10
d. Upaya Perdamaian Konflik Di Afrika........................................................11
e. Perjanjian Untuk Menciptakan Perdamaian Konflik Di Afrika................13
f. Pemilu di Republik Demokratik Kongo.....................................................14

BAB III KESIMPULAN......................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Afrika memang negeri yang tak pernah sepi dari derita konflik etnik dan
perang antarsuku. Mereka berasal dari negara-negara Burundi, Pantai Gading,
Guinea, Kongo, Somalia, Sudan, Chad, dan Uganda. Masyarakat Afrika umumnya
heterogen dan terdiri atas berbagai suku-etnik dan bahasa yang sangat beragam.
Tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa sebagian besar negara bagian Afrika Tengah
rawan konflik melihat keadaan sosial, ekonomi, budaya, pemerintahan, dan politik
yang tidak baik dan berpotensi melahirkan konflik di negeri tersebut. Tetapi
situasi rawan konflik itu tidak diimbangi dengan sarana keamanan yang cukup.
Jadi, pemerintah di sana harus bekerja keras jika ingin menyelesaikan
permasalahan tersebut. Negara-negara di Afrika Tengah sampai saat ini masih
rawan konflik. Hal ini disebabkan karena kondisi dan keadaan ekonomi, sosial,
budaya, dan politik yang tidak stabil dan belum kondusif seperti di Rwanda,
Burundi, Uganda, dan Kongo.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja faktor yang menyebabkan negara-negara di Afrika


Tengah masih rawan konflik atau berpotensi melahirkan konflik!
2. Bagaimana jalannya Perang Kongo Pertama?
3. Bagaimana jalannya Perang Kongo Periode Kedua?
4. Bagaimana Upaya Perdamaian Konflik Di Afrika?

iv
5. Bagaimana Perjanjian Untuk Menciptakan Perdamaian Konflik Di
Afrika?
6. Bagaimana jalannya Pemilu di Republik Demokratik Kongo?

C. Tujuan

1. Mengetahui faktor yang menyebabkan negara-negara di Afrika


Tengah masih rawan konflik atau berpotensi melahirkan konflik.
2. Mengetahui jalannya Perang Kongo Periode Kedua.
3. Mengetahui jalannya Perang Kongo Periode Kedua.
4. Mengetahui Upaya Perdamaian Konflik Di Afrika.

5. Mengetahui Perjanjian Untuk Menciptakan Perdamaian Konflik Di


Afrika.

6. Mengetahui jalannya Pemilu di Republik Demokratik Kongo.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor yang menyebabkan negara-negara di Afrika Tengah masih


rawan konflik
Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan negara-negara di Afrika
Tengah masih rawan konflik atau berpotensi melahirkan konflik.

1. Pemilahan Garis Batas Negara yang Tidak Melihat Logika Etnis dan
Perbedaan Suku
Kasus Rwanda-Burundi yang hingga saat ini tetap menjadi
persoalan yang tidak terselesaikan merupakan contoh dari fenomena
tersebut. Dampaknya adalah konflik antaretnis yang sangat sukar untuk
diselesaikan, walaupun telah ikut campurnya kekuatan asing seperti
tentara PBB serta memicu semangat irredentisme dan separatisme.
Pemilihan garis batas yang menimbulkan konflik ini dahulunya dibuat
oleh para penjajah untuk mengadu domba sesama bangsa Afrika.

2. Politik Devide et Impera yang Dilakukan Penjajahan


Orang Barat datang ke Afrika untuk mencapai kejayaan Gold, Glory, dan
Gospel dengan cara apapun misalnya dengan mengadu domba sesama
suku pedalaman Afrika, membuat perlakuan yang berbeda antara sesama
suku dan berbagai macam hal yang bisa membuat masing masing suku
berperang sendiri sendiri, serta kemudian mengambil semua harta
kekayaan alam Afrika untuk kepentingan penjajah pada waktu itu.
Masyarakat Afrika hanya menjadi buruh dan budak penjajah sehingga
tidak punya kesempatan untuk membangun negaranya.

vi
3. Perbedaan Kesempatan Politik
Kedatangan penjajah Barat di Afrika yang berniat mengambil harta
kekayaan alam Afrika tidak memikirkan lagi kaidah atau etika balas budi
terhadap tanah jajahan. Berkaitan dengan politik devide et impera
tersebut di atas, kaum penjajah membeda-bedakan kesempatan atau hak-
hak yang menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan. Contohnya
penjajah Belgia memberikan kemudahan kepada suku minoritas Tutsi
daripada mayoritas Hutu dalam bidang pendidikan, kemiliteran, dan hak-
hak politik, sehingga sampai saat ini pun masih berlangsung pertikaian
antara suku Hutu dan Tutsi. Padahal, jika kita tilik ke belakang, sebelum
tahun kedatangan Belgia di tahun 1916, kedua suku tersebut hidup damai
berdampingan.

4. Lemahnya Legitimasi Politik Penguasa


Kebanyakan negara di Afrika adalah bekas negara jajahan, baik
yang diberi, dipersiapkan, ataupun persemakmuran. Oleh karena itu,
ketergantungan terhadap negara penjajah, masih ada, di samping itu
penguasa atau rejim di Afrika tidak mampu mengambil kepercayaan atau
memperoleh legitimasi dari masyarakat dalam pemerintahan negara,
karena seringkali penguasa penguasa Afrika menggunakan cara-cara
kekerasan/anarkis untuk mendapatkan legitimasi itu. Frekuensi
pergantian kekuasaan di negara-negara Afrika relatif sering sehingga
kepercayaan masyarakat memudar untuk memberi legitimasi kepada yang
berkuasa secara sah.

5. Negara-Negara Afrika Rawan Campur Tangan Asing


Setelah konflik yang melanda Afrika berkepanjangan dan tidak
terselesaikan langkah langkah yang diambil para penguasa Afrika
seringkali justru menimbulkan kompleksitas permasalahan seperti
mengundang kekuatan asing untuk menyelesaikan masalah internal yang
vii
mengakibatkan berbagai masalah baru. Kekuatan asing seringkali tampil
jika "diundang oleh pihak dalam negeri semisal pemerintahan yang sah
untuk membantu menumpas oposan, belum lagi jika para oposan juga
memanggil kekuatan asing untuk campur tangan menggulingkan
penguasa yang berkoalisi dengan kekuatan asing (biasanya negara
penjajah) maka justru permasalahan semakin rumit. Para penguasa Afrika
tidak segan mengeluarkan biaya untuk membiayai perang/pasukan asing
daripada untuk membangun infrastruktur negara yang sangat penting bagi
negara-negara berkembang seperti di Afrika Kemiskinan

6. Kemiskinan
yang melanda Afrika menurut ilmuwan/politikus Barat adalah
kemiskinan yang struktural. Di samping budaya Afrika yang mendukung
demikian, sejarah Afrika sebagai negara terjajah juga turut memengaruhi
kemiskinan Afrika, terlebih sekarang keberadaan Afrika sebagai negara
dunia ketiga yang terbelit hutang-hutang luar negeri serta pembiayaan
negara yang seringkali dilanda konflik Kondisi geografis Afrika yang
dominan gurun pasir dan hutan perawan yang sangat luas, menyebabkan
Afrika membutuhkan suplai pangan yang sangat besar. Kemiskinan yang
melanda Afrika sudah sangat parah sehingga menimbulkan. problem-
problem baru yang kompleks seperti masalah pengungsi yang
menyeberang batas: negara karena kelaparan. Hal ini tentu membuat
negara tetangga juga ditimpa masalah masalah seperti suplai pangan,
pengadaan kamp pengungsi, pemulangan pengungsi. stabilitas kawasan
dan sebagainya.

7. Korupsi dan Kleptokrasi


Para penguasa di Afrika mempunyai budaya yang bertolak belakang
dengan hakikat pembangunan, mereka bercorak elitis, status quo,
mementingkan diri sendiri, arogan dan memupuk kekayaan dengan uang
negara (penggelapan) di bank-bank luar negeri. Mereka tidak melihat
viii
rakyat yang tertindas, dilanda konflik berkepanjangan, kelaparan, dan
berbagai masalah lainnya, bahkan kebanyakan pemimpin Afrika
cenderung korupsi.
Dari sekian konflik di Benua Amerika, salah satu yang terbesar dan
berdarah adalah Perang Kongo (Congo War, Guerre du Congo).
Sebelumnya, ketika Belgia memberikan kemerdekaan kepada bekas
jajahannya ini pada tanggal 30 Juni 1960, maka nama negaranya adalah
Republik Kongo. Nama tersebut dipakai sampai 1 Agustus 1964.
Selanjutnya, tanggal 25 November 1965 ketika Joseph Desire Mobutu
melakukan kudeta dan menjadi Presiden, nama Republik Kongo diganti
menjadi Republik Demokrasi Kongo. Mobutu pada tahun 1971 kembali
mengganti nama negaranya menjadi Zaire. Penggunaan nama Zaire
berakhir pada tahun 1997 dan kembali menjadi Republik Demokrasi
Kongo.

B. Perang Kongo Pertama

Perang Kongo pertama berlangsung tahun 1996-1997 yang melibatkan milisi Hutu
Rwanda (UNITA) dari Zaire melawan Uganda, Rwanda, Burundi, dan Angola.
Perang diawali dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok etnis
Banyamulenge. Mereka melakukan serangan ke wilayah Zaire Timur (Lamera)
tanggal 4 Oktober 1996. Pemerintah Mobutu (Zaire) bereaksi dan mendeportasi
besar-besaran etnis Banyamulenge.

Sementara itu, pasukan Rwanda bersama pemberontak anti-Mobutu mulai


menyerang Zaire pada awal Oktober 1996 melalui Burundi. Dalam waktu singkat,
beberapa kota penting pun mereka kuasai. Akibat serangan tersebut, pasukan
Mobutu mundur. Namun, setelah pasukan tambahan datang, mereka bisa
menguasai keadaan. Sayangnya, pasukan tambahan kurang bisa membedakan
antara milisi pemberontak dan masyarakat sipil setempat. Akibatnya, sering salah
sasaran dalam penggerebekan. Sehingga keadaan kembali genting.

ix
Di dalam negeri Zaire, sejak dekade 1990-an muncul pemberontakan akibat
menyusul ambruknya ekonomi Zaire akibat maraknya korupsi di tubuh
pemerintahan dan berhentinya dukungan dari Amerika Serikat terhadap rez im
Mobutu usai tumbangnya Uni Soviet. Kelompok-kelompok pemberontak dan
masyarakat sipil setempat. Akibatnya, sering salah sasaran dalam penggerebekan.
Sehingga keadaan kembali genting.

Di dalam negeri Zaire, sejak dekade 1990-an muncul pemberontakan akibat


menyusul ambruknya ekonomi Zaire akibat maraknya korupsi di tubuh
pemerintahan dan berhentinya dukungan dari Amerika Serikat terhadap rezim
Mobutu usai tumbangnya Uni Soviet Kelompok-kelompok pemberontak dan
milisi Tutsi kemudian membentuk Alliance des Forces Democratiques pour la
Liberation du Congo-Zaire disingkat AFDL pimpinan Laurent Desire Kabila
seorang komunis dan pengikut Lubumba yang pemerintahannya dikudeta oleh
Mobutu.

Akibat keadaan Zaire yang kacau, PBB turun tangan mengirimkan pasukan
multinasional. Mendengar berita tersebut, AFDL segera melakukan serangan ke
kompleks pengungsi Hutu di Kimbumba. Tujuannya mengarahkan pengungsi
kembali ke Rwanda tanpa melukainya dan mencegah campur tangan asing.
Hilangnya kompleks pengungsian tersebut menyebabkan PBB mengurungkan
niatnya untuk mengirim pasukan multinasional.

Pasukan anti-Mobutu dan pemerintah Rwanda setelah menaklukkan beberapa


wilayah akhirnya memasuki kota Kinshasa. Pasukan Zaire tidak melakukan
perlawanan karena situasinya sudah tidak mendukung. Perang Kongo Pertama
secara resmi berakhir pada bulan Mei 1997 dengan kemenangan pasukan anti-
Mobutu. Sementara itu, Mobutu melarikan diri tepat sebelum pasukan gabungan
penentangnya menduduki Kota Kinshasa. Ia tidak pernah kembali lagi ke Zaire
hingga meninggal pada tanggal 7 September 1997 di Rabat,

x
C. Perang Kongo Periode Kedua

Laurent Desire Kabila membentuk pemerintahan koalisi menggantikan


pemerintahan Mobutu. Nama Zaire diubah menjadi Republik Demokratik Kongo
(RDK). Kabila kurang mendapat simpati dari rakyatnya karena pasukan asing
yang membantunya masih di Kongo. Kritikan lain adalah sikap Kabila yang
mudah diintervensi oleh para sekutunya. Hal ini dapat terlihat dari adanya warga
asing (Rwanda) yang menduduki pos-pos penting dalam pemerintahannya.

Atas semua kritikan itu, Kabila mulai mengusir pasukan asing dan mengurangi
pejabat dari luar Kongo. Namun, tindakannya membuat sekutunya tersinggung. Di
sisi lain, pulangnya pasukan asing ke negara masing-masing menimbulkan
pertikaian etnis lagi di Kongo. Muncul pertempuran antara etnis Tutsi melawan
Hutu. Kondisi tersebut direspons Rwanda, Uganda, dan Burundi kembali ke
Kongo membantu Tutsi. Mereka membentuk Rally for Congolese Democracy
(RCD) tanggal 2 Agustus 1998. Uganda membentuk Mouvement pour la
Liberation du Congo (MLC; Gerakan Pembebasan Kongo), Kabila melawannya
dengan membentuk milisi baru "Mai-Mai" dan meminta bantuan milisi etnis Hutu.

UNITA bergabung dengan kelompok penentang Kabila. Hal ini membuat Angola
marah dan memihak Kabila. Konflik juga menyeret anggota Komunitas
Pembangunan Afrika Selatan (Southern African Development Country/SADC)
karena Kongo anggotanya. Selain Angola, negara anggota SADC yang membantu
Kongo adalah Namibia, Zimbabwe, Chad, Libia, dan Sudan. Di balik dukungan
itu, bantuan pasukan juga ada maksudnya. Namibia dan Zimbabwe, misalnya
bermaksud "mengamankan lahan yang kaya mineral dan logam mulia di Kongo.
Chad menerjunkan pasukan atas tekanan Prancis (bekas penjajahnya). Amerika
Serikat dan Jepang juga memberikan dukungan kepada Kabila untuk
mempertahankan pemerintahannya, tetapi enggan mengirimkan bantuan pasukan.
Datangnya pasukan multinasional Afrika ke Republik Demokrasi Kongo (RDK)
memulai babak baru dimulainya "Perang Dunia Versi Afrika".

D. Upaya Perdamaian Konflik di Afrika


xi
Nelson Mandela merancang perdamaian dalam pertemuan di Windhoek, Namibia
pada tanggal 18 Januari 1999, Pertemuan berhasil membuat kesepakatan bahwa
Rwanda, Uganda, Angola, Namibia, dan Zimbabwe mengadakan gencatan senjata.

Namun, hasil ini tidak dapat bertahan lama karena pemberontak dan pemerintah
Kongo merasa dilangkahi karena tidak diundang dalam perundingan. Memasuki
tahun 1999, pihak pemberontak (RCD) mengalami perpecahan. RCD terbelah
menjadi beberapa faksi, yaitu RCD-Authentique, RCD-Goma, RCD-Congo, RCD-
National, RCD-Originel, RCD-Kisangani, dan RCD-Wamba,

RCD-Movement for Liberation, dan berbagai faksi lainnya. Uganda dan Rwanda
pun saling bersengketa. Perpecahan ini sebenarnya sudah lama, tetapi meletus
ketika Uganda diundang oleh Presiden Libia Moammar Ghaddafi untuk berunding
dengan Kabila di Sirte, Libia. Kabila dan Uganda menyepakati penandatanganan
perjanjian gencatan senjata pada 18 April 1999.

Upaya gencatan senjata kembali dilakukan dengan mempertemukan enam negara


(Republik Demokratik Kongo, Namibia, Angola, Zimbabwe, Rwanda, dan
Uganda) di Lusaka pada bulan Juli 1999. Pertemuan menghasilkan kesepakatan
bahwa semua pihak bersedia untuk bekerja sama melucuti senjata dan mendata
kelompok bersenjata yang ada di Kongo. Dewan Keamanan PBB menerjunkan 90
personelnya untuk mengawasi jalannya gencatan senjata.

Selama proses gencatan senjata ini ternyata muncul beberapa insiden kecil dari
para prajurit yang tidak setuju dengan adanya perjanjian di Lusaka tersebut.
Pertempuran antarsesama ini dimanfaatkan oleh Kabila dengan mengatakan
bahwa Republik Demokratik Kongo sudah berhasil membangun kembali kekuatan
dan siap untuk mengusir Uganda dan Rwanda dari wilayahnya. Perjanjian
gencatan senjata pun tidak berarti apa-apa karena pasukan pemberontak dan
pasukan RDK kembali bertempur. Adapun Uganda dan Rwanda justru saling
bertempur sendiri dan tidak membantu pasukan pemberontak.

xii
Di tengah kebuntuan menciptakan perdamaian, pada tanggal 16 Januari 2001,
terjadi penembakan terhadap Kabila yang akhirnya merenggut nyawanya setelah
ia sempat dirawat selama 2 hari. Dampak dari kematian Kabila ternyata berhasil
menyelesaikan sengketa yang berlarut-larut. Parlemen Kongo sepakat secara bulat
suara menunjuk Joseph Kabila (anak Kabila) sebagai pengganti ayahnya.
Kepemimpinan J. Kabila ini memberikan harapan baru bagi Kongo karena dia
dikenal sangat lunak, pernah belajar di Barat, dan bisa berbahasa Inggris sehingga
memudahkan negosiasi.

Kondisi RDK berangsur-angsur menjadi normal, pasukan PBB menarik diri dari
RDK diikuti oleh Rwanda dan Uganda yang juga mulai menarik pasukannya ke
perbatasan RDK. Konflik mulai berhenti karena J. Kabila cukup lunak dalam
mengambil kebijakan dan cenderung cinta damai.

E. Berbagai Perjanjian untuk Menciptakan Perdamaian

Untuk menjaga agar keadaan tetap aman dan damai maka pemerintahan J. Kabila
melakukan perjanjian-perjanjian dengan berbagai pihak. Pada tanggal 19 April
2002, diadakan perundingan di sebuah kasino mewah di Afrika Selatan "Sun
City".

Perundingan mempertemukan J. Kabila selaku kepala negara RDK dengan kepala


negara anggota RCD. Hasil perundingan pada intinya menyebutkan bahwa J.
Kabila dizinkan untuk menjabat sebagai Presiden selama masa transisi 2 tahun dan
bisa diperpanjang hingga 3 tahun; pemerintah transisi akan menerapkan sistem
multipartai dan mengadakan pemilu yang demokratis; selama menjabat Presiden,
J. Kabila memiliki empat Wakil Presiden dengan rincian satu dari pemerintah, dua
dari oposisi pemberontak, dan satu dari oposisi nonpemberontak, jabatan
kementerian akan dibagi secara merata; mantan milisi pemberontak akan
diintegrasikan ke dalam tentara nasional dan kepolisian.

xiii
Pada tanggal 30 Juli 2002, J. Kabila kembali membuat perjanjian perdamaian
dengan Rwanda. Perjanjian diadakan di Pretoria, Afrika Selatan dan diberi nama
"Pretoria Accord". Dalam perjanjian ini, Rwanda berkewajiban untuk menarik
mundur 20.000 pasukannya yang masih ada di RDK. Sebaliknya, Rwanda
menuntut pemerintah J. Kabila untuk membubarkan pasukan milisi Hutu
(Interahamwe) dan menyerahkannya kepada Rwanda karena mereka dianggap
terlibat dalam genosida di negaranya pada tahun 1994. Perundingan yang
berlangsung selama lima han itu akhimya selesai dengan persetujuan kedua isu
tersebut. Rwanda menepati janjinya dengan menarik pasukannya dari RDK secara
berangsur-angsur hingga selesai tanggal 5 Oktober 2002, J. Kabila kemudian
mengadakan perjanjian perdamaian dengan Uganda di Luanda, Hasilnya Uganda
bersedia menarik pasukannya Rwanda Perjanjian diadakan di Pretoria, Afrika
Selatan dan diberi nama "Pretoria Accord Dalam perjanjian ini, Rwanda
berkewajiban untuk menarik mundur 20.000 pasukannya yang masih ada di RDK.
Sebaliknya, Rwanda menuntut pemerintah J. Kabila untuk membubarkan pasukan
milisi Hutu (Interahamwe) dan menyerahkannya kepada Rwanda karena mereka
dianggap terlibat dalam genosida di negaranya pada tahun 1994 Perundingan yang
berlangsung selama lima hari itu akhirnya selesai dengan persetujuan kedua isu
tersebut. Rwanda menepati janjinya dengan menarik pasukannya dari RDK secara
berangsur-angsur hingga selesai tanggal 5 Oktober 2002.

J.Kabila kemudian mengadakan perjanjian perdamaian dengan Uganda di Luanda,


Hasilnya Uganda bersedia menarik pasukannya dan wilayah RDK dan
meningkatkan kualitas hubungan kedua negara. Sayangnya hasil perjanjian
mengalami kegagalan dalam implementasi sehingga berdampak pada lemahnya
hubungan kedua negara.

Setelah mengadakan perjanjian perdamaian dengan berbagai pihak, J. Kabila


berusaha merangkul kembali masyarakatnya dengan menandatangani Global and
All Inclusive Agreement. Perjanjian ini berisi tentang rencana pembentukan
pemerintahan transisi yang bertugas melaksanakan pemilu Legislatif dan Presiden.
Perjanjian ditandatangani oleh semua pihak di dalam negeri RDK dan secara
xiv
resmi menandai berakhirnya Perang Kongo II. c. Pemilu di Republik Demokratik
Kongo II.

F. Pemilu di Republik Demokratik Kongo

Pemilu demokratis di RDK dilaksanakan Juni 2006 dengan J. Kabila sebagai


pemenang. Namun, kerusuhan timbul setelah muncul isu bahwa J. Kabila
melakukan kecurangan. Pemilu diulang pada bulan Oktober 2006. J. Kabila
kembali sebagai pemenang dan diangkat sebagai Presiden RDK sejak akhir 2006.
Pengangkatan J. Kabila sebagai Presiden RDK mengakhiri aktivitas pemerintahan
transisi.

Situasi-situasi yang telah dihadapi Afrika Tengahmerupakan masalah yang susah


dicari pemecahannya. Keadaan itu sebenamya sudah mengandung tuntutan dari
dalam untuk diubah dan di atasi. Karena negara yang terbelenggu dan
terperangkap dalam situasi seperti itu sebenarnya merosot ke dalam situasi yang
sangat merugikan. Dengan kata lain, terdapat keadaan tangan asing harus
dihilangkan di mana suatu negara seharusnya berada, tetapi kerena suatu hal
negara tersebut tidak berada pada situasi yang seharusnya dia tempati, sehingga
keadaan yang diinginkan masih harus dikejar dan diusahakan.

xv
BAB III

KESIMPULAN

Beberapa faktor yang menyebabkan negara negara di Afrika Tengah masih rawan
konflik adalah pemilahan garis batas negara yang tidak melihat logika etnis dan
perbedaan suku, politik defide et Impera yang dilakukan penjajah, perbedaan
kesempatan politik, lemahnya legitimasi politik penguasa, negara negara Afrika
rawan campur tangan asing, Kemiskinan dan korupsi dan Kleptokrasi.

Perang Kongo pertama berlangsung tahun 1996-1997 yang melibatkan milisi Hutu
Rwanda (UNITA) dari Zaire melawan Uganda, Rwanda, Burundi, dan Angola.
Perang diawali dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok etnis
Banyamulenge. Mereka melakukan serangan ke wilayah Zaire Timur (Lamera)
tanggal 4 Oktober 1996. Pemerintah Mobutu (Zaire) bereaksi dan mendeportasi
besar-besaran etnis Banyamulenge.

Perang Kongo Periode Kedua dimulai ketika Laurent Desire Kabila membentuk
pemerintahan koalisi menggantikan pemerintahan Mobutu. Nama Zaire diubah
menjadi Republik Demokratik Kongo (RDK). Kabila kurang mendapat simpati
dari rakyatnya karena pasukan asing yang membantunya masih di Kongo. Kritikan
lain adalah sikap Kabila yang mudah diintervensi oleh para sekutunya. Hal ini

xvi
dapat terlihat dari adanya warga asing (Rwanda) yang menduduki pos-pos penting
dalam pemerintahannya.

Upaya Perdamaian Konflik di Afrika ketika Nelson Mandela merancang


perdamaian dalam pertemuan di Windhoek, Namibia pada tanggal 18 Januari
1999, Pertemuan berhasil membuat kesepakatan bahwa Rwanda, Uganda, Angola,
Namibia, dan Zimbabwe mengadakan gencatan senjata. Namun, hasil ini tidak
dapat bertahan lama karena pemberontak dan pemerintah Kongo merasa
dilangkahi karena tidak diundang dalam perundingan. Memasuki tahun 1999,
pihak pemberontak (RCD) mengalami perpecahan. RCD terbelah menjadi
beberapa faksi, yaitu RCD-Authentique, RCD-Goma, RCD-Congo, RCD-
National, RCD-Originel, RCD-Kisangani, dan RCD-Wamba.

Berbagai perjanjian untuk menciptakan perdamaian pada konflik di Afrika maka


pemerintahan J. Kabila melakukan perjanjian-perjanjian dengan berbagai pihak.
Pada tanggal 19 April 2002, diadakan perundingan di sebuah kasino mewah di
Afrika Selatan "Sun City".

Pemilu demokratis di Republik Demokratik Kongo dilaksanakan Juni 2006


dengan J. Kabila sebagai pemenang. Namun, kerusuhan timbul setelah muncul isu
bahwa J. Kabila melakukan kecurangan. Pemilu diulang pada bulan Oktober 2006.
J. Kabila kembali sebagai pemenang dan diangkat sebagai Presiden RDK sejak
akhir 2006. Pengangkatan J. Kabila sebagai Presiden RDK mengakhiri aktivitas
pemerintahan transisi.

xvii

Anda mungkin juga menyukai