Anda di halaman 1dari 8

GABUNGAN BUKU 2

Resume halaman 4567

Sejak awal tahun 1970-an, pekerjaan sosial tidak mendapatkan perhatian yang cukup
oleh public. Seluruh sistem palayanan pada saat itu mengalami sebuah gejolak yang
mengakibatkan setidakstabilan sistem. hal ini juga mengakibatkan stress dan kecemasan yang
tinggi pada pelaku-pelaku, seperti pekerja sosial. Namun, diantarkan oleh Undang-Undang
Anak tahun 1989, Undang-Undang Layanan Kesehatan Nasional dan Perawatan Masyarakat
tahun 1990 dan Undang-Undang Peradilan Pidana tahun 1991, bersamaan dengan perubahan
dalam pelatihan pekerja sosial, khususnya Diploma Pekerjaan Sosial ( CCETSW, 1989). Dari
hal ini Pekerjaan sosial dan sistem layanan sosial mulai menemui titik terang dan bangkit. Ini
tujuan buku ini untuk memberikan kerangka awal untuk menganalisis sifat kontemporer
pekerjaan sosial dan bagaimana hal ini berubah dari waktu ke waktu.

KEADAAN PEKERJAAN SOSIAL KONTEMPORER

Munculnya pekerjaan sosial dikaitkan dengan transformasi yang terjadi sejak


pertengahan abad ke-19 dan seterusnya seputar serangkaian kecemasan tentang keluarga dan
masyarakat secara. Pekerjaan sosial berkembang pada titik tengah antara inisiatif individu
dan negara. Menurut Philp (1979) Pekerjaan sosial menempati ruang antara kelas atas dan
bawah, serta antara mereka yang memiliki akses ke hak politik dan berbicara dan mereka
yang dikucilkan. Berdasarkan hal itu ruang yang ditempati oleh pekerja sosial sangat
kompleks dan dinamis. Maka hal ini menimbulkan ketidakpastian dan ambiguitas dalam
pekerjaannya.

Seiring dengan berjalannya abad ke-20, pertumbuhan pekerjaan sosial modern


tendensinya mengarah pada hubungan timbal balik dengan negara kesejahteraan, yang
memberikan dasar pemikiran dan legitimasi secara hukum. Dengan demikian kemunculan
dan ambiguitas esensial dari pekerjaan sosial modern terkait erat dengan regulasi-regulasi
sosial atau kebijakan sosial. Munculnya hal ini dikarenakan karena moderenisasi yang terjadi
dalam berbagai sector. Pada masa ini pemikiran manusia telah rasional dan berorientasi pada
ilmu pengetahuan. Sehingga hal ini mengakibatkan perkembangan yang pesat dalam
kehidupan manusia itu sendiri.

Pendirian pekerjaan sosial modern adalah elemen kecil, tetapi signifikan, dari proyek
'kesejahteraan' sebagaimana dikembangkan pada abad ke-20, dan paling tepat dicirikan
sebagai 'bureauprofession' (Parry dan Parry, 1979). Inovasi utama 'welfarisme' terletak pada
upaya untuk menghubungkan fiskal, kalkulatif, dan kapasitas birokrasi aparatur negara
terhadap pemerintahan kehidupan sosial (Rose dan Miller, 1992). Welfarisme disusun oleh
keinginan untuk mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan nasional melalui promosi
tanggung jawab sosial dan mutualitas risiko sosial dan didasarkan pada pengertian solidaritas
sosial (Donzelot, 1988). 'Welfarisme' bertumpu pada pilar kembar yaitu Keynesianisme dan
Beveridgianisme.

Kerangka kelembagaan pelayanan sosial universal dipandang sebagai cara terbaik


untuk memaksimalkan kesejahteraan dalam masyarakat modern, dan negara bangsa bekerja
untuk seluruh masyarakat dan merupakan cara terbaik untuk memajukannya. Layanan sosial
dilembagakan untuk tujuan kebajikan, memenuhi kebutuhan sosial, dan mempromosikan
keadilan sosial. Fungsi dasarnya adalah amelioratif, integratif, dan redistributif. Kemajuan
sosial akan terus dicapai melalui lembaga negara dan intervensi profesional sehingga
peningkatan pengeluaran publik, perluasan kumulatif, ketentuan kesejahteraan, dan
proliferasi peraturan pemerintah yang didukung oleh administrasi ahli sehingga dapat
mewakili penjamin utama keadilan dan efisiensi.

Pekerjaan sosial, dalam kemunculannya yang modern dalam konteks welfarisme,


dijiwai dengan optimisme yang besar, dan diyakini bahwa perbaikan yang terukur dan
signifikan dapat dilakukan dalam kehidupan individu dan keluarga melalui intervensi
profesional yang bijaksana. Pembentukan departemen pelayanan sosial pada awal 1970-an
mencerminkan bahwa masalah sosial dapat diatasi melalui intervensi negara oleh para ahli
profesional dengan pengetahuan sosial-ilmiah dan keterampilan teknis. Hal tersebut dijiwai
dengan komitmen untuk kesetaraan dan solidaritas yang lebih besar. Seebohm
membayangkan layanan universal yang progresif yang tersedia untuk semua dan dengan
dukungan masyarakat luas. Gagasan pekerja sosial profesional generik mewakili ciri khas dan
aspirasi layanan baru.

Tampaknya ada konsensus bahwa pekerjaan sosial merupakan perkembangan positif


bagi semua dalam konteks 'welfarisme'. Konsensus ini memiliki sejumlah elemen. Hal itu
menjadi hubungan yang pada dasarnya jinak tetapi paternalistik. Intervensi tidak dipahami
sebagai sumber potensi antagonisme antara pekerja sosial dan individu dan keluarga. Ketika
seorang individu atau keluarga membutuhkan modifikasi, ini akan dilakukan melalui kerja
kasus, bantuan dan saran, dan jika individu benar-benar datang ke perawatan negara, ini
dianggap sebagai kepentingan mereka dan komunitas. Intervensi yang memiliki niat
terapeutik harus memiliki hasil terapeutik sehingga pekerjaan sosial diberi kebebasan dan
keleluasaan yang besar untuk melaksanakan pekerjaannya. Dalam prosesnya, ambiguitas
esensial, ketegangan, dan ketidakpastian yang menjadi inti dari operasinya tetap terendam.

Pertumbuhan pekerja sosial dan keahliannya dimulai sejak abad ke 20 dan ditandai
dengan dedikasi yang tinggi dari pekerja sosial dalam menangani kasus sosial. Kerja kasus
tidak hanya memberikan pendekatan praktik yang sistematis, tetapi juga membantu
menyatukan secara internal kelompok pekerjaan ini ditempatkan di berbagai lokasi dan
dengan beragam peran dan tanggung jawab. Hal ini memberikan basis pengetahuan yang
koheren secara internal yang berasal dari teori psikodinamik dan egopsikologi. Meskipun
tidak benar untuk berasumsi bahwa kerja kasus mendominasi pemikiran dan praktik para
praktisi dengan cara yang koheren dan konsisten, namun di Inggris hal itu memberikan fokus
untuk profesionalisasi, dan melegitimasi secara lebih umum dan kompleks. Pengerjaan kasus,
bagaimanapun, memberikan kontribusi yang khas dalam klaimnya untuk memperhatikan
seluruh individu dan untuk memberikan keterampilan pribadi tertentu dalam hubungan
manusia dan pemahaman tentang individu dan keluarga. Ini menyediakan metode untuk
penilaian dan intervensi dan dengan demikian tampak melegitimasi pekerjaan sosial dan
untuk mengatasi ambiguitas esensialnya.

Namun, tepat pada titik di mana pekerjaan sosial modern muncul di awal tahun 1970-
an untuk memainkan peran penting dalam proyek welfaris, 'welfarisme' sendiri mengalami
ketegangan yang cukup besar dan akhirnya krisis. Kombinasi dari pertumbuhan ekonomi
yang lambat, peningkatan inflasi dan pertumbuhan ketidaktertiban sosial dan
ketidakdisiplinan menggerogoti pilar ekonomi dan sosial sentral kesejahteraan dan konsensus
politik yang mendukungnya. Dalam prosesnya, berbagai ilmu manusia dan biro-profesional
yang mengoperasikan dan menerapkannya dianggap tidak memadai untuk masalah yang
disajikan. Pada satu tingkat kritik ditujukan pada pekerjaan sosial sosial

Dari pertengahan 1970-an dapat dipahami sebagai kasus khusus dari pendekatan
neoliberal yang telah mendominasi pemerintahan dalam beberapa tahun terakhir, dalam hal
antagonisme terhadap pengeluaran publik untuk kesejahteraan negara; peningkatan
penekanan pada swadaya dan dukungan keluarga; sentralitas tanggung jawab individu,
pilihan dan kebebasan; dan perpanjangan dari komodifikasi hubungan sosial. Namun, ini
akan menjadi sederhana. Pekerjaan sosial telah gagal memenuhi aspirasi yang diharapkan dan
kritik vokal telah datang dari berbagai pihak, termasuk kiri, feminis dan anti-rasis, dari
berbagai kelompok pengguna, kepentingan profesional dan komunitas lainnya, serta
antikesejahteraan. benar (Clarke, 1993). Semakin banyak, pekerjaan sosial dan, khususnya,
departemen pelayanan sosial dipandang mahal, tidak efektif, jauh dan menindas,

Yang muncul adalah rekonstruksi pekerjaan sosial dan lembaga-lembaga di mana ia


beroperasi yang sangat konsisten dengan tema sentral yang mencirikan rekonstruksi
kesejahteraan secara lebih umum. Pertama, ada penekanan khusus pada prinsip-prinsip pasar
terutama melalui 'pasar semu' (Le Grand, 1990; Le Grand dan Bartlett, 1993), yang memiliki
sejumlah fitur: pemisahan antara tanggung jawab pembelian dan penyediaan; kepedulian
terhadap layanan yang didasarkan pada kebutuhan dan penilaian risiko daripada permintaan
historis dan tingkat layanan; pelimpahan wewenang pengendalian anggaran; dan mengejar
pilihan melalui kompetisi penyedia.

Kedua, munculnya 'pemerintah berdasarkan kontrak' (Stewart, 1993b): pengenalan


akuntabilitas kontrak daripada hirarkis di mana hubungan di dalam dan di antara organisasi
kesejahteraan harus spesifik dan secara formal dijabarkan dan dihitung biayanya. Demikian
pula, pada antarmuka konsumen/profesional sifat hubungan dan fokus pekerjaan harus secara
formal dijabarkan dalam sebuah kontrak.

Ketiga, ada pengembangan organisasi yang lebih responsif dan seringkali lebih datar
di mana tanggung jawab dan keputusan dilimpahkan ke bawah dan di mana
pengguna/konsumen lebih terlibat langsung. Gagasan tentang pemberdayaan, desentralisasi
dan pemberdayaan dipandang sebagai signifikansi dan sifat profesionalisme bergeser.
Berbagai indikator kinerja, ukuran hasil dan rencana bisnis diperkenalkan.

Untuk mengidentifikasi rekonstitusi kompleks pekerjaan sosial generik dan model


terpadu dari layanan sosial pribadi yaitu yang pertama, meningkatkan spesialisasi di sekitar
kelompok klien dan memisahkan pengkajian manajemen perawatan dari pekerjaan
penyediaan layanan langsung. Yang kedua yaitu, staf harus profesional dan memenuhi syarat
dalam peran dan tamggung jawab seputar penilaian dan manajemen perawatan, karena
semakin banyak layanan staff yang tidak memenuhi syarat. Ketiga yaitu, perubahan mencoba
menggeser hubungan kekuasaan antara klien/pengguna layanan dan staff/profesional.
Sementara sarana dalam lingkup kepedulian masyarakat adalah melalui pemasaran , selain itu
adanya peningkatan legalisme akuntabilitas di bidang pengasuhan anak. Pengertian
manajemen menjadi sentral, karena pekerja sosial tidak lagi dibentuk sebagai pekerja sosial
yang memanfaatkan keterampilan terapeutik melainkan sebagai manajer perawatan yang
menilai kebutuhan dan resiko serta mengoprasionalkan paket perawatan dimana pemantauan
dan peninjauan adalah pusatnya. Akibatnya, kerja kasus telah disusun kembali senagai
konseling dan pekerjaan baru dan berkembang tumbuh cepat. Sementara beberapa mungkin
bekerja penuh dan memiliki latar dalam pekerjaan sosial. Ini belum tentu, karena bamyak
konselor bekerja paruh waktu, mandiri atau hanya dibayar. Kesimpulannya aktivitas dan
keterampilan yang sebelumnya dipandang sebagai kunci pekerjaan sosial sekarang lebih
dimasukkan jika diperlukan saja dan disediakan oleh konselor spesialis dalam berbagai
samaran.

Menuju post modern

Dengan demikian tampaknya pekerja sosial mengalami peningkatan keragaman,


ketidakpastian, fragmentasi, ambiguitas Dan perubahan tema- tema yang menunjukkan
adanya kemungkinan munculnya postmodern. Beberapa tahun teralhor telah ada peningkatan
minat dalam memahami perubahan kesejahteraan dalam hal postmodernitas. Dan beberapa
penulis telah menerapkan pendekatan itu khususnya pejerjaan sosial. Pengertian
postmodernitas yaitu "modernitas" Sebagai istilah yang mengacu pada Kelompok sistem
sosial, ekonomi, dan politik yang muncul di barat. Berbeda dengan era pra-modern yang
mangakui bahwa tatanan manusia bukanlah kodrat atau pemberian tuhan, melainkan masih
bergantung. Namun dalam perkembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, alam dapat
dikendalikan oleh manusia. Ciri lhas modernitas adalah Pemahan sejarah memiliki arah yg
pasti, upaya untuk mengembangkan kategori pengalaman, representasi, dan penjelasan,
universal. Gagasan bahwa alasan dapat menjadi dasar, bagi semua aktivitas, dan bahwa
negara dapat mengkoordinasikan dan memajukan pekembangan seperti itu Untuk seluruh
masyarakat.

Halaman buku 14 – 15

Pada masa hidup sekarang kita menjalani periode fundamental dan kompleks di
bidang sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi agar bisa memperlihatkan sesuatu yang sangat
berbebeda sampai munculnya postmodern. Ada beberapa orang yang berbicara mengenai
sebuah permkembangan periode. Beberapa berpendapat bahwa perubahan telah dilebih-
lebihkan atau dilebih-lebihkan (Clarke, 1991); yang lain, bahwa perubahan, pada tingkat
ekonomi dan politik, hanyalah merupakan bentuk baru dari hubungan kelas dalam mengejar
keuntungan dan eksploitasi (Callinicos, 1989; Jameson, 1991); dan lain-lain bahwa apa yang
kita alami bukanlah pemutusan yang jelas dengan masa lalu, melainkan periode modernitas
'akhir' atau 'tinggi' (Giddens, 1990, 1991). Beberapa kontributor buku ini menjelaskan ada
beberapa sifat perubahan kontemporer dan signifikan bagi pekerja sosial. Pada perubahan ini
banyak yang bisa dilihat seperti kecepatan perubahan, perbedaan keragaman, strategi politik,
gerakan sosial, serta menganggap serius kritik dan destabilisasi mengenai beberapa asumsi
yang sudah ada sebelumnya seperti adanya kebijaksanaan dan praktiknya.

Postmodernisasi dan post-fordisme merupakan ciri – ciri utama mengenai globalisasi


sejak awal 1960-an. Tetapi pengaruh utama adalah masyarakat modern, masyarakat modern
bisa mengubah bidang politik, budaya, dan sosial. Postmodernisasi melibatkan pembalikan
determinasi sehingga budaya – budaya yang sangat berbeda – beda sehingga menggannggu
bidang – bidang struktur sosial yang kokoh. Contohnya perubahan budaya semakin cepat
karena produksi yang ada. Pasar menjadi jenuh dan konsumen mulai melakukan pilihan,
sementara sistem produksi dipaksa melakukan perubahan struktural yang memungkinkan
respons fleksibel terhadap permintaan konsumen yang baru dan berbeda (Crook et al, 1992).

Perubahan teknologi secara cepat akan menjadikan perubahan kepada masyarakat


tetapi akan membuka peluang baru terbuka untuk organisasi yang tidak bergantung kepada
hierarki, birokrasi, dan pembagian profesional dan pekerjaan tradisional. Gagasan mengenai
fleksibilitas dalam produksi akan semakin nyata sebagai akumulasi fleksibel atau post-
fordisme. Jika fordisme diwakili oleh gagasan mengenai produksi massal, konsumsi massal,
maka pasca fordisme akan menjadi pembuatan produk yang sangat fleksibel untuk negara
kesejahteraan.

Pada penerapan analisis pasca fordist terhadap kesejahteraan menunjukkan bahwa jika
perubahan dalam produksi dan konsumsi akan menjadi lebih fleksibel maka suatu negara
akan menjadi negara kesejahteraan yang beragam. Inti dari perubahan adalah gerakan untuk
menciptakan organisasi yang fleksibel dari beberapa bentuk pengambilan keputusan dari
beberapa pola yang ada sehingga pertumbuhan dari berbagai tingkatan yang ada dalam
beberapa tahun terakhir dipandang sebagai benang penghubung yang terhubung.

 Resum halaman 16 – 17
Ini termasuk organisasi profesional dan teknis kecil yang beroperasi dengan biaya atau
layanan konsultasi dengan karakter kewirausahaan kecil yang nyata; toko kerajinan spesialis
yang memproduksi produk pasar khusus atau layanan kompleks yang dipasok ke
organisasi inti berdasarkan kontrak; padat karya 'toko keringat' mempekerjakan di pasar
tenaga kerja sekunder secara relatif tidak aman; pemasok kontrak wirausaha dari berbagai
layanan manual seperti pembersihan dan katering dan yang juga cenderung
mempekerjakan di pasar tenaga kerja sekunder; dan di luar pekerja rumahan manual ini
yang selalu tunduk pada ketidak amanan terbesar dan imbalan materi terendah. Sementara
perubahan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan teknologi ini sangat penting dan jelas
berdampak pada organisasi dan sifat pekerjaan sosial kontemporer, penting bagi kami untuk
tidak membatasi analisis kami hanya pada bidang-bidang ini saja.

Pengejaran ketertiban dan kontrol, promosi kalkulasi, kepercayaan pada kemajuan,


sains dan rasionalitas dan fitur-fitur lain yang intrinsik untuk moderrnitas semakin dirusak
oleh serangkaian kondisi dan pengalaman negatif secara bersamaan dan bertahannya peluang
dan ancaman ketidak pastian.Postmoderrnitas dicirikan oleh fragmentasi modernitas ke dalam
bentuk-bentuk pluralisme institusional, yang ditandai oleh keragaman, perbedaan,
kontingensi, relativisme, dan ambivalensi semuanya ingin diatasi oleh modernitas.

Ini disajikan sebagai cara berhubungan dengan konsekuensi modernitas janji-janji


yang tidak terpenuhi, aspirasi yang digagalkan, dan dilema yang melekat yang sekarang harus
diatasi tanpa keyakinan pada resolusi rasional. Masalah tidak dapat diatasi dengan perbaikan
teknis yang cepat dan tidak ada penyelesaian akhir atas dilema dan kesulitan yang dihadapi
dalam kehidupan sosial.

Bahkan mereka yang sangat kritis terhadap analisis yang berpendapat bahwa kita
sedang bergerak menuju postmodern mengakui klaim bahwa kita telah mengalami kehilangan
kepercayaan yang cukup besar terhadap sains dan para ahli sebagai jalan untuk memecahkan
masalah ekonomi, sosial dan manusia (Taylor-Gooby, 1994).

Perspektif postmodern memberikan penekanan khusus pada signifikansi kontemporer


dari fragmentasi, perbedaan, relativitas dan pluralitas, dan pembebasan identitas yang
beragam., titik-titik koneksi penting di antara para ahli teori postmodern dalam diskusi
mereka tentang pendesentralisasian subjek, penolakan narasi besar, pendukung lokal dan
sentralitas bahasa tidak hanya dalam merepresentasikan realitas tetapi dalam menyusunnya.

Dengan demikian, prinsip sentral postmodernisme adalah menolak untuk


mendefinisikan wacana tertentu sebagai benar secara fundamental dan melarang yang lain
untuk menjadi salah. Ini mendiversifikasi dan mempolitisasi proses pengambilan keputusan
di bidang yang sebelumnya diterima begitu saja dan tertutup, dan memiliki efek
mempolitisasi semua bidang kehidupan individu dan sosial. Cara kerja dekonstruksi terbukti
baik dalam berbagai bab buku ini maupun dalam praktik sehari-hari. Jadi, meski berpotensi
membebaskan, postmodernisme juga mampu melumpuhkan dan nihilisme.

Apa yang sudah didiskusikan, dan banyak contoh yang disebutkan, adalah bahwa mungkin
kita memiliki ruang lingkup yang lebih luas untuk kreativitas dan penentuan nasib sendiri
daripada yang sering kita asumsikan dan bahwa banyak hal dapat diubah. Namun, mau tidak
mau, kita harus memikul tanggung jawab untuk membentuk dan merekonstruksi masa depan
kita.

Bagian awal dari bab ini berusaha untuk menunjukkan bahwa, sejak kemunculan
postmodernisme di abad ke-19, pekerjaan sosial selalu menjadi aktivitas yang ambigu, yang
sebagian ditandai oleh ketegangan antara kekuatan fragmentasi dan keragaman. dan upaya
untuk mengejar koherensi pekerjaan dan legitimasi profesional (Clarke, 1993). Melalui
sebagian besar sejarah kita baru-baru ini, ketegangan dan ambiguitas ini telah disamarkan dan
disembunyikan, tetapi kini telah menjadi ciri pekerjaan sosial dalam periode perubahan yang
cepat.

Namun, kita tidak dapat berasumsi bahwa sifat dari pengalaman kita saat ini hanyalah
ambiguitas, ketegangan, dan kontradiksi lama kita yang kembali menghantui kita. Sementara
ambiguitas mungkin merupakan sifat yang sudah menyatu dari pekerjaan sosial kontemporer.
Akan tetapi, yang perlu dipertanyakan adalah apakah ini dikonseptualisasikan secara paling
tepat dalam istilah pekerjaan sosial dan, jika ya, bagaimana hubungannya dengan apa yang
terjadi sebelumnya.

Sementara fokus utamanya adalah kebijakan dan praktik pekerjaan sosial, beberapa
secara eksplisit mengangkat isu-isu dalam kaitannya dengan sifat dan implikasi untuk
pendidikan pekerjaan sosial dan lebih khusus peran teori dan akademi di perusahaan
pekerjaan sosial dan visi untuk masa depan.

Anda mungkin juga menyukai